Menu

Lembar

Jika ditanya, tradisi atau budaya apa yang paling tepat untuk menyampaikan koreksi atas jalannya suatu kepemimpinan, menyampaikan nilai-nilai luhur suatu suku bangsa, petuah-petuah atau pelajaran hidup yang berbasis kesenian dan hiburan masyarakat Sasak? Tanpa ragu-ragu saya akan menjawab, “Pementasan wayang.” Sebab wayang merupakan salah satu hiburan yang mampu menjangkau nyaris seluruh lapisan masyarakat. Mulai kalangan anak-anak hingga dewasa. Baik golongan awam maupun golongan serius, seperti kalangan cerdik pandai maupun para bijak bestari.

Anak-anak misalnya. Mereka tidak hanya dapat menikmati suguhan gerak dari pendar bayangan wayang yang menari-nari dari balik kelir. Tetapi juga dapat menikmati sajian kisah-kisah kepahlawanan (wiracarita) yang bersifat heroik dari tokoh-tokoh pewayangan yang dipentaskan.

Sementara itu, kalangan remaja yang sedang dalam masa-masa “pubertas” menikmati sajian kisah roman picisan yang romantis, ironis atau bahkan dramatis dari lakon-lakon yang dimainkan. Tak terkecuali bagi masyarakat awam, mereka juga dapat menikmati banyolan atau lawakan segar yang ditampilkan oleh tokoh-tokoh lokal semisal Amaq Keseq, Alek Perjek, Beko, Amaq Baok, Inaq Itet dan lainnya.

Sedangkan kalangan cerdik pandai atau para bijak bestari yang sudah dapat berpikir mendalam dapat menjadikan pertunjukan wayang sebagai medium untuk memetik hikmah atau pelajaran hidup. Sebab, menonton pertunjukan wayang, bagi mereka, sejatinya bukan hanya sekadar menyaksikan gerak gerik bayangan wayang yang dimainkan oleh seorang dalang dari balik kelir belaka, seperti anak kecil tadi.

Bagi mereka (orang arif), menikmati pertunjukan wayang bak menyaksikan sketsa  perjalanan hidup mereka sendiri. Mereka menyadari bahwa lakon-lakon dan atau bayangan wayang yang diproyeksikan itu, pada hakikatnya, merupakan pendar bayangan atau citraan dari pergulatan ruhani mereka (manusia) sendiri di atas panggung kehidupan. Maka tak ayal mereka dapat memaknai pertunjukan wayang sebagai bentuk refleksi, pengenalan jati diri, serta jalan kembali (pulang) menuju Tuhan.

Dengan pemaknaan yang cukup mendalam seperti inilah, menonton pertunjukkan wayang menjadi sebuah aktivitas yang amat luhur, berbudaya, dan memiliki nilai seni tinggi. Wayang tidak hanya dinilai sebagai hiburan semata, namun, wayang juga dianggap dapat menghadirkan perenungan yang mendasar dan mendalam, mengenai hakikat diri, dari mana, dan hendak kemana “diri” itu akan kembali pulang.

Ngaji Wayang Sasak

Berangkat dari pandangan di atas, maka tidak mengherankan, jika masyarakat Jawa, kerap mensejajarkan arti menonton wayang dengan istilah “Ngaji Wayang” dimana “ngaji” dimaknai sebagai, “ngangsu kawruh marang Kang Sawiji” kurang lebih berarti, “menggali pengetahuan menuju ke Tuhan Yang Maha Esa”. Sedangkan istilah “wayang” dimaknai sebagai “wewayanganing agesang” yang artinya, “pagelaran lakon kehidupan secara utuh”.

Jadi secara singkat istilah ngaji wayang dapat dimaknai sebagai bagian dari aktivitas manusia untuk mengenali jati diri kemanusiaanya dan secara bersamaan bertujuan untuk mengenal Tuhannya, dengan cara memetik setiap hikmah yang lahir dari sasmita (perlambang), yang ditampilkan oleh permainan gerak bayangan wayang.

Wayang Purwa di Jawa menggunakan pakem Epos Ramayana dan Mahabarata. Ini berbeda dengan Wayang Sasak yang menggunakan pakem atau babon dari Serat Menak. Tokoh utama Jayengrana dinilai sebagai perlambang manusia utama (Janma Utama) dalam wayang sasak. Ia adalah manusia yang selaras perkataan dan perbuatannya. Manusia yang mampu memenangkan banyak pertempuran dalam perjalanan hidupnya, terutama pertempuran melawan diri sendiri (baca: nafsu). Oleh sebab itu kendati Jayengrana merupakan seorang sultan atau raja (Sultan Kuparman Hamidil Alam), ia masih dapat tampil sederhana (tidak berlebihan) dalam segala hal, dan selalu mengutamakan kepentingan rakyatnya.

Tipologi kepemimpinan Jayengrana juga kerap dirujuk oleh sebagian penikmat Wayang Sasak sebagai tipe pemimpin yang paling ideal. Hingga pemberian legitimasi kepada Jayengrana ini, secara tidak langsung dapat berlaku sebagai koreksi atau kritik terhadap penguasa daerah, apabila sang penguasa bertindak dan berlaku menyimpang dari tugas kepemimpinan yang telah diamanatkan kepadanya.

Selain itu, pada wayang Jawa, panakawan merupakan pamomong bagi Pandawa atau Kurawa. Pamomong berarti pengasuh sekaligus pembimbing para kesatria, yang setia mendampingi mereka dari sejak kecil hingga dewasa. Contohnya seperti Semar, Petruk, Gareng dan Bagong di pihak Pandawa. Serta Togok di pihak Kurawa.

Pada Wayang Sasak, sosok panakawan, cenderung ‘agak’ sedikit berbeda. Panakawan dalam konteks Wayang Sasak adalah sahabat-sahabat terdekat Jayengrana (kira-kira usia mereka sebaya dengan Jayengrana), bukan pamomong atau pengasuh seperti dalam pewayangan Jawa. Mereka senantiasa mendampingi Jayengrana berjuang (berperang) untuk mengalahkan musuh-musuhnya.

Panakawan yang paling utama dalam Wayang Sasak adalah Umar Maya, Arya Maktal, Umar Madi, Saptanus, Taptanus dan Selandir (Alam Daur) di sisi Jayengrana, serta Pendeta Betaljemur di sisi Prabu Nusirwan. Tokoh-tokoh tersebut, boleh dibilang merupakan perlambang dari unsur-unsur terpenting yang melekat dalam diri seseorang, dan selalu menyertai perjalanan hidup manusia.

Umar Maya misalnya, putra dari Tembi Jumarim (seorang kelana dari India dan menetap di Makkah, setelah menikahi seorang putri dari Bani Hasyim) ini memiliki karakter cerdik, jenaka dan sangat kuat. Umar Maya boleh jadi merupakan unsur yang mewakili kecerdasan pikiran yang dapat menuntun manusia agar bisa mengatasi setiap persoalan dalam hidupnya dengan cara yang paling arif.

Kemudian ada Arya Maktal, merupakan tokoh Panakawan dalam Wayang Sasak yang digambarkan dengan sifat ketenangan dan memiliki wajah yang tampan (mirip dengan Jayengrana). Boleh jadi ia merupakan perlambang dari wibawa atau karisma manusia yang berjalan di atas kebenaran. Sebab, manusia sejati yang mampu menjernihkan pikirannya dan berjalan di atas kebenaran tidak perlu takut atau ragu dalam mengambil keputusan apapun.

Sementara Umar Madi adalah salah satu panakawan, yang digambarkan sebagai sosok yang berbadan besar, perut buncit dan memiliki sifat rakus dengan makanan. Kendati, ia dicitrakan negatif (sebagai perlambang hawa nafsu atau ambisi) akan tetapi nafsu tetap menjadi bagian inheren dari diri manusia. Nafsu atau ambisi manusia tidak boleh dimatikan, tetapi ia harus bisa dikendalikan dan diarahkan ke hal-hal yang positif. Dan upaya pengendalian nafsu (diri) manusia ini adalah seruan jihad paling besar, setidaknya dalam perspektif Islam.

Sama halnya dengan Selandir atau Alam Daur, tokoh Panakawan yang satu ini merupakan sosok yang digambarkan bertubuh besar, kuat dan gampang marah. Selandir boleh jadi merupakan prototipe manusia yang memiliki kekuatan besar dan gampang meluapkan emosinya atau amarahnya. Layaknya Umar Madi dengan sifat rakusnya, nafsu amarah juga mestinya dapat dikendalikan atau diolah menjadi semacam sikap tegas dalam mengambil setiap keputusan, berpendirian kuat dan jelas arah tujuan hidupnya.

Kemudian ada Saptanus dan Taptanus merupakan, kesatria kembar yang juga sangat setia kepada Jayengrana. Kesatria kembar ini boleh jadi merupakan simbol dari entitas yang saling berpasang-pasangan satu sama lain, dan simbol dari keharmonisan hidup.  Simbol atau representasi dari dwi-tunggal, kesatuan gerak hati dan pikiran manusia, kesatuan lahir dan batin manusia, serta simbol keselarasan perbuatan manusia dengan kehendak alam.

Sementara itu, dari pihak yang berseberangan (antagonis) terdapat tokoh bernama Prabu Nusirwan (mertua Jayengrana) yang digambarkan dengan sosok raja yang paling berkuasa namun tidak memiliki pendirian yang kuat sehingga mudah dipengaruhi oleh bisikan-bisikan yang menyesatkan.

Saya membayangkan bahwa Prabu Nusirwan ini adalah gambaran dari hati manusia. Hati, boleh dibilang merupakan simbol dari raja yang paling berpengaruh dalam “kerajaan diri”.

Seperti sebuah dalil yang menyebutkan bahwa “baik buruknya seseorang ditentukan oleh hati nuraninya atau kalbunya”. Oleh sebab itu ia selalu disertai oleh dua potensi, yakni energi baik dan energi jahat (perusak) di sampingnya.

Energi baik itu dalam Wayang Sasak disimbolkan dengan Pendeta Betaljemur, Pendeta Betaljemur selalu diidentikkan sebagai sosok penasehat raja yang arif dan bijaksana. Ia selalu berusaha menuntun Prabu Nusirwan ke jalan yang benar dengan nasehat-nasehatnya. Sedangkan Patih Bestak/Baktak mewakili sisi sebaliknya. Ia selalu memberi saran-saran yang menjerumuskan Prabu Nusirwan ke arah kesesatan, seperti hasutan-hasutan liciknya kepada Prabu untuk mencelakakan Jayengrana.

Sayangnya, dalam cerita Pewayangan Sasak, Prabu Nusirwan digambarkan sebagai raja yang lebih cenderung mengikuti bisikan-bisikan dari Patih Bestak ketimbang Pendeta Betaljemur. Sehingga perjalanan hidupnya selalu dirundung kesengsaraan yang berkepanjangan. Kendati demikian, dari kisah Prabu Nusirwan inilah kita bisa mengambil pelajaran, bahwa kesengsaraan hidup yang dialami manusia terkadang disebabkan oleh kecenderungan manusia itu sendiri, yang suka menuruti bisikan hati yang kurang baik.

Akhirnya, lebih dari sekedar interpretasi singkat mengenai tokoh-tokoh pewayangan, dalam pementasan Wayang Sasak, sekiranya, dari tulisan ini juga kita dapat memahami bahwa, masyarakat Sasak telah mampu mengolah sistem nilai dan falsafah hidup mereka melalui simbolisasi karakter tokoh-tokoh pewayangan. Sehingga kehadiran tokoh-tokoh tersebut, bukan hanya memperkaya cerita, tetapi juga menjadi ruang reflektif untuk menilai dan memahami diri mereka sendiri. Dengan demikian, pementasan Wayang Sasak, tidak hanya bermanfaat sebagai tontonan belaka, tetapi juga sebagai tuntunan batin. Simbol spiritualitas untuk menyelami makna kehidupan, sekaligus sarana untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Wallahua’alam!

Bahan Bacaan:

Maula, M. (2019). Islam Berkebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Kaliopak.

Mulyono, I. (1978). Wayang Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta: Gunung Agung .

Qodri, M. S. (2018). Konsep Kesempurnaan Tokoh Wong Menak dalam Wayang Sasak. Panggung, 317-330.

Wahid, A. (2021). Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan. Depok: Desantra.

Wijanarko. (1991). Selayang Pandang Wayang Menak. Solo: Amigo.

Sejak tahun 2021, tradisi malamang yang dipraktikkan oleh masyarakat Minangkabau, khususnya wilayah Padang Pariaman, Sumatra Barat telah diakui secara resmi sebagai warisan budaya tak benda Indonesia (WBTbI) dalam kategori adat istiadat masyarakat, ritus, dan perayaan-perayaan. Secara historis, tradisi malamang diyakini pertama kali diperkenalkan oleh Syekh Burhanuddin, seorang ulama sufi yang membawa Tarekat Syattariyah ke Sumatra Barat pada abad ke-17. 

Secara teknis, malamang adalah proses memasak beras ketan menggunakan media bambu (lamang) yang dibakar di atas bara api. Namun, nilai dan makna dari tradisi ini jauh melampaui aspek kuliner semata. Malamang merupakan representasi konkrit dari harmoni antara budaya lokal Minangkabau, ajaran Islam sufistik, dan semangat kebersamaan komunitas. Ia adalah sebuah ritus sosial-keagamaan yang menggabungkan aspek spiritualitas, kolektivitas, dan identitas lokal dalam satu ruang ekspresi budaya yang hidup.

Hingga kini, malamang masih dilestarikan, terutama dalam komunitas tarekat Syattariyah Pariaman. Tradisi ini acap kali hadir dalam momen-momen religius seperti maulid nabi, peringatan haul Syekh Burhanuddin, upacara kematian, dan pada bulan-bulan khusus dalam kalender hijriah lokal seperti Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, dan Sya’ban. Bahkan bulan-bulan tersebut mendapat sebutan baru kalangan masyarakat, yaitu sebagai “bulan lamang”.

Penting untuk dicatat bahwa dalam masyarakat Minangkabau, adat dan agama tidak dipandang sebagai dua entitas yang bertentangan, melainkan saling berkelindan dalam semangat adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Melalui kerangka ini, persiapan malamang bukan semata tradisi adat, tetapi juga bagian dari ekspresi religiusitas yang khas.

Ritus Komunal

Dalam karyanya The Ritual Process (1969), Victor Turner menegaskan bahwa ritual adalah mekanisme sosial dan kultural yang berfungsi sebagai sarana transformasi, bukan hanya ekspresi budaya yang bersifat repetitif. Menurutnya, ritual terdiri dari tiga tahap utama: separation (pemisahan), liminality (ambang transisi), dan reaggregation (penggabungan kembali). Selain itu, konsep communitas, yakni perasaan persaudaraan mendalam yang muncul ketika struktur sosial formal dilepaskan dalam suatu ruang ritual, juga menjadi sentral dalam analisis Turner.

Tahap pertama dari proses ritual menurut Victor Turner adalah separation, yaitu pemisahan ritus dari dunia sehari-hari atau profan sebagai syarat untuk memasuki wilayah sakral. Dalam konteks tradisi malamang, tahap ini diwujudkan melalui serangkaian kegiatan persiapan yang tak hanya bersifat teknis, tetapi juga mengandung makna simbolik dan sosial. Aktivitas seperti memotong dan membersihkan batang bambu, mencuci beras ketan, memarut kelapa, serta mengumpulkan dan menyusun kayu bakar dilakukan secara kolektif oleh seluruh anggota komunitas, baik laki-laki, perempuan, orang tua, pemuda, bahkan anak-anak, dalam sebuah mekanisme gotong royong yang mencerminkan nilai egalitarian dalam masyarakat Minangkabau.

Tempat berlangsungnya kegiatan persiapan ini juga sarat makna. Surau, rumah gadang, atau halaman rumah yang dipilih secara kolektif menjadi titik awal transformasi ruang sosial. Surau tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga menjadi pusat pendidikan, spiritualitas, dan budaya dalam masyarakat Minangkabau. Ketika persiapan malamang dilakukan di surau, ini menandakan bahwa kegiatan tersebut telah masuk dalam wilayah yang bukan semata-mata domestik, tetapi sudah memasuki ruang transenden yang diatur oleh norma dan nilai agama. Dalam istilah Emile Durkheim (1995), terjadi sacralization of space, yakni perubahan status ruang menjadi sakral karena fungsinya dalam aktivitas kolektif yang bermuatan spiritual.

Rangkaian kegiatan ini juga memiliki dimensi ritualisasi, sebagaimana dijelaskan oleh Catherine Bell (1997), yaitu proses di mana tindakan-tindakan biasa disusun dan ditata secara khusus untuk menghasilkan pengalaman simbolik yang berbeda dari aktivitas harian. Menurut Bell, ritualisasi bukan hanya tentang apa yang dilakukan, tetapi juga bagaimana dan di mana sesuatu dilakukan. Dalam hal ini, kegiatan seperti mencuci beras atau memotong bambu bukan hanya kegiatan praktis, melainkan tindakan yang sarat intensi simbolik, yakni mempersiapkan diri secara spiritual dan sosial untuk memasuki dunia sakral yang lebih tinggi.

