Menu

Latar

“Banser! Selamat datang di abad ke-2 Nahdlatul Ulama.” Begitu kira-kira sepenggal ungkapan Gus Ketum NU dengan pidatonya yang menggelegar di resepsi 100 Abad NU.

Wahai kader-kader PBNU, di abad kedua NU ini kelak di setiap acara-acara PBNU bukan hanya asap udud atau asap dupa saja yang bakal mengepul di udara tapi bakal ada pendatang baru yang ikut serta membumbung ke langit; yakni, selamat datang di keluarga besar PBNU, wahai asap batubara!

Di abad ke-2 Nahdlatul Ulama ini PBNU telah memastikan untuk mengajukan izin tambang. Alasan utama pengajuan ini adalah karena PBNU sedang BU (butuh uang). Untuk menjalankan organisasi sebesar ini tentu saja membutuhkan uang. Wong butuh, gimana lagi?

Ketua Umum PBNU, Gus Yahya, bilang “Masa imajinasi kembangkan sumber daya NU kok iuran warga. Ini gara-gara kelamaan melarat ini.” Ya, kok iuran warga, sih, uang dari tambang batu bara, lah.

Hal ini bermula dari pemerintah Presiden Jokowi yang ingin mencari jalan supaya distribusi pengelolaan sumber daya alam dapat terbagi secara merata. Seperti kita ketahui bersama ada ketimpangan distribusi dalam pengelolaan sumber daya alam Indonesia ini. Perusahaan-perusahaan tambang besar telah menguasai jutaan hektare, kalau dilelang lagi nanti akan jatuh ke perusahaan tambang besar itu lagi, dan enggak akan terjadi distribusi. Pemerintah melakukan ini dengan itikad yang baik.

Dari kenyataan demikian Gus Yahya menjelaskan “maka dijadikan lah ormas-ormas agama itu dijadikan sasaran, tapi sasaran masuk akal. Ormas dipakai urusan agama dan sampai pada umatnya” ucapnya dalam pidatonya di acara ‘Halaqah Ulama’ di Kantor PBNU, Jakarta, Selasa (11/6) seperti dikutip CNN Indonesia.

Tapi apakah Pemerintah sampai hati untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah yang memberikan kesempatan bagi ormas dan komunitas keagamaan saja. Bagaimana dengan perasaan aktivis-aktivis di organisasi non-keagamaan, semisal teman-teman di komunitas pecinta reptil. Kenapa pemerintah tidak memberikan kebijakan afirmasi untuk mereka, misal dengan memberikan konsesi lahan hutan untuk suaka dan pengembang-biakan reptil-reptil yang dicintai oleh komunitas tersebut.

Atau bila memang usulan tersebut terlalu muluk-muluk dan berlebihan, kenapa Pemerintah harus membagi-bagikan sumber daya alam tersebut kepada ormas-ormas pusat yang ada di Jakarta, kenapa tidak membiarkan warga setempat untuk mengelola ruang hidupnya sendiri? Tentu mereka akan menjaga kekayaan tersebut, ruang hidup yang menopangnya, dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.

Bahaya Melaratnya Semangat Khidmah

Sebelum ini semangat khidmat Nahdliyin dalam kegiatan-kegiatan yang dilangsungkan oleh NU begitu luar biasa. Gotong royong, patungan, dan iuran, menjadi oli yang menggerakan roda organisasi.

Salah-satunya adalah karena ada kesadaran kolektif bahwa NU tidak mempunyai banyak dana, maka warga tidak keberatan untuk turut serta membantu, mempertebal solidaritas. Dari kita, oleh kita, untuk kita.

Namun, apa yang akan terjadi bila Nahdliyin tahu bahwa PBNU telah memiliki dana dari hasil tambang? Apakah akan tetap semangat untuk berkhidmat secara cuma-cuma? Membayangkan ini menjadi mengerikan.

Lalu bagaimanakah uang dari tambang tersebut akan didistribusikan dalam program-program PBNU, apabila distribusi kelak tidak adil, hal tersebut akan mengikis kepercayaan sosial, kohesi antar Nahdliyin dan bahkan para pengurusnya, serta melemahkan solidaritas. Lebih jauh dari itu akan melemahkan kebahagian dalam ber-NU.

Tentu Para Kiai Tahu Mana yang Lebih Penting

Tentu saja yang terhormat para pengurus PBNU telah mengetahui dampak krisis ekologis yang terjadi akibat dari aktivitas ekonomi ekstraktif.

Toh, sebelumnya, di tahun 2015 PBNU telah mengeluarkan rekomendasi hasil dari putusan bahtsul masail yang tidak memperkenankan eksploitasi berlebihan kekayaan alam, yang menimbulkan mudharat lebih besar.

Para kiai dengan empati yang penuh dan rasa hormat yang tinggi atas batas-batas planet, atas masyarakat di sekitar lokasi penambangan dan bagi generasi yang akan datang, telah bersikap untuk menjunjung tinggi kemaslahatan yang utama. Tentu telah mengetahui apa yang lebih penting.

Apakah kita akan ikut berlari-lari dalam treadmill tak berkesudahan untuk menopang terus pertumbuhan ekonomi, untuk terus membakar fosil, dengan ongkos mahal yang harus dibebankan pada Bumi, masyarakat-masyarakat di pinggiran, generasi yang akan datang, dan lebih umum stabilitas kosmis. Atau kita bergerak menjadi agen utama yang menarik tuas rem darurat krisis ekologis ini.

Di abad ke-2 Nahdlatul Ulama ini, tentu para pengurus PBNU lebih tahu mana yang lebih penting untuk dunia, untuk O Universe dan Ayyuhal’alam. Sebagaimana pidato berapi-api Gus Yahya di resepsi 1 abad NU silam.

“Engkau mengirim surat kepada kami namun tak ada keterangan waktu di dalamnya,” Sayyidina Abu Musa Al-‘Asy’ari menulis kalimat itu dalam sepucuk surat kepada Sayyidina Umar ibn Khattab yang saat itu menjabat sebagai Amirul Mukminin.

Membaca surat balasan sahabat Rasulullah yang juga sahabatnya itu, Sayyidina Umar langsung mengumpulkan para sahabat yang lain. Mereka berembuk untuk merumuskan almanak guna melengkapi administasi kenegaraan dan mempermudah urusan waktu dalam ritual keagamaan. Singkat cerita, pada masa kekhalifahan sahabat bergelar Singa Padang Pasir inilah Kalender Hijriah resmi diterapkan di kalangan umat Islam.

Tahun Hijriah dimulai sejak hijrah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dari Mekkah ke Madinah. Di Mekkah, Nabi mengajarkan dasar-dasar ketauhidan kepada kerabat dan sahabatnya. Setelah berpindah ke Madinah, Nabi mengajarkan ketauhidan itu diwujudkan dalam sistem-sistem sosial.

Pada periode Madinah, tauhid tidak hanya menjadi pemahaman yang membeku dalam diri, tapi menjadi gerakan sosial dalam berbagai sektor kehidupan manusia. Di Madinah pula Nabi kemudian mengorganisasi masyarakat, menjaga teritorialnya, hingga terbentuklah satu kedaulatan yang hari ini kita istilahkan sebagai negara. Setelah negara terbentuk dan berdaulat, Nabi tidak hanya mengajarkan tata cara bersembahyang, tapi juga menyusun pertahanan militer, menerapkan hukum, serta menjaga stabilitas sosial dan ekonomi rakyatnya.

Suku dan klan-klan yang semula hidup sendiri berdasarkan geneologi kekerabatan, jaringan perdagangan, atau koneksi-koneksi kultural dirangkul dan disatukan oleh Nabi dalam satu panji kemanusiaan berdasarkan ajaran-ajaran Islam. Di Madinah, Islam kemudian menjadi pemersatu bagi apa dan siapa pun yang semula tercerai-berai karena stratifikasi sosial, konflik ekonomi-politik, maupun perbedaan iman. Di Madinah pula lahirlah konsensus, kanun, atau regulasi-regulasi yang disepakati bersama demi terbentuknya harmoni antarmanusia apa pun latar belakangnya.

