Lembar
Menonton film Monisme di Festival film terbesar di Indonesia, Jogja-Netpac Asian Film Festival 2023 (JAFF 18th) yang dihadiri lebih dari 20.000 penonton dan Forum Film Dokumenter (@ffdjogja) tahun 2023 di Jogjakarta, tidak pernah terpikir sebelumnya oleh penulis akan mendapatkan sensasi menonton film yang berbeda dari biasanya.
Ulasan film Monisme sendiri sebenarnya sudah banyak kita temukan di berbagai platfom media. Namun demikian, penulis merasa perlu menambahkan beberapa hal, karena masih ada unsur menarik lainnya yang bisa dielaborasi lebih mendalam dari film ini. Menurut penulis, sebagai film hasil karya anak bangsa Indonesia Monisme telah berhasil mendapatkan banyak apresiasi salah satunya dari mengikuti kompetisi di kategori Kompetisi Panjang Internasional di Festival Film Dokumenter 2023. Film yang disutradarai oleh Riar Rizaldi ini, adalah satu-satunya film Indonesia yang masuk dalam sesi “Main competition section”, ( kompetisi utama).
Film Monisme telah mengikuti perjalanan kompetisi panjang di berbagai festival film Internasional di banyak negara, antara lain; Adelaide Film Festival @adlfilmfest, Bucharest International Experimental Film Festival, dan memenangkan Best Feature Film Award @bieff2023, Festival Film Perancis @fidmarseille, UK Festival Film , Open City Documentary Festival@opencitydocs di London, Black Canvas Contemporary Film Festival di kota Mexico @blackcanvasfest, Sao Paulo International Film Festival@mostrasp47th, dan masih terus diputar di manca negara yang lainnya sampai saat ini (2024).
Menariknya menonton film festival adalah adanya kesempatan untuk berdialog dengan kru produksi filmnya, yang digelar setelah menonton film tersebut. Dalam forum itu, beberapa pertanyaan diajukan oleh penonton dalam konteks memahami cerita. Penonton mengalami kesulitan dalam menangkap cerita antara batas cerita fiksi yang berdasarkan imajinasi dengan fakta nyata seperti dalam konteks film dokumenter yang menyajikan kejadian kehidupan yang sesungguhnya tentang manusia, tema atau topik tertentu.
Menurut pengalaman penulis, menonton film Monisme sejak awal mengalami sensasi ketegangan yang bisa meningkatkan hormon adrenalin. Seperti sensasi menonton film Batman- “The Dark Knight Rises” di awal cerita yang menyuguhkan penculikan dan pembajakan pesawat yang mematahkan badan pesawatnya satu per satu di atas udara.
Di awal cerita film Monisme menampilkan sisi kekerasan yang menonjol seperti adegan kekerasan fisik yang brutal dan di cerita selanjutnya menggambarkan adegan pemerkosaan yang dilakukan oleh sekelompok paramiliter yang hidup di seputar kaki Gunung Merapi yang mencari penghidupan dan keuntungan di situ. Adegan ini digambarkan sangat jahat atau pure evil. Menurut produser film Monisme, B.M Anggana mengatakan bahwa film bukanlah hal yang suci-suci amat. Dalam film Monisme kekerasan memang digambarkan secara keras dan gamblang. Karena jika kejahatan tersebut digambarkan dengan subtil, narasi yang akan disampaikan tidak akan sampai.
Menurut produser film Monisme, B.M Anggana mengatakan bahwa film bukanlah hal yang suci-suci amat. Dalam film Monisme kekerasan memang digambarkan secara keras dan gamblang. Karena jika kejahatan tersebut digambarkan dengan subtil, narasi yang akan disampaikan tidak akan sampai.
Diciptakannya adegan kekerasan brutal yang memuncak di tahap permulaan cerita yang dibuat dengan hiperbola itu berhasil membawa suasana mencekam yang memicu emosi penonton dan larut untuk terus mengikuti alur cerita selanjutnya. Walaupun di dalam proses penelitian di lapangan yang sebenarnya, menurut B.M Anggana, mengatakan tidak ada keterlibatan perempuan.
Dalam diskusi membahas Monisme dengan penonton, B.M Anggana mengatakan memang tidak dimaksudkan membuat sekat antara film fiksi dan dokumenter dan dibiarkan bermain di wilayah bias. Kekerasan yang ditampilkan di film tersebut menurutnya bisa dijadikan semacam refleksi bersama, mengingat kenyataan tentang kekerasan juga bisa terjadi di masyarakat. Adegan pemerkosaan tersebut ingin memberikan gambaran bahwa adanya represi brutal terhadap eksistensi perempuan di lapangan.
Tentang film Monisme, Riar Rizaldi mengatakan kepada penulis sebagia berikut: ” Ide awalnya, karena kami semua yg terlibat dalam film hidup dekat dengan Gunung Merapi, baik yg memang lahir dan besar di sana maupun yang pendatang (seperti saya) dan hidup di sana”.
Film Monisme sendiri dalam proses pembuatannya sudah dimulai sejak 2018 dalam pengumpulan datanya di lapangan. Pembuatan konsep film panjang tentang Gunung Merapi baru dilakukan di tahun 2020, yang memotret Gunung Merapi sebagai protagonis dengan menghadirkan cara pandang dari sisi sains, ekonomi (mata pencaharian) dan spiritualisme secara utuh di areanya. Pengumpulan data yang bersifat sains didapat dari Yulianto pengawas Gunung Merapi di Pos Babadan di Magelang-Jawa Tengah, dan lokasi penambangan pasir di Sleman. Pelibatan grup Jatilan sendiri menurut B.M Anggana muncul belakangan dan digunakan untuk ditautkan dengan kehidupan spiritualisme yang diyakini oleh masyarakat yang tinggal di seputar kaki Gunung Merapi.
Di perhelatan JAFF18, Monisme akhirnya diputar di tempat asal film ini dilahirkan dan memenangkan penghargaan Golden Hanoman Award, dengan mendapatkan apresiasi dari para juri yang beranggotakan : Kristy Matheson, Mandy Maharimin dan Park Ki Yong. Berikut adalah kutipan pendapat dari para juri tersebut:
“Monisme is an incredibly assured feature debute. The jury was unanimous in our appreciation of the film; in particular, we admired the bold experimentation and the bravery of its movement between genres and different types of footage. Monisme is a complex story that can only be told through the medium of cinema and heralds a very exciting cinematic voice in contemporary cinema”.
(Monisme adalah sebuah karya debut film panjang yang sangat menjanjikan. Para juri sepakat dalam mengapresiasi film tersebut, pada khususnya, kami mengagumi keberaniannya dalam bereksperimen dan dalam menggerakkan antara genre-genre dan jenis-jenis footage yang berbeda. Monisme adalah sebuah cerita yang kompleks yang hanya bisa dituturkan melalui medium sinema, dan dapat menyuarakan gagasan sinematik yang sangat menarik di ranah sinema kontemporer).
Monisme menyajikan tiga cerita yang merepresentasikan tiga sudut pandang dalam melihat Gunung Merapi seperti yang dikatakan oleh Riar, yaitu dari sains , ekonomi dan spiritual. Semua tokoh utamanya diperankan oleh Rendra Bagus Pamungkas. Rendra Bagus Pamungkas berperan sebagai seorang ilmuwan (geolog) yang sedang meneliti perkembangan aktivitas Gunung Merapi. Dari sudut pandang sisi ekonomi Rendra Bagus Pamungkas memerankan seorang penambang pasir yang mengalami problem seputar penambangan di wilayah Gunung Merapi, dan dari sisi spiritual memerankan tokoh mistik yang menggunakan medium Jathilan (seni Kuda Kepang) dalam mengekspresikan kegiatan spiritualnya yang sudah menjadi bagian dari kehidupan yang bersifat naluriah dan melekat pada kepercayaan masyarakat di wilayah kaki Gunung Merapi.
Karakter- karakter itu mewakili tiga sudut pandang tentang kehidupan manusia dalam hubungannya dengan alam yang direpresentasikan oleh Gunung Merapi. Relasi hidup manusia dalam tiga peran itu selalu berhadap-hadapan dengan otoritas pemerintah dalam memperlakukan Gunung Merapi. Otoritas ini diwujudkan dalam bentuk paramiliter yang diperankan tetap oleh Whanidarmawan dan kawan-kawan. Penggarapan jalinan ceritanya berhasil ditampilkan mengaduk emosi penonton di keseluruhan cerita. Sebuah eksperimen sangat berani dalam menerabas alur “pakem”. Memberikan pengalaman pembebasan berimajinasi kepada penonton untuk menikmati alur film di luar kebiasaan. Alur yang kaitannya tidak bisa dinalar dengan jelas membawa emosi penonton pada wilayah perbatasan remang-remang yang menegangkan.
Film Monisme berhasil menjadi film eksperimental hybrid. Para juri Hanoman Award memujinya dalam hal keberaniannya mencangkokkan genre- genre dan bermacam jenis footage yg berbeda. Namun demikian, kepada penulis Riar mengatakan bahwa Monisme bukanlah sebuah genre baru. Kenyataan jalinan cerita dalam film Monisme bisa mengaduk emosi penonton, memang dikatakan oleh Riar bahwa menurutnya film itu bukan cuma cerita tapi juga perasaan dan pengalaman. “Jadi saya lebih fokus ke dua hal itu dibandingkan ceritanya”, begitu katanya melengkapi.
Film panjang eksperimental garapan Riar Rizaldi yang menghasilkan banyak apresiasi ini bisa menjadi sajian menarik karena memang diramu oleh Riar yang praktik artistiknya menurut ulasan dari Forum Film Dokumenter adalah banyak berfokus pada hubungan antara modal dan teknologi, tenaga kerja dan alam, pandangan dunia, genre sinema, dan potensi fiksi teoretis. Penggarapan pada cerita fiksi dan dokumenter dalam Monisme ini adalah hasil kepiawaian Riar dalam meramu dan menuangkan semua bidang artistiknya tersebut.
Ditilik dari filsafat “Monisme” menurut filsuf Belanda Baruch Spinoza dalam ulasan Morris tentang film Monisme, mengatakan bahwa dunia terdiri dari substansi yang tunggal, dan substansi itu adalalah Tuhan. Kecuali Tuhan seperti yang dituliskan di risalah Etik-nya Spinoza, tidak ada substansi lain atau sesuatu yg dapat dikandung.
Menarik filsafat ini dengan acuan adanya singularitas sebagai pusat dari semuanya, maka film Monisme karya Riar bisa diparalelkan dengan ide Riar yang mengatakan bahwa Monisme dibikin dengan konsep semua hal menjadi satu. Dalam artian dunia di Monisme melebur tidak mengikuti logika film narasi fiksi ataupun dokumenter, di mana karakter itu jelas siapa pemerannya dan apa subyeknya. Dan yang utamanya kecuali Gunung Merapi sebagai peran utama, karakter itu bisa diperankan oleh siapa saja. Yang paling penting, setiap karakter ini merepresentasikan cara pikir mereka terhadap Gunung Merapi.
Pandangan singularitas Riar dalam filmnya Monisme ini yang menjadikan Gunung Merapi sebagai pusat segalanya dari semua yang berhubungan dengan Gunung Merapi, sudah dinarasikan sejak awal cerita. ”Merapi bukan hanya sekedar bentuk fisik, konsep waktu dan peristiwa yg kita alami sehari-hari semuanya berdasarkan dari perhitungan kapan Merapi erupsi”.
Ditilik dari sisi konsep waktu dan peristiwa yang mengiringinya, Gunung Merapi yg merepresentasikan alam tempat hidup manusia selalu berhadapan dengan semua kepentingan manusia yg hidup di sekelilingnya. Perjalanan waktu telah membawa evolusi kehidupan manusia dari jaman pemburu pengumpul sejak 100-150 tahun yang lalu hingga mencapai abad digital di abad 21, telah menunjukkan bahwa manusia masih gagap dalam menyesuaikan diri dengan perubahan jaman. Mulai dari masa pertanian, revolusi industri, revolusi pengetahuan ilmiah hingga mengalami kemajuan sains dan teknologi dalam bentuk revolusi kembar digital di bidang teknologi biologi dan teknologi informasi. Lompatan kognitif ini selalu membuat manusia masih gagap dalam menghadapinya sehubungan dengan memepertahankan keberlangsungan hidupnya di bumi. Hubungan manusia dengan alam telah mengalami perubahan drastis dimana manusia tidak lagi merawat ekosistemnya untuk menopang kehidupannya, tapi justru memperlakukan alam cenderung mengekploitasi. Otoritas pemerintah disini sebenarnya diperlukan berperan sebagai pihak stakeholder pengontrolnya, tetapi praktiknya di lapangan justru memprihatinkan. Kasus yang digambarkan oleh penambang dalam cerita di Monisme ini bisa berbicara tentang hal tersebut.
Hubungan manusia dengan alam telah mengalami perubahan drastis dimana manusia tidak lagi merawat ekosistemnya untuk menopang kehidupannya, tapi justru memperlakukan alam cenderung mengekploitasi. Otoritas pemerintah disini sebenarnya diperlukan berperan sebagai pihak stakeholder pengontrolnya, tetapi praktiknya di lapangan justru memprihatinkan. Kasus yang digambarkan oleh penambang dalam cerita di Monisme ini bisa berbicara tentang hal tersebut.
Kemajuan sains dan teknologi di bidang komunikasi dengan adanya Artificial Intelligent perlu diwaspadaidalam memperburuk keadaan di ranah hubungan antara manusia dan alam. Kecenderungan eksploitatif dalam memenuhi tuntutan kemajuan jaman yang selalu berkembang dan membutuhkan sumber daya alam yang besar bisa menjadi ironis. Karena kemajuan yang pesat di bidang sains dan teknologi itu, justru menghadapkan manusia pada pertanyaan tentang kelanjutan ekistensinya di alam yang menghidupinya ketika tidak lagi bisa menopang. Hal ini berhubungan dengan populasi di dunia yang menurut Divisi Populasi PBB sudah mencapai 8 miliar pada 15 November 2022. Disinilah perlunya memikirkan manajemen global dalam mencukupi kebutuhan semua manusia yang terus berkembang dengan segala kebutuhannya, sementara alam yng menopangnya adalah tetap dan terbatas.
Seperti yang dikatakan Morris dalam ulasannya tentang film Monisme untuk FIDMarseille 2023, bahwa “..As the onset of Western rationalism and its imperial enterprise paved the way for a world neatly segmented into its material and spiritual constituents.Where God exists, He does so beyond the purview of the scientific method; where science thrives, similarly, folklore and intuition have little place.”
(Ketika serangan rasionalisme dan institusi bersifat imperialisme Barat sukses mengkotakkan dunia menjadi komponen material dan spiritual, dimana Tuhan ada, maka Tuhan berada di luar ruang lingkup metode sains; dimana sains tumbuh subur, kondisinya mirip, folklore dan intuisi juga mendapatkan ruang yang sempit).
Monismenya Riar yang menampilkan kompleksitas masalah yang dialami oleh manusia yang berkorelasi langsung dengan kondisi alam, membutuhkan kesadaran pada penggunaan kecerdasan emosi untuk meyeimbangkan pemikiran yang bersumber pada rasionalitas. Semua kemajuan manusia di bidang sains dan teknologi saat ini telah membawa manusia hidup lebih condong menggunakan kognitif dan merasionalkan semua aspek kehidupan untuk kemajuan. Penyeimbangan pemikiran dengan kesadaran dalam mengelola hidup bersama dengan manusia lain secara luas, perlu diperhatikan sehubungnan dengan perlakuan manusia kepada alam dalam mencukupi kebutuhannya.
Dunia sains, menurut Karlina Supeli, menerapkan cara berpikir yang sistematis dan bertopang pada pernyataan-pernyataan yang bisa diuji kepada setiap orang yang mau belajar metodenya. Sains menghindari subyektifitas dan bekerja secara obyektif. Dalam film Monime keberadaan sains dihadapkan pada otoritas yang menindas dimana menyiratkan bahwa segala sesuatu yang terukur belum bisa diterima sebagai cara hidup dalam masyarakat. Di film Monisme ketika berbicara dari sudut pandang sains maka ditunjukkan cara kerja geolog yang berhubungan dengan metodologi dan alat pengukur seperti seismograf. Ini menyimbolkan ciri kerja dari sains yang menerapkan metode dengan melakukan observasi data empiris secara obyektif dalam memecahkan masalah.
Sedangkan dari sisi sudut pandang spiritual, manusia yang mempraktekkan hidup mengandalkan intuisi dan keyakinan yang bergantung pada alam, saat ini juga mengalami persoalan ketika dunia berkembang pada ranah rasionalisme. Karena ketika sains yang tumbuh subur maka akan menhghasilkan hubungan yang tidak seimbang antara hidup yang bisa dirasionalisasi dan hidup yang berdasarkan keyakinan dan intuisi.
Menurut teori evolusi manusia yang mencapai seratus ribu sampai seratus limapuluh ribu tahun yang lalu, manusia sebagai species homo sapiens sudah beradaptasi dengan hidup bersama alam sejak masa pemburu pengumpul yang mengandalkan intuisi dan realitas subyektif manusia. Tidak menganggap realitas obyektif benar dan salah menjadi faktor utama yang dipertimbangkan dalam mengambil tindakan.
Sisi spiritualisme sebenernya bisa berhubungan dengan bentuk mitigasi bencana yang dimiliki oleh nenek moyang bangsa Indonesia, sebagai ilmu titen dalam bentuk meme. Metode yang digunakan sejak turun temurun dalam bentuk folklor yang bersifat takhayul bagi sains. Folklor dan ilmu titen memang datanya bersifat kepercayaan atau praktek tentang hal ikhwal yang ada dalam khayalan. Jathilan dalam film Monisme adalah bentuk folklor yang digunakan sebagai representasi spiritual yang di sini digambarkan mendapat tekanan dari otoritas yang menguasai Gunung Merapi.
Di kawasan Gunung Merapi pernah memiliki sosok Mbah Marijan yang melegenda dalam kesetiaannya mengabdi kepada Gunung Merapi. Mbah Maridjan adalah sosok spiritual yang hidupnya menjaga Gunung Merapi dari semua usaha manusia yang mencoba merusaknya. Mbah Maridjan dan para leluhur sebelumnya yang tinggal di kaki Gunung Merapi membuat sistem mitigasi bencana dalam menjaga Merapi dari pengrusakan manusia dengan menciptakan mitos adanya Eyang Merapi yang marah, dan perlunya memberi penghormatan kepada Merapi.
Mbah Maridjan juga berani menentang otoritas pemerintah terhadap Gunung Merapi ketika wilayah Merapi dikeruk pasirnya dengan alat berat atau begho (eskavator), yang baginya ini adalah bentuk eksploitasi terhadap alam Gunung Merapi secara berlebihan. Di tahun 2006, Mbah Maridjan sempat menghimbau kepada para Bupati Sleman, Magelang, Boyolali dan Klaten untuk mengusir bekho-bekho (ekskavator) yang mengeruk pasir Gunung Merapi dan mengatakan bahwa yang akan ikut datang adalah awan panas jika tidak mengusir bekho-bekho itu. Mbah Maridjan mengatakan bahwa Gunung Merapi tidak akan merusak manusia selama manusia tidak merusak sekitar Gunung Merapi. Menurutnya menggunakan alat berat bekho adalah sebagai pantangan karena bisa merusak Jogja.
Demikianlah cara Mbah Maridjan, tokoh spiritual yang mencoba berkontribusi untuk menjaga alam Gunung Merapi dari eksploitasi manusia yang setia mengabdi sampai akhir hayatnya di bawah guguran lava Merapi. “Merapi kuwi sumber banyu lan pangan” (Merapi itu sumber air dan sumber penghidupan), begitu kata mbah Maridjan kepada seorang wartawan yang mewawancarainya.
Di sisi lain Merapi pun bisa menjadi sumber bencana yg pernah menewaskan 353 termasuk Mbah Maridjan dan mengungsikan 320.090 jiwa ditahun 2010 dalam 100 tahun terakhir erupsinya. Bahkan menurut ilmu geologi, Gunung Merapi juga punya potensi bisa menjadi sumber kepunahan semua species dalam lingkup jangkauannya jika belajar dari letusan-letusan dahsyat dari gunung-gunung berapi lainnya di dunia yang pernah terjadi.
Sosok paramiliter yang ditampilkan di film Monisme adalah merepresentasikan semua otoritas yang menguasai Gunung Merapi dan selalu berbenturan dengan semua sisi dari tiga sudut pandang yang merepresentasikan hubungan manusia dengan alam tersebut. Cerita di Monisme adalah mempertontonkan narasi yang membebaskan penonton untuk mencerna dan menyikapinya sendiri.