Lebih lanjut, proses ini juga dapat dipahami sebagai bentuk penyucian kolektif (collective purification). Melalui keterlibatan aktif semua pihak, terjadi semacam disolusi sementara terhadap struktur sosial formal. Mereka yang dalam keseharian mungkin terpisah oleh status ekonomi, usia, atau pendidikan, kini menyatu dalam kegiatan yang sama dengan tujuan yang sama: mempersiapkan ritus keagamaan dan budaya. Hal ini sejalan dengan gagasan Turner bahwa tahap separation mengawali momen peralihan menuju status atau kondisi baru, baik secara individu maupun kolektif. Dalam konteks ini, komunitas tidak hanya bersiap memasak lamang, tetapi juga sedang membentuk ulang dirinya melalui interaksi sosial yang berakar pada nilai kebersamaan dan spiritualitas.

Dari sisi spiritualitas Islam lokal, terutama yang dipengaruhi oleh Tarekat Syattariyah, kegiatan ini juga mencerminkan kesiapan batin untuk menyambut momen-momen sakral seperti peringatan Maulid Nabi atau haul ulama. Dalam ajaran tasawuf, kesiapan batin (taharah qalb) seringkali dimulai dari kesiapan lahir, yakni membersihkan tubuh, pakaian, dan lingkungan. Oleh karena itu, proses mencuci beras dan membersihkan bambu juga dapat dibaca sebagai bentuk simbolik dari pembersihan diri, baik secara fisik maupun spiritual, sebelum memasuki fase liminality dalam ritual.

Tahap kedua, liminality, adalah momen inti dari pengalaman ritual. Pada tahap ini, aktivitas Tahap liminality merupakan inti dari seluruh proses ritual menurut Victor Turner. Ia menandai kondisi ambang, di mana individu atau kelompok berada di luar struktur sosial formal, dalam keadaan “tidak di sini dan tidak di sana”, yakni di antara keadaan lama yang ditinggalkan (profane) dan keadaan baru yang belum sepenuhnya dicapai (sacred). Dalam konteks malamang, liminality terjadi ketika proses memasak lamang sedang berlangsung. Inilah momen ketika dimensi simbolik, sosial, dan spiritual berpadu secara konkrit dalam tindakan kolektif yang intens.

Aktivitas memasak lamang bukan sekadar proses teknis memasukkan beras ketan bercampur santan ke dalam bambu dan membakarnya di atas bara. Ia adalah titik kulminasi dari transformasi sosial. Pada tahap ini, seluruh elemen masyarakat terlibat aktif dalam peran-peran yang tidak terikat oleh hirarki atau status sosial formal. Anak-anak membantu mengangkut kayu dan air, para pemuda menjaga api dan mengatur posisi bambu, sementara para ibu dan nenek menyiapkan bahan serta memberikan arahan, dan para lelaki dewasa memastikan nyala api stabil dan aman. Tidak ada pembagian kerja yang ketat berdasarkan kelas, usia, maupun gender. Semua orang berpartisipasi dalam suatu ruang kolaboratif yang cair, setara, dan terbuka.

Inilah yang oleh Turner disebut sebagai communitas: suatu bentuk kohesi sosial yang bersifat spontan, egaliter, dan tidak terstruktur secara hierarkis. Communitas muncul bukan karena norma formal atau sistem sosial yang mapan, melainkan dari pengalaman bersama yang mendalam dan transformatif.

Dalam suasana ini, masyarakat berada bersama dalam arti yang paling esensial yang tidak sekadar berdampingan secara fisik, tetapi juga menyatu dalam tujuan, kerja, dan nilai. Kesetaraan ini bukanlah kesetaraan simbolik semata, melainkan diwujudkan secara praktis dalam tindakan-tindakan kolektif yang penuh makna.

Ruang liminal dalam malamang juga merupakan arena di mana nilai-nilai spiritual dan budaya diwariskan secara hidup. Tradisi ini bukan hanya soal menghasilkan makanan khas, tetapi juga sarana pembelajaran intergenerasional. Anak-anak dan generasi muda tidak hanya menyaksikan, tetapi turut mengalami secara langsung bagaimana nilai gotong royong, kesabaran, ketelitian, dan kesucian niat diterapkan. Mereka belajar dari orang tua dan tokoh masyarakat bukan melalui kuliah atau ceramah, tetapi dari kebersamaan dalam kerja yang menyatu dengan makna sakral. Dengan demikian, tradisi ini berfungsi sebagai institusi pendidikan nonformal yang sangat kuat dalam mentransmisikan etika, spiritualitas, dan identitas budaya.

Momen liminal juga memungkinkan terjadinya refleksi kolektif. Saat menunggu lamang matang, seringkali terjadi percakapan santai di antara para peserta. Namun, percakapan ini seringkali membawa nilai-nilai moral, kisah-kisah leluhur, dan pengalaman spiritual. Dalam kerangka sufisme lokal, khususnya tradisi Tarekat Syattariyah yang mewarnai praktik malamang, di mana kegiatan ini tidak lepas dari penghayatan terhadap waktu sebagai momen spiritual (waqt), di mana setiap detik mengandung peluang untuk dzikrullah dan refleksi batin. Bahkan ada komunitas yang mengiringi kegiatan ini dengan bacaan shalawat, zikir bersama, atau pengajian singkat sambil menjaga api tetap menyala. Ini menunjukkan bahwa malamang bukan semata kerja fisik, melainkan bentuk amal ibadah kolektif yang menyatukan dunia jasmani dan rohani.

Dalam pandangan antropologi simbolik, momen liminality dalam tradisi malamang juga memperlihatkan multivokalitas simbolik. Lambang seperti api, bambu, dan ketan tidak hanya bermakna material, tetapi sarat dengan tafsir spiritual dan kultural. Api bisa dimaknai sebagai semangat dan purifikasi, bambu sebagai simbol keteguhan dan kesabaran, dan ketan sebagai lambang keterikatan serta kebersamaan (karena sifatnya yang lengket dan menyatu). Ketiganya bersatu dalam proses memasak lamang sebagai representasi dari perjuangan spiritual dan sosial masyarakat untuk menjaga kesinambungan tradisi dan iman mereka.

Tak kalah penting, liminality dalam malamang membuka ruang rekonstruksi identitas kolektif. Identitas yang dibangun di sini bukan identitas eksklusif berbasis primordialisme, melainkan identitas inklusif yang menekankan peran aktif individu dalam proses sosial-keagamaan. Seseorang dianggap bagian dari komunitas bukan karena garis keturunan atau status sosial, tetapi karena keterlibatan dan kontribusinya dalam praktik budaya dan spiritual. Dalam dunia yang makin terdiferensiasi dan terfragmentasi oleh individualisme modern, malamang menawarkan alternatif model identitas yang partisipatif, kontekstual, dan berakar pada pengalaman bersama.

Tahap ketiga dalam kerangka ritual menurut Victor Turner adalah reaggregation, atau reintegrasi, yaitu fase di mana individu atau kelompok yang telah melalui pengalaman transformatif dalam ruang liminal kembali masuk ke dalam struktur sosial, tetapi dengan identitas dan nilai-nilai yang diperbarui. Dalam konteks tradisi malamang, fase ini dimulai ketika lamang yang telah matang diangkat dari bara api, didinginkan sebentar, dan baru kemudian dibagikan kepada masyarakat, baik kepada keluarga, tetangga, jamaah tarekat Syattariyah, hingga tamu-tamu yang hadir.

Makna Simbolik

Pembagian lamang ini memiliki makna simbolik yang dalam. Secara kasatmata, ia mungkin tampak hanya sebagai bentuk kedermawanan atau sedekah (sadaqah). Namun dalam bingkai ritual dan kultural, tindakan ini merepresentasikan proses ritual re-entry sebagaimana dijelaskan oleh Ronald Grimes (2014), yakni kembalinya individu ke dalam tatanan sosial dengan membawa pengalaman spiritual, emosional, dan sosial yang baru. Proses ini bukan hanya menandai berakhirnya ritus, tetapi lebih penting lagi, menegaskan peran individu sebagai bagian integral dari komunitas yang kini telah diperkuat melalui pengalaman kebersamaan yang intens.

Lamang yang dibagikan bukan sekadar makanan, melainkan simbol dari nilai-nilai yang telah diperkuat selama proses ritual: kebersamaan, ketulusan, pengabdian, serta kesalehan kolektif. Dalam setiap potong lamang terkandung makna hasil kerja sama, pengorbanan waktu dan tenaga, serta doa-doa yang terpanjat selama proses pembuatannya. Dengan menerima lamang, setiap anggota komunitas menjadi bagian dari lingkaran makna tersebut. Inilah yang memperkuat kohesi sosial dan memperbarui solidaritas kultural.

Lebih jauh lagi, pembagian lamang juga mengandung makna redistribusi sosial yang inklusif. Dalam masyarakat Minangkabau, di mana prinsip gotong royong dan musyawarah sangat dijunjung tinggi, malamang berfungsi sebagai medium aktualisasi nilai-nilai adat tersebut. Tidak ada yang dipinggirkan dalam proses ini. Bahkan masyarakat yang tidak terlibat langsung pun tetap mendapatkan bagian, sebagai wujud dari prinsip inklusivitas budaya dan spiritual. Ini mencerminkan semangat “berbagi berkah” yang tidak terbatas pada garis keterlibatan praktis, tetapi berbasis pada nilai kesamaan derajat sebagai sesama insan dalam satu komunitas.

Dalam konteks tarekat Syattariyah, yang menjadi akar spiritual dari praktik malamang, reaggregation juga menandai integrasi kembali individu dalam jalan spiritual (thariqah) dengan membawa semangat tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) yang lebih tinggi.

Lamang yang dibagikan bukan hanya makanan jasmani, tetapi juga simbol keberhasilan dalam menjaga adab, kesabaran, dan keikhlasan selama proses bersama. Dengan demikian, reaggregation juga menjadi bentuk afirmasi bahwa nilai-nilai sufistik telah diinternalisasi dalam bentuk praktik sosial.

Tahap reaggregation juga berfungsi sebagai momen reproduksi budaya. Melalui tindakan pembagian lamang, nilai-nilai budaya dan spiritual diwariskan dari generasi ke generasi. Anak-anak yang melihat proses ini secara langsung belajar bahwa dalam komunitas mereka, kehidupan bukan tentang mengambil, tetapi tentang memberi; bukan tentang prestise, tetapi tentang partisipasi; bukan tentang individualisme, tetapi tentang keterikatan sosial dan spiritual. Dengan kata lain, malamang dalam tahap ini memainkan peran pedagogis yang kuat dalam membentuk karakter kolektif dan etika sosial komunitas.

Di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang seringkali mendorong disintegrasi nilai-nilai tradisional, malamang tampil sebagai bentuk resistensi budaya yang cerdas. Ia tidak menolak modernitas secara membabi buta, tetapi menawarkan model alternatif bagi kehidupan sosial, yakni model yang berbasis pada spiritualitas, kebersamaan, dan kesadaran historis. Reaggregation dalam hal ini bukan hanya reintegrasi sosial biasa, melainkan juga pembaruan makna dalam struktur sosial yang sedang terus berubah. Tradisi ini menjadi ruang di mana identitas kolektif Minangkabau-Islami dipertegas ulang dengan cara yang hidup dan dinamis.

Tak kalah penting, pembagian lamang juga menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini. Ia menghubungkan nilai-nilai yang diwariskan oleh ulama-ulama terdahulu seperti Syekh Burhanuddin dengan kebutuhan sosial masa kini. Oleh karena itu, tradisi ini tidak hanya mempertahankan warisan, tetapi juga memodernisasinya secara kontekstual. Dalam istilah Turner, reaggregation bukan hanya mengembalikan individu ke struktur lama, tetapi memasukkannya ke dalam struktur baru yang lebih kaya secara pengalaman dan makna.

Di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang seringkali membawa homogenisasi budaya, malamang berfungsi sebagai benteng ketahanan budaya dan spiritual. Ia menghidupkan kembali kesadaran akan pentingnya akar budaya dan spiritualitas lokal sebagai fondasi identitas kolektif. Selain itu, malamang juga menunjukkan bahwa Islam di Nusantara, khususnya di Minangkabau, tumbuh dalam semangat inklusivitas dan kearifan lokal yang tinggi.Praktik seperti ini perlu didokumentasikan, diteliti, dan difasilitasi agar tetap lestari. Pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan komunitas adat memiliki tanggung jawab besar untuk merawat tradisi ini bukan sebagai warisan mati, tetapi sebagai “warisan hidup” yang terus bertransformasi dan relevan dalam konteks zaman. Penelitian lintas disiplin yang menggabungkan antropologi, studi agama, sosiologi budaya, dan pendidikan Islam juga sangat penting untuk menggali lebih dalam potensi transformatif dari tradisi seperti malamang.

Dengan demikian, dalam hemat penulis tradisi malamang bukan sekadar ritual memasak atau warisan kuliner tradisional. Ia adalah bentuk ritus transformatif yang menjembatani masa lalu dan masa kini, individu dan komunitas, dunia profan dan sakral. Dalam kerangka Victor Turner, malamang mencerminkan esensi dari ritual yang tidak hanya memperingati, tetapi juga menghidupkan nilai-nilai spiritual, sosial, dan budaya secara kolektif. Tradisi ini adalah bukti nyata bahwa di balik aktivitas yang tampak sederhana, tersimpan kekuatan besar dalam membentuk kohesi sosial, menginternalisasi nilai-nilai agama, dan melestarikan identitas budaya secara berkelanjutan.

            Lima tahun lalu, saya mendapati buku ini dari pemberian seorang teman setibanya di Bandung. Buku ini merupakan sebuah disertasi antropologi sejarah yang diterbitkan oleh Ecole Francaise d’Extreme-Orient dengan judul asli “Corps de bois, souffle humain: Le theatre de marionettes wayang golek de Java Ouest” karya Sarah Anais Andrieu. Penerbit KPG kemudian menerjemahkan dan menerbitkan buku ini dengan judul “Raga Kayu, Jiwa Manusia: Wayang Golek Sunda”. Buku yang terbilang cukup aktual dan komperhensif untuk ukuran studi kontemporer yang tersedia dengan lokus penelitian spasial Bandung, sekaligus bisa merangkum cakupan besar subjek kebudayaannya sebagai suatu kewilayahan masyarakat Sunda di Jawa Barat.

            Studi dalam buku ini karena tergolong ke dalam etnografi partisipatif yang bersifat langsung dan spasial, maka menjadi berbeda dengan studi antropologi sejarah yang dilakukan oleh Ronit Ricci “Islam Translated” yang lebih pada pengembangan dari teks atau kisah. Kendati demikian, saya menilai keduanya memiliki kesamaan, yaitu bersumber dari khazanah hikayat Islam Asia Tenggara. Dalam buku Islam Translated subjek penelitian berpusat pada kisah seorang yahudi bernama Abdullah bin Salam yang bertanya kepada Nabi, kemudian pertanyaan-pertanyaan itu terangkum dan menjadi hikayat dalam buku seribu pertanyaan. Sementara wayang golek bersumber dari hikayat Amir Hamzah (paman Nabi), kedua hikayat ini kemudian menjadi sebuah semacam epos dalam proses transformasi budaya dan Islamisasi di abad pertengahan Asia Tenggara.

            Sebagai generasi yang terlahir di tahun menjelang 2000-an di wilayah Jawa Barat, mungkin hampir semua anak sudah tidak mengalami persentuhan dengan wayang golek. Jika pun mengalami, yaitu lakon Si Cepot yang hadir di televisi sebagai penanda masuknya bulan Ramadhan.

Si Cepot muncul bak juru dakwah yang kelewat serius dengan lagaknya yang terlihat lucu dan polos

            Hal tersebut menjadi sebuah fenomena baru di saat wayang sudah ditinggalkan, namun bisa bertahan dalam medium baru bernama televisi. Meski bila kita telisik dari dua bab dalam buku yang telah diteliti oleh Sarah Anais Andrieu ini, munculnya wayang di televisi dinilai sebagai kapitalisasi wayang; wayang diletakan sebatas produk dalam industri hiburan dan penonton sebagai konsumen pendulang kapital. Di saat bersamaan, kita bisa melihat di tahun-tahun itu terjadi krisis politik (Reformasi) yang membuat wayang dihadapkan pada geger budaya atas eksistensi dirinya. Setelah di masa sebelumnya (Orde Baru), wayang dihadapkan pada propaganda politik, standarisasi, problematika identitas kelokalan serta pembentukan budaya nasional. Terlepas dari itu, sang dalang Asep Sunandar mungkin tidak memiliki pilihan lain dalam mengenalkan wayang pada khalayak yang lebih luas melalui televisi.

