Author Archives: Agus Wedi
Jika Anda melihat gelombang olahraga yang paling diminati orang Indonesia dan dunia, maka Anda akan tertuju pada olahraga apa? Ke sepak bola, volly, basket, futsal? Kenapa? Mengapa?
Sejumlah olahraga-olahraga yang disebut dia atas, tidak terlalu berlaku pada minat orang-orang Sumenep bagian timur. Misalnya, di kecamatan Gapura, Dungkek, Lapa Taman, Batang-Batang, dan Batu Putih. Mengapa? Saya tidak tahu. Tetapi alasan yang awam, orang-orang pedesaan, karena tidak punya akar sejarah dan tidak pas sama kondisi sosio-kultural dan tegalan, mungkin juga peluang (relasi) ke depan.
Jika dilihat semai perkembangan dari lima tahun terakhir, di Sumenep, olahraga yang paling diminati adalah olahraga yang paling tidak diminati banyak orang, atau bahkan olahraga yang sudah terlupakan keumuman orang: Kasti. Orang Sumenep masih memegang erat olahraga bola kasti yang ia pelajari di sekolah-sekolah.
Di Sumenep, kasti adalah olahraga yang paling menarik dan mengasyikkan. Satu klub berjumlah dua belas orang. Masing-masing orang punya posisi dan kecakapan berbeda. Dengan panjang lapangan berukuran 100 hingga 150 meter, orang-orang asik masuk memainkan bola kasti. Pertandingan digelar tiap sore jam 03:00-selesai bahkan pada Minggu-minggu ini ada yang menggelar malam hari. Penonton bersorak sorai layaknya melihat sabung ayam. Bola kasti telah menyatukan emosional, masyarakat dan politik orang Sumenep. Jangan lupa, sejak beberapa bulan terakhir para kandidat politisi juga “bergentayangan” di peristiwa pertandingan. Dan, bila Anda penasaran silakan buka Youtube atau datanglah kesini: ke pulau garam, Sumenep.
Jangan lupa, sejak beberapa bulan terakhir para kandidat politisi juga “bergentayangan” di peristiwa pertandingan. Dan, bila Anda penasaran silakan buka Youtube atau datanglah kesini: ke pulau garam, Sumenep.
Di setiap desa, di empat kecamatan yang disebut di atas, ada banyak klub-klub kasti. Satu desa punya klub berbeda dan saling berteman juga saling berkontroversi. Para pemain/klub beda dengan kebanyakan pemain kasti di tempat lain, pemainya sendiri di Sumnep separuh laki-laki manula dan saparuhnya lagi anak-anak muda. Bahkan juga ada klub kasti waria.
Yang menarik, orang-orang bermain kasti bukanlah mencari tenar atau kelincahannya untuk dibawa ke ranah publik nasional (apalagi tidak ada event atau wadah di sana), tetapi mereka bermain hanya bersumber dari rasa senang, gembira dan karena ada jejak garis sejarah.
Ya, olahraga kasti di Sumenep punya sejarah. Sejarah kasti adalah sejarah harga diri. Bermain kasti, sejak dulu dan hingga hari ini, yang “dicari-diharapkan” bukanlah menang dan kalah. Lawan dan kawan. Tapi bagaimana harga diri ada dan tetap ajek murni di sana.
Maka itu, ketika mau bertanding, para pemain pasti mencari suluk kesaktian. Mengapa? Karena setiap pertandingan yang terjadi, baik event turnamen atau semacam persahabatan, keterjadian pertandingan bukanlah dari hasil keluarnya lutri dari dalam ruang botol atau ajakan “humanis”, tapi dari hasil tantangan antar klub tersebut. Disitulah asyiknya sekaligus getirnya.
Dengan adanya permintaan tantangan tersebut, maka klub-klub mencari cara agar harga dirinya tidak hangus di arena medan. Menang saat bertanding bukanlah satu tujuan, tapi kebagusan bermain dan kesaktian dalam mengolah gerak tubuh agar tidak disambar bola atau dobligasi klub dari ke bobolan poin adalah utamanya tujuan. Kendati para pemain selain harus mempunyai strategi yang canggih dan skill mumpuni, mereka perlu menjalankan suluk ritual-spiritual, dan harus punya para “penjaga”, yaitu dukun.
