YANG LULUH LEBUR MERINDU
akulah ngengat liar itu
yang berputar-putar
di sekitar cahayamu
(yang kini hampir padam)
saat menyentuhmu
mengikuti jejakmu
lebur merindu
akulah kelopak bunga gugur itu
yang ditiup angin selatan
jatuh di sumbu meditasi
dalam posisi lotus
di atas hening batu
menyatu dengan lumut
bunga mekar kembali
melalui portal waktu
benang kehidupan terurai
kau merasakan, aku merasakan
kilau luka cahaya menubuh
membungkus diri dalam kesunyian
gambar demi gambar tertangkap dalam ingatan
di sepanjang ruangan berkerut kening
tubuh berkarat, bayangan berkedip-kedip
mokal membicarakan diri sendiri
Rapid Creek, Darwin, 2018.
DARI MALAM RESITAL PUISI
sedari petang hingga fajar menjelang
dia mabuk. dari rongga tenggorokannya
melalui bagian atas giginya
lembut melantunkan resital puisi
terdengar jelas seperti nada gamelan
menyerap rindu tanah, memikat langit
guyah ditenung cahaya rembulan
kapal-kapal mengapung di buih tuak
kapan ia akan kembali?
di tempat asalnya terkekang
di labirin asal usulnya, sebagai raja sabana
memutuskan belenggunya sendiri
kami mabuk tuak bersorak
membuang-buang koin-koin
melupakan kota-kota memilukan
kegelisahan ini, gejolak batin itu
hantaman demi hantaman
hitung luka dan memarnya
tetaplah di sini, berjagalah untuk kata
dia yang mengetuk pintu rumahmu
menanyakan sehimpun sajak
yang menderas dari sungai bawah tanah
sebelum di atas tanah tumbuh
kalimat memiuh dalam nafsu
aliansi mayat hidup demi akhirat
yang mengosongkan akal sehat
diam dan biru, menembus kegelapan
menyusup ke masa kini
mengendap dan pergi
menerjang hujan badai
menggenggam, tak dapat digenggam
dalam ingatan, ia tetap tak terpahami
dalam jangkauan mata menuju batas keterbatasan
keluar keheningan
setelah pengalaman pertama dengan kematian
tinggallah di sini selamanya, suaranya
lembut melantunkan resital puisi
jelas terdengar seperti nada gamelan
Denpasar, 2013.
MENUJU LABIRIN
derum barisan mobil-karavan bergerak
mengular di jalan bercecabang
bersama kilasan lanskap pohon eukaliptus
matahari malu-malu melucuti jubah salju
awal musim semi menyeka sepasang mata
murung bayangkan rumpun bambu dan anggrek
sejumlah desa di sebatang sungai
mengalir nasib buruk dan mujur
menguak lelangit pucat
dengung lebah datang dan pergi
doa doa luluh tak menghentikan kutuk
membuang-buang diri, keluarlah dari rumah
tengah malam ratusan wijayakusuma mekar
lolong anjing mengikuti isyarat menuju labirin
hujan badai menerjang tenda
seekor anjing pincang menuntun ke kolong meja,
kami menyebutnya peraduan
tubuhmu menerima mulutku
berbantal handuk menyimpan aroma sampo,
menyerap keringat, liur dan air mata
melampaui jejak cahaya bulan.
Northern Territory, 2019
MELINTASI GUNDAGAI
lengkung hijau hari yang panjang
bukit-bukit dikerumuni domba domba
sang waktu menyimpannya berbilang abad
gema suara gagak hitam,
telapak kaki menginjak tanah sakral
bergegas demi yang mungkin
ruang adalah tak di mana-mana
pesona dari langit yang menyucikan
bulan menuntun menapaki alam liar
aku lelah di tengah kerumunan
menjelma pejalan jauh
merangkul ketakutanku
Gundagai, NSW, 2017
PASAR PARAP
dalam riuh pasar Parap
kau duduk bersimpuh
di depan pintu galeri itu
melantunkan kisah leluhur:
nenek menenun di bulan
bunyi ketukan kayu
antara lena dan jaga
mabuk dan khusuk
mantra terbang
kaki-kaki hilir mudik
waktu menghitung debu
Darwin, NT, 2018.
SUNGAI MURRUMBIDGEE
tubuhmu terbaca dari langit, semesta menghampar
rindu merambat di pucuk pohonan menjadi embun
sebatang sungai Murrumbidgee berkelok,
mengalir jauh bersicabang memeluk Gundagai
bagai perempuan molek rebah
selangkangannya lembah, angin malam menuntun ke jantung pemiliknya
oktober tampak makin hening merobek daun daun
berserahlah pada rindu, siapa yang sanggup mengembalikan waktu
akhirnya kita menyerah pada jarak
Gundagai, NSW, 2019.