Menu

Ijazahan Amalan Ilmu Hikmah-Tarekat di Kalangan Pesantren Jawa (Bagian II-Habis)

Kitab Rujukan dan Penjelasan Tentang Ilmu Hikmah

Kitab-kitab yang dijadikan rujukan dalam Amalan-amalan wirid hikmah di Pesantren, selain amalan tarekat dan Hizib-hizib dari guru tarekat mereka, adalah Kitab-kitab yang terkenal dipelajari, dibaca, dan diperjualbelikan sebagai kitab kuning di kalangan pesantren. Di antara kitab-kitab ini, pertama, yang disusun oleh Imam Ghozali berjudul Al-Aufaq, berisi berbagai khasiat wifiq untuk berbagai keperluan.

Kedua, Syaikh Ahmad bin Ali bin Yusuf al-Buni (w. 1225 M.) sangat terkenal di kalangan ahli hikmah dan menyusun dua kitab penting: Syamsul Ma`arif al-Kubro dan Manba’u Ushulil Hikmah. Kitab Syamsul Ma`arif  di antaranya berisi silsilah keilmuan pengarang; berbicara huruf-huruf dan rahasianya; membahas susunan alam; membahas huruf dan keutamaan waktu-waktu; dan banyak lagi yang lain. Kitab al-Buni kedua berjudul Manba’u Ushulil Hikmah terdiri dari 4 jilid: berisi dasar-dasar dan dhowabith ilmu hikmah; marifat tentang pembuatan wifiq-wifiq (semacam rajah); syarah al-Burhatiyah; dan syarah Al-Jaljalutiyah al-Kubro, yang berisi penjelas khowash, fadhilah, dan kaifiyah membaca bait-bait dalam doa Al-Jaljalut al-Kubro.

Ketiga, Syaikh Muhammad Haqqi Nazili menyusun Khazinatul Asrar, juga banyak dijadikan rujukan ilmu hikmah, termasuk rujukan di dalam menjawab berapa pertanyaan di dalam Bahtsul Masail yang diadakan para ahli tarekat NU. Versi yang diterbitkan Al-Haramain, ada 194 masalah yang dibahas di kitab ini, dan di antara yang dibahas adalah keutaman dan khasiat Ayat Kursi, Basmalah, surat-surat Al-Qur’an, sholawat, Khatam Khawajikan, dan lain-lain.

Keempat, Ibnul Hajj at-Tilimsani al-Maghrabi menulis Syumusul Anwar  yang berisi Rahasia-rahasia huruf dan khowash-nya;  khowash Asmaul Husna, ayat-ayat Al-Qur’an;  khowash niat, dan banyak lagi yang lain.

Kelima, Syaikh Ahmad ad-Dairabi juga menyusun Mujarrobat dairobi yang dikenal dengan kitabnya Fathu Mulkil Majid al-Mu’allaf li Naf`il Abid wa Qam`i likulli Jabbarin `Anid berisi banyak petunjuk dan khowash yang dikemukakan soal basmalah, surat Al-Fatihah, Ayat Kursi, Surah Yasin, Al-Mulk, Al-Waqiah, al-Qadar, al-Fil, dan beberapa surat lain; khowas asma ya Lathif, Lafdzul Jalalah, doa awal tahun-akhir tahun, doa penolak rihul ahmar, dan lain-lain.

Keenam,  Sayyid Muhammad al-Maliki menulis Abwabul Faraj, termasuk kitab belakangan  di antara kitab-kitab hikmah yang dibaca. Kitab ini menghimpun berbagai doa dan wirid tentang kelapangan hati dan menghapus berbagai kesulitan; ada yang dihubungkan untuk doa-doa memenuhi kebutuhan mendesak; menyembuhkan berbagai sakit dan upaya menolak berbagai kesulitan; ada yang diambil dari ayat-ayat Al-Qur’an, khowash istighfar, bab sholat istikhoroh, dan diakhiri dengan pembahasan sholawat kepada Nabi.

Beberapa kitab yang banyak dibaca dalam referensi ilmu hikmah di atas, belum lagi 2 kitab sholawat karangan Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani: Afdhalush Sholawat `ala Sayyidis Sadat dan Sa`adatud Darain. Meski mereka membaca kitab-kitab di atas, atau kitab-kitab lain yang memuat amalan hikmah, di dalam pengamalannya, para pengamal di kalangan pesantren tetap mengacu pada apa yang diberikan para pengijazah di kalangan guru-guru mereka: misalnya tentang kaifiyah dan jumlahnya. Kitab-kitab tersebut dibaca sebagai referensi dan pengaya dari berbagai amalan yang telah dimiliki.

Amalan ilmu-ilmu hikmah ini, adalah sesuatu yang dilakukan oleh guru-guru besar yang sangat dipandang di kalangan masyayikh sufi, termasuk masalah ilmu-ilmu huruf, wifiq-wifiq, dan lain-lainnya.  Hal ini diakui oleh Syaikh Al-Buni di dalam kitab Syamsul Maarif, pada bagian akhir, menjelaskan sanad yang dimilikinya dalam pengambilan ilmu haqiqat dari Imam Ali melalui guru-guru seperti Imam Jafar ash-Shodiq, ilmu batin diambil dari Imam Ja’far Shodiq dari Qosim bin Muhammad dari Sayyiduna Abu Bakar dari Rosulullah. Sedangkan ilmu-ilmu rahasia huruf, disebut berasal dari berbagai masyayikh sufi, termasuk tentang ilmu-ilmu Wifiq, juga demikian.

