Author Archives: Muhammad Haikal
Secara perlahan, cakrawala sejarah Islam semakin luas. Kajian sejarah Islam tidak lagi terbatas pada wilayah dunia Arab-Persia klasik, melainkan juga merambah zona perbatasan seperti dunia Melayu-Jawa. Dimana ratusan juta umat Islam telah mengamalkan agama ini selama berabad-abad. Di kepulauan ini juga kita menemukan jejak para wali pengembara, para raja berdaulat, serta para ulama yang gigih menyebarkan ajaran agama Islam (misalnya dalam kajian mendalam Naquib al-Attas tentang sufi abad ke-16 dalam The Mysticism of Hamzah Fansuri, dan kajian A.L. Khan mengenai ratu-ratu Sumatera dalam Sovereign Women In A Muslim Kingdom: The Sultanahs of Aceh, 1641–1699).
Gambaran lebih komprehensif ditunjukan dalam karya monumental seorang sejarawan besar asal Amerika (1949) M.C Riclefts dalam bukunya Mystic Synthesis In Java: A History of Islamization from the Fourteenth to the early Nineteenth Centuries,. (EastBridge Norwalk, Connecticut, 2006). Dalam Karya ini, Ricklefs menyuguhkan tinjauan komprehensif tentang proses Islamisasi di Jawa. Sejak abad keempat belas hingga awal abad kesembilan belas, serta bagaimana identitas ke-Jawa-an dan Islam menjadi semakin selaras. Pada permulaan, Ricklefs menggambarkan kondisi Jawa pada tahun 1500-an, ketika identitas Islam dan Jawa masih tampak berlapis dan terpecah-pecah.
Sejak abad keempat belas hingga awal abad kesembilan belas, serta bagaimana identitas ke-Jawa-an dan Islam menjadi semakin selaras. Pada permulaan, Ricklefs menggambarkan kondisi Jawa pada tahun 1500-an, ketika identitas Islam dan Jawa masih tampak berlapis dan terpecah-pecah.
Pada masa itu, kerajaan Hindu-Budha Majapahit, meskipun ragu untuk sepenuhnya menerima agama baru, tetap mengizinkan pemakaman anggota keluarga kerajaan yang Muslim di sekitar wilayahnya, seperti yang terlihat di kompleks makam Troloyo di Jawa Timur. Bab pertama ini membahas bagaimana masyarakat Jawa secara bertahap mulai mengadopsi dan menerima Islam, seraya memisahkan antara doktrin Islam ortodoks dan pandangan dunia Hindu-Buddha tradisional. Penulisan tersebut mempersiapkan babak baru di Jawa, memungkinkan para penguasa untuk tidak hanya menerima Islam, tetapi juga menjadi pelopor utama Islamisasi di tanah Jawa.
Lalu Sultan Agung menyelaraskan pandangan bahwa menjadi Muslim dan Jawa bukanlah hal yang bertentangan, dan dia berperan sebagai pengharmoni kedua identitas tersebut. Tercatat sebagai raja sufi sepanjang pemerintahannya yang berlangsung tiga puluh tahun (1613-1646), Agung, menurut “seorang Eropa yang mengunjungi istana” (hlm. 32), dilihat sebagai Muslim yang taat. Pada saat yang sama, babad Jawa menampilkan Sultan Agung sebagai sosok yang mengikuti ritual-ritual tradisional, termasuk pernikahan mistik dengan Ratu Kidul (hlm. 35). Pada tahun 1633, Sultan Agung mengunjungi makam seorang sufi di Tembayat, Jawa Tengah, yang wilayahnya sempat menolak kedaulatan Sultan. Kunjungan ini menghasilkan penciptaan kalender baru yang menggabungkan kalender lunar Islam dengan kalender Saka Jawa, suatu langkah simbolis yang menunjukkan sinkretisme identitas Jawa dan Islam. Sultan Agung baru mengadopsi gelar ‘Sultan’ beberapa tahun sebelum wafatnya, tetapi warisannya tetap dikenang sebagai raja ideal yang menjadi panutan bagi raja-raja Jawa berikutnya. Semua itu digambarkan dengan cukup dan baik oleh Ricklefs pada bab kedua dalam buku ini.
Sedangkan dalam bab ketiga, Ricklefs mengeksplorasi pemerintahan Amangkurat I. Penguasa yang dikenal karena kekejamannya itu, membuat para duta Belanda bingung dengan caranya memerintah, di mana “orang tua dibunuh untuk memberi tempat kepada yang muda” (hlm. 55). Amangkurat I, setelah menghadapi upaya kudeta pada tahun 1647, memerintahkan pembunuhan massal terhadap sekitar dua ribu pemimpin agama Islam beserta keluarga mereka. Ricklefs berpendapat bahwa tindakan-tindakan tersebut menggambarkan keadaan mental yang tidak stabil pada diri Amangkurat I, yang bahkan meninggalkan mayat istrinya tanpa dikuburkan sementara membiarkan para pelayan kelaparan hingga mati (hlm. 58). Bab ini juga membahas Perang Saudara antara kaum Muslim dan non-Muslim pada tahun 1670-an, serta hubungan kompleks antara Amangkurat II dan VOC. Amangkurat II dituduh berpihak pada “kafir” Kristen karena dukungan VOC, yang memicu pemberontakan dari kaum Muslim Jawa yang menyerukan jihad terhadapnya.
