Menu

Pandangan Orientalisme dan Mentalitas Inlander

(Sebuah Tanggapan untuk P Dr Alexander Jebadu, SVD)

“MEREKA datang dengan Alkitab dan agama mereka. Mereka merampas tanah kami dan menghancurkan semangat kami, dan sekarang mereka mengatakan kepada kami bahwa kami harus bersyukur kepada ‘Tuhan’ karena telah diselamatkan.”

            Kata-kata terkenal Chief Pontiac (1714-1769) tentang kemunafikan para penjajah Eropa yang membawa agama Kristiani ke benua Amerika sembari mengambil tanah dan mengeksploitasi penduduk asli itu kiranya cukup relevan pada hari-hari ini ketika Gereja Katolik Keuskupan Maumere dan Provinsi SVD (Societas Verbi Domini/ Serikat Sabda Allah)—kongregasi imam terbesar di Flores—melalui PT Kristus Raja Semesta Alam Maumere (PT Krisrama) menggusur rumah umatnya yang disebut penyerobot tanah negara yang telah mereka kantongi HGU (Hak Guna Usaha)-nya. 

            Alhasil kecaman pun datang dari berbagai penjuru Tanah Air, tumpah ruah di media sosial. Gereja Katolik, utamanya Keuskupan Maumere, beserta para imam Katolik yang hadir di lapangan selama penggusuran dinilai arogan, sewenang-wenang, tidak manusiawi, dan bertindak brutal. Pemberitaan tentang penggusuran itu terus meluas di berbagai media massa, lokal maupun nasional, dalam maupun luar negeri.

Dan seperti yang telah bisa diduga, kemudian bermunculanlah sederet pembelaan diri, terutama oleh para imam, yang intinya adalah membangun narasi bahwa umat yang digusur tersebut justru merupakan para perampas tanah (land grabber).

             Namun yang paling membuat orang-orang kaget adalah opini Pater Dr Alexander Jebadu, SVD berjudul “Uskup Maumere Tidak Rampas Tanah Umatnya (Tanggapan Berita Miring dari UCA News)” yang dipublikasikan di Media Indonesia (12/02/2025). Bagaimana tidak, dalam tulisannya itu Pater Jebadu bukan hanya sekadar menegaskan betapa sahnya sertifikat HGU yang dimiliki oleh PT Krisrama sehingga tak bisa diganggu gugat, tetapi juga menyampaikan pemikirannya yang sangat orientalis, paternalistik, dan cenderung rasis dalam upayanya menjelaskan sejarah Tanah Nangahale secara berpanjang-lebar setelah sebelumnya dengan arogan melemparkan pertanyaan yang lebih mirip tantangan kepada publik:

Tanah Nangahale yang dikisruhkan ini adalah tanah HGU. Nah, apa itu tanah HGU? Mengapa tanah ini disebut tanah HGU? Mengapa tanah ini menjadi tanah HGU? Bagaimana prosesnya dan apa konteks sejarah Indonesia sampai tanah ini menjadi tanah HGU? Siapa pemilik tanah yang disebut tanah HGU menurut hukum di Indonesia?

Kalau Anda tidak tahu atau menjawab pertanyaan ini secara tidak benar dan tidak paham sejarah masa lalu suku-suku di Indonesia, maka Anda tanpa sadar akan berkubang di dalam kekeliruan. Anda bisa menjadi penyesat warga masyarakat dan melakukan tuduhan palsu alias tidak benar. Anda menampar orang yang tidak bersalah. Itu sebuah kejahatan (crime) dan Anda harus dihukum.

            Dari sinilah, ia yang merasa memahami betul sejarah masa lalu suku-suku di Indonesia kemudian dengan penuh keyakinan mulai mengemukakan pandangannya yang sangat khas kolonialis kulit putih seraya pada saat yang sama secara tak langsung memperlakukan para pengkritik Gereja Katolik Keuskupan Maumere sebagai orang-orang bodoh yang tidak tahu apa itu tanah HGU dan tidak paham sejarah Indonesia.

            Kendati bagi orang-orang yang mengerti sejarah dan wacana pascakolonialisme, pernyataan-pernyataan dalam opininya itu dengan jelas menunjukkan bahwa dosen Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero inilah yang justru tidak memahami sejarah bangsanya sendiri, sejarah kekristenan Barat dan sejarah Gerejanya sendiri (bahkan secara umum!) dan apa itu kolonialisme.

Dari Prasasti sampai Catatan Biksu China

SAYA kira tak ada gunanya bagi siapa pun untuk memperdebatkan fakta hukum terkait kepemilikan sertifikat HGU Tanah Nagahale dan Patiahu oleh PT Krisrama dengan Pater Jebadu maupun pihak Keuskupan Maumere lainnya melalui tulisan di media massa maupun media sosial. Perdebatan soal itu lebih tepat dibawa ke meja persidangan yang menghadapkan PT Krisrama dengan masyarakat adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai. Meskipun sudah jadi rahasia umum jika hukum di Indonesia kerapkali tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah. Dan kita tahu, dari sekian banyak kasus konflik agraria yang terjadi dari Sabang sampai Merauke, amatlah jarang rakyat miskin—orang-orang kampung sederhana—bisa menang melawan orang-orang yang punya uang dan kuasa maupun perusahaan. Bahkan belakangan ini kita juga dibuat ternganga oleh kenyataan bahwa di laut pun koorporasi ternyata bisa memperoleh sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan terbukti yang diseret berurusan dengan hukum hanyalah seorang kepala desa dan stafnya, alih-alih meluputkan pejabat agraria, investor dan pemain lainnya yang punya uang, koneksi dan kuasa.

Bahkan belakangan ini kita juga dibuat ternganga oleh kenyataan bahwa di laut pun koorporasi ternyata bisa memperoleh sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan terbukti yang diseret berurusan dengan hukum hanyalah seorang kepala desa dan stafnya, alih-alih meluputkan pejabat agraria, investor dan pemain lainnya yang punya uang, koneksi dan kuasa.

            Ini perlu saya ingatkan kepada Pater Jebadu seperti halnya ia merasa perlu mengingatkan publik yang dipandangnya buta sejarah bahwa “Indonesia sebagai satu bangsa dan satu negara baru lahir tahun 1945”, seolah-olah peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta itu merupakan sebuah momen yang cuma diketahui oleh segelintir orang Indonesia termasuk dirinya.

            Karena itu, lebih jauh ia pun tanpa ragu mengemukakan klaim-klaimnya yang bukan saja ngawur dan tidak bertanggungjawab secara historiografis tetapi juga sungguh merendahkan dan menggelikan! Coba perhatikan kutipan berikut:

Sebelum tahun 1945, suku-suku di Kepulauan Nusantara (yang sekarang menjadi Indonesia) hidup sangat sederhana. Mereka sangat primitif alias sangat terbelakang. Belum ada sekolah untuk mengasah mereka jadi pintar. Mereka tak tahu baca dan tulis. Belum ada bahasa pemersatu untuk bersoal-jawab pertahankan hak atas sumber-sumber hidup termasuk tanah ulayat.