Hijrah memang hanya terjadi di zaman Nabi, tapi Hijriah terjadi setiap saat. Apabila hijrah bermakna pindah, maka hijriah bermakna kepindahan atau perpindahan. Falsafah yang dapat kita ambil dari peristiwa hijrah adalah hijriah: suatu proses perpindahan dari fase kebaikan yang satu fase ke kebaikan yang lain. Dalam perpindahan ini, kita belajar dari strategi Nabi dan para sahabatnya dalam memproduksi kebaikan demi kebaikan untuk menciptakan keselarasan dan keindahan di muka bumi.

Memproduksi kebaikan, keselarasan, dan keindahan adalah tugas kemanusiaan dan kehambaan. Tiga nilai inilah yang mestinya kita perjuangkan kapan pun, di mana pun, melalui profesi apa pun. Wama khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun, demikianAllah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an.“Sungguh tidak kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku.” Ibadah, jangan dipahami hanya sembahyang di atas sajadah. Ibadah juga kebaikan, keselarasan, dan keindahan apa pun yang kita serap dari hadirat-Nya, lalu kita perjuangkan di lingkungan sosial masing-masing demi menjaga alam dan kehidupan.

Karena Alam dan kehidupan amanah Tuhan yang mesti kita jaga bersama, maka menjadi manusia-manusia hijriah sungguh keniscayaan. Sebagai manusia, kita bukanlah makhluk yang tercipta kebetulan. Kita bukan entitas yang diciptakan sebatas perangkat-perangkat materi demi mencari kepuasan materi belaka. Kita, ciptaan yang diciptakan dengan ruh, dengan jiwa, dengan spiritualitas, yang dengannya pula kita diminta membangun peradaban keindahan di dunia ini.

Membangun peradaban keindahan bisa kita mulai dari institusi kebudayaan paling kecil tapi sekaligus paling utama: keluarga. Dari keluarga kemudian kampung, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga negara serta antarnegara dan antarbangsa. Proses hijriah inilah yang dilakukan Nabi dalam hijrahnya ke Madinah. Sebuah upaya yang terus-menerus dalam membangun peradaban yang berkeadaban dari struktur sosial yang paling dasar.

Proses hijriah inilah yang dilakukan Nabi dalam hijrahnya ke Madinah. Sebuah upaya yang terus-menerus dalam membangun peradaban yang berkeadaban dari struktur sosial yang paling dasar.

Penamaan hijriah sebagai tahun tidak hanya menandai hijrah Nabi dan kaum Muhajirin dari Mekkah saja, tidak pula sebatas mengingat kemuliaan jiwa sahabat-sahabat Anshar di Madinah saat menerima mereka. Hijriah, proses yang tak kunjung usai dalam memperjuangkan kebaikan, keselarasan, dan keindahan. Hijriah adalah upaya terus-menerus untuk menata alam dan kehidupan dengan nilai-nilai profetik.

Sepanjang tahun Hijriah, selama rembulan masih mengitari alam raya, perpindahan-perpindahan menuju tatanan keindahan sepantasnya terus kita upayakan. Dari yang semula memperjuangkan kepentingan personal, berpindah memperjuangkan kepentingan sosial. Yang menjadi pejabat negara dengan niat memakmurkan diri dan keluarga, berpindah orientasinya demi memakmurkan rakyat dan menjaga negara dari rongrongan bandit dan mafia. Dengan begitu, hijriah tidak hanya beku sebagai nama bagi waktu, tapi menjelma gerakan kemuliaan dalam diri yang berdampak bagi seluruh makhluk di bentala ini.

Pemaknaan tentang hijrah dan hijriah semacam ini perlu kita sadari, kita jiwai, dan kita resapi, karena hijrah Nabi dari Mekkah ke Madinah bukan hanya transmigrasi melainkan transformasi. Dan manusia hijriah adalah manusia yang tak hanya bertransmigrasi dari keburukan ke kebaikan, tapi manusia yang terus bertransformasi dengan cara melakukan kebaikan dan terus menyebarkan kebaikan kepada apa dan siapa pun sebagaimana tuntunan Nabi.

Akhirnya, mengucapkan “Selamat Tahun Baru Hijriah” penting, tapi menjadi manusia-manusia hijriah sungguh jauh lebih penting.

Angin semilir berhembus menerpa lautan pasir yang luas membentang. Butiran pasir pun tak ayal berterbangan mengenai permukaan badan. Untungnya, cuaca di pagi hari yang sejuk cenderung dingin seakan menihilkan keringnya lautan pasir.

Tapi, mungkin tidak ada yang terganggu dengan butiran pasir yang tidak henti mengenai pakaian atau anggota badan. Panorama lautan pasir dan kokohnya Gunung Buthak di seberangnya, serta keinginan untuk mendaki Gunung Bromo pasti jauh lebih mendominasi pikiran.

Sembari berjalan dan menatap ke arah Gunung Buthak, tetiba saya teringat penggalan novel Sabda Palon yang pernah saya baca beberapa waktu silam. Damar Shashangka, penulis novel tersebut, menggambarkan perjalanan Bhre Kertabhumi untuk bersemadi di Pertapaan Gunung Semeru yang melintasi daerah Bromo beserta lautan pasirnya.

Saya memang agak lupa detailnya, tapi sekelabat ingatan itu menyentil saya. Ah, betapa laku tirakat begitu akrab dengan keseharian orang Jawa. Jangankan rakyat jelata, para raja pun, yang biasanya hidup bergelimang harta, sering kali diceritakan melakukan semadi setiap akan mengambil keputusan penting dalam pemerintahannya.

Sepemahaman saya, kata tirakat identik dengan menahan hawa nafsu yang dilakukan untuk mewujudkan sesuatu yang diinginkan. Bentuk tirakat bisa berupa banyak hal, bisa puasa, bisa zikir ataupun ibadah-ibadah lain. Sepengetahuan saya lho ya. Dulu, Ibu saya sering sekali berpuasa ketika saya atau adik-adik sedang mau ujian sekolah. Atau Embah saya. Tapi sayangnya, itu terhenti begitu saja. Di titik saya.

Itulah mengapa di awal saya menyebut tersentil. Sesuatu yang dulunya merupakan keseharian, kok sekarang terasa begitu asing ya. Jangankan berlaku tirakat dengan melakukan puasa berhari-hari, mengganti puasa Ramadhan pun seringkali dilakukan ketika mendekati waktu puasa Ramadhan tahun berikutnya.

Mungkin beberapa orang ada yang berkomentar tentang kesesuaian laku tirakat dengan ajaran agama. Mungkin itu ada benarnya. Tapi, dari kacamata awam saya, ada hal menarik berkaitan dengan kebiasaan tirakat jika dibandingkan dengan saya atau generasi saat ini.

Kalau kita browsing atau baca-baca singkat tentang tirakat, yang muncul adalah tentang berbagai upaya spiritual menahan hawa nafsu demi mencapai sesuatu yang diinginkan. Dari titik ini saja, rasanya sudah kurang relevan jika dikaitkan dengan masa sekarang. Ya iyalah Buk, masak kepingin punya uang harus puasa? Kalau kepingin punya uang ya bekerjalah!

Mungkin semacam itu komentar yang akan muncul pada generasi kita saat ini. Komentar itu tidak salah. Tapi, sepertinya ada sedikit yang terlupa. Bahwa simbah-simbah kita dulu juga kuat berpuasa di tengah-tengah keseharian dan pekerjaan mereka.