Amatan penulis, ketika klub-klub sedang mempersiapkan, setengah bulan atau seminggu menuju laga pertandingan, mereka sudah mulai me-reka ulang pikiran dengan menepi. Menepi disini atas perintah ketua klub yang juga lewat wangsit dan sang penjaga. Di antara para pemain, meraka bukan hanya disuruh menghafalkan nama-nama orang/klub “rivalnya”, tapi menghafalkan lintasan sinar (ada beberapa orang mengatakan sinar bintang) di langit dan ragam peristiwa keseharian yang terjadi pada dirinya masing-masing.
Di antara para pemain, meraka bukan hanya disuruh menghafalkan nama-nama orang/klub “rivalnya”, tapi menghafalkan lintasan sinar (ada beberapa orang mengatakan sinar bintang) di langit dan ragam peristiwa keseharian yang terjadi pada dirinya masing-masing.
Jalan mencari kesaktian dengan menepi disini ada tiga cara atau jalan. Ada yang melakukan dengan pertapaan di pujuk makam-makan mistik, yang dianggap mempunyai kekuatan supranatural, juga ada dengan cara diam di atas pohon, dan ada pula dengan merendam diri di air laut. Di sana, mereka mengamalkan doa atau mantera-mantera khusus. Mantera dan doa-doa yang dirapalkan macam-macam. Ada yang berbahasa Jawa, Arab, Indonesia dan juga Madura. Per-orang punya mantera dan doa masing-masing sesuai posisi di lapangan. Tapi, di antara doa dan mantera yang dirapalkan, semua pemain tidak terlepas dari pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an: Surah Yasin dan Ayat Kusi.
Menurut para pemain, hal demikian dilakukan selain mencari kesaktian, juga agar rahayu nir sambikala, yaitu terhindar dari mara bahaya. Sebabnya, menurut penuturan orang-orang, karena di arena lapangan sering mudah celaka, jatuh, patah, linglung, bahkan meninggal. Disinilah seperti yang bilang di atas, jika hal demikian terjadi, maka hangusnya harga diri terjadi.
Anda mungkin menanyakan, bagaimana kalau anak cilik yang bermain? Tetap sama. Anak-anak sehabis pulang ngaji dari langgar akan berkumpul di rumah ketua klub. Setalah ngaji surah Yasin bersama, mereka kemudian pergi ke tempat-tempat penyepian yang sudah ditentukan. Pengalaman yang menarik, ketika anak kecil nyepi di pujuk kuburan yang sepi. Tempat yang jauh dari rumah-rumah warga. Baginya, itu adalah sebuah pengalaman luar biasa. Sebab, apa yang dia lakukan adalah kebalikan dari apa yang dia rasakan: takut. Tapi menurutnya, hidup adalah menuju ketakutan-ketakutan, yaitu belum takut. Yang belum ini adalah rentang harapan memaknai. Pemaknaan yang belum itu memungkinkan untuk bertindak dalam horizon kemungkinan: kepastian-harapan. Keduanya adalah hasrat bereksistensi, dan hasrat ini mewujudkan ketercapaian: kesaktian-keselamatan.
Sebanarnya, ketika olahraga bola kasti dilandasi dengan jalan suluk, terjadi sesuatu hal yang menakjubkan. Olahraga kasti mengistirahatkan horor kehidupan sekaligus seperti apa yang sangat lama sekali disabdakan rohanian. Bahkan ia menyembuhkan luka-luka dunia dengan intimitas yang ditemukan kembali setelah lama hanya di dengar lewat nasihat-nasihat indah dari para ruhanian, tetapi tidak digenapi. Kasti nama lain dari perkakas sakti yang tak lain adalah untuk menemukan jati diri. Di bilik-bilik senyapnya atau riuahnya, bisa menemukan Tuhan dalam senyap atau riuh. Mengutip Paul Knitter (2009), Tuhan harus menjadi sebuah pengalaman sebelum Tuhan menjadi sebuah kata dan suara.