Melayu sudah menjadi lingua franca (bahasa umum), tapi hanya terbatas segelintir suku pedagang pesisir pantai yang menguasainya. Suku-suku terpencil di pedalaman yang jumlahnya mayoritas sebagai masyarakat petani belum menguasai Bahasa Melayu.

Suku-suku Kepuluan Nusantara yang masih primitif ini hidup terpencar-pencar di tiap pulau, menurut suku dan budayanya masing-masing. Dalam kondisi keterbelakangan demikian, bangsa-bangsa Eropa mulai satu persatu datang menunjukkan batang hidungnya. Mula-mula mereka datang berdagang beli rempah pala, lada, cengkeh dan sebagainya. Kemudian perlahan-lahan mereka kuasai, jajah dan rampok.

            Dari mana atau atas dasar referensi apa pastor ini bisa sampai menyimpulkan bahwa sebelum tahun 1945, suku-suku di Kepulauan Nusantara (yang sekarang menjadi Indonesia) hidup sangat sederhana, sangat primitif alias sangat terbelakang? Apa metodologi ilmu sejarah yang ia pergunakan?

            Apakah ia tak pernah belajar sejarah atau memang sengaja hendak mengaburkan sejarah (dan mengelabuhi pembaca) demi kepentingannya membela marwah Gereja dan ordonya yang tercoreng oleh pemberitaan dan kecaman? Lagipula, yang dimaksudnya suku-suku di Kepulauan Nusantara itu suku mana saja? Tolong sebutkan dengan jelas dong, Pater: Melayu, Sunda, Jawa, Bugis, Kaili, Dayak, dan suku-suku apa saja?

            Padahal jika ia mau membaca sejarah Nusantara (the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula) secara lebih holistik dan komprehensif, tentu ia akan tahu bahwa jauh sebelum armada Portugis (Malaka, 1511; Maluku, 1512) dan Belanda (Banten, 1596) tiba, di Nusantara telah berdiri kerajaan-kerajaan besar seperti Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521) Kerajaan Kutai (sejak abad ke-4 M), Kerajaan Tarumanegera (sekitar abad ke-4 dan ke-5 M), Kerajaan Sriwijaya (671-1025), Kerajaan Singosari (1222-1292), dan Kerajaan Majapahit (1293-1527).

            Bahkan pada puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389)—menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV—wilayah kekuasaan Majapahit amatlah luas, meliputi sebagian besar pulau Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Malaku, Papua, Tumasik, dan sebagian kepulauan Filipina. Apakah Pater Jebadu tak pernah mendengar atau membaca tentang Mahapatih Gajah Mada dengan Sumpah Palapanya yang terkenal itu? Apakah Majapahit adalah sebuah kerajaan yang primitif dan terbelakang sebelum ditaklukkan oleh pasukan Sultan Trenggana dari Kesultanan Demak pada tahun 1527?

        Atau  tahukah Pater Jebadu bagaimana Kerajaan/Kesultanan Banten (abad 10-17) yang disebut Bantam itu, dengan segala kekayaan dan kegemilangan raja dan utusannya serta keramahan penduduknya, telah menjadi rujukan karya sastra dari banyak pengarang Eropa? Sebutlah Ben Jonson dalam The Alcemist (1610), Aphra Behn (The Court of the King of Bantam, 1683), Madeleine de Gomez (La Princesse de Java (1739), dan seterusnya (Claude Guillot, 2008: 385).

            Saya juga ingin mengingatkan Pater Jebadu karena barangkali ia lupa (atau belum tahu) bahwa Kesultanan Aceh Darussalam yang didahului oleh Kerajaan Lamuri/Lam Reh (800-1503) dan didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada 1496 serta mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) itu barulah berhasil ditaklukkan oleh Belanda pada tahu 1904. Itu pun setelah pemerintah kolonial memakai siasat licik, yakni menyusupkan seorang orientalis bernama Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) alias Abdul Ghaffar—yang berpura-pura menjadi mualaf di Mekah untuk mempelajari Islam—ke Aceh sebagai mata-mata. Di mana ia kemudian mempergunakan pengetahuan tentang adat-istiadat dan kebudayaan Aceh yang dipelajarinya itu untuk merancang strategi mematahkan perjuangan jihad fi sabilillah rakyat Aceh. Apakah menurut Pater Jebadu, orang Aceh merupakan suku yang sangat primitif alias sangat terbelakang, sehingga untuk menguasai wilayah Aceh, Belanda harus berperang selama 31 tahun (1873-1904) dengan mengorbankan demikian banyak tentara dan biaya yang begitu besar? 

Saya juga ingin mengingatkan Pater Jebadu karena barangkali ia lupa (atau belum tahu) bahwa Kesultanan Aceh Darussalam yang didahului oleh Kerajaan Lamuri/Lam Reh (800-1503) dan didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada 1496 serta mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) itu barulah berhasil ditaklukkan oleh Belanda pada tahu 1904.

Karena telah (sengaja) melupakan keberadaan kerajaan-kerajaan besar Nusantara yang tersebut di atas, tentu saja bisa dipastikan bahwa Pater Jebadu juga lupa bahwa di tanah Jawa, Sumatera, dan wilayah lainnya pada era kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu-Siwa dan Buddha pendidikan yang berbasis keagamaan telah terselenggara secara luas untuk seluruh lapisan masyarakat. Salah satu contohnya adalah sistem pendidikan yang dikenal sebagai “Kadewaguruan” pada era Singosari (bahkan sebelumnya), Majapahit, hingga Mataram Kuno. Cukup banyak naskah Jawa Kuno yang menyinggung keberadaan Kadewaguruan ini, di antaranya Bhomakawya, Sumana-santaka, Sutasoma, Rajapatigundala, Nagarakretagama, Tantu Panggelaran, dan Pararaton, yang menyatakan bahwa Mandala Kadewaguruan merupakan sebuah wanasrama (asrama di tengah hutan) yang dihuni dan ditempati oleh kaum resi dan pertapa beserta murid-muridnya (Santiko, 2005; Munandar, 1990).

            Situs Candi Panataran di lereng barat daya Gunung Kelud, Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur adalah salah satu bukti keberadaan Kadewaguruan ini secara arkeologis pada masa masa Kadiri (1052) hingga Majapahit (1486). Situs-situs lainnya adalah Candi Cetho, Candi Kethek, Candi Menggung, Candi Planggatan, dan Candi Sukuh. Sedangkan Candi Morangan di Argomulyo, Cangkringan, Sleman merupakan situs Kadewaguruan pada masa Kerajaan Mataram Kuno.

            Kadewaguruan inilah yang menjadi cikal bakal pesantren di Jawa ketika ajaran Islam berkembang semakin pesat di bawah peran dakwah Walisongo sejak abad ke-15 dan kian meluas pada abad ke-19 dan abad ke-20.