Sisi menariknya dari film Monisme yaitu adanya pelibatan atau partisipasi masyarakat di sekitar Gunung Merapi untuk ikut serta dalam proses pembuatan filmnya. Bahkan skenarionya dan bentuk penulisannya dibuat bersama oleh masyarakat yang tinggal di kaki Gunung Merapi. Terobosan mewadahi pendapat masyarakat dalam pembuatan film ini adalah sangat menarik dan menggembirakan. Data foto-foto dan CCTV juga digunakan dari lokasi Gunung Merapi.
Di acara JAFF18 orang-orang atau masyarakat yang terlibat dalam pembuatan film Monisme yang tinggal di kaki Gunung Merapi juga diundang untuk merayakan kemenangan Golden Hanoman sebagai kemenangan bersama. Karena itulah film Monisme menurut penulis adalah bukan film biasa.
Apresiasi juri yg mengatakan bahwa Monisme adalah film yg menjanjikan dan dapat menyuarakan gagasan sinematik yang sangat menarik di ranah sinema kontemporer, mestinya menjadikan penyemangat dan pemantik kreativitas bagi para sineas Indonesia. Perlunya mengembangkan karya-karyanya dan melakukan terobosan- terobosan melalui karya film dalam memperkuat ekosistem perfilman Indonesia. Mengingat film bisa digunakan sebagai media perjuangan di bidang kebudayaan dalam memperkenalkan budaya indonesia di dunia.
Pendukung film Monisme Sutradara: Riar Rizaldi Kru & Pemain Perusahaan Produksi: New Pessimism Studio Producer: B.M Anggana Main Cast: Rendra Bagus Pamungkas, Kidung Paramadita, Whani Darmawan, Puthut Juritno, Yulianto, Suparno Naskah Skenario: Orang-orang yang hidup di di bawah kaki Gunung Merapi Sinematografer: Aditya Krisnawan Editor: Riar Rizaldi Pencapaian Penting : Bakat Asia Baru- Sutradara Terbaik|Shanghai Festival Film Kontak: rizaldiriar@gmail.com Lama tayang 115 menit|2023|Indonesia, Qatar|Eksperimental|Indonesia, Jawa| Inggris Terjemahan|21+ Negara produksi: Indonesia, Qatar Diputar di Jaff18 tgl 1 Desember 2023, bioskop Empire,dan gedung ex Bioskop Permata, 6 Desember 2023, Referensi: Athallah,Tuffahati. 6 Desember 2023. Seluruh yang Utuh dalam Rekam Nafas Merapi. Diakses 12 Februari 2024 dari https://ffd.or.id>Berita Bonivasios,Dwi, Tirza Kanya, Vanis. Monisme(2023):Riuh Kisah Magis Yang Tak Gaduh. 2023. FFD|Monisme. Diakses 10 Feb 2024 dari https://ffd.or.id > Film Guruji,DS Contributor Team. 2024. What is the Difference Between Documentary and Feature Film. Diakses pada 13 Januari 2024 dari disguruji.com Jendela Ilmu.Darimana Asalnya Otak Spiritual bersama Ryu Hasan dan Abu Marlo.You Tube Video, 1:16:00. 7 Mei 2021. Dari www.youtube.com Kisah Mbah Maridjan dan 4 Kata Pantangan. 2006.Diakses 9 Februari 2024 dari https://news.detik.com>berita KPG Book Publisher. Kenali Ragam Akalbudi bersama Ryu Hasan dan Nirwan Ahmad Arsuka|Buka Buku KPG.You Tube Video, 1:59:35. 22 Oktober 2020. Dari www.youtube.com Kuliah Umum. Dr. Karlina Supeli: Kuliah Umum Filsafat dari Masyarakat Takhayul, Hingga Matinya Kepakaran. You Tube Video, 1:06:09. 6 Agustus 2021. Dari www.youtube.com Kumparan.2023. Film Monisme Karya Riar Rizaldi Tayang di SGIFF 2023. Diakses 12 Februari 2024 dari https://m.kumparan.com>kumparanhits Monisme-18th JAFF|Jogja Netpac Asian Film Festival 2023. Diakses 12 Februari 2024 dari https://jaff.filmfest.org>monisme Sugianto. 2022.Alasan Mbah Marijan Tidak Mengungsi Saat Gunung Merapi Meletus, Begini Kisahnya. Diakses 10 Februari 2024 dari https://bondowoso.jatimnetwork.com Trisnanti, Septi Dian. 04/12/ 2023. Monisme Film Terbaik Jogja-Netpac Asian Film Festival 2023. Diakses pada 10 Januari 2024 dari https://infoscreening.co>monisme Yam, Morris.2023.Film- Monisme- Riar Rizaldi{FIDMARSEILLE’23 Review. Diakses pada 9 Februari 2024 dari https://Inreviewonline.com>monisme
(Tentang Cucu dari Santri Syaikhona Muhammad Kholil al-Bankalany)
Sinopsis:
Meeting people who move at the bottom of society, as well as capturing the pulse of society. Meeting people, by chance, gaining wisdom and experience. Yusron Aminulloh, one of Emha Ainun Nadjib’s younger brothers, embarks on a journey amidst the current of change in society. “When you are in trouble, go to someone who is in more trouble. If you are having financial difficulties, give the rest of your money to people who need it. “If you want to be calm, accompany the little ones, visit the sick, attend funerals,” were among the testaments of Muhammad, his late father. It turns out that the emotional relationship between Yusron and Gus Dur is tied to one scientific link: both of his grandfathers were students of Syaikhona Muhammad Kholil bin Abdul Lathif al-Bangkaly.
(Menjumpai orang-orang yang bergerak di masyarakat bawah, sekaligus menangkap denyut nadi keumatan. Bertemu orang-orang, secara kebetulan, menangkap hikmah-hikmah dan pengalaman. Yusron Aminulloh, salah seorang di antara adik dari Emha Ainun Nadjib, menapaki perjalanan di tengah arus perubahan di masyarakat. “Bila kau susah, datangi orang yang lebih susah. Bila kau sedang sulit ekonomi, kasih sisa uangmu pada orang yang membutuhkan. Bila bantinmu ingin tenang, temani orang kecil, jenguk orang sakit, ikuti pemakaman”, di antara wasiat Muhammad, almarhum ayahandanya. Relasi emosional Yusron dan Gus Dur, ternyata terikat dalam satu sanad keilmuan: kedua kakeknya adalah santri dari Syaikhona Muhammad Kholil bin Abdul Lathif al-Bangkaly.)
BISAKAH kita bayangkan bila tidak ada kopi? Tentu hidup tetap berjalan normal, tapi kurang asyik. Kurang membahagiakan. Kurang mengakrabkan pergaulan.
Kopi, betapa pun, adalah satu di antara minuman yang menjadi bagian penting dalam keluarga kami. Ibu saya, misalnya, dalam sehari mesti menghabiskan secangkir kopi. Belum lagi ayah saya yang petani penggarap, sebelum berangkat ke sawah harus menyeruput kopi, meskipun secangkir tak habis dalam sekali duduk.
Begitu pentingnya kopi menjadi pengiring dalam setiap pertemuan, santai maupun pertemuan serius. Bagi orang-orang santri, kopi menjadi bagian penting membangun intimitas dalam pergaulan. Bahkan, ada anjuran saat menyeduh kopi untuk berkirim Al-Fatihah kepada ‘sahibul qahwa’, Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili, pendiri Tarekat Syadziliyah. Baru setelah itu, kopi disajikan dan siap diminum.
Dalam duduk seraya menyeruput kopi itulah, saya membayangkan kembali pertemuan awal ketika Yusron Aminulloh datang bersama Bambang Sujiyono (almarhum, pendiri Bengkel Muda Surabaya) di sanggar di kompleks Balai Pemuda. Di kompleks gedung yang — pada zaman Hindia Belanda terpampang papan bertuliskan ‘Verboden voor honden en inlander’ (Anjing dan pribumi dilarang masuk) — menjadi tempat mangkal para seniman, aktivis dan intelektual, terdapat gedung yang bersebelahan dengan gedung utama.
Sanggar itu dinaungi seonggok pohon nangka yang cukup besar menjadikan rindang dalam suasana siang. Di samping kiri gedung menghadap ke timur itu, terdapat Masjid As-Sakinah, kantin dan gedung galeri Dewan Kesenian Surabaya, serta Lokaseni — pada akhirnya, seluruh gedung tersebut harus digusur untuk pembangunan Gedung DPRD Kota Surabaya. Saat itu, gedung utama Balai Pemuda masih menjadi aktivitas pameran barang-barang kelontong yang, karena konsep inilah kerap bersitegang dengan para seniman karena fungsi gedung bersejarah itu semata-mata untuk kepentingan bisnis dan perolehan untuk mempertebal PAD (Pendapatan Asli Daerah).
Di tengah gemuruh pameran seni dan pameran barang-barang kelontong, saya menyaksikan orang-orang sepi yang terus bekerja memeras otak dan keringatnya untuk memahami perubahan-perubahan di tengah masyarakat. Perubahan secara fisikal, kami menyaksikan bersama digusurnya gedung-gedung di kompleks Balai Pemuda, pada pertengahan 1990-an dan kemudian berdiri gedung lembaga wakil rakyat yang tak lagi ramah. Para seniman dan bersama para penjual kopi dan mie goreng di trotoar, harus hilang dari lokasi itu. Trotoar harus bebas dan menjadikan suasana kering tanpa diskusi orang-orang sepi, para seniman dan intelektual trotoar itu, yang saat itu begitu kritis terhadap suasana tirani di bawah kaki kekuasaan Soeharto. Kekrititan menggemuruh sebagai bagian dari kegelisahan intelektual orang-orang terpelajar, yang dieskpresikan lewat karya seni, baik pemanggungan sastra, teater dan musik. Juga tari, yang tumbuh subuh kreativitas di kawasan yang kini disebut alun-alun kota itu.
Pengenalan saya dengan Yusron Aminulloh, tak lepas dari isu yang berkembang saat itu soal bantuan gedung kesenian dari Ny Toety Aziz dari Surabaya Post, yang disampaikan kepada Wali Kota Surabaya, Sunarto Sumoprawiro. Dus, sebelum benar-benar berdiri gedung legislatif Surabaya, beredar informasi soal bantuan senilai Rp.1 Miliar dari tokoh pers yang juga pendiri suratkabar lengedaris itu. Sayangnya, kemudian terjadi masalah sehingga tidak bisa diwujudkan gedung kesenian yang menjadi harapan para seniman dan orang-orang sepi yang menggemuruh bersikap kritis pada masa itu.
Perubahan dari Diri Sendiri
Berkarib dengan Yusron Aminulloh saya kemudian tersadarkan akan makna perubahan dan pembaruan. Istilah terakhir ini dapat dipandang sebagai manisfestasi dari perubahan. Perubahan selalu mengalir tanpa henti. Ia memunculkan semacam adagium: “yang tetap adalah perubahan itu sediri” atau istilah Goenawan Mohamad, “perubahan adalah kekal”. Seperti waktu, perubahan selalu bergerak tanpa dapat dibendung oleh apa dan siapa pun. Begitulah, Yusron Aminulloh mencoba memaknai perubahan pada dirinya sendiri.
Intelektual Muslim, Mālik bin Nabi memberi gambaran: Waktu adalah sungai purba yang mengalir di dunia sejak azali. Ia mengalir di kota-kota dan menghidupkan aktivitasnya dengan energinya yang abadi, atau membuatnya tidur pulas dininabobokkan oleh senandung waktu yang lenyap entah kemana. Ia juga membanjiri setiap jengkal bumi semua bangsa, dan memasuki setiap bidang individu, dengan arus waktunya sehari-hari yang tak mungkin bisa dihentikan. Sekali ia melahirkan revolusi dan kali lain mengubahnya dengan ketiadaan. Waktu menyelusup di sela-sela kehidupan dan menyebarkan nilai-nilai di dalam apabila di situ muncul suatu kerja.
Keelokan konsep ini, kerja dimaknai dalam suatu masa atau membarengi waktu. Kerja adalah merupakan kata kunci dari perubahan. Dan dalam tataran lebih lanjut, perubahan (dalam arti positif atau dalam istilah Yusron Aminulloh, menyerap “energi positif”) merupakan salah satu kata kunci dari pembaruan, termasuk tentunya dalam kawasan pendidikan Islam dalam arti yang paling umum. Kesadaran semacam itu pulalah nampaknya yang lebih lanjut memberi inspirasi bagi upaya memungut kembali potensi ideologis yang terpendam dalam diri Islam yang digunakan sebagai tenaga penggerak bagi gagasan revivalisasi Islam sejak awal.
Dalam tegukan kopi pahit, saya teringat figur cerdas yang menghiasi jagat intelektual Indonesia pada tahun 1990: Marwah Daud Ibrahim. Meskipun ia termasuk bidan lahirnya Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pada awal Desember pada tahun itu, ia tampil sederhana dengan rambut yang terurai wajar — tanpa kerudung atau jilbab. Tapi, Yusron Aminulloh berhasil menghadirkan pandangan-pandangan yang cukup mengejutkan: Bukan emansipasi wanita yang betul emansipasi manusia. Ia berkisah soal proses sejarah, banyak peluang untuk belajar, berpendidikan baik sehingga ia yakin kondisi ideal akan hadir mengikutinya. Perempuan bisa maju tanpa harus titik balik bagi kemunduran laki-laki. Titik perimbangan yang harus dikembangkan.
Kita tersadarkan soal Revolusi Informasi yang terus berlangsung. Perempuan yang tak berkesempatan keluar rumah pun bisa mendapatkan informasi ke ruang-ruang rumah, melalui televisi maupun media cetak lainnya — kini mengalami senjakala. Bila kemudian terdapat informasi soal perempuan menjadi Perdana Menteri, seperti Margareth Thatcher di Inggris, Corazon Aquino yang menjadi Presiden Filipina, tentu akan menginspirasi perempuan Indonesia yang mengambil peluang-peluang dalam meraih pendidikan. Investasi masa depan inilah yang mengiringi kesadaran bagi setiap orang, tanpa harus melihat perempuan atau lelaki.
Yusron akhirnya mempunyai kedekatan emosional dengan Marwah Daud Ibrahim. Saat Marwah menjadi presidium di ICMI, Yusron pun aktif di organisasi para pemikir yang selalu gelisah soal perubahan itu. Demikian pula ketika sejarah bergulir dan reformasi mencapai titik baliknya, Marwah Daud Ibrahim mengambil kesempatan untuk mencalonkan diri dalam pemilihan presiden. Ia termasuk politikus yang galak ketika B.J. Habibie, saat menjadi presiden, ditolak pertanggungjawabannya di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), saat ketika Abdurrahman Wahid tampil menjadi presiden pada 1999.
Seruputan kopi dan Gus Dur
Dalam seruputan kopi, saya pun teringat ketika Yusron Aminulloh mempunyai kedekatan dengan KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Ketika Gus Dur terborgol Emha Ainun Nadjib, kakak kandung Yusron, mendambakan cucu Kiai Hasyim Asy’ari dari Tebuireng itu, menjadi lembaga sejarah yang objektivitas, ketegasan, dan kewibawaannya mengatasi hierarki budaya kekuasaan. Tokoh yang tak lagi sekadar pemimpin Nahdlatul Ulama (NU) melainkan pemimpin bangsa Indonesia. Gus Dur membuka telinga-telinga raksasa yang telah lama tuli dan mata kekuasaan yang membuta. Gus Dur dengan jiwa besar, berada tidak di bawah siapa pun dan apa pun kecuali Allah Ta’ala yang diwiridkannya setiap saat.
Gus Dur membuka telinga-telinga raksasa yang telah lama tuli dan mata kekuasaan yang membuta. Gus Dur dengan jiwa besar, berada tidak di bawah siapa pun dan apa pun kecuali Allah Ta’ala yang diwiridkannya setiap saat.
Dalam seruputan kopi, saya teringat ketika Yusron berdialog dengan seorang kiai yang tak terkenal tapi mempunyai penglihatan batin (basyirah) menjangkau yang tak tanpak di mata orang awam.
Demikian konflik selalu beriringan dengan sejarah NU, organisasi yang pernah dipimpin Gus Dur. Konflik di tengah masyarakat selalu sulit dipahami kaum awam. Rakyat jelata kerap tergagap-gagap karena peliknya masalah di kalangan suatu elite masyarakat.
Seorang guru ngaji di suatu desa memberi gambaran dengan mudah: antara kintir dan ngintir. K(Ng)intir. Seseorang yang kintir berarti sudah tak lagi mampu mengendalikan diri. Arus sungai yang deras menyeretnya ke mana-mana tanpa sedikit pun bisa ditawar. Bila sudah kintir kekuatan seseorang akan pupus dengan sendirinya. Ia tak lebih hanya menjadi bagian dari setitik air di tengah derasnya sungai. Ia tak bisa menolak ketika digiring arus untuk ke kanan dan ke kiri. Ia tak mampu lagi melihat apakah ke kanan yang baik atau ke kiri yang baik. Ia dikendalikan sebebas yang mengendalikan.
Bila orang kintir tak lagi mempunyai kesadaran diri, maka orang yang ngintir mempunyai kesadaran yang teguh, bahwa ia sengaja ngintir. Artinya, ia masih bisa melihat apa yang ada di depannya. Ketika ada batu besar di depannya, ia masih bisa menghindar. Ia bisa memilih arah dan membedakan kapan arus air itu menyesatkan dan kapan tidak. Kesadaran semacam ini, saya kira, tak hanya dimiliki oleh Gus Dur, tapi juga pemimpin NU sebelumnya, seperti KH Idham Chalid, almaghfurlah. Ia menyadari berada di tengah arus, tapi tidak larut dalam derasnya arus.
Saya sempat terkejut ketika Yusron mengupayakan pertemuan karya seni rupa Amang Rahman dan D. Zawawi Imron, di sebuah hotel di Surabaya. Dalam pameran itu, dibuka Presiden Abdurrahman Wahid. Anekdot pun muncul, seorang presiden yang tak normal penglihatannya membuka pameran seni rupa.
Yusron Aminulloh mempunyai apresiasi bagi Gus Dur dan NU. Saya kira, karena relasi emosional karena kedua kakek, Yusron dan Gus Dur, mengambil berkah dari sumber ilmu yang sama: Syaikhona Muhammad Kholil bin Abdul Lathif al-Bangkalany. Kakek Gus Dur, KH Muhammad Hasyim Asy’ari dan kakek Yusron Aminulloh & Emha Ainun Nadjib, KH Ahmad Zahid, sama-sama berguru pada Sang Guru Ulama Pesantren di Jawa itu.
Pada gemuruhnya Muktamar ke-33 NU di Jombang, 1-5 Agustus 2015, saya sempat terkejut dengan dihadirkannya ratusan koleksi foto Gus Dur yang dipamerkan atas keringat Yusron Aminulloh. Pameran foto yang diikuti beberapa wartawan istana negara di era Gus Dur berkuasa. Mereka menampilkan koleksi terbaik dari foto Gus Dur dan belum pernah dipulikasikan. Mereka adalah Agus Wahyudi dari Jawa Pos, Dodok HW Harian Surya, Mukhtar Zakaria dari AP, Agus Mulyawan dari Media Indonesia, Dadang Tri Mulyo dari Blomberg, Trisnadi AP, dan Iwan Hananto Surabaya Post. Dari foto-foto itu, terliha jelas ekpresi kepedulian sosial, ketegasan, kewibawaan dan egaliter yang selalu melekat dari sosok Gus Dur di Rumah Budaya Menebar Energi Positif (MEP) Jl. Agus Salim No.09 Jombang selama lima hari, yakni tanggal 1-5 Agustus mulai pukul 10.00- hingga 22.00 WIB.
Saya pun teringat ketika, atas undangan Yusron, berkunjung ke tempat ini bersama mas Wiek Herwiyatmo (almarhum), berdiskusi tentang kerja kreativitas dan perkembangan budaya pada 20 Juli 2014. Saya teringat, sambil menunggu keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 22 Juli, kami ngobrol soal “harga anak masuk sekolah”, perguruan tinggi yang mematok mahasiswa baru (sulit terjangkau dengan kemampuan ekonomi orangtua yang terbatas) dengan puluhan juta rupiah, bahkan hingga ratusan juta rupiah. Padahal, bukankah harapan kita terletak pada masa depan anak-anak kita? Mungkinkah presiden yang baru mengubah kebijakan dari “pendidikan berorientasi bisnis” menjadi “pelayan warga”? Ya, saat itu saya tengah berada di tengah gemuruh orang-orang sepi, yang terus beraharap adanya perubahan. Harapan dan kenyataan tak selalu sepadan, ternyata.