Bagi simbah-simbah dulu, mungkin berpuasa adalah salah satu laku tirakat yang demikian erat dengan keseharian dan sudah biasa dilakukan. Ya, memang, bahan pangan waktu itu juga bukan sesuatu yang mudah didapatkan seperti sekarang ini. Tapi, kemampuan para simbah dalam menerima dan mengelola keadaan mereka saat itu dan menjalaninya sebagai bentuk tirakat merupakan hal bagus yang seharusnya tidak kita lupakan.

Tapi, kemampuan para simbah dalam menerima dan mengelola keadaan mereka saat itu dan menjalaninya sebagai bentuk tirakat merupakan hal bagus yang seharusnya tidak kita lupakan.

Di era kemudahan informasi seperti sekarang, rasanya mudah sekali bagi kita untuk berganti keinginan. Atau bahkan menambah daftar keinginan. Ada postingan makanan viral misalnya, tiba-tiba kepingin ikut mencoba. Ada war ticket, tiba-tiba ingin ikut-ikutan. Belum lagi kalau pingin jalan-jalan alias healing tipis-tipis. Hal yang pada awalnya bukan keinginan kita, tiba-tiba bisa menjadi sesuatu yang kita idam-idamkan.

Punya keinginan tentu bukan hal yang salah. Itu wajar-wajar saja sebagai seorang manusia. Tapi, mungkin di sinilah kita perlu belajar kepada para simbah kita tentang tirakat itu. Kita mungkin kesulitan untuk melakukan laku tirakat seperti mereka. Tapi setidaknya kita belajar dulu untuk menahan dan mengelola keinginan kita .

Tentu tidak semua keinginan kita harus dituruti. Dan tentu kita perlu berusaha untuk mengelola emosi ketika tidak bisa memperoleh hal yang kita inginkan. Sepertinya teknik mengelola emosi inilah yang berbeda antara kita dengan simbah kita. Kalau mereka mungkin berusaha untuk menerima dengan lapang tetapi juga berusaha, baik spiritual maupun lahiriah, kalau kita, yaaa denial dulu lah sedikit. Kalau tidak yaa, healing dulu lah, biar ndak sumpek!

Akhir-akhir ini kita akrab sekali dengan istilah inner child, love yourself, reward untuk diri sendiri dan sebagainya. Kita akrab dengan berbagai hal yang dialamatkan untuk menyenangkan diri kita, semacam healing, hadiah karena telah melakukan sesuatu dan semacamnya. Tapi, tanpa disadari, kita lupa bahwa kadangkala diri kita membutuhkan semacam situasi yang ‘tidak enak’ agar bisa mengeluarkan potensi terbaiknya.

Kita akrab dengan berbagai hal yang dialamatkan untuk menyenangkan diri kita, semacam healing, hadiah karena telah melakukan sesuatu dan semacamnya. Tapi, tanpa disadari, kita lupa bahwa kadangkala diri kita membutuhkan semacam situasi yang ‘tidak enak’ agar bisa mengeluarkan potensi terbaiknya.

Keakraban kita dengan berbagai hal untuk menyenangkan diri membuat kita langsung menolak semua hal yang terlihat menyusahkan diri kita. Sebenarnya ini sifat alami juga sih. Mana ada orang yang ingin bersusah-susah?

Dan agaknya, banyak orang lupa bahwa suatu ketika, di suatu masa dalam hidup kita kemungkinan untuk berada pada posisi yang tidak menyenangkan itu.

Pada kondisi itulah, ada baiknya kita mengingat kembali simbah kita dengan laku tirakatnya. Simbah kita dengan pengelolaan hawa nafsunya dalam melewati kondisi yang tidak menyenangkan itu.

Mungkin saja, dengan mempelajari cara manajemen emosi lewat lelaku tirakat para simbah, kita bisa menemukan solusi atas permasalahan mental yang sering kita temui akhir-akhir ini. Atau mungkinkah kita sudah demikian tercerabut dari akar kita, sehingga sangat jauh bagi kita untuk mempelajarinya kembali?

Pikiran dan perasaan saya terasa tenang dan senang saat menyaksikan pementasan drama berjudul “Kampung Jahe”. Tak ada sesuatu pun yang saya permasalahkan selama pertunjukan berlangsung yang berdurasi satu jam penuh. Rasanya seperti sedang nongkrong di gang kampung sambil minum es teh dan menghisap sebatang rokok. Bahkan, saya sempat tiga kali berpindah tempat duduk untuk menontonnya. Pertama, ikut serta duduk melingkar, lesehan di panggung. Kedua, di kursi depan penonton, dan ketiga, di kursi penonton paling belakang. Perpindahan tempat duduk itu hanya untuk mengubah sudut pandang saya agar mendapatkan pandangan yang berbeda-beda.

Saya menikmati dengan senyum-senyum sendiri lantaran teater garapan Aik Vela ini mengingatkan kehidupan saya pada masa lampau di sebuah kampung dekat dengan pusat kota, tetapi masyarakatnya tidak mencerminkan warga kota yang identik dengan hedonis, konsumeris, induvidualis, dan egois. Masyarakat kampung di kota masih menjaga hidup bergotong-royong, kebersamaan, saling merawat, hemat, dan jauh dari gemerlap kehidupan kota. Sebagaimana tercermin dalam pertunjukan drama yang disuguhkan oleh Institut Hidup.

Pertunjukan “Kampung Jahe” dimulai pukul 21.00 WIB, sebagai penyaji kedua dalam program Linimasa Teater yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Yogyakarta. Sebagai penonton, saya merasa cukup senang dan tidak bosan mengikuti alur ceritanya. Tidak sedikit pun rasa gelisah menghampiri saya seperti biasanya saat menonton pertunjukan lantaran melihat banyak ketidakjelasan, baik secara teknis maupun konseptual. Pertunjukan “Kampung Jahe” malam itu berhasil membuat ketenangan dalam diri. Saya sendiri merasa heran karena tidak biasanya saya membiarkan pertunjukan berjalan lancar. Banyak interupsi dalam kepala yang tentu saja tidak bisa saya utarakan langsung pada saat itu. Biasanya saya akan menulis atau mendatangi sang Sutradara untuk sedikit berdiskusi. Kali ini saya merasakan kemalasan yang berat saat hendak menuliskannya. Mungkin karena tidak ada masalah dan penuh pengertian dalam mengapresiasi pertunjukan. 

Maka saya putuskan untuk tak menulis pertunjukan “Kampung Jahe” terutama secara bentuk, estetika, dan teknisnya. Lalu apa? Baiklah, saya akan sedikit mengurai apa yang terbayangkan dalam pikiran saat berhadapan dengan drama sesi kedua di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta, 19 Oktober 2023.

Dinamika Pikiran

Membayangkan kemunculan sebuah gagasan rasanya lebih menarik bagi saya setelah beberapa hari usai pertunjukan. Bagaimana awal mula gagasan teater itu tercetus dalam benak sang pengkarya. Saya lebih mempercayai bahwa gagasan itu muncul bukan lantaran wahyu yang jatuh dari langit. Namun lebih bersifat manusiawi, yaitu dari jalinan atau rangkaian pengamatan, perjumpaan, komunikasi, renungan, pikiran dan hal-hal lain (waktu, pengalaman, bahasa, tubuh, dan lain-lain) yang menyertainya. Dari jalinan itulah terjadi dinamika pemikiran yang awal mulanya masih silang sengkarut, kemudian muncul usaha untuk menjumput beberapa hal yang dianggap berkesan, menarik, penting atau kontekstual. Dari titik itu Sang Pengkarya mulai berani untuk mencetuskan gagasannya.