Selanjutnya Ricklefs menguraikan ketegangan yang terus berlanjut antara kaum elit istana Jawa dan rakyat dalam menghadapi VOC. Pada bab empat ini, digambarkan para bangsawan dan masyarakat luas sepakat bahwa kehidupan yang religius tak mungkin berjalan selaras dengan kedekatan terhadap VOC Belanda (hlm. 72). Setelah kematian Amangkurat II, perselisihan antara Amangkurat III dan pamannya membawa kerajaan Kartasura dalam situasi krisis. Intervensi VOC memperpanjang konflik ini hingga puncaknya pada tahun 1705, ketika Pakubuwana I diangkat sebagai penguasa oleh dukungan VOC. Penerus Pakubuwana I, Amangkurat IV, yang melanjutkan kedekatan kerajaan dengan VOC, dicatat sebagai raja yang paling dibenci, bahkan disebut sebagai “maharaja yang telah ditinggalkan rakyatnya dan memiliki hampir seluruh Jawa sebagai musuhnya” (hlm. 93).
Sementara itu, ibunya, Ratu Pakubuwono, secara rahasia menentang kedekatan tersebut dan diawasi ketat oleh VOC. Peran Ratu Pakubuwana dalam upaya menyelaraskan identitas Jawa dan Islam sangatlah penting. Dalam bab lima ini, sang ratu mencoba membentuk cucunya menjadi seorang raja sufi yang saleh (hlm. 103). Melalui sastra sufi, ia berupaya menyebarkan Islam di kalangan istana. Namun, cita-citanya menjadikan cucunya sebagai Sultan Agung baru ternyata tidak berhasil. “Buku-buku karya Ratu Pakubuwana gagal mencapai tujuannya untuk menjadikan pemerintahan Pakubuwana II ideal” (hlm. 142). Lalu dalam bab enam menguraikan diskusi di Jawa tentang gaya Islam yang ideal untuk diikuti, dan berujung pada identitas sintesis yang menyatakan bahwa menjadi Jawa dan Muslim bukan lagi hal yang saling bertentangan.
Beberapa istilah penting dalam karya ini, seperti ‘Islamisasi’ dan ‘sintesis mistik’, seharusnya didefinisikan secara lebih jelas agar pembaca mendapatkan kejelasan mengenai proses Islamisasi yang dimaksud. Hal ini relevan karena proses tersebut dapat berbeda dengan konsep Islamisasi dalam pemahaman para sarjana Islam kontemporer (lihat Syed Naquib al-Attas Islam and Secularism, Ismail Faruqi Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan, dan Wan Mohd Nor Wan Daud The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas). Kendati demikian, buku ini tetap berhasil menggambarkan proses Islamisasi di Jawa dengan cermat dan mendalam. Bagi para mahasiswa sejarah Jawa dan kajian Islam, Mystic Synthesis karya Ricklefs adalah sumber yang amat berharga untuk memahami perkembangan sejarah Islam di Jawa. Dengan menggunakan manuskrip Jawa yang luas, Ricklefs telah berhasil mengangkat narasi sejarah ini dari sekadar cerita lama orientalis kolonial menjadi kisah yang hidup dan relevan untuk generasi sarjana sejarah yang akan datang.
Berkunjung ke kota Yogyakarta selalu meninggalkan kesan yang mendalam bagi diri saya, entah itu kesan yang berkaitan dengan wisata sejarah, atau wisata belanja ataupun kuliner. Biasanya ketika saya mengunjungi kota pelajar itu, saya hanya mengunjungi Borobudur, Keraton, atau sekadar belanja di Malioboro sambil menikmati gudeg. Beda dengan sebelumnya, kunjungan saya kali ini punya cerita lain. Perjalanan saya ke Yogya yang kesekian kali ini, memang saya niatkan untuk belajar penerbitan dan bertemu beberapa tokoh pengelola lembaga yang sudah berpengalaman dalam dunia tersebut. Dari berbagai tempat yang saya kunjungi, terdapat beberapa corak atau keunikan dari tiap-tiap tempat itu.
