Menu

Tariqat

Pada abad ke-18 tercatat empat sekawan melawat ke Haramain untuk menunaikan keinginan mencari ilmu. Empat sekawan yang dimaksud adalah Muhammad Arsyad al-Banjari, Abdul Wahab al-Bugisi, Abdurrahman al-Misri dan Abdusshomad al-Palimbani. Bila ditilik nisbah nama yang berada di belakang masing-masing murid ini, mereka berasal dari berbagai daerah di Nusantara.

Para mukimin di tanah suci memiliki peranan yang amat penting dalam hal kaitan kehidupan keagamaan di daerah Nusantara. Kelompok mukimin ini disebut oleh orang arab dengan jam’iyyat al-jawiyyin. Azra dalam “Jaringan Ulama  Timur Tengah & Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII” menyebutnya dengan Ashab al-Jawiyyin (saudara Jawi). Komunikasi yang terbangun tidak sekedar personal antara guru dan murid sebagai manifestasi jaringan intelektual, melainkan juga secara kelembagaan antara Khadim al-Haramain dengan Raja-raja di Jawi (baca: Nusantara). Teks Sulalat Salatin Misalnya, yang di dalamnya terdapat kisah Sultan Mansur Syah (bertahta 1459-1477) menerima kitab berjudul Durr Manzum yang dikirim oleh Sultan ke Pasai agar diterjemahkan (Sulalat, 1997: 120). Raja Banten Abu Mafakhir (1626-1651) mengirimkan delegasi ke Mekkah sekitar tahun 1936 untuk meminta penjelasan tentang tiga karangan: Nasehat al-Muluk karya al-Ghazali, al-Muntahi karangan Hamzah Fansuri dan sebuah dokumen yang berisi ajaran wahdat al-wujud. Utusan tersebut pulang ke Banten kisaran tahun 1938 dengan membawa jawaban Mekkah berupa karangan Ibnu Alan al-Siddiqi. Meski kemudian Djayadiningrat membatalkan kisah tersebut dengan menyebutnya fiktif, namun belakangan banyak pakar yang membenarkan cerita tersebut.

Bagi al-Palimbani, melawan kaum kafir hukumnya adalah wajib bagi kaum muslim.

Nama Abdusshomad Palimbani dipertalikan erat dengan gerakan jihad -melawan penjajah kafir- di Nusantara. Ia yang lama hidup di Mekkah (1734-1789) pernah menulis sebuah risalah tentang jihad dalam bahasa Arab berjudul “Nasehat al-muslimin wa tadzkirat al-mukminin fi fadhaili al-jihad fi sabilillah wa karamat al-mujahidin fi sabilillah”. Kitab ini kerap disebut secara singkat dengan judul Fadhail al-Jihad saja. Bagi al-Palimbani, melawan kaum kafir hukumnya adalah wajib bagi kaum muslim. Naskah tersebut disebut-sebut mengilhami “perang suci” di Pasai (Aceh) pada akhir abad ke-19 berdasarkan Hikayat Perang Sabil.

Terdapat informasi yang menyebutkan bahwa al-Palimbani menulis surat kepada Sultan Hamengkubuwana I dan Pangerangan Singosari (Amangkurat IV) pada tahun 1771 yang berisi sanjungan tentang hal ihwal jihad. Data tersebut didasarkan dari surat yang disita Belanda, yang ditemukan pertama kali oleh Ricklefs dari arsip kolonial Belanda. Menurut Ricklefs kedua surat tersebut berisi desakan untuk melancarkan jihad. Pendapat ini disepakati setidaknya oleh Azra (1976: 267-271) dan Bruinessen (1995: 331). Berbeda dengan Drewes, sebagaimana dikutip Cambert-Loir yang menganggap pujian itu hanya sebatas pengantar surat bukan himbauan untuk berjihad dengan segera (Cambert-Loir: 2013, 37). Surat-surat serupa memungkinkan banyak ditemukan disebarkan di masjid-masjid di Sala, Pranaraga dan Patiyaniman pada Juli 1786.

Semangat Jihad juga berpengaruh pada kelompok tarekat.  Gejala ini mulai gencar pada akhir abad ke-19 di berbagai daerah. Ajaran tarekat diterima para jemaah haji yang ke Mekkah atau syekh dan khalifahnya datang secara langsung ke Indonesia. Sehingga semakin bertambah jumlah jemaah haji bertambah pula para pengikut tarekat. Misalnya saja Tarekat Sammaniyah yang terlibat pemberontakan anti-Belanda di Palembang (1819) dan di Kalimantan Selatan (1860-an); Tarekat Qadiriyah wa al-Naqsyabandiyah – yang didirikan oleh Syaikh Khatib Sambas – di pemberontakan Banten (1888), Sidoarjo (1903), Lombok (1981-1984); tarekat Sattariyah di tanah Minangkabau tahun 1908 tentang penolakan terhadap pajak.

Gerakan tarekat bukan awal gerakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Perlawanan sebenarnya telah ada, namun demikian kelompok tarekat menginisiasi untuk turut bergabung dengan potensi social capital yang lebih menjanjikan dan komunikasi gerakan yang lebih terorganisir. Hal ini mengingat hierarki kelompok tarekat yang didasarkan atas ketundukan mutlak kepada keputusan mursyid. 

Mulanya Abdusshomad ingin melanjutkan belajarnya ke al-Azhar Mesir. Sampai di Jeddah ia mengalami perjumpaan dengan seseorang yang berdzikir tidak hanya lisannya, melainkan semua tubuhnya ikut bergetar. Maka ia berkenalanlah dengan orang tersebut untuk diajari dzikir Sammaniyah. Orang tersebut adalah Shiddiq bin Umar Khan al-Madani, Khalifah syaikh al-Samman. Dari Shiddiq bin Umar, Abdusshomad diantarkan untuk bertemu secara langsung dengan syaikh al-Samman dan berguru kepada beliau.

Abdusshomad al-Palimbani adalah tokoh yang amat berjasa menyebarkan ajaran tarekat Sammaniyah di Indonesia, selain rekannya Nafis al-Banjari dan Muhyiddin bin Syihabuddin al-Palimbani. Ia sempat berguru langsung kepada peletak dasar tarekat tersebut, yakni Syaikh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman dan murid seniornya Shiddiq bin Umar Khan al-Madani penulis syarah kasidah al-Nafhah al-Qudsiyyah. Mulanya Abdusshomad ingin melanjutkan belajarnya ke al-Azhar Mesir. Sampai di Jeddah ia mengalami perjumpaan dengan seseorang yang berdzikir tidak hanya lisannya, melainkan semua tubuhnya ikut bergetar. Maka ia berkenalanlah dengan orang tersebut untuk diajari dzikir Sammaniyah. Orang tersebut adalah Shiddiq bin Umar Khan al-Madani, Khalifah syaikh al-Samman. Dari Shiddiq bin Umar, Abdusshomad diantarkan untuk bertemu secara langsung dengan syaikh al-Samman dan berguru kepada beliau. Perjumpaannya ditengarai di Mekkah ketika al-Palimbani menetap di sana. Angka wafat al-Samman ber-tarikh 1775, sedangkan masa menetap al-Palimbani di Mekkah tahun 1734 hingga 1789.

Muhammad bin Abdul Karim al-Samman (w. 1775) awalnya adalah seorang penjaga kuburan Nabi dan penulis beberapa kitab tentang metafisika sufi.  Belakangan ia punya inisiasi untuk menggabungkan beberapa amaliah tarekat yang diperolehnya antara lain Khalwatiyyah, Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah serta tarekat Syadziliyyah besutan Abu al-Hasan al-Syadzili dari Afrika Utara. Perpaduan ini kemudian disebut dengan tarekat Sammaniyyah. Secara formal acapkali dikatakan bahwa tarekat ini adalah percabangan dari tarekat Khalwatiyyah sebab pendalamannya yang lebih dulu pada tarekat tersebut melalui gurunya Mushtafa Bakri. Pada perkembangannya tarekat ini memiliki zawiyyah tersendiri yang berlepas sama sekali dengan Khalwatiyyah.

Selepas wafatnya syaikh al-Samman banyak orang Jawah yang belajar kepada Khalifahnya yaitu Shiddiq bin Umar Khan dan Abdusshomad al-Palimbani. Keduanya telah diberi wewenang untuk mengajarkan sekaligus membaiat pengikut Sammaniyah. Murid-murid Sammaniyah banyak tersebar di Kalimantan Selatan, Batavia (baca: Jakarta), Sumbawa, Sulawesi Selatan dan Semenanjung Melayu. Nisbah nama di belakang murid Sammaniyah membantuk mengidentifikasi asal mereka seperti Nafis al-Banjari yang berasal dari tanah Banjar Kalimantan Selatan. Di Sulawesi Selatan tarekat Sammaniyah bertemu dengan Khalwatiyah yang lebih dulu masuk melalui Syaikh Yusuf Makasar. Keduanya berkontestasi pada awalnya dan berkolaborasi pada perkembangannya. Praktik Khalwatiyah-Sammaniyah adalah modifikasi sekaligus kolaborasi keduanya yang membedakan antara pengikut Sammaniyah di tempat lain di Nusantara.

Catatan Martin ketika menulis “Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat”, terbit tahun 1995, di daerah kelahiran Abdusshomad Palembang dan sekitarnya tarekat Sammaniyah masih diajarkan. Dalam hal ini penulis belum meneliti lebih lanjut keadaan zawiyah dalam konteks hari ini. Hal yang ingin penulis tekankan adalah silsilah tarekat tersebut. Bahwasannya K.H.M. Zen Syukri, guru terkemuka Sammaniyah menerima baiat dari ayahnya K.H. Hasan bin Ashari yang menerima pula dari ayahnya Kemas H.M. Azhari bin Abdullah dari Abdullah bin Ma’ruf. Begitu juga ia menerima dari ayahnya, Ma’ruf, yang menerima dari Muhammad bin Aqil bin Hasanuddin al-Palimbani, yang menerima tarekat tersebut dari Abdusshomad al-Palimbani.

Relasi Abdusshomad dengan ulama fikih pada masanya dapat dilihat dari isnad-isnad fikih yang diterbitkan oleh Syaikh Yasin Padang (Muhammad Yasin bin Muhammad Isa al-Fadani), mudir madrasah Darul Ulum Mekkah. Isnad Syaikh Yasin banyak melalui Abdusshomad yang juga menyebutkan nama-nama orang Palembang. Ini artinya Abdushhomad selama belajar di Mekkah maupun Madinah juga berada di lingkungan orang Palembang. Misalnya dalam bidang fikih Syaikh Yasin menyebutkan nama Hasnuddin bin Jakfar al-Falimbani, Saudaranya Thayyib bin Jakfar dan Shalih bin Hasanuddin al-Palimbani.  Sedangkan murid Abdusshomad yang tercatat seperti Muhammad Arsyad al-Banjari, Mahmud bin Kanan al-Palimbani dan (mungkin secara tidak langsung) Salih bin Umar al-Samarani (Kyai Soleh Darat Semarang) seorang penulis yang amat produktif.

Dalam bidang Tasawuf, Syaikh Yasin hampir semuanya menyebutkan nama Abdusshomad dalam jejaring isnad-nya, dan tentu saja Nawawi al-Bantani (1813-1897)*. Dalam isnad tersebut disebutkan beberapa nama guru Abdusshomad seperti Murtadha al-Zabidi, Sayyid Ahmad bin Sulaiman al-Zabidi, Sayyid Ali bin Abd al-Barr al-Wana’ani dan Abdurrahman bin Mustafa al’Aidarus. Hanya seorang saja yang disebutkan sebagai orang Nusantara yaitu Aqib bin Hasanuddin al-Palimbani. Dari Aqib bin Hasanudin itulah Abdusshomad belajar kitab induk tasawuf falsafi al-Futuhat al-Makkiyah karya Ibnu Arabi. K.H.M. Zen Syukri justru mengidentifikasi Aqib bin Abdullah adalah murid Abdusshomad.

*Sebagai catatan kritis Martin, bahwa al-Bantani hidup satu abad setelah al-Palimbani sehingga tentu saja tidak mungkin pernah bertemu secara langsung. Ada indikasi bahwa al-Bantani tidak menyebutkan perantara dirinya dengan al-Palimbani meskipun dalam redaksi isnad-nya menggunakan kata “an” (indo: dari). Dugaan Martin sebab memungkinan orang tersebut tidak dianggap populer. Dalam perbandingan jalur Syaikh Yasin yang lain disebutkan nama Mahmud bin Kan’an al-Palimbani. Dalam tradisi ilmu hadis perilaku semacam ini dikenal dengan istilah tadlis al-syuyukh (penyembunyian nama guru).

Jelang Subuh, Bantul, Maret 2020

Referensi Bacaan

  1. Martin Van Bruineseen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat.
  2. Hendri F. Isnaeni, Doktrin Agama Syaikh Abdul Karim al-Bantani dalam Pemberontakan Petani Banten 1888.
  3. Hendy Chambert-Loir dkk, Naik Haji di Masa Silam: Tahun 1482-1890.
  4. Syaikh Yasin Padang, al-‘Uqdatu al-Farid min Jawahir al-Asanid.
  5. Azumardi Azra, Jaringan Ulama  Timur Tengah & Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII

Dengan memohon bantuan Allah yang Rahman dan Rahim.  Sholawat dan salam untuk Kanjeng Nabi, para ashab, ahli bait, dan umatnya. Membahas Pesantren, di kalangan muslim Jawa abad XV-XVII adalah masa dimana Islam mulai masuk di Jawa secara lebih massif, meskipun sebelumnya sudah ada kontak-kontak dan usaha untuk menyebarkan Islam di pulau ini oleh para penyebar Islam yang lebih awal. Orang-orang Islam yang dianggap berjasa dan keramat, berdasarkan cerita tutur yang ada dalam naskah CB 145 (1) A di Perpustakaan Universitas Leiden, seperti disebut H.J. de Graaf dan TH. Pigeaud (KIPDJ, 2003: 272), di antaranya: Jumadil Kubro di Mantingan, Nyampo di Suku Domas, Dada Petak di Gunung Bromo, dan Maolana Ishaq dari Blambangan.

Sebelum itu, tentu sudah ada usaha-usaha menyebarkan Islam di Jawa, melalui tokoh yang sering disebut dalam Jangka Jaya Bhaya, yaitu Syaikh Samsu Jen, dengan kitab ramalannya yang dikenal dengan Musarar. Agus Sunyoto (WRSD, 2011: 37-66) menyebutkan beberapa tokoh penting sebelum Walisanga adalah: Fatiman binti Maimun, Syaikh Samsudin Wasil (yang juga diduga sebagai Syaikh Samsu Jen), Maulana Malik Ibrahim, Syaikh Jumadil Kubro, Ibrahim Asmaraqandi, Sultan Malikus Shalih, Syaikh Hasanudin Qura Karawang, Syaikh Datuk Kahfi Cirebon, dan Ario Abdullah Palembang.

Sayangnya, Agus Sunyoto tidak menyebut Syaikh Subakir yang dikenal dalam cerita tutur Jawa, telah menumbali tanah Jawa agar bisa dimasuki agama Islam; juga tidak menyebut tokoh yang bernama Abdul Kahfi Awwal yang berpusat di Kebumen Alang-Alang Wangi; dan tidak menyebut Syaikh Abdurrahman Baghdadi di Mundu Mesigi (Cirebon) yang diyakini murid Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, dan Syaikh Qutbuddin Abdullah di Candirejo, yang disebut oleh Gus Dur sebagai penyebar awal tarekat Qadiriyah pada zaman Kalingga.

Setelah itu, para penyebar Islam berhubungan dengan para Walisanga yang lebih belakangan, yang berkiprah pada abad XV-XVII. Tulisan ini ingin melacak kesarjanaan Tasawuf pada abad XV-XVII di kalangan penyebar Islam awal di Jawa itu, dengan fokus pada pelacakan: tempat-tempat yang menjadi pusat keramat penyebaran Islam; kitab-kitab tertua yang dipelajari dan ditulis, afiliasi tarekat/tasawuf dari para penyebar Islam Jawa; penyusunan konsep-konsep tasawuf oleh tiga orang penting di Jawa, yaitu Sunan Bonang, Sunan Siti Jenara, dan Sunan Kalijaga; dan berkembangnya Ilmu Syaikh Abdul Qodir al-Jilani di masa awal Islam Jawa.

Dengan melihat beberapa hal di atas, dapat digunakan sebagai fondasi kultural kemasyarakatan, yang diletakkan para Wali di dalam masyarakat Jawa, meskipun tentu, secara lebih berkesinambungan, kesarjanan tasawuf pada abad XV-XVII tersebut harus tetap dihubungkan dengan kesarjanan pada periode berikutnya, terutama abad XVII-XIX.

Pusat Pengajaran/Keramat di Masa Awal

Martin van Bruinessen menyebutkan bahwa “dugaan saya lembaga pesantren belum ada  sebelum abad ke-18, tidak berarti bahwa kitab kuning tidak dipelajari. Kitab-kitab klasik berbahasa Arab jelas sudah dikenal dan dipelajari pada abad ke-16” (KKPT, 1994: 27). Ini dapat diartikan bahwa pesantren-pesantren yang ada di Jawa, atau pusat-pusat pendidikan yang ada, tentu sudah mengenal kitab-kitab klasik itu, melalui kesarjanaan para penyebar Islam awal.

Belum lagi, soal kitab-kitab yang menopang tradisi keilmuan Islam, menurut Martin ditulis pada abad ke-10 sampai dengan ke-15, dan karenanya ketika para penyebar Islam mengambilnya dari pusat-pusat dunia Islam, tentu telah mengenal kitab-kitab itu.  Ini harus dipertimbangkan juga soal pencetakan, arus perdagangan, dan teknik penulisan yang tidak semasif pada saat sekarang, sehingga tradisi hafalan, dan menulis meskipun berjalan bersama-sama, penulisan juga tergantung sejauh media teknik menulisnya ini dimiliki, yang saat itu belum masif.

Ada beberapa pusat pengajaran Islam di masa awal Islam Jawa yang sangat berpengaruh bagi pembentukan kesarjanaan muslim Jawa dan tasawuf secara umum dan berpengaruh dalam kultur pesantren hingga saat ini. Pusat-pusat ini di antaranya, adalah di Mantingan (Syekh Jumadil Kubro), Gunung Sembung dan Giri Amparan Jati (Datuk Kahfi dan Sunan Gungjati), Ampel Denta (Sunan Ampel), Kadilangu (Sunan Kalijaga), dan Alang-Alang Wangi (Abdul Kahfi Awwal).  Tentu saja, pusat kerajaan seperti Demak dengan masjid dan imam-imam agama yang memegangnya, seperti dirinci oleh de Graaf dan TH Pigieaud di dalam karyanya, juga memainkan peranan.

Selain kelima tempat itu tentu juga masih banyak, tetapi kelima tempat itu disebut, karena jasanya dalam menyebarkan Islam di tempat masing-masing, sangat penting, sehingga membentuk jaringan, murid-murid, dan dikenal hingga saat ini. Pusat-pusat ini, perlu dipahami sebagai pusat mendidik, manusia-manusia Jawa menjadi manusia yang merdeka, berspiritual, berkebudayaan, dan mengikuti Kanjeng Nabi Muhammad. Pusat-pusat itu di antaranya:

Mantingan

Mantingan (Pamantingan), tempatnya sekarang ada di Jepara, adalah tempat keramat di masa lalu, yang menurut cerita tutur, seperti disebut de Graaf dan Th Pigeaud (2003: 276), digunakan oleh Sunan Kalijaga untuk bertirakat. Karena bertirakat di Mantingan, Sunan Kalijaga datang terlambat waktu pendirian masjid Demak, dan kurang pagi untuk datang ke Demak, sehingga  tiang bagian Sunan Kalijaga harus dikerjakan agak terlambat, dengan menggunakan balok-balok kayu. Sebelum zaman Islam, Pemantingan juga diyakini menjadi salah satu tempat keramat, di antara tempat-tempat keramat yang ada di Jawa, yang menjadi kediaman roh-roh penting di Jawa.

Mantingan ini, di awal Islam Jawa, adalah tempat kediaman Syaikh Jumadil Kubro, yang diyakini sebagai moyang para wali di Jawa, dan karenanya jika disebut menjadi pusat penyebaran Islam, sangat masuk akal. Dalam tradisi babad di Jawa Barat, seperti disebut Martin van Bruinessen (KKPT, 1999: 235), Syaikh Jumadil Kubro disebut sebagai moyang dari Sunan Gunung Jati. Kronika Banten dan Cirebon memberikan silsilah yang sedikit berbeda tentang Syaikh Jumadil Kubro, begini: Nabi Muhammad, Ali dan Fathimah, Husain, Zainal Abidin, Ja’far Shodiq, Zainal Kubro  (atau Zainal Kabir), Jumadil Kubro,  Jumadil Kabir, Sultan Bani Israil, Sultan Hut dan Ratu Fathimah, dan Muhammad Nuruddin (Sunan Gunung Jati). Dalam silsilah ini ada nama Syaikh Jumadil Kubro.

Dalam Kronika Gresik, yang diringkas oleh Wiselius, dan dikutip Martin, Jumadil Kubro disebut sebagai kakek dari wali lain, Sunan Giri Pertama (Raden Paku); dalam Babad Cirebon, Syaikh Jumadil Kubro disebut bukan hanya moyang dari Sunan Gunung Jati, tetapi juga Sunan Ampel, Sunan Bonang, dan Sunan Kalijaga; dan sebuah silsilah tarekat Syathariyah abad ke-17, Syaikh Abdul Muhyi di Pamijahan di Tasikmalaya Selatan, menyebut pula silsilah Maulana Malik Ibrahim dan Jumadil Kubro (Kosasih, 1938: 137), yang tetap berhubungan dengan penyebar Islam awal ini.

Dalam legenda di Jawa, Syaikh Jumadil Kubro juga dikenal sebagai wali tertua di Jawa pada zaman Majapahit, dan sering bertapa di banyak gunung. Di antara petilasannya ada di Gunung Turgo Kawastu, Yogyakarta, dekat Merapi, sehingga dibuat cungkup makam penghromatan di daerah itu; demikian juga di daerah Bergota, selatan Semarang; juga di daerah antara tambak pesisir pantai yang disebut Terbaya, juga terdapat cungkup makam Syaikh Jumadil Kubro; di daerah Semarang juga, yaitu di Sampangan, juga terdapat puing-puing, petilasan Syaikh Jumadil Kubro; di makam muslim Tralaya yang lebih baru ditemukan, dan dianggap penting, juga diakui sebagai makam Syaikh Jumadil Kubro. Raffles, seperti dikutip Martin, menyebut, berdasarkan legenda di Gresik, Raden Rahmat pertama-tama datang ke Palembang, lalu ke Majapahit, dan mendarat di Gresik. Raden Rahmat kemudian mengunjungi Syaikh Molana Jumadil Kubro, seorang `abid yang menetap di Gunung Jali (KKPT, 1999: 239-240).

Sekarang, Mantingan ada di kecamatan Tahunan, Jepara, menjadi tempat berdirinya masjid kuno dan pemakaman Ratu Kalinyamat dan suaminya (Pangeran Hadirin). HJ de Graaf dan Th Pigeaud menyebutkan: “Ia (Ratu Kalinyamat) dimakamkan di dekat suami cinanya di pemakaman Mantingan dekat Jepara, yang mungkin dibangun atas perintahnya sendiri sesudah ia menjadi janda pada 1549, mungkin hampir 30 tahun sebelum ia meninggal” (KIPDJ, 2003: 120).

Di pemakaman Mantingan itu, terdapat masjid kuno yang didirikan tahun 1481 Saka atau tahun 1559 M, berdasarkan petunjuk dari candra sengkala yang terukir pada mihrab Masjid Mantingan berbunyi rupa brahmana wanasari. Menurut HJ Degraaf dan TH Pigeaud  (KIPDJ, 203: 309) tahun 1559 adalah periode setelah meninggalnya Pangeran Prawata dan Ki Kalinyamat (Sunan Mantingan/Pangeran Hadirin), dan periode kekuasaan Ratu Kalinyamat di Jepara. Pangeran Hadirin atau Ki Kalinyamat ini meninggal tahun 1549; dan Masjid Mantingan dikenal sebagai masjid besar tertua setelah Demak. Di sisi masjid adalah pemakaman Mantingan, yang banyak diziarahi orang, di antaranya yang dimakamkan adalah: Sunan Mantingan (Pangeran Hadirin), Ratu Kalinyamat, Raden Abdul Jalil (Syekh Siti Jenar), dan para orang terdekat Ratu Kalinyamat. Tempat ini sekarang masih menjadi tempat tirakat para muslim Jawa.

Gunung Sembung/Giri Amparan Jati

Gunung Sembung dan Bukit Giri Amparan Jati, adalah tempat orang keramat penyebar Islam awal bernama Datuk Kahfi, atau biasa dipanggil Syaikh Nurjati dan Syarif Hidayatullah. Dari berbagai cerita di dalam naskah Jawa Barat, seperti Negara Khretabumi, Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cerbon, dan Perjuangan Walisongo Babad Cirebon (versi H. Mahmud Rais dan Sayidil Anam), Syaikh Datuk Kahfi adalah guru utama dalam penyebaran Islam di Jawa Barat, dan karenanya guru penting dalam hal tasawuf di awal Islam Jawa, bagian barat.

Syaikh Datuk Kahfi, adalah anak dari Saikh Datuk Ahmad, anak dari Syaikh Datuk Isa Tuwu Malaka, anak dari Syaikh Abdul Qodir, anak dari Amir Abdullah Khannudin, dan ke atas sampai kepada Kanjeng Nabi Muhammad. Waktu muda, Datuk Kahfi meninggalkan Malaka menuju Baghdad, dan menikah dengan Syarifah Halimah, bibi Sultan Sulaiman (ada yang menyebut anaknya Sultan Sulaiman). Dari Baghdad, Datuk Kahfi memilih pergi ke Jawa dan mukim di Gunung Amparan Jati, tidak jauh dari pelabuhan Muara Jati, milik Kerajaan Pajajaran, sekitar tahun 1420. Datuk Kahfi mendapat ijin pengusa pelabuhan yang bernama Ki Gedeng Tapa/Ki Mangkubumi, untuk tinggal di daerah Pesambangan, tepatnya di Gunung Sembung.

Gunung Sembung kemudian menjadi pusat pendidikan dan penyebaran Islam, dan karena dalam silsilah tarekat Syathariyah awal, berasal dari Datuk Kahfi, posisi Datuk Kahfi menjadi sangat penting dalam kesarjanaan tasawuf di masa awal. Pada masa awal, di antara murid-muridnya, adalah keluarga bangsawan Pajajaran sendiri, yaitu Walangsungsang (Ki Samadullah/Sri Mangana) yang membuka Cirebon/Caruban) dan Rara Santang; dan murid-murid lain di antaranya Datuk Abdul Jalil (Syaikh Siti Jenar), Syarif Hidayatullah (di Girim Amparan Jati), Sunan Kalijaga, dan para wali lain. Dengan demikian, Gnung Sembung, menjadi pusat rohani yang dihormati, dan menjadi pusat pengiriman Santri-santri untuk berdakwah di daerah Jawa Barat.