            Sementara itu dari catatan-catatan perjalanan dan pengalaman biksu Buddha Tiongkok termashyur, I-Ching/ I-Tsing [Mandarin: 義淨 – Yijing] (635-713) selama tinggal di Sriwijaya (sekitar 671-695) yang berjudul 南海寄归内法传 (Nanhai Ji Gui Nei Fa Chuan) atau A Record of Buddhist Practices Sent Home from the Southern Seas dan 大唐西域求法高僧传 (Da Tang Xiyu Qiufa Gaoseng Chuan) atau Biography of Eminent Monks Who Went to the Western Regions in Search of the Dharma during the Great Tang Dynasty, kita bukan hanya menemukangambaran tentang Kerajaan Sriwijaya sebagai pusat penting bagi studi dan praktik Buddha, tetapi juga posisi Candi Muaro Jambi (kompleks percandian Buddha terluas di Asia Tenggara) sebagai tempat para biksu dari berbagai negeri datang untuk mempelajari teks-teks Buddha sebelum melanjutkan perjalanan mereka ke Nalanda/India. Kedua karya ini merupakan sumber penting untuk memahami peran Sriwijaya sebagai pusat pembelajaran Buddha pada abad ke-7 hingga ke-8 Masehi. Ini lima abad sebelum Oxford University didirikan di Inggris.

            Kerajaan-kerajaan di Aceh pun sangat memperhatikan pendidikan masyarakatnya sebelum Kesultanan Aceh Darussalam ditaklukkan oleh Belanda. Pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan telah berkembang luas di meunasah, rangkang (semacam balai-balai), dan dayah (zawiyah). Di setiap kampung di Aceh setidaknya terdapat satu meunasah tempat diadakannya pendidikan dasar berbasis Islam bagi anak laki-laki. Perbedaan antara meunasah dan dayah adalah jika meunasah merupakan bangunan tradisional yang lebih fokus pada fungsi sosial dan keagamaan (sebagai tempat ibadah, belajar mengaji, dan bermusyawarah), dayah memiliki peran yang lebih luas dalam pendidikan dan pengembangan intelektual. Sebagai lembaga pendidikan, dayah boleh dikatakan telah mengakar sejak Islam menapak di Aceh pada abad pertama Hijriyah. Bahkan Dayah Cot Kala di Aceh Timur yang didirikan pada tahun 889 pada masa Kerajaan Perlak (Peureulak) tercatat sebagai Pusat Pendidikan Tinggi Islam pertama di Asia Tenggara.

            Para peneliti juga menemukan bahwa sistem pendidikan Nusantara pada zaman klasik ini, baik Kadewaguruan, tempat-tempat studi Buddhisme, dayah, maupun pesantren tak hanya mengajarkan agama saja tetapi juga semua ilmu pengetahuan yang ada pada masanya seperti pengetahuan umum, politik, filsafat timur, sejarah, bahasa, matematika, medis, astronomi, dan teknologi selain berbagai ilmu praktis untuk kehidupan sehari-hari seperti pertanian, tataboga, dan tenun.

            Seperti yang diungkapkan oleh sejarawan muda Asisi Suhariyanto dalam kanal youtube Asisi Channel (“Indonesian Education System Since Ancient Times”), salah satu sifat dari Kadewaguruan adalah pendidikannya yang merata untuk semua kalangan, baik anak bangsawan maupun rakyat jelata. Hal ini, menurutnya, selain bisa kita ketahui dari kisah Ken Angrok (Ken Arok) dalam Pararaton, juga dari pendirian-pendirian prasasti misalnya prasasti penempatan sima (daerah otonom) yang dibuat untuk dibaca oleh publik.

Catatan para pedagang Tiongkok pada era Dinasti Tang (618-907) dan Dinasti Song (960-1279) menyebutkan pula bahwa pada tahun 640 terdapat sebuah kerajaan bernama Ho-Ling yang penduduknya memiliki kemampuan dalam baca-tulis dan astronomi (Suwandono, 2013). Ho-Ling adalah nama Cina untuk Kerajaan Hindu Kalingga di pantai utara Jawa Tengah (antara Pekalongan dan Jepara).

            Lalu bagaimana seorang dosen bergelar doktor seperti Pater Jebadu bisa menyimpulkan bahwa suku-suku di Nusantara itu sangat primitis alias sangat terbelakang?

            Apakah penemuan-penemuan prasasti tertulis, berbagai catatan lontar, dan kitab kuno belum cukup terang bagi dirinya untuk melihat bahwa masyarakat Nusantara sesungguhnya bukanlah masyarakat yang buta huruf sama sekali sebelum kedatangan bangsa Eropa, tetapi telah banyak menguasai baca-tulis dalam aksara Pallawa (bahasa Sanskrit), aksara Jawa Kuno (Kawi), aksara Jawa, aksara Bali, aksara Sunda Buhun, dan aksara Jawi (dikenal juga sebagai aksara Arab-Melayu atau Arab Gundul) yang dipergunakan secara luas untuk menulis surat-menyurat, dokumen-dokumen resmi, catatan sejarah, tembang dan karya kesusastraan?

            Jawabannya, seperti yang telah saya singgung di atas, ada dua kemungkinan. Kalau bukan karena ia memang buta sejarah bangsanya sendiri, berarti ia sengaja hendak mengaburkan sejarah. Dan untuk yang kedua, selain hal ini ia lakukan untuk membela marwah Gerejanya dalam kasus penggusuran PT Krisrama, boleh jadi memang merupakan pandangan pribadinya yang autentik kaum orientalis Barat—yang selalu memandang dan memperlakukan masyarakat pribumi jajahan sebagai subjek inferior demi menguatkan posisi superioritasnya sebagai penjajah. Sehingga di sini ukuran melek huruf buat Pater Jebadu tampaknya hanya terbatas pada baca-tulis huruf Latin (Alphabet) saja.

            Ah, sampai di sini saya pun jadi terkenang pada kisah Tom Hong, ayah sang narator dalam novel memoar Maxine Hong Kingston China Men (1981) yang notabene adalah seorang sarjana Dinasti Qing, tatkala ia pertama kali tiba di Amerika Serikat dan menjalani pemeriksaan oleh petugas imigrasi kulit putih di Angel Island, San Fransisco:

 “Can you read and write?” the white demon asked in English and the Chinese American asked in Cantonese.

“Yes,” said the legal father.

But the secretary demon was already writing No since he obviously couldn’t, needing a translator. (Kingston, 1981: 60)

            Berakhirnya kolonialisme fisik secara formal dengan kemerdekaan negara-bangsa bekas jajahan, bukan berarti berakhir pula pandangan orientalisme seperti ini. Sebab, di samping—seperti yang pernah diungkapkan Katrin Bandel dalam “Sastra Pascakolonial di Indonesia”—relasi kekuasaan global tetaplah sejalan dengan apa yang telah dimulai pada era kolonial dengan negara-negara Eropa dan superpower baru (utamanya Amerika Serikat) tetap dominan secara ekonomis dan budaya (neo-kolonialisme), keterjajahan juga masih terus berlangsung hingga kini terutama dalam bentuk produksi ilmu pengetahuan maupun dalam  pola pikir, selera, dan moralitas akibat warisan pendidikan dan hukum ala kolonial.