Awalnya saya berkunjung ke Langgar.co di sana saya bertemu dengan Mas Irfan Afifi salah satu budayawan muda yang menyambut kami dengan hangat malam itu. Saya berbincang-bincang lumayan panjang dengan beliau mulai dari habis Maghrib sampai hampir jam dua belas malam. Waktu yang cukup panjang untuk ukuran sebagai tamu. Pada obrolan yang panjang tersebut, Mas Irfan menjelaskan banyak hal terkait sastra Jawa, tasawwuf, sejarah, sampai pada perbukuan, dan penerbitan.
Hari kedua kami melanjutkan perjalanan untuk mengunjungi toko-toko buku yang menurut saya sangat apik dan tertata dengan rapi. Hal ini berbeda dengan toko-toko buku konvensional yang pernah saya kunjungi di Jakarta. Terlihat sekali dalam toko buku yang saya kunjungi tersebut, para penjaga kedai sangat jeli dan lihai dalam menata buku-bukunya.
Selepas mengunjungi toko buku, saya langsung berkunjung ke Bumi Langit, sebuah yayasan yang khusus dalam mengajarkan kearifan lokal dan perkebunan lewat metode Permakultur. Sampai di sana, kami menikmati hidangan lokal yang nikmat dan terasa sangat segar dibanding dengan restoran-restoran biasa yang pernah saya kunjungi. Mungkin karena bahan-bahan pangannya diambil langsung dari alam sehingga masih terasa alami. Dengan ditemani alam sekitar yang cukup indah, makan di sana menciptakan suasana hati yang damai dan nyaman.
Selang beberapa jam setelah kami menyantap makanan, saya menghampiri Pak Iskandar (pendiri Bumi Langit) dengan niat bersilaturahmi dan bercengkrama untuk menimbah ilmu. Topik perbincangan kami, tak jauh beda dengan apa yang sudah dibicarakan di Langgar.co pada malam sebelumnya, karena kedua lembaga ini menggeluti isu yang relatif sama terkait kebudayaan. Dalam hal ini budaya yang memiliki pengertian seusai akar katanya yakni buddi yang mencangkup di dalamnya ada budi pekerti dan akal manusia. Sehingga kebudayaan ini tidak hanya mencakup wilayah kesenian seperti lukis, tari, atau gambar saja. Tetapi lebih luas dari hal itu, bahwa budaya memiliki tujuan untuk mengolah jiwa manusia sehingga menuntunnya menjadi insan kamil (manusia sempurna). Dalam perbincangan kami bersamanya banyak menitikberatkan pada pembahasan mengenai budaya, terdapat istilah yang beliau kutip yang dapat merangkum perjalanan saya yaitu ihsan atau keindahan.

Selepas dari Bumi Langit saya tiba-tiba teringat akan sabda kanjeng Nabi Muhammad bahwa “sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan,” kalimat ini menyadarkan warna-warna keindahan yang memberikan makna lebih dalam pada perjalanan saya, ihsan jadi terlihat di mana-mana dalam penghilatan saya. Terutama keindahan kota Yogya melalui orang-orang yang saya temui, dari bangunan kuno seperti keraton, dan banyak hal lainnya seperti makanan, musik, dan buku-buku yang saya pegang dan lihat saat berkunjung ke kedai buku. Dalam Al-Qur’an, disebutkan juga bahwa “Tidak ada balasan ihsan kecuali kebaikan ihsan,” ihsan di ayat ini bisa bermakna kebaikan atau keindahan, karena hasan (baik) dan ihsan (keindahan) berpangkal dari akar kata yang sama ḥ-s-n. Maka jelaslah bahwa manusia terutama umat muslim dianjurkan dengan sangat untuk mencintai insan dan berlaku ihsan supaya menjadikan dirinya menjadi ahsan (terbaik).
Selepas dari Bumi Langit saya tiba-tiba teringat akan sabda kanjeng Nabi Muhammad bahwa “sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan” kalimat ini menyadarkan warna-warna keindahan yang memberikan makna lebih dalam pada perjalanan saya, ihsan jadi terlihat di mana-mana dalam penghilatan saya.
Dari masa ke masa ihsan terlihat jelas dalam kesenian, yang mempunyai fungsi mengemas kebenaran dengan bungkus keindahan. Dalam Islam keindahan (ihsan) menempatkan posisi ketiga dalam dimensi Islam sebagaimana diutarakan dalam hadits Jibril: (1) kebenaran (iman), (2) kebaikan (Islam), dan (3) keindahan (ihsan). Ihsan dari waktu ke waktu mampu mempengaruhi cabang keilmuan seperti etika (akhlak), spiritual (tasawwuf), dan kesenian (ilm al-Fann). Seperti saya ceritakan di atas, perihal ihsan telah banyak berpapasan dengan saya dalam perjalanan selama tiga hari di kota Yogya tersebut.