Saya lebih mempercayai bahwa gagasan itu muncul bukan lantaran wahyu yang jatuh dari langit. Namun lebih bersifat manusiawi, yaitu dari jalinan atau rangkaian pengamatan, perjumpaan, komunikasi, renungan, pikiran dan hal-hal lain (waktu, pengalaman, bahasa, tubuh, dan lain-lain) yang menyertainya

Gambaran di atas saya tuliskan sesuai apa yang selama ini saya alami dalam proses berkesenian. Meskipun terkadang saya juga mengalami kekuatan lain dalam diri yang tak terbaca secara nalar. Kekuatan itu saya sadari beberapa bulan atau tahun, setelah mencipta sebuah karya. Terkadang muncul pertanyaan: masak sih saya bisa membuat karya seperti ini? yang membuat terheran sendiri. Saya memaknai kekuatan lain itu juga tidak serta-merta jatuh gratis dari langit, namun dari sensitivitas yang terus menerus terlatih dengan sendirinya.

Proses kemunculan gagasan Institut Hidup (IH) saya rasa proses kerjanya amatlah dinamis karena tidak bekerja secara soliter. Sebagai sebuah kelompok tentu saja ada beberapa pemikiran yang bergelut untuk menyempurnakan gagasan. Kelompok seni pertunjukan yang digawangi Aik Vela dan Ficky Tri Sanjaya telah melewati proses kerja dalam diri masing-masing yang kemudian saling berbenturan satu sama lain. Sebuah kerja yang butuh intensitas dan energi ekstra. Kemudian menggulirkan proses kerja kreatif selanjutnya yang melibatkan banyak orang.

Pergulatan menuju gagasan kali ini tidak dapat disepelekan apalagi dibiarkan lewat begitu saja. Mengapa demikian? Karena gagasan tersebut bagi saya bukan semata kerja untuk membuat pementasan drama. Drama menjadi salah satu kanal atau saluran yang telah mewujud, sebab gagasan tersebut tak hanya melibatkan satu komunitas saja, tetapi mengalami pertemuan dengan elemen masyarakat lainnya. Dalam hal ini ibu-ibu dan dunianya juga para anak-anak muda. Karena tak hanya seniman yang menjadi pelaku dan mewujudkan gagasan. Tentu menjadi nilai lebih yang tidak dapat disepelekan. Pertemuan itu akan membuahkan banyak gagasan dan konsep jika terus disirami dengan imajinasi dan wacana. Di sini komunikasi yang setara menjadi kunci penting untuk membuka pemikiran. Segala sesuatu yang bersentuhan dengan masyarakat akan menjadi nilai yang akan terus berjalan.

Bayangan Proses

Terwujudnya pementasan drama “Kampung Jahe” merupakan keberhasilan dari sebuah pertemuan dan komunikasi. Selama menonton pertunjukan saya turut membayangkan proses kerja kreatif yang sarat akan perhitungan. Tidaklah mudah menjalani sebuah proses di luar lingkaran pergaulan. Pengaturan waktu, ruang kerja, emosi, psikologi, komunikasi, ekonomi, dan mungkin masih ada yang lainnya. Semuanya dijalani secara bersamaan dalam setiap pertemuan. Memang melelahkan, tapi senyatanya membuahkan manfaat yang menyebar dalam diri setiap pribadi di dalamnya.

Tidak semua ibu-ibu memahami apa itu seni teater apalagi pernah mengalami atau melakoni proses produksi. Secara teknis harus membimbing dan mengarahkan dengan energi ekstra. Secara emosi musti terjaga agar tak menimbulkan prasangka yang membuat kurang nyaman. Bagaimana agar para ibu pelaku semakin tambah semangat dan lebih percaya diri di atas panggung nantinya. Proses kerja ini tampaknya sederhana dan biasa saja, memang jika dilihat dari sudut pandang pelaku profesional, berbeda dengan ibu-ibu yang notabenenya warga kampung biasa. Saya meyakini IH mempunyai metode-metode tertentu untuk mengatasinya.

Sebagai penonton, saya hanya dapat membayangkan bagaimana proses kerja kreatif tersebut bergulir. Dan bagaimana perasaan, pikiran, juga kesan dari para pelakunya terutama ibu-ibu. Rasa penasaran itu membuat saya tersenyum sendirian di atas bangku penonton. Terasa berat tapi indah dalam bayangan dan tak akan hanya menjadi kenangan, namun menjadi pengalaman berharga. Tidak sekadar kesan dan kesulitan, juga jalinan peristiwa menjadi catatan penting untuk melangsungkan proses selanjutnya. Sebuah kesederhanaan yang menawarkan nilai yang begitu berharga, meskipun tidak menjanjikan hal yang muluk-muluk, yaitu sebuah laku bersahaja dan sepanjang masa.

Kehadiran Teater

Hadirnya sebentuk teater di atas panggung pertunjukan saya maknai bukan hanya peristiwa seni. Namun, sebuah kelahiran ruang dan wacana baru di tengah masyarakat yang layak untuk diapresiasi bersama. Sebab peristiwa pementasan akan menjadi ingatan bersama yang tak lekang oleh waktu. Menjadi gaung dalam kehidupan sosial lintas generasi tanpa membedakan kelas dan usia.

Teater menjadi sebuah kesadaran bagi masyarakat untuk merenungi keberadaannya sebagai warga. Menjadi bahasa baru dalam mengkomunikasikan tema-tema yang sedang berlangsung dan memuat sejarah kecil sehari-hari. Tak banyak yang menyadari bahwa laku kreativitas dapat menularkan energi yang membangun banyak lini kehidupan masyarakat. Maka, sangatlah disayangkan jika proses kreatif tersebut berhenti pada satu titik pementasan.

Teater menjadi sebuah kesadaran bagi masyarakat untuk merenungi keberadaannya sebagai warga. Menjadi bahasa baru dalam mengkomunikasikan tema-tema yang sedang berlangsung dan memuat sejarah kecil sehari-hari

Dalam proses kreatif perlu juga keberhati-hatian saat menjalani dan mewujudkan karya bersama, karena jika tidak berhati-hati akan banyak kepentingan yang tak tersaring dan mengotori proses kreatif. Akibatnya, hanya akan menjadi corong untuk kepentingan tertentu dan menjadi proses yang tak sehat serta membosankan.

Tirto, 9 November 2023

Editor: Mohammad Hagie

 

Saya mengenal namanya dari tempat saya kuliah: IAIN Purwokerto yang kemudian bertransformasi menjadi Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN SAIZU). Pilihan nama Saifuddin Zuhri menyeruak tanya dalam pikiran saya: siapakah tokoh Saifuddin Zuhri (Selanjutnya Kiai Saifuddin) itu? Apa dalih pemberian nama tersebut pada kampus saya? Pasalnya, nama perguruan tinggi Islam di Indonesia lazim menggunakan nama-nama dari masa silam Islam awal: Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati, Alauddin, dan lain-lain. Hingga kemudian, pemberian nama Saifuddin Zuhri membuat saya terbujuk untuk dapat menelusurinya lebih jauh. 

Tempo hari, saya menemukan dua buku induk penting tentang Kiai Saifuddin: Guruku Orang-Orang dari Pesantren (1977) & Berangkat dari Pesantren (1987).  Buku Guruku Orang-Orang dari Pesantren merupakan sebuah buku autobiografi yang menceritakan hal ikhwal pesantren dan segenap perjuangannya dalam mewujudkan kemerdekaan Republik Indonesia. Buku ini ditulis: “Bertujuan untuk membangun pengertian masyarakat terhadap Pondok Pesantren, sebagai sebuah persemaian pendidikan Islam yang merakyat dan sering diartikan oleh masyarakat umum secara salah bahkan hingga penilaian negatif. Buku tersebut sekaligus untuk menggugah kembali rasa hormat kepada guru dan tokoh lainnya yang mendidik semua anak-anak didik dengan perlakuan layaknya anak kandung sendiri”.