Pandangan Orientalisme Seorang Imam Katolik

APA itu orientalisme? Orientalisme dapat diartikan sebagai cara Barat mendefinisikan dan memahami dunia Timur menurut cara pandang dan pengalaman orang-orang Eropa. Di mana ia dijadikan sistem pengetahuan yang bukan saja berfungsi sebagai kerangka konseptual untuk menyaring dunia Timur ke dalam kesadaran Barat, tetapi juga untuk mendominasi, menata ulang, dan menetapkan kekuasaan Barat terhadap dunia Timur. Dengan begitu, orientalisme—mengutip kata-kata Edward W. Said dalam bukunya Orientalisme (1978)—lebih kepada “tanda kekuasaan Atlantik-Eropa terhadap Dunia Timur daripada sebagai wacana yang murni dan jujur mengenai Timur.”

Menurut Juri Lina dalam bukunya Architects of Deception: The Concealed History of Freemasonry (2004), ada tiga cara untuk melemahkan dan menjajah suatu bangsa/negeri, yaitu: 1) Kaburkan sejarahnya, 2) Hancurkan bukti-bukti sejarah bangsa itu agar tidak bisa diteliti dan dibuktikan kebenarannya, 3) Putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya, katakan bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitif.        

Ketiga hal inilah yang coba dilakukan oleh bangsa Eropa ketika menancapkan kolonialismenya di tanah Asia-Afrika. Di mana untuk menguasai penduduk pribumi dan mempertahankan tanah jajahannya, kaum kolonialis ini tidak hanya membutuhkan kekuatan senjata dan beragam strategi tetapi juga memproduksi apa yang diperkenalkan oleh Said sebagai wacana kolonial atau “colonial discourse”.

Di sinilah, kolonialisme kemudian dibangun di atas “colonial imagination” yang menghasilkan pengetahuan kolonial tentang wilayah, orang, dan budaya terjajah secara bias dan manipulatif—sebuah fabrikasi kebohongan dan mitos, percampuran antara fakta dan fisik—yang ditulis semata-mata untuk melayani kepentingan sang penjajah. Sehingga tak heran jika dalam mendeskripsikan masyarakat jajahan, kaum kolonial seolah-olah menulis di atas kertas kosong tentang masyarakat yang sama sekali belum ditandai. Mereka menamakan, mencirikan, mengkaji masyarakat terjajah tersebut dalam kerangka kerja bahasa dan aturan-aturan kolonial.

Akibatnya, dalam kajian-kajian para orientalis, perbedaan Barat dan Timur ini ditegaskan sedemikian rupa secara ontologis dan epistemologis, dengan menempatkan Barat pada posisi superior atas Timur yang direpresentasikan sebagai subyek inferior yang terbelakang dan barbar, tidak rasional, penuh takhayul, dan tidak dapat merepresentasikan dirinya sendiri.

Penciptaan mitos “pribumi malas”, “orang Asia pembohong”, “otak orang kulit hitam kurang berkembang”, termasuk dalam hal ini “suku-suku Nusantara sangat primitif alias sangat terbelakang” yang dikemukakan oleh Pater Jabadu, adalah contoh dari wacana kolonial yang diikuti oleh serangkaian diskursus moral misi pemberadaban (civilising mission) yang direpresentasikan sebagai tanggungjawab kemanusiaan bahkan tugas suci bangsa Eropa.

Seperti yang pernah saya tulis dalam esai “Memeriksa Kembali Max Havelaar” (tengara.id, 31/12/2022), salah satu peristiwa tekstual monumental yang menunjukkan orientalisme dalam praktiknya yang paling khas, antara lain bisa kita temukan dalam novel Robinson Crusoe karya Daniel Defoe, terutama peristiwa pertemuan Crusoe dengan seorang penduduk pribumi di pulau terpencil di luar Eropa tempatnya terdampar. Karena itulah, sebagai sosok Eropa yang menganggap dirinya lebih beradab, Crusoe perlu mengajari Friday cara makan yang benar (sesuai dengan cara Eropa), cara berbicara yang benar (menggunakan bahasa Inggris/Eropa), dan mengenalkannya kepada Tuhan yang benar (Tuhan agama Kristen), sembari pada saat yang bersamaan merasa berhak mengklaim pulau “kosong” (tapi berpenghuni) tempatnya terdampar itu sebagai penemuan dan miliknya.

Di samping dapat dikatakan sebagai awal pertemuan sang colonizer dengan the colonized, peristiwa ini juga menjadi repetisi genesis; dan karena itu Crusoe pun memperoleh kekuasaan atas Friday dan otoritas untuk menyertakan peristiwa itu dalam keseluruhan kisah yang menjadi “miliknya”, termasuk kisah tentang hubungannya dengan Friday. Dengan begitu, muncullah asumsi bahwa sebelum adanya kesaksian dari sosok Eropa yang diwakili oleh Tuan Crusoe, keberadaan Friday pra-pertemuan awal itu diabaikan. Bahkan lebih jauh lagi, karena ia dibahasakan dalam sistem wacana yang diberi otoritas maka apapun yang terjadi sebelum peristiwa itu dianggap tidak ada atau dihapuskan!

Keunggulan Crusoe (penjajah Barat) atas Friday (pribumi) yang ditunjukkan oleh Defoe seperti hendak menyatakan kepada kita bahwa struktur kekuasaan kolonial bukan saja dilegitimasi sebagai sesuatu yang baik bagi tanah jajahan, tetapi juga disusun kembali menjadi hubungan guru dan murid. Di mana penduduk pribumi membutuhkan pimpinan dan bimbingan dari ras Eropa yang superior agar dapat hidup lebih baik. Sehingga dengan begitu kolonialisme pun dimaknai sebagai “pembebasan” bagi kaum terjajah. Hal ini persis dengan apa yang diungkapkan karakter Pendeta Wawelaar lewat narasi tokoh narator Batavus Droogstoppel dalam novel Max Havelaar karya Multatuli (Eduard Douwes Dekker):

“Demikianlah para Kekasihku, panggilan tugas kaum Israil yang mulia, (maksudnya membinasakan penduduk Kanaan), dan demikian pula panggilan tugas negeri Belanda! Tidak, orang tidak akan mengatakan bahwa terang yang menyinari kita, kita tutup dengan takaran gandum, bahwa kita pelit dalam membagikan rezeki kehidupan yang kekal. Pandanglah pulau-pulau di Samudera Hindia, yang didiami oleh berjuta-juta cucu dari putera nabi Nuh yang dibuang, dan memang sepantasnya dia dibuang—sedangkan nabi Nuh yang mulia itu berkenan kepada Tuhan. (Max Havelaar, 140)

Tak bisa dipungkiri bahwa selama berabad-abad dan mencapai puncaknya pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, misi penyebaran agama Kristiani ini (baik oleh Zending maupun Katolik) telah menjadi salah satu pembenaran praktik kolonialisme. Bahkan boleh dibilang sebagai salah satu dari tiga semboyan pendorong penjelajahan samudera bangsa Eropa termashyur yang “memunculkan” praktik kolonialisme dan imperialisme, yakni Gold, Glory, dan Gospel.