            Sampai di tahap ini, saya pribadi bisa menilai mengapa sang dalang Asep Sunandar membuat lakon Si Cepot dengan wajah berwarna merah; boleh dikata hal itu merupakan simbol kemarahan pada situasi zaman yang dihadapi, bisa juga diartikan sebagai kesakitan eksistensial, atau boleh jadi di masa krisis (Reformasi) itu Si Cepot justru mengalami pencerahan (terlahir kembali) layaknya bayi yang berwarna merah di sekujur tubuhnya. Namun dalam tulisan ini saya tidak hendak membahas perkara itu. Saya lebih tertarik bagaimana wayang golek yang merupakan warisan para penyebar Islam (Walisanga) bisa sampai dan digunakan di Jawa Barat, juga bagaimana para dalang (khususnya Asep Sunandar yang kebetulan menjadi subjek dalam penelitian buku) mengartikulasikan ulang wayang dalam upaya visi awalnya untuk menerjemahkan Islam dalam konteks kiwari.

            Hampir semua peneliti dan praktisi wayang memiliki kesimpulan bahwa wayang merupakan salah satu peninggalan kreasi seni paling agung yang diwarisi bangsa Indonesia. Beberapa peneliti menilai awal kemunculan wayang digunakan pada periode Hindu dan sumber-sumber pembentuk ceritanya adalah epos Mahabrata dan Ramayana. Di samping itu, banyak pula ahli dan peneliti lain yang berpandangan bahwa wayang dalam bentuk, lakon-lakon, dan kisahnya yang diterima hari ini merupakan warisan Islam di masa Wali Sembilan (Walisanga). Sunan Kalijaga yang dikenal sebagai dai (pendakwah) di masa formatur awal Islam, menggunakan kulit hewan (wayang kulit) sebagai medium penerjemahan dan penyebaran agama. Sementara itu, Sunan Giri dan Sunan Kudus dianggap yang memulai reformasi dan reorganisasi wayang di masa setelahnya yang lebih beragam.

Bagi Sarah Anais Andrieu dalam buku ini, Sunan Giri selain menciptakan wayang gedog pada tahun 1553 yang menampilkan kisah-kisah mengenai Pangeran Panji yang legendaris mencari cinta sejati, juga dianggap sebagai penemu wayang golek yang kemudian dikenal dan digunakan di Jawa Barat kini.

            Tambahnya, wayang golek pada mulanya digunakan sebagai pendukung cerita Amir Hamzah (paman Nabi) yang mendefinisikan secara bersamaan repertoar wayang menak (di daerah Kudus) dan wayang cepak/papak (di daerah Cirebon). Sementara dalam wawancaranya kepada sang dalang Asep Sunandar, beranggapan bahwa “wayang golek tidak lebih dari sekadar modernisasi dari wayang kulit, berbentuk tiga dimensi: bertujuan lebih mendekatkan wayang pada masyarakat; yang analogi antar tokoh serta orangnya harus dipermudah, dan supaya masyarakat tetap mencintai wayang”. (Lihat hlm 50-53).

            Bagi saya pribadi, wayang golek yang terbuat dari kayu menjadi ciri khusus seiring berjalannya proses islamisasi di Jawa. Hal tersebut berdasar pada keterangan Denys Lombard dan M.C Ricklefs, yang berpendapat bahwa kedatangan Islam secara nyata menyebabkan terhentinya kegiatan pembangunan arsitektural tertentu (batu) yang lama diwariskan dan beralih menjadi kayu. Begitu memasuki fase Islam, penggunaan kayu langsung dijadikan bahan utama pembangunan masjid Demak sebagai tempat berundingnya para wali sembilan (Walisanga). Masjid ini sekaligus melegitimasi diri sebagai otoritas religius dan kerajaan Islam pertama di Jawa.

            Hingga dalam perkembangan selanjutnya, penggunaan kayu menjadi penanda umum bangunan Kesultanan Islam di semua kepulauan Nusantara. Seiring terjadinya proses islamisasi dengan perkembangan kota-kota bandar (kosmopolit) di semua kepulauan itu, Sarah Anais Andrieu dalam buku ini menyebut Banten dan Cirebon yang terletak pulau Jawa bagian Barat memiliki dukungan dari Demak. Karenanya, pada masa itu para bangsawan Sunda sering bepergian secara teratur untuk menyempurnakan pengetahuan mereka (Lihat hlm, 47-50).

 Sunda-Jawa: Antara Pengaruh dan Dominasi

            Tome Pieres dalam catatannya “Summa Oriental” menyebut, di pulau Jawa ia melihat dua kerajaan Hindu besar seperti meriam kembar, yaitu Padjajaran dan Majapahit. Di periode sebelumnya, dalam catatan-catatan sejarah, kerajaan Hindu pertama berawal di Jawa bagian Barat, yaitu Tarumanegara (abad ke-4 hingga ke-7) hingga berkembang dan mencapai masa keemasannya di Jawa bagian Timur yaitu Majapahit, lalu di penghujung keruntuhan dan peralihannya, Islam bersemai di Jawa bagian Tengah yaitu di Demak. Di fase peralihan dan formatur Islam paling awal ini, saya pribadi hampir tidak menemukan term atau pembeda diri antara Jawa dan Sunda, karena pasca runtuhnya Padjajaran, tidak ada kekuasaan politik dan otoritas religius yang menggantikannya, hal serupa mungkin juga terjadi pada Jawa bagian Timur pasca runtuhnya Majapahit. Sehingga mungkin saja, tapal batas etnisitas dalam pengertian barunya (dari pemerintah Hindia Belanda) yang muncul setelahnya tidak penting lagi, karena yang amat krusial saat itu adalah peralihan menuju Islam.

            Demak sebagaimana tinjauan yang dilakukan oleh De Graaf dan Pigeaud, menjadi kerajaan dan otoritas religius Islam pertama dalam mengisi kekosongan itu. Sebagaimana telah diuraikan di alinea sebelumnya, kita melihat para pembesar atau kaum menak Sunda pada saat itu sering bepergian ke Demak secara teratur untuk menyempurnakan pengetahuan (Islam) mereka. Sebuah potret serupa dilakukan para cendikia Islam di kepulauan Nusantara yang singgah dalam waktu lama di Malaka (sebelum berangkat ke Mekah), setelah menyempurnakan pengetahuan Islamnya di Mekah, para cendikia Islam ini kemudian menghimpun diri dalam jejaring ulama al-Jawi.

            Namun bila dalam perkembangan selanjutnya terjadi pengikisan akibat dari situasi politik kolonial dan Mataram Islam, maka itu benar dan menjadi kompleks; politik kolonial menciptakan narasi sejarah perang bubat yang sangat politis, dan Sultan Agung (1620) menyatukan Sunda bagian timur (Sumedang Larang) sebagai wilayah taklukan Mataram Islam. Dengan demikian, Zanten W. Van dalam kajian etnomusikologi gaya Cianjuran, menyebut Priangan menjadi nama kelompok daerah-daerah administratif di bawah pemerintahan Mataram Islam. Lebih lanjut ia menemukan, di bawah dominasi ini bupati-bupati lokal daerah Priangan hanya memperoleh status rendah dan harus memberikan kepada pemerintah pusat sejumlah produk daerah dengan jumlah yang sangat besar, serta melayani sendiri sang Sultan, terutama saat perayaan acara Maulid Nabi Muhammad SAW.

Pada masa dominasi ini pula, satu set gamelan salendro/pelog diimpor dari Mataram (Jawa Tengah) ke Priangan. Zanten W. Van hanya menyebut Banten sebagai pengecualian, yang di saat itu berstatus merdeka dari dominasi Mataram Islam.

            Dalam proses peralihan masyarakat Sunda pada Islam, studi-studi kontemprer yang tersedia sebagai bahan tinjauan sangat terbatas (karena sejak awal memang sudah sangat terbatas), lebih banyak studi yang menjadi kelanjutan dari studi-studi para sarjana kolonial di periode pertama, dan lebih berpusat pada studi di Jawa dalam pengertiannya hari ini sebagai hasil peninggalan Mataram Islam. Sehingga term Jawa yang kemudian dipahami, menjadi oposisi biner dari Sunda, dan yang lainnya. Pembedaan Jawa-Sunda selanjutnya sangat mungkin diciptakan oleh pemerintah kolonial, di samping karena ekspansinya dengan melakukan politik adu domba (devide et impera), ditambah kecenderungan para ilmuwan kolonial yang selalu mengembalikan tanah jajahan pada masa Hindu (Padjajaran-Majapahit) sebagai fondasi masa lalunya (foundational past), padahal keduanya sudah runtuh dan tidak ada.

            Di saat yang sama Islam sedang bergerak menjadi kekuatan transformasi dan fondasi baru, namun hal tersebut dinilai dapat mengancam kuasa kolonial yang mulai mapan, sehingga pemerintah kolonial berkepentingan untuk meredam kekuatan baru (Islam) itu dengan melakukan segregasi politik. Di kemudian hari, politik segregasi ini mampu memecah kekuatan politik Islam yang pada masa itu bermuara di Demak, menjadi kepingan kerajaan-kerajaan kecil di sepanjang pantai utara Jawa, termasuk dengan berdirinya kerajaan Banten dan Cirebon di Jawa bagian Barat.

Wayang Golek dan Penerjemahan Islam

            Sunan Kalijaga merupakan satu di antara sembilan wali (Walisanga) dan dikenal yang menggubah wayang dengan bentuk barunya (wayang kulit) hari ini. Sunan Kalijaga pula yang membawa wayang kulit tersebut dalam proses penyebaran Islamnya sampai di Cirebon. Sedangkan Cirebon, sebagaimana kita tahu merupakan wilayah kesultanan yang didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Dari situ kita bisa melihat perbedaan jalan yang dilalui oleh kedua wali di antara wali sembilan (Walisanga) tersebut. Jalan dakwah (kebudayaan) Sunan Kalijaga berbeda dengan Sunan Gunung Jati yang jalan dakwahnya di wilayah pendidikan dan politik. Hingga kemudian setelah wayang kulit itu sampai dan diterima oleh masyarakat Cirebon, wayang kulit kemudian mengalami perkembangan.

            Kembali ke uraian di awal alinea, Sarah Anais Andrieu berpendapat bahwa Sunan Giri merupakan penemu wayang golek, meskipun bila ditelusuri lebih lanjut dapat memunculkan perdebatan; karena ada yang menyebut penemunya adalah Sunan Kudus. Hal ini berdasar karena repertoar wayang menak dalam cerita Amir Hamzah (paman Nabi) ditampilkan di Kudus. Perdebatan tersebut bagi saya malah semakin mempertegas hipotesa sebelumnya bahwa tapal batas Jawa-Sunda di periode Islam awal itu tidak ada; bila dikata Sunan Giri sebagai penemu, sebagaimana kita tahu Sunan Giri berasal dari Blambangan dan menyebarkan Islamnya dikemudian hari di daerah Giri, Gresik, Jawa Timur. Begitu pula jika penemu wayang golek itu adalah Sunan Kudus, ia juga berada dan kini menjadi wilayah yang berada di ujung Jawa Tengah. Terlepas dari itu semua, wayang golek kemudian sampai dan populer di Jawa Barat.

            Dengan populer dan bertahannya wayang golek di masyarakat Sunda, seiring dengan beralih dan transformasinya pada Islam, memperlihatkan bahwa wayang golek berhasil menjadi media kreatif dalam visi awalnya untuk menerjemahkan Islam di wilayah Sunda. Islam dalam keterangan al-Qur’an adalah rahmat bagi alam semesta, ia melingkupi semua batas-batas identitas yang terangkum oleh kebudayaannya yang berbeda-beda. Bersamaan dengan itu, Islam (al-Qur’an) di peruntukan untuk manusia. Dengan demikian, ia perlu diterjemahkan dalam bahasa dan rangkum kebudayaan yang berbeda-beda itu untuk bisa dimengerti. Sehingga, kalam-kalam langit al-Qur’an (Islam) bisa hadir di bumi dan aktual dalam kehidupan manusia. Maka hanya para utusan (Walisanga), sebagai pewaris ilmunya para Nabi, yang kemudian diberi kemampuan untuk menerjemahkan Islam ke dalam kebudayaan masyarakatnya secara utuh.

Di masyarakat Sunda kiwari, para pendakwah (dai) seperti halnya sang dalang Asep Sunandar dengan ikonnya Si Cepot yang telah disebut di awal, merupakan upaya yang sebelumnya telah berjalan dan turut ia warisi dari wali sembilan (Walisanga), yaitu menerjemahkan Islam untuk ia hadir dan dapat dimengerti di setiap zaman.

            Si Cepot bisa populer karena ia mampu merepresentasikan rangkum kebudayaan manusia Sunda yang bisa kita saksikan memang seperti itu. Sepintas ia mirip Si Kabayan yang abai terhadap zaman, namun dalam banyak hal ucapan-ucapan yang terlihat spontan memiliki kedalaman. Gaya dan nada bicaranya seperti para dai (mubalig) pada umumnya. Namun yang membedakan, Si Cepot menyampaikan pesan agama tidak dengan doktrin yang didaktis, namun dengan kisah-kisah para Nabi dan cerita masa lalu manusia suci (para wali) yang memunculkan metafor-metafor baru. Jika para dai (mubalig) pada umumnya berceramah dengan ciri umum apa yang disebut mauidzoh khasanah (pesan-pesan yang baik), namun dai Si Cepot berceramah dengan kisah (hikmah). Dan kisah (hikmah) ini kemudian yang menjadi ciri umum dalam dunia pewayangan.

            Kisah-kisah (hikmah) itu seringkali sulit dimengerti, untuk mencernanya ia lebih dekat pada mitos ketimbang akal budi. Namun dengan begitu, seiring larutnya malam dalam pertunjukan wayang, kisah (hikmah) tersebut justru mampu membuat khalayak penonton ikut larut dalam permenungan. Selain itu, penyampaian hikmah (kisah) tersebut tidak dalam pengutaraannya secara langsung, namun dengan bodor dan cawokah (humor) yang dinilai lebih sesuai dengan ciri kebudayaan masyarakatnya. Mungkin memang dengan begitu, pesan dari kisah (hikmah) bisa sampai seiring dengan tujuan diciptakannya wayang, yaitu selain sebagai tontonan juga sebagai tuntunan.

(Sebuah Tanggapan untuk P Dr Alexander Jebadu, SVD)

“MEREKA datang dengan Alkitab dan agama mereka. Mereka merampas tanah kami dan menghancurkan semangat kami, dan sekarang mereka mengatakan kepada kami bahwa kami harus bersyukur kepada ‘Tuhan’ karena telah diselamatkan.”

            Kata-kata terkenal Chief Pontiac (1714-1769) tentang kemunafikan para penjajah Eropa yang membawa agama Kristiani ke benua Amerika sembari mengambil tanah dan mengeksploitasi penduduk asli itu kiranya cukup relevan pada hari-hari ini ketika Gereja Katolik Keuskupan Maumere dan Provinsi SVD (Societas Verbi Domini/ Serikat Sabda Allah)—kongregasi imam terbesar di Flores—melalui PT Kristus Raja Semesta Alam Maumere (PT Krisrama) menggusur rumah umatnya yang disebut penyerobot tanah negara yang telah mereka kantongi HGU (Hak Guna Usaha)-nya. 

            Alhasil kecaman pun datang dari berbagai penjuru Tanah Air, tumpah ruah di media sosial. Gereja Katolik, utamanya Keuskupan Maumere, beserta para imam Katolik yang hadir di lapangan selama penggusuran dinilai arogan, sewenang-wenang, tidak manusiawi, dan bertindak brutal. Pemberitaan tentang penggusuran itu terus meluas di berbagai media massa, lokal maupun nasional, dalam maupun luar negeri.

Dan seperti yang telah bisa diduga, kemudian bermunculanlah sederet pembelaan diri, terutama oleh para imam, yang intinya adalah membangun narasi bahwa umat yang digusur tersebut justru merupakan para perampas tanah (land grabber).

             Namun yang paling membuat orang-orang kaget adalah opini Pater Dr Alexander Jebadu, SVD berjudul “Uskup Maumere Tidak Rampas Tanah Umatnya (Tanggapan Berita Miring dari UCA News)” yang dipublikasikan di Media Indonesia (12/02/2025). Bagaimana tidak, dalam tulisannya itu Pater Jebadu bukan hanya sekadar menegaskan betapa sahnya sertifikat HGU yang dimiliki oleh PT Krisrama sehingga tak bisa diganggu gugat, tetapi juga menyampaikan pemikirannya yang sangat orientalis, paternalistik, dan cenderung rasis dalam upayanya menjelaskan sejarah Tanah Nangahale secara berpanjang-lebar setelah sebelumnya dengan arogan melemparkan pertanyaan yang lebih mirip tantangan kepada publik:

Tanah Nangahale yang dikisruhkan ini adalah tanah HGU. Nah, apa itu tanah HGU? Mengapa tanah ini disebut tanah HGU? Mengapa tanah ini menjadi tanah HGU? Bagaimana prosesnya dan apa konteks sejarah Indonesia sampai tanah ini menjadi tanah HGU? Siapa pemilik tanah yang disebut tanah HGU menurut hukum di Indonesia?