Terdapat kisah unik dibalik penulisan dan penerbitan buku Guruku Orang-Orang dari Pesantren. Sebagaimana pengakuan Kiai Saifuddin, bahwa penulisan buku tersebut karena disulut oleh Asrul Sani, seorang sastrawan sekaligus politisi dari NU. Asrul Sani mengusulkan agar Kiai Saifuddin sudah kondang di politik “berbuat sesuatu untuk dan atas nama pesantren” dengan cara menulis novel tentang alam pesantren. Mulanya Kiai Saifuddin keberatan, karena tidak pernah menulis novel. Akan tetapi, ia suka menuliskan tentang peri kehidupan orang lain. Seperti halnya saat menulis biografi KH. Abdul Wahab Hasbullah. Dari diskusi bersama Asrul Sani itu, akhirnya muncullah karya autobiografi yang memotret laku perjalanan hidupnya.

Setelah naskah buku itu selesai, Asrul Sani mengajak Kiai Saifuddin ke penerbit Pustaka Jaya yang digawangi oleh Ajip Rosidi. Kisah lainnya dari seorang Ajip, sebagaimana ditulis dalam autobiografinya “Hidup Tanpa Ijazah (Pustaka Jaya, 2008)”. Menurut Ajip Rosidi, naskah tersebut cukup baik untuk diterbitkan. Hanya saja perlu ada penyuntingan agar bisa dibaca lebih lentur. Sebenarnya Ajip hendak menyunting sendiri, tapi karena ia tidak begitu karib dengan Kiai Saifuddin, lalu menyarankan orang lain untuk melakukannya. Adalah Mahbub Djunaidi, penulis yang karib dengan Kyai Saifuddin, sekaligus mendapat amanah untuk menjadi editor naskahnya. Walhasil, naskah itu pun diserahkan ke Mahbub untuk disunting. Mahbub menyanggupi dan berjanji akan melakukannya dengan cepat. Nahas, seiring berjalannya waktu, Mahbub tak sungguh-sungguh menyerahkan hasil suntingan yang telah diserahkan kepadanya. Setiap ditagih oleh Ajip, selalu berkilah:

“Entar, nggak sabaran bener sih lu. Kalo udah selesai gue anterin.” Naskah itu benar-benar tidak sampai pada Ajip. Ajip begitu kecewa. Terlebih kelakuan Mahbub yang menerbitkan naskah “Guruku Orang-Orang dari Pesantren” pada penerbit yang ia pimpin: Penerbit Al-Ma’arif. Ajip menilai naskah yang diterbitkan tersebut tidak ada bedanya dengan naskah awal dari Kiai Saifuddin. Artinya, tidak ada penyuntingan sama sekali. Saat dikonfirmasi perihal perbuatannya tersebut, Mahbub dengan enteng menjawab, “Pokoknya jadi buku! Dibaca orang! Pengarangnya juga senang bukunya terbit.” Ucapan Mahbub seperti bertuah, buku menjadi best seller. Alhasil buku tersebut ternyata dikoleksi oleh 100 perpustakaan di Jepang. Sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Kato, Guru Besar Antropologi Universitas Chuo di Tokyo (kemenag.co.id, 15 November 2017). Menurutnya, buku karya Kiai Saifuddin merupakan buku penting bagi para akademisi di Jepang. Kemudian, pembacaan atas warisan-warisan buku Kiai Saifuddin menggoda saya untuk menafsir sekaligus memberi penghormatan dengan cara yang bisa saya lakukan.

Biografi, dan Genealogi Keilmuan Kiai Saifuddin

            Kiai Saifuddin lahir 1 Oktober 1919 di Kawedanan, Sokaraja, Banyumas. Perihal tempat kelahirannya, Kiai Saifuddin menulis: “Bangsaku bukanlah cuma penduduk desaku. Tanah airku bukanlah hanya Sokaraja, sebuah kota kawedanan kecil terletak antara Sungai Serayu dan kaki Gunung Slamet. Mungkin tidak akan dijumpai pada peta yang mana pun. Tetapi jika ditarik garis lurus segitiga antara Purwokerto-Purbalingga-Banyumas, pada titik di tengah-tengah itulah terletak kota kecilku”. Kiai Saifuddin lahir dan tumbuh di sebuah keluarga asketik, ialah Mohammad Zuhri dan Siti Saudatun. Ibunya berprofesi sebagai perajin batik, sedangkan ayahnya seorang petani dan kusir delman. Melalui doa, keteladanan, serta hikmah tradisi yang melekat pada kedua orang tuanya, Kiai Saifuddin seperti dipicu untuk melesat dalam semesta “perjalanan” yang menggetarkan. Ibunda Saudatun, kiranya yang meneguhkan perjalanan Kiai Saifuddin. Ibunda berucap: “Jangan mau jadi orang yang sengsara, padahal orang bodoh paling sengsara hidupnya”.

            Dengan gemblengan keagamaan yang kuat, Kiai Saifuddin muda menyerap ilmu dari lingkungan keluarga, yaitu para kiai di pesantren. Mula-mula Kiai Saifuddin kecil mengaji pada ayahnya: Mohammad Zuhri. Penjelasan tertuliskan “Aku memang sedikit-sedikit telah mempunyai kepandaian mengaji, tetapi sekedar pelajaran yang diberikan oleh Ayah dan pengajian di surau malam hari. kitab al-Qur’an dan Barzanji sudah aku khatamkan, ditambah kitab Safinah setengah jalan”. Ayah Kiai Saifuddin (Mohammad Zuhri) memiliki genealogi keilmuan yang mumpuni. Konon, Mohammd Zuhri bin Haji Abdurrasyid bin Haji Jakfar pernah menyesap ilmu ke berbagai pesantren: Pondok Bogangin Sumpiuh Banyumas, Ponpes Lirap Kebumen, Ponpes Gunungpring Watucongol Muntilan, dan Pesantren Tremas Pacitan.

Pertautan pesantren Mohammad Zuhri nyantri, konon merupakan simpul jejaring ulama pengikut Diponegoro. Pasalnya, Eyang H. Jakfar (kakek Mohammad Zuhri atau mbah buyut Kiai Saifuddin) merupakan laskar perang Diponegoro dari daerah Bagelen. Kiai Saifuddin juga mengaji ke berbagai kiai di Kauman, Sokaraja-Banyumas, di antaranya Kiai Nahrawi, Ustadz Abdul Fattah, Ustadz Muhajir; Kiai Khudlori. Kemudian guru Kiai Saifuddin lainnya, yakni: Kiai Ilyas, Kiai Khalimi, Kiai Muhammad Dini dari Karangbangkang, Kiai Khoiroji, Kiai Abdul Khalik, Kiai Abu Dzarrin, Kiai Ahmad Syatibi, Kiai Haji Raden Iskandar, Kiai Ahmad Bunyamin Purwokerto, Kiai Zuhdi Rawalo dan Mas Kiai Mursyid.

Santri Lelana

            Semasa masih muda, Kiai Saifuddin sibuk mengaji dan ibadah keaksaraan. Ia membentuk diri mulai zaman kolonial hingga orde baru. Membaca majalah dan buku dimaksudkan tindakan keaksaraan religius. Hari demi hari, jumlah buku terus bertambah. Ia khatam dan membagi isi buku melalui percakapan atau tulisan. Di Sokaraja, ia bersama santri dan para guru bergairah mengobrolkan tema-tema imperialisme, kapitalisme, non kooperatif berbarengan dengan diskusi mengenai fa’il, naibul fa’il, anwa’uz zakat, mad wajib muttashil. Pada masanya, Indonesia menapaki zaman pergerakan kemerdekaaan. Di situ ada peran pers. Kiai Saifuddin muda aktif dalam dunia pers dan turut membebaskan bangsa Indonesia. Ia melancong ke Solo untuk menekuni dunia pers sambil sekolah. Debut karier pers Kiai Saifuddin dimulai sebagai staf koresponden surat kabar Pemandangan yang terbit di Jakarta, untuk bertugas meliput berbagai peristiwa, khususnya bidang politik yang terjadi di Solo. Pendidikannya di Solo mangkrak karena tugasnya sebagai seorang wartawan terlalu menyita waktu. Setelah belajar di Manbaul ‘Ulum dan Salafiyah (tidak selesai), ia masih berupaya untuk melanjutkan pendidikannya di Lembaga Pendidikan Al-Islam, tapi tidak selesai juga.