Sekarang, pemakaman di Gunung Sembung yang tidak jauh dari Giri Amparan Jati, terdapat makam Syaikh Datuk Kahfi (Syaikh Nur Jati), yang berdekatan dengan makam Sunan Gunung Jati di Giri Amparan Jati. Lokasinya terpisah dengan jalan raya (Jl. Raya Cirebon Indramayu). Sebelum masuk ke gerbang makam Syaikh Datuk Kahfi, di sebelah kiri terdapat makam Syekh Ki Gede Jati, di bawah pohon besar, yang diyakini sebagai salah satu murid Syaikh Datuk Kahfi. Tempat ini sekarang masih sering digunakan untuk tempat tirakat para muslim Jawa.

Ampel Denta/Kembang Kuning

Ampel Denta adalah pusat penyebaran Islam di Surabaya, dimana Sunan Ampel menjadi guru rohani yang sangat dihormati. Di kitab-kitab Babad Tanah Jawi, dan buku Sejarah Jawa, tempat ini menjadi pusat menuntut ilmu dari para wali di Jawa. Di antara murid-muridnya adalah wali-wali keramat yang dikenal di Jawa, seperti Sunan Giri, Sunan Bonang, Raden Fatah, Syarif Hidayatullah, dan banyak lagi yang lain.

Sunan Ampel berasal dari Champa, dan masih keponakan Dwarawati, salah satu istri raja Majapahit. Kunjungannya ke Jawa, selain untuk menyebarkan Islam juga untuk menengok putri Dwarawati, yang masih bibinya. Sebelum sampai di Majapahit, mendarat di Tuban, dan berkunjung kepada tokoh penting, Syaikh Jumadil Kubro, yang disebut di atas, di Gunung Jali. Kedatangannya disertai saudara tuanya bernama Ali Murtadlo (Ali Musodo), dan kemenakannya bernama Abu Hurairah (Raden Burereh). HJ De Graaf dan TH Pigeaud (2003: 179) menyebutkan, wali ini kemudian diberi tanah oleh Majapahit dan tinggal di Surabaya, serta menjadi imam masjid di Surabaya; dan wafat tak lama sebelum majapahit runtuh.

Dalam perjalanannya ke Surabaya, Sunan Ampel melewati daerah Kembang Kuning, tempat tokoh lokal bernama Ki Wiryo Saroyo/Ki Wirojoyo, dan tokoh ini kemudian mengikuti petunjuk Sunan Ampel, menjadi muslim. Anak Ki Wirojoyo, kemudian dinikahkan dengan Sunan Ampel bernama Nyi Mas Karimah, yang kemudian melahirkan: Murtosiyah (dinikahkan dengan Sunan Giri) dan Murtosimah (dinikahkan dengan Raden Fatah, adipati Demak). Di Kembang Kuning, Sunan Ampel dan mertuanya membangun Masjid Kembang Kuning, dan makamnya sekarang dikenal dengan Makam Mbah Karimah, yang juga banyak diziarahi.

Setelah dari Kembang Kuning, Sunan Ampel pergi ke Ampel Denta dan membangun pusat penyiaran Islam, menjadi Imam masjid dan bergelar Pangeran Katib, melalaui restu dan dukungan penguasa Surabaya, Arya Lembu Sora. Arya Lembu Sora adalah seorang penguasa lokal yang sudah muslim, dan anaknya menikah dengan Arya Teja, penguasa Tuban. Sementara anak penguasa Tuban ini, bernama Nyi Ageng Manila dinikahkan dengan Sunan Ampel, sehingga ketika di Surabaya, sejatinya Sunan Ampel bertemu dengan Lembu Sora, yang merupakan mertua Arya Teja (penguasa Tuban). Sunan Ampel dikenal memiliki anak yang banyak dengan beberapa istri, sehingga jaringan anaknya berkawin-mawin dengan para bangsawan lokal. Murid-murid yang menuntut ilmu di Ampel Denta juga semakin banyak.

Akan tetapi setelah berdirinya kemaharajaan kerajaan Islam yang berpusat di Demak, di sekitar pesisir utara Jawa, pusat penyebaran Islam banyak beralih di Giri Kedaton yang berpusat di Gresik, melalui tokoh rohani sekaligus raja lokal, Sunan Giri. Setelah wafatnya Sunan Ampel, Surabaya semakmin memudar, terutama setelah Mataram menggempur dan menghancurkan Surabaya. Akan tetapi sebagai tempat keramat, makam Sunan Ampel masih sering dikunjungi oleh para peziarah muslim.

Sunan Ampel dimakamkan di dekat masjid Ampel, yang sekarang masuk wilayah keluarahan Ampel, kecamatan Semampir, Surabaya. Makam Sunan Ampel ada di belakang Masjid Sunan Ampel. Di sekitarnya ada makam-makam lain, di sebelahnya ada Nyi Ageng Manila (Dewi Condrowati), dan juga ada makam Mbah Sonhaji. Makam Sunan Ampel, sampai sekarang masih menjadi tempat keramat untuk tirakat yang dilakukan para muslim Jawa.

Kadilangu

Kadilangu terletak di Demak, merupakan kediaman dan pemakaman Sunan Kalijaga; yang sekarang adalah nama Kelurahan di kecamatan Demak, yang di dalamnya ada Masjid Sunan Kalijaga, yang didirikan pada 1532, dan pemakaman keluarga Sunan Kalijaga. Di masa lalu, kekeramatan tempat ini, selain menjadi pusat penyiaran Islam melalaui ilmu-ilmu hikmah yang dimiliki Sunan Kalijaga dan tempat pemakamannya, juga menjadi tempat pewarisan tinggalan Sunan Kalijaga, melalui keluarganya; dan menjadi pusat jejak-jejak dakwah dengan murid-murid yang tersebar cukup banyak. Di antara muridnya adalah Sunan Tembayat, yang kediamannya untuk penyebaran Islam sekaligus makamnya ada di Jabal Kat, juga menjadi tempat keramat dan dihormati oleh keluarga Pajang dan Mataram.

. Kekeramatan Sunan Kalijaga di antaranya dihubungkan dengan pembangunan masjid Demak, melalaui tiang terakhir, yang dibangun dengan balok-balok, karena ledatangannya agak terlambat setelah bertapa di Mantingan; juga berkaitan dengan baju Antakusuma (Kiai Gundil) yang diperoleh melalui tirakat Sunan Kalijaga, yang menurut HJ de Graaf dan TH Pigieaud diwariskan kepada Senapati melalaui ahli warisnya, sehingg Senopati dapat mengalahkan Pangeran Madiun, pada tahun 1590.

Baju Antakusumo ini kemudian dianggap sebagai pusaka keraton Mataram, hingga pada Mangkurat III di Karatasua, yang dibuang ke Srilanka oleh Kumpeni Belanda. Ketika pusaka-pusaka Mataram dibawa Mangkurat III, termasuk Baju Antakasumuma, menurut Pakubuwono 1, seperti disebut dalam Babad (Meinsma, hlm. 566; dan de Graaf Th Pigeaud, KIPDJ, 2003: 35), maka oleh penguasa baru, yang dianggap pusaka keramat secara mutlak ada dua, yaitu Masjid Demak dan Pemakaman Kadilangu. Melalui Keramat Kadilangu pula, Mataram sampai  Kerajaan di Kartasura, mengambil simbol-simbol spiritual, dengan merekrut para ahli waris Sunan Kalijaga, sebagai guru rohani.

Riwayat Kadilangu, berdasarkan Serat Kanda, bermula ketika Pangeran Trenggana, mengundang Sunan Kalijaga, dari Cirebon untuk menetap di Kadilangu, Demak (KIPDJ, 2003: 46). Para ulama Kadilangu, dalam membangun hidup bersumber dari tanah perladangan, yang dihadiahkan kepada mereka oleh Keraton Demak (KIPDJ, 2003: 111), dan karenanya bisa dianggap sebagai perdikan. Menurut cerita tutur Mataram, tuah keramat Kadilangu, bukan hanya sampai di Demak saja, tetapi juga sampai di Pajang dan Mataram. Di Pajang,  Jaka Tingkir adalah cucu Sunan Kalijaga dari Kadilangu; dan Sunan Kalijaga juga menjadi penghulu masjid di Demak setelah Sunan Kudus; dan anak peremepuan Sunan Kalijaga diambil permasuri muda oleh Sultan Trenggana; dan anak mereka, perempuan, dinikahi Jaka Tingkir. Sementara Senopati menjadi menantu Raja Pajang.

Masjid Kadilangu sendiri, dibangun, menurut informasi dari Serat Lokajaya (AIBJ, 149), dalam XII Kinanti (33): “setelah anaknya berangkat, pada waktu itu, Kanjeng Sunan Kali bermaksud hendak berkelana. Berganti yang diceritakan, yaitu Pangeran Wijil. Ia dalam membuat masjid telah jadi.” Pangeran Wijil oleh Serat Lokajaya adalah Joko Sahida, anak Sunan Kalijaga yang pertama, dan dialah pengasuh Pesantren Kadilangu yang menjadi tumpuan para murid, beristrikan cucunya Sunan Giri.  Serat Lokajaya menceritakan begini: “Jumatan di masjid Kadilangu sangat agung. Yang datang berbagai santri dari daerah pantai dan luar negeri banyak. Pangeran Wijil sangat tekun mengajarkan agama” (XII Kinanti, No. 37).

Di antara keturunan keramat Kadilangu yang berperan penting secara rohani dan dihormati, setelah masa Demak dan Pajang, di Mataram adalah Pangeran Adilangu (II, Sunan Adilangu) yang menulis cikal bakal Babad Tanah Jawi, dengan naskah tertua bertanggal 1772; dan di Kartasura adalah Pangeran Wijil Kadilangu, yang menulis Susuluk Wangsit Gaib Sirrullah (21 pada), Susuluk Besi (32 pada), Susuluk Saking Kitab Condra (76 pada), yang masuk dalam kumpulan Serat Suluk Jaman Kraton Ndalem ing Surakarta, yang diedit oleh Nancy K Florida, dalam Suluk, The Mistical Poetry of Javanese Muslims. Sekarang ini, pemakaman Sunan Kalijaga di Kadilangu, dikelilingi tembok berukuran besar dengan ukiran kayu; dan di luarnya ada makam jirat Mpu Supo (adik ipar sunan Kalijaga) dan putranya, Jaka Sura; dan ada 9 blok dengan 175 makam yang merupakan keluarga Sunan Kalijaga. Tempat ini juga masih sering digunakan tirakat oleh para muslim Jawa.

Alang-Alang Wangi/Pesantren Al-Kahfi

Letaknya di Kebumen dan menjadi pusat penyebaran Islam yang sangat penting di wilayah selatan Jawa Tengah. Di wilayah ini, sekarang di Sumberadi Kebumen, terdapat penyebar Islam yang bernama Abdul Kahfi Awwal (untuk membedakan dengan Abdul Kahfi  ats-Tsani), yang dapat dikenali: pertama, adanya prasasti batu berbobot 9 kg di dalam pondok Al-Kahfi itu, berasal dari batu zamrud Siberia (emerald fuchsit), berhuruf Jawa dan Arab berdampingan, berangka tahun 25 Sya’ban 879 atau 4 Januari 1475 M; adanya makam Abdul Kahfi Awwal di Lemah Lanangan, dan para keturunannya yang sekarang meneruskan menjadi Pesantren Al-Kahfi.

Abdul Kahfi Awwal sendiri dikenal sebagai laqobnya, sedangkan namanya  adalah Syaikh Muhammad Ishom al-Hasani, yang lahir pada  15 Syaban 827 H/1424 di Jamhar, Syihr, Hadhramaut. Beberapa tulisan yang membahas tokoh ini menyebutkan bahwa dia diberi gelar Al-Kahfi oleh guru-gurunya, karena sering menyendiri di gua; dan pergi ke Jawa untuk menyebarkan Islam. Salah satu versi dikemukakan Pengurus Yayasan Pesantren Al-Kahfi, Hidayat Aji Pambudi (m.republika.co., 30 April 2007), setelah datang ke Jawa, dia diperintah oleh Sultan Demak agar menyebarkan Islam di selatan Jawa.

Desa tempat tinggal Syaikh Abdul Kahfi Awwal dulu dipimpin oleh Resi Dara (beragama Hindu), bernama Alang-Alang Wangi. Pengaruh jaringan ini, meskipun dihubungkan dengan Abdul Kahfi ats-Tsani, menyebar terutama di daerah seperti Cilacap, Banyumas, dan bahkan Purworejo, dan lain-lain daerah di Jawa Tengah bagian selatan, tentu saja harus dibaca dulu merupakan pusat penyebaran Islam yang sangat penting. Syaikh Abdul Kahfi Awwal ini datang ke Jawa dan mendarat di pantai Karang Bolong, Buayan, Kebumen pada tahun 1448 (dan wafat pada 15 Syaban 1018/12 November 1609). Di daerah ini, Syaikh Abdul Kahfi mampu mengislamkan Resi Dara di Candi Karanganyar, Resi Condro Thirto dan Danu Thirto dari Candi Wulan, dan Candi Mulyo, lalu membangun basis di daerah yang sekarang dikenal Sumolangu.

Setelah itu, Syaikh Abdul Kahfi melakukan perjalanan ke Timur, sampai ke Surabaya, dan disebut bertemu di Ampel dengan Sunan Ampel (sesuatu yang belum bisa dipastikan). Setelah itu diminta untuk pergi ke Demak, di Sayung, untuk mendirikan basis pengajaran; lalu mendirikan pesantren di Kudus. Konon, tempat yang menjadi jejak Abdul Kahfi Awwal di sini dikenal orang dengan Masjid Bubrah (sesuatu yang sekarang juga diperdebatkan). Setelah itu  baru membangun basis di Kebumen.

Dalam Buku Panduan Ziarah Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, disebutkan istri Abdul Kahfi Awwal adalah Dewi Nur Thayyibah, anak Sultan Demak (Raden Fatah), yang juga sering berdakwah dari satu tempat ke tempat lain, sehingga murid-muridnya banyak tersebar di berbagai daerah. Wafat di tengah perjalanan dari Sumolangu-Demak, sebelah timur kota Semarang Demak. Satu versi menyebutkan bahwa Dewi Nur Thayyibah dimakamkam di Kadilangu, setelah para muridnya bermusyawarah; dan versi kedua, menyebutkan ada di Surakarta, di Pemakaman yang sekarang dikenal dengan Pemakaman Kraton Lama, Pracimaloyo, Makam Haji, Kecamatan Pajang, Surakarta.Tahun wafatnya pada 9 Dzul Hijjah 1015, atau bertepatan dengan 1607 M.

Pesantren Al-Kahfi ini, menjadi terkenal pada masa Syaikh Abdul Kahfi ats-Tsani (Ibrahim Mahmud bin Muhammad al-Marwah), yang lahir pada tahun 1239 H/1824, dan wafat pada 1 Jumadil Akhir 1334 H/17 Maret 1915. Abdul Kahfi Awwal dengan Abdul Kahfi ats-Tsani ada jarak yang cukup panjang melewati beberapa orang  Abdul Kahfi Awwal (Muhammad Ishom al-Hasani), Muhtarom, Jawahir, Muhammad Yusuf, Hasan, Abdul Hannan, Zainal Abidin, Muhammad Yusuf, Muhammad al-Marwah, Abdul Kahfi ats-Tsani (Ibrahim Mahmud), dan kemudian, sampai kepada Kyai Sumolangu.

Pesantren ini, sekarang dikenal sebagai pusat Tarekat Sadziliyah, yang mulai berkembang sejak putra Abdul Kahfi ats-Tsani (Ibrahim Mahmud), yang bernama Abdurrahman al-Hasani. Ketika belajar ke Mekkah, Syaikh Andurrahman belajar tarekat Sadziliyah kepada Syaikh Nahrowi Muhtarom al-Makki, yang kemudian banyak tinggal di Hijaz. Abdurrahman mengangkat anaknya yang masih muda bernama Mahfduz al-Hasani, menjadi mursyid tarekat Syadziliyah, yang mengasuh Pesantren Al-Kahfi sejak tahun 1925, sepulang Mahfudz nyatri di pesantren Watu Congol. Syaikh Mahfudz Abdurrahman al-Hasani inilah yang dikenal sebagai Kyai Sumolangu, yang mendirikan dan menjadi panglima tinggi AOI (Angkatan Oemat Islam) di masa penjajahan Belanda, dengan anggota tidak kurang dari 10.000 orang, mencakup wilayah Purbalingga, Kebumen Timur, Wonosobo dan Purworejo.

Liku-liku AOI, sampai wafatnya Syaikh Mahfdzu Abdurrahman yang ditembak pada tahun 1950, dan secara sepihak dinyatakan pemberontak, menjadi jalan Pesantren Al-Kahfi mengalami kevakuman. Meski begitu, Tarekat Sadziliyah dapat bertahan di bawah pimpinan Syaikh Thoifur al-Hasani (adik kandung Syaikh Mahfudz), lalu Khanif bin Mahfudz, sampai pada generasi berikutnya, ketika dipimpin oleh KH. Afifuddin Khanif al-Hasani, sejak 1992, pesantren ini mengalami perkembangan yang pesat.

Sekarang, makam Syaikh Abdul Kahfi Awwal ada di Lemah Lanangan dengan dikelilingi tembok sederhana. Para peziarah muslim Jawa, sering bertirakat di tempat ini. Ketika penulis berkunjung ke makam ini, malam hari, sebagian perziarah tampak melakuklan tirakat di makam Lemah Lanangan ini dengan khusuk.

 

Kitab-Kitab Fiqh-Tauhid-Tasawuf yang Diajarkan

Pada abad XV-XVII, para penyebar Islam di kalangan para wali banyak menulis dan berdakwah, melalui karya-karya yang dibaca/dijadikan rujukan dan ditulis, di samping usaha-usaha melalui pintu kekuasaan. Mereka menanamkan aturan-aturan dasar/elementer, etika publik yang perlu dimiliki, metode olah rohani yang perlu dilakukan, memberi pemahaman iman dan tauhid; pengalaman spiritual diuraikan melalaui konsep syariat, tarekat dan ma’rifat-hakikat; pengajaran tasawuf disandingkan dengan mengajar syariat dan tauhid; dan dalam praksis gerak di masyarakat, ikut terlibat membangun kebudayaan dan politik di tengah masyarakat.

Dalam soal tasawuf,  diajarkan melalaui hubungan yang kental antara tauhid, fiqh, dan tasawuf, serta iman-tauhid sebagai satu kesatuan; yang hal ini dapat dirujuk melalaui karya-karya dan penjelasan sebagian sarjana. Karel Steenbrink misalnya menyebutkan bahwa  “di antara naskah-naskah Jawa yang sudah masuk ke negeri Belanda pada akhir abad ke-16 dan permulaan abad ke-17, juga terdapat dua buah karya fiqh, dalam bahasa Arab dan terjemahannya dalam bahasa Jawa, yaitu karangan Abu Syuja al-Ishfahani, at-Taqrib fil Fiqh, serta sebuah karya lain yang tidak jelas pengarangnya, al-Idah fil Fiqh” (MTDKB, 1988: 230). Jadi, jelas, fiqh sebagai acuan dan model syariat telah dipelajari sejak awal.

Mengomentari Kropak Ferrara, Karel Steenbrink juga menyebutkan bahwa “ajaran tasawuf yang moderat dalam versi al-Ghazali juga merupakan ajaran yang dominan di dalam karangan ini. Kitab Bidayatul Hidayah dari al-Ghazali disebut sebagai sumber utama karangan ini. Dengan begitu, karangan ini meperkuat hipotesa berpikir mengenai Islam pesisir yang cukup sempurna sejak akhir abad ke-15 ini: sebuah corak Islam yang jelas mengadakan perbedaan antara Hindu dan Islam, dan tidak hendak mencampurkan keduanya” (MTDKB, 1988: 232).

Selain Karel Steentbrik, Marsono (AKDBJ, 2019: 8) juga menyebutkan kitab Usul 6 Bis, yang sejak awal dipakai di lingkungan pesantren pada masa Kerajaan Demak (1500-1550 M). Kitab Usul 6 Bis, kemudian disalin menjadi Asmarakandi (ditulis oleh Abu Laits as-Samarqandi, wafat 980 M), pada tahun 1900-an. Isi dari Kitab Samarkandi terdiri dari 10 bagian, sebagai pengembangan dari teks Usul 6 Bis yang terdiri hanya 6 bagian. Ajaran tasawuf dikemukakan di antaranya tentang Alloh (bag II), Nabi Muhammad (bag II), sifat-sifat Alloh (bag II), manusia akan kembali kepada-Nya (bag VII): tauhid dan tasawuf diajarkan secara bersama dengan fiqh.

Martin van Bruinessen, dengan mengutip Mahmud Yunus (1979, hlm. 223-6), juga menyebutkan tiga kitab penting yang dipelajari di masa awal Islam di Jawa, yaitu: Taqrib, Bidayatul Hidayah, dan Usul 6 Bis, yaitu kitab tentang akidah karya Abu Laits Samarqandi, yang juga dikenal sebagai Asmarakandi.  Tentang kitab Asmarakandi, Martin memberi catatan bahwa “pada abad ke-19 kitab ini biasanya  merupakan kitab akidah pertama yang dipelajari (Van den Berg, 1886: 537); yang kitab itu disalin dari kitab yang beredar sebelumnya, bernama Usul 6 Bis.

Terjemahan bahasa Jawanya masih terdapat dalam bentuk naskah, dan salah satunya baru-baru ini diedit dalam transliterasi latin oleh Mifedwil jandra (Jandra, 1985/1986). Terjemahan Asmarakandi berhasa Jawa ini juga berisi satu pembahasan tentang  Fiqh Syafii elementer, yang ditambahkan penerjemah tidak dikenal (Abu Laits sendiri menganut Fiqh Madzhab Hanafi). Kitab tersebut sekarang lebih terkenal melalaui  Syarah Nawawi Banten, Qathrul Ghaits dan terjemahan Jawanya oleh Ahmad Subki Pekalongan, Fathul Mughits, kedua karya ini banyak dipakai” (KKPT, 2009: 28).

Martin van Bruinessen (KKPT, 2009: 29) juga mengemukakan tentang naskah-naskah Jawa yang dibawa ke Eropa pada tahun 1600-an, secara lebih luas menyebutkan bahwa “sekitar tahun 1600-an, sejumlah naskah Indonesia berbahasa Melayu, Jawa dan Arab di bawa ke Eropa. Mereka memberi gambaran berharga, meskipun belum sempurna, tentang tradisi keilmuan Islam di Nusantara saat itu. Naskah-naskah Melayu (van Ronkel 1896) terdiri dari dua bab penting dari Al-Quran, dua hikayat bertema Islam, sebuah kitab hukum pernikahan Islam (dalam bahasa Arab dengan terjemahan antarbaris) dan sebuah terjemahan syair puji-pujian terhadap nabi (Qashidah Burdah-nya al-Bushiri, diedit Drewes, 1955).

Martin juga menambahkan bahwa ada “dua naskah Islam Jawa,  juga diedit ulang Drewes (1954 dan 1959) sama sekali tidak menunjukkan ciri spekulasi metafisik dan sikretisme yang sering dianggap ciri khas Islam Jawa. Mereka mecerminkan tradisi ortodoks (Fiqh Syafii, doktrin Asy`ari, dan akhlak al-Ghazali) tanpa pengaruh lokal. Mereka merujuk berbagai macam kitab berbahasa Arab yang memberikan gambaran lebih jelas bagaimana pengarang-pengarang itu berhubungan dengan tradisi Timur Tengah.”

Dua naskah Jawa tersebut, yang dimaksud Martin salah satunya adalah Wejangan  Syeh Bari atau Kitab Bonang, yang dalam isinya merujuk pada dua kitab penting: Ihya karangan al-Ghazali dan Tamhid karangan Abu Syukur al-Kasyi as-Salimi. Bahkan karangan Abu Syukur ini, menurut Martin van Bruinessen disebut “pernah dikenal di Indoensia karena ada satu naskahnya dengan terjemahan Jawa antarbaris (Kraemer, hlm. 6).”

Dua karya di atas, yaitu Ihya’ dan Tamhid, juga disebutkan bersama kitab-kitab lain, di dalam kitab Islam Jawa yanga lain, dengan menyertakan tambahan kitab-kitab rujukan: Talkhisu Minhaj, Syarah fid Daqoiq, Kanzul Khafi, dan Ma’rifatul Alam (dua kitab yang terakhir sulit diidentifikasi). Dalam soal ini, Martin menambahkan kitab lain, yang juga sudah disebut di atas: “Di antara beberapa naskah yang disebutkan, yang dibawa ke Eropa sekitar tahun 1600-an, terdapat pula kitab berbahasa Arab tentang fiqh, yaitu karya Abu Syuja al-Isfahani, at-Taqrib fil Fiqh yang masih digunakan secara luas (dengan terjemahan Jawa antarbaris) dan sebuah kitab anonim yang sekarang praktis tidak diketahui lagi, al-Idah fil Fiqh. Ini semua membuktikan bahwa fiqh juga dipelajari di Jawa akhir abad ke-16 (dan mungkin jauh lebih awal dari itu)” (KKPT, 2009: 28).

Ada juga rujukan kitab yang sulit dikenali, yaitu Kitab Sinorsilaripin, disebut dalam Kitab Primbon yang dikerjakan Drewes, begini: “Nabi Muhamamd telah mengajarkan kepada keturunannya, seperti disebutkan dalam buku Sinorsilaripin, bahwa pada hari kiamat semua manusia akan dibagi tiga kalau mereka mendekati Tuhan: Kepada kelompok pertama diajukan pertanyaan: Apa sebabnya engkau mengabdi kepada Tuhan?…” Dalam kutipan Karel Steenbrink pada buku MKTB (hlm. 22-23) disebutkan tentang kitab yang dirujuk itu, dalam catatan kaki No. 57, begini: “Tidak jelas kitab apa yang dikutip di sini. Apakah yang dimaksud karangan Hamzah Fansuri: Syarabul `Asyiqin, dengan mengganti Asyiqin dengan Arifin?” (MKTB, 1988: 226).

Sedangkan naskah rujukan yang dipakai dalam Wejangan  Syeh Ibrahim, berdasarkan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, berjudul Perdebatan Wali Songo Seputar Makrifatullah (Surabaya: Alfikr, 2002) dari versi yang dikerjakan Drewes dalam An Early Javanese Chode of Muslim Etics, bersumber dari Kropak Ferrara, beberapa rujukan isi kitabnya ada yang belum dikenali di antaranya: Musadallah, Kitab Selamat, Kitab Yamirsad Saking Riyakul Ulama. Drewes memberi catatan soal Kitab Yamirsad begini: “Suatu judul buku tentang Islam yang lebih tua lagi, yang ditulis dalam bahasa Jawa dan kurang terpelihara. Isinya berkaitan dengan berbagai uraian masalah keagamaan” (PWSM, 2002: 13).

Sedangkan di bagian lain di buku itu, disebutkan rujukan dari Bidayatul Hidayah (karangan Imam al-Ghazali), Raudhatul Ulama dan Mashabihul Mafatih. Drewes menjelaskan bahwa Roaudatul Ulama, bisa jadi adalah karya Zandawasiti (383 H./922 M.), yang merupakan kumpulan aturan-aturan yang dihimpun dari sumber Al-Qur’an, hadits dan ajaran mistik; sedangkan Mashobihul Mafatih adalah Mafatihur Raja’ fi Shiratil Mashobih ad-Dunya, merupakan komentar oleh al-Aquli al-Wasiti atas kumpulan hadits berjudul Mashobihud Dunya (atau Mashabihus Sunnah) susunan al-Baghawi (PWSM, 2002: 12).