Menyeruput kopi, saya teringat ketika ngobrol-ngobrol di suatu rumah di kawasan YKP Surabaya. Ada Didit Gatut Kusumo, Saiful Hadjar, Mardi Luhung (dua nama terakhir Penyair), Farid Syamlan (dramawan), Wisjnubroto Herputranto (aktivis social), tentang pelbagai soal kehidupan. Mereka adalah orang-orang sepi yang selalu menggemuruh kegelisahan intelektual mendambakan perubahan.
Bersama Yusron, saya pun berdikusi dengan Prof. Daniel M. Rosyid — guru besar kelautan ITS yang lebih dikenal sebagai pakar pendidikan — tentang menjadikan masa pensiun sebagai posisi emas. Ya, tempatnya pun di Balai Pemuda, ketika itu setelah Jumatan, 27 Desember 2013. Kami sama-sama prihatin, banyak tokoh Indonesia, setelah pensiun dalam kondisi tidak bermartabat dan tersandung masalah hukum. Nama dan reputasinya yang dibangun puluhan tahun, hancur karena harus diseret Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan berakhir di penjara. Bersama terbitan bukunya, Yusron mengingatkan pentingnya keseimbangan hidup, agar hidup di masa tua tetap terhormat, dan jadikan masa pensiun sebagai posisi emas.
Saya bertugas membagi alur pembicaraan dala diskusi itu, selain Prof Dr Daniel Rosyid, ada Wiek Herwiyatmo, yang sepakat mengajak untuk memegang prinsip, tidak ada pensiun bagi pejuang hidup. Yusron memajukan paradigma, bahwa konsep persiapan pensiun jangan hanya menjelang pensiun, namun jauh hari sebelumnya. Untuk itu perlu ditata hati, pikiran setiap orang. Bagi Daniel Rosyid, sebelum pensiun, 10 tahun lalu, telah mempersiapkan diri. Demikian hendaknya siapa pun sudah harus mempersiapkan diri jauh-jauh hari sebelumnya.
Kami sama-sama prihatin, banyak tokoh Indonesia, setelah pensiun dalam kondisi tidak bermartabat dan tersandung masalah hukum. Nama dan reputasinya yang dibangun puluhan tahun, hancur karena harus diseret Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan berakhir di penjara.
Orang pensiun di Indonesia hanya sekitar 5 juta setiap tahunnya. Maka, persoalannya orang pensiun itu beban atau potensi. Bahkan orang yang memasuki pensiun itu bisa dua perspektif. Sebuah berkah, atau malah bencana. Dari buku Yusron memberikan frame berbeda kepada calon pensiunan. Agar mereka siapkan diri tidak hanya planning usaha pascapensiun, namun yang lebih penting adalah kesiapan mental, hati dan keberanian. Bahkan, orang perlu berfikir untuk menjadikan masa pensiun sebagai posisi bagus, baik untuk konteks keluarga maupun personal kaitanya dengan kedekatan dirinya terhadap Sang Pencipta.
Wiek dan Kopi
Dalam seruputan kopi bersama Yusron Aminulloh, saya teringat mas Wiek Herwiyatmo. Ia mempunyai kedekatan dengan elite sosialis di Surabaya, Gatut Kusumo dan Kadaruslan. Seseorang yang merasa dirinya sebagai bagian masyarakat terpelajar, tentu mengenalnya. Paling tidak, mengenal namanya.
Sebagai aktivis mahasiswa, Wiek Herwiyatmo (lahir Lumajang, 18 Desember 1946 meninggal dunia 2017). Kisah-kisah yang saya dengar bersama Yusron, ia pernah duduk di Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga pada 1968 merasa penasaran dengan sosok yang akrab dipanggil Papa itu. Maka, pertemuannya di tempat tinggal Gatut Kusumo di bilangan Jalan W.R. Supratman Surabaya, telah mengantarkannya pada pergaulan dan pergumulan serius dalam menenggelamkan dirinya di tengah persoalan masyarakatnya.
Ia sempat (seolah dites) ketika diajak dialog soal permasalah aktual masyarakat saat itu. Watak kritisnya pada rezim Sukarno dan rezim Soeharto, mencerminkan sikap seorang intelektual yang khas. Begitu, Wiek Herwiyatmo terhadap sang mentor. Di sinilah, ia kerap bertemu dengan sejumlah nama yang sama-sama bergaul di seputaran tokoh Gatut Kusumo. Seperti: Wisjnubroto, Anto Prijatno, Tomy Pakasi, Ferry Suharianto (Cak Pei), Soesilo, Dwijo Sukatmo, Kadaruslan (Cak Kadar). Dari kalangan pers, muncul pula kemudian sosok nama Agil Haji Ali, yang cukup intens bergaul dengan mereka. Mereka itu pula yang kemudian kami kenal.
Dalam pergaulan di sini, dan serangkaian diskusi sambil menyeruput kopi, sesekali kami menyinggung karya pemikiran Gatut Kusumo, di antara pergulatan dan pengalamannya tertuang dalam karyanya, Pita Merah di Lengan Kiri.
Roman itu, Pita Merah di Lengan Kiri, secara jelas memang lahir berdasarkan pengalaman pengarangnya sendiri, terbit ketika usia 53 tahun. Ia turut dalam perjuangan bersenjata di dalam dan di sekitar kota. Kalau kita perkirakan selesainya naskah roman sebentar sebelum terbitnya pada tahun ini, maka cukup lama waktu yang dibutuhkan Gatut untuk menulis karyanya.
Tapi justru jarak waktu itu telah memberinya kesempatan mengendapkan pengalaman-pengalamannya. Dengan demikian ia telah sanggup melihat kembali segala sesuatu secara jernih dan lurus –dengan menempatkan kejadian-kejadian pada proporsi yang sebenarnya. Akibatnya, dalam roman ini tidak ada sikap yang menonjolkan kepahlawanan atau semangat perjuangan yang meluap-luap yang bisa membengkokkan gambaran tentang kenyataan yang ada.
Ceritanya pun sederhana: mengenai pelajar-pelajar sekolah menengah yang bergabung pada Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP). Dengan sukarela mereka melibatkan diri dalam perang gerilya.
Memang, peristiwa di zaman perjuangan kemerdekaan sudah merupakan sejarah. Penelitian sejarah akan memilih dan mencatat kejadian penting pada masa itu, yang menentukan perkembangan manusia di negeri kita. Pokok perhatian ahli sejarah adalah garis besar perkembangan itu. Sebaliknya, kesusastraan lebih banyak tertarik pada titik-titik yang memungkinkan adanya garis-garis besar itu — yang dalam roman berupa individu-individu yang terlibat dalam kejadian sejarah. Bersama dengan pencatatan sejarah, kesusastraan dapat mengikuti kenyataan secara teliti dan objektif. Ketika mengikuti kejadian, ahli sejarah dituntun oleh tafsirannya tentang sejarah. Sedang pengarang dituntun oleh tafsirannya apakah itu sastra.
Dalam penulisan roman atau cerita pendek, pengarang bisa memperlakukan kejadian-kejadian sebagai bahan belaka untuk menyokong kebenaran wawasan sejarahnya. Atau, ia dapat menurut saja kepada kehendak tokoh ceritanya yang menentukan perkembangan sejarah. Subagio Sastrowardoyo menyebut karya Idrus, sebagai contoh jenis pertama. Sedang yang kedua kita lihat pada Pita Merah di Lengan Kiri karangan Gatut Kusumo. Kedua buah karya sastra itu mengambil lokasi dan waktu yang boleh dikata sama. Yakni, di Surabaya dan sekitarnya pada saat pasukan Inggris dan kemudian Belanda menyerbu dan menduduki kota pada permulaan revolusi.
Lepas dari karya Gatut Kusumo, kami mengenal Wiek Herwiyatmo, sebagai bagian dari figur “orang-orang pergerakan” itu terus berjalan seiring perkembangan dan denyut nadi masyarakat. Pembelaannya terhadap orang-orang kalah dan dikalahkan di masa kekuasaan tiran Soeharto, dibuktikan dengan aktivitasnya dalam kegiatan sosial: mendiskusikan permasalah, mencari titik temu penyelesaiannya, hingga melakukan advokasi terhadap mereka yang tertindas secara sosial itu.
Juga pembelaannya terhadap kondisi sosial, baik ketika terjadi pembunuhan misterius (Petrus) pada 1980an dan korban-korban dukun santet, empatinya terhadap nilai-nilai hakiki kemanusiaan pun tergugah. Perkenalannya dengan kalangan jurnalis, seperti Peter A. Rohi, Choirul Anam, Yunani Prawiranegara, Gerson Poyk, Aco Manafe, makin membangun pergumulan dan pergaulan luas, dalam menyatakan kegelisahannya terhadap persoalan kemasyarakat dan kemanusiaan.
Surabaya, sebagai ibu kota Provinsi Jawa Timur, menjadi titik sentral perhatian mereka, dalam memahami watak dan perkembangan kota. Di tangan orang-orang “seputaran Gatut Kusumo”, Surabaya setiap tahun menghadirkan Festival Seni Surabaya, dirayakan sejak 1996. Di ruang publik itu, merupakan tradisi yang telah dirintis para orang-orang yang peduli terhadap terbukanya ruang-ruang ekspresi kesenian secara terbuka. Penjelahan dalam berkesenian, memperoleh penghargaan yang tinggi, sebagaimana kita memahami nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki: sebuah apresiasi dan keanggunan menawarkan ide-ide imajinatif.
Di tangan orang-orang “seputaran Gatut Kusumo”, Surabaya setiap tahun menghadirkan Festival Seni Surabaya, dirayakan sejak 1996. Di ruang publik itu, merupakan tradisi yang telah dirintis para orang-orang yang peduli terhadap terbukanya ruang-ruang ekspresi kesenian secara terbuka.
Festival Seni Surabaya, pernah dianggap sebagai tradisi digelar setiap tahun, memungkinkan kota ini berkembang dengan torehan kreativitas yang ajek, yang diadakan atas dana kepedulian masyarakat — bukan pemerintah semata. Memang, beberapa tahun kemudian, kita mengenal Pekan Kesenian Bali (PKB), Festival Kesenian Yogya (FKY), namun kontinyuitasnya bermasalah, bahkan ada yang terhenti sama sekali.
Kota Surabaya berusia 700 tahun ketika awal keterlibatan seniman dan kalangan intelektual, seperti Kadaruslan, Wiek Herwiyatmo, Wisjnubroto, Peter A. Rohi, Arif Rofiq, Achmad Fauzi, menggelar perhelatan yang menjadi cikal-bakal Festival Seni Surabaya (FSS). Perhelatan itu, Pekan Seni Surabaya (PSS) 700, yang pembukannya dilakukan olehWalikota Surabaya, dr. H. Poernomo Kasidi pada 31 Mei 1993 di kompleks Balai Pemuda. Ketika itu, jejak kerajaan terbesar di Nusantara, Kerajaan Majapahit, tepat pula genap 700 tahun. Saat itu, perhelatan tersebut mampu menyatukan dua kelompok di Surabaya, antara Akademi Seni Rupa Surabaya (Aksera, yakni orang-orang di seputaran Gatut Kusumo) dan aktivis kesenian Bengkel Muda Surabaya (BMS).
Sastra dan Ibunda. Dalam studi sastra, terdapat pernyataan bahwa manusia, di samping menjadi homo sapiens, homo faber, homo loquens, juga homo fabulans (makhluk bercerita atau makhluk bersastra). Di pangkuan ibu manusia sudah menjadi manusia bersastra.
Spontan saya pun teringat Yusron Aminulloh dan keluarganya. Mereka hidup dan dibesarkan oleh ibundanya, menyusul wafatnya sang ayah di waktu mereka masih kanak. Secangkir kopi yang saya seruput, yang tersisa adalah ampasnya. Tapi, saya membayangkan seorang ibu sedang “bersastra” ketika anak-anak dalam pangkuan ibu dengan syair ini:
Keplok ami-ami
Walang kupu-kupu
Awan maem roti
Bengi mimik susu
Artinya:
Bertepuk telapak tangan
Belalang kupu-kupu
Silang makan roti
Malam minum susu
Ternyata, berkait dengan ibu, saya belajar dari sikap Yusron. Ia begitu menghormati perempuan yang pernah melahirkannya. Menghormati sepenuh jiwanya, yang kini sang ibunda telah menghadap ke Rahmatullah. Memperingati hari kelahiran, saya kira, sekaligus merayakan kehadiran ibunda yang telah melahirkan.
Saya belajar dari Yusron Aminulloh, tentang ibunda. Kehadiran ibunda yang menjadi tenaga sebelum langkah mengawali perubahan. Lewat doa-doa ibunda, restu ibunda, langkah itu memperoleh jalan mudah. Salah satu lokasi di Wonosalam, Jombang, DeDurian, dibangun atas jernih payahnya, tak lepas dari eksistensi perempuan itu. Eksistensi yang selalu hadir, dalam wirid dan doa yang mengiringi denyut nadi kita, sebelum mengambil sikap dan langkah ke arah perubahan.
Yusron Aminulloh adalah laku perubahan itu.
Sambil merasakan sisa-sisa kopi pahit, saya mengingatnya. Mengingat sedikit pengalaman pernah bersentuhan dengan perjalanan hidupnya, meski dari kejauhan. Salamku, ya bos!
Surabaya, 13 Desember 2023.
Seorang ilmuwan ahli vulkanologi datang untuk mempelajari aktivitas Gunung merapi. Ia dengan sungguh mencari tahu apakah mungkin, Gunung Merapi bisa menjadi titik akhir kehidupan manusia, layaknya Gunung Toba. Lalu seorang seniman perempuan pembuat Film mencari tahu bagaimana eksploitasi lingkungan berjalan dengan tambang pasir yang menjadi tumpuan hidup warga di sana. Kehidupan di sekitar merapi terus bergulir, kepercayaan ruhani masyarakat atas berbagai mitologi yang terus membayangi mereka juga terus hidup dan dihidupi. Begitulah film monisme akhirnya hadir dan tayang perdana di Jogja Asian Film Festival JAFF (2/12), Yogyakarta, setelah hampir setahun film garapan Riar Rizaldi ini menyambangi berbagai festival film internasional di berbagai negara.
Film Monisme diawali dari adegan pembantaian seorang manusia yang diseret ke tengah hutan dengan tali menjerat leher dengan kepala tertutup oleh para preman. Mereka para preman, dengan nada kasar agak senonoh dan penuh intimidasi itu lalu menggantungkan tali yang mengikat leher korban ke dahan pohon besar. Tanpa pikir panjang bos dari preman yang tampak tidak sabar, melayangkan batu besar dengan brutal ke kepala korban. Dan nyawa korban itu akhirnya melayang.
Gambar guguran lava Gunung Merapi tampak begitu dekat membawa penonton ke adegan selanjutnya. Teknik pengambilan gambar yang cukup untuk memotret gunung yang mempunyai ketinggian 2,910 itu, membuat penonton hanyut di dalamnya. Tampaknya Riar Rizaldi ingin membawa penonton pada eksperiens visual stratovolcano disertai audio yang dibuat mencekam lagi menggelegar. Entah kenapa, pada saat itu saya hanyut pada visual dan audio Merapi yang dipertontonkan, saya kemudian teringat pada letusan Merapi pada tahun 2010 yang mencekam itu. Waktu itu saya belum terlalu dewasa, tetapi melalui sepenggal adegan awal film ini saya jadi merasakan bagaimana kedigdayaan Merapi saat meluluhlantakkan Yogyakarta dan sekitarnya.
Film feature panjang yang disutradarai oleh Riar Rizaldi dengan produser BM Anggana ini memang menjadi debut pertama mereka berdua. Dengan bentuk film eksperimental, Riar mencoba menggabungkan gagasan antara film dokumenter dengan fiksi dan fiksi yang dokumenter. Sehingga komposisi fakta yang digali dari pengalaman subyek masyarakat sekitar ditambah dengan upaya observasi yang mendalam, dijadikan Riar sebagai bangunan cerita dalam film ini. Dari hal itulah kemudian fiksi terbentuk merangkai cerita antara aktualitas dengan mitos dan legenda sebagai ruh film ini. Bentuk film yang cukup eksploratif tersebut, akhirnya membawa film ini menyabet beberapa penghargaan di beberapa festival film internasional. Pada gelaran JAFF sendiri film ini membawa pulang Golden Hanoman penghargaan tertinggi di ajang tersebut.
Bentuk film yang cukup eksploratif tersebut, akhirnya membawa film ini menyabet beberapa penghargaan di beberapa festival film internasional. Pada gelaran JAFF sendiri film ini membawa pulang Golden Hanoman penghargaan tertinggi di ajang tersebut.
Kemudian cerita berlanjut. Seorang ilmuwan ahli vulkanologi (Rendra Bagus Pamungkas) ditemani asistennya (Kidung Paramadita) bercengkrama memandang Merapi dari sudut yang jauh. Sang ilmuwan tampaknya mempunyai obsesi yang tinggi tentang hukum rasionalitas, bagaimana materi dengan segala partikel yang membentuknya menciptakan kehidupan. Percakapannya mendalam, mereka berupaya memecahkan satu pertanyaan besar tentang Gunung Merapi sebagai sumber kehidupan atau sember punahnya peradaban.
Sang vulkanolog terus mencari tahu, bagaimana relasi manusia dan alam sesungguhnya. Melalui penelitiannya, ia berusaha membangun argumentasi bahwa manusia seharusnya bisa berdampingan dengan alam. Salah satu dialog menarik dari keduanya yang berhasil saya catat seperti di bawah ini;
“Manusia itu sama seperti cacing versi lebih besar dan kompleks saja” ungkap peneliti.
“Cacing yang mempunyai moral?” Sanggah sang asisten.
“Cacing mungkin lebih bermoral dari manusia,” tegas peneliti.
Dari dialog tersebut saya akhirnya mempunyai gambaran, tentang bagaimana film ini. Melalui tokoh peneliti, film ini sepertinya ingin menyuguhkan satu argumentasi secara ilmiah tentang Gunung Merapi sebagai unsur yang hidup dalam siklus dan ekosistem kehidupan ini. Dalam hal ini Merapi tidak hanya sebagai objek pun lanskap alam, ia adalah ruang dan waktu.
Lalu cerita berlanjut pada rekaman wawancara Yulianto sebagai petugas pengamatan Gunung Merapi. Ia dengan wajah masih tertutup masker menceritakan aktivitasnya selama ini menjadi garda depan informasi tentang aktivitas Gunung Merapi. Yulianto menjalani profesi ini memang mengikuti jejak ayahnya yang dulu juga menjadi penjaga pos pengamatan Merapi. Ketertarikannya dengan Merapi diawali ketika sejak kecil, ia sering ke kantor dan ikut kerja ayahnya. Semenjak itulah akhirnya ia menjalani profesinya sebagai bentuk tanggung jawab seperti yang sudah diwariskan oleh keluarganya terdahulu.
Dalam wawancara ini, Yulianto banyak menjelaskan secara vulkanologi gerak dan aktivitas Merapi. Bagaimana post pengamatan menetapkan status Merapi, ukurannya apa, lalu siasat apa yang harus dilakukan ketika melihat kondisi Merapi sudah dalam titik rawan. Ia juga tampak menjelaskan beberapa fungsi alat yang digunakan untuk memotret kondisi Merapi. Namun, dari semua itu yang menarik justru ada pada statementnya. Bahwa bagaimanapun alat ciptaan manusia untuk mengamati Merapi tetapi pada dasarnya tidak ada satupun orang yang benar-benar tahu atau bisa memprediksi kapan Merapi akan erupsi. Karena itulah Merapi sampai sekarang masih menyimpan sejuta misteri. Dari hal itu juga masih banyak kemungkinan untuk setiap orang memiliki daya untuk memahami dan menjelajahi.
Sementara itu gambar bergeser pada asisten peneliti (Kidung Paramadita). Sebagai pemeran pembantu dalam film ini, ia mempunyai peran yang vital untuk menghidupkan cerita dalam setiap babaknya. Dalam babak pertama ini, ia (Kidung Paramadita) asisten peneliti diberi porsi Riar untuk mengalami pengalaman mistik ketika menjalani penelitian di Merapi. Dalam salah satu scene adegan di tengah malam, ia tinggal di rumah di sekitar lereng Merapi. Saat itu ia mengalami pengalaman horor ketika dalam kondisi masih tertidur, tiba-tiba ia merasakan tubuhnya terguncang merasakan getaran seperti hal nya gempa bumi berkekuatan tinggi. Ruangan dalam adegan itu juga ikut terguncang, semuanya bergetar, sehingga membuat ia terbangun dari tidurnya. Ia bingung dengan kondisi yang sedang ia alami. Dari hal itu ia bergegas, bangkit dari tidur mengamati jendela kamarnya dengan desain minimalis itu. Di sanalah ia melihat peristiwa yang tidak wajar ada di tengah malam, yaitu pawai gunungan bertubuhkan manusia. Iring-iringan itu memang di luar nalar. Dengan iringan musik bergada (prajurit Mataram) dengan beberapa pengiringnya berwajahkan aneh lagi menyeramkan.