Meskipun secara formal pendidikannya boleh dibilang gagal, tidak ada orang yang meragukan ke-aliman, kecerdasan, keluasan wawasannya, dan tentu saja kecintaanya pada organisasi. Ketekunan dalam dunia pers memungkinkan percakapan dan dialog dengan berbagai pihak. Ia karib dengan tokoh-tokoh Nasional seperti Sukarno, Bung Hatta, Soedirman, KH. Hasyim Asyari, KH. Wahab Hasbullah dan masih banyak lagi. Kita ingin mengenang Kiai Saifuddin (1939) mendapat surat dari idola: “Begitulah, surat yang aku terima tertulis di bagian si pengirimnya, nama A. Wahid Hasyim, Tebuireng Jombang”. Kiai Saifuddin itu Santri Kelana dalam konteks pengembaraan ilmu. Kesediaanya untuk menempuh perjalanan jauh hanya dengan kendaraan ala kadarnya, sesungguhnya merupakan “tradisi” para santri yang memiliki cita-cita besar untuk melakukan perubahan di tengah umat.  Aku sering naik sepeda untuk mengajar di dua madrasah (Purwokerto dan Sokaraja), sedangkan untuk tugas konsul NU aku naik bus. Kiai Saifuddin mengisahkan dalam bukunya yang berjudul “Berangkat dari Pesantren”.

Kesediaanya untuk menempuh perjalanan jauh hanya dengan kendaraan ala kadarnya, sesungguhnya merupakan “tradisi” para santri yang memiliki cita-cita besar untuk melakukan perubahan di tengah umat.

            Demikianlah santri kelana, meminjam istilah Gus Dur “Wandering Santris”. Dalam Ensiklopedia Nahdlatul Ulama (2014), jenis santri kelana inilah yang menjadi mediator melawan penjajah. Santri keliling atau santi kelana, seperti ditulis Ensiklopedia NU, menyebarkan informasi dari satu tempat, dan dari satu kiai ke kiai lain, juga dari pesantren ke pesantren. Santri kelana bahkan memimpin perlawanan fisik menghadapi penjajah. Dalam memoarnya ia menulis: “Aku tak bisa lagi lebih lama berada di rumah, karena semakin lama di rumah semakin besar kemungkinan mati konyol menjadi korban sia-sia. Pukul 16.40, rumah kutinggalkan setelah sebelumnya meneliti pistolku, FN 48, yang tinggal berisi empat butir peluru. Pistol itu aku selipkan pada pinggangku….”

Berdakwah dan Berpolitik

            Berdakwah dan berpolitik menjadi paket harokah Kiai Saifuddin dalam memahami Islam dan Indonesia. Kita mengingat Kiai Saifuddin adalah jurnalis, sekjen PBNU, anggota parlemen, DPA, pemimpin laskar Hizbullah, dan Menteri Agama. Berbagai predikat dimiliki dengan tumpukan tanggung jawab dan risiko. Ia selalu memajukan Islam dengan dakwah dan memuliakan Indonesia di wilayah kerja-kerja politik. Sekian pengalaman dan pemikiran diwariskan pada kita melalui buku bermutu: Dari Zaman ke Zaman (1947), Agama Unsur Mutlak dalam Nation Building (1965), Almaghfurlah KH. Abdul Wahab Chasbullah: Bapak dan Pendiri NU (1972), Guruku Orang-Orang dari Pesantren (1977), Sejarah Kebangkitan Islam da Perkembangannya di Indonesia (1980), Kaleidoskop Politik di Indonesia (1981), dan Berangkat dari Pesantren (1987).

            Sosok berpeci “miring” ini mungkin tidak berpikiran bakal menjadi politisi unggul. Foto peci “miring” memiliki masa lalu untuk pengisahan dan penjelasan. Pilihan menaruh peci di kepala menandakan kesungguhan mengenalkan iman, ideologi, dan tradisi. Berpeci mengartikan kemauan “berpolitik” dengan tutup kepala di hadapan kaum penjajah. Di kepala, ide-ide dibiarkan berbarengan tutup kepala. Kita dapat mengingat ia di berbagai kerja-kerja pemuliaan pesantren dan universitas Islam dalam sejarah Indonesia. Kala itu, Kiai Saifuddin ingat gagasan Satiman Wirjosandjojo untuk menginisiasi berdirinya “pesantren luhur” dalam bentuk pendidikan Tinggi. Pada 1962, Kiai Saifuddin menjadi Menteri Agama. Ia menunaikan kerja besar mendirikan IAIN di sekian provinsi. Bermula dari pesantren, Kiai Saifuddin memiliki misi di perguruan tinggi Islam. Ia mengenang: “Sejak pagi-pagi, aku telah membuat tanggul-tanggul agar IAIN tidak menjadi saingan dengan pondok pesantren. Kedua lembaga persemaian dan pendidikan generasi Islam ini mempunyai peranan yang berbeda, tetapi harus saling mengisi. Sistem pesantren tidak mungkin bisa diterapkan dalam IAIN. Sebaliknya, sistem IAIN tidak mungkin pula bisa diterapkan dalam pondok pesantren. Masing-masing mempunyai kekhususan dan identitas yang berbeda, namun tetap keduanya dibutuhkan menjadi kesatuan nilai dalam pendidikan Islam”.

Sosok berpeci “miring” ini mungkin tidak berpikiran bakal menjadi politisi unggul. Foto peci “miring” memiliki masa lalu untuk pengisahan dan penjelasan. Pilihan menaruh peci di kepala menandakan kesungguhan mengenalkan iman, ideologi, dan tradisi. Berpeci mengartikan kemauan “berpolitik” dengan tutup kepala di hadapan kaum penjajah

Lebih jauh lagi, Kiai Saifuddin memandang posisi IAIN menduduki fungsi strategis di bidang ukhuwah Islamiyah. Yakni keinginan agar para Ulama NU, Muhammadiyah, PSII, Perti dan lain-lain duduk sederet menjadi dosen. Kegairahan mendirikan IAIN juga memuat efek politik. Tertuliskan: “Efeknya di bidang politik ialah membendung atau setidak-tidaknya mengimbangi kampanye PKI yang giat membuka “universitas rakyat” di tiap-tiap kota untuk mendidik kader-kader komunis yang Marxis-Leninis-Stalinis-Maois”. Orang-orang pasti lekas mengingat kedongkolan Kiai Saifuddin terhadap kader-kader komunis. Ia berani memprotes penguasa (Ir.Soekarno) yang hendak membubarkan HMI. PKI ingin melenyapkan HMI, siasat dengan memanfaatkan kekuasaan Soekarno. Pengisahan Kiai Saifuddin: “Kalau Bapak tetap hendak membubarkan HMI, artinya pertimbangan saya bertentangan dengan kebijakan Bapak. Maka tugas saya sebagai pembantu Bapak hanya sampai di sini…!”

Keteladanan: Kesederhanaan dan Keaksaraan

            Puluhan tahun berselang dari kesibukan politik dan birokrasi, Kai Saifuddin memilih menunaikan ibadah keaksaraan. Ia tak perlu lagi menunggu orang lain mengadakan penulisan biografi. Buku autobiografi itu dijuduli “Berangkat dari Pesantren”. Buku tebal, ditulis setelah Kiai Saifuddin rampung menjadi menteri Agama. Buku yang memuat segala hal ihwal Kiai Saifuddin dalam pemuliaan Islam dan Indonesia. Pada masa sesudah rampung menjadi menteri, ia tetap menjadi tokoh terhormat: rajin menulis, menerbitkan buku, dan hidup sederhana. Ingatan menulis: ”Mengetik karangan hingga larut malam, kadang-kadang hingga pukul 03.00 dini hari, tanpa mengenakan baju. Jendela aku buka lebar-lebar. Mengetik sambil mengisap rokok tanpa henti, bisa sampai 20-30 batang. Ditemani oleh setoples kacang goreng dan setermos air es”. Kesederhanaanya semakin terlihat pada akhir 1980-an (purna menjadi Menteri Agama), Kiai Saifuddin memiliki kebiasaan baru yang tak dinyana oleh keluarganya. Selepas shalat dhuha, sekira pukul 09.00, ia keluar rumah, mengendarai mobilnya sendiri. Jelang dhuhur ia kembali ke rumah. Kita kaget bukan kepalang dengan apa yang dilakukan Kiai Saifuddin Zuhri. Rupanya, selepas shalat dhuha, ia pergi ke pusat perdagangan Glodok, Jakarta. Tanpa malu-malu, ia berdagang beras kecil-kecilan.