Di dalam pengamalan ilmu-ilmu hikmah, beberapa penjelasan penting di antaranya diwasiatkan oleh para penyusun beberapa kitab tersebut, di antaranya begini:

Pesan Syaikh Ahmad Dairabi

Dalam pembukaan Mujarrobat Dairobi, disebutkan:

“Tatkala seorang zhalim merintangiku dan merintangi orang-orang terdekatku dengan mengambil tanah milik kami, maka aku putuskan untuk memohon dengan sungguh-sungguh dan merendahkan diri kepada Alloh, dengan berbagai doa dan istighotsah, yang akan dijelaskan dalam kitab ini. Aku juga mengamalkan Surat Yasin dan amalan lainnya sebagaimana yang akan dijelaskan pada bab yang membahas  perihal amalan untuk menaruh rasa iba dalam diri seseorang, sehingga orang zhalim itu merasa iba kepada kami dan terjadilan perdamaian antara kami dan dia sebaik-baiknya.”

Penjelasan ini menagaskan bahwa para ahli hikmah yang sesungguhnya, adalah mereka yang tidak meninggalkan usaha (untuk melakukan perdamaian dan usaha-usaha lain yang perlu ketika menyangkut apa yang diperlukan), dengan tetap mengokohkan perjalanan mereka dengan berbagai wirid untuk istighotsah. Kedua-duanya dijalankan; dan pemilihan atas aurad tertentu itu sampai dimengerti pada asrar-nya, dan pengembalian semua kepada Alloh adalah kunci keselamtaan dalam melakoni ilmu-ilmu ini, seperti dijelaskan Syaikh Ahmad ad-Dairabi di atas, sebagai istighotsah, merendahkan diri kepada Alloh.

Pesan Syaikh Muhamamd Haqqi Nazili

Dalam Khazinatul Asrar, Syaikh Muhammad Haqqi Nazili pada bagian-bagian awal kitabnya menjelaskan demikian:

“Ketahuilah sesungguhnya ayat ini dan hadits-hadits itu penjelasan bagi asrar Al-Qur’an, menjadi peringatan,  anjuran, dan pengingatan, pengajaran, bagi setiap orang untuk menekuni membaca Al-Qu’an, pengingat bagi orang-orang lupa, dan ancaman, pencelaan, bagi orang-orang yang menekuni (semata-mata wirid-wirid) selain dari Al-Qur’an. Berkata Imam Ad-Dainuri di kitab Kasyful Kunuz, lihatlah wahai akyas, dan berfikirlah wahai manusia, bahwa banyak aurad dan dzikir-dzikir yang mereka menyibukan dengannya di zaman ini, dari pengajaran masyayikh…”

Apa yang dikemukakan Syaikh Haqqi Nazili ini diperhalus lagi dengan sentuhan: “Dikatakan: “Seorang murid tidak akan menjadi murid sampai ia menemukan di dalam Al-Qur’an apa yang dicari, dan mengerti darinya kekurangan-kekuarangan dari adanya kelembihan-kelebihan, dan merasa cukup dengan Kalamul Maula (Al-Qur’an) daripada Kalamul Abid (perkataan syaikh misalnya)” (hlm. 3).

Meski begitu, maksudnya bukan berarti wirid-wirid dari syaikh ditinggal sama sekali, tetapi difahami jangan sampai meninggalkan wirid Al-Qur’an dan segala yang terkandung di dalamnya, semisal wirid tahlil, asmaul husna, ayat-ayat tertentu, istighfar, tasbih, tahmid, hauqalah, sholawat, dan rangkaian wirid yang diambil dari ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Di Jawa dan di pesantren, mantra-mantra Jawa dan hizib-hizib dilakukan, dengan tidak meninggalkan hal-hal fardhu, membaca Al-Qur’an, dan sejenisnya.

Pesan Syaikh Muhammad Al-Buni

Dalam kitab Syamsul Maarif wa Lathoiful Ma`arif Syaikh Al-Buni di bagian awal-awal, mensyaratkan wudhu untuk berinteraksi dengan kitabnya:

“Maka haram bagi orang yang meletakkan kitab ini di tangannya, atau memberikannya kepada orang yang tidak ahlinya (tidak layak diberi soal ilmu hikmah), atau menceritakannya bukan pada tempatnya (di dalam forum dan lingkaran orang), maka sesungguhnya yang melakukan itu semoga Alloh mengharamkan manfaat-manfaatnya, mencegah faedah-faedahnya, barokah-barokahnya, dan tidak memegangnya kecuali engkau dalam keadaan suci…” (jilid I: 2)

Penjelasan ini menegaskan bahwa untuk berintraksi dengan kitab ini saja harus dimulai kesucian, dan karenanya dimulai badan fisiknya bersuci, dan batinnya hanya diorientasikan untuk mencari ridho Alloh. Maka lebih lagi, dalam melakoni ilmu-ilmu hikmah yang diwariskan para wali di zaman dulu, di kalangan kyai-kyai pesantren, disadari tidak boleh didasarkan untuk hal-hal lain kecuali memohon kepada Alloh melalui amalan-amalan itu, adalah suatu pagar penting, agar tidak terpeleset di tengah jalan.

Ijazahan Amalan dari Guru yang Masih Hidup

Meskipun dalam tradisi sufi ada jenis guru yang membibing murid ketika sudah wafat, melalui metode Uwaisyi atau kelompok Uwaisy, sebagaimana disebut Syaikh Abdurrahman jami dala Nafahat al-Uns min Hadhratil Quds, tetapi di kalangan pesantren yang menghidupi Islam Jawa, amalan wirid banyak berhubungan dengan ijazahan dari seorang guru yang masih hidup, dan berhubungan dengan tradisi berdzikir agar semakin dekat dengan Alloh, tanpa harus menafikan sebagian di antara mereka telah mencapai penglihatan dan pertemuan dengan  mereka yang sudah mati, termasuk dengan sebagian guru yang dikenal dengan Khidr.