Kalau Anda tidak tahu atau menjawab pertanyaan ini secara tidak benar dan tidak paham sejarah masa lalu suku-suku di Indonesia, maka Anda tanpa sadar akan berkubang di dalam kekeliruan. Anda bisa menjadi penyesat warga masyarakat dan melakukan tuduhan palsu alias tidak benar. Anda menampar orang yang tidak bersalah. Itu sebuah kejahatan (crime) dan Anda harus dihukum.

            Dari sinilah, ia yang merasa memahami betul sejarah masa lalu suku-suku di Indonesia kemudian dengan penuh keyakinan mulai mengemukakan pandangannya yang sangat khas kolonialis kulit putih seraya pada saat yang sama secara tak langsung memperlakukan para pengkritik Gereja Katolik Keuskupan Maumere sebagai orang-orang bodoh yang tidak tahu apa itu tanah HGU dan tidak paham sejarah Indonesia.

            Kendati bagi orang-orang yang mengerti sejarah dan wacana pascakolonialisme, pernyataan-pernyataan dalam opininya itu dengan jelas menunjukkan bahwa dosen Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero inilah yang justru tidak memahami sejarah bangsanya sendiri, sejarah kekristenan Barat dan sejarah Gerejanya sendiri (bahkan secara umum!) dan apa itu kolonialisme.

Dari Prasasti sampai Catatan Biksu China

SAYA kira tak ada gunanya bagi siapa pun untuk memperdebatkan fakta hukum terkait kepemilikan sertifikat HGU Tanah Nagahale dan Patiahu oleh PT Krisrama dengan Pater Jebadu maupun pihak Keuskupan Maumere lainnya melalui tulisan di media massa maupun media sosial. Perdebatan soal itu lebih tepat dibawa ke meja persidangan yang menghadapkan PT Krisrama dengan masyarakat adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai. Meskipun sudah jadi rahasia umum jika hukum di Indonesia kerapkali tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah. Dan kita tahu, dari sekian banyak kasus konflik agraria yang terjadi dari Sabang sampai Merauke, amatlah jarang rakyat miskin—orang-orang kampung sederhana—bisa menang melawan orang-orang yang punya uang dan kuasa maupun perusahaan. Bahkan belakangan ini kita juga dibuat ternganga oleh kenyataan bahwa di laut pun koorporasi ternyata bisa memperoleh sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan terbukti yang diseret berurusan dengan hukum hanyalah seorang kepala desa dan stafnya, alih-alih meluputkan pejabat agraria, investor dan pemain lainnya yang punya uang, koneksi dan kuasa.

Bahkan belakangan ini kita juga dibuat ternganga oleh kenyataan bahwa di laut pun koorporasi ternyata bisa memperoleh sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan terbukti yang diseret berurusan dengan hukum hanyalah seorang kepala desa dan stafnya, alih-alih meluputkan pejabat agraria, investor dan pemain lainnya yang punya uang, koneksi dan kuasa.

            Ini perlu saya ingatkan kepada Pater Jebadu seperti halnya ia merasa perlu mengingatkan publik yang dipandangnya buta sejarah bahwa “Indonesia sebagai satu bangsa dan satu negara baru lahir tahun 1945”, seolah-olah peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta itu merupakan sebuah momen yang cuma diketahui oleh segelintir orang Indonesia termasuk dirinya.

            Karena itu, lebih jauh ia pun tanpa ragu mengemukakan klaim-klaimnya yang bukan saja ngawur dan tidak bertanggungjawab secara historiografis tetapi juga sungguh merendahkan dan menggelikan! Coba perhatikan kutipan berikut:

Sebelum tahun 1945, suku-suku di Kepulauan Nusantara (yang sekarang menjadi Indonesia) hidup sangat sederhana. Mereka sangat primitif alias sangat terbelakang. Belum ada sekolah untuk mengasah mereka jadi pintar. Mereka tak tahu baca dan tulis. Belum ada bahasa pemersatu untuk bersoal-jawab pertahankan hak atas sumber-sumber hidup termasuk tanah ulayat.

Melayu sudah menjadi lingua franca (bahasa umum), tapi hanya terbatas segelintir suku pedagang pesisir pantai yang menguasainya. Suku-suku terpencil di pedalaman yang jumlahnya mayoritas sebagai masyarakat petani belum menguasai Bahasa Melayu.

Suku-suku Kepuluan Nusantara yang masih primitif ini hidup terpencar-pencar di tiap pulau, menurut suku dan budayanya masing-masing. Dalam kondisi keterbelakangan demikian, bangsa-bangsa Eropa mulai satu persatu datang menunjukkan batang hidungnya. Mula-mula mereka datang berdagang beli rempah pala, lada, cengkeh dan sebagainya. Kemudian perlahan-lahan mereka kuasai, jajah dan rampok.

            Dari mana atau atas dasar referensi apa pastor ini bisa sampai menyimpulkan bahwa sebelum tahun 1945, suku-suku di Kepulauan Nusantara (yang sekarang menjadi Indonesia) hidup sangat sederhana, sangat primitif alias sangat terbelakang? Apa metodologi ilmu sejarah yang ia pergunakan?

            Apakah ia tak pernah belajar sejarah atau memang sengaja hendak mengaburkan sejarah (dan mengelabuhi pembaca) demi kepentingannya membela marwah Gereja dan ordonya yang tercoreng oleh pemberitaan dan kecaman? Lagipula, yang dimaksudnya suku-suku di Kepulauan Nusantara itu suku mana saja? Tolong sebutkan dengan jelas dong, Pater: Melayu, Sunda, Jawa, Bugis, Kaili, Dayak, dan suku-suku apa saja?

            Padahal jika ia mau membaca sejarah Nusantara (the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula) secara lebih holistik dan komprehensif, tentu ia akan tahu bahwa jauh sebelum armada Portugis (Malaka, 1511; Maluku, 1512) dan Belanda (Banten, 1596) tiba, di Nusantara telah berdiri kerajaan-kerajaan besar seperti Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521) Kerajaan Kutai (sejak abad ke-4 M), Kerajaan Tarumanegera (sekitar abad ke-4 dan ke-5 M), Kerajaan Sriwijaya (671-1025), Kerajaan Singosari (1222-1292), dan Kerajaan Majapahit (1293-1527).

            Bahkan pada puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389)—menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV—wilayah kekuasaan Majapahit amatlah luas, meliputi sebagian besar pulau Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Malaku, Papua, Tumasik, dan sebagian kepulauan Filipina. Apakah Pater Jebadu tak pernah mendengar atau membaca tentang Mahapatih Gajah Mada dengan Sumpah Palapanya yang terkenal itu? Apakah Majapahit adalah sebuah kerajaan yang primitif dan terbelakang sebelum ditaklukkan oleh pasukan Sultan Trenggana dari Kesultanan Demak pada tahun 1527?

        Atau  tahukah Pater Jebadu bagaimana Kerajaan/Kesultanan Banten (abad 10-17) yang disebut Bantam itu, dengan segala kekayaan dan kegemilangan raja dan utusannya serta keramahan penduduknya, telah menjadi rujukan karya sastra dari banyak pengarang Eropa? Sebutlah Ben Jonson dalam The Alcemist (1610), Aphra Behn (The Court of the King of Bantam, 1683), Madeleine de Gomez (La Princesse de Java (1739), dan seterusnya (Claude Guillot, 2008: 385).

            Saya juga ingin mengingatkan Pater Jebadu karena barangkali ia lupa (atau belum tahu) bahwa Kesultanan Aceh Darussalam yang didahului oleh Kerajaan Lamuri/Lam Reh (800-1503) dan didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada 1496 serta mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) itu barulah berhasil ditaklukkan oleh Belanda pada tahu 1904. Itu pun setelah pemerintah kolonial memakai siasat licik, yakni menyusupkan seorang orientalis bernama Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) alias Abdul Ghaffar—yang berpura-pura menjadi mualaf di Mekah untuk mempelajari Islam—ke Aceh sebagai mata-mata. Di mana ia kemudian mempergunakan pengetahuan tentang adat-istiadat dan kebudayaan Aceh yang dipelajarinya itu untuk merancang strategi mematahkan perjuangan jihad fi sabilillah rakyat Aceh. Apakah menurut Pater Jebadu, orang Aceh merupakan suku yang sangat primitif alias sangat terbelakang, sehingga untuk menguasai wilayah Aceh, Belanda harus berperang selama 31 tahun (1873-1904) dengan mengorbankan demikian banyak tentara dan biaya yang begitu besar? 

Saya juga ingin mengingatkan Pater Jebadu karena barangkali ia lupa (atau belum tahu) bahwa Kesultanan Aceh Darussalam yang didahului oleh Kerajaan Lamuri/Lam Reh (800-1503) dan didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada 1496 serta mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) itu barulah berhasil ditaklukkan oleh Belanda pada tahu 1904.

Karena telah (sengaja) melupakan keberadaan kerajaan-kerajaan besar Nusantara yang tersebut di atas, tentu saja bisa dipastikan bahwa Pater Jebadu juga lupa bahwa di tanah Jawa, Sumatera, dan wilayah lainnya pada era kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu-Siwa dan Buddha pendidikan yang berbasis keagamaan telah terselenggara secara luas untuk seluruh lapisan masyarakat. Salah satu contohnya adalah sistem pendidikan yang dikenal sebagai “Kadewaguruan” pada era Singosari (bahkan sebelumnya), Majapahit, hingga Mataram Kuno. Cukup banyak naskah Jawa Kuno yang menyinggung keberadaan Kadewaguruan ini, di antaranya Bhomakawya, Sumana-santaka, Sutasoma, Rajapatigundala, Nagarakretagama, Tantu Panggelaran, dan Pararaton, yang menyatakan bahwa Mandala Kadewaguruan merupakan sebuah wanasrama (asrama di tengah hutan) yang dihuni dan ditempati oleh kaum resi dan pertapa beserta murid-muridnya (Santiko, 2005; Munandar, 1990).

            Situs Candi Panataran di lereng barat daya Gunung Kelud, Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur adalah salah satu bukti keberadaan Kadewaguruan ini secara arkeologis pada masa masa Kadiri (1052) hingga Majapahit (1486). Situs-situs lainnya adalah Candi Cetho, Candi Kethek, Candi Menggung, Candi Planggatan, dan Candi Sukuh. Sedangkan Candi Morangan di Argomulyo, Cangkringan, Sleman merupakan situs Kadewaguruan pada masa Kerajaan Mataram Kuno.

            Kadewaguruan inilah yang menjadi cikal bakal pesantren di Jawa ketika ajaran Islam berkembang semakin pesat di bawah peran dakwah Walisongo sejak abad ke-15 dan kian meluas pada abad ke-19 dan abad ke-20.

            Sementara itu dari catatan-catatan perjalanan dan pengalaman biksu Buddha Tiongkok termashyur, I-Ching/ I-Tsing [Mandarin: 義淨 – Yijing] (635-713) selama tinggal di Sriwijaya (sekitar 671-695) yang berjudul 南海寄归内法传 (Nanhai Ji Gui Nei Fa Chuan) atau A Record of Buddhist Practices Sent Home from the Southern Seas dan 大唐西域求法高僧传 (Da Tang Xiyu Qiufa Gaoseng Chuan) atau Biography of Eminent Monks Who Went to the Western Regions in Search of the Dharma during the Great Tang Dynasty, kita bukan hanya menemukangambaran tentang Kerajaan Sriwijaya sebagai pusat penting bagi studi dan praktik Buddha, tetapi juga posisi Candi Muaro Jambi (kompleks percandian Buddha terluas di Asia Tenggara) sebagai tempat para biksu dari berbagai negeri datang untuk mempelajari teks-teks Buddha sebelum melanjutkan perjalanan mereka ke Nalanda/India. Kedua karya ini merupakan sumber penting untuk memahami peran Sriwijaya sebagai pusat pembelajaran Buddha pada abad ke-7 hingga ke-8 Masehi. Ini lima abad sebelum Oxford University didirikan di Inggris.

            Kerajaan-kerajaan di Aceh pun sangat memperhatikan pendidikan masyarakatnya sebelum Kesultanan Aceh Darussalam ditaklukkan oleh Belanda. Pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan telah berkembang luas di meunasah, rangkang (semacam balai-balai), dan dayah (zawiyah). Di setiap kampung di Aceh setidaknya terdapat satu meunasah tempat diadakannya pendidikan dasar berbasis Islam bagi anak laki-laki. Perbedaan antara meunasah dan dayah adalah jika meunasah merupakan bangunan tradisional yang lebih fokus pada fungsi sosial dan keagamaan (sebagai tempat ibadah, belajar mengaji, dan bermusyawarah), dayah memiliki peran yang lebih luas dalam pendidikan dan pengembangan intelektual. Sebagai lembaga pendidikan, dayah boleh dikatakan telah mengakar sejak Islam menapak di Aceh pada abad pertama Hijriyah. Bahkan Dayah Cot Kala di Aceh Timur yang didirikan pada tahun 889 pada masa Kerajaan Perlak (Peureulak) tercatat sebagai Pusat Pendidikan Tinggi Islam pertama di Asia Tenggara.

            Para peneliti juga menemukan bahwa sistem pendidikan Nusantara pada zaman klasik ini, baik Kadewaguruan, tempat-tempat studi Buddhisme, dayah, maupun pesantren tak hanya mengajarkan agama saja tetapi juga semua ilmu pengetahuan yang ada pada masanya seperti pengetahuan umum, politik, filsafat timur, sejarah, bahasa, matematika, medis, astronomi, dan teknologi selain berbagai ilmu praktis untuk kehidupan sehari-hari seperti pertanian, tataboga, dan tenun.

            Seperti yang diungkapkan oleh sejarawan muda Asisi Suhariyanto dalam kanal youtube Asisi Channel (“Indonesian Education System Since Ancient Times”), salah satu sifat dari Kadewaguruan adalah pendidikannya yang merata untuk semua kalangan, baik anak bangsawan maupun rakyat jelata. Hal ini, menurutnya, selain bisa kita ketahui dari kisah Ken Angrok (Ken Arok) dalam Pararaton, juga dari pendirian-pendirian prasasti misalnya prasasti penempatan sima (daerah otonom) yang dibuat untuk dibaca oleh publik.

Catatan para pedagang Tiongkok pada era Dinasti Tang (618-907) dan Dinasti Song (960-1279) menyebutkan pula bahwa pada tahun 640 terdapat sebuah kerajaan bernama Ho-Ling yang penduduknya memiliki kemampuan dalam baca-tulis dan astronomi (Suwandono, 2013). Ho-Ling adalah nama Cina untuk Kerajaan Hindu Kalingga di pantai utara Jawa Tengah (antara Pekalongan dan Jepara).

            Lalu bagaimana seorang dosen bergelar doktor seperti Pater Jebadu bisa menyimpulkan bahwa suku-suku di Nusantara itu sangat primitis alias sangat terbelakang?

            Apakah penemuan-penemuan prasasti tertulis, berbagai catatan lontar, dan kitab kuno belum cukup terang bagi dirinya untuk melihat bahwa masyarakat Nusantara sesungguhnya bukanlah masyarakat yang buta huruf sama sekali sebelum kedatangan bangsa Eropa, tetapi telah banyak menguasai baca-tulis dalam aksara Pallawa (bahasa Sanskrit), aksara Jawa Kuno (Kawi), aksara Jawa, aksara Bali, aksara Sunda Buhun, dan aksara Jawi (dikenal juga sebagai aksara Arab-Melayu atau Arab Gundul) yang dipergunakan secara luas untuk menulis surat-menyurat, dokumen-dokumen resmi, catatan sejarah, tembang dan karya kesusastraan?

            Jawabannya, seperti yang telah saya singgung di atas, ada dua kemungkinan. Kalau bukan karena ia memang buta sejarah bangsanya sendiri, berarti ia sengaja hendak mengaburkan sejarah. Dan untuk yang kedua, selain hal ini ia lakukan untuk membela marwah Gerejanya dalam kasus penggusuran PT Krisrama, boleh jadi memang merupakan pandangan pribadinya yang autentik kaum orientalis Barat—yang selalu memandang dan memperlakukan masyarakat pribumi jajahan sebagai subjek inferior demi menguatkan posisi superioritasnya sebagai penjajah. Sehingga di sini ukuran melek huruf buat Pater Jebadu tampaknya hanya terbatas pada baca-tulis huruf Latin (Alphabet) saja.

            Ah, sampai di sini saya pun jadi terkenang pada kisah Tom Hong, ayah sang narator dalam novel memoar Maxine Hong Kingston China Men (1981) yang notabene adalah seorang sarjana Dinasti Qing, tatkala ia pertama kali tiba di Amerika Serikat dan menjalani pemeriksaan oleh petugas imigrasi kulit putih di Angel Island, San Fransisco:

 “Can you read and write?” the white demon asked in English and the Chinese American asked in Cantonese.