            Ia senang menyandang predikat kolumnis. “Dari kalangan pers dan kepartaian, aku mendapat gelar, “kolumnis”, artinya tukang mengisi kolom (column), ruangan dalam surat kabar”, tulis Kiai Saifuddin. Buku Kiai Saifuddin mengandung peran sebagai pelaku dan saksi sejarah. Hidup sejak zaman kolonial hingga orde baru ditandai dengan kecakapan literasi. Ia mahir mengutip dan mengingat perkataan atau kejadian yang historis. Kita simak catatan historis yang memukau: “Pada tanggal 23-26 Rabiul Akhir 1365 atau 26-29 Maret 1946. Muktamar NU ke-16 berlangsung di Purwokerto. Sebagai Konsul NU Kedu yang berkedudukan di Purworejo, aku tentu saja terpanggil untuk menghadirinya”. Dalam resepsi yang dihadiri oleh Panglima Besar Soedirman, Hadratus Syekh membacakan “Resolusi Jihad ke-2”.

Gus Mus dalam “Sejarah Sosial Pesantren Menurut KH. Saifuddin Zuhri (2016) karya Moh. Slamet Untung”, menilai: “Berbicara tentang budaya tulis menulis di kalangan NU, mungkin Pak Saifuddin Zuhri termasuk, kalau tidak satu-satunya, pengecualian. Beliau bukan saja penulis yang produktif, tapi juga aktif merekam sejarah tentang tokoh-tokoh kiai pesantren. Dari tangan beliau lahir banyak tulisan yang bukan saja sangat bermanfaat bagi NU dan warganya, tapi juga bangsa Indonesia secara umum”.

Dari Kiai Saifuddin, kita semakin mengerti bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah dengan keutamaan para ulama dan santri. Kesungguhan dan keikhlasan berdakwah dan beraksi menebar benih-benih nasionalisme membuktikan ejawantah agama dalam cinta tanah air. Daftar ulama diangkat menjadi pahlawan terus bertambah di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Namun, kita menunggu Kiai Saifuddin bakal menjadi Pahlawan Nasional. Mengingat, ia punya segudang aksi demi memuliakan Indonesia. Kembali ke UIN SAIZU (Saifuddin Zuhri), kini penulis menanti pengenalan Kiai Saifuddin berlaku bagi civitas akademika (UIN SAIZU) melalui seminar atau seri diskusi memungkinkan penghormatan jasa. Saya sedikit ragu, buku-buku warisan Kiai Saifuddin terbaca oleh mahasiswa bahkan dosen UIN SAIZU. Semoga ada mahasiswa-mahasiswa UIN SAIZU atau dosen-dosen UIN SAIZU untuk mengingatkan, dan mencuatkan lagi tulisan-tulisan yang mengacu pada Kiai Saifuddin Zuhri, meski tidak harus ilmiah atau dimuat di Jurnal Internasional.

Dari Kiai Saifuddin, kita semakin mengerti bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah dengan keutamaan para ulama dan santri. Kesungguhan dan keikhlasan berdakwah dan beraksi menebar benih-benih nasionalisme membuktikan ejawantah agama dalam cinta tanah air

Editor: Mohammad Hagie

Pagi itu, kompleks Makam Astana Girigondo terlihat riuh dengan terik matahari mulai menyengat kepala. Terlihat tarub besar dengan kursi sejumlah ratusan sudah setengah dipenuhi pengunjung berada tepat di depan Masjid menghadap limasan panjang ke Utara. Limasan panjang tampak menjadi lokasi utama pertunjukan di bawah bukit Makam Girigondo lokasi para raja-raja Kadipaten Pakualaman bersemayam. Beberapa diantara peserta meliputi kelompok anak-anak pramuka, kelompok hadroh, lalu bapak-bapak dan ibu-ibu jamaah pengajian berpakain muslim Jawa hadir di sana.

Pertunjukan teater atau pembacaan lakon (dramatic reading) seringkali memang dapat kita temui berada di atas stage dalam sebuah gedung auditorium dengan gemerlap lampu disertai tempat duduk nyaman dan tentu dengan pendingin ruangan yang membuat kita betah berada di dalam ruangan. Namun berbeda halnya dengan pertunjukan yang digelar di Kompleks Makam Astana Girigondo, Kaligintung, Kec. Temon, Kulon Progo, Minggu (08/09). 

Pertunjukan  yang diberi tajuk Pembacaan Lakon Adeging Astana Girigondo sebagai rangkaian Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2023 tersebut memang berbeda dengan suguhan pertunjukan pada umumnya. Berkolaborasi dengan Teater Kagama dan seluruh elemen masyarakat pertunjukan ini mengambil konsep pertunjukan dengan durasi yang panjang. Pertunjukan eksperimental yang digawangi oleh Irfanuddien Ghozali menawarkan sebuah pendekatan yang tidak biasa dengan berupaya memberdayakan potensi kesenian lokal dalam metode sebuah penciptaan teater di FKY tahun ini.

Saya datang jam 08.00 sesaat sebelum acara dimulai. Terlihat acara akan segera dimulai, saat MC membuka acara lalu membacakan rangkaian acara di hari itu. Seperti acara pada umumnya, setelah pembukaan lalu dilanjutkan sambutan oleh perwakilan Teater Kagama Patah Ansori yang menyampaikan pesan pembukaan acara pagi itu. 

Selepas sambutan berakhir peristiwa pertama dimulai dengan Umbul Donga semacam ziarah ke makam untuk meminta izin dan berdoa napak tilas sejarah para leluhur trah Kadipaten Pakualaman. Semua pengunjung kemudian diajak untuk bersama-sama menaiki bukit makam tempat raja-raja Pakualaman berada. Terlihat salah satu narator Arif Nurcahyo pencipta “Wayang Kombes” mengenakan pakaian adat Jawa membawa wayang goleknya sambil memanggul sound elektrik  yang ditancapkan sebilah songsong (payung pajang yang sering ada dalam ritual-ritual adat Jawa) memandu perjalanan rombongan.

Beberapa diantara mereka para sesepuh juru kunci makam membawa sesaji berupa nasi tumpeng robyong lengkap dengan ayam ingkung sebagai ritual doa keselamatan. Diikuti oleh para tokoh masyarakat dan anak-anak pramuka desa setempat rombongan berjalan pelan melewati ratusan anak tangga yang kita tapaki untuk sampai di puncak bukit tempat makam itu ada. Di depan pintu gerbang utama makam yang menyerupai bentuk gerbang kastil-kastil Eropa di awal abad 20-an, Kabupaten Kulon Progo terlihat terbentang luas di atas bukit yang masih rindang dengan pepohonan.

Melewati pintu gerbang makam, terlihat jajaran nisan di balik pintu bangunan limasan khas pajimatan (tempat peristirahatan raja-raja Jawa dikebumikan). Rombongan dipimpin sesepuh juru kunci makam,  lalu uluk salam (memberi salam hormat) pada leluhur meminta izin membawa rombongan sambil menerangkan siapa saja yang dimakamkan di pesarean. Tak lama Umbul Donga dilakukan, pembacaan tahlil kebiasaan Muslim Jawa tersebut membuat suasana pagi menjelang siang itu semakin hening dalam larutan doa yang dilantunkan.