Adegan ini tampak ingin menggambarkan satu peristiwa yang banyak diyakini masyarakat di sana. Sebuah misteri tentang makhluk gaib yang ada dan hadir menghiasi memori kolektif mereka. Bentuknya bisa bermacam-macam, namun variasi cerita yang ada tentang mistisisme mahluk gaib di Merapi seperti menjadi bagian lain dari kesakralan Merapi itu sendiri. Tentu kita bisa percaya atau tidak dengan adanya kepercayaan semacam itu. Tetapi banyak masyarakat di sana sebagian besar meyakini hal tersebut. Dan film ini berhasil memotretnya sebagai bagian dari realitas yang muncul menjadi bumbu penyedap dalam film ini.
Adegan ini tampak ingin menggambarkan satu peristiwa yang banyak diyakini masyarakat di sana. Sebuah misteri tentang makhluk gaib yang ada dan hadir menghiasi memori kolektif mereka. Bentuknya bisa bermacam-macam, namun variasi cerita yang ada tentang mistisisme mahluk gaib di Merapi seperti menjadi bagian lain dari kesakralan Merapi itu sendiri.
Lalu cerita berakhir dengan tindakan tragis sekumpulan preman yang mengintimidasi peneliti dan asistennya saat mereka melakukan riset di suatu malam di hutan Merapi. Naasnya mereka bertemu dengan para preman yang sedang melakukan patroli. Para preman yang berwajah sama seperti dalam adegan pertama. Awalnya mereka sempat menyangkal bahwa tindakan mereka tidak melanggar aturan. Perdebatan terjadi di antara mereka. Namun sayang, para preman bertindak lebih ganas dari yang dibayangkan. Dengan kejam bos preman dengan wajah garang (Whani Darmawan) memperkosa asisten peneliti. Sedangkan peneliti tampak tidak berdaya, ia dikeroyok, mulutnya berulang kali dijejali dengan senapan. dan cerita mereka berdua selesai pada adegan itu juga.
Antara Realitas Sosial dan Potret Pilu di Dalamnya
Babak kedua dalam film Monisme menawarkan sudut pandang realisme yang cukup kuat. Beberapa adegan tidak banyak dipoles sedemikian rupa. Karakter muncul dengan pemeran yang sama. Kali ini Rendra Bagus Pamungkas hadir sebagai penambang pasir dengan wajah lusuh dengan debu. Sedangkan Kidung Paramadita memerankan karakter sebagai seorang seniman pembuat film. Bagi Rendra, entah bagaimana ia memerankan karakter yang sangat berbeda dengan karakter sebelumnya sebagai peneliti. Tetapi seperti adegan sebelumnya ia tampak cukup menghayati perannya tersebut. Sedangkan Kidung dengan tampilan eksentrik khas seorang seniman, berhasil menghidupkan karakter yang diembannya.
Gambaran kondisi dan dilema penambang pasir di sekitar Merapi menjadi gagasan utama dalam babak kedua ini. Eksploitasi alam yang mengancam ekosistem lingkungan dalam kasus film ini memang menjadi permasalahan yang cukup pelik. Penambangan pasir di Merapi dalam satu sisi memang mengancam kondisi lingkungan di sana. Tetapi disisi lain untuk menutupi kebutuhan ekonomi, banyak warga disana, sangat bergantung dengan aktivitas penambangan pasir ini.
Eksploitasi alam yang mengancam ekosistem lingkungan dalam kasus film ini memang menjadi permasalahan yang cukup pelik. Penambangan pasir di Merapi dalam satu sisi memang mengancam kondisi lingkungan di sana. Tetapi disisi lain untuk menutupi kebutuhan ekonomi, banyak warga disana, sangat bergantung dengan aktivitas penambangan pasir ini.
Sang seniman hadir dengan seorang teman untuk wawancara penambang pasir. Dialognya sederhana, singkat dan tidak berbelit. Awalnya mereka berada di sebuah warung makan untuk mengambil gambar penambang pasir dengan baju yang masih sama, lusuh. Dalam dialognya sang penambang pasir tak banyak menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Tentang bagaimana penambangan pasir selama ini berjalan, siapa saja dibelakangnya dan apa resiko penambangan yang mereka kerjakan. Penambang pasir tetap bergeming. Ia menjawab singkat dan membuat kecewa sang seniman yang merasa tak puas dengan hasil wawancaranya. lalu ia membeli makan untuk menetralkan suasana. Mungkin penambang pasir sedang lapar. Dan ia tak semangat menjawabnya.
Selepas makan, mereka siap mengambil gambar kembali. Namun di belakang mereka para preman tiba-tiba hadir di warung sederhana itu. Komplotan preman yang masih sama di babak pertama. Awalnya tidak ada masalah datangnya preman itu. Mereka tetap menjalankan wawancara. Para preman tampaknya mulai terganggu dengan aktivitas wawancara itu, mereka mendekat mempertanyakan aktivitas mereka. Dengan nada kesal, preman mengintimidasi sang seniman. Preman itu berusaha meminta izin aktivitasnya itu. Sang seniman menjelaskan maksud dan tujuannya, mereka sedang membuat film dokumenter soal tambang di Gunung Merapi. Mendengar hal itu para preman merasa hal itu tidak perlu. Sebagai penguasa wilayah di sana mestinya ia meminta izin kepada para preman itu. Sang seniman tetap ngotot bahwa ia tidak akan menyinggung kekuasaan mereka. Preman tampak tidak peduli soal hal itu. Penambang pasir berusaha membantu menjelaskan. Tetapi tetap gagal. File hasil wawancara diminta preman untuk di hapus, lalu mereka diusir dari warung itu.
Adegan berganti, para penambang pasir tampak berkumpul melepas lelah. Mereka bercerita soal aktivitas menambang pasir Merapi selama ini. Banyak dilema pilu mendengar cerita mereka. Bukan tanpa peduli, ia paham betul resiko penambangan yang mereka lakukan. Krisis air menjadi hal yang paling mencuat dari aktivitas yang mereka lakukan. Namun, apa boleh buat, tak ada pilihan lain bagi mereka. Kebutuhan ekonomi yang mendesak menjadi alasan kuat agar kehidupan mereka terus berjalan. Saat itulah letusan Merapi tak lagi mencekam bagi mereka. Justru saat Merapi mengeluarkan banyak material dari perutnya, di sana mereka mendulang banyak keuntungan. Adegan wawancara dokumenter itu selesai, dengan tatapan panjang menunggu kapan rezeki guguran material itu datang.
Kembali pada seniman pembuat film dan penambang pasir yang meratapi nasib buruknya. Berada di dalam kepala truk, penambang pasir itu berjejalan dengan sang seniman. Berada di tengah, diapit sopir dan perempuan seniman itu. Dengan posisi duduk yang tidak begitu nyaman. Entah kenapa penambang pasir menceritakan semuanya. Ia meminta seniman merekam semua omongannya. Terlanjur basah ungkapnya, biarkan sekalian tidak usah menyembunyikan identitasnya. Penambang pasir dengan wajah emosional dengan sebatang rokok yang tak lepas dari mulutnya, ia mengungkap siapa dalang di balik penambangan pasir di sana. Para elit politik pemegang kekuasaan yang rakus lah sebenarnya yang memberi jalan penambangan pasir itu ada. Merekalah sebenarnya para cukong sesungguhnya, mereka juga yang memberi izin dan sekaligus yang paling mendapat banyak keuntungan dari aktivitas penambangan pasir ini. Tegas penambang pasir ini dengan wajah geram. Lalu nasib penambang kecil yang sebatas kuli buruh angkut pasir seperti dirinya, tentu tak sebanding jika dibandingkan dengan keuntungan yang didulang para pemodal di atasnya. Ia tetap miskin, dan tidak ada pilihan lain untuk tidak tetap bekerja di sana.
Penambang pasir mengambil nafas panjang. Ia melanjutkan ceritanya. Lalu para preman yang mereka temui di warung tadi adalah orang yang hidup dari para bandar besar konglomerat yang berlindung dibalik kekuasaan politik mereka. Mereka para preman, memang dipelihara untuk mengintimidasi siapapun yang mengancam kepentingan penambangan yang mereka jalankan. Nasib para preman itu sebenarnya tak ubahnya seperti kuli penambang pasir itu, berada di bawah dan kapanpun bisa dilenyapkan ketika ia mulai tidak patuh dengan majikannya. Cerita selesai, seniman perempuan itu gemetar memegang handycam yang tak lepas di tangannya.
Merapi dan Semesta Mistiknya
Babak terakhir dalam film ini tentu lebih tidak terduga. Riar berusaha menghadirkan perspektif mistisisme dari para pelaku spiritualis dalam bahasa lain bisa disebut, dukun, orang pintar, atau semacamnya. Mereka dihadirkan dalam bentuk praktik dan laku hidup yang mungkin bagi banyak orang sulit dipahami. Tetapi mereka ada, yakin dan teguh dengan pendiriannya. Beberapa praktik memunculkan laku performatif dengan penghayatan yang dalam. Lagi-lagi Rendra Bagus Pamungkas hadir sebagai pemeran utamanya. Ia menjadi spiritualis yang begitu menghayati kepercayaannya.
Gunung Merapi memang bagi sebagian orang bukan hanya subyek yang mati. Gunung ini juga dipercaya mempunyai nyawa, ia hidup sama seperti makhluk Tuhan yang lainnya. Bukannya dalam sebuah kitab suci diterangkan bahwa semua ciptaan Tuhan memang sebenarnya hidup dalam ordernya masing-masing. Dari hal itulah, layaknya dalam sebuah relasi satu dengan yang lainnya harus saling menyapa dan menghargai. Babak ketiga dalam film ini, sependek yang saya pahami, tampaknya ingin menggambarkan bagaimana relasi manusia dengan alam (Merapi) melalui pendekatan spiritualitas yang masyarakat miliki.
Dalam sebuah adegan tokoh spiritualis digambarkan sebagai sosok orang tua yang tampil dengan sedikit kata. Hampir setiap adegan ia membisu, namun dengan ekspresi yang kuat karakter tokoh ini menjadi hidup. Suasana horor menyelimuti setiap adegan dalam babak ketiga ini. Dalam kegelapan malam, tokoh ini seperti membawa sesaji, berdialog secara batin dengan mahluk-mahluk penghuni Merapi. Adegan yang sangat epik muncul ketika tokoh spiritualis berada di atas semacam tanggul di bantaran sebuah kali. Ia berjalan di atas tanggul dengan suasana senja yang mulai tenggelam. Dengan background Gunung Merapi yang tampak gagah dan perkasa. Ia meletakan sebuah sesaji sebagai bentuk penghormatan mahluk-mahluk yang ada di sana. Namun kalimat pendek yang muncul dari tokoh spiritualis ini bisa menjadi satu gambaran sikap dari sang spiritualis yang diam. Ia menyebut kalimat “Allah hu Alam, Alam hu Allah”. Kalimat yang singkat, tapi mengisyaratkan sikap yang mendalam. Tentang esensi alam dan ke maha mutlakan kuasa Tuhan.
Namun kalimat pendek yang muncul dari tokoh spiritualis ini bisa menjadi satu gambaran sikap dari sang spiritualis yang diam. Ia menyebut kalimat “Allah hu Alam, Alam hu Allah”. Kalimat yang singkat, tapi mengisyaratkan sikap yang mendalam. Tentang esensi alam dan ke maha mutlakan kuasa Tuhan.
Ketika ia beranjak pergi, sesaji yang ditinggalkan kemudian dikerubungi sosok mahluk halus penunggu berperawakan perempuan. Wajahnya menyeramkan dengan tata kostum khas setan-setan Jawa pada umumnya. Para setan mahluk halus atau apapun sebutannya, tampak lahap menyantap sesaji yang ditinggalkan. Sedangkan tokoh spiritualis tampak mengamati dari kejauhan. Kemudian melenggang pergi.
Adegan berganti pada wawancara dokumenter kepada tokoh spiritualis sesungguhnya. Ia merupakan pemimpin kelompok Jathilan klasik Kudho Taruno Desa Wonolelo dari lereng Merapi. Puthut Juritno namanya, lelaki paruh baya itu menceritakan bagaimana profesinya selama ini sebagai pawang jathilan dan orang yang dianggap tahu soal hal-hal mistik di sekitar Merapi. Baginya Gunung Merapi memang bukan gunung sembarangan, ia meyakini kita sebagai manusia harus tahu tata aturan dan sopan santun ketika berada di Gunung Merapi. Begitu juga ketika ia ketika akan menggelar sebuah pertunjukan jathilan bersama kelompoknya. Tentu ia akan melakukan ritual khusus, seperti puasa atau tirakat lainnya sembari menyiapkan sesaji yang sudah ditetapkan sebelum pentas digelar. Hal itu semata ia lakukan agar pertunjukan yang ia gelar berjalan lancar.
Tidak semua pertanyaan bisa Juritno jawab dengan gamblang. Yang jelas dari wawancara ini ia menegaskan bahwa di Gunung Merapi ada sosok penunggu yang mesti kita hormati. Penghormatan yang lazim tentu dilakukan dengan terus menjaga adat tradisi seperti merti dusun, nyadran, dan labuhan Merapi. Semua bentuk tradisi itu sebagai bentuk upaya untuk menjaga relasi dengan Merapi itu sendiri.
Lalu adegan dilanjutkan dengan pentas Jathilan. Tabuh gamelan disertai tarian prajurit perang Mataraman menjadi sajian dari sebuah pentas Jathilan. Kesenian ini sendiri awalnya berangkat dari sebuah latihan peperangan di masa perang Jawa meletus tahun 1830 an. Sejarahnya panjang. Yang pasti kekalahan Pangeran Diponegoro saat perang Jawa menjadi salah satu titik penting kesenian ini berkembang. Kemudian tarian kolosal dengan ritme tabuhan gamelan yang rampak dengan nada yang terus berulang menghasilkan nada yang menghanyutkan. Bahkan di titik tertentu membawa pendengarnya sampai trans bahasa lain dari ndadi atau kesurupan. Saat itulah dipercaya mahluk halus memasuki jasad penari sehingga kehilangan kesadaran. Dalam film ini, pentas jathilan ini digambarkan seperti pentas pada umumnya, maksudnya tidak settingan. Saat beberapa penari mulai kesurupan, tokoh spiritualis masuk ke dalam gelanggang pentas. Ia menari, sambil tetap membawa sesaji. Kemudian menghilang.
Film Monisme diakhiri dengan munculnya gerombolan preman yang dengan brutal menghabisi spiritualis. Alur film kembali pada adegan awal. Pembunuhan tragis di tengah hutan di bagian awal film ini, akhirnya terungkap apa sebabnya dan siapa sosok yang dihilangkan nyawanya dengan keji itu. Ia adalah sosok spiritualis yang dengan teguh memegang keyakinannya tentang daya besar Merapi. Keyakinan dan kepercayaan yang selalu dihadapkan dengan kepentingan modal. Begitulah tampaknya kenyataan selalu berjalan. Atau justru melalui kontradiksi-kontradiksi yang ada, harapan baik akan terus dilambungkan. Film ini berhasil membawa penonton pada satu kesimpulan, setidaknya bagi saya, bahwa kenyataan memang tidak selalu seperti yang kita ideal kan. Dan film ini mempertegas itu semua dengan kompleksitas cerita yang ada.
Film berakhir. Soundtrack film Monisme berjudul “Semayam” karya Bin Idris membuat, sekali lagi, suasana akhir film ini menjadi sangat haru. Dengan nadanya yang mendalam ditambah liriknya yang jenaka, membuat film ini menjadi lengkap dan penuh. Agar pembaca tulisan ini merasakan getarannya. Saya sematkan lirik lagu di bawah sekaligus sebagai penutup tulisan ini.
Berjejak pada tanah bergulir dan merekah beriring dalam bising sunyi di bawah kakimu berdesakan, berjejalan, berhimpitan, membentuk barisan menunggu giliran di dalam dinginnya dekapanmu berselimut bebatuan dan lebur perlahan berpulang tanah berdiam dan merebah dan hening tak bergeming sunyi
…
ia lepaskan lendir penuh tuba. Lendir yang
merekatkan air dan malam, air dan karang-karang
kerakal. Sebuah sirkulasi mengalir dari kisah air dan
sihir. Ubur-ubur merah mengurai darah,
memperlihatkan jantung dan usus yang berdetak. Usus
dan jantung yang merekam gemuruh air dan
takdir. Berlarihlah ubur-ubur ke permukaan. Matahari
…
(Puisi Ubur-ubur Merah)
Penggalan puisi Ubur-ubur Merah di atas adalah karya Hidayat Raharja—penyair asal Madura kelahiran tahun 1966—yang dimuat buletin Pawon edisi #50 tahun X/2017. Ketika membaca penggalan puisi Ubur-ubur Merah, aku menangkap keberadaan ubur-ubur yang penuh misteri dan dingin, seperti /…Lendir yang merekatkan air dan malam, air dan karang-karang/ kerakal…./ atau /…Usus dan jantung yang merekam gemuruh air dan/ takdir…/. Apalagi, dua kata kerja (merekatkan dan merekam) ditimbulkan ubur-ubur (lendir, usus, dan jantung) yang bereaksi antara air dengan malam, atau karang-karang kerakal, atau takdir.
Ubur-ubur yang dipuisikan Hidayat Raharja bukan sekadar tempelan belaka. Sebab, selain imajinasi, ada identifikasi dalam puisi Ubur-ubur Merah, misal mengetahui ubur-ubur mengeluarkan lendir. Identifikasi menandakan Hidayat Raharja begitu akrab mengenal ubur-ubur sebagai bahannya menulis puisi. Keakraban mengenal ubur-ubur dapat aku mafhumi dengan menengok latar belakang Hidayat Raharja sebagai guru biologi. Artinya, pengetahuan biologi menambah daya kreativitas bagi kepenyairannya.
Penyair dan guru biologi: dua bidang yang berbeda itu telah dikolaborasikan Hidayat Raharja. Tidak heran, setelah membaca utuh puisi Ubur-ubur Merah, aku menemukan penyebutan plankton, sarcodina, lili laut, bintang ular, dan bintang laut. Puisi Ubur-ubur Merah membuka penggambaran pernak-pernik biota laut di sekeliling kehidupan ubur-ubur. Kolaborasi yang dilakukan Hidayat Raharja seolah eksperimen terhadap dunia-yang-menjadi yang bebas memasukkan aneka makhluk tanpa menyebut aku-lirik.
Begitulah, aku menggaris Hidayat Raharja yang memanfaatkan dua bidangnya untuk menulis puisi Ubur-ubur Merah. Penggarisanku tersebut muncul demi mengaitkan hasil pembacaanku pada beberapa esai perihal pengalaman dan pengamatan Hidayat Raharja, selaku guru Biologi dan kepala sekolah SMA Negeri 4 Sampang, seperti permasalahan sekolah, metode pengajaran guru, hingga kegiatan peserta didik. Beberapa esai itu termaktub dalam naskah Ruang Kelas yang Terus Bergerak karya Hidayat Raharja yang aku layout (tata) menjadi buku.
Hidayat Raharja menulis bahwa SMA Negeri 4 Sampang bersama sekolah yang ada di sekitarnya saling bersaing mendapatkan peserta didik. Juga, persoalan lain dari SMA Negeri 4 Sampang, yaitu: keterbatasan fasilitas. Persaingan dan persoalan lain tersebut harus diminimalisir SMA Negeri 4 Sampang dengan kolaborasi. Hidayat Raharja—dalam esai Hari Ini Belajar Sejarah: Alternatif Panggung Pembelajaran yang Merdeka—menulis: “…Di sinilah kerja kolaboratif berlangsung dan menjadikan belajar sebagai sebuah aktivitas menarik, ruang kelas lebih fleksibel serta pembelajaran lebih kondusif mengikuti kemauan siswa.