Itu sebabnya dalam khotbah-khobat Pendeta Wawelaar, diyakini betul bahwa bangsa Belanda yang beradab dan makmur karena kekristenannya memikul tugas suci dari Tuhan untuk membawa peradaban, pengetahuan, dan agama kepada orang Jawa yang tersesat lewat praktik kolonialisme:

Tapi, para Kekasih, Pendeta Wawelaar meneruskan, Tuhan adalah Tuhan cinta kasih. Ia tidak mau orang berdosa jadi binasa, tapi supaya ia bahagia dengan anugerah, di dalam Kristus, oleh kepercayaan! Karena itulah negeri Belanda terpilih untuk menyelamatkan apa-apa yang dapat diselamatkan dari orang-orang yang celaka itu. Untuk itu Ia, dalam kebijaksanaanNya yang tidak dapat diduga, memberikan kekuasaan kepada sebuah negeri yang kecil, tapi besar dan kuat karena pengetahuannya akan Tuhan, untuk menguasai penduduk daerah-daerah itu, supaya mereka dapat diselamatkan dari azab neraka oleh Injil yang suci dan mulia. Kapal-kapal negeri Belanda melayari samudera luas, dan membawa peradaban, kekristenan, kepada orang Jawa yang tersesat.

Tidak, negeri Belanda yang bahagia, tidak menginginkan kebahagiaan untuk dirinya sendiri; kita juga ingin membaginya kepada orang-orang yang celaka di pantai-pantai yang jauh, orang-orang yang terbelenggu dalam ketidakpercayaan, tahyul, dan kecabulan. (Max Havelaar, hlm. 141-142)

Bahkan Multatuli sendiri dengan congkak memperbandingkan dirinya dengan Kristus ketika ia berpidato sebagai tokoh Max Havelaar di depan para pembesar bumiputera dalam “Pidato Lebak”, di mana ia bukan saja yakin dirinya telah diutus untuk menjadi penguasa yang adil dan rendah hati, tetapi juga untuk menjadi seorang “saudara yang lebih tua”.

            Lantas, apakah lahirnya kebijakan Politik Etis (Ethische Politiek) di bumi Hindia Belanda pada  17 September 1901 sebagai respons terhadap meningkatnya kritik dan tekanan para politikus Partai Liberal Belanda (utamanya Conrad Theodor van Deventer lewat artikelnya “Een Eereschuld”/“Hutang Budi”) kepada pemerintah kolonial Belanda terkait kondisi sosial-ekonomi yang semakin buruk di daerah koloni baik akibat efek pelaksanaan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) sebelumnya maupun penerapan ekonomi kapitalisme liberal Undang-Undang Agraria 1870 memang sungguh-sungguh meningkatkan kesejahteraan penduduk tanah jajahan?

***

DI bidang pendidikan, politik balas budi ala kolonial Belanda barangtentu hanyalah balas budi setengah hati. Sebab pemerintah kolonial yang mengerti betul pentingnya pendidikan dalam mencerdaskan dan membangkitkan kesadaran sebuah bangsa tetap mengontrol penyelenggaraan pendidikannya secara ketat.

Setelah beratus-ratus tahun melarang masyarakat jajahan untuk “bersekolah” dan menghancurkan semua tatanan masa klasiknya yang menjadi penyebab keterputusan budaya, di masa penerapan Politik Etis ini mereka hanya mengijinkan segelintir kaum pribumi untuk mengenyam pendidikan ala Eropa yaitu orang-orang dari golongan bangsawan dan anak-anak pejabat bumiputera. Itu pun dengan tujuan khusus yakni menciptakan sebuah golongan elite terdidik pribumi untuk dijadikan pegawai kolonial, yakni sebuah kelas perantara/penerjemah antara kekuasaan kolonial dan masyarakat jajahan yang dibodoh-bodohkan. Jean Paul Sartre menyebut golongan ini sebagai Kinglet, dan Homi K. Bhaba dalam bukunya The Location of Culture (1994) membahasakannya sebagai “a subject of a difference that is almost the same but not quite”.

Karena itu tak heran jika menurut berbagai data sejarah, sampai tahun 1930 diperkirakan hanya sekitar 2-3% saja anak-anak pribumi yang mengenyam pendidikan formal ala Belanda di HIS (Hollandsch-Inlandsche School), MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), AMS (Algemeene Middelbare School), dan STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen). Sementara anak-anak dari golongan Tionghoa sama sekali tidak diperhitungkan. Sehingga pada 1900, orang-orang Tionghoa pun mendirikan organisasi pendidikan pertama yang sepenuhnya mandiri, yakni Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) di Batavia, yang secara politik berorientasi ke China Daratan. Seperti dikatakan Mary F. Somers Heidhues dalam Bangka Tin and Muntok Pepper (1992), karakter sekolah ini menggunakan bahasa Mandarin dalam pengajarannya, dengan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, tetapi tidak memberikan pelajaran bahasa Belanda. Model mereka adalah sekolah modern di Tiongkok dan Jepang, dengan pengaruh Barat yang kuat dalam mata pelajarannya. THHK meluaskan cabang-cabangnya ke berbagai wilayah Hindia Belanda dengan cepat. Akibatnya pemerintah kolonial Belanda yang takut kehilangan kawulanya dari golongan Tionghoa dan khawatir pengaruh politik Tiongkok bakal mengancam kekuasaan mereka di Hindia pun terburu-buru mendirikan HCS (Hollandsche Chineesche School) pada tahun 1908 sebagai tandingan.

Meskipun harus kita akui bahwa pendidikan Politik Etis tersebut ikut berandil melahirkan para founding father kita, tetapi bangsa penjajah yang menyelenggarakan pendidikan secara merata bagi seluruh rakyat Indonesia hanyalah imperialis Jepang. Dalam propaganda politiknya sebagai saudara tua bangsa Asia itu, selain menginstruksikan pengajaran bahasa Jepang hingga ke desa-desa, pemerintah pendudukan Jepang yang melarang penggunaan bahasa Belanda juga menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi dalam administrasi, pendidikan, media massa, dan hukum.

Tentu di luar sekolah-sekolah pemerintah kolonial dan sekolah swasta Tionghoa, juga terdapat sekolah-sekolah yang didirikan oleh organisasi Muhammadiyah (1911) dan Perguruan Taman Siswa (1922) serta sekolah-sekolah yang didirikan untuk kepentingan misi Zending dan Katolik, di mana Pater Jebadu merupakan salah satu produknya jauh di kemudian hari.

Sekolah Zending pertama di Hindia Belanda didirikan oleh Joseph Kam dari Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) pada 1831 di Minahasa, Sulawesi Utara dengan tujuan menyebarkan ajaran Protestan sekaligus memberikan pendidikan dasar kepada penduduk lokal. Sedangkan dua sekolah misi Katolik pertama adalah sekolah-sekolah guru Normaalschool-Kweekschool (1900/1904) yang didirikan Romo van Lith, SJ di Muntilan, Magelang dengan tujuan mencetak para katekis untuk kebutuhan misi dan Sekolah Santa Ursula di Weltevreden (Jalan Pos, Jakarta Pusat) pada 1906 dengan nama HBS Princess Juliana di bawah asuhan suster-suster Ordo Santa Ursula (OSU).