Michel Laffan memberikan tambahan penjelasan soal kitab fiqh yang beredar di Jawa, dan disalin  pada 1623, dalam Sejarah Islam Nusantara (2015) dengan menuyebut bahwa “dalam sebuah contoh awal, yang disalin di Jawa pada 1623, kita menemukan sebuah ringkasan teks fiqh karya Ba Fadhal al-Hadhrami (w. 1512), dengan terjemahan antarbaris yang tidak lengkap” (SIN, 2015: 39). Ba Fadhal al-Hadhrami ini namnya adalah Abdullah bin Abdurrahman ba Fadhal al-Hadhrami menulis kitab al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah fi Fiqhis Sadah as-Syafi`iyah.

Micehel Laffan juga menambahkan ada “teks-teks yang popular di Nusantara dahulu adalah Sittin Masail fil Fiqh (60 pertanyaan dalam masaah fiqh) karya Abul Abbas al-Misri (w.1416); kitab Alfu Masail (Kitab Seribu Pertanyaan) yang jauh lebih tua; dan sebuah kompilasi anonim yang disebut bab Marifat Islam (bab Mengenai Islam). Pada abad ke-19, karya-karya tersebut digantikan oleh dua karya yang lain. Yang pertama adalah kitab Tanya Jawab Abu Laits as-Samarqandi (w. 983/993). Di Jawa, kitab yang kerab disebut Asmarakandi ini diringkas di bab Marifat al-Islam. Yang lain adalah Ummul Barohin karya al-Sanusi, yang dikenal orang Melayu dengan Sifat Dua Puluh, dan oleh orang Jawa dengan judul Durra (Permata) atau hanya sebagai Sanusi” (SIN, 2015: 38).

Kitab lain yang disebut Michel Laffan sebagai Alfu Masail, adalah serangkain pertanyaan yang diyakini diajukan kepada Nabi oleh seorang pemimpin Yahudi (Abdullah bin Salam). Ronit Ricci menulis disertasi doctoral membahas Alfu Masail, berjudul Translating Conversation in South and Southeast Asia: The Islamic Book of One Thousand Question in Javanese, Tamil, and Malay, di Universitas of Michigan, 2006 (SNI, 2011: 285, pada catatan kaki No. 32).

Di antara kitab yang dijadikan rujukan para penyebar Islam awal di tanah Jawa, ada juga yang disebut dengan Usul Kalam, sebagaimana disebutkan dalam Babad Tanah Sunda (BTS) terbitan Sulaeman Sulendraningrat, yang merupakan terjemahan  tahun 1982 dari naskah beraksara pegon dan berbahasa Cirebon Madya. Pada BTS bagian ke-10 diberi judul “Syarif Hidayatullah Kepanggih Jeng Nabi Muhammad”, hal ini disebutkan.

BTS pada bagian ke-10  yang dimaksud itu menyebutkan “setelah membaca kitab Usul Kalam, yang memaparkan kisah tentang Nabi Muhammad, timbul keinginan Syarif Hidayatullah untuk bertemu Nabi Muhamamd. Atas idzin ibunya ia melakukan perjalanan sejak bulan Jumadil Awal 1466 Masehi. Syarifah Mudaim merasa berat hati melepas kepergian anaknya, namun merasa terhibur setelah bermimpi bertemu dengan suaminya yang memberi nasihat agar mengikhlaskan kepergian anaknya” (dalam SGJ, 2003: 45).

Kalau disimpulkan, berdasarkan data-data sementara di atas kitab-kitab lama yang dipelajari di Jawa: pertama, kitab Alfu Masail, Kitab Sittin,  dan Usul 6 Bis, yang dinamakan ulang menjadi Asmarakandi pada abad ke-19. Ketika saya cek dalam syarah Qathrul Ghaits, Syaikh Nawawi Banten menamakannya menjadi Masail Abi Laits, sehingga judul syarahnya menjadi Qathrul Ghaits fi Syarhi Masa’il Abi Laits. Selain Asmarakandi atau Usul 6 Bis, kitab yang dikaji ada Usul Kalam. Sedangan kitab tauhid sekaligus akhlak yang ditulis bernama Wejangan Syekh Bari/Kitab Bonang dan Wejangan Syekh Ibrahim. Sedangkan kitab-kitab yang dirujuk dalam karya dan tulisan, di antaranya Syarah fid Daqoiq (Daqoiqul Akhbar), Kanzul Khafi, Marifatul Alam, Ihya, dan Tamhid.

Kedua, kitab fiqh, di antaranya karangan Abu Syuja Ahmad bin Husain al-Ashfihani, yang berjudul At-Taqrib, atau dalam pengajaran sekarang dikenal dengan Matnul Ghoyah wat Taqrib,yang berisi bab Kitabut Thaharah sampai Kitabul `Itqi. Selain itu ada al-Idhah fil Fiqh, dan kitab-kitab yang dirujuk seperti Bidayatul Hidayah (fiqh tasawuf) dan Talkhisu Minhaj. Sedangkan ketiga, kitab-kitab rujukan akhlak, di antaranya adalah Ihya (yang juga rujukan tauhid) karangan Imam al-Ghazali, Raudhatul Ulama, dan Mashabihul Mafatih.

 

Beberapa Kitab, Ringkasan Alfu Masail dan Usul 6 Bis

Dua kitab yang beredar cukup awal, di sini diringkas sedikit, yaitu: Alfu Masail dan Usul 6 Bis. Kedua kitab ini mewakili  beberapa dasar dan konsep pengetahuan dan ilmu yang ditanamkan di dalam masyarakat Jawa oleh para penyebar Islam Jawa. Di bawah ini saya berikan poin-poin dari kitab itu; sementara kitab fiqh, dimaklumi dan dimafhumi, mempelajari bab wudhu, sholat, puasa, haji, zakat dan lain-lain. 

Alfu Masail

Tentang Kitab Alfu Masail, saya mendasarkan pada Serat Samud Ibnu Salam, yang merupakan saduran dari Hikayat Seribu Masalah dari aksara Jawi (pegon), ke aksara Jawa. G.F Pijper (1924) menggunakan Hikayat Seribu Masalah ini sebagai bahan disertasinya. Hikayat Seribu Masalah sudah lama ada di Jawa, dan kemudian diperkenalkan kembali melalaui bahasa dan aksara Jawa, dengan judul Serat Samud Ibnu Salam. Rujukan yang dipakai di sini adalah hasil suntingan yang dilakukan Iik Idayati, berjudul Serat Samud Suntingan Teks dan Terjemahan (FIPB UI, 2011); dan referensi tambahan dari transliterasi dan terjemah Hikayat Seribu Masalah (versi Depdikbud, 1994), sebagai bahan bacaan saya.

Naskah Serat Samud berjumlah banyak, dan versi yang disunting Iik Idayati (dalam naskah ST. 80), ini cukup memberi gambaran isi dari pembicaraan dalam Hikayat Seribu Masalah. Dalam Serat Samud diberi condrosengkolo: tritunggal estining tenah (dikonversi menjadi 1884). Tahun ini perlu dibaca tahun penyaduran kembali, atau mungkin juga penyalinan, sementara materi teks itu sudah lama berdar di Jawa, seperti disebutkan di atas.

Isi dari teks Serat samud ini menggambarkan bagaimana di Jawa, telah ada orang atau kelompok yang mencoba meyakinkan Islam melalui argumen-argumen logika dari otoritas Kanjeng Nabi, dari sudut argumen-argumen filosofis, yang tidak sederhana. Bahwa ada dimensi faham martabat tujuh did alam Serat Samud, perlu difahami dari sudut penyalinan tahun-tahun itu, dimana martabat tujuh menjadi faham para pelaku tasawuf di Jawa.

Isi dari teks itu, ringkasannya demikian:

Nabi Muhammad memerintahkan Imam Ali menulis surat kepada orang Yahudi. Samud Ibnu Salam, membenarkan berita Taurat aka ada pemuda yang datang; lalu mengajak saudara atau umat Yahudi untuk masuk islam. Samud dan murid-muridnya mengumpulkan pertanyaan, berjumlah 1400 pertanyaan, dan jika pertanyaan-pertanyaan itu terjawab, dia akan mengikuti Rosul; dan kalau tidak, Rosul disuruh ikut agama Samud. Ternyata pertanyaan itu, meskipun dikaitkan dengan samud Ibnu salam, tidak sampai 1400, tetapi hanya seratusan lebih sedikit.

Pertanyaan-pertanyaan dan jawabannya diraikan ada yang panjang dan pendek, di antara masalah-masalahnya adalah: Berapa jumlah nabi dan rosul? Berapa nabi yang menguasai syariat? Apa agama Musa dan Isa? Berapa banyaknya agama  dijawab, hanyalah Islam; Apa makna Islam? Berapakah rukun Islam, dijawab ada lima;  Berapa banyaknya rukun iman, dijawab ada 6; Berapa banyaknya kitab, dijawab kitab ada 104 banyaknya; Berilah makna iman? Iman itu hukumnya apa, khaliq apa makhluk?

Iman itu berkaki apa tidak, dijawab tidak bercabang karena bila bercabang pasti hanya badan satu; Apakah tanda sempurnanya iman, dijawab harus ada ikrar, tashdiq, dan arkan; bagaimana hukum orang yang iqrar saja, tidak ada tashdiq, dijawab sebagai munafik sejati; bagaimana hukumnya orang yang hanya melafalkan syahadat, tidak mengerti makna dan perbuatannya, dijawab dia Islam indan nas, dan kafir indalloh; Apa hukumnya, mengerti makna syahadat, tidak mengerti lafalnya, dijawab dia Islam indalloh, kafir indan nas.

Apa bedanya iman dan Islam, dijawab iman itu soal batin dan lahir, dan Islam bila tidak didasari iman, sejati akan sia-sia, dan batin itu perilaku sejati; Apa makna perilaku sejati, apa akarnya, mana pohon, mana kulit, mana hatinya, tempat tidurnya, mana rumahnya dan cahayanya seperti apa? Salah satu jwabannya, hati iman ada di nabi, waliyulloh dan orang beriman.

Kapan Islam itu? Dijelaskan banyak tentang Islam indannas dan kafir indalloh, dan sebaliknya; Apa makna sifat 20 itu? Apa sifat Nabi? Dimana mustahilnya utusan? Apa makna Quran? Dijawab makananya adalah Kun. Apa permulaan Al-Quran? dijawab bismilahirrohmanirrohim. Apa yang ada dahulu? Dijawab nurulloh. Siapa yang menulis di Lauh Mahfuz? Dijawab Alloh sendiri, penanya dapat menulis sendiri.

Kehendak Tuhan, berapa cabangnya? Dijawab, cabang satu sarengat, namanya lagi hakekat, dan tarekat. Bagaimana bentuk Jibril, Mikail, Ijrail, dll. Apa makanan dari malaikat dan jenisnya? Mana yang dulu, surga atau neraka? Mana dulu adam atau dunia ?Apa firman Alloh kepada Adam dan dimana bentuknya? Berapa banyaknya buah khuldi, cabang, daun dan buahnya? Kenapa Nabi Adam dilarang memakan buah khuldi? Apa pakaian Adam?

Mana tanah di dunia yang lebih dulu dijadikan, di Baitul Mukades, Mekkah dan Madinah? Apa Adam keluar dari Hawa atau Hawa dibuat dari Adam? Dahulu mana, Adam, jin, malaikat? Dijawab Adam terakhir sendiri. Jarak jin dan malaikat berapa (waktu penciptaan)? Ketika Adam berdosa dan manusia ini, berpaa tahun jaraknya? Siapa yang menyembuhkan Adam dan yang mengkhitan Adam? Apa yang disebut dunia ini?

Dunia akhirat, mana yang lebih dulu? Dijawab, dicipta bersamaaan. Bagaimana kubur dan kiamat? Hari apa yang dibuat terdahulu, dan keistimewaan hari hari itu, dan apa yang harus dilakukan? Dijawab, Jumat hari perintah sholat, dzikir ya Kafi ya Mugni 600 x, Sabtu membaca ya Fattah ya Rozzaq, ahad ya Hayyu ya Qoyyumu 500 x, senin ya Rohman ya Rohim 400x, selasa ya Malik ya Quddus 300 x, rabo ya Kabiru ya Muthohhiru 7 x, kamis ya Alimu ya Aliyyu 800 x.

Berapa malaikat yang menulis, apa yang ditulis, tinta untuk menulis, tempatnya di mana? Apa pena untuk menulis sampai kiamat dan berapa besarnya?  Kenapa langit terlihat hijau? Apakah langit ada yang mengunci, siapa yang membawa kunci? Berapa panjang langit? Dari apa langit dibuat, dan yang paling tinggi dibuat dari apa? Apa yang ada di atas air kehidupan? Apa sebab matahari sorotnya melebihi bulan? Ada siang malam maknanya apa? Apa makna arsy, sifat jamal dan qohhar. Kenapa nafas disebut sifat jamal, kenapa sifat qahhar disebut tanafas dan anfas? Apa makna iman tokid, marifat?

Apa iman rahsya sejati itu? Siapa yang menyatukan tuan dan wali, apa maskawinnya, dimana menikahnya? Seperti apa tingkah rijal (rijalullah), dan seperti apa rijalullah itu? Apa yang disebut nafas? Apa yang disebut tanafas, nufus dan anfas. Bagaimana sholat Anda dan apa maknanya? Apa maksudnya api angin dan bumi? Berapa bintang di langit? Apakah sebutan burung kecil tidak bertengger di tanah dan tidak bertengger di langit? Apakah ada satu tempat yang pintunya 12? Apakah yang dinamakan semut?  Siapa laki-laki yang beribadah, makananya hanya kulit kayu, berikat kepala, tidak berayah dan tidak beribu, dan menjadi alim?

Ketika manusia menaiki perahu (Nuh), darimana naiknya dan memakai apa? Ketika kiamaat, apakah ada yang terlewat, bumi habis? Dijawab ada, yaitu Baitul muqaddas dan Baitul makmur. Kenapa anak meniru rupanya bapak, ibu dan paman-bibi? Apakah anak yang kufur masuk neraka atau surge? Kenapa bumi tak bergerak meski kena angin besar? Berapa bumi yang masuk surge? Dijawab, ada 7. Berapa bumi yang masuk neraka? Seperti apa gunung Jabal Kat itu? Yang dibuat dulu, surga atau neraka? Berapa banyak pintu surge? Dijawab, ada 7, dan dijelaskan isi-isi surge.

Bagaimana tingkah orang di neraka? Siapa hamba Tuhan yang belum mati sampai mengalami hancurnya dunia? Dijawab, malaikat maut namanya. Apakah orang Yahudi disuruh ikut semua Kanjeng Nabi atau yang hanya di Mekkah? Apa 10 perkara yang diturunkan kepada Nabi Musa? Apa yang disebut Kakbah sebagai pusat bumi, dan tarekat hakikat marifat? Apa makna Ahmad, Muhamamd, dan sirojan muniran? Apa maknanya air hadast (wudhu)? Apa  diberi ganjaran ketika bersetubuh (dalam nikah)? Apakah yang ditulis Taurat, Bani Israil dan Nabi Musa mengiyakan Muhammad? Apakah keutamaan laki-laki dan perempuan? Apa balasan orang berpuasa Ramadhan?

Apa pahalanya membaca Fatihah? Kenapa orang adzan dikumpuklkan di hadapan Tuhan, dan tentang nafsu-nafsu yang tujuh? Apakah titipan ayah dan titipan tuhan did alam diri? Berapa banyaknya roh? Dijawab, ada roh Nabi, roh ilafi, roh ilafati, roh amar, roh amin, roh kudus, roh robbana, roh rohmani, dan roh ruhani. Apa yang disebut ajalmungalak? Apa yang dimaksud jembatan dunia? Bagaimana tidurnya nafas? Apa tingkah laku huruf, yang ada dalam hati? Apa makna dhengdeng (dinding)? Dijawab dinding jalal, adalah hati yang dewasa. Apa yang namanya wujud? Yang disebut hakikat Tuhan banyaknya berapa perkara? Jika baginda putra Nabi apa nama asalnya? Bagaimanakah meluhurkan Tuhan, dan huruf-huruf kenapa banyak kejadiannya?

Ada apa kalau manusia melihat ke kanan, ke kiri, ke atas, ke depan dan ke belakang? Kenapa roh disebut dada dan kakbah? Apa makna mani, madzi-wadi? Apa makna hilang dan ada Seperti apa waktu yang lima itu? Apa makna kun? Apa yang disebut alam kudus, dan terangkan perbedaaanya? Apa sesungguhny sifat kamal dan jamal itu? Apa yang disebut sifat Qohar? Dijawab, berkuasanya Alloh atas hatinya. Bagaimana makna Alloh yang sejati?  Dimana sesungguhnya Alloh? Bagaimana orang yangh disebut senang? Apa makna nafas, tak bernafas dan anfas? Dimana tempatnya dzat itu? Bagaimanakan yang disebut perasaan serta fikiran? Bagaimana hilangnya shalat, sempurnanya iman, tokid dan marifat? Apa makna ilmu? Apa yang disebut pembicaraan?

Dahulu mana hamba dan tuhan, dunia dan akhirat, baik dan buruk, surge dan neraka, atsy dan kursi, dekat dan jauh, tua dan muda, kaya dan miskin, sakit dan enak, yang bukan dan iya? Apa maknanya mati dan hidup? Bagaimana seusungguh Loh Kalam? Apa maknanya kursi?

Apakah yang disebut bangun dan tidur, lalu mati? Apa hukummnya menyembelih hewan, padahal sama-sama makhluk Alloh? Apa nyawa hewan itu ikut disembelih? Apa yang hilang dari mati? Dijawab, yang hilang badan nafas, yang kembali nyawanya. Di mana asalnya roh itu? Dijawab, dari nur cahya dari nukat ghaib. Anda (Nabi) dan Adam berapa jaraknya? Berapa banyaknya Nabi yang diberi anugerah? Bagaimana alam yang ada di badan ini? Dimanakan bulan yang ada di badan?

Setelah pertanyaan bulan-bulan yang ada di badan, Samud Ibnu Salam kemudian bersyahadat, lalu Jibril mendatangi Nabi, dan Samud diganti namanya menjadi Abdullah bin Salam.

Usul 6 Bis

Kitab ini termasuk kitab akidah awal yang diajarkan di Jawa, seperti telah disebutkan di atas. Kitab ini kemudian disalin kembali pada tahun 1900-an, menjadi kitab Samarqandi. Kitab Asmarakandi, naskahnya di antaranya telah disunting dan diterjemah oleh Mifedwil Jandra (1986) dalam Asmarakandi Sebuah Tinjauan dari Aspek Tasawuf, yang dikerjakan sebagai Proyek Penelitian Pengkajian Kebudayaan (Javanologi) (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986). Marsono (AKDBJ, 2019: 8) mempertegas bahwa “Teks Usul Enam Bis ini dipakai di lingkungan pendidikan pesantren pada zaman kerajaan Demak (+1500-1550 M) (Jandra, 1986: 143).

Kitab Asmarakandi ini, di Pesantren diperkenalkan melalui Imam Nawawi al-Bantani yang menulis Syarah Qatrul Ghaits fi Masail Abi Laits. Apa saja isi dari kitab Asmarkandi ini, saya merujuk pada matan yang ada dalam Syarah Qatrul Ghaits ini, dimulai dengan pertanyaan setiap masalah dengan “mas’alatun idza qila laka”, demikian:

“Apa sajakah yang berhubungan dengan hakikat iman yang disebut dengan tashdiq(membenarkan)?” Maka jawablah: “Aku percaya, aku membenarkan dan aku mengakui Allah, para malaikat, kitab-kitab, para utusan, hari akhir dan qadar baik dan buruknya dari Allah.”

“Bagaimana kamu beriman terhadap Allah ?” Maka jawablah: “Sesungguhnya Allah Maha Esa, Maha hidup, Maha tahu, Maha kuasa Maha berkehendak, Maha mendengar, Maha melihat, Maha berfirman, Maha kekal, Maha pencipta, Maha memberi rizki, pengatur, Raja,  dengan tanpa sekutu, tanpa ada yang membalikkan, dan tanpa penetang.”

“Bagaimana cara kamu beriman terhadap para malaikat?” Maka jawablah: “Sesungguhnya para malaikat itu terdiri dari beberapa golongan (bermacam-macam keadaan, pekerjaan, dan bentuknya). Di antara mereka adalah pemanggul Arsyi; di antara mereka adalah Hafun; dan di antara mereka adalah Ruhaniyun; dan di antara mereka adalah Karubiyun; da di antara mereka adalah safarah: Jibril Mikail Israfil dan Izarail; dan di antara mereka adalah hafazhah; dan di antara mereka adalah Katabah, yang semuanya diciptakan beribadah kepada Alloh, tidak disifati dengan laki-laki dan tidak perempuan, juga tidak banci, cdan mereka tidak memeliki syahwat, tidak memeliki nafs, tidak memeliki ayah, ibu, tidak minum, tidak makan, dan tidak bermaksiat kepada Alloh terhadap apa-apa uyang diperintahkan kepada mereka, dan mereka mengerjakan apa yang diperintahkan kepada mereka. mencintai mereka adalah syaratnbya iman dan nembenci mereka adalah kufrun.”

“Bagaimana cara kamu beriman terhadap kitab-kitab?” Maka jawablah: “Sesungguhnya Allah telah menurunkan beberapa kitab kepada para Nabi-Nya dan kitab-kitab tersebut yang diturunkan pada para utusan di dalam beberapa papan atau melalui perkataan malaikat, bukanlah berupa makhluk (kitab-kitab yang diturunkan merupakan susunan dari Allah bukan susunan makhluk), bersifat qwadim (dahulu) tanpa ada pertentangan. Barangsiapa yang yang ragu terhadap 1 ayat atau 1 kalaimat saja dari kalimat-kalimat itu, faqod kafara.”

“Berapa kitab yang telah Allah turunkan kepada para nabi-Nya yang menjadi rasul?” Maka jawablah: “Ada 104 kitab. Kitab-kitab yang diturunkan Nabi Adam  ada 10 kitab;  dan Alloh menurunkan kitab di antaranya 50 kitab kepada Syits; dan Alloh menurunkan kitab di antaranya 30 kitab kepada Idris; dan Alloh menurunkan kitab di antaranya 10 kitab kepada Ibrahim; dan Alloh menurunkan Injil kepada Isa; dan Alloh menurunkan Taurat kepada Musa; dan Alloh menurunkan Zabur kepada Dawud; dan Alloh menurunkan Al-Qur’an kepada nabi Muhammad al-musthafa.”

“Bagaimana cara kamu beriman terhadap para Nabi?” Maka jawablah: “Sesungguhanya awal para Nabi adalah Adam, dan akhir mereka adalah Sayyiduna Muhammad asholawatulloh alaihim ajmain. Semuanya diberitakan sebagai pemberi nasihat, jujur, menyampaikan hal-hal yang diberitakan kepada mereka, memerintah (yang diperintahkan), dan mencegah (yang dicegah), yang dipercaya Alloh, dijaga dari berbuat dosa (mashumin) dari dosa kecil dan besar. Mencintai mereka adalah syarat iman dan membenci mereka kufrun.”

“Berapa jumlah dari orang nabi yang memiliki syariat?” Maka jawablah:  “Ada 6 orang, yaitu nabi Adam AS, nabi Nuh AS, nabi Ibrahim AS, nabi Musa AS, nabi Isa AS, dan nabi Muhammad SAW, sholawatullohi alaihim ajamin. Dan setiap syariat dihapus dengan syariat Nabi Muhammad shollahu alaihi wasallam.”

“Berapa jumlah para nabi” Maka jawablah: “Ada 124.000 nabi.”

Berapa banyaknya para nabi yang menjadi rasul?” Maka jawablah: “Ada 313 yang diangkat sebagai rasul.”

“Menghafal nama-nama dan jumlah hitungan mereka (para rasul) apakah menjadi syarat sahnya iman kita atau tidak?” Maka jawablah: “Bahwa menghafal nama-nama dan jumlah hitungan tersebut tidaklah menjadi syarat sahnya iman bagi kita semua, karena ada kalam Alloh: “…di antara mereka(para utusan) ada yang Kami ceritakan kepadamu ( cerita mereka) dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu” (QS. Al-Ghafir ayat 74).

“Bagaimana cara beriman terhadap adanya hari akhir?” Maka jawablah: “Sesungguhnya Allah SWT akan mematikan seluruh makhluk, kecuali makhluk yang ada di surge dan neraka, sesudah itu mereka dihidupkan kembali oleh Alloh, dikumpulkan di padang mahsyar untuk dihisab, lalau dihukum secara adil. Makhluk yang ada (selain malaikat), akan mati semua; mereka yang fasiq akan masuk neraka sampai habis kadar dosanya; adapun orang mukmmin masuk surga selama-lamanya. Surga dan penghuninya itu tidaklah binasa. Siapa yang ragu terhadap perintiwa tersebut , sekalipun hanya  sebgiannya, faqod kafara.”

“Bagaimana cara engkau beriman terhadap qadar (ketentuan) baik dan buruknya dari Allah?” Maka jawablah: “Iman kepada takdir baik dan buruknya, caranya dengan mempercayai bahwa Allohlah pencipta  semua makhluk, Dia memberi petunjuk dan larangan, Dia menciptakan lauh dan Qalam, dan memerintah kepada keduanya untuk mencatat amal-amal setiap hamba. Perbuatan taat itu sebab qadha dan qadar Alloh pada zaman azali (dahulu) da sebab iradat-Nya, perintah dan ridha-Nya. Perbuatan itu juga sebab qadha Alloh, takdir dan iradat-Nya di zaman azali, tetapi bukan sebab perintah atau ridha-Nya. Semua makhluk itu akan diberi pahala dan akan disiksa melalaui janji dan ancamannya.”

“Apakah iman terbagi-bagi atau tidak?” Maka jawablah: “Iman tidak terbagi-bagi, karena sesungguhnya iman adalah cahaya di hati, akal, jiwa anak cucu Adam, dan petunjuk Allah terhadap orang mukmin. Orang yang ingkar bahwa iman merupakan hidayah (petunjuk Allah) faqod kafaro.”

“Apa yang dikehendaki dengan iman (yang merupakan cahaya dan hidayat (petunjuk) Allah SWT?” Maka jawablah: “Iman adalah sebuah ibarat (istilah) dari tauhid.”

“Shalat, puasa, zakat, cinta terhadap para malaikat, kitab-kitab, terhadap para rasul, kepastian baik dan buruk dari Allah, dan lain sebagainya  yang berupa perintah, larangan dan mengikuti jejak Nabi SAW, apakah semua itu iman atau bukan?” Maka jawablah: “Bukan termasuk iman, sebab iman itu sebuah ungkapan tauhid, dan sesuatu selain  tauhid hanyalah syarat syahnya iman.”

“Iman bersifatkan suci apa tidak?” Maka jawablah: “Iman itu disifati suci, dan kufur disifati hadats dan membuat rusak semua anggota badan.”