Berkembanglah kemudian sebuah semboyan yang penulis temukan di kalangan mereka ini: “Barang siapa yang tidak memiliki guru, gurunya adalah syetan dan jin”.  Semboyan ini, ditanamkan kepada murid dan masyarakat pesantren. Semboyan ini, ternyata ada juga dalam kitab Khozantul Asrar, yang ditulis oleh Syaikh Haqqi Nazili; ada juga dalam kitab Risalah Alussunnah Waljamaah yang dikarang oleh Syaikh Hasyim Asyari; dan dalam kitab Syaikh Abdul Qadir al-Jilani.

Murid berdzikir harus memiliki guru ini, membedakan ijazahan kalangan pesantren dengan sebagian mereka yang tidak dari kalangan pesantren-pesantren Islam Jawa dalam menjalankan wirid. Di kalangan mereka ini, wirid-wirid tertentu dijalankan sebagai hasil dari membaca dari buku dan kitab-kitab hadits, lalu menemukan amalan wirid tertulis di situ, lalu diamalkan untuk wirid harian dan personal, dengan keketatan berdasarkan kitab-kitab hadits tertentu. Bagi kalangan Islam Jawa, kecuali untuk wirid bakda maktubah (setelah sholat lima waktu), sebelum sebuah wirid yang ditemukan dari kitab hadits misalnya, atau dari kitab-kitab Fadha’ilul a’mal itu diujicoba dan telah dipraktikkan oleh guru-gurunya, belum secara langsung dimalkan sebagai wirid.

Prinsip kehati-hatian itu diterapkan berkaitan dengan semboyan yang berkembang di atas: “Barang siapa yang tidak memiliki guru (yang masih hidup), gurunya adalah syetan dan jin.” Semboyan ini ditanamkan karena telah dipraktikkan dan diujicobakan sebagai pengalaman dalam menjalankan tirakat (laku prihatin lewat metode dan cara-cara tertentu, dengan wirid-wirid tertentu), sampai-sampai Ibnu Arabi al-Hatimi dalam kitan Al-Hikam-nya, mengatakan begini: “man lam ya’khud ath-thariq `anirrijal, fahuwa yantaqilu min muhalin ila muhalin (Ibnu Arabi, “al-Hikam al-Ilahiyah”, dalam Syarhu Hikam asy-Syaikh al-Akbar, hlm. 153).

Dalam konteks itu, amalan wirid adalah bagian dari ath-thariq, jalan menuju Alloh. Dengan bimbingan guru yang hidup, sang murid yang telah memperoleh ijazah dapat terus berkonsultasi dan dibimbing untuk mencapai tahap tertentu. Guru-guru di alam barzakh juga ikut mendoakan sang murid, dan dengan demikian barokah guru yang telah dianggap melakukan tirakat dan menjalani wirid secara mudawamah itu, bisa memberikan manfaat batin dan peningkatan spiritual. Sampai akhirnya seorang murid mampu berjalan sendiri dan mudawamah dalam berdzikir, termasuk dalam ukuran dosis, jumlah dari bacaan-bacaan wirid itu, sang guru pun masih tetap dihormati sampai ia meninggal. Setelah meninggal pun tetap dikirimi al-Fatihah.

Dikatakan min muhalin ila muhalin, adalah berdasarkan pengalaman-pengalaman dari berbagai praktik yang telah ada. Seorang guru bercerita, bahwa wirid apa pun kalau dilakukan secara ajeg dengan jumlah tertentu, akan memberikan warid. Ada yang puas misalnya, hanya memperoleh mimpi-mimpi yang baik, tetapi ada juga mereka yang tidak hanya berhenti di situ.  Warid adalah sesuatu yang datang ketika orang sudah menjalankan wirid secara ajeg dalam jangka waktu tertentu. Imam al-Ghazali dalam kitab Minhajul Abidin mengemukakan, kadang-kadang muncul bisikan-bisikan dari suara ghaib, dari berbagai jenis suara ghaib. Menurut cerita seorang guru tadi, kadang-kadang suara itu datang terus menerus dan energinya kuat, sampai taraf mengganggu.

Seorang guru menceritakan bahwa, betapa luas dan dalamnya samudra alam spiritual di dunia batin. Kadang-kadang seorang yang telah mudawamah wirid, baik yang ijazahan atau langsung mengamalkan dari buku sekalipun, pada taraf tertentu ada yang sampai mendapatkan warid, lalu terbuka olehnya sebagian kecil alam ghaib karena rahmat Alloh, baik dengan jalan melihat lewat bilqalbi, bisikan suara dalam hati yang keras dan hebat, atau memperoleh mimpi-mimpi tertentu.

Apalagi ketika hati seseorang telah dihidupkan oleh Alloh lewat mujahadah dzikir dan amalan wirid, akan banyak gangguan dari jenis alam-alam ghaib, sehingga orang tersebut harus bisa melawan dan menutup jalan-jalan suara itu; atau membedakan mana yang benar-benar dan mana yang tidak. Belum lagi kalau ia dihinggapi rasa ketakutan dan menjadi kecil berhadapan dengan alam raya semesta yang telah terbuka dalam hatinya, akan menjadikan orang-orang tertentu akan memerlukan seorang guru yang hidup untuk membimbingnya.

Bagi mereka yang tidak sampai dibukakan pintu hatinya menjadi hidup, dan juga tidak memiliki  guru yang hidup tetapi mempraktikkan amalan wirid yang tidak ijazahan, akan mudah bosan dan pindah dari satu wirid ke wirid lain, karena memandang wirid yang dilakukannya tidak membuahkan hasil apa-apa, kecuali menemukan keraguan dan keraguan, dari keraguan ke keraguan lain, atau yantaqilu ila wirid ke wirid lain, yantaqilu ila muhalin ila muhalin yang lain. Ketika menghadapi situasi-situasi sperti itu, konsultasi dengan ahlinya, aka lebih menyelamatkan, yaitu guru yang masih hidup tadi.