Saya kira di sini saya tak perlu mengungkapkan tentang sejarah hubungan pasang-surut antara Gereja Katolik dengan Pemerintah Belanda. Tetapi yang jelas, setelah Tahta Suci mencapai kesepakatan dengan pemerintah kolonial Belanda yang dituangkan dalam Nota der Punten pada 1847, vikaris dan para imam boleh dibilang digaji dan dibiayai perjalanannya oleh pemerintah. Mereka juga mendapatkan tunjangan tahunan dari Kerajaan Belanda. Sehingga dengan demikian mereka menjadi pegawai negeri sekaligus misionaris dan mendapat perlakuan yang sama seperti para pendeta Protestan.

Bukankah STFK Ledalero almamater Pater Jebadu sendiri didirikan oleh para misionaris SVD pada masa kolonial Belanda, tepatnya pada tahun 1937?

Sehingga pernyataan Pater Jebadu bahwa sebelum tahun 1945 suku-suku di Kepulauan Nusantara (yang sekarang menjadi Indonesia) hidup sangat sederhana, sangat primitif, dan tak tahu baca-tulis karena belum ada sekolah untuk mengasah mereka jadi pintar juga terbantahkan dengan fakta ini. Kendati, seperti yang telah saya utarakan di atas, baik sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial maupun sekolah misi bukanlah lembaga edukasi yang menyelenggarakan pendidikan secara luas dan merata tetapi hanya terbatas untuk segelintir masyarakat tertentu saja—utamanya sebelum 1930. 

            Namun berbeda dengan para founding father kita yang menggunakan bekal pendidikan kolonial mereka untuk membangkitkan kesadaran nasionalisme bangsanya atau para sastrawan dari bekas tanah jajahan seperti Chinua Achebe, Ngugi wa Thiong’o, dan Salman Rushdie yang melakukan “writing back to the empires” utuk merebut kembali suara, identitas, dan sejarah mereka yang didistorsi oleh kekuasaan kolonial, dalam opininya “Uskup Maumere tidak Rampas Tanah Umatnya” itu Pater Jebadu justru menggunakan kacamata kaum kolonial yang rasial dalam memandang bangsanya sendiri.         

            Bahkan lebih lanjut ia juga tak segan-segan menunjukkan sikap rasialnya terhadap ciri fisik bangsanya, di mana dengan terang benderang disebutkannya bahwa orang-orang Belanda adalah orang-orang yang berperadaban tinggi dan putih, sementara suku-suku bangsa Indonesia itu primitif, ada yang kulit gelap dan semuanya buta huruf. Seolah-olah peradaban ras kulit putih memang ditakdirkan lebih unggul dari ras kulit berwarna karena perkara warna kulitnya. Simaklah kutipan dalam paragraf ini:

Salah satu hal yang umum terjadi adalah perampasan dan perampokan tanah. Orang-orang Belanda, yang berperadaban tinggi, putih, celana panjang, sepatu bengkap dan bersenjata lengkap ini, rampok tanah suku-suku bangsa Indonesia yang masih primitif, ada yang kulit gelap dan semuanya buta huruf.

            Tentu siapa pun tahu kalau Belanda (juga para penjajah Barat lainnya) merampok tanah suku-suku di Asia-Afrika. Kalau tidak, bukan kolonialisme namanya. Masa’ yang begini saja harus “diomongkan” oleh Pater Jebadu? Tetapi apakah para penjajah kulit putih itu bisa berhasil menguasai berbagai wilayah tanah jajahan mereka karena kulit mereka yang putih, karena mereka bisa baca-tulis aksara Latin (Alphabet), dan karena peradaban mereka lebih tinggi? Dalam hal inilah tampak bagi kita betapa parahnya “mentalitas inlander” Pater Jebadu sebagai anak pribumi dari bekas tanah jajahan.

Apa itu mentalitas inlander? Istilah ini merujuk pada pola pikir atau sikap mental penduduk pribumi di suatu wilayah, khususnya dalam konteks sejarah kolonial, yang terbentuk akibat penjajahan, seperti rasa inferior, ketergantungan, atau kurangnya rasa percaya diri terhadap kemampuan sendiri. Hal ini sering dianggap sebagai warisan kolonial yang memengaruhi cara berpikir dan bertindak masyarakat pascakolonial.

Karena itu sebagai seorang pastor “black skin, white masks” (meminjam bahasaFranz Fanon) didikan sekolah misionaris yang didirikan pada era kolonial, lumrah saja kalau Pater Jebadu seakan lupa bahwa Belanda—sejak era para pedagang culas VOC tiba—dapat memonopoli perdagangan rempah-rempah, mengendalikan sumber daya alam dan manusia Nusantara, dan akhirnya menguasai daerah jajahan yang begitu luas tak lain karena mereka memakai strategi-siasat licik yang dikenal dengan istilah devide et impera alias politik adu domba! Yang dengan picik memanfaatkan persaingan antar raja atau perang saudara di kerajaan-kerajaan Nusantara dan memanipulasi dinamika politik lokal sedemikian rupa untuk mencaplok maupun mempertahankan daerah kekuasaan mereka.

            Dalam politik devide et impera, selain memainkan peran sebagai teman dan menciptakan musuh bersama (make friends and create common enemy) di tengah konflik antar kerajaan atau di dalam lingkungan sebuah kerajaan, mereka juga menjalankan strategi manajemen isu dengan menyebarkan propaganda atau desas-desus di lingkungan politik dan sosial, serta memberikan pengakuan-pengakuan atas nama kerajaan Belanda terhadap entitas politik di suatu daerah, hingga mengatur perang saudara. Perang Padri di Sumatera Barat adalah satu satu contohnya.

            Negara-negara Eropa pada masa itu memang lebih unggul dalam hal teknologi berkat revolusi industri. Tetapi ingat, Belanda hanyalah sebuah negeri mungil dengan populasi kecil. Tanpa penggunaan siasat licik tidaklah mungkin bagi mereka untuk menguasai wilayah Nusantara yang begitu luas, yang kemudian mereka namakan Nederlandsch-Indie. Sehingga pada masa pemerintahan sipil, mereka pun menciptakan administrasi kolonial yang mengontrol penduduk Hindia melalui para pembesar bumiputera. Atau dengan kata yang lebih sederhana, Belanda menjajah penduduk Nusantara dengan cara menguasai kerajaan-kerajaannya.

            Kalau Belanda memang demikian hebat secara militer, tak perlu bagi mereka untuk membentuk legiun asing maupun merekrut sekian banyak tenaga pribumi untuk mereka jadikan sebagai serdadu-serdadu kolonial seperti KNIL yang dikenal masyarakat Jawa sebagai londo ireng itu!

            Sejarah Perang Aceh (1873-1904) dan Perang Jawa (1825-1830) harusnya bisa menunjukkan kepada Pater Jebadu betapa lemahnya kekuatan militer Belanda, lantaran hanya bisa mereka menangkan dengan susah payah menggunakan ragam strategi culas seperti membayar para pengkhianat/pembelot dan merancang perundingan palsu. Bahkan untuk memadamkan pemberontakan para kuli tambang Tionghoa yang dipimpin Liu Ngie di Pulau Bangka (1899-1900) saja, residen Bangka harus mendatangkan 500 serdadu dari Batavia.