“Apakah iman merupakan makhluk atau bukan?” Maka jawablah: “Iman merupakan hidayat (petunjuk) Allah, membenarkan dengan hati terhadap apa yang telah dibawa olah Nabi SAW dari Allah SWT, berikrar dengan lisan. Dan hidayah adalah ciptaan Allah, dan dia  ada sejak dahulu. Sedangkan tashdiq (membenarkan) dan iqrar keduanya adalah perbuatan manusi dan termasuk baru. Dan setiap yang datang dari yang qadim dia adalah qadim, sedang yang datang dari yang baru dia adalah hal baru.” Oleh syarah Qathrul Ghaits dipungkasi dengan: “Wallohu a’lam wa shollallohu `ala sayyidina Muhamamdin walhamdu lillahi Robbil `alamin.”

 

Afiliasi Tasawuf/Tarekat di Masa Awal Islam Jawa/Di Kalangan Para Wali

Kesarjanaan tasawuf di kalangan para Arif Billah di kalangan penyebar Islam di Jawa dibentuk melalui afiliasi tarekat atau amalan yang biasa dimiliki para sufi. Beberapa afiliasi tarekat para penyebar Islam awal, di antaranya di sini disebutkan afiliasi Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga; Syaikh Siti Jenar, dan Sunan Gunung Jati. Sementara soal Ilmu Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, akan dijelaksan di bagian tersendiri, dalam tulisan tersendiri. Beberapa penjelasan soal afiliasi tasawuf tarekat ini, saya merujuk kepada beberapa tulisan, yang untuk pendalaman lebih lanjut, bisa dilakukan dalam kajian tersendiri, di antaranya:

 

Sunan Bonang-Sunan Kalijaga: Akmaliyah dan Syathariyah

Agus Sunyoto menyebutkan: “Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai guru ruhani yang mengajarkan tarekat Syathariyah dari Sunan Bonang, sekaligus Tarekat Akmaliyah dari Syaikh Siti Jenar, yang sampai sekarang ini masih diamalkan oleh para pengikutnya di berbagai tempat di nusantara” (WSRSD, 2011: 148).

Hanya saja, Agus Sunyoto tidak menyebutkan sumber yang digunakan untuk menunjukkan garis silsilah mnereka ini. Akan tetapi, sebagai seorang yang dekat dengan para penganut Tarekat Akmaliyah, Agus Sunyoto tentu memiliki dan mendapatkan dari para penganut Akmaliyah. Apa yang diungkapkan Agus Sunyoto soal Akmaliyah, juga diungkapkan oleh KH. Muhammad Sholihin, yang juga penganut tarekat Akmaliyah, ketika menjelaskan Syaikh Siti Jenar. Kalau merujuk pada silsilah Syathariyah-Akmaliyah di Jawa Barat bersumber dari Syaikh Datuk Kahfi, sangat mungkin Sunan Kalijogo, yang memang tinggal di Cirebon dan kemudian ke Jawa Tengah, adalah juga berguru kepada Datuk Kahfi atau dari orang yang belajar kepadanya; atau Sunan Bonang yang mengambil dari Cirebon, kepada Datuk Kahfi yang sat itu dikenal sebagai psuat Syathariyah awal, atau bahkan dari Pasai, karena Sunan Bonang juga pernah berkunjung ke Pasai, menurut bebarapa buku yang membahas biografinya.

Syaikh Siti Jenar: Akmaliyah dan Syathariyah        

Muhammad Sholihin menyebutkan silsilah keilmuan tarekat Syaikh Siti Jenar, dan mengungkapkan bahwa beliau mengikuti Tarekat Syathariyah dan Akmaliyah. Tarekat Syathariyah diperoleh dari Datuk Kahfi Cirebon, yang merupakan pamannya; dan Akmaliyah diperoleh dari Ahmad al-Baghdadi. Dalam merujuk silsilah ini, KH. Muhammad Sholihin memberikan penjelasan ini:

“Dalam menulis silsilah keilmuan dan silsilah ajaran tarekat Syekh Siti Jenar tersebut, selain banyak buku-buku kuno yang menjadi acuan seperti Manuskrip Ajaran Tarekat Syathariyah, manuskrip asli tulisan tangan, t.d.p (ditulis sekitar tahun 1820); dan salinan kembali kitab Talamis (ditulis sekitar 1800); dan beberapa naskah yang menjadi pegangan  bagi penganut tarekat Akmaliyah yang dinisbahkan kepada Syekh Siti Jenar, juga penulis lakukan cek silang dengan sumber-sumber mutakhir….” (MKG, 2014: 312).

Afiliasi tarekat Syathariyah Syaikh Siti Jenar, bersumber dari Syaikh Datuk Kahfi Cirebon, dari Syaikh Datuk Ahmad, dari Syaikh Datuk Isa Tuwu Malaka, dari Syaikh Jamaluddin al-Ghujarati, dari Amir Syah Jalaludin, dari Amir Abdullah Khannudin, dari Syaikh Hajj al-Kushuri, dari Syaikh Hidayatullah Sarmat, dari Syaikh Abdullah Syattar, dan terus ke atas sampai kepada Kanjeng Nabi Muhammad.

Afiliasi tarekat Akmaliyah Syaikh Siti Jenar, diperoleh dari Ahmad al-Baghdadi, dari Darwisy Muhammad, dari Sayyid Muhammad Nurbakhsy, dari Khwaja Ishaq Kuttalani, dari Alaud Daulah as-Simnani, dari Rdhiuddin Aliyi Lala, dari Najmuddin Kubro al-Khawarizmi, dan sampi ke atas kepada Nabi Muhammad. Hanya saja, silsilah Akmaliyah dari jalur ini, dari Nabi kepada sahabat Abu Bakar, lalu kepada sahabat Salman Al-Farisi, kepada Husain bin Ali, lalu ke bawah sampai kepada Syaikh Najmuddin Kubro, berbeda dengan silsilah Kubrowiyah yang dimiliki Alaud Daulah As-Simnani, sebagaimana dikaji oleh Jamal J Elias dalam The Throne Carrier of God: The Life and Thougth of `Ala ad-Dawlah as-Simnani; meskipun tidak menutup kemungkinan, apa yang diungkapkan dalam silsilah versi Akmaliyah, mengingat silsilah Simnani dan Najmuddin Kubro memang jauh lebih luas dari apa yang dikemukakan Jamal J Elias. Kalau yang dikemukakan KH. Muhammad Sholihin dianggap benar, maka jalur silsilah Akmalaiyah itu, sebuah jalur tersendiri dan memang tidak banyak diungkapkan.

Untuk membandingkan ini, saya akn mengutip silsilah tarekat Alaud Daulah Simnani yang diungkapkan oleh jamal J Elias; dan silsilah Akmaliyah yang sampai kepada Syekh Siti Jenar dari jalur Alaud Daulah Simnani, demikian:

Pertama, menurut Jamal J Elias, tarekat Simnani berhubungan dengan silsilah dari Imam Ali, bukan dengan Sayyiduna Abu Bakar, yaitu melalui jalur yang bertemu dalam keguruan Imam Junaid al-Baghdadi, demikian: (1) Alaud Daulah as-Simnani, dari Isfaraini, dari Najmudidn Kubro, dari Ammar Bidlisi, dari Abu Najib as-Suhrawardi, dari Abdullah, dari Wajihuddin Umar, dari Muhamamd bin Amawiyah, dari Siyah ad-Dinawari, dari Mimsyad ad-Dinawari, dari Junaid al-Baghdadi sampai kepada Imam Ali; (2)  Alaud Daulah as-Simnani, dari Ahmadi Gurpani, Radhiyuddin Aliyi Lala, dari Majduddin Syaikhan, dari Munawwar, dari Abu Thahir, dari Abu Said Avbul Khair, dari Abul Fadhal Hasan as-Sarakhsyi, dari Sarraj, dari Muhamamd Murtasiy dari Junaid al-baghdadi; (3) Alaud Daulah as-Simnani, dari Nuruddin Isfaraini, dari Ahmad Gurpani, dari Radhiyuddin Aliyi Lala, dari Majduddin al-Baghdadi, dari Najmuddin al-Khiwaqi al-Kubro, dari Ammar bin Yasir al-Bidlisi, dari Abu Najib as-Suhrawardi, dari Ahmad al-Ghazali, dari Abu Bakar an-Nasaj, dari Abul Qosim al-Jurjani, dari Abu Utsman al-Maghribi, Abu Ali al-Khatib, dari Abu Ali ar-Rudbari, dari Junaid al-Baghdad, dari Sirri as-Saqati, dari Ma’ruf al-Karkhi, dari Dawud ath-Tha’i, dari Habib al-Ajami, dari Hasan al-Bashri, dari Imam Ali, dari Nabi Muhammad; (4) Alaud Daulah as-Simnani, dari Isfaraini dan Rasyiduddin Abdullah bin Abul Qosim al-Muqri, dari Syihabuddin as-Suhrawardi dan seterusnya ke atas (SST, 2007: 65-67).

Kedua, tarekat Sayyiduna Abu Bakar kepada Simnani menurut versi Akmaliyah, yang menurun kepada Siti Jenar dengan sanad yang disebut KH. Muhamamd Sholihin demikian: Siti Jenar dari Ahmad al-Baghdadi, dari Darwisy Muhammad, dari Sayyid Muhammad Nurbakhsy, dari Khwaja Ishaq Kuttalani, dari Alaud Daulah as-Simnani, dari Radhiuddin Aliyi Lala, dari Najmuddin Kubro al-Khawarizmi, dari Ali al-Hamdani, dari Abu Yaqub Yusuf al-Hamdani, dari Abu Ali al-Farmadzi, dari Abu Hasan al-Kharaqani, dari Abu Abdullah bin Muhamamd al-Khafif, dari Abu Ali ar-Rudbari, dari Abu Husain an-Nuri, dari Abu Said al-Kharraz, dari Abu Yazid al-Bushthami, dari Imam Jafar ash-Shodiq, dari Muhamamd al-Baqir, dari Ali Zainal Abidin, dari Husian bin Ali, dari Salman al-Farisi, dari Abu Bakar ash-Shidiq, dari Nabi Muhammad sholllohu alaihi wasallam (MKG, 2011: 317).

Dari silsilah Simnani sampai kepada Abu Yazid, yang disebutkan KH. Muhammad Sholihin, dari sudut silsilah dengan jalur di atas, suatu yang jarang disebut. Akan tetapi, Alaud Daulah as-Simnani meskipun masanya jauh dengan Abu Yazid, ternyata memang pernah menjadi guru pertamanya dalam dunia sufi. Dan, justru ini didukung oleh penjelasan Jamal J. Elias, yang tidak menyebut silsilah tarekat Simnani kepada Sayyiduna Abu Bakar, dan menyebutkan begini: “Guru pertamanya di bidang sufi adalah Abu Yazid al-Bisthami, yang menampakkan diri di alam spiritual selama kira-kira dua tahun” (SPST, 2007: 70).

Dengan demikian, silsilah Simnani yang diterima para penganut Akmaliyah melalaui Syekh Siti Jenar, merupakan jalur tersendiri di luar apa yang selama ini sudah dikenal, dimana Kubrowiyah, sebagai afiliasi tarekat Siamnani, dihubungkan dengan tarekat Imam Ali, dan bukan dengan Abu Yazid al-Busthami sampai Sayyiduna Abu Bakar.

Sunan Gunung Jati: Kubrowiyah dan Sadziliyah

Dalam Pustaka Negara Kretabhumi (PNK), yang merupakan kumpulan Pustaka Wangsakerta, disebutkan soal bergurunya Syarif Hidayatullah kepada Tajuddin al-Kubri selama 2 tahun dan Syaikh Ataullah Sajjili. Naskah PNK ini ditulis antara 1667-1698, dan menjadi sumber penulisan CPCN karangan Pangeran Arya Cirebon yang ditulis pada tahun 1720. Naskah PNK ini telah dialihaksarakan dan diterjemah ke dalam bahasa Indonesia oleh Tim Penggarapan naskah Pangeran Wangsakerta melalaui yayasan Pembangunan Jawa Barat, dan penggarapan naskah PNK itu dilakukan oleh Edi S Ekadjati dkk.

Dalam naskah PNK (hlm. 10, baris 10), disebutkan guru dari Syarif Hidcayatullah begini: “Ri sampunnya Syarip Hidayat yuswa taruna, Akara rwang puluh warsa, Rasika dharmesta mwang ahyun dumadhya carya gameslam, Matangyan lung taya ring Mekkah, Ri kanang rasiko maguru ring Syekh Tajuddin al-Kubri lawasnya rawang warsa, I rika taya ring syekh Ataullah Sajjili ngaran niranung pangatunya iumam sapingi.” Terjemahnya: “Pada waktu Syarif Hidaytatullah menginjak dewasa, Kira-kira 20 tahun, Beliau sangat takwa dan ingin menjadi guru agama Islam, Sehingga pergilah ia ke Mekkah, Di sana ia berguru kepada Syekh Tajuddin al-Kubri selama 2 tahun, Pada saat itulah ia di Syekh Ataullah Sajili, namanya yang menganut Imam Syafii” (Dadan Wildan, SGJ, 2003: 15).

Guru Syarif Hidayatullah, yang disebut dengan Syaikh Tajuddin Kubri, dapat diduga adalah salah satu guru Tarekat Kubrowiyah, meskipun tidak harus dihubungkan dengan Syaikh Najmuddin Kubro secara langsung. Hal ini juga diungkapkan dalam Sejarah Banten Rante-Rante (SBR) dan Babad Cirebon versi Brandes-Ringkes. Dalam SBR, disebutkan bahwa Sunan Gunung Jati berguru kepada guru Kubrowiyah, dari jalur Ismail al-Qashri (salah satu guru  Najmuddin al-Kubra), bukan melalaui jalur Ammar al-Bidlisi.

Dalam SBR, silsilah Kubrowiyah Sunan Gunung Jati, sebagaimana juga disebutkan dan dikutip Martin van Bruinessen (1999: 224-225) disebutkan begini: Ismail al-Qashri, dari Muhamamd bin Malik al-Mankidi (harusnya al-Mankili), dari Dawud bin Muhammad, dari Abul Abbas Idris, dari Abul Qosim bin Ramadhan, dari Abu Ya’qub ath-Thabari, dari Abu Abdullah bin Utsman, dari Abu Yaqub Nahari Judi (harusnya an-Nahrajuri), dari  Abu Yaqub as-Susi, dari Abdul Wahid bin Zaid, dari Kumail bin Ziyad, dari Ali al-Murtadha, dari Nabi Muhammad.

Silsilah Kubrowiyah dari Najmuddin Kubro melalui  silsilah Ismail al-Qashri ini, juga disebutkan oleh Jamal J Elias (SPST, 2007: 67-68), sebagai salah satu pohon silsilah Kubrowiyah. Hanya saja, yang perlu difahmi  ketika disebut Syarif Hidayatullah disebut berguru kepada Tajuddin al-Kubri, perlu dibaca sebagai salah satu guru Kubrawiyah, bukan langsung kepada Syaikh Najmudidn Kubro, karena Syaikh Kubrowiyah ini wafat pada tahun  1221 M dan dimakamkan di Khawarizmi. Sementara Syarif Hidayatullah pergi ke Mekkah menurut BTS adalah tahun 1466 Masehi (dalam SGJ, 2007: 45).

Tentang tarekat Kubrowiyah dan silsilah Kubrowiyah Syarif Hidayatullah di atas, Martin van Bruinessen, menyebutkan silsilah yang sama terdapat dalam karya yang disusun oleh sufi Madinah abad ke-17 yang sangat terkenal, Ahmad al-Qusyasyi berjudul Simtul Majid. Ahmad al-Qusyasyi, selain menjadi guru Naqsyabandiyah, Syathariyah, dan tarekat lain, juga menjadi dan berafiliasi dengan Kubrowiyah. Ahmad Al-Qusyasyi menerrima dari guru-gurunya, yang silsilah Kubrowiyahnya berasal dari silsilah Ismail al-Qashri, bukan dari Ammar bin Yasir al-Bidlisi.

Dalam SBR, kemudian disebutkan nama orang-orang yang belajar bersama Syarif Hidayatullah di Mekkah, dan di antaranya adalah para guru Kubrowiyah, yang juga ada dalam silsilah Ahmad al-Qusyasyi. Di antara nama-nama yang disebutkan, mereka pernah bersama belajar di Mekkah, kepada Najmuddin Kubro, berjumlah sekitar 27 orang, dan di antaranya, dari kalangan Syaikh Kubrowiyah ada sejumlah 6 orang, yaitu: Majdudin al-Baghdadi, Ahmad al-Jasadafani ar-Rudbari (harusnya al-Jurjani ar-Rudbari), Syihabuddin Dimasyqi, Alaud Daulah Astambi (harusnya as-Simnani), Mahmud al-Mazdaqani, Zakariya al-Anshari, Ishaq Abul Hattan (Ishaq al-Kuttalani), Abdul Wahab asy-Syaroni, Syah Ali al-Bidud (al-Bidawazi), Ahmad as-Sinnawi, dan Abdul Lathif al-Jami (bukan Abdurrahman Jami).

Di antara tokoh Kubrowiyah yang disebut itu, Abdul Lathif al-Jami (wafat 1555/1556)-lah yang hidup sezaman dengan Syarif Hidayatullah, dan telah membaiat Sultan Turki Utsmani ke dalam Kubrowiyah. Martin van Bruinessen menyebutkan soal ini: “Kita tidak mempunyai catatan  tentang dampak kehadiran Syaikh Abdul Lathif al-Jami di Mekkah ketika dia menunaikan haji, tetapi dapat dipastikan bahwa kehadirannya tersebut memberikan dampak yang cukup kentara. Kedatangan pembimbing ruhani Sultan, yang mengadakan perjalanan disertai sejumlah besar pengikutnya, hampir tidak mungkin terlewatkan tanpa menarik perhatian  orang banyak, dan mungkin menjadi salah satu peristiwa penting yang masih menjadi pembicaraan umum pada tahun-tahun berikutnya” (KKPT, 2007: 229).

Karena berita bahwa Abdul Latif al-Jami dari Kubrowiyah telah mebaiat Sultan Utsmaniyah menyebar di Mekkah, tentu hal itu juga sampai ke Banten, melalaui orang yang belajar di kota suci itu pada tahun-tahuan hidupnya itu Abdul Latif al-Jami. Dan, Syarif Hidayatullah seperti disebut SBR, menyebut Abdul Latif al-Jami sebagai salah satu dari 27 orang yang belajar kepada Syaikh Najmuddin Kubro. Maksudnya tentu adalah belajar dari tarekat yang diajarkan Syaikh Najmuddin Kubro melalaui guru silsilah bersambung.  Dengan demikian, ketika berita ini sampai ke Banten atau tanah Jawa, tentu meyakinkan bahwa tarekat sufi ini merupakan ngelmu hebat, yang berguna untuk dimiliki (atau setidaknya diklaim untuk dimiliki), dan dengan demikian khazanah Kubrawiyah juga dikenal di Jawa.

Sedangkan dalam tarekat Sadziliyah, sebagaimana disebutkan di atas, Syarif Hidayatullah juga berguru kepada Syeh Ataullah Sajjili, atau tepatnya Ibnu Athaillah as-Sakandari as-Sadzili (1250-1309 M). Kalau berpatokan dengan tahun Syarih Hidayatullah ke Mekkah, yaitu yaitu 1446, maka sangat mungkin yang dimaksud adalah guru yang bersambugn silsilahnya sampai kepada Ibnu Athaoillah as-Sakandari, bukan langsung kepada Ibnu Athaillah; kecuali kalau pembaiatan secara barzakhilah yang terjadi.

Tentang tarekat Sadziliyah ini, yang juga menyebar di kalangan masyarakat awal Islam Jawa, juga disebutkan oleh poros spiritual Jawa di kemudian hari, yaitu Hadhratusy Syaikh Hasyim Asyari, di dalam kitab Risalatu Ahlis Sunnah Waljamaah begini: “Kaum Muslimin di kawasan Jawa sejak zaman dahulu menganut satu pendapat dan satu madzhab, satu sumber. Dalam fiqh menganut madzhab yang bagus, madzhab  Imam Syafi`i, dan dalam ushuluddin  (tauhid) menganut madzhab Imam Abul Hasan al-Asy`ari, dan dalam tasawuf menganut madzhab Imam al-Ghozali dan Imam Abul Hasan as-Sadzili” (RASW, 1999: 7).

Beberapa tarekat lain, akan dibicarakan di bagian tersendiri, terutama Ilmu Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, yang juga sudah dikenal di Jawa di masa awal Islam Jawa. Ilmu Syaikh Abdul Qadir bertumpu pada wirid-wirid dan kesalehan yang dibangun melalaui penempaan laku tarekat, seperti ikhlas, sabar, dan sejenisnya; menggambarkan nafsu melalaui simbol-simbol warna; dan kesaktian-kesaktian, yang dihubungkan dengan syaikh.

 

Tasawuf: Memperkenalkan Konsep-Konsep

Dengan melihat rujukan pada kitab tauhid, fiqh, dan tasawuf, yang diajarkan di zaman awal Islam Jawa di atas, para penyebar Islam, berusaha menyatukan kesesuaian secara seimbang antara tiga tradisi Islam: tauhid, fiqh, dan tasawuf; sekaligus menunjukkan bahwa para penyebar Islam di Jawa telah berhubungan dengan pusat Islam di luar Jawa. Penyatuan tiga tradisi ini adalah kreativitas yang menghasilkan gerakan dinamis untuk menyusun konsep-konsep spiritual; meletakkan dasar-dasar kebudayaan, etika publik, dan perjuangan politik, sekaligus penyebaran Islam di kalangan bangsawan dan masyarakat.

Di antara para penyebar Islam Jawa awal, Sunan Bonang, Syekh Siti Jenar, dan Sunan Kalijaga meletakkan dasar-dasar konsepsi olah spiritual dan kebudayaan; Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati banyak fokus di pemerintahan dan penyebaran Islam di berbagai daerah dengan mengirim murid-murid Giri ke berbagai daerah, dan wali-wali lain tidak dibahas di sini. Generasi berikutnya pada zaman Pajang, Mataram di Bumi Mentaok dan Kartasura, juga masa seterusnya di kalangan Islam Jawa banyak mengambil manfaat dari kerja-kerja keras mereka.

Penyusunan Konsep-Konsep Tasawuf, Sunan Bonang

Sunan Bonang atau Makhdum Ibrahim, adalah wali yang banyak diceritakan menjadi guru Sunan Kalijaga dan menulis banyak karya, dan mempengaruhi banyak kultur pengetahuan masyarakat Jawa. Waktu muda pernah belajar ke Pasai, dan beberapa biografinya, menceritakan pernah diajak ayahnya ke Tartar, China, dan beberapa tempat. Setelah itu, berdakwah di Tuban dan dikenal dengan Bonang, merujuk pada alat musik untuk berdakwah dalam bentuk gong kecil. Nama Bonang juga ada yang menghubungkan dengan singkatan dari nama-nama muridnya (SBWSGS, 2016: 59): Bian Sonang, Omar Maliki, Nawu Maliki, Awanang Maliki, Nawas Maliki dan Guntur Maliki.

Hidupnya tidaklah membujang, seperti dianggap sebagian penulis tentang wali ini, karena ada kata-kata Ratu Wahdat dalam Suluk Wujil, dan diterjemahkan dengan selibat, atau tidak beristri. Dalam buku Tarikhul Auliya (1952: 8), Sunan Bonang disebut menikah dengan Dewi Hirah, putri Raden Jakandar Madura (Sunan Malaka), dan memiliki seorang istri yang bernama Dewi Ruhil, dan diperistri oleh Sunan Kudus. Sunan Bonang ini wafat pada pada tahun 1525 (awal abad ke-16) dan dimakamkan di Tuban, yang kini terletak di pusat kota Tuban, sebelah barat Masjid Agung Tuban; dan terletak di  di Dukuh Kauman, kelurahan Kutorejo, Kecamatan Tuban.

GWJ Drewes dalam Javanese Poems Dealing With  or Attributed to The Saints of Bonan, menyebutkan beberapa karya yang telah bisa diidentifikasi dan ditemukan, dihubungkan dengan Sunan Bonang, yaitu: Suluk Wujil, Suluk Kalipah, Suluk Kadresan (Suluk Nasmara), Suluk Regul (Suluk Wragul), Suluk Bentur, Suluk Kan Pipirinan Susuhunan Bonan, Gita Suluk Latri, Gita Suluk Linlung, Gita Suluk, Wasiyat Susunan Bonang, Gita Suluk Sin Aewuh, dan Gita Suluk Jebeng. Karya-karya ini belum termasuk yang disebut Primbon Sunan Bonang, atau Pitutur Syeh Bari.

Dari beberapa karyanya itu, mencerminkan apa yang diperjuangkan dan ditanamkan di dalam masyarakat Jawa, berkaitan dengan konsep-konsep tasawuf, di antaranya:

Mengenal diri sendiri. Melalui Suluk Wujil (SW, versi yang saya gunakan adalah transliterasi Sri Harti Widyastuti, Mekar, 2001), kepada muridnya (Wujil), Sunan Bonang memperkenalkan konsep man `arofa nafsahu arofa robbahu. Dalam SW bait 22-23 disebutkan begini: “Sebaiknya kini engkau Wujil, kenalilah dirimu sendiri. Benar-benar seperti terlentang badanmu itu. Wujil jika engkau matikan yang mengenal diri, tindakannya tak bosan mengekang. Yang mengekang tubuhnya, yang diperhatikan kekurangannya, yang diingat terus menerus; Wujil, yang mengenal diri sendiri dia mengenal Tuhan. Tidak bicara jika tidak ada rahasia yang diajarkannya…”

Cara yang dianjurkan adalah mematikan hawa nafsu: “…orang-orang yang benar-benar mengetahui, mampu mengekang hawa nafsu, siang malam memelihara penglihatannya tidak pernah tidur” (SW, bait 25); “Hendaklah mengekang hawa nafsumu hai Wujil, jika sudah engkau ikat jangan terlalu banyak bicara, jangan terlalu memaksakan kehendak, menuruti kehendak pribadi. Itu jalan yang tersesat, yang diandalkan pendapat sendiri” (SW, bait 43)

Pujian dan sembah yang tak terputus. Dalam SW Sunan Bonang memperkenalkan: “Kebaktian yang unggul tak mengenal waktu. Semua tingkah lakunya itulah sembahyangnya. Diam dan bicara segala gerak tubuhnya, tak urung jadi sembah, sampai pada wujudnya pun kotoran dan air kencingnya menjadi sembah. Itulah yang dikataka niat yang sejati, pujian yang tidak terputus-putusnya. Niat itu lebih penting dari perbuatan yang banyak” (SW, bait 39-40).

Tinunggal Karsa. Sunan Bonang dalam SW memperkenalkan konsep “Manunggal dengan kehendak Pangeran”, begini: “…Jika engkau ingin menemukannya, hilangkan dulu nafsu-nafsumu (tahapan-tahapan harus dilalui). Jika engkau sudah menemukannya, maka engkau akan menemukan kemauan manunggal dengan kehendak”;  “Tunggal rupa berbeda nama, tunggal kehendak berlainan rupanya, manunggal segalanya. Setelah manunggal serta setia dalam mati dan hidup, tiada larangan perihal sandang dan pangan. Semua kehendaknya manunggal dengan kehendak Tuhan. Orang yang dikasihi tidak boleh memilih atau membagi. Itulah tanda manunggalnya kehendak (tinunggal karsa)”; “Orang yang membagi dan memilih ialah orang yang berada di luar, tidak tahu akan keadaan di dalamnya…” (SW, bait 72-73).