Disinilah olahraga kasti punya dua nilai penting. Pertama, meninggikan nilai juang dan basis pengejaan jati diri untuk mengetahui tahan-rapuhnya batin dan tubuh sekaligus mengontruksikan kemungkinan-kemungkinan kehidupan yang “belum”. Kedua, olahraga bola kasti mengantarkan orang-orang pada suluk spiritual dalam proses meditasi sekaligus kontemplasi.
Jika ditanya apakah jalan suluk (bertapa di pujuk/merendam tubuh ke air laut, berdiam di pohon dengan merapalkan doa dan mantera) memberikan signifikansi pada realitas pertandingan dan kehidupan orang/pemain? Lagi-lagi saya tidak tau. Tetapi, simbol-simbol yang terjelmakan-terasakan kadang membentuk konsepsi perasaan kuat dalam diri seseorang. Bahkan sebagaimana kata Glifford Geertz, The Interpretation of Cultures (USA: Basic Books, 1973) hal demikian akan mencipta perasaan kuat dan motivasi (secara) unik yang terlihat realistis.
Pemusatan terhadap fakta akan menciptakan aura kenyataan yang sebenarnya “nyata”. Kendati “aura nyata” ini bagi Geertz adalah hasil dari kegiatan-kegiatan ritual agama-budaya yang disimbolkan, dan dengannya orang-orang mulai memaknainya. Disitulah kegiatan bola kasti dan ritualnya menjadi bermakna dan termaknai. Oleh sebab itu, tidak ada alasan bahwa bermain bola kasti adalah olahraga terbelakang dan orang akan menyerah pada stigma itu. Yang ada adalah olahraga bola kasti jalan lapang ke depan melawan kejumudan dan kemalasan hidup.
Sumur adalah kehidupan. Ia memanjangkan nafas-nafas manusia. Memanjangkan peristiwa, waktu, hari, bulan tahun dan segala hal yang melingkupinya. Di lembaran hidup, sumur adalah tempat kembali. Dan karena itulah kebaradaan manusia tergantung keberadaan sumur.
Mengapa ada sumur, saya tidak tahu. Tetapi, di bentangan kehidupan manusia sejak ia dilahirkannya, sumur adalah muara hidupnya. Kita bisa menjejak ragam sejarah sumur atau tentang sejarah kehidupan manusia, lagi-lagi sumur adalah yang paling dekat dan lekat pembentuk realitas hidupnya. Kenapa? Karena di dalam sumur ada air. Manusia tak mungkin lepas dari air ini, dari masa ke masa. Bahkan, ia berbuah ceceran kisah, sejarah, dan dinamika privat-sosial manusia yang magis. Atau, bisa dibilang pralambang sumur bisa menghadapi resesi krisis di lembaran perjalanan kehidupan manusia. Tulisan ini ingin memotret sumur tanpa mau mengutip ragam pustaka. Melainkan hanya ingin mengingat sumur semasa (kecil) di kampung: Sumenep.
Kita mungkin berhutang pada sumur. Sumur selama ini telah mau dan mampu memberikan segalanya atas kebutuhan dan tujuan-tujuan kita. Sumber air dapat membangun konsep secara sosial dalam konteks historis, geologis dan geografis. Karena itu, orang akan selalu berfikir bahwa sumur mesti perlu dilestarikan dalam tarikan kemajuan dunia. Kita bisa mempertimbangkan variabiltas sumur dan apa yang dianggap primordial di kehidupan kini dan kedepan.
Sumur pada mesa kecil telah mengantar pada lumbung keilmuan dan peradaban. Di masa itu, kita mesra dengan sumur. Mengaji tanpa mampir dulu ke sumur adalah sebuah kecatatan besar. Kenapa? Karena bila santri tidak mampir dulu ke sumur, maka jeding langgar akan kering. Wudhu pun tak akan bisa. Atau, bahkan hanya ingin membersihkan ketika usai buang air senipun juga tak mungkin bisa.