Lalu, apa kaitan antara Hidayat Raharja yang menulis puisi Ubur-ubur Merah dengan SMA Negeri 4 Sampang yang mencanangkan kolaborasi? Aku menganggap benang merah dari kaitan tersebut adalah kesadaran pemanfaatan sesuatu yang dekat. Berbeda dengan Hidayat Raharja yang sadar memanfaatkan dua bidangnya, para guru di SMA Negeri 4 Sampang harus mengetahui ketertarikan peserta didik. Sebab itu, Hidayat Raharja menganalisis apa kebutuhan peserta didik di SMA Negeri 4 Sampang.
Salah satu analisis Hidayat Raharja adalah mengetahui beberapa peserta didik begitu asing dengan buku ketika SMA Negeri 4 Sampang menerapkan program Jumat Literasi. Hidayat Raharja tidak menyalahkan beberapa peserta didik yang begitu asing dengan buku. Justru, Hidayat Raharja—dalam esai Jumat Literasi—menulis: “…Inilah anak-anak istimewa yang saya miliki, memendam potensi dan belum mampu kami ungkapkan…” Artinya, guru harus hadir sebagai kunci untuk membuka pintu wawasan peserta didik.
Upaya membuka pintu wawasan peserta didik telah dilakukan para guru SMA Negeri 4 Sampang. Lewat esai Pohon Tanah Tandus, Hidayat Raharja berkisah pembelajaran yang menghubungkan materi pengajaran dengan dunia nyata, seperti Bu Melli yang berangkat dari pengalaman peserta didik untuk memasuki permasalahan ekonomi secara luas, atau Bu Tika melakukan pendekatan personal karena peserta didik yang heterogen. Serta, lewat esai Ruang Kelas yang Luas dan Terbuka, Hidayat Raharja berkisah pembelajaran tidak hanya dalam kelas, seperti Bu Purnamawati memberikan tugas resume kepada peserta didik terhadap kompetensi dasar fisika melalui aplikasi Tiktok, Bu Fauziyah Wahyuni—ketika suatu tatap muka terbatas di kelas—membawa tanaman Pterydophyta (paku-pakuan) demi menerangkan strutur tubuh tanaman secara kongkret kepada peserta didik, Bu Musdalifah—pengajar pelajaran pendidikan kewirausahaan—mengajak peserta didik untuk mengelola kebun mini, atau Bu Debby Eka Wulandari mengajak murid ke situs sejarah lokal sebagai sumber pengetahuan.
Dalam pengamatanku, pengajaran para guru tersebut—di paragraf atas—ternyata sama-sama memiliki satu tujuan, yaitu: Berharap peserta didik tidak lagi berjarak menerima pengajaran guru. Karena pengajaran bisa berada di luar kelas dan tidak lagi kaku, guru memanfaatkan sesuatu yang dekat bagi peserta didik. Dan, muncul kreativitas antar guru untuk kolaborasi pelajaran—juga kolaborasi dengan instansi atau praktisi dari luar sekolah—demi mengingatkan peserta didik, bahwa ilmu pengetahuan begitu lekat dengan kehidupan. Yang terpenting dalam pengajaran, peserta didik bukanlah obyek, melainkan subyek yang mampu mengembangkan diri sesuai kemampuan dan potensi.
Kolaborasi
Kolaborasi, merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2002), adalah (perbuatan) kerja sama (dengan musuh dan sebagainya). Entah kenapa pengertian tersebut mengandung “musuh” yang mencitrakan pertentangan. Meski begitu, aku menganggap maksud “musuh” sebagai beberapa bidang berlainan yang memiliki kesamaan tujuan. Sehingga, kerja sama antar beberapa bidang berlainan dapat membentuk lawan-duet, bukan lawan-adu. Dan, lawan-duet tidak menunjukkan kekontrasan, justru menghasilkan keharmonisan.
Dalam naskah Ruang Kelas yang Terus Bergerak karya Hidayat Raharja, kolaborasi seolah strategi pendidikan. Jadi, kolaborasi memungkinkan perbedaan pelajaran yang diajarkan setiap guru tidak lagi berdiri sendiri. Juga, kolaborasi menciptakan kreativitas bagi setiap guru untuk meletupkan potensi peserta didik, dan mengingatkan bahwa ilmu pengetahuan bersinambungan dengan kehidupan. Sekarang, aku mengutip salah satu paragraf yang ditulis oleh Hidayat Raharja dalam esai Pembelajaran Kolaboratif, yaitu:
Pada kesempatan yang lain saya pernah menghubungkan antara pelajaran biologi, bahasa, dan pendidikan kewirausahaan. Sebuah irisan di antara ketiganya berangkat dari teknologi pangan, kewirausahaan dan pelajaran Bahasa Indonesia. Berangkat dari Kompetensi Dasar teknologi pengolahan pangan (Bioteknologi) saya mengambil topik mengenai fermentasi. Kami mengajak siswa untuk membuat fermentasi pisang kepok. Hasil fermentasi pisang itu harus mereka olah menjadi kue untuk mata pelajaran kewirausahaan. Dan, dari proses hingga hasil fermentasi pisang, juga pengolahannya, harus dijadikan laporan kegiatan mereka untuk dinilai dan didiskusikan saat pelajaran bahasa Indonesia.
Kutipan di atas bercerita pengalaman Hidayat Raharja perihal kolaborasi tiga pelajaran (biologi, bahasa, dan pendidikan kewirausahaan) di SMA Negeri 1 Sumenep (sebelum menjadi guru dan kepala sekolah di SMA Negeri 4 Sampang). Aku mengetahui kolaborasi tiga pelajaran terhubung ke beberapa proses kegiatan belajar, mulai dari fermentasi pisang kepok dan mengolahnya sebagai kue, lalu berakhir pada laporan yang didiskusikan peserta didik. Aku menangkap beberapa proses kegiatan belajar itu dapat memberikan gambaran kepada peserta didik perihal ilmu pengetahuan di kehidupan.
Lewat pisang kepok, aku menemukan kesinambungan antara ilmu pengetehuan dengan kehidupan. Tapi, aku menengok kolaborasi tiga pelajaran dilakukan peserta didik dari kelas IPA. Aku membayangkan peserta didik dari kelas IPS bisa terlibat dengan mengganti pelajaran biologi dengan ekonomi. Mirip Bu Melli yang mengajar pelajaran ekonomi, peserta didik dapat mensimulasi berapa harga produksi, harga jual, serta keuntungan apabila menjual olahan pisang kepok di kantin atau warung terdekat. Aku menimbang cara kolaborasi dapat saling menyatukan antar pelajaran sesuai konteks ilmu pengetahuan yang disampaikan guru.
Dari pengalaman di SMA Negeri 1 Sumenep, Hidayat Raharja turut menceritakan kolaborasi di SMA Negeri 4 Sampang. Lewat esai Mengembangkan Bakat Siswa SMA Negeri 4 Sampang Bersama DoubleK Batik, aku membaca kolaborasi tidak hanya pelajaran belaka. Ekstrakurikuler (kegiatan tambahan di luar jam pelajaran) dapat berkolaborasi dengan instansi atau praktisi di luar sekolah demi mengajarkan sesuatu apa yang tidak diperoleh di kelas, seperti Bu Dewi Wahyuni dan Bapak Abd. Wahid Hamidullah berkolaborasi dengan DoubleK Batik, home industry dari Sampang.

Keterangan: Siswa SMA Negeri 4 Sampang berlatih membatik di DoubleK BatikFoto: Hidayat Raharja |
Hidayat Raharja menulis tujuan kolaborasi DoubleK Batik adalah peserta didik SMA Negeri 4 Sampang mampu mengendalikan diri dan mengembangkan kreativitas. Peserta didik SMA Negeri 4 Sampang belajar membuat pola, memalam, dan mewarnai. Lain itu, peserta didik dapat belajar memahami makna tanggung jawab, seperti disiplin waktu. Bu Sri Krisna dan Pak Kikana Rahman (pemilik DoubleK Batik) turut membuka peluang bagi peserta didik SMA Negeri 4 Sampang yang antusias dapat langsung belajar di DoubleK Batik.
Aku juga membaca catatan Hidayat Raharja perihal SMA Negeri 4 Sampang menerima kolaborasi dari instansi atau praktisi dari luar sekolah, seperti Tanglok Art Forum yang mempresentasikan hasil riset Pangeran Trunojoyo berupa lecture performance, pertunjukan tari, dan pameran seni rupa. Aku mengetahui peserta didik SMA Negeri 4 Sampang (dan kehadiran peserta didik dari sekolah yang lain) dapat belajar mengenai sosok Pangeran Trunojoyo yang direpresentasikan hasil riset para seniman partisipan.
Dalam esai Hari Ini Belajar Sejarah: Alternatif Panggung Pembelajaran yang Merdeka, Hidayat Raharja menulis salah satu manfaat peserta didik terhadap kehadiran Tanglok Art Forum: “…Ruang belajar yang memungkinkan untuk menghubungkan antar hal antara seni, estetika, sejarah, dan distribusi pengetahuan yang simpang siur di antara mereka…” Apa yang ditulis oleh Hidayat Raharja tersebut mengubah pengertian ruang, yaitu: bidang-bidang (alas, dinding, dan langit-langit) yang saling bersambung membentuk volume.

Keterangan: Kegiatan diskusi Hari Ini Belajar Sejarah.Foto: Muhammad Azmil Ramadhan |
Pengertian ruang yang berubah telah memvisualisasikan ruang belajar bagi peserta didik bukan lagi menunjuk kelas yang berisi kursi, meja, atau papan tulis. Tapi, peserta didik masuk ke ruang belajar lain, yaitu: panggung pertunjukan dan ruang pameran. Aku membayangkan peserta didik dapat menyerap ilmu pengetahuan dari karya seni yang meletupkan impresi dan interpretasi. Dan, peserta didik menerima pantulan pengalaman intelektual lewat presentasi hasil riset dari Tanglok Art Forum.
Pembacaanku pada naskah Ruang Kelas yang Terus Bergerak karya Hidayat Raharja menambah pemahamanku perihal ruang yang diinginkan penghuni. Mengetahui keistimewaan peserta didik SMA Negeri 4 Sampang, Hidayat Raharja mengabarkan bagaimana para guru ikut berperan merancang ruang belajar sesuai kebutuhan dan aktivitas. Ruang belajar itu diharapkan tidak mati. Justru, mendidihkan keingintahuan peserta didik. Kolaborasi adalah cara SMA Negeri 4 Sampang untuk menghidupkan ruang belajar.**
Catatan: Tulisan ini merupakan pembacaan pembuka untuk buku Ruang Kelas yang Terus Bergerak karya Hidayat Raharja yang segera terbit.
Daftar Pustaka
Hasan Alwi—Pimpinan Redaksi (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Buletin Pawon edisi #50 tahun X/2017
Tulisan ini diterjemahkan oleh Muhammad Haikal dan Irfan Afifi dari tulisan M.C. Ricklefs, “Rediscovering Islam in Javanese History”, Storied Island: New Explorations in Javanese Literature, (edited by: Ronit Ricci), Published by Koninklijke Brill NV, Leiden, The Netherlands, Volume 316, 2023. Tulisan ini diterjemahkan dan disebarkan untuk tujuan pendidikan (non-commercial use). Pada bagian abstrak serta penomoran sengaja dihilangkan untuk penyesuaian pada jenis tulisan web serta perulangan paragraf. Penerjemahnya Muhammad Haikal adalah seorang mahasiswa yang sedang menyelesaikan sarjana di University of Malaya dengan fokus studi Sastra Melayu, sedangkan Irfan Afifi adalah penulis, budayawan, penerjemah, dan pengelola, serta pendiri media kebudayaan Langgar.co.
***
Kajian sejarah Jawa menyuguhkan (banyak) contoh-contoh penting baik terkait tafsiran-tafsiran baru maupun warisan-warisan yang telah mengubah bagaimana cara kita melihat masa lalu maupun masa kini orang Jawa sepanjang abad-abad Islamisasi, serta, sebagai akibatnya, (mengubah) bagaimana cara kita membayangkan masa depan mereka. Belum lama ini, Islam cenderung dilihat sebagai aspek pinggiran (marginal) bagi budaya Jawa ‘arus utama’: Ini warisannya. (Dan) sekarang, kita bisa menyaksikan Islam sebagai topik yang memiliki signifikansi utama dalam sejarah orang Jawa: Ini tafsiran barunya. Dalam bab ini, kita (juga) akan memeriksa baik atas warisan maupun tafsiran barunya, untuk mengetahui bagaimana kita akan dituntun pada pandangan-pandangan baru terkait sejarah, masyarakat, dan budaya Jawa, maupun kepada pemahaman yang lebih jernih (terkait) bagaimana realitas Islam dipahami serta dijalani dalam kehidupan nyata.
Pemeriksaan ulang, baik atas warisan-warisan maupun tafsiran-tafsiran barunya dari sejarah Jawa ini menyuguhkan pada kita sebuah contoh, bagaimana pandangan-pandangan kita terhadap masa lalu sering kali dibentuk oleh pengalaman akan situasi kekinian. Hal ini juga mengingatkan kita betapa bisa menipunya, menyesatkan, dan berbahaya secara analitis stereotipe-stereotipe tersebut, serta betapa pentingnya secara aktual untuk melakukan penelitian lebih lanjut untuk menguji ide-ide semacam itu. Tentu saja, ini sama sekali bukanlah pengamatan baru: namun cukup mengherankan, begitu tegarnya stereotipe-stereotipe itu hinggap dalam kasus sejarah orang-orang Jawa.
Warisan
Di dalam beberapa literatur lama, kita dapat menemukan sebuah gagasan bahwa terdapat dua ranah kebudayaan yang cukup berbeda, yang bisa dibedakan antara satu dengan lainnya. Salah satunya adalah ranah keislaman, yang didefinisikan dengan membaku-standarkan stereotipe-stereotipe yang akan kita lihat contohnya di bawah ini. Penggambaran akan praktik-praktik masyarakat Islam sejak paruh pertama abad ke-20 lebih banyak dipengaruhi oleh gambaran Islam Wahabi di Arab Saudi, sedangkan gambaran teologinya cenderung didominasi oleh pandangan para cendekiawan modernis yang terdidik. Jika kebanyakan orang Jawa tidak sesuai dengan gambaran-gambaran tersebut, maka tampaknya mereka tidak layak dikatakan Muslim (sejati).
Pada sisi mereka, orang Jawa juga sering dilihat melalui kacamata-kacamata berlensa esensialis. Gaya hidup Muslim nominal atau Muslim abangan dipandang asli (dari) Jawa—dijadikan norma. Ada sebuah pernyataan yang mengungkapkan bahwa seorang abangan hanya menaati kewajiban Islam sebanyak empat kali dalam hidupnya: Saat lahir, saat sunatan, saat pernikahan, dan saat kematian. Untuk yang pertama, kedua, dan terakhir, orang lain harus melakukannya untuk mereka. Adat-gaya keraton diambil sebagai paradigma yang menentukan keaslian ini, namun budaya dan masyarakat Islaminya hanya (dianggap) sekadar nominal. Para priyayi (dipandang) mewakili kelas-atas yang terpandang dari corak kejawaan asli masyarakat Jawa tersebut.
Kita mesti berhati-hati untuk tidak membesar-besarkan bahasan kita terkait pandangan-pandangan yang telah terwarisi ini. Sudah tersedia beberapa hasil karya kesarjanaan yang telah dikerjakan di periode sebelumnya yang kita semua berhutang budi atasnya. Namun terdapat pula (secara merata) sebuah paradigma yang serba-mencakup (overarching paradigm) yang nyata-nyata ada di sebagian besar paradigma kesarjanaan tersebut. Hal inilah yang kini ditantang oleh penelitian-penelitian terbaru maupun oleh perubahan-perubahan kontemporer yang sedang terjadi.
Contoh menonjol tentang stereotipe-stereotipe warisan ini terdapat dalam esai terkenal berjudul, “The world of Southeast Asia: 1500–1650,” tulisan J.C. van Leur. Seorang sarjana muda cerdas dari Belanda yang tertarik pada sejarah, serta cukup banyak dipengaruhi oleh pemikiran sosiolog Max Weber. Karirnya terhenti secara tragis ketika terbunuh dalam peperangan laut Jawa pada Februari 1942, (yakni) pada usia yang baru saja 34 tahun. Esai ini ditulis sebelum terjadinya peperangan tersebut, serta diterbitkan secara utuh di tahun 1947 dengan terjemahan Bahasa Inggris yang muncul pada tahun 1955.
Penting dicatat bahwa pandangan-pandangan Van Leur terbentuk di tahun 1930-an, (yakni) di tengah masa genting polarisasi sosial, budaya, agama, dan politik di Jawa (Ricklefs: 2007), yang sudah secara wajar mempengaruhi pandangannya terhadap sejarah. Dalam esainya ditemukan sebuah pernyataan yang sekarang terlihat sedikit tak biasa (aneh), namun pada saat itu, dianggap secara definitif:
“Ekspansi agama baru ini [yang dia maksud Islam] tidak menghasilkan perubahan revolusioner apa pun, maupun (menjadikan) kolonis asing yang baru saja tiba ini meraih kuasa (penuhnya)—rezim Indonesia tidak mengalami satu pun perubahan, karenanya… juga tak perlu ditanyakan lagi mengenai pengaruh yang lebih dalam terhadap aspek-aspek kebudayaannya. Islam tidak membawa satu pun inovasi “tingkat tinggi dalam pengembangannya” untuk Indonesia, secara sosial maupun ekonomi, baik dalam tata kenegaraan maupun dalam perdagangan. Kedua agama ini [yaitu, Hindu dan Islam] hanyalah lapisan tipis yang mudah mengelupas pada tubuh besar peradaban pribumi (indigenous). (Van Leur 1955:168-9)”
Pada tahun 1953 hingga 1954, sebuah tim peneliti antropolog Amerika dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) menghabiskan beberapa bulan di Kota Pare, dekat Kediri di Jawa Timur yang mereka juluki “Modjokuto.” Peneliti paling terkenal dari tim ini adalah Clifford Geertz (1926-2006), bukunya The Religion of Java diterbitkan tahun 1960. Sejak awal, sudah ada orang Indonesia dan Belanda (e.g., Koentjaraningrat 1963) yang mengkritik buku ini dan terbebani keteledoran Bahasa Jawa yang memalukan dalam dedikasinya.[1] Kendati pun demikian, karya ini tetap saja dianggap secara luas sebagai sebuah catatan otoritatif terkait kehidupan beragama orang Jawa. Pengaruhnya di Indonesia juga mendalam, sampai-sampai istilah yang lazim digunakan untuk kaum muslim saleh serta pejabat keagamaan di kalangan orang Jawa: (seperti) muslimin, putihan, kaum, dll. — tergantikan dalam penggunaan hariannya dengan istilah santri yang digunakan Geertz, meski biasanya diterapkan secara lebih khusus kepada murid-murid sekolah agama (pesantren). [2]
Momentum penelitian MIT sangatlah penting karena Geertz dan timnya berada di Jawa Timur pada periode meningkatnya eskalasi ketegangan sosial, politik, dan agama. Peristiwa ganas pada masa Revolusi (Kemerdekaan) dan lingkungan yang telah terpolitisi pada tahun 1950-an memicu meningkatnya polarisasi di Jawa. Akhirnya, ketegangan tersebut mengakibatkan munculnya pembantaian massal pada pertengahan tahun 1960-an. (Ricklefs 2012: bab 4).
Dalam Religion of Java karya Geertz kita menemui (kategori) trikotomi terkenal: santri, abangan, dan priyayi. Yang pertama ia kaitkan dengan dunia para pedagang kecil, yang kedua dengan kaum petani, dan yang ketiga dengan birokrasi, yang Koentjaraningrat sebut (sebagai) “terlalu menyederhanakan” (Koentjaraningrat 1963: 188). Trikotomi ini menjadi cara umum dalam menggambarkan pemilahan di dalam masyarakat Jawa, walaupun ini jelas-jelas merupakan kebingungan terkait varian agama (santri vs abangan) dengan kelas-kelas sosial (priyayi vs orang biasa, wong cilik, yang terlewatkan dari kerangka Geertz). Sekali lagi, kita bisa menemukan sebuah pernyataan yang cukup mengherankan untuk saat ini:
“Adalah sangat sulit, dengan tradisi dan struktur sosialnya yang terberi, bagi seorang Jawa menjadi “muslim sejati”… (dengan) karakter asingnya, keagungan, serta kemuliaan Tuhannya, (sifat) moralnya yang begitu pekat, keketatannya dalam soal ajaran, maupun eksklusivisme-nya yang bersifat intoleran, yang menjadi bagian kuat dari Islam, adalah begitu asing bagi pandangan tradisional orang-orang Jawa. (Geertz 1960:160)”
Dalam Religion of Java karya Geertz kita menemui (kategori) trikotomi terkenal: santri, abangan, dan priyayi. Yang pertama ia kaitkan dengan dunia para pedagang kecil, yang kedua dengan kaum petani, dan yang ketiga dengan birokrasi, yang Koentjaraningrat sebut (sebagai) “terlalu menyederhanakan” (Koentjaraningrat 1963: 188).
