Lombok
Satu istilah yang terbayang, jika orang-orang menyinggung perihal tradisi pernikahan Suku Sasak adalah “budaya mencuri calon pengantin perempuan”. Sebagai orang Sasak saya tidak akan mengelak term yang sudah jamak di kalangan masyarakat umum itu. Tapi penekanan saya bukan pada makna harfiah dari istilah yang kontradiktif tersebut. Melainkan mencoba memaparkan secara utuh adat penikahan Suku Sasak, sehingga istilah kunci itu, bisa diterima sebagai suatu kewajaran dalam arti positif.
Secara umum, masyarakat Suku Sasak yang mayoritas beragama Islam memandang bahwa prihal jodoh, rizki dan kematian adalah tiga perkara yang menjadi Hak Tuhan. Oleh karenanya masyarakat Suku Sasak menilai kurang baik, jika ada yang mengintervensi tiga ketetapan Tuhan tersebut.
Untuk urusan jodoh, sudah menjadi rahasia umum bahwa ada tradisi yang dengan terpaksa saya sebutkan di sini yakni tradisi “mencuri” atau “menculik” mempelai perempuan sebagai langkah pertamanya.
Alasan sadar saya menghindari sekuat tenaga kosa kata yang bermasalah itu karena makna konotatif maupun makna donotatifnya sudah terlanjur diasosiasikan “negatif” oleh orang yang belum memahami konteksnya.
Saya akan berusaha keluar dari jebakan istilah yang kontradiktif itu, demi menjelaskan bagaimana sesungguhnya esensi dari seluruh rangkaian panjang, tradisi pernikahan Suku Sasak dihayati sepenuhnya sebagai upaya menjaga prinsip kerukunan hidup bersama yang berlandaskan nilai-nilai luhur, di satu sisi. Dan pengejawantahan inklusifitas ajaran Islam, di sisi lain.
Meski demikian, apa yang saya coba ungkapkan ini, tidak lantas menjadi standarisasi yang rigid. Karena kenyataannya, ada tahapan-tahapan yang dilaksakan dengan cara berbeda juga. Saya hanya akan berbagi pemahaman tentang tradisi pernikahan Suku Sasak, berdasarkan apa yang pernah saya sasksikan secara langsung.
Rangkaian Acara Adat, Pernikahan Suku Sasak
Seperti yang telah saya singgung sebelumnya bahwa langkah pertama dari pernikahan Suku Sasak adalah “menculik” calon pengantin perempuan. Di Lombok sendri acara menculik itu lebih populer dengan istilah Merangkat.
Dalam batasan-batasan tertentu, perbedaan cara pandang dalam menilai norma etis masing-masing suku bangsa di Indonesia membuat istilah “menculik” atau “mencuri” bagi masyarakat Suku Sasak tidak melulu ditafsirkan dengan tindakan negatif.

Ilustrasi Merangkat: Genpi.id
Bagi masyarakat Suku Sasak, menikah dengan cara menculik pengantin perempuan adalah sebuah simbol keberanian, kesungguhan dan kematangan berpikir calon pengantin laki-laki, termasuk dalam hal menjemput untung jodohnya sendiri. Ia juga dinilai sudah melakukan tindakan yang benar, karena tidak meminta calon istri kepada orang tuanya secara langsung atau dengan kata lain tidak mengasumsikan jiwa manusia (calon pengantin perempuan) sebagai barang seperti umumnya transaksi jual beli saja.
Selanjutnya tindakan menculik ini nantinya berimplikasi pada seluruh rangkaian acara pernikahan adat Suku Sasak yang ditanggung oleh pihak laki-laki. Sebab, dalam konteks ini pihak laki-laki menjadi pihak yang dinilai “bersalah” atau bertanggung jawab karena telah mengambil anak gadis, dari tangan orang tuanya.
Setelah merangkat, acara selanjutnya adalah Sejati-Selabar. Sejati Selabar merupakan satu rangkaian acara adat yang makna esensinya adalah mengabarkan kepada keluarga dan khalayak di desa asal (domisili) mempelai perempuan bahwa pada malam hari ia telah pergi, diambil kawin oleh mempelai laki-laki.
Sedangkan secara spesifik Sejati, sejatinya bermakna memberikan kabar kepada masyarakat desa, asal pengantin perempuan melalui pemerintahan desa di kantor desa. Dan Selabar bermakna memberi kabar kepada pihak keluarga mempelai perempuan melalui Kepala Dusun atau keliang, selaku pihak yang bertanggung jawab kepada seluruh warga di lingkungannya.