Beberapa resep untuk menstabilkan keterbukaan terhadap dimensi dunia lain itu, masing-masing guru memiliki resep yang telah diujicoba oleh guru-gurunya. Ada yang mengawali amalan wirid-wirid lakunya dengan membaca 41 x surat al-Ikhlas, 41 x surat al-Falaq, 41 x surat an-Nas, dan 41 x ayat Kursi. Ada juga yang menggunakan surat al-Fatihah 100 x, dan ada juga yang menggunakan sholawat 100 atau 1000 x, mendawamkan lipatan jumlah istighfar,  dan berbagai resep lain, dengan tetap munajat kepada Alloh. Dengan sendirinya, dapat dibayangkan apabila tidak memiliki guru yang masih hidup itu, bukan hanya yantaqilu min min muhalin ila muhalin, tetapi bisa dibimbing oleh jin; dan bila tidak demikian akan mengalami kebosanan berpindah-pindah amalan, dan sampai pada keadaan yang terparah, melayani jin; dan seterusnya.

Akan tetapi suatu yang jelas perlu disadari pula, bahwa ada juga mereka yang kadang mencoba dan merasa tidak memiliki efek buruk apa-apa dalam menjalankan sesuatu amalan wirid yang didapat dari buku, atau kitab. Hal seperti ini, menurut sebagian pengamal, dapat difahami dari dua hal: kalau hanya diamalkan dalam rentang waktu yang pendek, dan tidak diamalkan lagi tentu tidak akan berefek, saroir-nya belum kelihatan; tetapi kalau diamalkan dalam jumlah berlipatdalam jangka waktu yang panjang, tentu akan mendatangkan saroir amalan. Manakala dia dapat menguasai saroir dan efek-efeknya dari amalan, memang tidak masalah, tetapi menurut sebagian pengamal, ketika sudah seperti ini, mereka akan memerlukan guru di tengah jalan karena saror yang datang “sering tidak dapat dikuasi”, kecuali amalan itu dilepas dan tidak diamalkan lagi.

Makna Amalan Wirid Hikmah-Tarekat Bagi Para Pengamal di Pesantren Jawa

Mereka yang mengamalkan ilmu-ilmu hikmah dan wirid secara tekun, memberikan penjelasan-penjelasan, paling tidak dalam tiga hal penting: makna amalan-amalan itu sendiri bagi pengamal; hubungan amalan-amalan itu dengan penghayatan tauhid; dan beberapa peringatan sebagian untuk tidak hanya mengamalkan banyak hizib tanpa menekuni istighfar, sholawat, membaca Al-Qur’an yang tekun atau berbaiat tarekat.

Benteng Pengandel Ati dan Perahu

Diakui bahwa setiap pesantren, memiliki ciri-ciri tertentu dari sudut keilmuan yang dikembangkan, sekaligus berbeda dalam cara merespon dunia baru: berbeda-beda antara satu pesantren dengan pesantren lain. Meski begitu  ada satu hal yang penting dilihat, bahwa pesantren di kalangan Islam Jawa bisa tetap eksis, bertahan, dan mengembangkan diri di tengah sistem sosial yang tidak sederhana dan terus berubah, adalah juga berhubungan dengan laku tirakat, dan laku rohani yang dimiliki oleh kyai, kolektif santri-santri pesantren, dan masyarakat yang berhubungan dengan pesantren, seperti telah disebutkan di muka.

Para kyai yang kyai, untuk bisa menjadi kyai di pesantren di kalangan muslim Jawa, berdasarkan pengamlaman bergaul dengan mereka, bukan hanya karena: sang kyai telah mampu mengaji kitab-kitab kuning tertentu; atau membangun gedung pesantren; atau mampu menata manajemen pesantren yang lebih baik; atau mampu merekrut santri yang berdatangan dari berbagai daerah. Lebih dari itu, selalu dan sering, seorang kyai pesantren dan masyarakat pesantren yang diasuhnya mengembangkan tradisi amalan wirid-ilmu hikmah dan tarekat yang dimiliki oleh pengasuhnya, kyainya, yang diperoleh dari guru-gurunya.

Aspek ini menggambarkan satu pandangan bahwa mengasuh anak didik dan mengembangkan pesantren, adalah bagian dari dimensi luarnya dari laku tirakat yang dijalani seorang kyai (disamping berkiprah di masyarakat dengan berbagai variasinya), di dalam mengarungi samudra kehidupan, dalam mempertahankan keilmuan pesantren dan cita-cita ideal masyarakat muslim yang diupayakan di tengah amsyarakat Jawa, dimana mereka hidup. Sementara tirakat batinnya adalah melakukan mujahadah terus menerus agar bersambung dengan Alloh dan Kanjeng Nabi Muhammad lewat amalan wirid-ilmu hikmah dan tarekat, yaitu praktik dzikir terus menerus yang dilanggengkan, disertai dengan cara, waktu, dan dosis jumlah yang harus dilajalankan; dan pembersihan jiwa terus menerus melalui akhlak-akhlak baik.

Oleh karena itu, meskipun dunia luarnya mengalami perubahan, di kalangan berbagai pesantren juga mengalami perubahan sendiri secara luas, atau dalam dimensi di luar mereka tampak berubah, sejauh mereka masih dan menjadi penyangga tradisi pesantren yang menginduk pada keyakinan-keyakinan sunni Asyari, dan menjadi penerus tradisi para walisongo; bukan mengganti baju mereka dengan wahhabi salafi dan berbagai variasinya, maka pesantren-pesantren dan kyai-kyai pesantren akan tetap mempertahankan amalan-amalan ilmu hikmah-tarekat. Ilmu-ilmu ini disertai dengan berbagai riyadlahnya adalah benteng pengandel ati, sekaligus perahu mereka dalam menjalani samudra kehidupan, agar tetap selamat dalam perjalanan ke akhirat, dengan tidak melupakan amal-amal di dunia.