Ke sumur adalah pekerjaan wajib sehari-hari bagi santri. Menimba air di sumur sebentuk menimba ilmu ke guru. Atau, menimba ilmu ke guru seperti menimba air ke sumur. Kedalaman sumur adalah kedalaman keilmuan. Setiap garak tangan memegangi tali tampar sumur, yang di tarik ke atas dan ke bawah, yang kemudian di ayunkan ke ember, disitulah keikhlasan suluk keilmuan hadir dan ada. Sekaligus setiap tarikan nafas yang mengiringi timbaannya, ia mengajak kembali menemukan roh untuk bisa mengalirkan kebeningan kehidupan.
Menimba air di sumur sebentuk menimba ilmu ke guru. Atau, menimba ilmu ke guru seperti menimba air ke sumur. Kedalaman sumur adalah kedalaman keilmuan.
Pada masa dulu, bagi santri, nyela air ke sumur yang dilakukan setiap hari dan waktu merupakan tolak ukur perjuangan untuk mengatahui hakikat membela keilmuan. Atau, untuk jihad menghilangkan kebodohan. Di sana, kerja keras dan keinginan mencari ilmu dan kebarokahan menghuni di jiwa sang pencari ilmu: santri. Tak lain dan tak bukan, untuk visi pendermaan hidup sebagai sesama manusia.
Tetapi, tidak selamanya nyela air sebagian santri terjadi. Kemalasan juga kadang mampir. Ujian konsistensi kadangkala hadir ketika bahan-bahan seperti ember, timba, pekalan (palang terbuat dari bambu) tidak ada atau lagi bocor. Sebagian santri malas untuk nyela air atau hanya sekadar untuk meminjam timba ke tetangga. Malas dan kecemasan tertengok ke lubang usaha-usaha untuk mencari alternatif supaya bisa mendapatkan air.
Saya masih ingat kejadian itu. Pada suatu hari, teman-teman santri pada tak hadir ke langgar. Sebab ada acara perhelatan gawe, teman-teman lihat penganten kuda. Sekitar, sebelasan orang santri hadir, tetapi mayoritas perempuan. Sekonyong-konyongnya tiga laki-laki yang hadir. Waktu itu, hanya perempuanlah yang membawa timba dari rumah. Dan timba-timba punya tiga santri lelaki itu pada bocor. Sejak itu perasaan cemas tak terkatakan. Karena kecemasan yang mengitari pikiran, maka mereka segera bersembuyi di balik sumur dan tidak dulu pergi ke langgar walau hanya sekadar naruk kitab dan Qur’an.
Demikianlah, guru merasa aneh, kenapa santri yang hadir tidak seperti biasanya. Maka itu, guru pasti bertanya kepada santri perempuan, “Adakah santri laki yang hadir dan menemani nyela air?” Dan sudah pasti mereka mengatakan ada, tetapi hanya membantu proses pengambilan air dari dalam sumur, dan tidak berani membawanya ke jeding langgar. Menangkap hal itu, guru dengan tangkas dan kesadaran penuh membawa timba yang bocor dengan perlengkapan alat tambalnya ke sumur. Di situ, santri laki-laki merasa salah dan merasa ketakzimannya “hangus”. Santri diajari menambal timba dengan lem yang terbuat dari limbah plastik. Dengan itu pula, santri merasa sadar akan tanggungjawabnya sebagai santri.
Di situ, santri laki-laki merasa salah dan merasa ketakzimannya “hangus”. Santri diajari menambal timba dengan lem yang terbuat dari limbah plastik. Dengan itu pula, santri merasa sadar akan tanggungjawabnya sebagai santri.
Di kampung, jarak tempuh sumur dan langgar sekitar 300 meter. Dengan kedalaman mencapai dua ratus lima meter hingga seratus meter. Menimba air ke sumur harus istirahat berkali-kali. Tubuh basah disekujurnya dengan keringat. Penghiburan, kadang-kadang santri mengasyikkan bermain kejar-kejaran atau kadang ngadu kuat-kuatan. Siapa yang paling tangguh dan paling banyak meminggul air. Dengan permainan itu, semua jadi riuh. Selama perjalanan, santri-santri kadang saling bersimbur-simburan air. Songkok, baju, sarung dan tubuh basah.