Perhatikan stereotipe-stereotipe ini. Terdapat (a) “tradisi” Jawa—warisan dari masa lampau— (b) “struktur sosial”—yakni santri, abangan, dan priyayi— dan (c) “pandangan tradisional” yang sedikit mendapat pengaruh Islam, keseluruhan gabungan dari tiga hal ini menjadikan “sangat sulit… bagi orang Jawa untuk menjadi ‘muslim sejati’.” Sehingga didapatilah Islam (bertentangan dengan tradisi, struktur sosial, dan pandangan Jawa yang melekat padanya) yang secara ketat berfokus pada ajaran, sifat intoleran, serta karakter eksklusifnya. Dengan menengok kembali sejarah pada tahun 1950-an, seseorang mungkin akan dimaklumi karena mengira bahwa hal ini lebih tepat untuk menggambarkan Gereja Katolik dibanding berbagai penampakan wajah Islam di seluruh dunia. Tentu saja tidak ada pengamat serius yang berani membuat klaim tersebut sampai hari ini. Namun perlu diingat, bahwa Geertz sedang mengamati dan menulis di saat polarisasi semakin menukik, di saat batas-batas antara santri dan abangan semakin mengeras secara parah. Publikasi tim MIT tetap sangat berharga untuk pemotretan polarisasi ini. Robert Jay, anggota tim lainnya, merangkum kejadian ini sebagai “sebuah perpecahan keagamaan yang membelah masyarakat lokal” (Jay 1969: 4-5) serta mengamati bagaimana perpecahan itu semakin mengeras selama bulan-bulan penelitiannya di Pare.
Jay menerbitkan sebuah monograf dengan judul terkenalnya, Religion and Politics in Rural Central Java — terkenal dikarenakan penelitian itu dilakukan di daerah Jawa Timur, bukan Jawa Tengah —daerah tempat ia berusaha memproyeksikan ketegangan abangan-santri dengan menariknya jauh ke masa lalu sejarah Jawa, dengan hasilnya yang tidak (terlalu) meyakinkan. Dia jelas melihat sejarah (Jawa) ini sebagai pertarungan antara Islam—sebuah kekuatan invasi baru—dengan kekuatan pra-Islam dan tradisi kebudayaan Jawanya yang secara implisit (dianggap) lebih asli. Pada abad ke-17, dia menulis, “Para penguasa pesisir dalam perlawanannya terhadap Mataram menyerukan Islam yang secara religius lebih murni sebagai standar menyatukan, terutama melawan Sultan Agung (1613-1646) dan penerusnya” (Jay 1963:10). Ada sebuah ironi tersendiri di sini, karena sebagaimana akan kita lihat di bawah, pemerintahan Sultan Agung merupakan masa penting bagi proses Islamisasi yang dipimpin oleh keraton. Lebih luas lagi, Jay mengemukakan skenario sejarah yang penuh stereotipe dari abad ke-14 atau ke-15 hingga seterusnya:
“Dimulai sekitar lima abad atau jika tidak enam abad yang lalu, Islam yang sedang menyebar, dengan perlengkapan falsafah keesaan maupun sifat eksklusifnya, serta kemampuannya memberi penganutnya rasa (persaudaraan) kuat akan komunitas, melibatkan dirinya dengan falsafah intelektual-adiluhung masyarakat Jawa yang didasarkan pada kepercayaan kuno dan ikatan sosial serta loyalitas yang menuntut luas.… Sementara unsur-unsur keagamaan yang lebih formal dari posisi tradisionalnya, yang mencakup bentuk ritual penyembahan dewa-dewa kuno Hindu-Jawa telah musnah, keutuhan ideologi corak tradisional Jawanya tetap saja bertahan. Di sisi yang lain, Muslim ortodoks yang lebih ekstrim telah berhasil menolak banyak bentuk-bentuk kebudayaan yang tersisa, terutama dalam estetika dan teologi. Akan tetapi, di antara kedua ekstrim ini jalan tengah luas akan proses akomodasi sungguh dapat berkembang, meskipun bukan tanpa gesekan. (Jay 1963: 101)”
Kita perlu mencatat lagi di sini bahwa stereotipe-stereotipe yang dibaku-standarkan. Islam (dianggap) memiliki sebuah “falsafah keesaan dan sifat eksklusif” serta termasuk memiliki jenis (kaum) “ortodoks yang lebih ekstrim.” Orang Jawa, sebaliknya, (dipandang) memiliki “falsafah intelektual yang adiluhung” beserta “bentuk-bentuk tradisionalnya.” Dalam pengantar untuk karya monografnya, sejarawan Harry Benda mengungkapkan kritisisme yang pasti membuat Dr. Jay yang masih junior akan (merasa) tak nyaman saat membacanya: “(sungguh) berharga serta sangat diperlukannya penelitian Dr. Jay ini… namun proyeksinya tentang perpecahan sejarah masyarakat Jawa pada masa lebih awal mungkin (akan) tumbang oleh beberapa kesangsian” dan catatannya terkait tahun 1930-an “saya pikir adalah keliru dan menyesatkan” (Jay 1963: iv). Hari ini mungkin kita akan mendukung kritik Harry J. Benda, karena saat ini kita memiliki banyak penelitian substantif untuk mendukungnya ketimbang yang dia miliki pada saat itu.
Pembedaan antara apa yang disebut Islam dengan apa yang asli Jawa tidak hanya ditemukan dalam publikasi sosiologis dan antropologis saja. Karya G.W.J Drewes (1899-1992) juga mencerminkan pandangan-pandangan demikian. Drewes tinggal di Indonesia dari tahun 1925 hingga tahun 1938, serta pada tahun 1946-7, jadi sekali lagi, dia merupakan seseorang yang jejak personalnya berasal dari era sebelum Perang Dunia II dan Era Revolusi (Kemerdekaan) Indonesia. Setelah Perang Dunia II dia menduduki jabatan professorial di Universitas Leiden dalam kajian Bahasa Jawa, Bahasa Melayu, Studi Islam, dan Bahasa Arab. Mungkin seseorang akan berpikir bahwa ia memenuhi syarat untuk menjembatani sekat-sekat konvensional budaya. Pada tahun 1954, dia menerbitkan edisi baru karya primbon Jawa tentang ajaran-ajaran Islam yang jelas berasal dari abad ke-16. Karya ini sebelumnya telah diedit pada tahun 1921 oleh B.J.O Schrieke (1890-1945), yang menemukan terdapatnya bukti bahwa Islam telah diadaptasikan ke dalam latar masyarakat Jawa. Drewes menolak semua itu: “Hasil penelitian ini mengecewakan sejauh ini, karena tampak tidak terdapat bukti mengenai ‘proses adaptasi tersebut ke dalam lingkungan kebudayaan Jawa’ yang Schrieke pikir telah ia temukan indikasinya di dalam teks.” (Drewes 1954: 3). Selanjutnya, “Sosok guru yang di dalam pengajaran-pengajarannya, keseluruhan isu-isu ini muncul (di dalam teks), tidak diragukan lagi adalah seorang penganut mistisisme ortodoks,” tulis Drewes (1954: 4), yang jelas-jelas menyiratkan bahwa “proses adaptasi ke dalam lingkungan Jawa” akan sama saja dengan heterodoksi.
Kesimpulan Drewes dalam hal ini cukup mengherankan (aneh), yakni dengan menimbang istilah yang ditemukan di dalam teks primbon ini. Di sana, kita temukan (istilah) Allah digunakan dalam ungkapan perbendaharaan bahasa Arabnya, namun selain itu juga (ditemukan) istilah untuk Tuhan dalam Bahasa Jawanya pangeran (penguasa, dalam Bahasa Jawa dimaksudkan untuk penguasa dunia-sementara maupun penguasa yang mengatasi alam). Untuk surga, kita temukan kata swarga atau syarga, untuk jiwa ditemukan kata sukma dan untuk asketisme ditemukan kata tapa. Ini merupakan semua kosa-kata bahasa Jawa yang berakar dalam bahasa Jawa kuno dan/atau Sansekerta yang memuat konotasi pra-Islamnya. Kasus yang paling mencolok adalah penggunaan kata Jawa sembah dan sembahyang untuk (mengganti kata) salat. Sĕmbah adalah sikap badan untuk menghormat atau menyembah dengan cara meletakkan telapak tangan secara bersamaan tepat di depan hidung. Dalam kasus kata sembahyang, ini adalah sembah terhadap hyang, alias para dewa-dewa. Bagaimanapun, Drewes menerjemahkan sembah atau sembahyang tidak dengan kata Belanda untuk menunjuk ritus kebaktian tertentu, namun lebih memilih istilah Arab salat (Drewes 1954: 54-5) yang dengan demikian (justru) memperteguh di dalam terjemahannya (sendiri) kesan ortodoksi Islam tanpa “proses adaptasinya ke dalam lingkungan kejawaan.”
Dalam beberapa keadaan memang dapat ditemukan konflik antara Islam dan Jawa dalam pengertian identitas, corak budaya, maupun sistem kepercayaan. Hal ini bisa dilihat pada teks Jawa lain yang juga diedit oleh Drewes (1978), yang jelas berasal dari tahap awal proses Islamisasi di beberapa tempat di Jawa. Penanggalan atas teks ini yang merujuk pada abad ke-16 atau abad ke-17 adalah sepenuhnya spekulatif: teks ini bisa jadi berasal, katakanlah, dari Blambangan yang sekurang-kurangnya (baru) pada abad ke-18. Alhasil, ini jelas merefleksikan fase awal proses Islamisasi di masyarakat transisi. Satu kutipan terkenalnya agama Selam lawan gama Jawa, yakni, agama Islam vs agama Jawa, sementara kutipan lain mengecam pemakaian “busana kafir” (wong kapir…. pangganggone) (Drewes 1978:36-7).
Jadi, kita bisa simpulkan bahwa memang ada keadaan bahwa penganut Islam dan penganut agama pra-Islam menganggap diri mereka menempati dunia yang berbeda. Namun terdapat juga kompromi, akomodasi, dan sintesis. Dengan kata lain, ini merupakan rentang masa dinamis serta kompleks dari perubahan sosial, namun tampaknya Drewes buta terhadap kompleksitas tersebut.
Jadi, kita bisa simpulkan bahwa memang ada keadaan bahwa penganut Islam dan penganut agama pra-Islam menganggap diri mereka menempati dunia yang berbeda. Namun terdapat juga kompromi, akomodasi, dan sintesis. Dengan kata lain, ini merupakan rentang masa dinamis serta kompleks dari perubahan sosial, namun tampaknya Drewes buta terhadap kompleksitas tersebut.
Contoh lain warisan-warisan paradigmatik ini bisa dilihat dalam (buku) sejarah umum Indonesia karya B.H.M Vlekke (1899-1970). Sementara para sarjana yang telah dibahas di atas meyakini pandangan tentang Indonesia yang dipengaruhi oleh pengalaman pribadi mereka sebelum Perang Dunia II, Vlekke sendiri tidak pernah menginjakkan kakinya di Indonesia. Dia dididik sebagai sejarawan Eropa dan akhirnya menjadi Profesor Hubungan Politik Internasional di Leiden. Selama perang berlangsung dia berada di Amerika Serikat. Di sanalah dia menuliskan bukunya, khususnya ditujukan untuk memperkenalkan Indonesia kepada orang-orang Amerika, yang sedang menjadi isu kebijakan penting dikarenakan pendudukan Jepang atasnya. Edisi pertamanya muncul di tahun 1943. Meskipun kurangnya pengalaman pribadi, namun sejarah Indonesia karya Vlekke ini sangat bagus dan selama bertahun-tahun menjadi rujukan standar bagi para pembaca berbahasa Inggris. Kendatipun demikian, kita (masih) menemukan refleksinya di sana terkait pemilahan yang penuh stereotipe antara apa yang (dianggap) asli Jawa dengan apa yang asli Islam. Sebagai contoh, dia menulis bahwa bagi sebagian besar penguasa Jawa di abad ke-16, “penerimaan Islam hanyalah sarana untuk mencapai tujuan, dan untuk masa yang lama, banyak dari mereka enggan mengenal Islam sebagaimana seharusnya ia dikenali, yakni, sebagai ajaran tertutup (exclusive) bagi semua ajaran kepercayaan lainnya” (Vlekke 1965; 97). Sekali lagi, kita bisa melihat Islam sejati sebagai berkarakter tertutup/eksklusif dan dalam versi (penerapan) Jawanya sebagai sejenis (bentuk) pengelakan oportunistik atas karakter selayaknya ekslusifitas Islam.
Dalam karya-karya kesarjanaan seperti yang telah dibahas sebelumnya, kita melihat sebuah paradigma tersirat yang menempatkan budaya Jawa “tradisional” asli yang berbeda dari pemahaman Islam yang benar. Budaya Jawa tersebut pada dasarnya adalah bercorak pra-Islam, masa kunonya adalah kerajaan Majapahit pada puncaknya di abad ke-14. Budaya ini didatangkan dari “falsafah adiluhung intelektual” masa lalunya (tulis Jay). Pada budaya Jawa asli ini datanglah Islam —sebuah kekuatan invasi asing yang (lebih) dibawa oleh para pedagang atau Sufi dibanding para prajurit/ksatria. Hal inilah yang menyebabkan konflik dengan budaya Jawa asli yang menolak perubahan. Hasilnya, dalam paradigma ini, adalah pertumbuhan Islam yang begitu lambat dan sangat terbatas pada kebudayaan Jawa. Maka Islam, mengulangi amatan Van Leur, “hanyalah lapisan tipis yang mudah mengelupas.” Dalam istilah Geertz, abangan dan priyayi dipandang sebagai perwakilan yang masih hidup dari kebudayaan Jawa asli. Para santri mewakili sifat invasif dengan kepercayaan Islam terbatasnya, dari budaya identitas baru Islam.
Perlu dicatat bahwa terdapat sarjana-sarjana yang berbeda pendapat dari paradigma di atas. Pandangan Vlekke mungkin saja tidak lepas dari gagasan-gagasan penuh stereotipe, namun dia juga melihat kompleksitasnya. Tulisnya, “Apapun motif Sultan Agung, penerimaannya yang sungguh-sungguh atas keyakinan Islam tak diragukan lagi [menghasilkan] ketaatan yang lebih dekat pada aturan-aturan agama ini di dalam kerajaannya” (Vlekke 1965:150). Jadi Vlekke (tidak seperti Jay) memiliki gagasan terkait peran Sultan Agung dalam mendamaikan tradisi Jawa dan Islam, meskipun pada waktu itu belum ada penelitian yang signifikan mengenai pemerintahan Sultan Agung.
Sejarawan Jawa paling terkemuka pada masanya tidak diragukan lagi adalah H.J. de Graaf (1899-1984). Ketika menyelesaikan doktoralnya di tahun 1935, dia merupakan sarjana pertama yang dilatih baik sebagai sejarawan (dia merupakan murid dari Johan Huizinga di Leiden) maupun sebagai sarjana yang menguasai Bahasa Jawa. Dia menghabiskan waktunya bertahun-tahun di Jawa, termasuk masa penahanannya di kamp penjara Jepang selama Perang Dunia II. De Graaf banyak dipengaruhi oleh sarjana Jawa terkemuka, yaitu Poerbatjaraka. Karyanya Geschiedenis van Indonesia memiliki otoritas yang tak akan pernah dicapai oleh karya Vlekke. Di dalamnya dia menulis proses akomodasi kultural antara Islam dengan masyarakat sekitar: “Islam hanya bisa berjaya jika memenuhi dalam beberapa takaran keinginan-keinginan orang Jawa. Maka bagian penting dari agama Hindu serta apa yang mendahuluinya dapat diselamatkan. Tradisi mempertahankan kesepakatan ini,” tulisnya (de Graaf 1949: 84). Selama tahun 1935 hingga 1942, De Graaf mengajar di Gereformeerd Belanda-Cina dan sekolah pelatihan guru untuk Belanda-Pribumi di daerah Surakarta. Dia memberitahukan saya bagaimana ia membawa murid-murid kelas sejarahnya berkeliling ke situs-situs bersejarah Jawa, yang sering dikaitkan dengan Islam, seperti Demak dan Kudus. Ini membuatnya mendapat masalah dengan otoritas Kristen ultra-ortodoks di sekolah itu, namun ia tetap bersikeras. Pada tahun 1958 De Graaf menerbitkan karya monografnya tentang pemerintahan Sultan Agung dan pendahulunya Panembahan Seda ing Krapyak. Dia menulis (terkait) ketergantungan nyata Sultan Agung atas penasihat Muslim yang dihormatinya, kehadiran regularnya di masjid, dan para pejabatnya diwajibkan untuk mengikutinya, pemaksaan pindah agama bagi tawanan perang Eropa ke Islam, serta (rekaman) tradisi saat setelah Sultan Agung wafat (Ia) dianggap sebagai orang suci [waliullah] (De Graaf 1958: 103-4). Saya tidak berpikir jika De Graaf—dia sendiri seorang penganut taat Calvinist konservatif —pernah tertarik dengan gagasan bahwa menjadi orang Jawa dan pada saat bersamaan seorang Muslim adalah (seperti diklaim Geertz) “sangat sulit.”
De Graaf bergabung dengan temannya Th.G.Th. Pigeaud (1899-1988) untuk menulis sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Jawa masa awal-awal pada abad ke-15 dan ke-16. Mereka bekerja dengan sumber-sumber sulit dan pelik untuk memberi makna sebaik mungkin yang mereka bisa mengenai sejarah periode tersebut. Hasilnya mau tak mau bersifat spekulatif di banyak tempat. Berkait dengan jurang pemisah antara apa yang disebut Jawa dengan apa yang disebut Islam, mereka memiliki pendapat ini:
“Salah satu keberatan paling penting atas pandangan sejarah Jawa mutakhir hingga baru-baru ini adalah terkait gagasan bahwa terdapat jurang perbedaan antara apa yang disebut-sebut Jawa-Hindu, periode ‘pagan’, dan (masa) Islam” (De Graaf dan Pigeaud 1974: 3). Spekulasi mereka dalam masalah ini, bagaimana pun, kerapkali melampaui bukti-bukti remeh yang bisa mendukung. Satu contohnya adalah komentar mereka bahwa “Pada periode ini… Kehidupan rumah tangga dan masyarakat Jawa di luar lingkungan keraton dipengaruhi oleh Islam dengan kecenderungan egaliternya, yang dalam hal ini berbeda secara kontras dengan masyarakat pra-Islam yang sarat (hierarki) kelas yang sakral serta aristokratik.”
(De Graaf dan Pigeaud 1974: 6). Sumber-sumber yang ada tidak bisa mendukung analisis pembedaan kelas macam itu.
Salah satu keberatan paling penting atas pandangan sejarah Jawa mutakhir hingga baru-baru ini adalah terkait gagasan bahwa terdapat jurang perbedaan antara apa yang disebut-sebut Jawa-Hindu, periode ‘pagan’, dan (masa) Islam” (De Graaf dan Pigeaud 1974: 3)
Walhasil, gagasan mengenai identitas Jawa dan identitas Muslim yang mustahil didamaikan dalam takarannya yang lebih luas adalah tidak diterima oleh semua sarjana. Tidak lebih hal itu hanya satu tafsiran semata, meski sangat luar biasa pengaruhnya. Pengaruhnya merentang melintasi studi politik, masyarakat, budaya, sejarah, dan agama. Dan itu merupakan sebuah paradigma yang saat ini lekas mati, atau malah sudah mati. Jadi, sekarang saatnya kita bisa menimbang bagaimana transformasi tersebut akan berlangsung.
Tafsiran Baru
Dalam pandangan saya, ada dua alasan utama untuk meninggalkan paradigma lama serta menerima paradigma baru, yakni bergerak meninggalkan gagasan bahwa Islam adalah bersifat pinggiran (marginal) bagi sejarah Jawa mainstream menuju kepada gagasan bahwa Islam merupakan aspek utama di antaranya. Alasan pertama adalah peran Islam dalam masyarakat Jawa berubah secara tiba-tiba dari sekitar pertengahan 1960-an hingga seterusnya. Kedua adalah penelitian baru yang telah dikerjakan.