Engkau bukan al-Haqq dan al-Haqq bukan engkau. Sunan Bonang dalam SW memperkenalkan  pembedaan antara makhluk dan al-Haqq: “Berhati-hatilah dalam hidup di dunia, jangan lengah sembrono dalam tindakan. Ketahuilah sungguh-sungguh bahwa engkau bukan al-Haqq, dan Al-Haqq bukanlah engkau. Barangsiapa mengenal diri, semata-mata dia mengenal Yang Widhi. Itulah jalan yang sebaik-baiknya.” (SW, bait 11).

Padudoning Kawulo Gusti. Dalam karya yang lain, Primbon Sunan Bonang atau Wejangan Syeh Bari, Sunan Bonang memperkenalkkan konsep Padudoning Kawula Gusti, ketika sudah mengalami fana’ dalam pengamalan tasawuf. Begini yang ditulis: “Padudoning kawula gusti, sifating pangeran tan dadi sifating makhluk, sifating makhluk tan dadi sifating pangeran” (Kebukanan hamba dan Tuhan; Sifat Pangeran tetap bukan sifat makhluk dan sifat makhluk tetap bukan sifat Pangeran).”

Qalbul mu’min min Baitillah. Dalam Gita Suluk, seperti dikutip Drewes dalam Javanese Poems mempoerkenalkan konsep begini: “The hearts of the belevier is the abod of the a Lord (qalbul mu’min min baitillah). Dalam SW Sunan Bonang memperkenalkan manusia adalah cermin Tuhan, dengan membuat contoh-contoh muridnya, Wujil dan Satpada agara bercermin di sebuah cermin dari depan, lalu pindah di belakang cermin, dan disuruh menyebut apa yang terlihat. Ketika Wujil dan Satpada memperlihatkan kepada cermin maka  dia terlihat dalam cermin, tetapi ketika dia tidak memperlihatkan, maka tidak terlihat.

Melihat dengan mata hati. Sedangkan dalam Wejangan Syeh Bari atau Primbon Bonang, disebutkan “Rujatullahi iku aroes tan aroes. Mangka aketjap Shaich al-Bari: e Rijal…! Tegesing rujat ikoe: aningali ing Pangeran ing aherat lan mata kepala ing doenja lan mata ati.” Terjemahnya: “Melihat Alloh itu melihat, tetapi tidak melihat. Sheikh al-Bari berkata: “Wahai manusia…! Arti ru’yat itu melihat Allah dengan mata kepala di akhirat dan di dunia dengan mata hati.”

Melihat Tanpa Penyerupaan. Dalam Wejangan Syeh Bari, disebutkan “tegese ikoe ta kabeh dening saja moendak martabate sinampoernaken tingale dening Pangeran dadi tan sak tingale ing dat-sifat-afal ira, mapan kang tiningalan bila tasybih, kang aningali pon bila tasybih.” Terjemahnya: “Maksudnya itu adalah, semakin tinggi martabat seseorang maka akan semakin sempurna penglihatannya terhadap Allah hingga sampai pada dzat, sifat dan perbuatan mu. Allah dapat nampak tanpa penyerupaan dan yang melihat juga melihatNya tanpa penyerupaan (kepada makhluk)”

Sholat daim. Sunan Bonang, juga dalam Suluk Wujil, memperkenalkan konsep laku sholat daim untuk menyempournakan laku seorang mukmin, selain tetap menjalani sholat 5 waktu, disebutkan begini: “Utama sarira puniki, Angawruhana jatining salat, Sembah lawan pamujine jatining salat iku, Dudu ngisa tuwin maghrib, Sembahyang araneka, Wenange puniku, Lamun ora nana sholat, Pan minongko kembange sholat daim, Ing aran tatakrama.” Terjemahnya: “Yang paling utama untuk manusia, Adalah mengenal jatinya sholat (intisari), Sembah lan pujian, Sholat yang sempurna itu, Bukan (semata menjalankan) isya dan maghrib (lima waktu), Yang disebut sembah, Terhadap ketuhanan itu berlaku, Tidak ada solat (yang sejati), (Sholat yang sejati) adalah berbunga sholat daim, Dinamakan tatakrama” (versi terjemahan dalam MDTKB, 1988: 212).

Di luar konsep-konsep itu, penyusunan konsep-konsep lain yang ingin ditanamkan, bisa ditelusuri lebih dalam sebagaimana dalam karya-karya Sunan Bonang di atas. Perlulah difahami bahwa Sunan Bonang adalah mewakili kelanjutan dari ilmu ayahandanya, Sunan Ampel, disamping kelanjutan ini diterusakan melalui Pesantren Giri oleh Sunan Giri.

Penyusunan Konsep-Konsep  Tasawuf, Sunan Kalijaga

Penyusunan konsep-konsep marifat dan penglihatan dalam pengalaman spiritual, juga dilakukan Sunan Kalijaga, seperti tampak dalam Kidung Kawedar atau Kidung Rumekso Ing Wengi dan Serat Kaki Walaka.  Dalam Kidung Kawedar, Sunan Kalijaga menyusun konsep marifat dalam kerangka manusia sebagai sedulur papat lima pancer, digambarkan ada empat pancer yang harus dirawat manusia, yang itu dari sudut unsur ada pada tubuh manusia sendiri: darah, air ketuban (kakak), ari-ari (adik), dan pusar; sementara kekuasaan Gusti Alloh di dalam diri manusia didistribusikan, di antaranya melalaui 4 malaikat di empat penjuru: malaikat Jibril memanggil untuk meneguhkan iman di hati; Ijrail yang memelihara hidup dan mati; Israfil menerangi suluh kalbunya; Mikail yang mendistribusikan pakain dan makanan.

Konsep 4 pancer juga diungkapkan dalam Kidung Bonang (Agus S, WSKSD, 2011: 137), diungkapkan sebagai 4 malaikat di empat penjuru. Sunan  Kalijaga juga mengungkap konsep tuwajuh jroning ati, sabar tawakkal, manfaat ayat Kursi, memperkenalkan istilah wali, Ilmu Qulhu Balik (yang sekarang banyak dikenal drnegan istilah ilmu Qulhu Sungsang), konsep wali, dan lain-lain. Dalam Serat Kaki Walaka (SKW), Sunan Kalijaga memperkenalkan perjalanan dan mengungkap perdebatan-perdebatan dan diskusi dengan mengutip para wali lain di tanah Jawa. Untuk kreativitas Sunan Kalijaga dalam mengkonstruk konsep-konsep rohani, secara lebih laus, akan diuraikan dalam pembahasan di bab tersendiri.

Penyusunan Konsep-Konsep, Syekh Siti Jenar

Penyusun konsep-konsep tasawuf  berikutnya yang sangat berpengaruh adalah Syekh Siti Jenar. Salah satu konsep yang ditanamkan di Jawa oleh Syaikh Siti Jenara adalah sebagaimana dikatakannya kepada Syaikh Domba: “Di dalam dadamu ada Al-Qur’an. Sesuai apa tidak yang saya aturkan, Kanda (Syaikh Domba) pasti tahu?” (Serat Syaikh Siti Jenar, pupuh 6:18).

Syaikh Siti Jenar juga memperkenalkan konsep Ingsun Sejati, dan memberi nama Alloh dengan berbaga nama yang sudah akrab di Jawa dengan makna tauhid Islam, seperti Pangeran Kang Murba ing Dumadi, Gusti Alloh, Prabu Satmata, dan beberapa yang lain. Nama-nama Alloh ini memberikan pengertian konsep tauhid, terkait dengan asma Alloh, tidak terbatas hanya satu atau dalam bahasa Arab, tetapi juga dapat diterjemahkan dengan bahasa-bahasa lokal. Karena Syaikh Siti Jenar memperkenalkan istilah Ingsun Sejati, sehingga dalam permusyawarat para wali dia yang menyebutkan begini:

“Iyo ingsun iki Alloh, endi si malih, mapan arane malih, samngking ingsun iki.” Syaikh Lemah Abang meneruskan: “Tidaklah saya berbicara soal jasmani lagi. Apakah yang menjadi pokok masalah, sebenarnya bukan masalah jasmani; pada tempatnya kita mengemukakan pendapat masing-masing, karena itu jangan ada perasaan yang bukan-bukan, hendaklah saling mencari pengertian” (PWSM, 2002: 28). Yang dimaksud, manusia yang terlihat secara jasmani adalah sarana Ingsun Sejati, dari sudut hakikat, karena yang sedang dibicarakan bukan aspek jasmaninya.

Syaikh Siti Jenar juga membuat konsep syahadat dengan makna yang dapat mudah difahami oleh orang Jawa dan sesuai dengan pengalaman spiritual yang ditangkap sang wali, seperti dalam Wejangan Walisanga, memaknai syahadat dari sudut hakikat: ashadu, jatuhnya rasa; ilaha bermakna kesejatian rasa; illalloh bermakna bertemunya rasa; Muhamamd, bermakna karya yang maujud; dan Pangeran bermakna kesejatian hidup” (Wejangan Walisanga, 26: 82).

Sebagaimana juga Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, Syaikh Siti Jenar juga mengemukakan konsep sholat daim; kalau tinunggal karsa dalam konsepsi Sunan Bonang, ada manunggaling kawulo lan gusti dalam konsep Syaikh Siti Jenar (yaitu manunggaling karsa), dan banyak lagi yang lain, seperti yang ada dalam kitab-kitab yang memuat ajaran-ajaran yang dinisbahkan kepada Syaikh Siti Jenar, seperti Serat Syaikh Siti Jenar dan Wejangan Walisanga.

 

Nur Muhammad dan Ilmu Hikmah di Zaman Awal Islam Jawa

Ada dua hal yang ditambahkan di sini, yaitu soal Nur Muhamamd di Jawa dan ilmu hikmah. Tentang nur Muhamamd berhubungan dengan dua kitab, Daqoqiul Akhbar dan Kitab Maulid. Tentang Daqoiq, telah disebutkan di atas, termasuk kitab yanga wal diajarkan di Jawa. Sedangkan ilmu hikmah berhubungan dengan marifat atas khowas-kowash dari amal-amal para wali yang dianugerahkan oleh Alloh; dan aspeknya cukup luas, misalnya tentang penumbalan, tentang penjagaan dari gangguan setan dan jin, dan lain-lain.

Nur Muhammad

Sebagian sarjana yang konsen terhadap kajian-kajian Jawa, seperti Martin van Bruinessen, menyebutkan di antara kitab yang dipelajari di pusat-pusat penyebaran Islam sejak awal adalah Syarah fi Daqoiq. Kitab ini maksudnya adalah Daqoiqul Akhbar, yang disusun oleh Imam Abdurrahman bin Ahmad al-Qadhi, adalah kitab yang membicarakan banyak aspek: kejadian Ruhul A’zom (Nur Muhammad), kejadian Adam, malaikat dan sifat-sifatnya, malaikat Izrail, malaikat maut dan cahayanya, dialog malaikat maut dan nyawa yang dicabut, setan dan caranya merobek iman, adanya pemanggil, keadaan bumi dan kubur, memaggilnya ruh setelah keluar dari badan, musibah atas diri mayit.

Selain itu Daoqiq juga membahas:  sabar atas musibah, keluarnya ruh atas badan, adanya malaikat yang masuk sebelum Munkar dan Nakir, tentang malaikat Kiraman Katibin, ruh yang keluar mendatangi rumah dan kuburnya, sangkakala maut, hari kebangkitan dan mahsyar, adanya tiupan yang mengejutkan, hancurnya sesuatu karena perintah Alloh, Alloh mengumpulkan sesuatu dari para malaikat, sifat dan kondisi Buraq, tiupan sangkakala untuk kebangkitan, makhluk di padang makhsyar, panasnya hari kiamat, dekatnya surga, agungnya hari kiamat, melayanmgnya buku catatan amalan di hari kiamat, soal timbangan, mizan, neraka dan isinya, pintu-pintu neraka, tentang jahanam, manusia digirim ke neraka, malaikat zabaniyah, ahli neraka dan minumannya, berbagai siksa, keadaan peminum arak, yang keluar dari neraka, soa surge yang tujuh, pintu-pintu surga, para bidadari, dan keadaan ahli surga.

Tentang Nur Muhammad dalam kitab itu disebutkan di antaranya: “Telah datang keterangan dalam suatu hadits, sesungguhnya Alloh Ta`ala menciptakan pohon yang mempunyai 4 dahan, dan menamakan pohon itu dengan syajaratul yaqin. Kemudian Alloh menciptakan Nur Muhammad di dalam hijab dari intan  yang putih, seperti umpamanya burung merak, lalu Alloh meletakkan intan itu di atas pohon itu, maka intan itu bertasbih di atas syajarah itu kira-kira 70.000 tahun.”

“Kemudian Alloh menciptakan cermin kehidupan, lalu meletakkannya di depan Nur Muhammad yang indah seperti burung merak itu. Ketika Nur Muhamamd itu melihat dirinya di dalam cermin, maka jadi tahulah intan ini akan keelokan rupanya dan kebagusan akhlaknya. Akhirnya Nur Muhamamd malu kepada Alloh Taala, sehingga berkeringat. Keringat itu menetes 6 tetesan. Alloh menciptakan tetesan pertama Abu Bakar; dan dari tetesan kedua Alloh menciptakan Umar; dari tetesan ketiga menciptakan Utsman; dari tetesan keempat Alloh menciptakan Ali; dari tetesan kelima Alloh menciptakan bunga mawar; dan dari tetesan keenam Alloh menciptakan tanaman padi.”

“Kemudian Nur Muhamamd itu sujud 5 kali, maka jadilah bagi kita wajib sujud lima kali itu, kefardhuan yang diwaktukan. Alloh mewajibkan 5 sholat kepada Muhammad dan umatnya (melalaui isra mi’roj). Kemudian Alloh melipat Nur Muhamamd itu sekali lagi, maka berkeringatlah Nur Muhammad karena malu kepada Alloh. Dari keringat hidungnya, Alloh menciptakan malaikat; dan dari keringat wajahnya Alloh menciptakan Arsy, Kursy, Lauh, Qolam, Matahari, Bulan, hijab, beberapa bintang dan sesuatu yang yang ada di langit…,” dan begitu seterusnya.

Kalau kitab ini dipandang sebagai kitab  yang cukup awal diajarkan di Jawa di samping kitab-kitab  akidah lain, seperti Usul 6 Bis atau Samarqandi (akan dibicarakan dalam tulisan tersendiri), maka sejak awal pula harus diterima pandangan-pandangan yang ada di dalamnya, paling tidak telah dibaca oleh para penyebar Islam awal, dan di antaranya adalah konsep tentang Nur Muhammad.

Pada masa selanjutnya, kitab yang membicarakan soal Nur Muhammad adalah Kitab Maulid Syarful Anam, dalam himpunan Kitab Maulid, yang oleh Michel Laffan disebut beredar di dunia Islam Asia Tenggara, dan pernah divcetak di Bombay (SIN, 2015: 174); dan tentu saja, para penganut tarekat yangs emakin lama berkembang luas.

Di antara pembahasan soal Nur Muhammad dalam Maulid Syarful Anam begini: “Diriwayatkan dari Nabi Muhamamd shollallohu alaihi wasalam beliau bersabda: “Aku telah menjadi Cahaya di sisi Alloh yang Maha Luhur, sejak 2000 tahun sebelum Adam diciptakan. Cahaya itu senantiasa bertasbih kepada Alloh yang Maha Luhur. Dan malaikat-malaikat mengiringi tasbih-tasbihnya. Ketika Alloh yang Maha Luhur menciptakan Adam, Alloh menyisipkan Cahaya itu ke tanahnya, maka Alloh pun menurunkanku ke bumi melalui sulbi Adam, membawaku dalam bahtera di sulbi Nuh, lalu menjadikanku berada di sulbi Ibrahim, Sang Kholilulloh, saat ia dihempaskan ke dalam api. Aku terus dipindahkan-Nya, dari satu sulbi ke sulbi suci yang lainnya, lalu ke rahim suci dan agung, dan akhirnya mengeluarkanku, dari kedua orang tua, yang tidak pernah sedikit pun menyeleweng.”

Ilmu Hikmah

Salah satu buah dari marifat adalah Ilmu hikmah, yang bermakna ilmu yang digali dari mengerti atas khowas-khowas atau asror amal-amal dan dzikir-dzikir, yang dijalankan melalui riyadhah dan ketekunan, sampai memperoleh anugrah dari Alloh. Dalam tradisi Islam Jawa, tokoh yang sering dihubungkan dengan ini, di antaranya adalah Syaikh Subakir, yang dianggap ahli dalam menumbali tanah Jawa; dan Syaikh Syamsu Jen yang ahli dalam ilmu ngerti sakdurunge winarah, dengan kitab yang sering dikutip-kutip bernama Musarar; dan para wali lain yang memiliki anugerah-anugerah keramat.

Dalam Suluk Lokajaya diceritakan ketika brandal Lokajaya hendak membegal Sunan Bonang, dan Sunan Bonang menggunakan ilmu hikmah, dapat memecah dalam beberapa bentuk, menjadikan Brandal Lokajaya tertunduk dan mengakui keunggulan Sang Sunan, kemudian mau menjadi muridnya. Cerita yang disebutkan dalam Babad Tembayat,  juga meceritakan keramat Tembayat di Jabal Kat, ketika berhubungan dengan para penantangnya.

Cerita seperti ini dapat ditemukan juga dalam kasus cerita masuk Islamnya orang-orang Keling melalui wasilah Syarif Hidayatullah. Dalam Perjuangan Wali Sanga Babad Cirebon (PWSBC, hlm. 117-118), disebutkan ketika Syarif Hidayatullah diserang beberapa kali oleh pukulan orang-orang Keling yang diajak masuk Islam, dia terhindar dari pukulan mereka, dan kemudian membalas dengan berdeheman, yang disebut begini:

“Pada saat itu beliau hanya berdehem satu kali, dan dengan deheman beliau itu, mereka orang-orang Keling yang menyerang  semuanya roboh dan tidak berdaya, akhirnya minta ampun kepada beliau. Beliaupun tidak keberatan mengampuni mereka, tetapi dengan syarat, mereka harus mengikuti  beliau. Akhirnya mereka dapat menerima syarat itu dan tunduk di bawah perintah beliau. Kemudian mereka disuruhnya membaca dua kalimat syahadat. Setelah mereka semua membaca kalimat syahadat dengan mengerti pula maksud artinya, maka mereka semua mengikuti perjalanan beliau ke Cirebon.”

Tentu banyak juga cerita-cerita lain selain dari cerita Syarif Hidayatullah, yang berhubungan dengan cerita-cerita adikodrati dalam masuk islamnya orang Jawa. Hal ini memerlukan penjelasan soal konsep keramat dan karomah, yang dihubungkan dengan amal-amal, dzikir-dzikir, dan khowas-khowas dari amal itu yang telah dianugerahkan Alloh kepada para pengamalnya. Ilmu-ilmu oleh sebagian para wali, kemudian dikembangkan melalui sarana-sarana wifiq, rajah-rajah, petungan-petungan, mantra-mantra, dan sejenisnya. Di berbagai kitab Primbon atau Mujarrobat (sesuatu yang telah diuji coba dan terbukti), banyak disebutkan soal ini.

Orang-orang pesantren yang lebih belakangan kemudian memperoleh rujukan-rujukan dari kitab yang dibaca oleh orang-orang yang memang serius dan tekun mempelajarinya, ketika mesin cetak telah meluas, melalaui karya-karya: al-Aufaq (Al-Ghazali), Syamsul Maarif (al-Buni), Manba’ Ushulil Hikmah (Al-Buni), Mujarrobat Dairabi, dan lain-lain; dan para ahli tarekat mengembangkan ini di dalam mantra-mantra hizib, yang telah dibuktikan khowas-khowasnya, sekaligus bahaya-bahayanya bagi pemula.

 

Para Wali Penyebar Islam, Berjejering, tetapi Independen-Dinamis

Menjadi jelas, upaya yang dilakukan para penyebar Islam awal dalam mengembangkan Islam, dan khususnya tasawuf adalah dengan tetap berpijak pada kerangka penyatuan fiqh, tauhid, dan tasawuf yang diajarkan secara bersamaan. Pada saat yang sama, para wali melakukan kerja-kerja social: secara kultural dan struktural secara bersama-sama, baik di level kekuasana politik atau di tengah amsyarakat. Kerja-kerja kultural tidak dioposisikan dengan kerja-kerja structural kekuasaan. Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, dan Syekh Siti Jenar  banyak melakukan kerja kultural tetapi sekaligus juga kerja struktural mempengaruhi birokrasi dan kelembangaan politik, meskipun mereka tetap menjadi pemimpin-pemimpin rohani.

Jaringan yang dibangun, bukan hanya dilevel lokal, tetapi juga internasional, dengan melihat rujukan kitab-kitab yang sejak awal dibangunm untuk menanamkan ajaran Islam di tengah masyarakat Jawa. Mereka telah membaca secara baik khazanah yang berkembang di dunia Islam; tetapi juga mereka sadar menanamkannya di tengah masyarakat Jawa melalui proses yang panjang dan tidak kenal lelah, sehingga SunanBonangd an Sunan kalijaga pun memilih bahasa Jawa daripada bahasa Arab. Mendidik murid dan melebarkan sayap jaringan, dilakukan dengan kerja keras, dan pada saat yang sama, sebagian mereka mengarang kitab-kitab pegangan di lingkup ruang pengaruh masing-masing.

Tradisi literasi sejak lama telah dilakukan oleh para penyebar Islam awal, dengan adanya karya-karya yang mulai diterbitkan dan bisa dibaca, meskipun naskah-naskah kuno belum semua bisa diakses pada saat ini. Hal ini membawa pengertian bahwa, para ahli tasawuf sekaligus pemimpin di tengah msyarakat, adalah para pemimpin yang juga mengajarkan menulis dan membaca, pengetahuan etika publik, dan kalau sekarang adalah mengajarkan pengetahuan. Pada saat yang sama, mereka mengungkapkan pengalaman-pengalaman spiritual secara mandiri dan  bertanggungjawab terhadap keilmuannya, meskipun mereka semua tidak harus sama dengan apa yang di ada di pusat-pusat pengetahuan masa awal. Konsep-konsep yang dibangun, dengan begitu mengalami dinamisasi, pengerangkaan, dan juga diskusi-diskusi, seperti tampak dalam Musyawaratan Para Wali, yang tentu tidak boleh dibaca hanya terjadi sekali.

Tradisi tasawuif di masa awal abad XV-XVII, tidak diungkapkan dengan konsep martabat, tetapi dengan konsep marifat-iman-tauhid, tinunggal karsa kawula lan Gusti, padudoning kawulo lan Gusti (Sunan Bonang), sedulur papat lima pancer (Sunan Kalijaga) dan pengenalan terhadap Nabi Hidhir dan ilmu-ilmu hikmah, dan konsep Insung Sejati (Syekh Siti Jenar) dan beberapa yang lain. Konsep-konsep ini mendominasi wacana dan persebaran dalam ilmu-ilmu kasampurnan urip muslim Jawa yang dibangun di tengah masyarakat. Konsep-konsep ini, kemudian diperkaya melalaui perkembangan martabat tujuh pada abad berikutnya, yang berkembang di kalangan muslim Jawa, seiring dengan menyebarkanya Tarekat Syathariyah melalaui garis Syaikh Abdul Muhyi (yang akan dibahas tersendiri); tidak melalui Syaikh Datuk Kahfi.

Tatanan lama yang dibangun para wali penyebar Islam awal, mengalami perkembangan dan diteruskan, didinamiskan seiring dengan datangnya para Arif billah Jawa yang menuntut ilmu di pusat belajar orang muslim (Mekkah) pada periode berikutnya; dan seiring adanya disintegrasi kerajaan Islam di masa Mataram. Tiga orang yang kemudian terkenal dan menjadi penting pada masa ini, di antaranya adalah Mbah Nur Iman Mlangi yang menulis as-Suniyul (atau Asnal) Mathalib, Mbah Mutammakin Kajen yang menulis Asyrul Muwahhidin, Abdul Muhyi di Pamijahan yang menulis Martabat Kang Pitu, dan beberapa kyai lain setelah itu.

Konsep Nur Muhammad dan ilmu hikmah terus berkembang melalui para ahli tarekat dan guru hikmah. Pada saat yang sama, penghormatan terhadap Sulthonul Auliya, bernama Syaikh Abdul Qadir al-Jilani semakin kuat melalui naskah-naskah Hikayat Syeh, Manaqib, dan Pengaosan atau Layang Syeh (yang akan dibahas dalam tulisan tersendiri). Pesantren semakin berkembang. Di pusat kekuasaan Mataram, berganti-ganti Raja, tidak mempengaruhi penyebaran tarekat-tarekat tasawuf ini, sampai memperoleh pukulan keras dari kolonial Belanda dalam Perang Jawa.

Setealah perang Jawa, para kyai dan penyebar Islam harus membangun basis-basis kembali di tanah Jawa di tempat-tempat terpencil, yang sampai sekarang, sebagian di antara mereka kemudian menjadi pusat-pusat pesantren besar. Pesantren-pesantren yang sebelumnya ada dan menjadi pusat pengkaderan generasi muslim Jawa, banyak yang runtuh akibat perang Jawa. Walhamdu lillahirabbil `alamin. Wallohu a’lam.

 

*Esai di atas adalah materi acara Suluk Kebudayaan Indonesia #3 yang pertama, yang diselenggarakan pada 7 Maret 2020, Pukul 19.00-Selesai, di Sarang Building 2, Kalipakis, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul.

Kitab Rujukan dan Penjelasan Tentang Ilmu Hikmah

Kitab-kitab yang dijadikan rujukan dalam Amalan-amalan wirid hikmah di Pesantren, selain amalan tarekat dan Hizib-hizib dari guru tarekat mereka, adalah Kitab-kitab yang terkenal dipelajari, dibaca, dan diperjualbelikan sebagai kitab kuning di kalangan pesantren. Di antara kitab-kitab ini, pertama, yang disusun oleh Imam Ghozali berjudul Al-Aufaq, berisi berbagai khasiat wifiq untuk berbagai keperluan.

Kedua, Syaikh Ahmad bin Ali bin Yusuf al-Buni (w. 1225 M.) sangat terkenal di kalangan ahli hikmah dan menyusun dua kitab penting: Syamsul Ma`arif al-Kubro dan Manba’u Ushulil Hikmah. Kitab Syamsul Ma`arif  di antaranya berisi silsilah keilmuan pengarang; berbicara huruf-huruf dan rahasianya; membahas susunan alam; membahas huruf dan keutamaan waktu-waktu; dan banyak lagi yang lain. Kitab al-Buni kedua berjudul Manba’u Ushulil Hikmah terdiri dari 4 jilid: berisi dasar-dasar dan dhowabith ilmu hikmah; marifat tentang pembuatan wifiq-wifiq (semacam rajah); syarah al-Burhatiyah; dan syarah Al-Jaljalutiyah al-Kubro, yang berisi penjelas khowash, fadhilah, dan kaifiyah membaca bait-bait dalam doa Al-Jaljalut al-Kubro.

Ketiga, Syaikh Muhammad Haqqi Nazili menyusun Khazinatul Asrar, juga banyak dijadikan rujukan ilmu hikmah, termasuk rujukan di dalam menjawab berapa pertanyaan di dalam Bahtsul Masail yang diadakan para ahli tarekat NU. Versi yang diterbitkan Al-Haramain, ada 194 masalah yang dibahas di kitab ini, dan di antara yang dibahas adalah keutaman dan khasiat Ayat Kursi, Basmalah, surat-surat Al-Qur’an, sholawat, Khatam Khawajikan, dan lain-lain.