Disebut benteng pengandel ati, menurut sebagian mereka yang saya temui, karena amalan-amalan itu, menjadi benteng yang dapat menjadi wasilah hatinya dapat bertahan menjalani hidup yang baik dari pasukan-pasukan nafsu, berupa hawa yang berwarna-warni untuk mengajak ketidaktaatan, dalam segala maknanya: ada hawa dendam, iri, mencintai dunia tanpa ingat akhirat, kesombongan, dan kekotoroan-kekotoran lainnya. Di dalam ilmu-ilmu hikmah, mereka ini adalah pasukan-pasukan digerakkan oleh setan yang selalau ingin menjerumuskan.

Sedangkan disebut kendaraan bersenjata, karena dengan amalan-amalan itu, sang pengamal di kalangan pesantren menaiki kendaraan-kendaraan amalan dalam mengarungi kehidupan, dan menjadi senjata batin ketika pasukan-pasukan hawa datang menyerang mempengaruhi nafsu, sehingga nafsu bergejolak tidak bisa dikontrol. Dengan amalan-amalan ilmu hikmah dan tarekat, pasukan hawa itu dikalahkan melalu peperangan untuk menenangkan control atas nafsu, sehingga nafsu tidak dikuasai hawa. Ini adalah hikmah yang didapat setelah para pengamal mencapai tingkat pengetahuan atas saroir amalan-amalan dan saroir dalam gejolak nafsu, dan mengetahui adanya saroir pasukan-pasukan hawa yang dilihatnya di dalam dimensi batin.

Amalan sebagai Jalan Bertarikat Para Pejalan

Seorang guru pesantren mengatakan kepada saya, yang redaksinya kurang lebih begini: “Di dunia ini, tidak hanya ada dimensi lahir, tetapi juga batin. Mengarungi samudra hidup ini, masing-masing orang memiliki maqam atau kedudukan, dan kedudukan itu berkaitan dengan bintang yang diraihnya. Kedudukan seorang pemimpin dan kyai berada dalam area perang bintang. Jadi harus kuat tirakat. ” Belum lagi kalau dihubungkan dengan dimensi di luar pesantren, yang juga memiliki khazanah spiritual dari jenis lain. Bintang mana yang akan bisa dipakai untuk mengarungi samudra hidup ini, selalu berkaitan dengan kekuatan pengetahuan yang bisa diraih dan dianugrahkan Alloh: ada yang bintangnya itu dihubungkan dengan ilmu-ilmu lahir dalam dimensi pengetahuan lahiriah, tetapi juga ada yang menghubungkannya dengan dimensi batin yang menggabungkan keduanya, dengan jenis-jenis wirid tertentu, yang di masing-masing pesantren bisa berbeda-beda.

Kecenderungan di kalangan pesantren di kalangan muslim Jawa, menggabungkan dua hal itu dipandang sebagai jalan terbaik: ilmu-ilmu lahir dan ilmu-ilmu batin. Dengan jalan lahir, dia akan bisa memiliki pengetahuan lahir untuk melihat, menganalisa, dan berinteraksi dalam tatatanan sistem sosial lahir di tengah umat Islam, dengan adanya patokan-patokan tertentu. Dengan jalan ilmu batin, dia akan memiliki kemampuan untuk memperkuat energi dalam  diri di tengah kehidupan lahir yang sering menghempaskan manusia ke jalan yang tidak benar. Amalan-amalan wirid itu dijadikan salah satu kekuatan batin memperbagus akhlak budi luhur dengan menghancurkan kekuatan-kekuatan hawa nafsu yang bersarang dalam diri manusia, diganti dengan akhlak hati yang baik. Sebab diyakini, sikap seseorang dalam lahir memiliki hubungan yang kuat dengan akhlak batin: tentang keikhlasan, sabar, syukur, dan sejenisnya.

Dalam hal demikian, amalan wirid yang ditekuni itu berfungsi sebagai thariqat. Amalan wirid itu diibaratkan seperti jalan untuk menyelam menemukan hakikat ke dalam samudra untuk menggali dan memperoleh mutiara hidup. Menjalani amalan lahir dalam dimensi Islam dipandang sebagai syariat, yang dalam praktinya menurut para guru di kalangan pesantren Islam Jawa, masih harus dibarengi dengan praktik bertarekat, atau memiliki amalan wirid yang akan menghantarkannya menyelami hakikat hidup manusia itu, yaitu untuk mencapai, dalam bahasa mereka disebut ma’rifat dan ilmu hakikat.

Oleh Imam al-Qusyairi di dalam ar-Risalah al-Qusyairiyah, pencapaian itu didefinisikan: “Sifat orang-orang yang mengenal Alloh melalui Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya, kemudian ia membenarkan-Nya dalam melaksanakan ajaran-ajaran-Nya dalam perbuatannya. Ia membersihkan dirinya dari akhlak yang rendah dan dosa-dosa, sehingga ia memperoleh sambutan Alloh yang indah.” Tanda seorang telah ma’rifat, menurut Imam al-Qusyairi dengan mengutip sebagian guru sufi, adalah dikarunia haibah dari Alloh: ada yang berbentuk ilmu-ilmu tertentu, istiqamah, kedermawanan, wibawa, dan lain-lain.