            Pater Jebadu tentunya tidak paham bahwa salah satu alasan mengapa kerajaan-kerajaan di Nusantara ini begitu mudah dipecah-belah adalah karena pada masa kedatangan VOC wilayah Nusantara terdiri dari banyak kerajaan kecil yang saling bersaing. Di samping wilayah ini memang merupakan wilayah dengan penduduk majemuk yang terdiri dari berbagai suku-etnis. Makanya bangsa Eropa tak pernah berhasil memecah-belah negeri-negeri yang penduduknya cenderung homogen seperti China dan Jepang.

            Karena itu, nasionalisme China dan Jepang yang tak pernah dijajah secara fisik oleh bangsa Eropa pun coraknya sangat berbeda dengan nasionalisme di sekian banyak negara Asia-Afrika bekas koloni Barat termasuk Indonesia yang memperoleh kemerdekaannya pasca Perang Dunia II, yang lahir dari “perasaan (tertindas) senasib sepenanggungan”. Itulah sebabnya Ben Anderson menyebut negara-negara baru ini sebagai imagined community (komunitas yang dibayangkan), yang didirikan berdasarkan suatu image mengenai kesatuan bersama sehingga mereka pun lekat dengan “kebangkitan” nasional.

            Lagipula, jika Pater Jebadu memang berkenan membaca sejarah bangsanya (bukan asal menyerocos seolah-olah ia paham sejarah padahal tidak), ia pasti bakal mengetahui bahwa konflik-konflik agraria di berbagai daerah di Nusantara juga merupakan salah satu penggerak kebangkitan nasional yang meletuskan revolusi kemerdekaan Indonesia. Di mana sepanjang sejarah perjuangan bangsa Indonesia sejak Flying Dutchman belum menjadi legenda kapal hantu hingga Konferensi Meja Bundar di Denhaag pada 1949, perlawanan suku-suku Nusantara untuk merebut kembali hak tanah ulayat dan hutan keramatnya yang dirampas, dipatok, dan dilegitimasi lewat surat-surat ini tidaklah pernah berhenti. Termasuk di sini tanah Nangahale, Maumere, yang dirampas oleh Amsterdam Soenda Compagnie dari masyarakat pribumi untuk penanaman kapas dan kelapa pada tahun 1912.  

Membeli tanah rampasan penjajah Belanda

BUKANKAH Pater Jebadu sendiri mengakui bahwa Gereja (Vikariat Apostolik Kepulauan Sunda Kecil) yang dinakodai misionaris SVD asal Belanda dan Jerman telah membeli tanah rampasan penjajah ini dari perusahaan Belanda pada tahun 1926 dengan 22.500 Gulden? Bahkan bukti pembelian tersebut—menurutnya—masih tersimpan baik di Kantor Provinsialat SVD Ende dan di Ndoa-Keuskupan Agung Ende.

            Hanya saja Pater Jebadu tampak mencoba menghindari sejarah konflik agraria yang berkait-kelindan dengan tanah tersebut, seakan-akan ia tak tahu-menahu kenapa perusahaan kapas penjajah Belanda bisa menjual tanah seluas 1.438 hektar ini kepada Gereja. “Entah apa alasannya,” demikian ia menulis. 

            Padahal seperti yang disampaikan oleh John Bala, anggota Dewan Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Sikka kepada CNN, alasan Amsterdam Soenda Compagnie menjual tanah itu kepada Apostolisch Vicariaat van der Kleine Soenda Eilanden  adalah karena perusahaan ini dilaporkan terus merugi gara-gara perkebunan kapasnya sering dibakar oleh rakyat. Yang mana di sini berarti perlawanan rakyat terhadap perampasan tanah tersebut memang telah terjadi sejak awal dan terus-menerus berlangsung sampai sekarang.

            Namun Pater Jebadu yang tak (mau) tahu perkara ini kemudian berbicara tentang nasionalisasi perusahaan Belanda setelah kemerdekaan Indonesia dan Gereja yang harus mengamankan tanah usahanya atas nama Tuhan Katolik yang solider kepada penderitaan umat manusia itu agar para calon wakil Tuhan di muka bumi tidaklah kekurangan biaya makan-minum. Simak baik-baik kata-kata sang pastor dalam “bahasa khotbah”-nya berikut ini:

Para calon pastor yang diberi makan oleh Rahim tanah Nangahale dan Patiahu berkarya melayani keselamatan jiwa dari umat Katolik sendiri, mulai dari Flores maupun di tempat lain di seluruh Indonesia dan bahkan kini di seluruh dunia.

Dengan demikian, tanah Nangahale dan tanah Patiahu tidak dikelola oleh Gereja Katolik untuk bisnis dalam arti biasa untuk mendulang keuntungan pribadi. Kedua tanah ini dikelola atas nama Allah untuk tujuan suci yaitu beri makan minum para calon pastor yang akan melayani umat Allah di mana saja.

            Terang sudah untuk kita bahwa dalam perspektif seorang imam Katolik seperti Pater Jebadu, makan-minum para calon pastor yang bekerja melayani “keselamatan jiwa” umat Katolik sungguh jauh lebih penting ketimbang ratusan keluarga umat Katolik yang butuh tempat bernaung dan butuh makan itu sendiri. Sebab baginya “keselamatan jiwa” jelas berada di atas keselamatan badaniah. Untunglah, dalam opininya itu ia tidak sampai mengeluarkan istilah “santapan rohani” segala!

Sehingga kita pun tak perlu heran ketika Pater Jebadu—yang seyogianya pernah kuliah filsafat itu—meminta umatnya (yang tampak ‘awam banget’ di matanya) untuk mengerti bahwa nama PT Kristus Raja Semesta Alam memang nama yang amat tepat untuk sebuah badan usaha yang dikelola oleh Keuskupan Maumere dan Provinsi SVD. Sebab PT itu menurutnya adalah “bisnis suci atas nama Tuhan Yesus pemilik alam semesta, termasuk pemilik tertinggi atas tanah Nangahale dan Patiahu”. Karena itu ia pun dengan santai mengintimidasi umatnya dengan ancaman konyol yang mungkin baginya teramat filosofis tetapi kontra rasionalitas: “Yang lawan PT Krisrama sama dengan lawan Yesus sendiri”!

Tampaknya pastor ini sudah lupa pula ia hidup di zaman apa. Barangkali dikiranya ia hidup pada Abad Pertengahan di Eropa, di mana para biarawan pengkhotbah biasa berkeliling untuk menakut-nakuti umatnya yang saleh dengan lukisan neraka sembari menjual surat pengampunan dosa.