“Yes,” said the legal father.

But the secretary demon was already writing No since he obviously couldn’t, needing a translator. (Kingston, 1981: 60)

            Berakhirnya kolonialisme fisik secara formal dengan kemerdekaan negara-bangsa bekas jajahan, bukan berarti berakhir pula pandangan orientalisme seperti ini. Sebab, di samping—seperti yang pernah diungkapkan Katrin Bandel dalam “Sastra Pascakolonial di Indonesia”—relasi kekuasaan global tetaplah sejalan dengan apa yang telah dimulai pada era kolonial dengan negara-negara Eropa dan superpower baru (utamanya Amerika Serikat) tetap dominan secara ekonomis dan budaya (neo-kolonialisme), keterjajahan juga masih terus berlangsung hingga kini terutama dalam bentuk produksi ilmu pengetahuan maupun dalam  pola pikir, selera, dan moralitas akibat warisan pendidikan dan hukum ala kolonial.

Pandangan Orientalisme Seorang Imam Katolik

APA itu orientalisme? Orientalisme dapat diartikan sebagai cara Barat mendefinisikan dan memahami dunia Timur menurut cara pandang dan pengalaman orang-orang Eropa. Di mana ia dijadikan sistem pengetahuan yang bukan saja berfungsi sebagai kerangka konseptual untuk menyaring dunia Timur ke dalam kesadaran Barat, tetapi juga untuk mendominasi, menata ulang, dan menetapkan kekuasaan Barat terhadap dunia Timur. Dengan begitu, orientalisme—mengutip kata-kata Edward W. Said dalam bukunya Orientalisme (1978)—lebih kepada “tanda kekuasaan Atlantik-Eropa terhadap Dunia Timur daripada sebagai wacana yang murni dan jujur mengenai Timur.”

Menurut Juri Lina dalam bukunya Architects of Deception: The Concealed History of Freemasonry (2004), ada tiga cara untuk melemahkan dan menjajah suatu bangsa/negeri, yaitu: 1) Kaburkan sejarahnya, 2) Hancurkan bukti-bukti sejarah bangsa itu agar tidak bisa diteliti dan dibuktikan kebenarannya, 3) Putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya, katakan bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitif.        

Ketiga hal inilah yang coba dilakukan oleh bangsa Eropa ketika menancapkan kolonialismenya di tanah Asia-Afrika. Di mana untuk menguasai penduduk pribumi dan mempertahankan tanah jajahannya, kaum kolonialis ini tidak hanya membutuhkan kekuatan senjata dan beragam strategi tetapi juga memproduksi apa yang diperkenalkan oleh Said sebagai wacana kolonial atau “colonial discourse”.

Di sinilah, kolonialisme kemudian dibangun di atas “colonial imagination” yang menghasilkan pengetahuan kolonial tentang wilayah, orang, dan budaya terjajah secara bias dan manipulatif—sebuah fabrikasi kebohongan dan mitos, percampuran antara fakta dan fisik—yang ditulis semata-mata untuk melayani kepentingan sang penjajah. Sehingga tak heran jika dalam mendeskripsikan masyarakat jajahan, kaum kolonial seolah-olah menulis di atas kertas kosong tentang masyarakat yang sama sekali belum ditandai. Mereka menamakan, mencirikan, mengkaji masyarakat terjajah tersebut dalam kerangka kerja bahasa dan aturan-aturan kolonial.

Akibatnya, dalam kajian-kajian para orientalis, perbedaan Barat dan Timur ini ditegaskan sedemikian rupa secara ontologis dan epistemologis, dengan menempatkan Barat pada posisi superior atas Timur yang direpresentasikan sebagai subyek inferior yang terbelakang dan barbar, tidak rasional, penuh takhayul, dan tidak dapat merepresentasikan dirinya sendiri.

Penciptaan mitos “pribumi malas”, “orang Asia pembohong”, “otak orang kulit hitam kurang berkembang”, termasuk dalam hal ini “suku-suku Nusantara sangat primitif alias sangat terbelakang” yang dikemukakan oleh Pater Jabadu, adalah contoh dari wacana kolonial yang diikuti oleh serangkaian diskursus moral misi pemberadaban (civilising mission) yang direpresentasikan sebagai tanggungjawab kemanusiaan bahkan tugas suci bangsa Eropa.

Seperti yang pernah saya tulis dalam esai “Memeriksa Kembali Max Havelaar” (tengara.id, 31/12/2022), salah satu peristiwa tekstual monumental yang menunjukkan orientalisme dalam praktiknya yang paling khas, antara lain bisa kita temukan dalam novel Robinson Crusoe karya Daniel Defoe, terutama peristiwa pertemuan Crusoe dengan seorang penduduk pribumi di pulau terpencil di luar Eropa tempatnya terdampar. Karena itulah, sebagai sosok Eropa yang menganggap dirinya lebih beradab, Crusoe perlu mengajari Friday cara makan yang benar (sesuai dengan cara Eropa), cara berbicara yang benar (menggunakan bahasa Inggris/Eropa), dan mengenalkannya kepada Tuhan yang benar (Tuhan agama Kristen), sembari pada saat yang bersamaan merasa berhak mengklaim pulau “kosong” (tapi berpenghuni) tempatnya terdampar itu sebagai penemuan dan miliknya.

Di samping dapat dikatakan sebagai awal pertemuan sang colonizer dengan the colonized, peristiwa ini juga menjadi repetisi genesis; dan karena itu Crusoe pun memperoleh kekuasaan atas Friday dan otoritas untuk menyertakan peristiwa itu dalam keseluruhan kisah yang menjadi “miliknya”, termasuk kisah tentang hubungannya dengan Friday. Dengan begitu, muncullah asumsi bahwa sebelum adanya kesaksian dari sosok Eropa yang diwakili oleh Tuan Crusoe, keberadaan Friday pra-pertemuan awal itu diabaikan. Bahkan lebih jauh lagi, karena ia dibahasakan dalam sistem wacana yang diberi otoritas maka apapun yang terjadi sebelum peristiwa itu dianggap tidak ada atau dihapuskan!

Keunggulan Crusoe (penjajah Barat) atas Friday (pribumi) yang ditunjukkan oleh Defoe seperti hendak menyatakan kepada kita bahwa struktur kekuasaan kolonial bukan saja dilegitimasi sebagai sesuatu yang baik bagi tanah jajahan, tetapi juga disusun kembali menjadi hubungan guru dan murid. Di mana penduduk pribumi membutuhkan pimpinan dan bimbingan dari ras Eropa yang superior agar dapat hidup lebih baik. Sehingga dengan begitu kolonialisme pun dimaknai sebagai “pembebasan” bagi kaum terjajah. Hal ini persis dengan apa yang diungkapkan karakter Pendeta Wawelaar lewat narasi tokoh narator Batavus Droogstoppel dalam novel Max Havelaar karya Multatuli (Eduard Douwes Dekker):

“Demikianlah para Kekasihku, panggilan tugas kaum Israil yang mulia, (maksudnya membinasakan penduduk Kanaan), dan demikian pula panggilan tugas negeri Belanda! Tidak, orang tidak akan mengatakan bahwa terang yang menyinari kita, kita tutup dengan takaran gandum, bahwa kita pelit dalam membagikan rezeki kehidupan yang kekal. Pandanglah pulau-pulau di Samudera Hindia, yang didiami oleh berjuta-juta cucu dari putera nabi Nuh yang dibuang, dan memang sepantasnya dia dibuang—sedangkan nabi Nuh yang mulia itu berkenan kepada Tuhan. (Max Havelaar, 140)

Tak bisa dipungkiri bahwa selama berabad-abad dan mencapai puncaknya pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, misi penyebaran agama Kristiani ini (baik oleh Zending maupun Katolik) telah menjadi salah satu pembenaran praktik kolonialisme. Bahkan boleh dibilang sebagai salah satu dari tiga semboyan pendorong penjelajahan samudera bangsa Eropa termashyur yang “memunculkan” praktik kolonialisme dan imperialisme, yakni Gold, Glory, dan Gospel.

Itu sebabnya dalam khotbah-khobat Pendeta Wawelaar, diyakini betul bahwa bangsa Belanda yang beradab dan makmur karena kekristenannya memikul tugas suci dari Tuhan untuk membawa peradaban, pengetahuan, dan agama kepada orang Jawa yang tersesat lewat praktik kolonialisme:

Tapi, para Kekasih, Pendeta Wawelaar meneruskan, Tuhan adalah Tuhan cinta kasih. Ia tidak mau orang berdosa jadi binasa, tapi supaya ia bahagia dengan anugerah, di dalam Kristus, oleh kepercayaan! Karena itulah negeri Belanda terpilih untuk menyelamatkan apa-apa yang dapat diselamatkan dari orang-orang yang celaka itu. Untuk itu Ia, dalam kebijaksanaanNya yang tidak dapat diduga, memberikan kekuasaan kepada sebuah negeri yang kecil, tapi besar dan kuat karena pengetahuannya akan Tuhan, untuk menguasai penduduk daerah-daerah itu, supaya mereka dapat diselamatkan dari azab neraka oleh Injil yang suci dan mulia. Kapal-kapal negeri Belanda melayari samudera luas, dan membawa peradaban, kekristenan, kepada orang Jawa yang tersesat.

Tidak, negeri Belanda yang bahagia, tidak menginginkan kebahagiaan untuk dirinya sendiri; kita juga ingin membaginya kepada orang-orang yang celaka di pantai-pantai yang jauh, orang-orang yang terbelenggu dalam ketidakpercayaan, tahyul, dan kecabulan. (Max Havelaar, hlm. 141-142)

Bahkan Multatuli sendiri dengan congkak memperbandingkan dirinya dengan Kristus ketika ia berpidato sebagai tokoh Max Havelaar di depan para pembesar bumiputera dalam “Pidato Lebak”, di mana ia bukan saja yakin dirinya telah diutus untuk menjadi penguasa yang adil dan rendah hati, tetapi juga untuk menjadi seorang “saudara yang lebih tua”.

            Lantas, apakah lahirnya kebijakan Politik Etis (Ethische Politiek) di bumi Hindia Belanda pada  17 September 1901 sebagai respons terhadap meningkatnya kritik dan tekanan para politikus Partai Liberal Belanda (utamanya Conrad Theodor van Deventer lewat artikelnya “Een Eereschuld”/“Hutang Budi”) kepada pemerintah kolonial Belanda terkait kondisi sosial-ekonomi yang semakin buruk di daerah koloni baik akibat efek pelaksanaan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) sebelumnya maupun penerapan ekonomi kapitalisme liberal Undang-Undang Agraria 1870 memang sungguh-sungguh meningkatkan kesejahteraan penduduk tanah jajahan?

***

DI bidang pendidikan, politik balas budi ala kolonial Belanda barangtentu hanyalah balas budi setengah hati. Sebab pemerintah kolonial yang mengerti betul pentingnya pendidikan dalam mencerdaskan dan membangkitkan kesadaran sebuah bangsa tetap mengontrol penyelenggaraan pendidikannya secara ketat.

Setelah beratus-ratus tahun melarang masyarakat jajahan untuk “bersekolah” dan menghancurkan semua tatanan masa klasiknya yang menjadi penyebab keterputusan budaya, di masa penerapan Politik Etis ini mereka hanya mengijinkan segelintir kaum pribumi untuk mengenyam pendidikan ala Eropa yaitu orang-orang dari golongan bangsawan dan anak-anak pejabat bumiputera. Itu pun dengan tujuan khusus yakni menciptakan sebuah golongan elite terdidik pribumi untuk dijadikan pegawai kolonial, yakni sebuah kelas perantara/penerjemah antara kekuasaan kolonial dan masyarakat jajahan yang dibodoh-bodohkan. Jean Paul Sartre menyebut golongan ini sebagai Kinglet, dan Homi K. Bhaba dalam bukunya The Location of Culture (1994) membahasakannya sebagai “a subject of a difference that is almost the same but not quite”.

Karena itu tak heran jika menurut berbagai data sejarah, sampai tahun 1930 diperkirakan hanya sekitar 2-3% saja anak-anak pribumi yang mengenyam pendidikan formal ala Belanda di HIS (Hollandsch-Inlandsche School), MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), AMS (Algemeene Middelbare School), dan STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen). Sementara anak-anak dari golongan Tionghoa sama sekali tidak diperhitungkan. Sehingga pada 1900, orang-orang Tionghoa pun mendirikan organisasi pendidikan pertama yang sepenuhnya mandiri, yakni Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) di Batavia, yang secara politik berorientasi ke China Daratan. Seperti dikatakan Mary F. Somers Heidhues dalam Bangka Tin and Muntok Pepper (1992), karakter sekolah ini menggunakan bahasa Mandarin dalam pengajarannya, dengan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, tetapi tidak memberikan pelajaran bahasa Belanda. Model mereka adalah sekolah modern di Tiongkok dan Jepang, dengan pengaruh Barat yang kuat dalam mata pelajarannya. THHK meluaskan cabang-cabangnya ke berbagai wilayah Hindia Belanda dengan cepat. Akibatnya pemerintah kolonial Belanda yang takut kehilangan kawulanya dari golongan Tionghoa dan khawatir pengaruh politik Tiongkok bakal mengancam kekuasaan mereka di Hindia pun terburu-buru mendirikan HCS (Hollandsche Chineesche School) pada tahun 1908 sebagai tandingan.

Meskipun harus kita akui bahwa pendidikan Politik Etis tersebut ikut berandil melahirkan para founding father kita, tetapi bangsa penjajah yang menyelenggarakan pendidikan secara merata bagi seluruh rakyat Indonesia hanyalah imperialis Jepang. Dalam propaganda politiknya sebagai saudara tua bangsa Asia itu, selain menginstruksikan pengajaran bahasa Jepang hingga ke desa-desa, pemerintah pendudukan Jepang yang melarang penggunaan bahasa Belanda juga menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi dalam administrasi, pendidikan, media massa, dan hukum.

Tentu di luar sekolah-sekolah pemerintah kolonial dan sekolah swasta Tionghoa, juga terdapat sekolah-sekolah yang didirikan oleh organisasi Muhammadiyah (1911) dan Perguruan Taman Siswa (1922) serta sekolah-sekolah yang didirikan untuk kepentingan misi Zending dan Katolik, di mana Pater Jebadu merupakan salah satu produknya jauh di kemudian hari.

Sekolah Zending pertama di Hindia Belanda didirikan oleh Joseph Kam dari Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) pada 1831 di Minahasa, Sulawesi Utara dengan tujuan menyebarkan ajaran Protestan sekaligus memberikan pendidikan dasar kepada penduduk lokal. Sedangkan dua sekolah misi Katolik pertama adalah sekolah-sekolah guru Normaalschool-Kweekschool (1900/1904) yang didirikan Romo van Lith, SJ di Muntilan, Magelang dengan tujuan mencetak para katekis untuk kebutuhan misi dan Sekolah Santa Ursula di Weltevreden (Jalan Pos, Jakarta Pusat) pada 1906 dengan nama HBS Princess Juliana di bawah asuhan suster-suster Ordo Santa Ursula (OSU).

Saya kira di sini saya tak perlu mengungkapkan tentang sejarah hubungan pasang-surut antara Gereja Katolik dengan Pemerintah Belanda. Tetapi yang jelas, setelah Tahta Suci mencapai kesepakatan dengan pemerintah kolonial Belanda yang dituangkan dalam Nota der Punten pada 1847, vikaris dan para imam boleh dibilang digaji dan dibiayai perjalanannya oleh pemerintah. Mereka juga mendapatkan tunjangan tahunan dari Kerajaan Belanda. Sehingga dengan demikian mereka menjadi pegawai negeri sekaligus misionaris dan mendapat perlakuan yang sama seperti para pendeta Protestan.

Bukankah STFK Ledalero almamater Pater Jebadu sendiri didirikan oleh para misionaris SVD pada masa kolonial Belanda, tepatnya pada tahun 1937?

Sehingga pernyataan Pater Jebadu bahwa sebelum tahun 1945 suku-suku di Kepulauan Nusantara (yang sekarang menjadi Indonesia) hidup sangat sederhana, sangat primitif, dan tak tahu baca-tulis karena belum ada sekolah untuk mengasah mereka jadi pintar juga terbantahkan dengan fakta ini. Kendati, seperti yang telah saya utarakan di atas, baik sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial maupun sekolah misi bukanlah lembaga edukasi yang menyelenggarakan pendidikan secara luas dan merata tetapi hanya terbatas untuk segelintir masyarakat tertentu saja—utamanya sebelum 1930. 

            Namun berbeda dengan para founding father kita yang menggunakan bekal pendidikan kolonial mereka untuk membangkitkan kesadaran nasionalisme bangsanya atau para sastrawan dari bekas tanah jajahan seperti Chinua Achebe, Ngugi wa Thiong’o, dan Salman Rushdie yang melakukan “writing back to the empires” utuk merebut kembali suara, identitas, dan sejarah mereka yang didistorsi oleh kekuasaan kolonial, dalam opininya “Uskup Maumere tidak Rampas Tanah Umatnya” itu Pater Jebadu justru menggunakan kacamata kaum kolonial yang rasial dalam memandang bangsanya sendiri.         