Keempat, Ibnul Hajj at-Tilimsani al-Maghrabi menulis Syumusul Anwar  yang berisi Rahasia-rahasia huruf dan khowash-nya;  khowash Asmaul Husna, ayat-ayat Al-Qur’an;  khowash niat, dan banyak lagi yang lain.

Kelima, Syaikh Ahmad ad-Dairabi juga menyusun Mujarrobat dairobi yang dikenal dengan kitabnya Fathu Mulkil Majid al-Mu’allaf li Naf`il Abid wa Qam`i likulli Jabbarin `Anid berisi banyak petunjuk dan khowash yang dikemukakan soal basmalah, surat Al-Fatihah, Ayat Kursi, Surah Yasin, Al-Mulk, Al-Waqiah, al-Qadar, al-Fil, dan beberapa surat lain; khowas asma ya Lathif, Lafdzul Jalalah, doa awal tahun-akhir tahun, doa penolak rihul ahmar, dan lain-lain.

Keenam,  Sayyid Muhammad al-Maliki menulis Abwabul Faraj, termasuk kitab belakangan  di antara kitab-kitab hikmah yang dibaca. Kitab ini menghimpun berbagai doa dan wirid tentang kelapangan hati dan menghapus berbagai kesulitan; ada yang dihubungkan untuk doa-doa memenuhi kebutuhan mendesak; menyembuhkan berbagai sakit dan upaya menolak berbagai kesulitan; ada yang diambil dari ayat-ayat Al-Qur’an, khowash istighfar, bab sholat istikhoroh, dan diakhiri dengan pembahasan sholawat kepada Nabi.

Beberapa kitab yang banyak dibaca dalam referensi ilmu hikmah di atas, belum lagi 2 kitab sholawat karangan Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani: Afdhalush Sholawat `ala Sayyidis Sadat dan Sa`adatud Darain. Meski mereka membaca kitab-kitab di atas, atau kitab-kitab lain yang memuat amalan hikmah, di dalam pengamalannya, para pengamal di kalangan pesantren tetap mengacu pada apa yang diberikan para pengijazah di kalangan guru-guru mereka: misalnya tentang kaifiyah dan jumlahnya. Kitab-kitab tersebut dibaca sebagai referensi dan pengaya dari berbagai amalan yang telah dimiliki.

Amalan ilmu-ilmu hikmah ini, adalah sesuatu yang dilakukan oleh guru-guru besar yang sangat dipandang di kalangan masyayikh sufi, termasuk masalah ilmu-ilmu huruf, wifiq-wifiq, dan lain-lainnya.  Hal ini diakui oleh Syaikh Al-Buni di dalam kitab Syamsul Maarif, pada bagian akhir, menjelaskan sanad yang dimilikinya dalam pengambilan ilmu haqiqat dari Imam Ali melalui guru-guru seperti Imam Jafar ash-Shodiq, ilmu batin diambil dari Imam Ja’far Shodiq dari Qosim bin Muhammad dari Sayyiduna Abu Bakar dari Rosulullah. Sedangkan ilmu-ilmu rahasia huruf, disebut berasal dari berbagai masyayikh sufi, termasuk tentang ilmu-ilmu Wifiq, juga demikian.

Di dalam pengamalan ilmu-ilmu hikmah, beberapa penjelasan penting di antaranya diwasiatkan oleh para penyusun beberapa kitab tersebut, di antaranya begini:

Pesan Syaikh Ahmad Dairabi

Dalam pembukaan Mujarrobat Dairobi, disebutkan:

“Tatkala seorang zhalim merintangiku dan merintangi orang-orang terdekatku dengan mengambil tanah milik kami, maka aku putuskan untuk memohon dengan sungguh-sungguh dan merendahkan diri kepada Alloh, dengan berbagai doa dan istighotsah, yang akan dijelaskan dalam kitab ini. Aku juga mengamalkan Surat Yasin dan amalan lainnya sebagaimana yang akan dijelaskan pada bab yang membahas  perihal amalan untuk menaruh rasa iba dalam diri seseorang, sehingga orang zhalim itu merasa iba kepada kami dan terjadilan perdamaian antara kami dan dia sebaik-baiknya.”

Penjelasan ini menagaskan bahwa para ahli hikmah yang sesungguhnya, adalah mereka yang tidak meninggalkan usaha (untuk melakukan perdamaian dan usaha-usaha lain yang perlu ketika menyangkut apa yang diperlukan), dengan tetap mengokohkan perjalanan mereka dengan berbagai wirid untuk istighotsah. Kedua-duanya dijalankan; dan pemilihan atas aurad tertentu itu sampai dimengerti pada asrar-nya, dan pengembalian semua kepada Alloh adalah kunci keselamtaan dalam melakoni ilmu-ilmu ini, seperti dijelaskan Syaikh Ahmad ad-Dairabi di atas, sebagai istighotsah, merendahkan diri kepada Alloh.

Pesan Syaikh Muhamamd Haqqi Nazili

Dalam Khazinatul Asrar, Syaikh Muhammad Haqqi Nazili pada bagian-bagian awal kitabnya menjelaskan demikian:

“Ketahuilah sesungguhnya ayat ini dan hadits-hadits itu penjelasan bagi asrar Al-Qur’an, menjadi peringatan,  anjuran, dan pengingatan, pengajaran, bagi setiap orang untuk menekuni membaca Al-Qu’an, pengingat bagi orang-orang lupa, dan ancaman, pencelaan, bagi orang-orang yang menekuni (semata-mata wirid-wirid) selain dari Al-Qur’an. Berkata Imam Ad-Dainuri di kitab Kasyful Kunuz, lihatlah wahai akyas, dan berfikirlah wahai manusia, bahwa banyak aurad dan dzikir-dzikir yang mereka menyibukan dengannya di zaman ini, dari pengajaran masyayikh…”

Apa yang dikemukakan Syaikh Haqqi Nazili ini diperhalus lagi dengan sentuhan: “Dikatakan: “Seorang murid tidak akan menjadi murid sampai ia menemukan di dalam Al-Qur’an apa yang dicari, dan mengerti darinya kekurangan-kekuarangan dari adanya kelembihan-kelebihan, dan merasa cukup dengan Kalamul Maula (Al-Qur’an) daripada Kalamul Abid (perkataan syaikh misalnya)” (hlm. 3).

Meski begitu, maksudnya bukan berarti wirid-wirid dari syaikh ditinggal sama sekali, tetapi difahami jangan sampai meninggalkan wirid Al-Qur’an dan segala yang terkandung di dalamnya, semisal wirid tahlil, asmaul husna, ayat-ayat tertentu, istighfar, tasbih, tahmid, hauqalah, sholawat, dan rangkaian wirid yang diambil dari ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Di Jawa dan di pesantren, mantra-mantra Jawa dan hizib-hizib dilakukan, dengan tidak meninggalkan hal-hal fardhu, membaca Al-Qur’an, dan sejenisnya.

Pesan Syaikh Muhammad Al-Buni

Dalam kitab Syamsul Maarif wa Lathoiful Ma`arif Syaikh Al-Buni di bagian awal-awal, mensyaratkan wudhu untuk berinteraksi dengan kitabnya:

“Maka haram bagi orang yang meletakkan kitab ini di tangannya, atau memberikannya kepada orang yang tidak ahlinya (tidak layak diberi soal ilmu hikmah), atau menceritakannya bukan pada tempatnya (di dalam forum dan lingkaran orang), maka sesungguhnya yang melakukan itu semoga Alloh mengharamkan manfaat-manfaatnya, mencegah faedah-faedahnya, barokah-barokahnya, dan tidak memegangnya kecuali engkau dalam keadaan suci…” (jilid I: 2)

Penjelasan ini menegaskan bahwa untuk berintraksi dengan kitab ini saja harus dimulai kesucian, dan karenanya dimulai badan fisiknya bersuci, dan batinnya hanya diorientasikan untuk mencari ridho Alloh. Maka lebih lagi, dalam melakoni ilmu-ilmu hikmah yang diwariskan para wali di zaman dulu, di kalangan kyai-kyai pesantren, disadari tidak boleh didasarkan untuk hal-hal lain kecuali memohon kepada Alloh melalui amalan-amalan itu, adalah suatu pagar penting, agar tidak terpeleset di tengah jalan.

Ijazahan Amalan dari Guru yang Masih Hidup

Meskipun dalam tradisi sufi ada jenis guru yang membibing murid ketika sudah wafat, melalui metode Uwaisyi atau kelompok Uwaisy, sebagaimana disebut Syaikh Abdurrahman jami dala Nafahat al-Uns min Hadhratil Quds, tetapi di kalangan pesantren yang menghidupi Islam Jawa, amalan wirid banyak berhubungan dengan ijazahan dari seorang guru yang masih hidup, dan berhubungan dengan tradisi berdzikir agar semakin dekat dengan Alloh, tanpa harus menafikan sebagian di antara mereka telah mencapai penglihatan dan pertemuan dengan  mereka yang sudah mati, termasuk dengan sebagian guru yang dikenal dengan Khidr.

Berkembanglah kemudian sebuah semboyan yang penulis temukan di kalangan mereka ini: “Barang siapa yang tidak memiliki guru, gurunya adalah syetan dan jin”.  Semboyan ini, ditanamkan kepada murid dan masyarakat pesantren. Semboyan ini, ternyata ada juga dalam kitab Khozantul Asrar, yang ditulis oleh Syaikh Haqqi Nazili; ada juga dalam kitab Risalah Alussunnah Waljamaah yang dikarang oleh Syaikh Hasyim Asyari; dan dalam kitab Syaikh Abdul Qadir al-Jilani.

Murid berdzikir harus memiliki guru ini, membedakan ijazahan kalangan pesantren dengan sebagian mereka yang tidak dari kalangan pesantren-pesantren Islam Jawa dalam menjalankan wirid. Di kalangan mereka ini, wirid-wirid tertentu dijalankan sebagai hasil dari membaca dari buku dan kitab-kitab hadits, lalu menemukan amalan wirid tertulis di situ, lalu diamalkan untuk wirid harian dan personal, dengan keketatan berdasarkan kitab-kitab hadits tertentu. Bagi kalangan Islam Jawa, kecuali untuk wirid bakda maktubah (setelah sholat lima waktu), sebelum sebuah wirid yang ditemukan dari kitab hadits misalnya, atau dari kitab-kitab Fadha’ilul a’mal itu diujicoba dan telah dipraktikkan oleh guru-gurunya, belum secara langsung dimalkan sebagai wirid.

Prinsip kehati-hatian itu diterapkan berkaitan dengan semboyan yang berkembang di atas: “Barang siapa yang tidak memiliki guru (yang masih hidup), gurunya adalah syetan dan jin.” Semboyan ini ditanamkan karena telah dipraktikkan dan diujicobakan sebagai pengalaman dalam menjalankan tirakat (laku prihatin lewat metode dan cara-cara tertentu, dengan wirid-wirid tertentu), sampai-sampai Ibnu Arabi al-Hatimi dalam kitan Al-Hikam-nya, mengatakan begini: “man lam ya’khud ath-thariq `anirrijal, fahuwa yantaqilu min muhalin ila muhalin (Ibnu Arabi, “al-Hikam al-Ilahiyah”, dalam Syarhu Hikam asy-Syaikh al-Akbar, hlm. 153).

Dalam konteks itu, amalan wirid adalah bagian dari ath-thariq, jalan menuju Alloh. Dengan bimbingan guru yang hidup, sang murid yang telah memperoleh ijazah dapat terus berkonsultasi dan dibimbing untuk mencapai tahap tertentu. Guru-guru di alam barzakh juga ikut mendoakan sang murid, dan dengan demikian barokah guru yang telah dianggap melakukan tirakat dan menjalani wirid secara mudawamah itu, bisa memberikan manfaat batin dan peningkatan spiritual. Sampai akhirnya seorang murid mampu berjalan sendiri dan mudawamah dalam berdzikir, termasuk dalam ukuran dosis, jumlah dari bacaan-bacaan wirid itu, sang guru pun masih tetap dihormati sampai ia meninggal. Setelah meninggal pun tetap dikirimi al-Fatihah.

Dikatakan min muhalin ila muhalin, adalah berdasarkan pengalaman-pengalaman dari berbagai praktik yang telah ada. Seorang guru bercerita, bahwa wirid apa pun kalau dilakukan secara ajeg dengan jumlah tertentu, akan memberikan warid. Ada yang puas misalnya, hanya memperoleh mimpi-mimpi yang baik, tetapi ada juga mereka yang tidak hanya berhenti di situ.  Warid adalah sesuatu yang datang ketika orang sudah menjalankan wirid secara ajeg dalam jangka waktu tertentu. Imam al-Ghazali dalam kitab Minhajul Abidin mengemukakan, kadang-kadang muncul bisikan-bisikan dari suara ghaib, dari berbagai jenis suara ghaib. Menurut cerita seorang guru tadi, kadang-kadang suara itu datang terus menerus dan energinya kuat, sampai taraf mengganggu.

Seorang guru menceritakan bahwa, betapa luas dan dalamnya samudra alam spiritual di dunia batin. Kadang-kadang seorang yang telah mudawamah wirid, baik yang ijazahan atau langsung mengamalkan dari buku sekalipun, pada taraf tertentu ada yang sampai mendapatkan warid, lalu terbuka olehnya sebagian kecil alam ghaib karena rahmat Alloh, baik dengan jalan melihat lewat bilqalbi, bisikan suara dalam hati yang keras dan hebat, atau memperoleh mimpi-mimpi tertentu.

Apalagi ketika hati seseorang telah dihidupkan oleh Alloh lewat mujahadah dzikir dan amalan wirid, akan banyak gangguan dari jenis alam-alam ghaib, sehingga orang tersebut harus bisa melawan dan menutup jalan-jalan suara itu; atau membedakan mana yang benar-benar dan mana yang tidak. Belum lagi kalau ia dihinggapi rasa ketakutan dan menjadi kecil berhadapan dengan alam raya semesta yang telah terbuka dalam hatinya, akan menjadikan orang-orang tertentu akan memerlukan seorang guru yang hidup untuk membimbingnya.

Bagi mereka yang tidak sampai dibukakan pintu hatinya menjadi hidup, dan juga tidak memiliki  guru yang hidup tetapi mempraktikkan amalan wirid yang tidak ijazahan, akan mudah bosan dan pindah dari satu wirid ke wirid lain, karena memandang wirid yang dilakukannya tidak membuahkan hasil apa-apa, kecuali menemukan keraguan dan keraguan, dari keraguan ke keraguan lain, atau yantaqilu ila wirid ke wirid lain, yantaqilu ila muhalin ila muhalin yang lain. Ketika menghadapi situasi-situasi sperti itu, konsultasi dengan ahlinya, aka lebih menyelamatkan, yaitu guru yang masih hidup tadi.

Beberapa resep untuk menstabilkan keterbukaan terhadap dimensi dunia lain itu, masing-masing guru memiliki resep yang telah diujicoba oleh guru-gurunya. Ada yang mengawali amalan wirid-wirid lakunya dengan membaca 41 x surat al-Ikhlas, 41 x surat al-Falaq, 41 x surat an-Nas, dan 41 x ayat Kursi. Ada juga yang menggunakan surat al-Fatihah 100 x, dan ada juga yang menggunakan sholawat 100 atau 1000 x, mendawamkan lipatan jumlah istighfar,  dan berbagai resep lain, dengan tetap munajat kepada Alloh. Dengan sendirinya, dapat dibayangkan apabila tidak memiliki guru yang masih hidup itu, bukan hanya yantaqilu min min muhalin ila muhalin, tetapi bisa dibimbing oleh jin; dan bila tidak demikian akan mengalami kebosanan berpindah-pindah amalan, dan sampai pada keadaan yang terparah, melayani jin; dan seterusnya.

Akan tetapi suatu yang jelas perlu disadari pula, bahwa ada juga mereka yang kadang mencoba dan merasa tidak memiliki efek buruk apa-apa dalam menjalankan sesuatu amalan wirid yang didapat dari buku, atau kitab. Hal seperti ini, menurut sebagian pengamal, dapat difahami dari dua hal: kalau hanya diamalkan dalam rentang waktu yang pendek, dan tidak diamalkan lagi tentu tidak akan berefek, saroir-nya belum kelihatan; tetapi kalau diamalkan dalam jumlah berlipatdalam jangka waktu yang panjang, tentu akan mendatangkan saroir amalan. Manakala dia dapat menguasai saroir dan efek-efeknya dari amalan, memang tidak masalah, tetapi menurut sebagian pengamal, ketika sudah seperti ini, mereka akan memerlukan guru di tengah jalan karena saror yang datang “sering tidak dapat dikuasi”, kecuali amalan itu dilepas dan tidak diamalkan lagi.

Makna Amalan Wirid Hikmah-Tarekat Bagi Para Pengamal di Pesantren Jawa

Mereka yang mengamalkan ilmu-ilmu hikmah dan wirid secara tekun, memberikan penjelasan-penjelasan, paling tidak dalam tiga hal penting: makna amalan-amalan itu sendiri bagi pengamal; hubungan amalan-amalan itu dengan penghayatan tauhid; dan beberapa peringatan sebagian untuk tidak hanya mengamalkan banyak hizib tanpa menekuni istighfar, sholawat, membaca Al-Qur’an yang tekun atau berbaiat tarekat.

Benteng Pengandel Ati dan Perahu

Diakui bahwa setiap pesantren, memiliki ciri-ciri tertentu dari sudut keilmuan yang dikembangkan, sekaligus berbeda dalam cara merespon dunia baru: berbeda-beda antara satu pesantren dengan pesantren lain. Meski begitu  ada satu hal yang penting dilihat, bahwa pesantren di kalangan Islam Jawa bisa tetap eksis, bertahan, dan mengembangkan diri di tengah sistem sosial yang tidak sederhana dan terus berubah, adalah juga berhubungan dengan laku tirakat, dan laku rohani yang dimiliki oleh kyai, kolektif santri-santri pesantren, dan masyarakat yang berhubungan dengan pesantren, seperti telah disebutkan di muka.

Para kyai yang kyai, untuk bisa menjadi kyai di pesantren di kalangan muslim Jawa, berdasarkan pengamlaman bergaul dengan mereka, bukan hanya karena: sang kyai telah mampu mengaji kitab-kitab kuning tertentu; atau membangun gedung pesantren; atau mampu menata manajemen pesantren yang lebih baik; atau mampu merekrut santri yang berdatangan dari berbagai daerah. Lebih dari itu, selalu dan sering, seorang kyai pesantren dan masyarakat pesantren yang diasuhnya mengembangkan tradisi amalan wirid-ilmu hikmah dan tarekat yang dimiliki oleh pengasuhnya, kyainya, yang diperoleh dari guru-gurunya.

Aspek ini menggambarkan satu pandangan bahwa mengasuh anak didik dan mengembangkan pesantren, adalah bagian dari dimensi luarnya dari laku tirakat yang dijalani seorang kyai (disamping berkiprah di masyarakat dengan berbagai variasinya), di dalam mengarungi samudra kehidupan, dalam mempertahankan keilmuan pesantren dan cita-cita ideal masyarakat muslim yang diupayakan di tengah amsyarakat Jawa, dimana mereka hidup. Sementara tirakat batinnya adalah melakukan mujahadah terus menerus agar bersambung dengan Alloh dan Kanjeng Nabi Muhammad lewat amalan wirid-ilmu hikmah dan tarekat, yaitu praktik dzikir terus menerus yang dilanggengkan, disertai dengan cara, waktu, dan dosis jumlah yang harus dilajalankan; dan pembersihan jiwa terus menerus melalui akhlak-akhlak baik.

Oleh karena itu, meskipun dunia luarnya mengalami perubahan, di kalangan berbagai pesantren juga mengalami perubahan sendiri secara luas, atau dalam dimensi di luar mereka tampak berubah, sejauh mereka masih dan menjadi penyangga tradisi pesantren yang menginduk pada keyakinan-keyakinan sunni Asyari, dan menjadi penerus tradisi para walisongo; bukan mengganti baju mereka dengan wahhabi salafi dan berbagai variasinya, maka pesantren-pesantren dan kyai-kyai pesantren akan tetap mempertahankan amalan-amalan ilmu hikmah-tarekat. Ilmu-ilmu ini disertai dengan berbagai riyadlahnya adalah benteng pengandel ati, sekaligus perahu mereka dalam menjalani samudra kehidupan, agar tetap selamat dalam perjalanan ke akhirat, dengan tidak melupakan amal-amal di dunia.

Disebut benteng pengandel ati, menurut sebagian mereka yang saya temui, karena amalan-amalan itu, menjadi benteng yang dapat menjadi wasilah hatinya dapat bertahan menjalani hidup yang baik dari pasukan-pasukan nafsu, berupa hawa yang berwarna-warni untuk mengajak ketidaktaatan, dalam segala maknanya: ada hawa dendam, iri, mencintai dunia tanpa ingat akhirat, kesombongan, dan kekotoroan-kekotoran lainnya. Di dalam ilmu-ilmu hikmah, mereka ini adalah pasukan-pasukan digerakkan oleh setan yang selalau ingin menjerumuskan.

Sedangkan disebut kendaraan bersenjata, karena dengan amalan-amalan itu, sang pengamal di kalangan pesantren menaiki kendaraan-kendaraan amalan dalam mengarungi kehidupan, dan menjadi senjata batin ketika pasukan-pasukan hawa datang menyerang mempengaruhi nafsu, sehingga nafsu bergejolak tidak bisa dikontrol. Dengan amalan-amalan ilmu hikmah dan tarekat, pasukan hawa itu dikalahkan melalu peperangan untuk menenangkan control atas nafsu, sehingga nafsu tidak dikuasai hawa. Ini adalah hikmah yang didapat setelah para pengamal mencapai tingkat pengetahuan atas saroir amalan-amalan dan saroir dalam gejolak nafsu, dan mengetahui adanya saroir pasukan-pasukan hawa yang dilihatnya di dalam dimensi batin.

Amalan sebagai Jalan Bertarikat Para Pejalan

Seorang guru pesantren mengatakan kepada saya, yang redaksinya kurang lebih begini: “Di dunia ini, tidak hanya ada dimensi lahir, tetapi juga batin. Mengarungi samudra hidup ini, masing-masing orang memiliki maqam atau kedudukan, dan kedudukan itu berkaitan dengan bintang yang diraihnya. Kedudukan seorang pemimpin dan kyai berada dalam area perang bintang. Jadi harus kuat tirakat. ” Belum lagi kalau dihubungkan dengan dimensi di luar pesantren, yang juga memiliki khazanah spiritual dari jenis lain. Bintang mana yang akan bisa dipakai untuk mengarungi samudra hidup ini, selalu berkaitan dengan kekuatan pengetahuan yang bisa diraih dan dianugrahkan Alloh: ada yang bintangnya itu dihubungkan dengan ilmu-ilmu lahir dalam dimensi pengetahuan lahiriah, tetapi juga ada yang menghubungkannya dengan dimensi batin yang menggabungkan keduanya, dengan jenis-jenis wirid tertentu, yang di masing-masing pesantren bisa berbeda-beda.

Kecenderungan di kalangan pesantren di kalangan muslim Jawa, menggabungkan dua hal itu dipandang sebagai jalan terbaik: ilmu-ilmu lahir dan ilmu-ilmu batin. Dengan jalan lahir, dia akan bisa memiliki pengetahuan lahir untuk melihat, menganalisa, dan berinteraksi dalam tatatanan sistem sosial lahir di tengah umat Islam, dengan adanya patokan-patokan tertentu. Dengan jalan ilmu batin, dia akan memiliki kemampuan untuk memperkuat energi dalam  diri di tengah kehidupan lahir yang sering menghempaskan manusia ke jalan yang tidak benar. Amalan-amalan wirid itu dijadikan salah satu kekuatan batin memperbagus akhlak budi luhur dengan menghancurkan kekuatan-kekuatan hawa nafsu yang bersarang dalam diri manusia, diganti dengan akhlak hati yang baik. Sebab diyakini, sikap seseorang dalam lahir memiliki hubungan yang kuat dengan akhlak batin: tentang keikhlasan, sabar, syukur, dan sejenisnya.

Dalam hal demikian, amalan wirid yang ditekuni itu berfungsi sebagai thariqat. Amalan wirid itu diibaratkan seperti jalan untuk menyelam menemukan hakikat ke dalam samudra untuk menggali dan memperoleh mutiara hidup. Menjalani amalan lahir dalam dimensi Islam dipandang sebagai syariat, yang dalam praktinya menurut para guru di kalangan pesantren Islam Jawa, masih harus dibarengi dengan praktik bertarekat, atau memiliki amalan wirid yang akan menghantarkannya menyelami hakikat hidup manusia itu, yaitu untuk mencapai, dalam bahasa mereka disebut ma’rifat dan ilmu hakikat.

Oleh Imam al-Qusyairi di dalam ar-Risalah al-Qusyairiyah, pencapaian itu didefinisikan: “Sifat orang-orang yang mengenal Alloh melalui Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya, kemudian ia membenarkan-Nya dalam melaksanakan ajaran-ajaran-Nya dalam perbuatannya. Ia membersihkan dirinya dari akhlak yang rendah dan dosa-dosa, sehingga ia memperoleh sambutan Alloh yang indah.” Tanda seorang telah ma’rifat, menurut Imam al-Qusyairi dengan mengutip sebagian guru sufi, adalah dikarunia haibah dari Alloh: ada yang berbentuk ilmu-ilmu tertentu, istiqamah, kedermawanan, wibawa, dan lain-lain.

Sebagian kyai yang pernah saya temui, meyakini jalan yang demikian adalah tugas penting menjadi manusia, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an: “wama khlaqatul jinna wal insa illa liya’budun” (QS. Adz-Dzariyat ayat 56). Sebab, menurut Ibnu Abbas yang dikutip oleh Imam al-Qusyairi, makna illa liyabudun itu, adalah illa liya’rifun. Untuk sampai pada pengetahuan dan ada di maqam yang demikian, seseorang harus memiliki perahu tarekat/amalan wirid yang diijazahkan dari seorang guru, agar bisa menyelam dalam samudra hakikat hidup di dunia ini dengan selamat.

Khazanah batin, ijazahan amalan wirid inilah yang mengairi pesantren dan kyai-kyai  di kalangan Islam Jawa. Terjadinya pergeseran dan perubahan sosial, bukan bergeser dalam fondasi pengetahuannya, meskipun satu atau dua kasus mungkin saja menunjukkan ke arah itu. Tetapi pergeseran terjadi pada dimensi luarnya saja, bukan fondasi batinnya. Praktik ijazahan dan amalan-amalan wirid pun tetap dijalankan, dari guru ke murid, dan begitu seterusnya.

Penyempurnaan Tauhid

Dalam pengijazahan amalan wirid ataupun tarekat di pesantren, seringkali  ditekankan pentingnya tauhid dalam setiap amalan. Jangan sampai amalan menjadikan si murid lupa kepada Sang Pemberi rizki sesungguhnya dan sejati, atau Sang Penyembuh penyakit, Sang Pemberi kekuatan sesungguhnya, tidak boleh mempercayai amalan-amalan itulah yang mendatangkan ridzki atau yang menyembuhkan penyakit; apalagi menghamba kepada jin-setan. Ujian ijazahan amalan adalah ujian masalah ilmu tauhid, lebih khusus lagi kalau amalan itu berkaitan dengan amalan berdimensi rizki, ingin hidupnya bertambah baik, dan mampu mengobati penyakit-penyakit tertentu, atau amalan benteng diri, dan sejenisnya.