Tata cara pelaksanaan selabar sama persis dengan cara Besejati hanya saja Selabar dilangsungkan di rumah Kepala Dusun atau Keliang tempat mempelai perempuan tercatat sebagai warganya. Kemudian Kepala Dusun lah yang nantinya meneruskan kabar tersebut kepada pihak keluarga mempelai perempuan.
Selang beberapa hari setelah Besejati-Selabar dilangsungkan. Acara selanjutnya Nuntut Wali, yakni diutusnya beberapa orang-orang kepercayaan dari pihak laki-laki untuk meminta kesediaan pihak keluarga pengantin perempuan sebagai wali dalam acara akad nikah.
Setelah acara akad nikah dilaksanakan, acara berlanjut ke acara negosiasi terkait tata cara atau kelayakan melangsungkan upacara adat, acara tersebut biasanya populer dengan istilah “rebak pucuk, bait janji dan nunas panutan”. Caranya, pihak mempelai laki-laki mengutus beberapa orang-orang kepercayaannya untuk membicarakan tentang pelaksanaan upacara inti yakni Sorong Serah Aji Krame. Tak jarang proses negosiasi ini berlangsung alot, karena sulitnya kata sepakat antar kedua belah pihak.
Masuk ke acara inti yakni, upacara Sorong Serah Aji Krame. Sorong Serah Aji Krame bermakna sebagai simbol serah terima pengantin untuk mengarungi rumah tangga baru. Pihak keluarga perempuan asumsikan sebagai pihak yang melepas atau menyerahkan dan pihak laki-laki sebagai penerimanya.
Upacara puncak sidang “krame adat” perkawinan bangsa sasak atau Sorong Serah Aji Krama ini menjadi penting maknanya, karena upacara yang dihadiri oleh para sesepuh, para pengelingsir, kepala desa, kepala dusun (keliang) dari kedua belah pihak, dane-dane (tamu undangan) atau masyarakat umum merupakan momen yang paling baik untuk menegaskan bahwa secara adat kedua mempelai, dinyatakan secara syah menjadi pasangan suami istri. Bersamaan dengan itu, pengantin telah dianggap siap hidup bermasyarakat dengan status barunya.
Berikut perlengkapan, isi “kotak” yang dipertunjukkan di dalam upacara Sorong Serah Aji Krame sebagai simbol adat: Nampak Lemah bermakna “nyata” dan “tanah” yang disimbolkan dengan sejumlah barang berharga umumnya berupa uang. Sebagai simbol harkat dan martabat yang dimiliki manusia. Olen-olen berupa benang yang sudah menjadi kain, melambangkan kelahiran manusia tidak bisa terlepas dari kepeng dan benang.
Kemudian ada Sesirah Aji yang menjadi simbol inti kehidupan di atas dunia ini berupa: Bokor sebagai perlambang sebuah bumi atau dunia. Kain Putih sebagai perlambang kesucian. Kain Hitam sebagai perlambang adat. Benang Katak sebagai perlambang pengkiat agama dan adat agar dapat menjadi satu kesatuan. Artinya bahwa agama dan adat sudah ada pada satu wadah yaitu dunia sehingga harus berjalan beriringan.
Terakhir ada Salin Dede yang bermakna pergantian tanggung jawab asuh anak dan kesiapan menjalani kehidupan baru sebagai sebuah keluarga. Salin Dede ini dilambangkan dengan beberapa macam benda yaitu : Ceraken, kotak tempat bumbu-bumbu, Tepak atau wadah memandikan bayi, Periuk dari tanah liat, Suluh bambu untuk meniup perapian, Sabuk Anteng, Lempot Pumbak (kain gendongan anak), Piring kecil atau tempat makan bayi, Gadang, Pamungkas Wacana atau Pemegat, Pemongkol atau Tedung Arat berupa sejumlah uang yang diserahkan kepada kepala dusun asal pengantin wanita, Kebo Turu dilambangkan dengan keris dan warangkanya, dimana keris sebagai simbol lelaki dan warangka merupakan simbol untuk perempuan, Gaman Desa atau Pembukaq Jebak, zaman dahulu berupa tumbak dan senjata tajam lainny. Namun karena sekarang benda-benda itu sudah langka maka tombak atau senjata tajam itu diganti dengan sejumlah uang yang telah ditetapkan di desa setempat dan terakhir alat-alat sebagai simbol untuk Babat Alas.
Apabila seluruh rangkaian acara sudah dilaksakan maka ada satu acara lagi yakni Mbales Ones Nae yakni sebuah acara silaturrahmi pihak kelurga terdekat pengantin laki-laki ke rumah orang tua pengantin perempuan, tujuannya beramah-tamah sebagai sebuah hubungan kekerabatan baru. Mbales Ones Nae juga dijadikan sebagai ajang untuk saling memaafkan oleh kedua belah pihak, jika dalam setiap rangkaian acara pernikahan yang sudah dilalui terbersit kesalahan dan ketersinggungan masing-masing pihak.