            Bahkan lebih lanjut ia juga tak segan-segan menunjukkan sikap rasialnya terhadap ciri fisik bangsanya, di mana dengan terang benderang disebutkannya bahwa orang-orang Belanda adalah orang-orang yang berperadaban tinggi dan putih, sementara suku-suku bangsa Indonesia itu primitif, ada yang kulit gelap dan semuanya buta huruf. Seolah-olah peradaban ras kulit putih memang ditakdirkan lebih unggul dari ras kulit berwarna karena perkara warna kulitnya. Simaklah kutipan dalam paragraf ini:

Salah satu hal yang umum terjadi adalah perampasan dan perampokan tanah. Orang-orang Belanda, yang berperadaban tinggi, putih, celana panjang, sepatu bengkap dan bersenjata lengkap ini, rampok tanah suku-suku bangsa Indonesia yang masih primitif, ada yang kulit gelap dan semuanya buta huruf.

            Tentu siapa pun tahu kalau Belanda (juga para penjajah Barat lainnya) merampok tanah suku-suku di Asia-Afrika. Kalau tidak, bukan kolonialisme namanya. Masa’ yang begini saja harus “diomongkan” oleh Pater Jebadu? Tetapi apakah para penjajah kulit putih itu bisa berhasil menguasai berbagai wilayah tanah jajahan mereka karena kulit mereka yang putih, karena mereka bisa baca-tulis aksara Latin (Alphabet), dan karena peradaban mereka lebih tinggi? Dalam hal inilah tampak bagi kita betapa parahnya “mentalitas inlander” Pater Jebadu sebagai anak pribumi dari bekas tanah jajahan.

Apa itu mentalitas inlander? Istilah ini merujuk pada pola pikir atau sikap mental penduduk pribumi di suatu wilayah, khususnya dalam konteks sejarah kolonial, yang terbentuk akibat penjajahan, seperti rasa inferior, ketergantungan, atau kurangnya rasa percaya diri terhadap kemampuan sendiri. Hal ini sering dianggap sebagai warisan kolonial yang memengaruhi cara berpikir dan bertindak masyarakat pascakolonial.

Karena itu sebagai seorang pastor “black skin, white masks” (meminjam bahasaFranz Fanon) didikan sekolah misionaris yang didirikan pada era kolonial, lumrah saja kalau Pater Jebadu seakan lupa bahwa Belanda—sejak era para pedagang culas VOC tiba—dapat memonopoli perdagangan rempah-rempah, mengendalikan sumber daya alam dan manusia Nusantara, dan akhirnya menguasai daerah jajahan yang begitu luas tak lain karena mereka memakai strategi-siasat licik yang dikenal dengan istilah devide et impera alias politik adu domba! Yang dengan picik memanfaatkan persaingan antar raja atau perang saudara di kerajaan-kerajaan Nusantara dan memanipulasi dinamika politik lokal sedemikian rupa untuk mencaplok maupun mempertahankan daerah kekuasaan mereka.

            Dalam politik devide et impera, selain memainkan peran sebagai teman dan menciptakan musuh bersama (make friends and create common enemy) di tengah konflik antar kerajaan atau di dalam lingkungan sebuah kerajaan, mereka juga menjalankan strategi manajemen isu dengan menyebarkan propaganda atau desas-desus di lingkungan politik dan sosial, serta memberikan pengakuan-pengakuan atas nama kerajaan Belanda terhadap entitas politik di suatu daerah, hingga mengatur perang saudara. Perang Padri di Sumatera Barat adalah satu satu contohnya.

            Negara-negara Eropa pada masa itu memang lebih unggul dalam hal teknologi berkat revolusi industri. Tetapi ingat, Belanda hanyalah sebuah negeri mungil dengan populasi kecil. Tanpa penggunaan siasat licik tidaklah mungkin bagi mereka untuk menguasai wilayah Nusantara yang begitu luas, yang kemudian mereka namakan Nederlandsch-Indie. Sehingga pada masa pemerintahan sipil, mereka pun menciptakan administrasi kolonial yang mengontrol penduduk Hindia melalui para pembesar bumiputera. Atau dengan kata yang lebih sederhana, Belanda menjajah penduduk Nusantara dengan cara menguasai kerajaan-kerajaannya.

            Kalau Belanda memang demikian hebat secara militer, tak perlu bagi mereka untuk membentuk legiun asing maupun merekrut sekian banyak tenaga pribumi untuk mereka jadikan sebagai serdadu-serdadu kolonial seperti KNIL yang dikenal masyarakat Jawa sebagai londo ireng itu!

            Sejarah Perang Aceh (1873-1904) dan Perang Jawa (1825-1830) harusnya bisa menunjukkan kepada Pater Jebadu betapa lemahnya kekuatan militer Belanda, lantaran hanya bisa mereka menangkan dengan susah payah menggunakan ragam strategi culas seperti membayar para pengkhianat/pembelot dan merancang perundingan palsu. Bahkan untuk memadamkan pemberontakan para kuli tambang Tionghoa yang dipimpin Liu Ngie di Pulau Bangka (1899-1900) saja, residen Bangka harus mendatangkan 500 serdadu dari Batavia.

            Pater Jebadu tentunya tidak paham bahwa salah satu alasan mengapa kerajaan-kerajaan di Nusantara ini begitu mudah dipecah-belah adalah karena pada masa kedatangan VOC wilayah Nusantara terdiri dari banyak kerajaan kecil yang saling bersaing. Di samping wilayah ini memang merupakan wilayah dengan penduduk majemuk yang terdiri dari berbagai suku-etnis. Makanya bangsa Eropa tak pernah berhasil memecah-belah negeri-negeri yang penduduknya cenderung homogen seperti China dan Jepang.

            Karena itu, nasionalisme China dan Jepang yang tak pernah dijajah secara fisik oleh bangsa Eropa pun coraknya sangat berbeda dengan nasionalisme di sekian banyak negara Asia-Afrika bekas koloni Barat termasuk Indonesia yang memperoleh kemerdekaannya pasca Perang Dunia II, yang lahir dari “perasaan (tertindas) senasib sepenanggungan”. Itulah sebabnya Ben Anderson menyebut negara-negara baru ini sebagai imagined community (komunitas yang dibayangkan), yang didirikan berdasarkan suatu image mengenai kesatuan bersama sehingga mereka pun lekat dengan “kebangkitan” nasional.

            Lagipula, jika Pater Jebadu memang berkenan membaca sejarah bangsanya (bukan asal menyerocos seolah-olah ia paham sejarah padahal tidak), ia pasti bakal mengetahui bahwa konflik-konflik agraria di berbagai daerah di Nusantara juga merupakan salah satu penggerak kebangkitan nasional yang meletuskan revolusi kemerdekaan Indonesia. Di mana sepanjang sejarah perjuangan bangsa Indonesia sejak Flying Dutchman belum menjadi legenda kapal hantu hingga Konferensi Meja Bundar di Denhaag pada 1949, perlawanan suku-suku Nusantara untuk merebut kembali hak tanah ulayat dan hutan keramatnya yang dirampas, dipatok, dan dilegitimasi lewat surat-surat ini tidaklah pernah berhenti. Termasuk di sini tanah Nangahale, Maumere, yang dirampas oleh Amsterdam Soenda Compagnie dari masyarakat pribumi untuk penanaman kapas dan kelapa pada tahun 1912.  

Membeli tanah rampasan penjajah Belanda

BUKANKAH Pater Jebadu sendiri mengakui bahwa Gereja (Vikariat Apostolik Kepulauan Sunda Kecil) yang dinakodai misionaris SVD asal Belanda dan Jerman telah membeli tanah rampasan penjajah ini dari perusahaan Belanda pada tahun 1926 dengan 22.500 Gulden? Bahkan bukti pembelian tersebut—menurutnya—masih tersimpan baik di Kantor Provinsialat SVD Ende dan di Ndoa-Keuskupan Agung Ende.

            Hanya saja Pater Jebadu tampak mencoba menghindari sejarah konflik agraria yang berkait-kelindan dengan tanah tersebut, seakan-akan ia tak tahu-menahu kenapa perusahaan kapas penjajah Belanda bisa menjual tanah seluas 1.438 hektar ini kepada Gereja. “Entah apa alasannya,” demikian ia menulis. 

            Padahal seperti yang disampaikan oleh John Bala, anggota Dewan Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Sikka kepada CNN, alasan Amsterdam Soenda Compagnie menjual tanah itu kepada Apostolisch Vicariaat van der Kleine Soenda Eilanden  adalah karena perusahaan ini dilaporkan terus merugi gara-gara perkebunan kapasnya sering dibakar oleh rakyat. Yang mana di sini berarti perlawanan rakyat terhadap perampasan tanah tersebut memang telah terjadi sejak awal dan terus-menerus berlangsung sampai sekarang.

            Namun Pater Jebadu yang tak (mau) tahu perkara ini kemudian berbicara tentang nasionalisasi perusahaan Belanda setelah kemerdekaan Indonesia dan Gereja yang harus mengamankan tanah usahanya atas nama Tuhan Katolik yang solider kepada penderitaan umat manusia itu agar para calon wakil Tuhan di muka bumi tidaklah kekurangan biaya makan-minum. Simak baik-baik kata-kata sang pastor dalam “bahasa khotbah”-nya berikut ini:

Para calon pastor yang diberi makan oleh Rahim tanah Nangahale dan Patiahu berkarya melayani keselamatan jiwa dari umat Katolik sendiri, mulai dari Flores maupun di tempat lain di seluruh Indonesia dan bahkan kini di seluruh dunia.

Dengan demikian, tanah Nangahale dan tanah Patiahu tidak dikelola oleh Gereja Katolik untuk bisnis dalam arti biasa untuk mendulang keuntungan pribadi. Kedua tanah ini dikelola atas nama Allah untuk tujuan suci yaitu beri makan minum para calon pastor yang akan melayani umat Allah di mana saja.

            Terang sudah untuk kita bahwa dalam perspektif seorang imam Katolik seperti Pater Jebadu, makan-minum para calon pastor yang bekerja melayani “keselamatan jiwa” umat Katolik sungguh jauh lebih penting ketimbang ratusan keluarga umat Katolik yang butuh tempat bernaung dan butuh makan itu sendiri. Sebab baginya “keselamatan jiwa” jelas berada di atas keselamatan badaniah. Untunglah, dalam opininya itu ia tidak sampai mengeluarkan istilah “santapan rohani” segala!

Sehingga kita pun tak perlu heran ketika Pater Jebadu—yang seyogianya pernah kuliah filsafat itu—meminta umatnya (yang tampak ‘awam banget’ di matanya) untuk mengerti bahwa nama PT Kristus Raja Semesta Alam memang nama yang amat tepat untuk sebuah badan usaha yang dikelola oleh Keuskupan Maumere dan Provinsi SVD. Sebab PT itu menurutnya adalah “bisnis suci atas nama Tuhan Yesus pemilik alam semesta, termasuk pemilik tertinggi atas tanah Nangahale dan Patiahu”. Karena itu ia pun dengan santai mengintimidasi umatnya dengan ancaman konyol yang mungkin baginya teramat filosofis tetapi kontra rasionalitas: “Yang lawan PT Krisrama sama dengan lawan Yesus sendiri”!

Tampaknya pastor ini sudah lupa pula ia hidup di zaman apa. Barangkali dikiranya ia hidup pada Abad Pertengahan di Eropa, di mana para biarawan pengkhotbah biasa berkeliling untuk menakut-nakuti umatnya yang saleh dengan lukisan neraka sembari menjual surat pengampunan dosa.

Bahkan tak cukup hanya mencatut nama Tuhannya sebagai ancaman, Pater Jebadu juga terkesan seperti hendak membenturkan umatnya dengan negara dalam kasus ini setelah dengan panjang-lebar ia membeberkan pengetahuannya yang bias tentang nasionalisasi pada era Soekarno. Padahal nasionalisasi merupakan pengambilalihan aset negara yang wajar dari bekas penjajah di negara pascakolonial mana pun, walau dalam praktiknya pemerintah sering bertindak sewenang-wenang mengabaikan rakyat. 

Dalam kasus penambangan timah di Bangka contohnya, setelah Banka Tin Winning dinasionalisasi pasca kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia justru meneruskan kebijakan eksploitatif Tin Reglement Belanda pada 1819 dalam memonopoli penambangan timah. Sehingga orang Bangka boleh dibilang tak pernah benar-benar menikmati hasil buminya sejak orang-orang Johor melakukan penambangan pertama kali di Sungai Olin, Toboali pada akhir abad ke-17. Bahkan selama masa Orde Baru, masyarakat dilarang menambang, menyimpan timah walau satu kilogram, apalagi menjualnya. Penjara, bahkan penyiksaan, kerapkali menjadi bagian dari kisah legam timah di masa ini.

Di pulau Mentawai, lebih ngeri lagi. Para penduduk asli dipindahkan secara paksa dari habitatnya di tengah rimba ke barasi-barasi dengan konsep resettlement atau PKMT (Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing), sementara hutan-hutan adat tempat tinggal dan sumber penghidupan-spiritualitas mereka dijadikan sebagai ladang penghasil uang bagi perusahaan HPH dan HTI. Akibatnya, konflik pertanahan pun kerap tak terhindari. Bahkan mereka juga dipaksa untuk meninggalkan agama tradisional mereka Arat Sabulungan—yang dalam Rapat Tiga Agama (Protestan, Islam dan Sistem Kepercayaan Tradisional) 1954 dianggap sebagai keyakinan yang tak cocok bagi masyarakat modern—dan sebagai gantinya, mereka diharuskan untuk memilih salah satu dari lima agama resmi (yang dalam praktiknya cuma Islam, Protestan, dan Katolik saja) dalam waktu tiga bulan setelah pertemuan.

Di sinilah pencaplokan tanah ulayat dan hutan adat kerap dilakukan secara semena-mena oleh negara—apalagi semasa Orde Baru—dengan dalih pembangunan seraya pada saat yang sama berlindung di balik pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Apakah Pater Jebadu memiliki pengetahuan tentang semua perkara ini? Saya tidak bisa menyimpulkan. Dalam kasus di Maumere ia hanya mengajak orang-orang untuk menyadari bahwa tanah Nangahale dan Patiahu di Pulau Flores adalah tanah milik negara yang diberi HGU, bukan tanah ulayat milik Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai. Lantaran menurutnya pemerintah RI masa Soekarno telah memutuskan untuk menjadikan semua tanah bekas perusahaan Belanda, tanah-tanah rampasan era kolonial itu, sebagai milik negara atas nama seluruh rakyat Indonesia dan dikelola melalui mekanisme HGU.

Karena itu pula menurutnya Gereja tidak merampok tanah Nangahale dan Patiahu dari suku setempat atau menerimanya begitu saja sebagai hadiah dari penjajah Belanda. Tetapi Gereja membeli tanah rampasan tersebut dari perusahaan Belanda.

Wajar apabila kemudian ia tak mau tahu bahwa tidaklah semua orang—apalagi orang-orang miskin—punya cukup uang untuk membayar pajak setiap tahun kepada negara sebagai sewa atas pengelolaan tanah. Ia juga sepenuhnya mengabaikan bahwa dalam penerapan UU No.5 Tahun 1960 seringkali terjadi ketidakadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah, tumpang-tindih hak atas tanah akibat kurangnya koordinasi antar instansi terkait, serta belum optimalnya sistem pendaftaran tanah, yang ujung-ujungnya hanya menguntungkan mereka yang punya uang dan kekuasaan.

            “Dengan adanya sertifikat yang dikeluarkan oleh BPN maka PT. Krisrama (di dalamnya ada Keuskupan Maumere dan Seminari Tinggi Ledalero) diberi hak resmi oleh negara untuk mengelola tanah itu dengan konsekuensi membayar pajak setiap tahun (pajaknya bukan sedikit),” tulis pastor lain, Pater Yosef Kusi SVD, seperti dikutip oleh www.kpksigap.com. “Para penyerobot tinggal di wilayah itu tapi kita yang membayar pajak. Kalau ikut apa yang dikatakan oleh pemerintah, mestinya mereka sudah punya tanah dengan sertifikat. Tapi kelihatannya mereka justru mau mengatur pemerintah/negara,” tambahnya sembari mengungkapkan bahwa nyawanya pernah terancam oleh ‘para pemukim liar’ itu ketika ia melaporkan pencurian pohon-pohon kelapa ke polisi. 

.           Dan senada dengan Pater Jebadu, Pater Kusi pun mengingatkan agar pihak-pihak yang tidak tahu persis, tanpa data sedikit pun, dan tanpa ikut terlibat dalam urusan penyelesaian tanah itu, untuk tidak asal omong.

