DONASI

Yang Luluh Lebur Merindu: Kumpulan Puisi Helmi Y. Haska

YANG LULUH LEBUR MERINDU akulah ngengat liar itu yang berputar-putar di sekitar cahayamu (yang kini hampir padam) saat menyentuhmu mengikuti jejakmu lebur merindu akulah kelopak...

PUISI | THURSDAY, 30 OCTOBER 2025 | 21:11 WIB

YANG LULUH LEBUR MERINDU

akulah ngengat liar itu

yang berputar-putar

di sekitar cahayamu

(yang kini hampir padam)

saat menyentuhmu

mengikuti jejakmu

lebur merindu

akulah kelopak bunga gugur itu

yang ditiup angin selatan

jatuh di sumbu meditasi

dalam posisi lotus

di atas hening batu

menyatu dengan lumut

bunga mekar kembali

melalui portal waktu

benang kehidupan terurai

kau merasakan, aku merasakan

kilau luka cahaya menubuh

membungkus diri dalam kesunyian

gambar demi gambar tertangkap dalam ingatan

di sepanjang ruangan berkerut kening

tubuh berkarat, bayangan berkedip-kedip

mokal membicarakan diri sendiri

Rapid Creek, Darwin, 2018.

DARI MALAM RESITAL PUISI

sedari petang hingga fajar menjelang

dia mabuk.  dari rongga tenggorokannya

melalui bagian atas giginya

lembut melantunkan resital puisi

terdengar jelas seperti nada gamelan

menyerap rindu tanah, memikat langit

guyah ditenung cahaya rembulan

kapal-kapal mengapung di buih tuak

kapan ia akan kembali?

di tempat asalnya terkekang

di labirin asal usulnya, sebagai raja sabana

memutuskan belenggunya sendiri

kami mabuk tuak bersorak

membuang-buang koin-koin

melupakan kota-kota memilukan

kegelisahan ini, gejolak batin itu

hantaman demi hantaman

hitung luka dan memarnya

tetaplah di sini, berjagalah untuk kata

dia yang mengetuk pintu rumahmu

menanyakan sehimpun sajak

yang menderas dari sungai bawah tanah

sebelum di atas tanah tumbuh

kalimat memiuh dalam nafsu

aliansi mayat hidup demi akhirat

yang mengosongkan akal sehat

diam dan biru, menembus kegelapan

menyusup ke masa kini

mengendap dan pergi

menerjang hujan badai

menggenggam, tak dapat digenggam

dalam ingatan, ia tetap tak terpahami

dalam jangkauan mata menuju batas keterbatasan

                                                  keluar keheningan

setelah pengalaman pertama dengan kematian

tinggallah di sini selamanya, suaranya

lembut melantunkan resital puisi

jelas terdengar seperti nada gamelan

Denpasar, 2013.

MENUJU LABIRIN

derum barisan mobil-karavan bergerak

mengular di jalan bercecabang

bersama kilasan lanskap pohon eukaliptus

matahari malu-malu melucuti jubah salju

awal musim semi menyeka sepasang mata

murung bayangkan rumpun bambu dan anggrek

sejumlah desa di sebatang sungai

mengalir nasib buruk dan mujur

menguak lelangit pucat

dengung lebah datang dan pergi

doa doa luluh tak menghentikan kutuk

membuang-buang diri, keluarlah dari rumah

tengah malam ratusan wijayakusuma mekar

lolong anjing mengikuti isyarat menuju labirin

hujan badai menerjang tenda

seekor anjing pincang menuntun ke kolong meja,

kami menyebutnya peraduan

                                   tubuhmu menerima mulutku

berbantal handuk menyimpan aroma sampo,

menyerap keringat, liur dan air mata

melampaui jejak cahaya bulan.

Northern Territory, 2019

MELINTASI GUNDAGAI

lengkung hijau hari yang panjang

bukit-bukit dikerumuni domba domba

sang waktu menyimpannya berbilang abad

gema suara gagak hitam,

telapak kaki menginjak tanah sakral

bergegas demi yang mungkin

ruang adalah tak di mana-mana

pesona dari langit yang menyucikan

bulan menuntun menapaki alam liar

aku lelah di tengah kerumunan

menjelma pejalan jauh

merangkul ketakutanku

Gundagai, NSW, 2017

PASAR PARAP

dalam riuh pasar Parap

kau duduk bersimpuh

di depan pintu galeri itu

melantunkan kisah leluhur:

                                 nenek menenun di bulan

bunyi ketukan kayu

antara lena dan jaga

mabuk dan khusuk

mantra terbang

kaki-kaki hilir mudik

waktu menghitung debu

Darwin, NT, 2018.

SUNGAI MURRUMBIDGEE

tubuhmu terbaca dari langit, semesta menghampar

rindu merambat di pucuk pohonan menjadi embun

sebatang sungai Murrumbidgee berkelok,

mengalir jauh bersicabang memeluk Gundagai

                                        bagai perempuan molek rebah

selangkangannya lembah, angin malam menuntun ke jantung pemiliknya

oktober tampak makin hening merobek daun daun

berserahlah pada rindu, siapa yang sanggup mengembalikan waktu

akhirnya kita menyerah pada jarak

Gundagai, NSW, 2019.

502

Helmi Y. Haska

Helmi Y. Haska, lahir di Bandung, tumbuh dalam lanskap budaya keluarga Minangkabau. Sejak usia dini menulis sajak di Harian Semangat, Padang (1981).Sajak-sajaknya terbit secara sporadis di beberapa harian nasional. Pun sajaknya terbit dalam antologi puisi, antara lain, Bali the After Morning (Ed. Vern Cork, 1997), Dendang Sanur Nyiur Sanur (Ed. Nyoman Dharma Putra, 2015), Cumi-Cumi (Ed. Rokko Juhasz, 2017), dan Blengbong, Sajak-sajak Penyair Pos Budaya, (Ed. Ketut Syahruwardi Abbas, Gm Sukawidana, dan Wayan Jengki Sunarta, Penerbit: Pustaka Ekspresi, Denpasar, 2021). Selain itu, menulis buku Bob Marley, Rasta, Reggae, Revolusi (Kepak Press, 2005).

Comments are closed.