Dari seluruh rangkaian upacara adat pernikahan suku sasak ini. Saya menangkap dua poin yang paling esensial. Dimana perumusan atau tatacara pelaksanaan adat istiadat selalu disandarkan pada nilai-nilai universal ajaran Islam. Artinya secara tidak langsung masyarakat suku sasak telah menyadari betul bahwa agama dan adat istiadat sebagai dua tuntunan hidup yang berbeda (tapi tidak bertentangan) memiliki visi-misi yang sama yakni menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.
Sebagai turunan dari poin pertama, saya kira masyarakat Suku Sasak sangat bertanggung jawaaba dan amat menghargai kedudukan perempuan. Seperti yang telah saya singgung bahwa, idealnya acara adat pernikahan itu ditanggung seluruhnya oleh pihak laki-laki. Karena, secara simbolis pihak laki-laki dianggap “bersalah”.
Meski demikian tidak berati pihak perempuan nantinya semena-mena menagih biaya gawai pernikahan kepada pihak laki-laki. Pertimbangan kesiapan dan kesanggupan pihak laki-laki itulah yang lebih utama.
Akhirnya saya sampaikan bahwa apa yang saya ungkapkan dalam kesempatan ini tidak lain merupakan salah satu tata cara pernikahan yang berlaku di Pulau Lombok sebagai alternatif.
Adapun realitanya, sebagai akibat kontak budaya dengan pihak luar, pernikahan dengan cara atau budaya hibrid juga sudah sering diaplikasikan di Lombok. Dan tidak sedikit juga masyarakat Suku Sasak yang mengadopsi penuh tata cara pernikahan dari daerah luar, seperti prosesi lamaran dan atau penyelenggaraan pesta pernikahan.
***
Di masa-masa awal saya duduk di bangku sekolah dasar, saya sedikit heran oleh salah seorang teman kelas saya bernama Martinjun. Saya heran, mengapa namanya sedemikian berbeda dengan nama teman-teman pada umumnya. Belakangan saya menemukan lebih banyak lagi nama-nama unik semacam itu. Sebut saja seperti Sirtupilaili, Repatmaja, Umar Maya, Kelasuara, Taptanus, Sentanus dan nama-nama unik lainnya.
Tidak berhenti sampai di sana, dalam beberapa kesempatan, jika masyarakat ingin mengungkapkan ketampanan atau kecantikan seseorang, maka mereka dengan segera merujuk nama sosok “Jayengrana” jika orang yang dimaksud itu laki-laki dan “Dewi Rengganis” jika ia perempuan.
Awalnya, minimnya narasi-narasi kebudayaan adiluhung seperti khazanah Wayang Menak di lingkungan saya, membuat saya tidak terlalu mempersoalkan nama-nama yang saya anggap di luar kebiasaan itu. Meskipun saya tidak percaya pada sesuatu yang berangkat dari ruang kosong. Barulah belakangan ini saya mulai memikirkan nama-nama itu, setelah saya memberi perhatian terhadap anasir-anasir tentang dunia pewayangan.
Eksistensi Wayang Kulit Menak di Lombok
Tradisi atau kebudayaan yang berkembang di pulau Lombok, pulau yang dihuni oleh mayoritas Suku Sasak ini, merupakan kebudayaan yang terbentuk dari perpaduan budaya Jawa dan Bali.
Sederhananya hal ini dapat dibuktikan dari bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakat dalam berkomunikasi, yakni Bahasa Sasak. Di dalam Bahasa Sasak, kita bisa mendapati istilah yang identik atau yang berlaku di daerah Bali dan Jawa. Demikian halnya dengan tradisi sastra dan atau seni pertunjukan wayang kulit.
Bedanya, jika kecenderungan Jawa dan Bali memainkan Wayang Purwa yang masih dipengaruhi oleh anasir-anasir dari epos besar Ramayana dan Mahabarata. Maka wayang Sasak lebih cenderung memainkan wayang yang seluruhnya di ambil dari Serat Menak.
Serat Menak merupakan naskah gubahan Para Sunan atau penyebar Islam, di masa-masa awal Islam masuk ke Nusantara. Dimana isi Serat Menak sepenuhnya mengadopsi Hikayat Amir Hamzah, dari Persia.
Pada umumnya Wayang Menak, berkembang di daerah pesisir maupun di pedalaman Nusantara. Seperti di wilayah Sumatra, Sulawesi, di sebagian wilayah Jawa Barat seperti Sunda. Tidak terkecuali di Pulau Lombok.