Para guru dan murid yang telah melakukan riyadhah tertentu, berdasarkan amalan tertentu, selalu diuji oleh ahwal dan keadaan untuk menyandarkan semua karunia yang telah ada dan diberikan Alloh, setelah melakukan amalan tertentu, adalah dikembalikan kepada Alloh; dan antara mereka yang mempercayai amalan-amalan itu yang dapat menyampaikan, sehingga terdengar kalimat-kalimatnya “amalan iki ampuh, amalan iki dari guru yang ampuh,” dan lain-lain. Di pesantren, kadang-kadang orang orang luar juga salah mengerti, perkataan-perkataan, semisal perkataan “amalan iki ampuh, atau amalan iki dari guru yang ampuh”, pada dasarnya difahami majazi. Sama dengan orang mengatakan, manusia punya kekuatan, untuk mengangkat benda-benda berat, yang kekuatan sejati hanyalah dari Alloh; dan perkataan lahir itu majazi.

Demikian pula, penyataan semacam “ilmu ini ampuh” adalah majazi, sedangkan hakikinya, adalah Allohlah yang memberi kekuatan itu. Akan tetapi juga tidak menutup kemungkinan ada yang terjebak mempercayai amalan-amalan itu sebagai memang ampuh, meskipun dia sendiri sering berdoa kepada Alloh. Hal seperti ini, adalah tahapan kesadaran tauhid, yang bertingkat-tingkat di kalangan orang beriman, karena perbedaan anugrah tajalli yang berbeda-beda dari Alloh, karena pencapaian hakikat-hakikat yang dirasakan berbeda-beda. Oleh karena itu, seorang pengamal wirid senantiasa disadari harus terus mencari ilmu, ta’lim, jangan sampai hanya berhenti pada amalan, tetapi mengilmui amalan-amalan itu juga penting.

Sama seperti para pejalan tarekat didalam tarekat, para pengambil amalan-amalan hikmah, juga adalah pejalan, yang meskipun telah berguru kepada kiai-kiai hebat, mereka adalah pejalan yang akan diuji dari detik ke detik, dari hijab ke hijab lain, dari hijab-hijab kegelapan ke hijab nur; dan ahwal ke  kecanggihan untuk mengolah; dan begitu seterusnya. Penekunan mereka tentang pengobatan, jadzbur rizki, dan sejenisnya, tidak terlepas dari sejenis ujian bagi para penempuh di jalan Alloh. Kesadaran antara yang wasilah sebagai yang majazi dan aspek hakikinya sebagai haqiqat, tidak sama antara seorang murid satu dengan murid yang lain, sehingga aspek majazi dan haqiqi dari keampuhan amalan, juga dapat mempengaruhi kesadaran tentang Alloh, atau menunjukkan tingkatn-tentang seorang pengamalan tentang tauhidnya kepada Alloh.

Para guru pesantren yang konsen pada pencapaian kesadaran tauhid dalam amalan wirid dan tarekat, sangat menyadari ini, sehingga ilmu yang perlu dimiliki, oleh mereka ini, bukan semata riyadhah puasa, konsisten wirid, tetapi adalah ilmu kaum tarekat, yaitu ilmu laku hati, dalam tangga-tangga taubat, sabar, ikhlas, qona’ah, tawakkal, faqir, ridha, dan sejenis ini. Karena ahli amalan hikmah ini, telah berinteraksi dengan orang-orang, baik dalam pengobatan, kelancaran redzki, dan sejenisnya, tidak semata-mata tajrid, maka godaan kepada penyempurnaan tauhid, dan godaan untuk hanya fokus mengikis hijab sedikit demi sedikit, semakin besar. Dari riyadhah tajrid beralih berinteraksi dengan masyarakat, apalagi ada dimensi tukar menukar ekonomi, penyandaran diri kepada Alloh itu, memperoleh tantangn yang tidak sederhana.

Akan tetapi sebagian guru amalan yang saya temui, mengemukakan bahwa seorang ahli yang memiliki laku tarekat, tidak boleh tertipu oleh semata-mata penampakan lahir, karena amal-amal tergantung niatnya; meskipun tidak boleh mengabaikan amal-amal lahir. Kedua-duanya perlu seimbang. Ketika menjalani ilmu hikmah dan berhubungan dengan orang lain, yang penting niatnya, dan dalam praktiknya tidak bertentangan dengan kepatutan syariat lahir. Dengan jalan dikembalikan kepada niat yang baik ini, dan tawajjuhnya sebelum dzikir amalan untuk memperkokoh niat, hal-hal yang mungkin membelok-belokkan, dapat kembali disaksikan oleh nafs dan hawanya, juga ruh dan aqalnya, sebagai niat-niat yang lurus, atau sebaliknya, sebagai niat-niat yang berbelok. Penyempurnaan tauhid melalui ijazah-ijazah amalan, pada akhirnya juga akan menghantarkan seseorang pada keharusan untuk menjalani laku tarikat dalam hidup batinnya dan membenarkan niatnya.

Guru yang seperti ini, ketika didatangi murid, dan mengungkapkan persoalan kehidupannya dan meminta bantuan doa kepada sang pemberi ijazah, biasanya memberikan dua hal: Pertama, diberi nasehat-nasehat agar sabar dan sregep menjalani perintah-perintah fardhunya, memngqadhai yang sudah ditinggal, lalu diberi tulisan yang sudah di-asma’i, atau air yang sudah di-asma’i, atau media lain yang sudah di-asma’i. Kalau dalam bentuk tulisan, tulisan tersebut bisa diletakkan di depan rumah bagian pintu depan, atau di pintu belakang, atau disiramkan setelah digerus dengan air. Setelah itu orang yang datang itu diberi amalan dzikir tertentu, menurut jenis wirid dari guru yang memberikan. Kedua, diberi nasehat-nasehat tentang masalahnya, lalu diberi amalan dzikir untuk dijadikan benteng hidupnya, agar tidak putus asa dan selalu berdoa kepada Alloh, tanpa diberi air atau media.

Guru amalan yang memberikan nasehat, biasanya memberikan nasehat penting, bahwa setiap masalah yang datang, baik berupa sakit, kepailitan, dan sejenisnya, pada dasarnya adalah ujian yang diberikan Alloh kepada seorang yang sangat disayanginya. Ketika orang masih diuji, berarti dia masih disayangi Alloh. Ujian itu memiliki maksud agar yang tertimpa kepayahan (atau balaul mihnah, dalam bahasa Syaikh Namjmudidn Kubro), mampu mengambil hikmah. Di antara hikmahnya, dari yang sebelumnya tidak bersilaturahmi dengan guru, menjadi bersilaturahmi; dari yang sebelumnya belum berdzikir, jadi berdzikir; dan begitu seterusnya. Ujian itu untuk menguatkan diri seseorang yang diuji agar tahan uji dan tahan banting mengarungi kehidupan. Dzikir yang dilakukan adalah untuk memperkuat diri, hatinya tidak kosong, tetapi diisi dengan dzikir dan amalan-amalan lain, dengan selalu munajat kepada Alloh.

Tentang intensitas pengambilan ijazah, pada saat-saat situasi sosial genting, bisa karena ada ketegangan sosial, atau karena sesuatu dalam kekacauan sosial yang memungkinkan terjadi gesekan sosial, guru-guru pengijazah biasanya lebih banyak didatangi oleh para peminta ijazah. Contoh yang saya saksikan soal ini, adalah ketika terjadi pembantaian guru ngaji di Banyuwangi, yang berkedok pembantaian dukun santet, dimana-mana terjada ijazahan amalan tertentu atau peng-asma’-an. Jumlah peminta ijazah lebih banyak dari hari-hari biasanya. Setelah situasi sosial mereda dan normal, di antara para pengamal ijazah ini ada yang bertumbangan dan meninggalkannya, tetapi juga ada yang meneruskannnya.

Pengambilan ijazah murid dari guru amalan, akan memberi manfaat kepada pengambil ijazah, yang amalannya diteruskan oleh murid-muridnya kelak. Selain itu, amalan yang dijalaninya, akan menambah bacaan jumlah Fatihah yang dikirim murid kepada guru, karena bertambah jumlah murid yang mengambil ijazah, yaitu pembacaan surat Fatihah dalam kiriman wasilah-wasilah. Dalam keadaan seperti itu, penetapan dan konsistensi dzikir amalan, pada akhirnya disadari para pengamal sebagai anugrah dari Alloh, karena banyak pengamal yang sama jenis amalan dan gurunya, ada yang berhenti; dan juga tergantung niat-niat yang dimasukkan dalam amalan-amalan itu.

Pesantren yang menjadi basis dari guru-guru pemberi ijazah amalan yang disebut ampuh, banyak tersebar di pesantren di pesantren-pesantren kecil dan pesantren-pesantren besar. Selain itu ada pesantren-pensatren yang mengkhususkan belajar ilmu-ilmu hikmah dan tirakatan. Akan tetapi perkembangan pesantren yang sperti ini, seiring dengan banyak pesantren yang mengadopsi sistem sekolahan, muridnya semakin sedikit, dan tidak popular. Hanya orang-orang tertentu yang mengerti dan amau menganggap ilmu-ilmu semacam amalan tertentu dalam ilmu hikmah, itu menjadi penting, dia akan memburunya. Sedangkan bagi murid-murid yang pada umumnya hanya ta’lim,  pesantren yang sudah banyak mengadopsi ilmu sekolah, dan semakin termodernisasi, minat terhadap ilmu-ilmu amalan ini semakin kecil, kecuali wirid-wirid standar

Di luar pesantren, juga banyak guru-guru yang mengajarkan dan memiliki ilmu-ilmu hikmah seperti di atas, meskipun kadang-kadang di tengah kampung, hanya menjadi guru TPQ, ngimami sholat di masjid, dan sejenisnya. Mereka ini juga kadang diminta bantuan untuk menghadapi kesulitan gangguan jin-santet, kelancaran kelahiran, dan memimpin ritual kampung, tetapi juga mampu melihat dunia barzakh, membuka menutup, dan hal-hal yang berkaitan dengan dunia seperti itu.

Dan, menjadi jelas, keberadaan para guru amalan ilmu-ilmu hikmah, dan murid-murid yang mengambil amalannya adalah salah satu aspek penting dari penyangga Islam Jawa tetap lestari, meskipun di sana sini terjadi kehidupan modern di kalangan masyarakat muslim Jawa. Semua ini  berbarengan dengan semakin bergesernya makna-makna filosofi pada arsitektur, makna-makna filosofi pada busana dan kecantikan, terkomersialiasinya resep-resep herbal, mudahnya jangkauan komunikasi individual di kalangan masyarakat karena ada jaringan nirkabel, dan ekses-ekses lain yang berpengaruh terhadap tatanan Islam Jawa sendiri. Para guru amalan ilmu-ilmu nhikmah dan murid-muridnya masih saja banyak didatangi orang dari kalangan dekat dan jauh, bahkan seringkali dari mereka yang sudah bergelimang dengan modernitas dan kaum sekolahan.

Walhasil dan Peringatan

Sebagian pengamal ilmu-ilmu hikmah, karena sudah berpengalaman melihat saroir dari amalan-amalan itu, menceritakan kepada saya agar tidak fokus kepada hizib-hizib tanpa menekuni wirid-wirid yang berisi istighfar,  sholawat, membaca Al-Qur’an, atau wirid yang diambil dari ayat Al-Qur’an, dan baiat tarekat.  Seorang mubtadi, pemula di jalan ilmu-ilmu seperti ini ini, menceritakan pengalamannya, ketika mengamalkan wirid-wirid seperti ini, berefek pada kesombongan-kesombongan halus yang menggangu dalam berinteraksi dengan orang; dan kontrol terhadap emosi sulit dilakukan; dan menurutnya, berefek pada malas belajar, sehingga ditinggalkan dan berganti kepada ta’lim.

Sebagian lain, yang cukup lama berkecimpung di dalam ilmu seperti ini, dengan fokus pada hizib tertentu, terutama pada hizib yang dikenal keras, berefeka pada hadirnya pasukan-pasukan ghaib kadang berseliweran di sekitar rumah abagi yang diperlihatkan, dan membuat orang-orang lain, yang pernah melihat menjadi takut. Selain itu, tidak jarang ketika sang pengamal yang sudahpada tahap memperoleh sedikit khowash-nya, ketika agak marah atau membentak, berefek pada sakit atau tidak baik kepada orang yang dibentak. Karena sering seperti ini, sang pengamal yang menceritakan kepada saya ini, kemudian meninggalkan wirid hizib sejenis ini, dan lebih menekuni kepada wirid yang lain, yang tidak berefek seperti itu, seperti ke sholawat, istighfar, dan sejenisnya.

Meski begitu, sebagian pengamal yang bercerita kepada saya, dengan amalan wirid yang sama dari jenis kedua tadi, dalam jangka waktu tertentu, merasa memperoleh manfaat dan ketika berdoa banyak dikabulkan oleh Alloh. Karena efek yang baik ini, kemudian dia mudawamah dan meneruskan, amalan wirid-hizib yang diamlkan oleh orang lain dengan jenis amalan hizib sama, berefek tidak baik. Dengan demikian, pengamalan wirid tertentu di dalam ilmu-ilmu hikmah, harus sampai pada tingkat mengerti saroir dari amalan-amalan wiridnya itu, sampai dia memperoleh kesimpulan; dan mampu menguasai  efek-efek dari wirid yang dilakukan, kapan dia tetap melanjutkan dan kapan dia bisa meninggalkan wirid, sang pengamallah yang harus bisa mengolah, meskipun sama-sama semua memperoleh dari seorang guru pemberi ijazah yang sama sekalipun.

Dari pengalaman bertemu dengan para pengamal wirid ilmu-ilmu  hikmah, kebanyakan mereka mengakui bahwa amalan-amalan yang dapat menjadi wasilah, menjadi tambah baik hidupnya, tambah barokah, adalah amalan-amalan yang berhubungan dengan pembacaan wirid-wirid dari ayat Al-Qur’an, istighfar, sholawat, tasbih, baiat tarekat, dan sejenisnya. Kalaupun menggunakan amalan hizib, diteruskan dengan mengambil tarekatnya sekalian; atau diimbangi dengan lipatan jumlah sholawat dan istighfar yang banyak. Setelah itu, bagaimana menjalani hidup, dengan tetap berkiprah di masyarakat, tetapi juga tetap melakukan istighotsah melalui wirid-wirid dan amalan-amalan; mengganti keluhan-keluhan kepada manusia, dijadikan munajat-munajat hanya kepada Alloh, dan tetap memiliki harapan di tengah berbagai goncangan hidup yang pernah ia hadapi.

Mereka yang telah melewati ini, menyadari lebih baik mengumpulkan menjadi ahli ilmu-ilmu zhahir dan ilmu-ilmu batin sekaligus, bukan hanya menjadi ahli batin saja; dengan terus beramal diperkokoh niat-niat yang baik, disertai munajat untuk meminta istiqomah dzikir, meminta selamat iman dan Islam, bertambah rizqi barokah, dimudahkan urusan, dijadikan umurnya barokah, menjadi khusnul khatimah, dan doa-doa lain yang baik.

Wallohu alam.

Pesantren merupakan warisan penyangga penting Tradisi muslim Jawa yang sampai hari ini masih terus eksis dan berkembang, meskipun di sana sini terdapat Pesantren yang awalnya dikenal besar dan mati, tetapi juga ada pesantren baru yang dibuat. Pesantren di kalangan Islam Jawa ini banyak menyumbangkan kader santri dan masyarakat yang memengaruhi terhadap kondisi kultural bangsa Indonesia. Kontribusi itu berhubungan dengan nilai-nilai, pola pemahaman, dan keilmuan (turats) yang dikembangkan pesantren, yang kemudian meresap dan menjadi pendorong dalam sikap dan mewujud dalam perilaku di tengah-tengah masyarakat; pada saat yang sama tetap melestarikan tradisi Jawa; dan menjadi pelestarian komunikasi dengan bahasa Jawa.

Satu hal penting yang dilihat dalam tulisan ini adalah dimensi ijazahan Amalan wirid-ilmu Hikmah di pesantren, sebagai khazanah pesantren yang jarang dilihat. KBBI tidak memiliki definisi dari kata ilmu hikmah ini, meskipun mendefnisikan kata ilmu: “pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala di bidang pengetahuan; pengetahuan atau kepandaian (tentang soal duniawi, akhirat, lahir, batin dan sebagiannya).” Rangkaian dari kata ilmu ini, berjumlah tidak kurang dari 129 kata, misalnya ilmu administrasi, ilmu batin, ilmu tauhid, dan lain-lain, tetapi tidak ada yang digandeng dengan kata hikmah.
10 Kettlebell Exercises For Everyone | Fitness | MyFitnessPal where to buy anabolic steroids online fitness-2
Ilmu hikmah adalah ilmu yang diperoleh dari menjalankan berbagai amalan Wirid-wirid dan riyadhoh, dengan menjadikan Alloh sebagai sandaran, sehingga mampu merasakan efek-efek dari amalan-amalan itu, dan merasakan ada khowash-khowash di dalamnya melalui marifat batin. Karena level marifat batin berbeda-beda dan bertingkat-tingkat, penguasaan terhadap ilmu hikmah berbeda sesuai dengan tingkat pencapaian yang diperoleh sang pengamal dan anugerah yang diberikan Alloh; yang perwujudannya bisa berupa pengobatan, ahli ilmu-ilmu syariat, ahli penumbalan, ahli menggerakkan masyarakat, dan sejenisnya.

Tradisi ilmu ilmu amalan hikmah-tarekat di tengah kalangan pesantren di Jawa, dilihat dari sudut: apa saja amalan-amalan ijazahan wirid-ilmu hikmah dan tarekat, dan dimana sumber-sumber pengambilan ijazahnya; kitab-kitab apa saja yang dirujuk di kalangan pesantren dalam soal ilmu hikmah; mengapa pengamalan ijazahan amalan wirid-ilmu hikmah dan tarekat ini diperlukan seorang guru di pesantren; dan  apa makna pentingnya ijazahan amalan wirid-ilmu hikmah dan tarekat bagi pesantren dan masyarakat pada zaman sekarang?

Ijazahan Amalan Wirid-Ilmu Hikmah dan Tarekat di Pesantren

Amalan-amalan wirid yang dijalankan di pesantren, berbeda-beda di antara mereka, sejalan dengan perbedaan jenis amalan yang dimiliki oleh kyai yang mengasuhnya, atau amalan pendiri pesantren yang terus menerus disambungkan, dalam tiga bentuk: (1) amalan yang dikhususkan untuk pribadi santri dan masyarakat, diminta Ijazah amalan atau karena diberi langsung oleh sang kyai; (2) amalan wirid kolektif santri-santri di hari-hari tertentu yang dijalankan secara langgeng; dan (3) amalan kolektif masyarakat sebagai perluasan dari jangkauan pengaruh kyai di luar pesantren, di tengah masyarakat di luar pesantren.

Amalan Khusus untuk Murid

Amalan seperti ini adalah untuk pribadi seseorang peminta amalan, yang amalan ini dimiliki seorang kyai dan telah menjadi wirid di dalam kehidupannya. Amalan jenis ini, ditentukan jumlah bilangan yang harus diwiridkan, waktu bacaan (apakah setiap shalat maktubah, setiap hari sekali, dan lain-lain), jenis bacaan, dibaca dan cara mewiridkannya. Amalan ini diberikan lewat dua cara: (1) kyai diminta oleh santri-murid tertentu atau masyarakat tertentu, kemudian kyai memberikan amalan wirid disesuaikan dengan tingkatan orang yang meminta dan jenis kebutuhannya, termasuk dosisnya; (2) kyai memberikan kepada orang tertentu yang dipilihnya, atau diberikan kepada mereka yang dianggap penting dari orang-orang yang dekat dengannya untuk meneruskan dan menjaga wirid yang telah diamalkannya.

Sebagai contoh, KH. Achmad Shidiq memiliki amalan mewiridkan surat al-Fatihah selama 100 x dalam sehari, yang diteruskan oleh anak cucu dan murid-muridnya. Sebagian masyarakat memperoleh ijazah amalan ini dari jalur keturunan KH. Achmad Shidiq. Amalan ini, ihda fatihah-nya kepada Kanjeng Nabi Muhammad, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali, dan al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad; lalu ditambah beberapa guru, yaitu KH. Abdul Hamid Kajoran, KH. Mundzir Mangunsari, dan KH. Dalhar Watucongol, dan Mbah Abdul Hamid Pasuruan; setelah itu  Gus Miek (KH. Hamim Thohari Jazuli), KH. Achmad Shidiq, shohibul ijazah, dan kepada keluarga pengamal, dan kaum muslimin. Bagi sang pengamal, lebih diutamakan sebelum mengamalkan, harus menjalani wirid Dzikrul Ghafilin selama 40 hari.

Jenis lain dari ijazahan amalan seperti ini, contohnya seorang pengasuh pesantren mendawamkan (melanggengkan) wirid laqad ja’akum rasulun min anfusikum sampai akhir ayat, setelah selesai shalat maghrib selama 7 x setiap hari. Amalan wirid ini, dilakukan KH. Abdul Wahab Hasbulloh, yang diijazahkan kepada salah seorang anaknya, dan kemudian ada yang meminta ijazah untuk diwiridkan setiap hari. Ada juga seorang kyai pesantren yang mendawamkan wirid tarekat, dan dia memberikan amalan tarekat itu, untuk beberapa muridnya dan masyarakat yang meminta baiat kepadanya. Pesantren-pesantren lain, dan kyai-kyai lain juga memiliki amalan-amalan yang diwiridkan, yang bermakna dilanggengkan setiap hari, waktu tertentu, dengan jumlah bilangan tertentu.

Amalan-amalan yang dilakukan kyai dan diijazahkan itu, dibedakan menjadi dua: Pertama, amalan wirid ijazahan tarekat, dan kedua, amalan-amalan ijazahan non-tarekat. Pengertian tarekat di sini adalah wirid yang dilakukan di kalangan ordo sufi, diajarkan oleh guru mursyid, sesuai dengan tradisi di dalam tarekatnya. Tarekat Syathariyah, dalam sebagian sanad yang saya kenal, misalnya memudawamahkan wirid kalimah tahlil (la ilaha illallah) sampai pada kalimah Hu (HUWA), dengan jumlah: 100 x setelah ba’dha shalat isya dan shubuh. Di luar itu, setiap pengamalnya  harus bisa  meningkatkan pelanggengan dzikir dengan meningkatkan dosis sampai 70.000 x, dan begitu terus menerus diulang-ulang ketika mencapai angka pengamalan dzikir tahlil  70.000 x itu.

Amalan-amalan wirid yang diijazahkan itu, biasanya diberikan setelah sang guru ditemui oleh pemohon ijazahan, dengan mengemukakan maksud dan persoalan-persoalan yang dihadapinya: ada yang mengeluh keluarganya terus menerus mengalami sakit yang beruntun; ada yang terkena ilmu-ilmu ghaib atau gangguan jin; ada yang karena menanggung hutang begitu banyak; ada yang ingin pergi merantau dalam waktu yang panjang; dan lain-lain maksud. Jenis amalan yang diberikan sang kyai kepada pemohon, berbeda-beda sesuai dengan tingkatan dan maksud yang meminta; dan juga tergantung amalan wirid yang dimiliki seorang kyai.

Amalan Kolektif di Pesantren

Amalan ini untuk umum-kolektif yang harus dijalankan khusus di pesantren sebagai bagian dari wirid yang dijalankan oleh para santri. Guru atau pengasuh pesantren biasanya memperoleh amalan ini dari gurunya, lalu diteruskan di pesantrennya. Di antara jenis ini, sebagian pesantren mengamalkan wirid Ratib al-Haddad dan beberapa ratib lain. Penulis menemukan berbagai koleksi dan jenis wirid ini dilakukan di berbagai pesantren, hampir merata dari Jawa Timur sampai Banten, tetapi tentu saja tidak untuk seluruh pesantren. Meski Ratib al-Haddad ini disusun oleh al-Habib Abdullloh bin Alwi al-Haddad sebagai bagian dari wirid di kalangan tarekat Alawiyah dengan baiat dan ditambah wirid-wirid lain, tetapi untuk keperluan wirid, yang telah dipraktikkan tidak mesti berhubungan dengan pembaitan tarekat Alawiyah, tetapi cukup ijazahan yang diberikan guru, dan tidak ditambah dengan wirid-wirid lain yang ada di kalangan tarekat Alawiyah.

Di antara jenis lain wirid ini, adalah sholawatan dan maulid, pembacaan burdah, pembacaan al-Barzanji, dan tahlil. Tradisi pembacaan sholawatan dan pembacaan Maulid Shimtuddurar sekarang berkembang pesat, bukan hanya di pesantren-pesantren di kalangan Islam Jawa, tetapi juga sampai ke belahan dunia Islam. Khazanah Maulid Shimtuddurar, yang pusat ijazahannya, di antaranya dari habib Anis  di Solo, dan banyak kyai mengambil ijazahan dari Habib Anis ini.

Menurut salah seorang pengasuh pesantren di Jawa Timur yang memiliki sanad dari Habib Anis yang ikut menyebarkan pembacaan Maulid Shimthuddurar ini, mengatakan kepada saya: “Kitab ini disusun dengan dibimbing oleh Nabi Muhamamd Saw, untuk menyempurnakan tradisi yang sudah ada sebelumnya…” Maksud tradisi yang ada sebelumnya adalah pembacaan sholawat dan kitab maulid yang ada di kumpulan Maulid ad-Daiba`i dan Maulid Syarful Anam, yang telah beredar secara luas dan merata di kalangan masyarakat Islam Jawa.

Saya pun bertanya, maksud penyempurnaan itu, dia menjawab: “Dalam kumpulan Maulid ad-Daiba’i dan Maulud Syarful Anam, di kitab kumpulan itu juga terdapat syiir-syiir yang tidak dikenali lagi siapa pengarangnya, tentang pujian-pujian kepada Kanjeng Nabi Muhammad itu.” Dalam konteks ini, Maulid Shimtuddurar jelas pengarangnya, yaitu Habib Ali bin Muhammad al-Habsy. Ihda Fatihah dan keperluan memperoleh kerberkahan dari sang pengarang dan bersambungnya sanad, yang menurut ceritanya, penyusunanan kitab itu langsung dibimbing Kanjeng Nabi Muhammad, menjadikan kumpulan Maulid Simthuddurar lebih mantab dan meyakinkan bagi sang kyai untuk diamalkan sebagai wirid Maulid.

Amalan Jama`i di Masyarakat

Amalan di pesantren atau amalan dari kyai tertentu yang kemudian dikembangkan di majlis-majlis pengajian, majlis shalawatan, dan majlis dzikir, melampaui lokalitas di pesantren sang kyai. Hal ini bisa terjadi, karena fungsi kyai di pesantren sebagai pendidik, selalu tidak terlepas dari fungsi sebagai orang yang dipandang sebagai “guru” di masyarakat, dan karenanya tidak jarang sang kyai atau pengasuh pesantren diminta untuk mengisi pengajian, majlis taklim, dan majlis dzikir; dan fungsi ta’lim di masyarakat sebagai bagian dari pengabdian seorang kyai untuk menyempurnakan kehidupan tauhidnya.