Tidak hanya itu, ada kejadian menarik yang meninggalkan kesan yang lagi-kagi mendalam bagi diri saya, yaitu ketika saya melihat pementasan wayang kulit di Museum Sonobudoyo. Pementasan tersebut tersebut diawali dengan adegan pertengkaran diantara tokoh wayang, sehingga membuat gamelan menciptakan suara melengking dan nyaring. Di seberang yang lain terlihat pasangan turis mancanegara menutup kedua telinganya. Kejadian itu mungkin membuat prasangka dari kita sebagai warga lokal dengan mencap si turis sebagai penonton yang abai dan barangkali secara serampangan— mengatakan mereka bodoh. Sebagai pemula dalam mengikuti pementasan wayang saya rasa acara ini dapat dikatakan sebagai pengalaman kesenian yang representatif akan tradisi Jawa, karena sangat terlihat efek suntikan tradisi intelektual, seni, sastra, dan musik Jawa. Boleh jadi, apa yang membedakan reaksi saya dari si pasangan turis merupakan karena alasan kesenjangan bahasa—namun nyatanya, saya sendiri tidak mengerti bahasa Jawa, hal ini menjadikan saya sederajat dalam kesenjangan bahasa dengan si pasangan turis terhadap dialog berbahasa Jawa yang digunakan dalang dalam pementasan wayang.
Sewajarnya, sesuatu yang sederajat akan bertemu dengan titik yang membedakan, titik pembeda itu ditemukan pada saat pewayangan dipentaskan hingga pada titik suara melengking menciptakan suasana adegan perkelahian lebih mencekam. Lantaran makna yang muncul lewat imajinasi pikiran akan kecintaan dan pengetahuan saya mengenai Wali Sanga, saya terharu sampai meneteskan air mata. Di saat yang sama si pasangan turis masih menutup telinganya. Terbesit di benak pikiran sebuah pertanyaan, “jika karya yang ditampilkan mempunyai mutu yang sangat tinggi dan keindahan yang melampaui zaman, lalu bagaimana keadaan hati si pencipta kesenian ini?” Dari pertanyaan ini muncul nama Sunan Kalijaga yang tak lain pencipta kesenian yang sedang saya saksikan.

Sudah pasti— hati sang Sunan telah terasah dan melewati proses kimia yang menjadikannya bening seperti cermin. Berangkat dari kemurnian hati, muncul hasrat untuk mengajak keluarga, tetangga, sahabat, hingga masyarakat untuk ikut menapaki proses pemurnian yang telah dilalui sang Sunan. Memikirkan hati sang Sunan memantik saya untuk menjabarkan pemahaman dasar ihwal hati dalam tradisi Islam, sebagaimana Sunan Kalijaga salah satu empu daripada tradisi tersebut. Hati, suatu pancaindera (faculty) batin yang merasakan sesuatu, hati juga terhubung dengan kata kalbu (qalb). Dalam bentuk kata benda, kalbu bermakna pusat terdalam jiwa manusia yang senantiasa menilai benar salahnya perasaan, niat, hasrat dan tindakan. Jika kalbu dilanjutkan menjadi bentuk kata kerja (taqallabu) maknanya berkembang menjadi sesuatu yang mengombang-ambingkan, berubah-ubah, dan terbolak- balik.
Sang sunan serupa dengan para wali-wali Allah lainnya, mengenal kalbu dengan segala keutamaan dan sifatnya yang terbolak-balik, mengikuti doa Kanjeng Nabi Muhammad ﷺ “Ya Muqollibal Qulub Tsabbit Qolbi ‘alaa Diinik” (Wahai Yang Membolak-balikkan Hati, teguhkanlah hatiku senantiasa di atas agama-Mu) supaya mengukuhkan hati sang sunan dan menolong para masyarakat Jawa masa itu. Lewat prinsip dan sifat kalbu, sang sunan bertafakur bagaimana menyentuh dan menusukan jarum untuk mengobati hati masyarakat Jawa agar intipati batin mereka (kalbu) dapat diputar (inqalaba) sampai berhenti pada titik kemurnian hati yang tidak terganggu akan godaan-godaan duniawi dan memusatkan hati mereka hanya kepada sang-Gusti.
Dengan kecintaan yang mendalam akan masyarakatnya, sang sunan menelusuri khazanah ilmu, kebudayaan, kesenian, dan pastinya kepekaan hati masyarakat Jawa untuk menciptakan obat hati (tombo ati). Dengan piawainya sang sunan menciptakan salah satu obat hati dengan menggubah pementasan wayang menggunakan efek suara yang “mengganggu”, menyentuh, dan menusuk titik sensitifitas hati manusia terutama orang Jawa hingga hari ini, kendatipun jarak ratusan tahun, sang sunan berhasil menyentuh hati saya dan mengganggu telinga barangkali sampai menyentuh hati si pasangan turis. Wallahu a’lam.