Sebagian kyai yang pernah saya temui, meyakini jalan yang demikian adalah tugas penting menjadi manusia, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an: “wama khlaqatul jinna wal insa illa liya’budun” (QS. Adz-Dzariyat ayat 56). Sebab, menurut Ibnu Abbas yang dikutip oleh Imam al-Qusyairi, makna illa liyabudun itu, adalah illa liya’rifun. Untuk sampai pada pengetahuan dan ada di maqam yang demikian, seseorang harus memiliki perahu tarekat/amalan wirid yang diijazahkan dari seorang guru, agar bisa menyelam dalam samudra hakikat hidup di dunia ini dengan selamat.

Khazanah batin, ijazahan amalan wirid inilah yang mengairi pesantren dan kyai-kyai  di kalangan Islam Jawa. Terjadinya pergeseran dan perubahan sosial, bukan bergeser dalam fondasi pengetahuannya, meskipun satu atau dua kasus mungkin saja menunjukkan ke arah itu. Tetapi pergeseran terjadi pada dimensi luarnya saja, bukan fondasi batinnya. Praktik ijazahan dan amalan-amalan wirid pun tetap dijalankan, dari guru ke murid, dan begitu seterusnya.

Penyempurnaan Tauhid

Dalam pengijazahan amalan wirid ataupun tarekat di pesantren, seringkali  ditekankan pentingnya tauhid dalam setiap amalan. Jangan sampai amalan menjadikan si murid lupa kepada Sang Pemberi rizki sesungguhnya dan sejati, atau Sang Penyembuh penyakit, Sang Pemberi kekuatan sesungguhnya, tidak boleh mempercayai amalan-amalan itulah yang mendatangkan ridzki atau yang menyembuhkan penyakit; apalagi menghamba kepada jin-setan. Ujian ijazahan amalan adalah ujian masalah ilmu tauhid, lebih khusus lagi kalau amalan itu berkaitan dengan amalan berdimensi rizki, ingin hidupnya bertambah baik, dan mampu mengobati penyakit-penyakit tertentu, atau amalan benteng diri, dan sejenisnya.

Para guru dan murid yang telah melakukan riyadhah tertentu, berdasarkan amalan tertentu, selalu diuji oleh ahwal dan keadaan untuk menyandarkan semua karunia yang telah ada dan diberikan Alloh, setelah melakukan amalan tertentu, adalah dikembalikan kepada Alloh; dan antara mereka yang mempercayai amalan-amalan itu yang dapat menyampaikan, sehingga terdengar kalimat-kalimatnya “amalan iki ampuh, amalan iki dari guru yang ampuh,” dan lain-lain. Di pesantren, kadang-kadang orang orang luar juga salah mengerti, perkataan-perkataan, semisal perkataan “amalan iki ampuh, atau amalan iki dari guru yang ampuh”, pada dasarnya difahami majazi. Sama dengan orang mengatakan, manusia punya kekuatan, untuk mengangkat benda-benda berat, yang kekuatan sejati hanyalah dari Alloh; dan perkataan lahir itu majazi.

Demikian pula, penyataan semacam “ilmu ini ampuh” adalah majazi, sedangkan hakikinya, adalah Allohlah yang memberi kekuatan itu. Akan tetapi juga tidak menutup kemungkinan ada yang terjebak mempercayai amalan-amalan itu sebagai memang ampuh, meskipun dia sendiri sering berdoa kepada Alloh. Hal seperti ini, adalah tahapan kesadaran tauhid, yang bertingkat-tingkat di kalangan orang beriman, karena perbedaan anugrah tajalli yang berbeda-beda dari Alloh, karena pencapaian hakikat-hakikat yang dirasakan berbeda-beda. Oleh karena itu, seorang pengamal wirid senantiasa disadari harus terus mencari ilmu, ta’lim, jangan sampai hanya berhenti pada amalan, tetapi mengilmui amalan-amalan itu juga penting.

Sama seperti para pejalan tarekat didalam tarekat, para pengambil amalan-amalan hikmah, juga adalah pejalan, yang meskipun telah berguru kepada kiai-kiai hebat, mereka adalah pejalan yang akan diuji dari detik ke detik, dari hijab ke hijab lain, dari hijab-hijab kegelapan ke hijab nur; dan ahwal ke  kecanggihan untuk mengolah; dan begitu seterusnya. Penekunan mereka tentang pengobatan, jadzbur rizki, dan sejenisnya, tidak terlepas dari sejenis ujian bagi para penempuh di jalan Alloh. Kesadaran antara yang wasilah sebagai yang majazi dan aspek hakikinya sebagai haqiqat, tidak sama antara seorang murid satu dengan murid yang lain, sehingga aspek majazi dan haqiqi dari keampuhan amalan, juga dapat mempengaruhi kesadaran tentang Alloh, atau menunjukkan tingkatn-tentang seorang pengamalan tentang tauhidnya kepada Alloh.

Para guru pesantren yang konsen pada pencapaian kesadaran tauhid dalam amalan wirid dan tarekat, sangat menyadari ini, sehingga ilmu yang perlu dimiliki, oleh mereka ini, bukan semata riyadhah puasa, konsisten wirid, tetapi adalah ilmu kaum tarekat, yaitu ilmu laku hati, dalam tangga-tangga taubat, sabar, ikhlas, qona’ah, tawakkal, faqir, ridha, dan sejenis ini. Karena ahli amalan hikmah ini, telah berinteraksi dengan orang-orang, baik dalam pengobatan, kelancaran redzki, dan sejenisnya, tidak semata-mata tajrid, maka godaan kepada penyempurnaan tauhid, dan godaan untuk hanya fokus mengikis hijab sedikit demi sedikit, semakin besar. Dari riyadhah tajrid beralih berinteraksi dengan masyarakat, apalagi ada dimensi tukar menukar ekonomi, penyandaran diri kepada Alloh itu, memperoleh tantangn yang tidak sederhana.