Dari jenis ini, lalu lahir gerakan-gerakan majlis dzikir, seperti Dzikril Ghafilin, Dzikir Sholawat Wahidiyah, pengajian Ratib al-Haddad, manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, Ratib al-Kubro, dan banyak lagi yang lain di tengah-tengah masyarakat umum. Amalan jama`i ini, biasanya mengambil hari-hari tertentu dalam sebulan sekali, atau selapanan sekali. Mereka yang mengamalkan dzikir jama`i ini, cukup sebulan sekali membacanya, atau setiap selapanan. Akan tetapi juga ada, di antara pengamal sebulan sekali ini di dalam jama`i, tetapi diamalkan setiap hari untuk amalan fardi. Seperti pengajian rutinan Ratib al-Haddad sebulan sekali, dan pada saat yang sama, oleh pengamal tertentu diamalkan untuk diri pribadi setiap hari berdasarkan ijazah dari seorang guru.

Sebagian Pusat Mengambil Ijazah Beberapa Jenis Amalan

Beberapa jenis amalan untuk pribadi murid atau masyarakat yang meminta, mencakup amalan-amalan yang berefek, untuk kelancaran rizki dan hidup istiqomah, pengobatan dan gangguan setan-jin, agar kuat berkiprah dimasyarakat dan disenangi keluarga-masyarakat, pertahanan diri dari serangan musuh,  menghilangkan putus asa dan kebingungan, agar hajatnya terkabul, dan lain-lain, dengan disandarkan kepada Alloh. Di antara jenis-jenis wirid ini di antaranya: ayat-ayat hifzhi, ayat-ayat syifa’, doa nur buat, wirid hasbunalloh wani’mal wakil, wirid surat al-Fatihah, amalan Yasin Fadhilah, amalan Sholawat Nariyah, wirid tahlil, wirid tarekat, wirid asmaul husna, hizib-hizib, ratib, dan lain-lain.

Amalan 100 x Al-Fatihah

Amalan wirid 100 x surat Al-Fatihah, di antara pusatnya sekarang ini dikembangkan oleh para penganut Dzikrul Ghafilin, peninggalan Gus Miek dan KH. Achmad Shidiq, sehingga ijazahnya mengambil dari dua syaikh ini. Amalan ini juga dikenal sebagai amalan yang diambil dari beberapa kyai ternama, yang kemudian disebut dalam ijazah wasilah surat al-Fatihah di kalangan Dzikrul Ghafilin, yaitu KH. Abdul Hamid Pasuruan, KH. Abdul Hamid Kajoran, KH. Dalhar Watucongol, dan KH. Mundzir Mangunsari. Dalam tradisi Dzikrul Ghafilin, wirid surat Al-Fatihah ini bisa dicicil setiap selesai sholat, dan disebutkan dalam buku kecil Dzikrul Ghafilin, wirid ini diamalkan oleh Imam al-Ghazali.

Sebagian kyai juga mengamalkan dzikir ini, ada yang berjumlah 41 x, dan di antara yang mengamalkan ini, salah satu pusatnya di Geger Menjangan, Purworejo di kalangan keluarga penerus  Mbah Imam Puro.  Kyai-kyai di Jawa juga banyak mengamalkan witid surat Al-Fatihah ini, bahkan ada yang 500 x, dan juga 1000 x. Beberapa orang yang mimpi dengan Gus Dur, yang penulis temui, juga mengakui diminta mengamalkan wirid surat Al-Fatihah 100 x.

Amalan Sholawat Nariyah

Sholawat ini dikenal di seluruh dunia Islam, sebagai amalan wali bernama Imam Ibrahim at-Taji, dan sholawat ini disebut juag dalam kumpulan sholawat yang ditulis Imam Yusuf bin Ismail an-Nabhani berjudul Afdhalus Sholawat `ala Sayyidis Sadat. Di kalangan muslim Jawa, banyak kyai Jawa mengamalkan amalan ini. Nahdlatul Ulama pada masa kepemimpinan KH. Said Aqil Siradj bahkan pernah menyerukan gerakan 1 milyar membaca sholawat Nariyah. Pengamalan dilakukan sehari semalam dalam jumlah 4444 kali, dan setelah itu dibaca setiap hari atau setelah selesai sholat sesuai pengijazah amalan ini, bisa 7 x atau 15 x.

Salah satu pusat yang dijadikan sanad ijazah ini adalah Mbah Ma’shum Lasem, salah seorang pendiri NU dan kyai yang sangat dihormati, ayah dari KH. Ali Maksum. Di Banyuwangi, salah satu kyai yang mengamalkan ini adalah KH. Mawardhi Secawan Srono. Di tanah Jawa paling Barat, di Banten, pusat pengijazahnya di antaranya KH. Muhtadi Dimyati, putra dari ulama Banten terkenal, KH. Dimyati Banten; dan juga KH. Thobari Sadzili, salah satu dari cucu Syaikh Nawawi al-Bantani.

Di beberapa tempat juga ada Majlis Sholawat Nariyah, misalnya di Blitar yang dikaji oleh Umi Choisaroh dalam skripsinya, Sejarah Perkembangan Majlis ta’lim dan Dzikir Jamiyah Sholawat Nariyah Mustaghitsu al-Mughits di Dusun Mantenan Desa Sukorejo Kecamatan Udanawu Blitar 2011-2018 (UIN Sunan Ampel, 2019), dan Majlis ini cukup terkenal di Jawa Timur, yang diasuh oleh KH. Muhammad Sonhaji Nawal Karim Zubaidi (Gus Shon). Amalan ini sebelumnya dilaksanakan oleh kakek dan ayahnya, dan kini telah memiliki cabang yang cukup banyak tidak kurang dari 60 cabang.

Amalan Manaqib Syaikh Abdul Qodir al-Jilani

Amalan manaqib Syaikh Abdul al-Jailani sudah lama dikenal di Jawa, baik oleh penganut tarekat Qadiriyah atau masyarakat secara umum, di masa awal penyebaran Islam di tanah Jawa. Beberapa jenis Manaqib Syeh juga berbeda-beda, ada yang berbentuk nazhaman dan ada yang berbentuk prosa: yang berbentuk nazhaman disebut Manaqibul Akbar dengan wasilah kepada beberapa syaikh, yaitu Syaikhona Kholil Bangkalan; ada yang berbentuk prosa, seperti yang terkenal adalah Al-Lujainud Dani, yang banyak diterjemah ke dalam bahasa pegon; ada yang dengan judul Lubabul Ma`ani, An-Nurul Burhani, ada juga Jawahirul Maani, dan lain-lain.

Di Banyuwangi pusat ijazah amalan Manaqibul Akbar ada di Pesantren Darussalam Blokagung, dan para murid-murid mereka yang telah mendirikan pesantren. Di Jember Manaqib Syaikh di antaranya diamalkan jama`i oleh KH. Muzakki Syah, dengan ribuan jamaah; di Pasuruan ada Yayasan Serba Bakti (YSB) Pontren Suryalaya Nongko Jajar, Pasuruan; dan yang terkenal di Pasuruan, pengijazah manaqib dengan judul Jawahirul Ma`ani adalah KH. Ahmad Jauhari Umar (1945-2006), berpusat di Pesantren Darussalam Tegalrejo.

Pusat-pusat yang lain dimiliki oleh pusat-pusat tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah, seperti di Mranggen yang berpusat pada KH. Muslih al-Maraqi dan murid-muridnya, KH. Asrori al-Ishaqi dan para murid-muridnya, penerus tarekat KH. Mustain Ramli (di antaranya diteruskan Gus Mujib); KH. Abah Anom  Suryalaya dan para muridnya di Tasikmalay; di Cilacap, Pesantren Kesugihan yang didirikan KH. Badawi Hanafi sekarang ini juga termasuk yang menyelenggarakan Manaqib Syaikh Abdul Qodir al-Jilani; dan di banyak tempat dari cabang-cabang tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di pulau Jawa.

Amalan Hizib Autad

Hizib ini selain diamalkan banyak kyai di Jawa juga diamalkan masyarakat muslim Jawa di berbagai majlis ta’lim dan pengajian, dimulai dengan Allohul Kafi Robbunal Kafi Qoshodnal Kafi Wajadnal Kafi, dan seterusnya. Pusat-pusat pengambilan amalan Hizib ini, terdapat di pusat-pusat Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.

Hizib Nahsar-Hizib Bahr-Hizib Bar

Amalan Hizib ini juga dimiliki oleh banyak kyai di Jawa, dan sumber hizib-hizib ini adalah dari Syaikh Abul Hasan as-Sadzili. Pusat-pusat tarekat Sadziliyah di Jawa, adalah juga pusat pengambilan ijazah hizib-hizib Syaikh Sadzili ini.

Amalan Ayat Lima

Di antara beberapa jenis amalan ayat Al-Qur’an adalah Ayat Lima, Ayat 7, dan Ayat 15; dan di antara pusat yang menyebarkan Ayat Lima di antaranya dimiliki oleh para mursyid Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dari jalur Syaikh Ibrahim Brumbung, yang diwariskan kepada KH. Hasan Anwar ke KH. Madchan bin Abdul Manan. Dalam amalan mereka ini, pengamalan dilakukan puasa dan diamalkan selama 3 hari diamalkan sebanyak 313 x, dengan wasilah keguruan mereka; dan setelah itu diamalkan setiap hari. Di antara kyai lain yang menjaid pusat amalan ini adalah di Krapyak yang diamlkan oleh KHR. Abdul Qodir.

Amalan Yasin Fadhilah

Amalan Yasin Fadhilah banyak dilakukan kyai-kyai di Jawa, dan di antara pusat penyebaran amalan ini adalah para keluarga Mbah Imam Puro. Di Banyuwangi Yasin Fadhilah juga disebarkan melalui Pesantren Blokagung dalam kumpulan wirid-wirid yang sudah tercetak. Di Ceroben, tepatnya di Mertapada Kulon Kecamatan Astanajapura Cirebon, Yayasan PATWA (Yayasan At-Tarbiyatul Wathoniyah), dengan otoritas KH. Amad Syathori, juga menyebarkan amalan ini; dan beberapa doa dari Yasin Fadhilah di sini, variasinya ada yang diperoleh dari Syaikhona Kholil Bankalan.

Di Jawa Tengah, Mbah Maemun Zubair juga termasuk yang dikenal memberi ijazah Yasin Fadhilah; di Yogyakarta, Pesantren Wahid Hasyim, yang didirikan KH. Abdul Hadi juga mengamalkan Yasin Fadhilah, di Asrama Al-Hikmah;  dan masih banyak lagi di Pesantrfen-pesantren di Jawa.

Sholawat Kubro

Amalan Sholawat Kubro yang merupakan sholawat yang dikenal diamalkan para wali di tanah Jawa di masa awal, di antaranya adalah KH. Imroni Abdullah di Jepara. KH. Imroni  mengamalkan bersamaan dengan mujahadah Sholat Tasbih. Selain itu, Sholawat Kubro juga diamalkan keluarga dari Mbah Imam Puro yang terhimpun dalam kitab Manaqib-nya, dan tokoh ini makamnya ada di Geger Menjangan, Purworejo.

Ratib Al-Haddad

Banyak kyai di Jawa, baik yang keturunan langsung dari Sayyid atau Habib, atau yang dari suku Jawa-Madura, mengamalkan Ratib al-Hadad, yang disusun Al-Habib bin Abdullah bin Alwi al-Haddad. Di antara pusat pengijazah ini, bersumber dari KH. Asad Syamsul Arifin di Situbondo; KH. Abdul Hamid di Pasuruan; KH. Mufid Masud di PP Sunan Pandanaran; KH. Abdul Mukhit di Jejeran; Abuya Muhtadi Dimyati Banten, dan masih banyak Habib-Sayyid-syarif, dan kyai-kyai lain membaca Ratib ini, dan tersebar dari Banyuwangi, Cirebon sampai Banten.

Dalam tulisan di tebuireng online yang ditulis Arif Khuzaini, berjudul “Sejarah, Khasiat & Bacaan Ratib al-Haddad”, di antaranya dia menyebut pemberi ijazah Ratib ini yang di Indonesia,  diperoleh dari beberapa guru: Habib Ali bin Husain al-Haddad Surabaya, Habib Ali Al-Jufri Jombang, Habib Muhammad as-Segaf Solo, Habib Alwi al-Haddad Peterongan, dan K. Ahmad Muntaha Pesantren Gedongsari Nganjuk, dan yang satu dari Yaman (Habib Ahmad bin Husain Aidid).

Ratib Kubro

Amalan Ratib Kubro juga dibaca oleh sebagian masyarakat-kyai di Jawa, dan sumber pengijazah dari amalan ini di antaranya adalah Habib Muhammad Luthfi bin Yahya. Rotib ini disusun Habib Thoha bin Hasan bin Yahya Ba `Alawi, adalah putra dari Habib Hasan bin Thoha bin Yahya Semarang, dan terhitung amalan ratib yang disusun lebih belakangan dibanding dengan Ratib Al-Haddad, ratib al-Atasy, dan ratib yang sejenis dari Hadhramaut. Dari Habib Luthfi, lalu menyebar ke berbagai muridnya, dan di antara penyebarannya melalui KH. Abdullah Saad di Pesantren al-Inshof, Karanganyar. Termasuk pengamalan Ratib Kubro di Yogyakarta, bertempat di Pesantren Kyai Khairani Cepokojajar Piyungan, juga dari Habib Muhammad Luthfi Pekalongan, dan kemudian berhubungan dengan KH. Abdullah Saad, Karanganyar.

Simtud Durar

Kitab Maulid Simtud Durar, disusun oleh Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi asal Hadhramaut (w.1915), yang dibaca seminggu sekali di Masjid Riyadh, Syaiun, Hadhramaut. Yang membawa ke Indonesia ada dua jalur, seperti disebutkan Muhammad Asad dalam alif.id (31 Juli 2019): pertama, dari kalangan murid, bernama Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi (w. 1917) di Cirebon, lalu ke Bogor, dan kemudian pindah ke Surabaya; lalu pembacaan Simtud Durar ini diteruskan oleh Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (w. 1968), yang disebut Habib Ali Kwitang, yang juga murid penyusun Simtud Durar (Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi); dan mengadakan  pembacaan Simtud Durar ini di kantor pusat Jamiat Khoir, dan kemudian di Masjid Kwitang yang terkenal pada tahun 1930-an.

Kedua, Simtud Durar juga dikenalkan oleh Habib Alwi, keturunan Habib Ali Al-Habsy penyusun Simtud Durar (w. 1953) sendiri. Putra Habib Ali penyusun Simtud Durar ini, ke Nusantara, menetap di Jakarta, kemudian ke Semrang, dan terakhir di Solo. Tahun 1934, Habib Alwi mendirikan masjid Riyadh di Solo. Setelah itu, penyebaran  Simtud Durar dilakukan putra Habib Alwi yang bernama Habib Anis bin Ali al-Habsy (w. 2006), yang sangat terkenal. Ijazah Simtud Durar banyak bersumber dari Solo, dari Habib Anis dan murid-muridnya.

Dalail Khairat

Amalan Dalail Khairat berasal dari Imam al-Jazuli juga dilakukn oleh banyak kyai di Jawa, dan dilakukan berbagai pengikut tarekat. Sanad mereka banyak bersambung kepada Syaikh Mahfudz Termas, dan beberapa syaikh lain di Hijaz. M Bagus Irawan telah menerjemahkan Dalail Khoirot ini ke dalam bahasa Indonesia  diterbitkan Keira Publising ( 2019) dan menulis “Sanad Dalail Khairat di Nusantara” (iqra.id., 3 Oktober 2019). Amalan Dalail Khaoirot ini banyak diamalkan disertai dengan puasa, ada yang setahun, lalu ditambah beberapa tahun, dan ditambah harus rajin membaca Al-Quran.

Di antara pusat penyebaran dan pengambilan ijazah adalah Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas Empang Bogor (w. 1932) dan para muridnya; Abah Anom juga  disebut penyambung rantai sanad Dalail Khoirot; di Pekalongan ada KH. Thohir bin Abdul Lathif (w. 1946). Sementara  di Kudus, mujiz terkenal adalah KH. Ahmad Basyir, di Pesantren Darul Falah Jekulo; di Jombang ada KH. Djamaluddin Ahmad Tambakberas dan KH. Abdul Aziz Mansur Paculgowang; dan amalan Dalail Khoirot juga ada di Pesantren Lirboyo Kediri dan KH. Djazuli Usman di Ploso; di Blitar ada KH. Mahdi di Pesantren Miftahul Huda; di Malang, ada KH. Achmad Masduqi Mahfudz  di PP Salafiyah Syafiiyah Nurul Huda; dan di Yogyakarta ada KH. Ali Maksum, dan di PP Sunan Pandanaran Yogyakarta, KH. Mufid Masud juga pengamal Dalail Khoirot yang memperoleh dari KH. Ma’ruf Surakarta dan KH. Abdul Muid Klaten; dan di Jawa tengah ada KH. Muhammadun Pondowan dan murid-muridnya.

Tarekat Qadiriyah

Di antara pemegang sanad tarekat Qadiriyah di Jawa, sekarang ini adalah KH. Ahmad Hisyam Syafaat Banyuwangi, yang memperoleh dari Syaikh Abdul Karim al-Mudarris Irak, seperti disebutkan di blokagung.net (30 Oktober 2014).

Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah

Amalan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, pusat baiat dan pengijazahannya di antaranya, melalui pusat-pusat seperti Syaikh Abdul Karim Banten dan murid-muridnya, Syekhona Kholil Bangkalan dan murid-muridnya, KH. Hasan Basuni Madura dan murid-muridnya,  Syaikh Ibrahim Brumbung dan murid-muridnya, Abah Anom di Suryalaya dan murid-muridnya, KH. Asrori al-Ishaqi di Surabaya dan para penerusnya, KH. Mustain Romli dan para penerusnya, KH. Muslih Mranggen dan para penerusnya,  KH. Hasan Anwar Purwodadi dan para penerusnya, Habib Ali Alhinduan Madura, dan lain-lain. Jaringan mereka ditulis oleh Martin van Bruinessen dalam buku Kitab Kuning.

Tarekat Syathariyah

Pusat Tarekat Syathariyah dulu ada di Pamijahan, bersumber dari KH. Abdul Muhyi  dan jaringan murid-muridnya yang sangat luas; Ronggowarsito dan Ronggosasmito di Kartasura; Kyai Asy’ari Kaliwungu, yang dikenal sebagai Kyai Guru juga menjadi rantai sanad penting tarekat ini; dan di Yogyakarta kini tarekat ini ada di Jejeran (dari sanad Mbah Nawawi Jejeran) dan Giriloyo (Mbah Marzuqi Giriloyo). Sementara gabungan Sadziliyah-Syathariyah berpusat baiatnya dari Mbah Imam Puro dan keturunannya serta murid-muridnya yang tersebar.

Tarekat Syadziliyah

Pusat Sadziliyah yang cukup tua adalah Pesantren al-Kahfi atau Pesantren Sumolangu melalaui  Kyai Sumolangu dan murid-muridnya; KH. Idris Jamsaren di Solo; KH. Dalhar di Pesantren Darussalam Watucongol dan para murid-muridnya; KH. Abdul Malik Purwokerto (Sadziliyah dan Naqsyabandiyah) dengan jaringan para muridnya yang luas; KH. Abdul Jalil Mustaqim di Pondok Peta Tulungagung dan para murid-muridnya, Habib Muhammad Luthfi di Pekalongan dan para murid-muridnya; KH. Siroj Payaman Magelang, KH. Ahmad Ngadirejo Klaten, KH. Abdullah Kaliwungu, KH. Siradj Panularan Surakarta, KH. Abdul Muid Tempursari Klaten, KH. Maruf Mangunwiyoto Jenengan, KH. Idris Kacangan Boyolali, dan beberapa yang lain.

Tarekat Naqsyabandiyah

Amalan Tarekat Naqsyabandiyah di Jawa telah dijelaskan Martin van Bruinessen dalam buku Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Mizan, 1996), yang pusat-pusatnya di antaranya: KH. Usman Gedang dan para muridnya, KH. Muhammad Ilyas di Sokaraja Banyumas dan para muridnya; Syaikh Abdul Hadi Giri Kusumo dan para murid-muridnya, sebelah tenggara Semarang; KH. Abdurrahman Kebumen; tarekat ini juga pernah ada di Pesantren Benda Kerep Cirebon; dan KH. Zain putra KH. Tholchah Cirebon. Di antara cabang-cabang penting yang sekarang berkembang-terkenal adalah KH. Mansur Popongan dan para penerusnya, KH. Arwani Kudus, Mbah Mangli Magelang, dan banyak lagi yang lain.

Dalam buku Zamaksyari Dhofier berjudul Tradisi Pesantren (LP3ES, 2011), disebut Syaikh Abdul Jalil Tegalsari Salatiga (w. 1916) termasuk penyebar Naqsyabandiyah awal dan mendapat langsung dari Mekkah, di luar jalur yang selama ini ada. Di Madura, beberapa mursyid Naqsyabandiyah juga disebut Martin adalah perempuan, seperti Nyai Thabibah (yang memperoleh dari KH. Ali Wafa) dan Syarifah Fatimah yang memiliki pengikut cukup banyak.

Tarekat Tijaniyah

Pengambilan amalan tarekat Tijaniyah bersumber di Pesantren Buntet, dan jaringan  yang mengambil dari Pesantren Buntet.

Hizib Ghazali

Di antara sumber penting pengijazah Hizib Ghazali adalah KH. Chudlori di API Magelang dan para murid-muridnya, sebagaimana disebutkan oleh Bambang Pranowo dalam Memahami Islam Jawa (2009). Amalan Hizib Ghazali dilakukan dengan berpuasa selama 7 hari, dan dibaca setiap selesai sholat 5 waktu minimal 7 x dan maksimal 40 x. Di Banyuwangi, Hizib Ghazali juga diajarkan melalaui Pesantren Manbaul Ulum, Muncar Banyuwangi, dan di beberapa pesantren lain di Jawa.

Hifdzul Quran

Amalan menghafal Al-Qur’an di Jawa yang paling terkenal dan cukup tua adalah Pesantren Krapyak melalaui sanad KH. Munawwir. Dari KH. Munawwir kemudian banyak dikembangkan para muridnya di Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Beberapa pesantren yang menjadi pusat menghafal Al-Qur’an, di antaranya, selain Krapyak adalah PP. An-Nur Ngrukem, Bantul; juga ada di PP Sunan Pandanaran; juga ada di Wonosobo, dibawah otoritas KH. Muntaha; dan beberapa pesantren lain.

Amalan Ngaji Shahih Bukhari

Di antara pengijazah amalan dengan tirakat ngaji Shahih Bukhari, yang ternama adalah Hadhratusy Syaikh Hasyim Asyari (dan para murid yang mengambil ijazah darinya) dari Syaikh Mahfudh at-Tirmasi; KH. Zubair (ayah Mbah Maemun Zubair) dan para miuridnya; KH. MA Sahal Mahfuzh dari Syaikh Zubair dan Syaikh Yasin al-Fadani; KH. Maruf Amien yang memperoleh dari KH. Idris Kamali (menantu Hadhratusy Syaikh Hasyim Asyari); dan sebagian pusat-pusat yang lain.

Amalan Puasa Ndawud

Amalan Puasa Ndawud adalah sehari berpuasa dan sehari tidak. Amalan ini banyak pula diamalkan oleh banyak kyai di Jawa. Salah satu pemegang ijazah amalan ini adalah KH. Ahmad Hisyam Syafaat (Pesantren Blokagung Banyuwangi), yang sering memberi ijazah setiap tahun tepat menjelang tahun baru Hijriyah; di Yogyakarta, di antara pesantren yang mengijazahkan ini adalah Pesantren Ash-Sholihah Jonggrangan Sumberadi Mlati Sleman, yang didirikan KH. Muhamamd Zahid; dan di beberapa pesantren yang mengijazahkan Dalail Khoirot, biasanya juga mengijazahkan Puasa Ndawud.

Amalan Doa Nurbuat

Di antara amalan yang banyak pula dilakukan kyai-kyai di Jawa dan habaib adalah Doa Nurbuat. Di antara sumber pengijazah amalan ini di Yogyakarta di antaranya bersumber dari KH. Khalil Harun Segoroyoso dan para muridnya yang mengambil ijazah mereka. Pengamalannya yang bersumber dari kyai yang memperoleh dari KH. Kholil Harun,  Doa Nurbuat ini diamalkan setiap hari 3 x atau 5 x, dengan dipungkasi Sholawat Tunjina 15 x.

Ayat-Ayat Syifa

Ayat-ayat Syifa adalah ayat-ayat yang diguankan menjadi wasilah memohon kesembuhan dan obat dari sakit badan dan batin. Di antara pusat dari jazahan ini bersumber dari Kyai Asyari Kaliwungu, KH. Munthaha dan KH Faqih Muntaha, yang telah terhimpun dalam sebuah rangkaian wirid Ayat Syifa, dipungkasi dengan sholawat Thibbil Qulub. Mursyid Sadziliyah-Syathariyah di Purworejo, KH. Adib Luthfi Hakim juga mengamalkan Ayat Syifa; dan banyak kyai lain juga mengamalkan ini.

Ayat-Ayat Hifzhi

Ayat-ayat Hifzhi adalah doa-doa untuk penjagaan dari segala gangguan jin setan dan hal-hal buruk lain. Di antara, yang menjadi sumber pengijazah amalan Ayat-Ayat Hifzhi, sebagaimana ada dalam amalan sebagian keturunan Mbah Imam Puro di manaqib-nya, adalah berasal dari Pesantren Poncol Salatiga, yang didirkan KH. Misbach, dan diteruskan para murid-muridnya.

Hasbunalloh wani’mal Wakil

Amalan hasbunalloh wani’mal wakil, di antara sumber pingijazahnya adalah KH. Abdul Hamid Pasuruan: ada yang dalam jumlah 450 x setiap hari, dan ada yang siang 450 x dan malam 900 x, sebagaimana yang diceritakan sebagian pengamalnya kepada saya; dan banyak kyai lain di Jawa.

Mantra Jawa di Pesantren

Meskipun kyai-kyai Pesantren di kalangan muslim Jawa menggunakan amalan wirid dalam bahasa Arab, tetapi mereka juga berbahasa Jawa dalam kebiasaan hariannya; dan tidak sedikit yang memiliki mantra-mantra berbahasa Jawa untuk keperluan-keperluan tertentu sebagai wirid, sebagai pelengkapnya. Di antara mereka yang memiliki mantra Jawa ini ada Guru Marzuki Giriloyo (Syathariyah), KH. Dalhar Watucongol (Syadziliyah), KH. Madchan Abdul Manan (Qadiriyah-Naqsyabandiyah-Syathariyah) di Purwodadi, Mbah Imam Puro di Purworejo (Sadziliyah-Sathariyah), dan beberapa kyai lain.

Apa yang disebutkan dari beberapa amalan dan sebagian penyebar amalan-amalan itu, hanya sebagian kecil saja, dan tentu banyak sekali kyai-kyai di Jawa yang mengamalkan amalan-amalan wirid yang tidak disebutkan di sini, dan di luar jangkauan yang saya ketahui.