“Uskup Katolik mana di dunia ini yang tidak mencintai umatnya, yang tidak ada cinta kasih dan menggusur umatnya sendiri secara tidak manusiawi, serta merampas tanah mereka?” demikian tanya Pater Jebadu. Bahkan secara tidak langsung menurutnya, ada pihak-pihak tertentu—termasuk sekelompok orang internal Gereja Katolik sendiri, berjubah—yang merasa diri sangat pintar dan tahu segala sesuatu, yang bermain dalam kasus ini. Merekalah yang telah menyuapkan semua tuduhan ke banyak wartawan media online, tak terkecuali koran besar Kompas, Majalah Tempo, dan UCA News yang berkantor pusat di luar negeri. Bahkan khusus untuk penulis berita di UCA News online, ia mesti menekankan bahwa penulisnya dalah seorang putra Flores yang sudah lama tinggal jauh di Negeri Kanguru-Australia.

“Tindakan ini jelas merupakan blunder besar dan harus dituntut balik. Jika terbukti bersalah, mereka harus dihukum dan didenda, siapapun mereka, termasuk yang berjubah sekalipun, demi keadilan hukum,” begitulah Pater Jebadu mengakhiri tulisannya.

            Seperti yang telah saya katakan di atas, tak ada gunanya bagi siapa pun untuk memperdebatkan fakta hukum dalam kasus ini dengan Pater Jebadu dan pihak Keuskupan Maumere lainnya. Namun siapa pun, yang memahami sejarah dan pascakolonialisme, saya kira pasti dapat melihat dengan terang betapa rasis dan orientalisnya pandangan Pater Jebadu dalam opininya tersebut.

            “Saya tidak hanya heran mengapa Media Indonesia mau memublikasikan tulisan buruk dengan pandangan buruk seperti ini, tetapi saya juga heran bagaimana bisa Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero (IFTK) yang saya hormati, punya dosen dan doktor yang tulisan, argumentasi, dan pandangannya terhadap sejarah dan masyarakat Nusantara sangat buruk,” tulis Felix Nesi di Facebook.        Ah, tentunya saya pun turut heran, Bung![]

Siapa bilang Jakarta kota maksiat? Nampaknya pertanyaan itu harus ditahan terlebih dahulu. Pasalnya, dibalik gedung-gedung yang megah dan tempat nongkrong yang modern. Ternyata di sudut-sudut gang kecil dan perkampung di Jakarta. Banyak sekali kehadiran majelis taklim dan pengajian. Pesertanya pun lintas status, mulai dari anak-anak muda, selebritis, pejabat, hingga pengusaha. Bahkan meski bangunan-bangunan fisik terus bermunculan, arus-arus majelis taklim tetap mengalir deras dari sudut-sudut kota.

Majelis Taklim dalam Sejarah

Majelis taklim merupakan lembaga pendidikan non-formal yang berkembang pesat, khususnya di Jakarta. Majelis taklim menurut bahasa terdiri dari dua suku kata, “majelis” dan “ta’lim. Kata majelis taklim merupakan isim dari akar kata, “tempat duduk, tempat sidang, atau dewan”. Musyawarah majelis ta’lim se-DKI Jakarta yang berlangsung tanggal 9-10 Juli tahun 1980 memberikan batasan mengenai majelis ta’lim, yakni “Lembaga pendidikan non-formal yang diselenggarakan secara teratur diikuti oleh jamaah dengan tujuan untuk membina serta mengembangkan hubungan serasi antara manusia dengan Allah Swt (Suhaidi, 2021).

Dipandang dari teori pendidikan, menurut Ki Hajar Dewantara setidaknya ada tiga konsep pusat pendidikan, yakni: 1). Pendidikan rumah tangga, 2). Pendidikan sekolah, 3). Pendidikan masyarakat. Majelis taklim termasuk dalam golongan pendidikan Islam di masyarakat (Daulay, 2018). Bahkan keberadaan majelis taklim telah diakui dalam pasal 106 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Di Jakarta majelis taklim sebenarnya sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Menurut hasil penelitian Ridwan Saidi dan Alwi Shahab, budayawan Betawi. Majelis taklim yang pertama kali beraktivitas adalah majelis taklim Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi Kwitang, Jakarta Pusat pada 20 April 1890 dan merupakan yang tertua di Betawi. Sejak saat itu jumlah mejelis taklim kian lama kian meluas dan berkembang. Menurut Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta menyebutkan bahwa jumlah majelis taklim pada tahun 2023 di Jakarta mencapai 4.955 (BPS, 2023). Angka ini bahkan jika dibandingkan pendidikan keagamaan lainnya, seperti pesantren jauh lebih besar. Sebab menurut data Kementerian Agama tahun 2021 pondok pesantren di Jakarta hanya 113.

(Majelis Taklim Habib Ali Al-Habsyi Kwitang, Jakarta Pusat. Sumber: Era.id)

Maraknya majelis taklim di Jakarta sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari para pendiri bangsa ini. Sebab Jakarta sejak dulu bukan diciptakan atau dikhususkan untuk pendidikan formal keagamaan seperti pesantren, karena Bung Karno ingin menjadikan Jakarta menjadi kota metropolitan, yang tidak saja sebagai ibukota Indonesia tetapi ibukota Asia-Afrika, Jakarta akan banyak taman dan gedung-gedung besar (Setiawan, 2004).

Kenyataan ini ditambah lagi dengan naiknya Soeharto ke tampuk kekuasaan. Dimana Soeharto menjadikan pembangunan fisik sebagai satu-satunya kegiatan dalam masa kekuasaanya selama 32 tahun. Bangunan fisik hanya merupakan proyek bagi orang-orang kaya raya dan pengusaha kelas kakap. Sehingga seiring jalan waktu Jakarta menjadi kota metropolitan yang penuh sesak dengan bangunan-bangunan. Belum lagi daya tarik Jakarta sebagai kota metropolitan telah mengundang para pendatang untuk “mengadu nasib”. Sehingga secara tidak langsung urbanisasi juga menjadi salah satu rangkaian yang menambah padat penduduk di Jakarta. Menurut data kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) tahun 2024 mencatat bahwa penduduk DKI Jakarta telah mencapai 11,34 juta jiwa (Fadhlurrahman, 2024). Sehingga asumsi saya, banyaknya majelis taklim berkembang di Jakarta, dibanding perkembangan pendidikan pesantren adalah karena kekurangan lahan.

Sebab berbeda dengan pesantren yang butuh lahan luas, kehadiran majelis taklim tidak terlalu butuh makan tempat, hanya di rumah-rumah, masjid dan mushola. Kalau pun jamaahnya membludak. Sesekali menggunakan jalanan sebagai tempat dakwah.

Majelis Taklim Pusat Keilmuan dan Ekspresi Keagamaan

Kehadiran majelis taklim, khususnya di Jakarta. Dalam sejarah memiliki peran yang sangat besar. Hadirnya majelis taklim Habib Ali al-Habsyi Kwitang setidaknya telah membawa angin segar tersendiri di Jakarta, pasalnya majelis ini telah menjadi pusat genealogi keilmuan yang melahirkan sejumlah ulama Betawi seperti, KH. Abdullah Syafi’i (pendiri Perguruan Islam Asy-Syafi’iiyah) dan KH. Tohir Rohili (pendiri Perguruan Islam Ath-Thahiriyah). Selain ada KH. Syafi’i Hadzami ulama Betawi asli produk binaan majelis taklim.

Keduanya kemudian turut mendirikan majelis taklim, yakni majelis taklim Asy-Syafi’iyah di Jakarta Selatan dan majelis taklim Thahiriyah di Kampung Melayu, Jakarta Timur. Menurut KH. Sarifuddin Amsir keberhasilan majelis taklim dalam mencetak para ulama setidaknya ada tiga hal, yakni: 1). Tidak ada batasan waktu seperti di perguruan tinggi dengan SKS untuk meneyelesaikan satu disiplin ilmu, 2). Anak murid mempunyai kebebasan waktu untuk bertanya pada guru, 3). Anak murid langsung dihadapan pada kasus-kasus konret yang ada di masyarakat.

Pembelajaran yang diajarkan di majelis taklim juga meliputi pembelajaran kitab-kitab. Sebagaimana kitab karya KH. Muhadjirin Amsar ad-Darry yang berjudul Mishbah adz-Dzulaam kitab syarah fiqh Bulugh al-Maram. Kitab karya KH. Abdul Hanan Sa’id berjudul kitab Taysir (kitab tajwid). Dan kitab Sullam An-Nayrain karangan Guru Mansur, Jembatan Lima, Jakarta Barat (Kiki, 2022). Oleh karena itu, tidak heran jika karakteristik keberislaman masyarakat Jakarta, banyak dipengaruhi oleh ulama. Itu sebabnya akhlak dan perilaku masyarakat Jakarta cenderung meski tidak semua mengikuti ulama yang berbasis pada majelis taklim.

Dahulu majelis taklim hanya dihadiri oleh bapak-bapak dan ibu-ibu yang sudah berusia lanjut. Namun, sejak pasca tumbangnya Soeharto sekitar tahun 2000-an terjadi pergeseran yang begitu signifikan. Majelis taklim telah banyak digandrungi oleh anak-anak muda. Hal itu tidak bisa lepas dari kehadiran sosok seorang habaib. Sejauh pengalaman saya mengikuti majelis taklim para habaib. Kecenderungan anak-anak muda mulai tertarik mengikuti majelis taklim terbangun sejak tahun 2007.

Kehadiran para habaib jelas memiliki dampak tersendiri bagi perkembangan majelis taklim, khusus di Jakarta. Bagaimana tidak? anak muda Jakarta yang tadinya rewel, “selengean”, “bandel”, diubah citranya melalui kehadiran seorang habaib. Anak-anak muda yang tadinya nongkrong di tempat tidak jelas, kini memiliki wadah lain, yakni majelis taklim. Pesona dan kharisma seorang habaib ternyata mampu menciptakan polariasi yang begitu kuat di kalangan anak muda ibukota. Adapun bentuk polarisasi itu sejauh pengalaman saya adalah terbentuknya identitas “anak majelis” dan “yang bukan”. Selain, jika kita melihat pada hari-hari tertentu, seperti malam minggu banyak majelis taklim pimpinan habaib dihadiri anak-anak muda.

(Jamaah Pengajian Majelis Rasulullah Saw, Sumber: Kompasiana)

Walaupun majelis taklim para habaib tidak mengajarkan literatur keislaman klasik yang “berat-berat” (meski tidak semua). Dan hanya berisi ceramah dan sholawat, namun setidaknya mampu membentuk karakter anak muda Jakarta untuk cinta kepada Nabi Muhammad Saw melalui sholawatan. Selain itu, kehadiran sosok habaib sendiri memiliki makna khusus di hati para anak muda Jakarta, terutama soal keberkahan. Sebagain anak muda percaya bahwa mengikuti setiap majelis taklim yang diisi para habaib akan membawa pada keberkahan, termasuk saya. Berkah secara etimologi diambil dari bahasa Arab, “baraka-yabruku-burukan wa barokatan”, yang berarti kenikmatan dan kebahagiaan. Jika diperhatikan lebih jauh, ternyata asal kata berkah dari baraka, artinya yang mempunyai nilai kebaikan. Sehingga makna berkah dapat dimaknai sebagai bertambahnya nilai kebaikan terus-menerus terhadap dirinya maupun orang lain disekitarnya (Alaydrus, 2009).

Bahkan jika kita melihat beberapa sumber wawancara mengenai hadirnya majelis para habaib. Maka kita akan menemukan berbagai kesan akan perubahan dalam hidupnya. Sebagaimana yang dikutip oleh Republika, “Ahmad Irfan (21), karyawan PT. Karya Widodo Motor, di Pancoran Jakarta Selatan mengaku sangat menikmati pengajian Majelis Rasulullah Saw pimpinan Habib Munzir al-Musawa. Menurutnya sejak dirinya mengikuti majelis ini, kehidupannya yang dahulu luntang-lantung, kini merasa berubah dan berbeda” (Zuhri, 2013).

Apa yang dikatakan Ahmad Irfan tentu berbeda dengan konteks hari ini ketika lahir istilah Gen-Z. Sebab di masa-masa itu teknologi belum menjadi digital natives atau belum menjadi panduan mencari spiritualitas seperti saat ini. Sehingga bila dikaitkan dengan perasaan cemas, overthinking, dan gelisah akibat tekanan modernitas yang menuntut hidup harus pasti dan terarah. Maka solusi kala itu adalah majelis taklim. Asumsi saya mungkin ini salah satu mengapa majelis taklim masih eksis sampai saat ini, terutama majelis yang dipimpin oleh habaib, adapun media sosial yang dikemudian hari muncul semakin melengkapi.

Para habaib dalam konteks ini, selain sebagai tokoh sentral yang memiliki pesona dan kharisma, ternyata juga mampu menjadi apa yang dikatakan oleh Clifford Geertz sebagai makelar budaya (cultural broker), yakni menjadi juru kendali dan sosok kunci dalam pembentukan budaya atau karakter masyarakat muslim serta menjembatani antara yang modern hedonis (dalam konteks Jakarta) dengan yang religius mengaji (ukhrawi) (Sunanto, 2020).

(Jamaah Pengajian Majelis Nurul Mustofa pimpinan Habib Hasan Assegaf, Sumber: Tribunnews.com)

Layaknya seperti gayung bersambut, majelis-majelis taklim pimpinan para habaib ini juga menyambut antusias anak-anak muda ibukota dengan menciptakan merchandise, seperti kaos, helm, dan jaket (seperti jaket Majelis Rasulullah Saw). Merchandise di dalam majelis taklim bukan lagi sekedar sarana dakwah untuk mengajak anak muda cinta sholawat, melainkan sudah menjadi gaya hidup anak majelis taklim Jakarta. Sebab bisa dipastikan bila kita menghadiri majelis-majelis taklim pimpinan para habaib, setidaknya kita akan menemukan anak-anak muda memakai simbol dari majelisnya para habaib.

(Jamaah Pengajian Majelis Nurul Mustofa pimpinan Habib Hasan Assegaf, Sumber: Tribunnews.com)

Oleh karena itu seiring berjalannya waktu, majelis taklim bukan hanya berfungsi sebagai tempat mentransmisikan keilmuan semata, melainkan telah menjadi tempat anak-anak muda meningkatkan gairah keberagamaannya melalui simbol-simbol, selain jaket, simbol-simbol yang sering dipertontonkan adalah konvoi motoran. Kehadiran konvoi majelis taklim ini, meski dalam beberapa hal menimbulkan kemacetan. Tetapi mampu membentuk citra majelis taklim yang tadinya terkesan kaku menjadi lebih kekinian dan menarik, khususnya di kalangan anak muda.

(Contoh pamflet ajakan untuk konvoi majelis, Sumber: Facebook)

Sehingga anak muda Jakarta secara tidak langsung, sebagaimana disampaikan oleh Wasisto Raharjo Jati dalam, “Politik Menengah Muslim Indonesia” tahun 2016, tengah membangun identitas baru dalam beragama. Anak muda Jakarta yang tadinya tidak mengenal sholawat, enggan menghadiri maulid, tidak mengenal siapa itu habib, perlahan mulai mencintai. Sebab kesalehan atau konstruksi yang dibangun oleh majelis para habaib adalah kesalehan yang tidak muluk-muluk, dalam arti kesalehan yang sifatnya mudah dan menarik tetapi bermakna, termasuk bagi saya pribadi, yakni mencintai Nabi Muhammad Saw dengan sholawat (Jati, 2021).

Menuntut sifat kemudahan bagi kalangan muslim perkotaan seperti, Jakarta. Sejatinya tidak lepas dari rutinitas hidup. Jakarta adalah tempat bekerja siang dan malam. Di tengah rutinitas yang tidak kenal henti. Masyarakat, khususnya kelas menengah tidak sempat lagi untuk belajar agama yang “berat-berat” karena waktunya habis untuk bekerja. Sehingga salah satu cara untuk “tobat”, seperti saya dan mengisi ruang kosong religiusitas di dalam dirinya adalah dengan menghadiri majelis taklim.


Daftar Referensi

Suhaidi. (2021). Kurikulum Majelis Taklim (Fiqih-Tauhid-Tasawuf). Riau: PT. Indragiri.com.

Daulay, H. P. (2018). Sejarah Pertumbuhan & Pembaharuan Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.

Setiawan, H. (2004). Memoar Pulau Buru. Magelang: Indonesiatera.

Fadhlurrahman, I. (2024, November 16). 29% Penduduk DKI Jakarta ada di Kota Jakarta Timur pada 2024. Diambil kembali dari katadata.co.id.

BPS. (2023, Agustus 13). Jumlah Lembaga Sarana Dakwah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2023. Diambil kembali dari jakarta.bps.go.id.

Kiki, R. Z. (2022). Genealogi Intelektual Ulama Betawi (Melacak Jaringan Ulama Betawi dari Awal Abad ke-19 sampai Awal Abad ke-21. Jakarta: Jakarta Islamic Center.

Alaydrus, S. M. (2009). Agar Hidup Selalu Berkah. Bandung: PT. Mizan Pustaka.