Perubahan sosial itu (begitu) signifikan, karena dari sejak pertengahan tahun 1960-an, Islam telah menjadi ciri yang lebih menonjol dalam kehidupan masyarakat Jawa. Panggilan salat (azan) mulai terdengar secara reguler, dikarenakan pemasangan listrik yang menyebar beserta keuntungan sistem alamat publiknya. Gaya hidup abangan menyusut di bawah pengaruh Islam yang lebih luas. Sangat penting untuk diperhatikan bahwa lembaga-lembaga utama yang menyokong dan menguatkan identitas abangan menghilang atau secara dramatis melemah di bawah rezim Orde Baru Suharto. Penduduk desa abangan dalam banyak kasus, umumnya cenderung tidak simpatik terhadap otoritas dan lembaga yang terstruktur dan hirarkis. Ekspresi utama identitas abangan yang terlembagakan adalah partai-partai politik, khususnya Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI). PKI dibumihanguskan dalam pembantaian tahun 1965-6. PNI secara dramatis dilemahkan dan menghilang lalu “melebur” ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di tahun 1973. Partai-partai politik di pihak santri juga dikebiri, namun para santri mempunyai lembaga lain yang mendukung dan menghidupkan gaya hidup dan aspirasi kesalehannya, utamanya masjid-masjid: sekolah-sekolah agama: organisasi-organisasi besar, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan Persis; jaringan luas lembaga kesejahteraan sosial maupun tokoh-tokoh besar nasionalnya. Tidak ada yang sebanding ini di pihak abangan.
Rezim Orde Baru juga mempunyai agenda Islamisasinya sendiri. Hal ini diungkapkan melalui diwajibkannya pendidikan agama di sekolah-sekolah, proyek-proyek dakwah seperti PTDI (Perguruan Tinggi Dakwah Islam) dan P2A (Pembinaan Pengamalan Agama), pengembangan sistem IAIN (Institut Agama Islam Negeri), pembangunan masjid, kewajiban pengumpulan zakat bagi pegawai negeri, dan berdirinya MUI (Majelis Ulama Indonesia). Rezim ini tidak mentolerir persaingan politik dari organisasi keagamaan. Malah sebaliknya, ia mau mengatur dan mengarahkan Islam berdasarkan kepentingan prinsipnya sendiri untuk kontrol masyarakat dan penghancuran komunisme. Walhasil, salah satu buah dari pendekatan ini adalah (semakin) mendalamnya Islamisasi, yang sejalan dengan aspirasi para aktivis Islam. Ketika masyarakat Jawa menjadi terlihat lebih Islami dalam gaya tampilannya, para sarjana mulai sadar bahwa toh tidak “sangat sulit… bagi orang Jawa untuk menjadi ‘muslim sejati’,” seperti yang diandaikan oleh Geertz.
Berkenaan dengan penelitian mutakhir yang menuntun kepada pemahaman berbeda terkait peran Islam dalam sejarah Jawa, akan lebih baik jika saya menguraikan pengalaman saya sendiri. Sejak dari masa awal-awal karier saya, saya sudah penasaran akan dikotomi santri-abangan. Saya meniti sebagai sejarawan muda pada tahun 1960-an, dengan harapan bisa menemukan (fenomena) abangan di Jawa pada abad ke-17 dan ke-18 serta sangat penasaran untuk melihat peran apa yang mereka mainkan. Tetapi abangan tidak pernah muncul, baik dalam sumber-sumber Belanda maupun Jawa. Oleh karena itu, pertanyaan segera muncul di benak saya terkait kapan dan bagaimana pemilahan sosial tersebut tampil. Saat saya untuk pertama kalinya tinggal di Jawa di tahun 1969, dikotomi tersebut jelas terlihat bagi saya, namun selama tahun-tahun setelahnya tampaknya kelihatan menyusut secara signifikan. Keingintahuan historis saya terus saja mengusik.
Di tahun 1990-an saya melakukan penelitian yang akhirnya akan menjadi (buku) The Seen and Unseen Worlds in Java (Ricklefs 1998), yakni mengenai masa pemerintahan Pakubuwana II (1726-49). Sumber-sumber primer Bahasa Jawa yang tersisa dari periode itu lebih sedikit daripada periode selanjutnya, terutama dikarenakan keraton dijarah sebanyak dua kali pada tahun 1742, pertama oleh para pemberontak Cina beserta sekutu Jawanya, dan yang kedua oleh orang-orang Madura. Sehingga, saya kira saya sendiri bisa memulai tugas saya untuk memeriksa semua dokumen-dokumen asli yang tersisa dari masa pemerintan itu yang dapat diakses di koleksi MSS (manuscript and special collections) di Indonesia maupun di Eropa. Ahli sejarah Jawa, dalam memprioritaskan sumber-sumber primer yang perlu dirujuk, umumnya cenderung memilih babad, dokumen kontrak, surat-surat atau semacamnya, dibanding karya sastra (belles-lettres). Ini mungkin telah menyebabkan sikap meremehkan terkait pentingnya masalah-masalah agama, karena tampaknya telah menjadi konvensi sastra bahwa babad sudah semestinya menceritakan intrik-intrik keraton, konspirasi, peperangan, dan perselingkuhan, namun hanya memberi perhatian terbatas pada agama. Pada saat itu saya membaca semua sumber yang tersedia, termasuk karya-karya yang akan dikategorikan sebagai karya sastra (belles-lettres) serta mistisisme Islam. Dan oleh karenanya, saya menemukan diri saya—secara tidak terduga—berada di tengah-tengah episode utama proses Islamisasi yang dipimpin oleh keraton di dalam sejarah Jawa.
Saya membaca roman-roman memikat yang didasarkan pada tokoh-tokoh dari sejarah Islam, yang dipenuhi dengan ajaran-ajaran keagamaan. Carita Sultan Iskandar adalah versi yang lebih panjang dari kisah perjalanan sosok Iskandar Agung (Alexander the Great) atau Zulkarnain (seperti yang dapat) ditemukan di dalam al-Quran (18: 82-98). (Juga) Serat Yusuf yang didasarkan dari cerita (Nabi) Yusuf di Mesir sebagaimana bisa ditemukan di dalam al-Quran surat ke-12. Tidak seperti Carita Iskandar, kisah Yusuf juga menjadi cerita popular di masyarakat dengan versi yang berkaitan meski lebih ringkas dibandingkan dengan versi keraton dari masa Pakubuwana II (Ricklefs 1998: 60-1). Dalam versi Jawanya, kisah Al-Quran tentang Nabi Yusuf telah menjadi cerita panjang tentang kesalehan serta keindahan (paras). Yang paling memukau dari semua karya-karya ini adalah Kitab Usulbiyah. Sebuah judul yang dimaksudkan untuk menggemakan cerita-cerita Nabi-Nabi Arab sebagaimana ditemukan dalam qisas al-anbiya [kisah para nabi], meskipun [episode] pertemuan Nabi Isa dengan Nabi Muhammad yang terjadi di bumi— sebuah item sentral dari cerita Uulbiyah—(sejauh yang saya tahu) tidak memiliki kesamaannya dalam qisas al-anbiya. Bagaimanapun juga, bisa kita anggap jika penulis Usulbiyah mengetahui kisah kenaikan Nabi Muhammad ke langit (Ar. mi’raj), di mana saat itu ia bertemu Ibrahim, Musa, dan Isa di Yerusalem. Karya-karya utama sastra ini jelas ditulis dalam konteks latar Jawa. Karya-karya ini juga semuanya sama-sama ditulis pada tahun 1729, pada awal pemerintahan Pakubuwana II, (yakni) atas perintah neneknya yang tangguh yang merupakan seorang Sufi saleh, Ratu Pakubuwana (lhr. 1657, m. 1732). Semua karya ini digambarkan memiliki kekuatan-kekuatan supranatural (daya kekeramatan), yang (sengaja) dikerahkan oleh Ratu Pakubuwana untuk menyempurnakan pemerintahan cucu laki-lakinya Pakubuwana II, seseorang yang telah menaiki tahta pada usia 16 dan sekurang-kurangnya bisa dikatakan, telah menunjukkan beberapa tanda-tanda kepiawaiannya. Sang ratu telah berhasil dalam tujuannya, setidaknya sampai rentang waktu itu, yakni pada tahun 1741, (menjadikan) sang raja menampilkan dirinya sendiri sebagai sosok pemimpin model Sufi dalam sebuah Perang Jihad (holy war) di saat dia berhasil menyerang bala tantara VOC di keratonnya sendiri.
Terdapat juga karya-karya pendek yang minat bahasannya bisa ditemukan dalam karya-karya yang telah disebut di atas, utamanya adalah Suluk Garwa Kancana: karya ini menggambarkan sosok raja ideal sebagai seorang ksatria-sufi saleh, yang ini barangkali mewakili sebuah visi kerajaan Jawa yang merujuk kembali kepada (sosok) Sultan Agung (untuk hal ini, lebih lanjut akan diurai di bawah). Masa pemerintahan ini pulalah sumber alamat asal sebuah karya wejangan moral dan agama yang dikatakan disusun sendiri oleh Pakubawana II, yakni Wulang-dalem Pakubuwana II. (Juga) Serat Cabolek meski hanya dikenal dalam MSS di kemudian hari, tetapi menceritakan kontroversi keagamaan di keraton pada tahun 1731, yaitu dalam rangkaian ceritanya, salah seorang tokoh protagonis secara mengesankan mencontohkan (model) sintesis Islam-Jawanya dengan menyatakan bahwa “makna dari kitab kawi Bima Suci dan Arjunawiwaha… seperti halnya kawi Ramayana, semuanya adalah (karya) tasawwuf (tesawup, Ar. tasawwuf)” (Ricklefs 1998: 149).
Semua karya-karya sufisme yang dikarang di lingkaran keraton ini mengkonfirmasikan (sesuatu) dalam benak saya bahwa Islam (perannya) begitu sentral untuk memahami pemerintahan Pakubuwana II yang dramatis dan berakhir secara mengenaskan itu. Karya-karya ini juga menuntun saya untuk melihat kembali pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-46), ketika ‘daya keramat’ karya-karya Carita Iskandar, Serat Yusuf, maupun Kitab Usulbiya-nya Ratu Pakubuwana ini, kesemuanya jelas mewakili versi baru dari karya-karya yang sebelumnya pernah disusun pada masa Sultan Agung. Dikatakan sendiri di dalam Suluk Garwa Kencana-nya bahwa ini merupakan sebuah karya “dari Susunan Ratu” (salah satu gelar yang dipakai oleh Sultan Agung di tahun 1630 sebelum mengadopsi gelar Sultan), karya ini, juga, mungkin didasarkan pada acuan dari masa Sultan Agung. Menjadi jelas bagi saya jika pemerintahan masa Sultan Agunglah yang mewakili denyut utama proses Islamisasi yang dipimpin keraton. Juga, masa pemerintahan inilah yang berusaha dicipta-kembali oleh Ratu Pakubuwana beserta para pengikutnya dalam denyut Islamisasi kedua seabad setelahnya. Jelas masih banyak yang perlu dimengerti terkait peran Islam dalam masyarakat Jawa selama berabad-abad lalu.
Dan hal inilah yang menuntun saya kepada keputusan untuk mencoba menuliskan sejarah keseluruhan proses Islamisasi di kalangan masyarakat Jawa, (yakni) dari sejak bukti permulaannya pada abad ke-14 hingga hari ini. Hasilnya adalah tiga buku yang telah diterbitkan pada tahun 2006, 2007, dan 2012. Buku-buku tersebut menentang paradigma warisan yang telah dijelaskan di bagian pertama tulisan ini dan juga malah mengajukan sebuah sodoran pemahaman baru, yang mengakui peran sentral Islam dalam sejarah Jawa.
Buku pertama, Mystic Synthesis in Java: A History of Islamization from the fourteenth to the Early Nineteenth centuries (Ricklefs 2006) berusaha untuk memahami arti dari bukti-bukti yang berlimpah, namun remeh yang kerapkali gagal hanya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan utama yang muncul dalam pikiran kita. Dari abad ke-14 bukti-bukti tersebut menyarankan (akan) sebuah masa ketika identitas dan keyakinan agama saling bersaing, sebagaimana orang menduganya. Terdapat bukti-bukti terkait proses akomodasi antara identitas Jawa dan Muslim, maupun terkait konflik pada masa-masa awal ini. Sultan Agung muncul sebagai sosok rekonsiliator agung dari dua tradisi dan identitas tersebut pada awal abad ke-17. Setelah itu, datang lagi sebuah masa kontestasi, tantangan, dan peperangan, di saat para penantang dinasti Mataram mengibarkan panji Islam terhadap keraton yang, selama beberapa waktu setelah tahun 1670-an, telah banyak beraliansi dengan kafir-kafir VOC. Semakin keraton kehilangan legitimasi, maka semakin dibutuhkan dukungan militer VOC, dengan demikian, semakin berkobarlah rasa kesadaran Islam terhadap musuh-musuhnya. Pertempuran tersebut berakhir sekitar 1720-an dengan kemenangan dinasti keraton. Situasi inilah yang menciptakan adegan bagi pemerintahan Pakubuwana II beserta usaha rekonsiliasi keduanya atas identitas Jawa dan Islam di bawah pengaruh Ratu Pakubuwana.
Hasilnya adalah, menjelang akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, apa yang saya namai sebagai “mistik sintesis” Jawa yang bertumpu pada tiga ciri khusus dalam (bingkai) batasan-batasan tasawuf yang bersifat longgar. Yang pertama adalah perasaan kuat akan identitas, bahwa menjadi Jawa adalah berarti menjadi muslim. Seperti yang telah dikatakan seorang tokoh utama dalam Serat Centhini, “telah menganut agama suci ini/ setiap helai rumput di tanah Jawa,/ mengikuti Nabi yang terpilih” (Ricklefs 2006: 202).
Karakteristik kedua mistik sintesis adalah tersebarluasnya ketaatan pengamalan lima rukun Islam: syahadat, salat, zakat, puasa selama bulan Ramadan, dan penunaian ibadah haji ke Mekah bagi yang mampu. Bukti praktik-praktik keagamaan ini di tingkat masyarakat Jawa rendahan sayangnya begitu terbatas, sehingga unsur kehati-hatian senantiasa sangat diperlukan. Tetapi bukti yang kami miliki menunjukkan adanya ketaatan yang meluas. Pada tahun 1822 Cornets de Groot melaporkan dari wilayah Gresik di Jawa Timur bahwa “pokok utama kepercayaan Islam”—yang dia maksud khususnya adalah lima rukun Islam— “dikerjakan oleh orang banyak… puasa dijalani oleh kebanyakan orang-orang Jawa dari semua kalangan” (Cornets de Groot 1852: 271-2; Ricklefs 2006:204-5). Raflles mengira bahwa Islam di Jawa “tampaknya hanya menembus lapisan permukaannya saja,” namun meski demikian tetap saja teramati (olehnya) bahwa “semua orang memandangnya sebagai simpul penghormatan (penting) baik untuk menyokong maupun menghormati ajaran-ajarannya.” “Ziarah ke Mekah adalah hal lumrah,” tulisnya, dan “setiap desa memiliki pendetanya [pemimpin Islam] masing-masing, serta… di setiap desa yang penting terdapat sebuah masjid maupun sebuah bangunan terpisah yang disesuaikan sebagai tempat ibadah keagamaan.” Raffles menganggap masyarakat Jawa, bagaimanapun juga, sebagai “Mohamedans yang tidak begitu sempurna” karena mereka gagal membenci orang-orang Eropa (Raflles 1830: 11, 3-5; Ricklefs 2006: 215-16). John Crawfurd, sebaliknya, secara keras mengingkari orang-orang Jawa, yang dia nilai sebagai “semi-barbar” dengan pemahaman dangkalnya mengenai Islam: hal ini barangkali justru memberi tahu kita lebih banyak tentang gagasan (aliran agama) Presbiterian Skotlandia yang dipeluk oleh Crawfurd terkait bagaimana agama-agama seharusnya dijalani daripada tentang (Islamnya) orang-orang Jawa (Ricklefs 2006: 216).
Karakteristik ketiga dari sintesis mistik adalah penerimaan kekuatan-kekuatan spiritual lokal. Ratu Kidul: Sunan Lawu; dhanyang desa; demit atau jin penunggu gua, gunung, serta hutan; memedi atau hantu yang mencuri anak-anak di malam hari, maupun yang (bisa) mengubah diri mereka menjadi harimau; kekuatan gaib lainnya yang secara tebal mengisi kesadaran mental orang-orang Jawa yang telah berkembang dalam pementasan wayang kulit dan bentuk-bentuk pentas lainnya—semua ini diterima sebagai nyata. Jika standar kepekaan modern (kita) mengira ini tidak konsisten dengan dua karakteristik sebelumnya, kita mesti sadar bahwa kombinasi gagasan-gagasan demikian ini bisa ditemukan secara merata di dunia Islam, sebelum (munculnya) gerakan reformasi (Islam) yang dimulai pada abad ke-18 dan ke-19, sebagaimana juga, memang, kompromi sejenis ini (juga) bisa ditemukan pada agama-agama dunia lainnya.
Sintesis mistik ini tampaknya telah menjadi corak dominan religiusitas Islam di kalangan masyarakat Jawa pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Ia terdokumentasikan secara baik di kalangan elit melek huruf, namun (sejauh kita bisa ketahui melalui bukti yang berserakan) juga tampaknya telah teramati secara luas pada masyarakat Jawa. Dalam rentang abad ke-19 dan awal abad ke-20, tiap-tiap karakteristik sintesis mistik di atas akan mendapatkan tantangannya.
Sintesis mistik ini tampaknya telah menjadi corak dominan religiusitas Islam di kalangan masyarakat Jawa pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Ia terdokumentasikan secara baik di kalangan elit melek huruf, namun (sejauh kita bisa ketahui melalui bukti yang remeh) juga tampaknya telah teramati secara luas pada masyarakat Jawa. Dalam rentang abad ke-19 dan awal abad ke-20, tiap-tiap karakteristik sintesis mistik di atas akan mendapatkan tantangannya
Buku berikutnya dalam seri Islamisasi Jawa (Ricklefs 2007) meninjau periode tahun 1830-1930 serta, sesuai judulnya, tentang Polarisasi Masyarakat Jawa: Polarising Javanese Society: Islamic and Other Visions. Setelah penaklukan definitif Belanda atas Jawa di tahun 1830, yang menjerumuskan masyarakat Jawa ke dalam pengalaman penjajahan sesungguhnya, di periode sekitar pertengahan abad, gerakan reformis Islam mulai menyebar. Kegiatan ini dipimpin serta didukung oleh kelas menengah yang baru lahir di Jawa yang utamanya berbasis di kota-kota Jawa yang seringkali memiliki hubungan bisnis dengan pedagang Arab. Mereka mengadopsi gaya hidup muslim yang lebih saleh, dan, ketika kekayaan mereka bertumbuh, semakin bertambah jumlah orang-orang yang menunaikan ibadah haji, dengan demikian mencipta mata rantai hubungan dengan pusat tersuci Islam serta dengan gerakan-gerakan reformis di Timur Tengah. Ada juga pertumbuhan tiba-tiba dalam jumlah pesantren di Jawa. Orang-orang Jawa saleh ini menyebut diri mereka sebagai kaum putihan, yang membedakan diri mereka dari yang kurang saleh, kurang terdidik, kurang berpengalaman, dan dari kerumunan miskin. Dari para reformis putihanlah muncul penolakan terhadap kepercayaan pada kekuatan spiritual lokal Jawa yang merupakan bagian dari mistik sintesis.