Konon Wayang Menak diperkenalkan ke daerah Lombok, menggantikan Wayang Purwa semenjak “Rupa Candra Sasi Nabi” yang dalam Canda Sangkala berarti tahun 1111 Hijriah. Adapun jika dikonversi ke penanggalan Masehi mendekati tahun 1669 Masehi. Tahun ditulisnya serat menak oleh Yasadipura.
Menurut Kun Zahrun Istiani, Staf pengajar Jurusan Sastra Indonesia di UGM. Jika karya sastra pra-Islam lebih cenderung bersifat ekslusif atau hanya bisa dinikmati oleh kalangan istana saja. Maka Wayang Menak lebih cenderung bersifat inklusif dan universal. Karena Wayang Menak, telah disesuaikan pengemasannya dengan tradisi-budaya setempat, tanpa mengurangi spirit kemanusiaan dan pesan ketauhidan yang ditawarinya. Sehingga tak heran jika Wayang Menak bisa diterima dengan mudah dan meluas oleh hampir semua lapisan masyarakat.
Wayang Menak sendiri mengisahkan kisah hidup seorang raja dari Negeri Mekah yang sudah memeluk agama Islam yang nantinya menaklukkan banyak kerajaan-kerajaan lain sembari mendakwahkan Islam. Raja tersebut bernama Raden Jayengrana yang tidak lain adalah Amir Hamzah, paman Nabi Muhammad S.A.W, putra ke-12 dari Abdul Muthalib.
Raden Jayengrana sangat dihormati dan disayangi oleh rakyat, serta disegani oleh lawan maupun kawan, karena memiliki sifat welas asih dan kemampuan atau kesaktian luar biasa hingga dalam beberapa kesempatan Jayengrana mendapat berbagai julukan antara lain Amirul Mukminin (yang berarti pemimpin orang-orang mukminin), Wong Agung Menak (yang berarti sosok yang agung), Jayangpulagon (yang berarti kesatria yang selalu memenangkan peperangan), Jayengsatru (yang berarti sosok yang selalu bisa mengalahkan musuh-musuhnya), dan banyak lagi julukan lainnya.
Dikisahkan juga bahwa Jayengrana memiliki banyak istri. Kecenderungan istri-istri yang dinikahi oleh Jayengrana merupakan putri raja dari kerajaan yang ditaklukkannya. Sebut saja semisal Munigarim, istri pertamanya yang merupakan putri kedua dari Prabu Nursiwan dari Kerajaan Medayin. Dan nantinya Wong Agung Menak menikahi Marpinjun yang tidak lain adalah adik Munigarim. Marpinjun sendiri dinikahi Jayangrana setelah Munigarim meninggal.
Kemudian Sirtupilaili merupakan putri dari Pandita Sirtu Alam yang dinikahi oleh Raden Jayengrana. Sedang Kelaswara adalah istri Jayengrana yang merupakan putri dari Prabu Kelan Jali, Raja Kerajaan Kelan. Dan dari perkawinan ini nanti lahir seorang putra bernama Repatmaja. Repatmaja yang nantinya menikahi Dewi Rengganis, seorang putri raja yang terkenal dengan kecantikan dan kesaktiannya. Konon, kesaktian Dewi Rengganis diperolehnya setelah ia diasuh dan dibesarkan oleh jin dari kerajaan gunung, kerajaan Dewi Anjani pada masa kecilnya.
Sedang Umar Maya adalah nama tokoh putra Tembi Jumaril dari Talkandangan. Ibunya bernama Siti Mahya, saudara tertua Abdul Mutalib (ayah Jayengrana). Jadi, Umar Maya adalah Paman Jayangrana. Umar Maya merupakan tokoh protagonis yang selalu menyertai Jayangrana. Intensitas kehadarian Umar Maya menyertai Jayangrana melebihi dua tokoh kembar Taptanus dan Santanus, keponakan Raja Adis dari Negeri Yunani. Umar Maya memiliki kesaktian dan keahlian seperti: bisa terbang, bisa mengobati berbagai macam penyakit, bisa menghilang dan mampu menulis di atas lempeng baja dengan jemarinya.
Saya sungguh kagum dengan masyarakat Suku Sasak yang sangat lekat dan mencintai dunia pewayangan. Bagaimana tidak, mereka mengaktualisasikan kecintaan mereka kepada wayang lewat pemberian nama keturunan atau buah hati mereka dengan nama-nama tokoh pewayangan Menak. Walaupun nama-nama itu sangat terkesan sederhana, kolot atau dianggap tidak islami. Namun, jika ditelisik lebih dalam, justru nama-nama yang seperti itu malah menunjukkan suatu spirit keislaman. Islam yang sudah mendarah daging dalam sejarah masyarakat Suku Sasak.