Bahkan tak cukup hanya mencatut nama Tuhannya sebagai ancaman, Pater Jebadu juga terkesan seperti hendak membenturkan umatnya dengan negara dalam kasus ini setelah dengan panjang-lebar ia membeberkan pengetahuannya yang bias tentang nasionalisasi pada era Soekarno. Padahal nasionalisasi merupakan pengambilalihan aset negara yang wajar dari bekas penjajah di negara pascakolonial mana pun, walau dalam praktiknya pemerintah sering bertindak sewenang-wenang mengabaikan rakyat. 

Dalam kasus penambangan timah di Bangka contohnya, setelah Banka Tin Winning dinasionalisasi pasca kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia justru meneruskan kebijakan eksploitatif Tin Reglement Belanda pada 1819 dalam memonopoli penambangan timah. Sehingga orang Bangka boleh dibilang tak pernah benar-benar menikmati hasil buminya sejak orang-orang Johor melakukan penambangan pertama kali di Sungai Olin, Toboali pada akhir abad ke-17. Bahkan selama masa Orde Baru, masyarakat dilarang menambang, menyimpan timah walau satu kilogram, apalagi menjualnya. Penjara, bahkan penyiksaan, kerapkali menjadi bagian dari kisah legam timah di masa ini.

Di pulau Mentawai, lebih ngeri lagi. Para penduduk asli dipindahkan secara paksa dari habitatnya di tengah rimba ke barasi-barasi dengan konsep resettlement atau PKMT (Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing), sementara hutan-hutan adat tempat tinggal dan sumber penghidupan-spiritualitas mereka dijadikan sebagai ladang penghasil uang bagi perusahaan HPH dan HTI. Akibatnya, konflik pertanahan pun kerap tak terhindari. Bahkan mereka juga dipaksa untuk meninggalkan agama tradisional mereka Arat Sabulungan—yang dalam Rapat Tiga Agama (Protestan, Islam dan Sistem Kepercayaan Tradisional) 1954 dianggap sebagai keyakinan yang tak cocok bagi masyarakat modern—dan sebagai gantinya, mereka diharuskan untuk memilih salah satu dari lima agama resmi (yang dalam praktiknya cuma Islam, Protestan, dan Katolik saja) dalam waktu tiga bulan setelah pertemuan.

Di sinilah pencaplokan tanah ulayat dan hutan adat kerap dilakukan secara semena-mena oleh negara—apalagi semasa Orde Baru—dengan dalih pembangunan seraya pada saat yang sama berlindung di balik pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Apakah Pater Jebadu memiliki pengetahuan tentang semua perkara ini? Saya tidak bisa menyimpulkan. Dalam kasus di Maumere ia hanya mengajak orang-orang untuk menyadari bahwa tanah Nangahale dan Patiahu di Pulau Flores adalah tanah milik negara yang diberi HGU, bukan tanah ulayat milik Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai. Lantaran menurutnya pemerintah RI masa Soekarno telah memutuskan untuk menjadikan semua tanah bekas perusahaan Belanda, tanah-tanah rampasan era kolonial itu, sebagai milik negara atas nama seluruh rakyat Indonesia dan dikelola melalui mekanisme HGU.

Karena itu pula menurutnya Gereja tidak merampok tanah Nangahale dan Patiahu dari suku setempat atau menerimanya begitu saja sebagai hadiah dari penjajah Belanda. Tetapi Gereja membeli tanah rampasan tersebut dari perusahaan Belanda.

Wajar apabila kemudian ia tak mau tahu bahwa tidaklah semua orang—apalagi orang-orang miskin—punya cukup uang untuk membayar pajak setiap tahun kepada negara sebagai sewa atas pengelolaan tanah. Ia juga sepenuhnya mengabaikan bahwa dalam penerapan UU No.5 Tahun 1960 seringkali terjadi ketidakadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah, tumpang-tindih hak atas tanah akibat kurangnya koordinasi antar instansi terkait, serta belum optimalnya sistem pendaftaran tanah, yang ujung-ujungnya hanya menguntungkan mereka yang punya uang dan kekuasaan.

            “Dengan adanya sertifikat yang dikeluarkan oleh BPN maka PT. Krisrama (di dalamnya ada Keuskupan Maumere dan Seminari Tinggi Ledalero) diberi hak resmi oleh negara untuk mengelola tanah itu dengan konsekuensi membayar pajak setiap tahun (pajaknya bukan sedikit),” tulis pastor lain, Pater Yosef Kusi SVD, seperti dikutip oleh www.kpksigap.com. “Para penyerobot tinggal di wilayah itu tapi kita yang membayar pajak. Kalau ikut apa yang dikatakan oleh pemerintah, mestinya mereka sudah punya tanah dengan sertifikat. Tapi kelihatannya mereka justru mau mengatur pemerintah/negara,” tambahnya sembari mengungkapkan bahwa nyawanya pernah terancam oleh ‘para pemukim liar’ itu ketika ia melaporkan pencurian pohon-pohon kelapa ke polisi. 

.           Dan senada dengan Pater Jebadu, Pater Kusi pun mengingatkan agar pihak-pihak yang tidak tahu persis, tanpa data sedikit pun, dan tanpa ikut terlibat dalam urusan penyelesaian tanah itu, untuk tidak asal omong.

“Uskup Katolik mana di dunia ini yang tidak mencintai umatnya, yang tidak ada cinta kasih dan menggusur umatnya sendiri secara tidak manusiawi, serta merampas tanah mereka?” demikian tanya Pater Jebadu. Bahkan secara tidak langsung menurutnya, ada pihak-pihak tertentu—termasuk sekelompok orang internal Gereja Katolik sendiri, berjubah—yang merasa diri sangat pintar dan tahu segala sesuatu, yang bermain dalam kasus ini. Merekalah yang telah menyuapkan semua tuduhan ke banyak wartawan media online, tak terkecuali koran besar Kompas, Majalah Tempo, dan UCA News yang berkantor pusat di luar negeri. Bahkan khusus untuk penulis berita di UCA News online, ia mesti menekankan bahwa penulisnya dalah seorang putra Flores yang sudah lama tinggal jauh di Negeri Kanguru-Australia.

“Tindakan ini jelas merupakan blunder besar dan harus dituntut balik. Jika terbukti bersalah, mereka harus dihukum dan didenda, siapapun mereka, termasuk yang berjubah sekalipun, demi keadilan hukum,” begitulah Pater Jebadu mengakhiri tulisannya.

            Seperti yang telah saya katakan di atas, tak ada gunanya bagi siapa pun untuk memperdebatkan fakta hukum dalam kasus ini dengan Pater Jebadu dan pihak Keuskupan Maumere lainnya. Namun siapa pun, yang memahami sejarah dan pascakolonialisme, saya kira pasti dapat melihat dengan terang betapa rasis dan orientalisnya pandangan Pater Jebadu dalam opininya tersebut.

            “Saya tidak hanya heran mengapa Media Indonesia mau memublikasikan tulisan buruk dengan pandangan buruk seperti ini, tetapi saya juga heran bagaimana bisa Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero (IFTK) yang saya hormati, punya dosen dan doktor yang tulisan, argumentasi, dan pandangannya terhadap sejarah dan masyarakat Nusantara sangat buruk,” tulis Felix Nesi di Facebook.        Ah, tentunya saya pun turut heran, Bung![]

0
3148
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.