Sunanto. (2020). Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Yahya (Biografi dan Pemikirannya). Pekalongan: Penerbit Nem.

Jati, W. R. (2021). Politik Menengah Muslim Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Zuhri, D. (2013, September 15). Habib Munzir Idola Anak-Anak Muda. Diambil kembali dari news.republika.co.id.

Barangkali hal yang paling umum dipahami oleh masyarakat mengenai sejarah awal perkembangan Islam di Indonesia adalah, keterangan yang menjelaskan tentang kedatangan Islam dengan cara damai. Sebab, sebagai pengetahuan bersama, Islam selalu dikisahkan tiba dan diterima oleh masyarakat Indonesia tidak dengan jalan penaklukan militer, kekerasan, apalagi paksaan. Melainkan, masuk dengan cara yang lebih halus, yakni dengan menggunakan pendekatan kultural. Pendekatan yang melibatkan dialog intensif antara doktrin-doktrin Islam dengan tradisi budaya lokal di tanah air.

Pendekatan atau dialog semacam ini, bukan hanya sebagai alasan mengapa Islam dapat diterima dengan mudah, tetapi juga menjadi semacam bentuk penyesuaian Islam terhadap tradisi kultural, di mana Islam hendak disemai, sehingga melahirkan produk kebudayaan baru yang dijiwai oleh spirit tauhid dan ajaran kemanusiaan. Yang mana dalam terminologi Almarhum K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur disebut dengan istilah “Pribumisasi Islam”.

Pribumisasi Islam dalam Pandangan Gus Dur

Istilah pribumisasi Islam pertama kali dipopulerkan oleh Gus Dur di awal tahun 80-an. Gagasan pribumisasi Islam ini muncul sebagai bentuk respon Gus Dur terhadap, menguatnya kecenderungan purifikasi agama, sebuah gerakan yang lebih cenderung mengarah ke bentuk “arabisasi” ketimbang islamisasi. Gerakan ini bertujuan untuk menyeragamkan atau memformalisasikan agama dalam segala aspek, baik dalam aspek kehidupan sosial budaya masyarakat yang ingin digantikan dengan “Tradisi Budaya Arab”, maupun dalam aspek hukum ketata negaraan, yang berusaha memaksakan Quran-Hadis sebagai landasan formil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kecenderungan inilah, yang dinilai oleh Gus Dur, berpotensi mengancam masyarakat Indonesia, tercerabut dari akar-akar kulturalnya.

Gagasan pribumisasi Islam Gus Dur ini, boleh dibilang merupakan bentuk sintesis dari perjumpaan Islam yang mengusung nilai-nilai universal, dengan tradisi budaya lokal yang bersifat partikular. Perjumpaan ini sekiranya juga dapat dibaca, sebagai hasil rekonsiliasi dan atau akomodasi Islam terhadap tradisi budaya yang dijumpai Islam di wilayah persemaian (di luar daerah Arab, asalnya).

Kendati demikian, Gus Dur menekankan bahwa, sasaran wilayah kajian pribumisasi Islam adalah wilayah yang menyangkut manifestasi kehidupan sosial kultural masyarakat belaka, bukan wilayah ajaran yang menyangkut inti keimanan dan kewajiban syariat Islam. Sehingga dengan tegas Gus Dur menolak, jika pribumisasi Islam, disalah pahami sebagai bentuk sinkretisme, karena pribumisasi Islam tujuannya bukanlah untuk memadukan teologi Islam dengan sistem kepercayaan lain. Melainkan, mempertimbangkan kebutuhan-kebuthan lokal untuk merumuskan hukum agama, tanpa harus merubah agama. Demikian juga sebaliknya, bukan untuk meninggalkan norma agama demi mengukuhkan tradisi budaya, tetapi mengakomodir kebutuhan-kebutuhan tradisi budaya, menggunakan ruang dialog yang disediakan oleh nash agama melalui regulasi kaidah usul fiqh (Wahid, 2021).

Sehingga dengan tegas Gus Dur menolak, jika pribumisasi Islam, disalah pahami sebagai bentuk sinkretisme, karena pribumisasi Islam tujuannya bukanlah untuk memadukan teologi Islam dengan sistem kepercayaan lain.

Secara singkat, Gus Dur mengilustrasikan pribumisasi Islam itu sebagai bagian dari sejarah, baik di tempat asalnya maupun di wilayah-wilayah persemaian lainnya, termasuk di Indonesia. Yang mana, kedua sejarah tersebut membentuk sebuah “sungai besar”. Sungai yang terus mengalir dan terus dimasuki kali-kali kecil lainnya. Kendati secara kualitas, airnya bisa berubah, namun sungai itu, teteap “sungai” yang sama (Wahid, 2021). Kurang lebih maksud dari perumpamaan Gus Dur tersebut adalah, pergulatan Islam dengan realitas sejarah tidak lantas mengubah Islam, melainkan hanya mengubah manifestasi kehidupan beragama dari pemeluknya saja.

Berangkat dari pandangan Gus Dur di atas, sekiranya dapatlah dimengerti bahwa pada dasarnya Islam yang kita warisi hari ini, merupakan hasil dari peroses panjang, penetrasi Islam terhadap budaya lokal kita di masa lalu. Suatu peroses yang melibatkan dialog intensif antara doktrin-doktrin Islam dengan beragam tradisi, tata nilai lokal yang lebih dulu hidup di tengah-tegah masyarakat Indonesia.

Problem Pribumisasi Islam di Lombok

Dalam konteks Lombok, sejarah Islam belum menunjukkan perkembangannya yang signifikan. Rekonstruksinya masih terfokus pada narasi islamisasi pada abad ke-16, yang dipelopori oleh Sunan Prapen, keturunan Sunan Giri dari Gersik, Jawa Timur. Kajian-kajian tersebut, saya kira belum bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai proses Islamisasi di masa lalu. Dinamikanya pun tidak banyak berubah, sehingga belum dapat menawarkan gambaran yang lebih utuh, tentang bagaimana proses penubuhan Islam di Tanah Sasak ini.

Hal ini dapat dimengerti, dari minimnya kajian sejarah yang berfokus pada telaah, mengenai proses dialog antara Islam dan tradisi pra-Islam yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Sasak-Lombok, baik sebelum maupun setelah kedatangan Sunan Prapen. Padahal, di tempat lain, pengkajian bentuk-bentuk dialog awal semacam ini, merupakan bagian terpenting yang dapat dijadikan rujukan untuk menggali dan memahami proses pembentukan identitas keberislaman masyarakat lokal mereka. Oleh karena itu, pembahasan tentang pribumisasi Islam, khususnya dalam konteks Lombok, masih sangat relevan, untuk membangun perspektif yang lebih kosmopolitan dan matang dalam menyikapi realitas keberagaman mengenai cara hidup berislam sekaligus berbudaya masyarakat, yang sejatinya selalu plural atau tidak pernah tunggal.

Oleh karena itu, pembahasan tentang pribumisasi Islam, khususnya dalam konteks Lombok, masih sangat relevan, untuk membangun perspektif yang lebih kosmopolitan dan matang dalam menyikapi realitas keberagaman mengenai cara hidup berislam sekaligus berbudaya masyarakat, yang sejatinya selalu plural atau tidak pernah tunggal.

Di samping itu, pemahaman tentang Pribumisasi Islam Sasak ini sangat penting untuk mengatasi kecenderungan diskriminiasi terhadap manifestasi Islam kultural yang ada di Lombok. Sebab, seperti keterangan yang dikemukakan oleh M. Jadul Maula, bahwa bentuk-bentuk tradisi Islam kultural di Indonesia, sering digunakan sebagai dalih atau alasan untuk meminggirkan Komunitas Islam tertentu dengan sebutan Islam Lokal, Islam Adat, Islam Tradisional atau Islam Sinkretik. Bahkan tak jarang diberi streotip tanpa alasan yang jelas, sebagai praktik penyimpangan terhadap kemurnian Islam (Maula, 2019). Sehingga tak heran, beberapa dekade ini, daerah-daerah Lombok yang teridentifikasi atau diperkirakan sebagai titik awal pertumbuhan Islam, sebut saja di antaranya seperti; Daerah Bayan, Pejanggik, Pujut, Jerowaru, Sekotong, dan daerah pinggiran Lombok lainnya, kerap kali dilabeli stigma negatif sebagai daerah-daerah yang masih mengamalkan paraktik-praktik “sampar” (baca; Islam Sinkretis), karena dianggap sesat, memadukan syariat Islam dengan tradisi budaya lama (pra-Islam) dalam penyelenggaraan upacara-upacara adat maupun tradisi keagamaan lainnya.

Bentuk-bentuk Pribumisasi Islam di Lombok

Diskriminasi terhadap manifestasi Islam kultural yang ada di Lombok tersebut, boleh jadi disebabkan oleh cara pandang masyarakat yang kurang tuntas, kemungkinan karena mereka memperoleh kajian agam hanya dari satu sumber otoritas saja. Sehingga, ketika melihat praktik-praktik Islam kultural di luar dari pemahaman yang mereka dapatkan selama ini, dengan segera mereka menganggap hal tersebut sebagai bentuk-bentuk penyimpangan.

Oleh karena itu, sangat penting bagi otoritas-otoritas keagamaan, membangun perspektif yang lebih holistik, untuk menyikapi masalah ini. Caranya, dengan melakukan kajian yang mendalam mengenai pribumisasi Islam, dan berupaya melakukan pengembangan terhadap nash agama. Hasil kajian mereka inilah, yang perlu difatwakan, sebagai dasar hukum atau pegangan bagi masyarakat untuk menilai praktik-praktik keberislaman di sekitar mereka. Sebab, bentuk-bentuk diskriminasi seperti yang telah saya kemukakan sebelumnya, tidak akan terjadi andai kata, masyarakat memiliki wawasan yang luas untuk memaknai arti perbedaan, dan menerima kemestian akulturasi Islam dengan tradisi budaya lokal sebagai proses yang wajar (alamiah).

Sebagai contoh, pola pembangunan masjid kuno di Lombok, seperti Masjid Kuno Gunung Pujut, Masjid Kuno Rembitan, Masjid Kuno Bayan dan masjid kuno lainnya, menunjukkan hal ini. Masjid-masjid tersebut tidak hanya, secara arsitektur memiliki kemiripan dengan masjid-masjid kuno di Jawa, seperti Masjid Demak misalnya, tetapi juga memiliki ciri khas yang menarik; karena hampir semunya dibangun di atas bukit atau setidaknya di dataran tinggi.

Tentang kecenderungan ini mengingatkan saya pada konsep kepercayaan dalam agama Hindhu-Buddha (mungkin agama masyarakat Suku Sasak sebelum Islam masuk). Dalam kepercayaan Hindhu-Buddha gunung atau meru merupakan tempat yang paling agung dan mulia, karena gunung diyakini merupakan tempat bersemayamnya para dewa (Poesponegoro & Notosusanto, 1984). Dugaan saya, pola pembangunan tempat ibadah seperti ini sengaja diadopsi oleh penyebar Islam awal di Lombok, sebagai bagian dari strategi untuk mendekati masyarakat agar mereka tertarik dengan Islam. Seraya, secara gradual mubalig-mubalig itu, meluruskan niat keimanan masyarakat ke arah tauhid yang benar, sesuai dengan ajaran Islam.

Pola hubungan yang sehat antara Islam dan budaya lokal masyarakat Sasak ini sepertinya juga tercermin dalam tradisi roah. Kendati pola tradisi ini merupakan pola umum dalam praktik pelaksanaan Islam kultural di daerah lain. Namun tradisi roah tetap perlu saya kemukakan sebagai pembeda, antara tradisi Islam kultural yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Sasak-Lombok dengan tradisi Islam kultural di tempat lain.

Istilah “roah” kemungkinan besar merupakan hasil adopsi dari nama bulan dalam sistem penanggalan Hijriyah, yakni bulan Sya’ban, yang berlaku bagi masyarakat Sasak. Dalam prakteknya, secara simplisitis roah dihubungkan dengan tradisi mengirim doa kepada arwah keluarga yang telah meninggal dunia, namun seiring waktu istilah ini berkembang menjadi tradisi sosial-keagaman untuk mengekspresikan banyak hal, seperti perasan haru, harap, maupun rasa syukur yang mendalam masyarakat atas limpahan karunia Ilahi.

Kini, roah telah menjadi tema besar dalam setiap acara hajatan di kalangan masyarakat Sasak. Segala bentuk kegiatan sosial, yang berkaitan dengan acara hajatan hidup (urip) maupun kematian (pati), seringkali diaktualisasikan dengan menyelenggarakan roah. Tata pelaksanaannya cukup sederhana, yakni dengan menyelenggarakan acara dzikiran dan pembacaan doa yang dipimpin oleh seorang kiai kemudian ditutup dengan jamuan makan oleh tuan rumah. Perjamuan ini diniatkan sebagai sedekah atau amal jariyah, ragam makanan yang disajikan, disesuaikan dengan kemampuan tuan rumah, konsep acaranya dan kuliner khas setempat.

Rekonsiliasi dan akomodasi Islam terhadap adat kebiasaan masyarakat Suku Sasak ini juga dapat dicermati dalam tradisi pernikahan. Dalam realitas kehidupan masyarakat Suku Sasak, secara umum berkembang suatu pemahaman bahwa jodoh, rizki dan kematian adalah Hak Tuhan yang tidak seorang pun manusia boleh mengatur atau mengintervensinya. Implikasi logis dari pandangan ini, terutama dalam konteks pernikahan adalah, pembicaraan apa pun mengenai persiapan pernikahan, seperti lamaran, jumlah mahar dan lain sebagainya, kurang bisa diterima oleh masyarakat yang masih ketat mempertahankan adat. Hingga solusi yang ditawarkan adalah,  calon pengantin perempuan harus dibawa lari, pergi dari rumah orang tuanya oleh calon pengantin laki-laki. Tentu, perginya perempuan dari rumah dengan tujuan menikah ini, telah lebih dahulu direncanakan atau telah disepakati bersama oleh kedua mempelai (calon laki-laki dan perempuan), bukan meninggalkan rumah karena paksaan dari pihak lain.

Meskipun, pola adat atau kebiasaan seperti ini dapat dihubungkan dengan kaidah; al-adah muhakkamah (adat istiadat sebagai dasar hukum). Namun, kenyataannya masih banyak masyarakat Sasak yang kurang setuju dengan cara membawa lari pengantin perempuan ini, bahkan mereka tak segan-segan menyebutnya sebagai cara pra-nikah yang tak islami. Padahal, saya kira pola tradisi atau kebiasaan masyarakat ini, memiliki peranan yang sangat penting sebagai ruang untuk menampung aspirasi lokal mengenai pemahaman tentang nilai kebijaksanaan yang mereka pegang teguh, atau kearifan lokal yang sejatinya juga berpijak pada pandangan agama. Sebab, bagaimanapun juga, penyelenggaraan acara pernikahan ke tahap selanjutnya, kedua mempelai wajib dinikahkan sesuai dengan ketentuan agama (Islam) yang berlaku. Adapun praktik membawa lari calon pengantin perempuan, hanyalah merupakan bagian dari tradisi pra-nikah yang tidak diatur oleh agama, sehingga tidak diwajibkan diberlakukan untuk masyarakat Sasak-Lombok, melainkan hanya sebagai alternatif atau cara lain yang telah dianggap wajar sebagai norma adat.  

Demikianlah beberapa bentuk-bentuk pribumisasi Islam yang dapat saya kemukakan dalam kesempatan kali ini. Kendati masih banyak tradisi-tradisi lain yang belum sempat saya singgung seperti misalnya; maulid adat, mi’rat, lebaran topat, ngayu-ayu, ngerantok, doyan nade, nyoyang, rebo bontong dan tradisi-tradisi lainnya. Namun saya kira, beberapa contoh yang telah saya singgung sebelumnya, telah cukup memberikan gambaran mengenai persoalan pribumisasi Islam dalam konteks masyarakat Sasak-Lombok. Sepertinya, pribumisasi Islam di Lombok tidak hanya berfokus pada penereimaan ajaran agama semata, tetapi juga mengarah pada upaya untuk menemukan titik temu antara tradisi lokal dan ajaran Islam, tanpa mengorbankan esensi dari keduanya. Dengan demikian, dapatlah dimengerti bahwa agama dan budaya lokal, sejatinya tidak pernah saling menegasi, melainkan saling memperkaya dan membentuk identitas keagamaan yang lebih berakar pada konteks sosial kultural masyarakat setempat. Wallahua’lam!


Bahan Bacaan:

Bizawi, Z. M. (2003). Dialektika Tradisi Kultural: Pijakan Historis dan Antropologis Pribumisasi Islam. Afkar, 33-67.

Maula, M. J. (2019). Islam Berkebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Kaliopak.

Poesponegoro, M. D., & Notosusanto, N. (1984). Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Wahid, A. (2021). Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan. Depok: Desantara.

Wahid, A. (2024). Tuhan Akrab Dengan Mereka. DKI Jakarta: YBAW.