Akan tetapi sebagian guru amalan yang saya temui, mengemukakan bahwa seorang ahli yang memiliki laku tarekat, tidak boleh tertipu oleh semata-mata penampakan lahir, karena amal-amal tergantung niatnya; meskipun tidak boleh mengabaikan amal-amal lahir. Kedua-duanya perlu seimbang. Ketika menjalani ilmu hikmah dan berhubungan dengan orang lain, yang penting niatnya, dan dalam praktiknya tidak bertentangan dengan kepatutan syariat lahir. Dengan jalan dikembalikan kepada niat yang baik ini, dan tawajjuhnya sebelum dzikir amalan untuk memperkokoh niat, hal-hal yang mungkin membelok-belokkan, dapat kembali disaksikan oleh nafs dan hawanya, juga ruh dan aqalnya, sebagai niat-niat yang lurus, atau sebaliknya, sebagai niat-niat yang berbelok. Penyempurnaan tauhid melalui ijazah-ijazah amalan, pada akhirnya juga akan menghantarkan seseorang pada keharusan untuk menjalani laku tarikat dalam hidup batinnya dan membenarkan niatnya.

Guru yang seperti ini, ketika didatangi murid, dan mengungkapkan persoalan kehidupannya dan meminta bantuan doa kepada sang pemberi ijazah, biasanya memberikan dua hal: Pertama, diberi nasehat-nasehat agar sabar dan sregep menjalani perintah-perintah fardhunya, memngqadhai yang sudah ditinggal, lalu diberi tulisan yang sudah di-asma’i, atau air yang sudah di-asma’i, atau media lain yang sudah di-asma’i. Kalau dalam bentuk tulisan, tulisan tersebut bisa diletakkan di depan rumah bagian pintu depan, atau di pintu belakang, atau disiramkan setelah digerus dengan air. Setelah itu orang yang datang itu diberi amalan dzikir tertentu, menurut jenis wirid dari guru yang memberikan. Kedua, diberi nasehat-nasehat tentang masalahnya, lalu diberi amalan dzikir untuk dijadikan benteng hidupnya, agar tidak putus asa dan selalu berdoa kepada Alloh, tanpa diberi air atau media.

Guru amalan yang memberikan nasehat, biasanya memberikan nasehat penting, bahwa setiap masalah yang datang, baik berupa sakit, kepailitan, dan sejenisnya, pada dasarnya adalah ujian yang diberikan Alloh kepada seorang yang sangat disayanginya. Ketika orang masih diuji, berarti dia masih disayangi Alloh. Ujian itu memiliki maksud agar yang tertimpa kepayahan (atau balaul mihnah, dalam bahasa Syaikh Namjmudidn Kubro), mampu mengambil hikmah. Di antara hikmahnya, dari yang sebelumnya tidak bersilaturahmi dengan guru, menjadi bersilaturahmi; dari yang sebelumnya belum berdzikir, jadi berdzikir; dan begitu seterusnya. Ujian itu untuk menguatkan diri seseorang yang diuji agar tahan uji dan tahan banting mengarungi kehidupan. Dzikir yang dilakukan adalah untuk memperkuat diri, hatinya tidak kosong, tetapi diisi dengan dzikir dan amalan-amalan lain, dengan selalu munajat kepada Alloh.

Tentang intensitas pengambilan ijazah, pada saat-saat situasi sosial genting, bisa karena ada ketegangan sosial, atau karena sesuatu dalam kekacauan sosial yang memungkinkan terjadi gesekan sosial, guru-guru pengijazah biasanya lebih banyak didatangi oleh para peminta ijazah. Contoh yang saya saksikan soal ini, adalah ketika terjadi pembantaian guru ngaji di Banyuwangi, yang berkedok pembantaian dukun santet, dimana-mana terjada ijazahan amalan tertentu atau peng-asma’-an. Jumlah peminta ijazah lebih banyak dari hari-hari biasanya. Setelah situasi sosial mereda dan normal, di antara para pengamal ijazah ini ada yang bertumbangan dan meninggalkannya, tetapi juga ada yang meneruskannnya.

Pengambilan ijazah murid dari guru amalan, akan memberi manfaat kepada pengambil ijazah, yang amalannya diteruskan oleh murid-muridnya kelak. Selain itu, amalan yang dijalaninya, akan menambah bacaan jumlah Fatihah yang dikirim murid kepada guru, karena bertambah jumlah murid yang mengambil ijazah, yaitu pembacaan surat Fatihah dalam kiriman wasilah-wasilah. Dalam keadaan seperti itu, penetapan dan konsistensi dzikir amalan, pada akhirnya disadari para pengamal sebagai anugrah dari Alloh, karena banyak pengamal yang sama jenis amalan dan gurunya, ada yang berhenti; dan juga tergantung niat-niat yang dimasukkan dalam amalan-amalan itu.

Pesantren yang menjadi basis dari guru-guru pemberi ijazah amalan yang disebut ampuh, banyak tersebar di pesantren di pesantren-pesantren kecil dan pesantren-pesantren besar. Selain itu ada pesantren-pensatren yang mengkhususkan belajar ilmu-ilmu hikmah dan tirakatan. Akan tetapi perkembangan pesantren yang sperti ini, seiring dengan banyak pesantren yang mengadopsi sistem sekolahan, muridnya semakin sedikit, dan tidak popular. Hanya orang-orang tertentu yang mengerti dan amau menganggap ilmu-ilmu semacam amalan tertentu dalam ilmu hikmah, itu menjadi penting, dia akan memburunya. Sedangkan bagi murid-murid yang pada umumnya hanya ta’lim,  pesantren yang sudah banyak mengadopsi ilmu sekolah, dan semakin termodernisasi, minat terhadap ilmu-ilmu amalan ini semakin kecil, kecuali wirid-wirid standar

Di luar pesantren, juga banyak guru-guru yang mengajarkan dan memiliki ilmu-ilmu hikmah seperti di atas, meskipun kadang-kadang di tengah kampung, hanya menjadi guru TPQ, ngimami sholat di masjid, dan sejenisnya. Mereka ini juga kadang diminta bantuan untuk menghadapi kesulitan gangguan jin-santet, kelancaran kelahiran, dan memimpin ritual kampung, tetapi juga mampu melihat dunia barzakh, membuka menutup, dan hal-hal yang berkaitan dengan dunia seperti itu.