Di hari tertentu, kadang santri juga memandikan sapi peliharaan guru. Sapi diikat di dua pohon kelapa dan siwalan. Disemburkan air pada sapi dan digaruk kotoran yang nempel di tubuhnya dengan batu gamping dan genting. Kadang juga mencuci tikar yang terbuat dari anyaman daun siwalan, blarak, atau tikar-tikar bekas penguburan jenazah. Di Sumenep, tikar jenazah tak diikutsertakan ke liang kubur. Ketika hari gelap, santri melepaskan lelah dan mulai belajar mengaji Al-Qur’an di gubuk langgar. Hari-hari itu memukau.
Kesadaran menimba air bukanlah sebagai prasyarat kewajiban bagi setiap santri. Tetapi, usaha-usaha penyadaran itu adalah ladang amal dan ladang pengalaman pembelajaran untuk menghadapi medan kehidupan dikemudian. Menjadi tua, baik menjadi petani atau lainnya, sejauh manusia masih menyadarinya, pekerjaan bersumur tetap niscaya. Apalagi, berada dan hidup di bumi yang kering, pekerjaan menimba air di sumur bermakna. Pekerjaan bersumur menjadi seklasik dan pedoman dalam mengambil sikap. Bahwa berarti, setiap praktik kelakuan harus bersumber pada usaha-usaha yang mendalam dan harus di airi dengan sikap-sikap yang bening, segar, dan maslahat melimpah.
Pada lembar kehidupan, makna sumur terpasung. Orang kiranya berharap, sumur-sumur tetap mangalirkan air dan tidak mengeringkan kehidupan. Air sumur disamping rumah-rumah manusia, baik yang kaya dan miskin kiranya harus tetap ngesep, meresapkan kebaikan, rezeki dan suluh sosial. Siapa pun yang datang menimba air sumur, kiranya ia akan menjadi danging batin yang mewujud pada kesatuan wujud: kebaikan. Jalin mejalin dari tali sumur yang keras, yang mengalirkan mengangkut air dari dalam sumur, mewartakan bahwa manusia harus bertalian kuat di antara manusia yang lain dengan bersepakat di jalan yang satu: jaring kemanusiaan. Agar kesatuan itu, mengantarkan kita ketujuan akhirnya, yaitu kehidupan humanis di dunia dan di alam baka.
Di kampung, sumur yang di bangun dan direnovasi sekitar tahun 1992. Tali dan bangunannya terbuat dari tanah, batu dan kapur yang di bakar kemudian digali sendiri oleh masyarakat. Maka tampaklah tali dan bangunan itu sangat sederhana tapi kuat. Tali dan bangunan itulah nilai-nilai kesederhanaan, ketulusan tatapi menjadi kuat dalam prinsip berbagi atau menghadapi rona masalah zaman. Kekuatan prinsip itu adalah penyanggah dalam bangunan kehidupan manusia. Bahkan, penggarapan yang digali sendiri ke dalam kerak bumi, agar kita manusia selalu bersikap mendalam, rendah hati. Tidak mau mengambil porsi dari apapun yang bukan haknya. Hanya dengan sikap itulah, peradaban kehidupan terbit dan tenggelam dengan terang.
Di kampung, sumur untuk semua orang. Bangunan sumur di buat melingkar. Di amperannya, orang-orang bisa menyuci. Orang-orang saling ngantri, berbagi ruang, saling bantu dan sumur juga dijadikan wahana edukasi. Sebuah kehidupan yang kini jarang kita temui.
Rekaman sejarah sumur di kampung adalah rekaman sejarah kehidupan badan manusianya. Nilai-darma, manfaat, dan harga terabadikan dalam diri sumur. Tetapi, ia tidak sekadar menyimpan keadilihungan atau sebaliknya. Sumur juga menjadi petunjuk ke mana arah manusia ia kini mengembara. Kiranya, selama sumur masih tetap memancarkan air, ia akan tetap dibutuhkan, apalagi di tengah arus kegelapan, komodifikasi pencahayaan di segala bidang kehidupan, kreativitas akumulasi bisnis dari sumur kehidupan, bahkan di tegah surplus sifat-sikap kelupaan dan ketamakan.