Meskipun begitu, terdapat juga reaksi negatif terhadap versi Islam yang lebih saleh dan ortodoks ini. Di antara penduduk desa biasa, tampaknya banyak yang menolak tuntutan para reformis tersebut. Jika memang benar ini Islam, mereka akan mengatakan bahwa itu bukanlah untuk mereka. Para putihan merendahkan mereka sebagai abangan—yang coklat atau merah, sebuah istilah yang pada waktunya akan mereka gunakan sendiri, (dengan) menghilangkan konotasi negatifnya. Istilah ‘abangan‘ tidak dapat ditemukan di sumber manapun sebelum pertengahan abad ke-19 maupun berbagai pemunculan gagasan terkait ciri ketidaksalehannya, yakni gagasan Muslim nominal atau abangan sebagai kategori sosial terpisah juga tidak ditemukan. Baik pengertian abangan sebagai kelompok sosial yang berbeda maupun sebagai istilah yang dipakai untuk menggambarkan mereka, dengan demikian, jelas baru muncul pada pertengahan abad ke-19. Setelah beberapa abad berlalu, istilah dan pemunculan gagasan abangan sebagai kategori sosial yang terpisah tersebar (luas) di seluruh pedalaman Jawa, sebuah proses yang hanya bisa kita lihat secara samar-samar karena tidak memadainya bukti. Maka tidak diragukan lagi bahwa abangan merupakan kelompok mayoritas di kalangan masyarakat Jawa. Tampaknya mereka (segera) menarik diri dari dua karakteristik awal sintesis mistik lamanya, dengan melemahnya (1) kekuatan komitmen atas identitas Islam serta menurunnya (2) ketaatan terhadap lima rukun Islam. Meskipun bukti untuk masyarakat kalangan rendah lebih baik pada abad ke-19 daripada sebelumnya, kita mesti harus akui bahwa itu semua masih terbatas. Namun tampaknya Carel Poensen—seorang misionaris-sarjana yang tinggal di Kediri selama tiga dasawarsa—sungguh tepat ketika dia mengamati bahwa “di antara mayoritas besarnya terdapat aliran arus lain yang… menyebabkan arus sebelumnya—yang dalam banyak hal terjadi begitu saja —agama akhirnya lambat laun menghilang di masyarakat. Pada dasarnya, orang-orang mulai menjadi kurang religius dan saleh. [3]
Penting untuk ditekankan di sini, dengan menimbang bukti tersedia yang ditemukan, bahwa abangan bukanlah perwujudan budaya asli Jawa yang masih saja bertahan yang menolak Islamisasi dari sejak awal kemunculnya. Sebaliknya, ia adalah fenomena sosial baru di abad ke-19, (yakni sebagai) sebuah reaksi terhadap gerakan reformasi Islam. Pada awal abad ke-20, partai-partai politik muncul di Jawa dan perbedaan antara putihan dan abangan menjadi terpolitisasi dan terlembagakan. Maka lahirlah apa yang dikenal sebagai politik ‘aliran‘ di Indonesia, yaitu kesetiaan sosial dan keagamaan lebih penting daripada kelas sosial. Pada akhir abad ke-19 kita bahkan (bisa) menemukan orang Jawa yang menolak Islam secara total sebagai sebuah kesalahan peradaban (civilizational mistake). Juga, untuk yang pertama kalinya, sebuah komuntias kecil Jawa Kristen muncul.
Penting untuk ditekankan di sini, dengan menimbang bukti tersedia yang ditemukan, bahwa abangan bukanlah perwujudan budaya asli Jawa yang masih saja bertahan yang menolak Islamisasi dari sejak awal kemunculnya. Sebaliknya, ia adalah fenomena sosial baru di abad ke-19, (yakni sebagai) sebuah reaksi terhadap gerakan reformasi Islam.
Kelas sosial sangatlah penting dalam masyarakat Jawa dan pada kalangan kelas atasnya tantangan lain proses Islamisasi yang lebih dalam, (segera) muncul. Para elit birokrat, para priyayi, tertarik dengan modernitas yang dibawa oleh kolonialisme Belanda, yang dengan perkembangan ilmu saintifiknya, menghubungkan (mereka) dengan peristiwa dunia serta kecurigaan terhadap “fanatisme” Islam. Acara-acara sosial bergaya Eropa, klub membaca, perabotan rumah, dan gaya pakaian juga menarik perhatian para priyayi. Dengan demikian mereka menjadi lebih berjarak dari masyarakatnya sendiri, khusunya dari kalangan putihan yang saleh.
Demikianlah, bahwa menjelang tahun 1930 masyarakat Jawa secara gawat telah terpolarisasi pada garis-batas identitas keagamaan, kelompok sosial, maupun politiknya. Lokasi juga penting, dengan perbedaan signifikan antara penduduk pedesaan dan perkotaan serta bahkan beberapa perpindahan penduduk di kalangan masyarakat pedesaan yang sejalan dengan garis aliran. Menjadi jelas bagi saya bahwa ini bukanlah situasi yang “sudah ada sejak mulanya” yang berakar jauh ke masa lalu, seperti yang Dr. Jay bayangkan, maupun secara jelas-jelas diasumsikan oleh para sarjana lain. Sebaliknya, ini adalah fenomena historis yang tak menentu (terus berubah), tanpa kedalaman temporal yang relevan. Pada tahun 1930 fenomena ini kurang lebih berusia satu abad di manapun di Jawa, maupun di banyak tempat tidak lebih dari satu atau dua generasi (saja).
Buku terakhir dari seri ini (Ricklefs 2012) berusaha (sebagaimana judulnya) untuk memotret kisah [Islamisasi dan Para Penentangnya di Jawa]: Islamisation and its Opponents in Java from c.1930 to the present, yakni melalui “sejarah politik, budaya, sosial, dan keagamaan.” Selama periode tersebut, polarisasi masyarakat Jawa yang telah terpolitisasi meningkat menjadi kekerasan selama masa Revolusi (Kemerdekaan) Indonesia—terutama di Madiun pada tahun 1948. Hal ini menyediakan nutrisi bagi kekacauan politik dan gejolak sosial pada tahun 1950-an dan awal 1960-an, yang memuncak dengan pembantaian mengerikan pada 1965-1966. Seperti yang telah dicatat sebelumnya, PKI hancur dalam pembantaian ini. PNI melemah dan selanjutnya lebih jauh bubar melalui “peleburannya” ke dalam PDI pada tahun 1973. Seluruh partai politik dilarang melalui kebijakan “massa mengambang”-nya untuk memiliki struktur organisasi di bawah tingkat kabupaten, terkecuali selama masa kampanye pemilu. Dengan demikian, lembaga-lembaga utama yang mengungkapkan serta menguatkan identitas abangan —yakni para penentang Islamisasi yang disebut dalam judul—sekarang dianggap telah impoten. Dari sisi masyarakat santri Jawa, sebaliknya, memiliki lembaga-lembaga yang masih bertahan yang bertumbuh menguat dan semakin menguat dalam masyarakat, meskipun dicegah untuk mempunyai ekspresi politik yang efektif.
Ketika Islamisasi berkembang dari akhir 1960-an, maka kalangan abangan menjadi impoten secara politik dan berkurang secara sosial, padahal jelas-jelas mayoritas. Walaupun bukti statistik pada masalah rumit ini umumnya tidak terlalu kuat, sangat memungkinkan bahwa (jumlah) presentase populasi orang Jawa yang dianggap sebagai abangan akan menjadi minoritas sebelum akhir periode kekuasaan Orde Baru di tahun 1998. Usaha saya untuk menilai perimbangan antara santri dan abangan di awal tahun 1950-an berdasar bukti yang kurang sempurna menunjukkan (bahwa) sekira antara 10 hingga 40 persen orang Jawa adalah saleh, alias santri taat pada sekitar pertengahan 1950-an, dan sekira 60 hingga 90 persennya adalah abangan (Ricklefs 2012: 81-5). Boland mengutip survei yang menunjukkan rendahnya tingkat ketaatan atas lima rukun Islam di tahun 1960-an. Pada periode tersebut, di desa-desa Jawa Tengah sekitar 0 sampai 15 persen responden Jawa melaksanakan ritual ibadah sholat, dan pada tahun 1967 hanya 14 persen dari warga Yogyakarta membayar zakat, sementara hanya 2 persen saja yang menjalankan ibadah puasa (Boland 1971: 186). Angka-angka tersebut konsisten dengan gagasan bahwa abangan adalah mayoritas pada saat itu. Sebuah gambaran kontras muncul dari survei sosial yang diadakan sepanjang periode 2006-2010. Pada waktu itu, sekitar 90% responden Jawa mengaku bahwa mereka selalu melaksanakan sholat dan ibadah puasa, atau secara rutin ataupun “cukup sering.” Ini tidak harus membuktikan bahwa orang-orang tersebut (sungguh-sungguh) berperilaku seperti itu dalam praktiknya, namun hal demikian benar-benar memberi tahu kita terkait respon apa yang telah bisa diterima secara sosial. Permintaan besar di kalangan masyarakat Jawa untuk menunaikan ibadah haji—dengan daftar tunggu bertahun-tahunnya (waiting list) untuk mendapatkan tempat—juga mencerminkan betapa dominannya baik identitas (Jawanya) yang telah terislamisasi maupun wacananya dalam masyarakat Jawa kontemporer (Ricklefs 2012: 268-72).
Komentar Penutup
Sangat krusial bagi pemahaman kita berkait paradigma historis—yakni sebuah gagasan tentang adanya jurang pemisah dalam antara apa yang disebut Jawa dengan Islam—yang telah mengawali pembahasan-pembahasan kita, untuk mencatat kembali penentuan kelahiran paradigma tersebut. Ia muncul dalam diskusi-diskusi kesarjanaan pada periode berkembangnya polarisasi pemilahan yang berbahaya dalam masyarakat Jawa dari awal abad ke-20 selama tahun 1950-an. Apa yang diamati Geertz dan rekan-rekannya adalah benar memang sebuah rasa permusuhan serius antara santri-abangan yang terus meningkat. Tempat mungkin penting sebagaimana pentingnya penentuan waktu, karenanya sangat berharga untuk mencatat (apa) yang dikerjakan Geertz dkk. di daerah Pare, Kediri. Bukti historis menunjukkan (jelas tak diketahui oleh tim MIT) bahwa dari sejak akhir abad ke-19, inilah daerah dengan polarisasi sosial, budaya, dan keagamaan yang kuat. Buku-buku anti-Islam yang mengolok-olok Islam serta yang menggambarkan Islamisasi Jawa sebagai kesalahan peradaban ditulis di sana pada tahun 1870-an: Babad Kedhiri, Suluk Gatholoco, dan Serat Darmogandul (Ricklefs 2007: 181-211). Di sana Partai Komunis Indonesia sudah cukup kuat sebelum tahun 1965. Jadi Geertz dan rekan-rekannya tidak salah dalam pengamatan mereka, namun mereka salah dalam asumsi bahwa situasinya sudah lama seperti ini. Oleh karena itu mereka memeluk, menyokong, dan mempromosikan paradigma tersebut, yang sekarang bisa kita katakan terbukti salah sebagai sebuah pandangan atas sejarah Jawa. Apa yang mereka amati bukanlah manifestasi kontemporer dari konflik lama yang merujuk ke masa belakang pada permulaan perkembangan Islam di Jawa. Alih-alih mereka melihat sebuah keadaan sejarah yang terus berubah, mereka malah (memilih) fase jeda atau terhentinya sesuatu seperti rentang abad dalam sejarah panjang Islamisasi masayarakat dan kebudayaan Jawa. Mereka salah berasumsi—sebagaimana yang diusulkan Jay dalam monografnya—bahwa ketegangan dan rasa permusuhan santri-abangan sudah lama berlangsung. Belum ada yang berhasil (sebelum ini) membuktikan lewat penelitian sejarah bahwa gagasan-gagasan mereka tersebut adalah salah.
Penggulingan paradigma lama yang berpengaruh tersebut adalah penting, dan tidak hanya untuk pemahaman kita mengenai masa lalu. Ia juga memberi kita pemahaman yang lebih baik tentang situasi kontemporer akan perubahan agama di Indonesia dan bahkan bisa membantu kita untuk berpikir lebih jernih tentang kemungkinan masa depannya.
Sangat menyenangkan bisa mengatakan bahwa banyak penelitian untuk (kemunculan) perspektif-perspektif baru kita, telah dikerjakan oleh para sarjana Indonesia. Telah lama menjadi pandangan saya bahwa kepemimpinan internasional untuk studi Islam Indonesia harus muncul dari Indonesia sendiri. Dalam penelitian saya sendiri, saya mengandalkan baik dari karya-karya sarjana-sarjana mapan maupun dari sarjana Indonesia yang lebih muda.[4] Di sanalah, menurut pandangan saya, terdapat masa depan studi Islam bagi keseluruhan masyarakat Jawa.
Tulisan ini merupakan publikasi ulang, dengan sedikit variasi, dari makalah yang diterbitkan dengan judul yang sama di Studia Islamika 21.3 (2014): 399-418. Ia didasarkan pada paparan utama (keynote lecture) pada Agustus 2014 dalam sebuah konferensi di Jakarta dalam perayaan ulang tahun ke 20 Studia Islamika, yang mempunyai tema khusus “South Asian Islam: Legacy and New Interpretation.”
[1] Buku ini didedikasikan untuk “Wedono, Modin, dan tuan rumah abangan saya: “Nuwun Pangestunipun Sedaya Kalepatan Kula,” yang memohon orang-orang ini untuk memberkati semua kesalahan-kesalahan Geertz. Apa yang dimaksudkannya adalah nuwun pangapunten: mohon dimaafkan.
[2]Penggunaan istilah santri untuk kelompok sosial yang lebih luas sama sekali belum pernah terjadi sebelumnya. Lihat Ota 2006: 183 n. 47; Ricklefs 2007:49, 248.
[3] Diskusi dan terjemahan yang lebih lengkap dari pengamatan Poensen dari tahun 1880-an dapat ditemukan di Ricklef 2007: 96-102.
[4] Pembaca akan menemukan karya-karya penulis Indonesia berikut (antara lainnya) yang dikutip dalam tiga buku Islamisasi di Jawa: Azyumardi Azra, Jamhari Makruf, Sartono Kartodirdjo, Djoko Suryo, Kuntowijoyo, Onghokham, Hermawan Sulistyo, Najib Burhani, Muhamad Hisyam, Irwan Abdullah, Arbi Sanit, Zamakhsyari Dhofier, Bachtiar Effendy, Fauzan Saleh, Amelia Fauzia, Noorhaidi Hasan, Masdar Hilmy, Luthfi Assyaukanie, Fajar Riza Ul Haq, Ihsan Al-Fauzi, Himawan Soetanto, Muhaimin, Abdul Munir Mulkhan, Raharjo Suwandi and Soegijanto Padmo.
Sumber Pustaka
Boland, B.J. 1971. The Struggle of Islam in Modern Indonesia. VKI 59. The Hague: Martinus Nijhoff.
Cornets de Groot, A.B. 1852. “Bijdrage tot de kennis van de zeden en gewoonten der Javanen.” Tijdschrift voor Nederlandsch Indië 14. 2: 257–80, 346–67, 393–422.
Drewes, G.W.J., ed. and transl. 1954. Een Javaanse primbon uit de zestiende eeuw, opnieuwuitgegeven en vertaald. Leiden: E.J. Brill.
Drewes, G.W.J., ed. and transl. 1978. An Early Javanese Code of Muslim Ethics. Bibliotheca Indonesica 18. The Hague: Martinus Nijhoff.
Geertz, Clifford. 1960. The Religion of Java. London: The Free Press.
Graaf, H.J. de. 1949. Geschiedenis van Indonesië. ’s Gravenhage and Bandung: N.V. Uitgeverij W. van Hoeve.
Graaf, H.J. de. 1958. De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram 1613–1645, en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak 1601–1613. VKI 23. ’s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Graaf, H.J. de, and Th.G.Th. Pigeaud. 1974. De eerste Moslimse vorstendommen op Java: Studiën over de staatkundige geschiedenis van de 15de en 16de eeuw. VKI 69. ’s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Jay, Robert R. 1963. Religion and Politics in Rural Central Java. [New Haven:] Cultural Report Series no. 12, Southeast Asian Studies, Yale University.
Jay, Robert R. 1969. Javanese Villagers: Social Relations in Rural Modjokuto. Cambridge MA, and London: The MIT Press.
Koentjaraningrat. 1963. “Review of Geertz, The Religion of Java.” Madjalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia 1.2: 188–91.
Leur, J.C. van. 1955. Indonesian Trade and Society: Essays in Social and Economic Histor the Hague and Bandung: W. van Hoeve Ltd.
Ota Atsushi. 2006. Changes of Regime and Social Dynamics in West Java: Society, State and the Outer World of Banten, 1750–1830. Leiden and Boston: E.J. Brill.
Raffles, Thomas Stamford. 1830. The History of Java. 2 vols. 2nd ed. London: John Murray.
Ricklefs, M.C. 1998. The Seen and Unseen Worlds in Java, 1726–1749: History, Literature and Islam in the Court of Pakubuwana II. St. Leonards, New South Wales: Allen Unwin; Honolulu: University of Hawai’i Press.
Ricklefs, M.C. 2006. Mystic Synthesis in Java: A History of Islamisation from the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries. Norwalk: EastBridge.
Ricklefs, M.C. 2007. Polarising Javanese Society: Islamic and Other Visions c. 1830–1930. Singapore: Singapore University Press; Honolulu: University of Hawai’i Press; Leiden: KITLV Press.
Ricklefs, M.C. 2012. Islamisation and its Opponents in Java: A Political, Social, Cultural and Religious History, c. 1930 to the Present. Singapore: National University of Singapore Press; Honolulu: University of Hawai’i Press.
Vlekke, Bernard H.M. 1965. Nusantara: A History of Indonesia. The Hague: W. van Hoeve Ltd.
Sumber ilustrasi: Winged horse in a Javanese manuscript of Serat Sela Rasa, 1804. British Library, MSS Jav 28, f. 68r.
Editor: Mohammad Hagie
salam bagi jiwaku salam bagi jiwa-jiwa yang teraniaya segala yang tak tampak dan yang tak sanggup kau rasakan datang bagai sekawanan burung yang menyergap dalam gelap apa yang kau tuhankan dalam dirimu yang kalut yang mengeras ketakutan di dinding ketidaktahuanmu itu? bacalah, dengan nama tuhanmu! dan kitab-kitab yang kau hempaskan ke dalam diri sebelum kata-kata menjadi ajal bagi doa-doa kepayang di urat lehermu bacalah! sebelum darah mereka yang kau nistakan menjadi anggur yang memabukkan di altar yang damai, ladang dan kebun selayang pandang yang menyekap masa kanakmu bagai katak yang berjalan dalam kabut dan keyakinan yang berkembang menjadi absurd! dalam hukum untung malang yang kau tetapkan berlaku bagai seorang penafsir kitab suci dengan tangan gemetar mengeja ayat-ayat yang menajak jalan sempitmu ke rumah tuhan ke rumah tuhan? Tahukah kau, di mana tuhan kau rumahkan? di ladang dan kebun daun-daun yang dimakan ulat tuhan terusir bersama hama dan pagi yang celaka sedang matahari tak memberkahi ingatan pada malam salam bagi jiwamu salam bagi jiwa-jiwa yang tersekap di antara siang dan malam
Burung-Burung Api
setelah ilmu, mulailah nyanyian burung membuat pengetahuan menjadi sarang tamasya bagi kata-kata dan imajinasi setelah kitab menerangkan apa yang telah kau padamkan menyalalah mata burung pengintai ke lembah-lembah membangun taman-taman api bagi kematian bintang-bintang sebelum ilmu, kata-kata hanya gandum, anggur, sayuran dan berhala-berhala yang tak tahu apakah kau manusia atau patung-patung samiri yang merayap mencari unggunan api bagi kekekalan tanah lempung di bawah langit yang rendah itu hutan kegelapan yang tak kuasa menyentuh kaki kita, katamu menunjuk langit dan mengingkari cahaya bintang-bintang sebagai sihir, hanya pesona yang pandir “tanah berpijak ini tak kuasa merengkuh kekagumannya pada tubuh kita yang gagah, molek dan berpengetahuan penakluk langit dan bumi tak ada surga dan neraka itu hanya kata-kata orang yang takut pada kegelapan dan bumi tak hendak jadi surga jika kau nyatakan keadilan menjadi penguasa jalan dan kata-kata” dengan kesantunan dan ilmu kau menduga-duga maka tiadalah qalbu tiadalah amalan ilmu di pikiran dan etika pengetahuanmu aku tak memandang langit dan bumi dengan mata sebagaimana mataku membedakan warna-warna karena pikiranku pun tak meraba sebagaimana jari-jari si buta meraba hurup-hurup braille aku tidak menjadikan pikiranku hanya sebatas marka jalan hanya sebagai trotoar setelah ilmu merentangkan garis lintang sepanjang peta tubuh sejauh jalan-jalan rahasia ke ladang dan kebun-kebun anggurmu di manakah asal garis dan kata? di mana sang penulis yang kau hapus namanya? lalu seperti angsa yang anggun dengan sayap curian kau bangun menara-menara mimpi menembus langit +tempat sayap-sayap rapuhmu hinggap menghalau sinar matahari maka berkicaulah burung-burung api: “dari sayap-sayap kami yang anggun dan perkasa sinar kehidupan ini terbit dan menyinari bumi maka kamilah yang paling berhak menjadikannya apa pun yang kami kehendaki” jika kau ingin cahaya di langit padam nyalakan cahaya di bumi dan kunang-kunang benderang di bumi yang padam karena Tuhanku Ar Rahman Ar Rahiim tidak memberikanku kesantunan dan ilmu ia berikan kebijaksanaan dan ilmuNya bagi hasrat dan kehendakku