Dan, menjadi jelas, keberadaan para guru amalan ilmu-ilmu hikmah, dan murid-murid yang mengambil amalannya adalah salah satu aspek penting dari penyangga Islam Jawa tetap lestari, meskipun di sana sini terjadi kehidupan modern di kalangan masyarakat muslim Jawa. Semua ini  berbarengan dengan semakin bergesernya makna-makna filosofi pada arsitektur, makna-makna filosofi pada busana dan kecantikan, terkomersialiasinya resep-resep herbal, mudahnya jangkauan komunikasi individual di kalangan masyarakat karena ada jaringan nirkabel, dan ekses-ekses lain yang berpengaruh terhadap tatanan Islam Jawa sendiri. Para guru amalan ilmu-ilmu nhikmah dan murid-muridnya masih saja banyak didatangi orang dari kalangan dekat dan jauh, bahkan seringkali dari mereka yang sudah bergelimang dengan modernitas dan kaum sekolahan.

Walhasil dan Peringatan

Sebagian pengamal ilmu-ilmu hikmah, karena sudah berpengalaman melihat saroir dari amalan-amalan itu, menceritakan kepada saya agar tidak fokus kepada hizib-hizib tanpa menekuni wirid-wirid yang berisi istighfar,  sholawat, membaca Al-Qur’an, atau wirid yang diambil dari ayat Al-Qur’an, dan baiat tarekat.  Seorang mubtadi, pemula di jalan ilmu-ilmu seperti ini ini, menceritakan pengalamannya, ketika mengamalkan wirid-wirid seperti ini, berefek pada kesombongan-kesombongan halus yang menggangu dalam berinteraksi dengan orang; dan kontrol terhadap emosi sulit dilakukan; dan menurutnya, berefek pada malas belajar, sehingga ditinggalkan dan berganti kepada ta’lim.

Sebagian lain, yang cukup lama berkecimpung di dalam ilmu seperti ini, dengan fokus pada hizib tertentu, terutama pada hizib yang dikenal keras, berefeka pada hadirnya pasukan-pasukan ghaib kadang berseliweran di sekitar rumah abagi yang diperlihatkan, dan membuat orang-orang lain, yang pernah melihat menjadi takut. Selain itu, tidak jarang ketika sang pengamal yang sudahpada tahap memperoleh sedikit khowash-nya, ketika agak marah atau membentak, berefek pada sakit atau tidak baik kepada orang yang dibentak. Karena sering seperti ini, sang pengamal yang menceritakan kepada saya ini, kemudian meninggalkan wirid hizib sejenis ini, dan lebih menekuni kepada wirid yang lain, yang tidak berefek seperti itu, seperti ke sholawat, istighfar, dan sejenisnya.

Meski begitu, sebagian pengamal yang bercerita kepada saya, dengan amalan wirid yang sama dari jenis kedua tadi, dalam jangka waktu tertentu, merasa memperoleh manfaat dan ketika berdoa banyak dikabulkan oleh Alloh. Karena efek yang baik ini, kemudian dia mudawamah dan meneruskan, amalan wirid-hizib yang diamlkan oleh orang lain dengan jenis amalan hizib sama, berefek tidak baik. Dengan demikian, pengamalan wirid tertentu di dalam ilmu-ilmu hikmah, harus sampai pada tingkat mengerti saroir dari amalan-amalan wiridnya itu, sampai dia memperoleh kesimpulan; dan mampu menguasai  efek-efek dari wirid yang dilakukan, kapan dia tetap melanjutkan dan kapan dia bisa meninggalkan wirid, sang pengamallah yang harus bisa mengolah, meskipun sama-sama semua memperoleh dari seorang guru pemberi ijazah yang sama sekalipun.

Dari pengalaman bertemu dengan para pengamal wirid ilmu-ilmu  hikmah, kebanyakan mereka mengakui bahwa amalan-amalan yang dapat menjadi wasilah, menjadi tambah baik hidupnya, tambah barokah, adalah amalan-amalan yang berhubungan dengan pembacaan wirid-wirid dari ayat Al-Qur’an, istighfar, sholawat, tasbih, baiat tarekat, dan sejenisnya. Kalaupun menggunakan amalan hizib, diteruskan dengan mengambil tarekatnya sekalian; atau diimbangi dengan lipatan jumlah sholawat dan istighfar yang banyak. Setelah itu, bagaimana menjalani hidup, dengan tetap berkiprah di masyarakat, tetapi juga tetap melakukan istighotsah melalui wirid-wirid dan amalan-amalan; mengganti keluhan-keluhan kepada manusia, dijadikan munajat-munajat hanya kepada Alloh, dan tetap memiliki harapan di tengah berbagai goncangan hidup yang pernah ia hadapi.

Mereka yang telah melewati ini, menyadari lebih baik mengumpulkan menjadi ahli ilmu-ilmu zhahir dan ilmu-ilmu batin sekaligus, bukan hanya menjadi ahli batin saja; dengan terus beramal diperkokoh niat-niat yang baik, disertai munajat untuk meminta istiqomah dzikir, meminta selamat iman dan Islam, bertambah rizqi barokah, dimudahkan urusan, dijadikan umurnya barokah, menjadi khusnul khatimah, dan doa-doa lain yang baik.

Wallohu alam.

0
3270
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.