Acara Umbul Donga selesai. Masih di atas sekitar kompleks makam, penanaman bibit Pohon Bodhi dilakukan. Pohon Bodhi memang bukan pohon sembarangan, pohon yang punya sejarah panjang tersebut diyakini sebagai tempat peristirahatan Sidharta Gautama ketika mendapat pencerahan. Penanaman pohon di tepian/lereng makam menjadi satu wujud agar nilai-nilai dari para leluhur bisa terus hidup dan memberi kebermanfaatan bagi generasi ke depan.

Foto Dokumentasi Pribadi Panitia FKY 2023

Sampai peristiwa pertama berakhir, rombongan bersama-sama menuruni bukit pesarean tersebut. Saya mulai menduga bahwa pertunjukan kali ini memang bukan satu fragmen yang saling terpisah satu sama lain. Ghozali mengatakan ia memang sengaja membuat seluruh peristiwa yang ada dalam acara ini merupakan bagian dari pertunjukan yang saling terhubung.

“Jadi memang untuk menikmati pertunjukan ini kita tidak bisa hanya menikmati satu bagian misalnya ketika pembacaan lakon saja, tetapi keseluruhan rangkaian acara memang ia tujukan sebagai bagian dari pertunjukan itu sendiri” tutur Ghozali.

Napak Tilas Sejarah Girigondo

Selepas turun dari makam, kami istirahat sejenak. Di panggung utama limasan, tim hadroh sudah siap-siap bersenandung sholawat untuk menghibur pengunjung yang sudah mulai padat berdatangan. Rombongan lain memisahkan diri untuk mengikuti rangkaian lainnya. Masih dengan orang yang sama, Arif Nur Cahyo narator dalam rangkaian pertunjukan ini memandu perjalanan untuk melakukan napak tilas sejarah lokal di desa Girigondo sambil tetap memanggul sound kecil dan songsong dipundaknya. 

Diikuti oleh Dimas dan Diajeng Kulon Progo, narator terus bercerita sambil ditemani riuh anak-anak pramuka SD Trukan yang antusias menuju destinasi tempat kunjungan kami siang itu. Tak jauh kira-kira 500 meter dari tempat lokasi utama. Kami sampai di destinasi pertama yakni buk renteng tempat irigasi yang menyerupai jembatan dengan lebar 2,5 meter dengan kedalaman 1 hingga 2 meter untuk mengairi lahan-lahan pertanian desa-desa di sepanjang yang dilewatinya. Dipandu oleh narator kami dipertemukan dengan Mangkudiraja lelaki tua berumur sekitar 70-an tahun itu masih gigih menjelaskan sejarah buk renteng yang berada di desanya. 

Menurut Mangkudiraja buk renteng di Desa Girigondo dibangun tahun 80-an. Ia sendiri ikut membangunnya bersama dua puluhan orang warga desa lainnya. Secara fungsi keberadaan buk renteng memang diperuntukan sebagai irigasi pengairan di desa Girigondo dan sekitarnya. Keberadaan buk renteng yang saling menyambung dari satu desa ke desa lainnya. Membuat pengerjaanya waktu itu butuh waktu yang lama dan setiap desa ada pemborongnya.

Buk renteng sendiri merupakan bagian sistem irigasi induk dari selokan Mataram yang menghubungkan sungai Opak dan Progo. Lebih jauh pertama kali buk renteng dibangun sejak masa penjajahan Hindia Belanda tepatnya pada tahun 1893-1899 sepanjang 17 KM oleh Carel Herman Aart van der Wijck di daerah Minggir Sleman. 

Dampak langsung keberadaan buk renteng sebagai sumber air pertanian memang sangat dirasakan warga disana. Sesuai dengan penuturan Mangkudiraja semenjak ada buk renteng pertanian di sepanjang yang dilewatinya kebutuhan air untuk pertanian menjadi tercukupi.

Napak tilas sejarah selanjutnya ke makam Syekh Dal Mudal, sebuah makam leluhur yang ada di Desa Girigondo. Syekh Dal Mudal sendiri dipercaya sebagai keturunan Brawijaya V. Seperti diceritakan Harjo Sutrisno sang juru kunci makam, ia menceritakan bahwa makam ini adalah tempat peristirahatan Kebo Kenanga yang dikenal Syekh Dal Budal. Entah bagaimana cerita lengkapnya ia kemudian membacakan silsilah lengkap dari Seyek Dal Budal. Ia sendiri sebenarnya tidak benar-benar tahu kebenaran dari ceritanya karena sejak ia lahir makam itu sudah ada dan ia meneruskan keluarganya dari mulai bapak dan kakeknya untuk mengurus makam ini.

Di Makam yang rindang dengan pohon pule yang besar, kami semua mendengarkan cerita Harjo Sutrisno. Selepas mendengarkan cerita anak-anak pramuka menitipkan pohon untuk ditanam di sana. Pohon yang akan terus menjadi penanda bahwa mereka pernah singgah di sana.

Pertunjukan yang Memberdayakan

Selepas kunjungan dari makam, pengunjung kemudian balik ke lokasi acara utama. Adzan dzuhur berkumandang dan acara berhenti sejenak. Setelah istirahat ishoma selesai, acara dilanjutkan dengan pentas utama pembacaan dramatik reading Astana Girigondo oleh Teater Kagama berkolaborasi dengan kelompok kesenian yang ada di sana. Sebelum pentas dimulai seni tradisi Angguk Sri Budaya tampil mengawali pentas siang itu. Kelompok Gejog Lesung Laras Kenanga Balong, Angguk Sri Budaya, Komunitas Tari sajiwa, Sanggar Tari Tresno Budaya, semua kelompok kesenian tersebut kemudian dirajut dalam satu bentuk pertunjukan ketoprak gejog lesung yang saling mengisi satu sama lain.

Foto Dokumentasi Pribadi Panitia FKY 2023

Alunan musik dari gejog lesung menjadi pengiring dari pembacaan naskah ini. Lima aktor membacakan cerita yang mengisahkan pemindahan pesarean keluarga Pakualaman dari Kota Gede ke Girigondo. Para aktor menceritakan bahwa perpindahan tersebut merupakan sikap politik dan kerendahan hati atas perselisihan di antara pangeran sejak tahun 1811 yang memuncak pada perang Diponegoro. Tidak hanya itu, konflik berlanjut pada friksi pemakaman Kotagede-Imogiri yang dilatar belakangi distribusi komoditas ekspor di masa kolonialisme Belanda melalui pelabuhan Semarang dan Cilacap. Di tengah kemajuan jalur darat berupa kereta api yang mana mereka terkunci oleh jalur sungai Code.

Alur cerita yang dibacakan oleh para aktor pada siang itu cukup kompleks, namun para penonton cukup antusias mengikuti alur cerita yang dipentaskan. Hingga akhirnya pertunjukan usai dengan pementasan Angguk Sri Budaya.

Ditemui selepas acara Ghozali sebagai programer menceritakan bahwa proses awal penggarapan pentas ini sebenarnya seperti bola yang terus menggelinding. Awalnya ia ketemu penulis naskahnya terlebih dahulu, Pak Kun dari teater Kagama. Dari hal itulah akhirnya ia mencoba benang merah konsep dan cerita peristiwa ini. 

Pertunjukan kali ini memang ingin memunculkan sisi lain dari sebuah pertunjukan teater yang kebetulan FKY tahun ini juga mengundang Teater Koma sebagai representasi teater modern. Dari hal itu dari sisi program teater yang ia pegang sebenarnya ingin memperkaya dari apa yang sudah ditampilkan FKY sebelumnya (Teater Koma), dengan memunculkan konsep yang lain dari biasanya. Misalnya dari mulai dari pemilihan lokasi yang merupakan situs sejarah warga dan dari segi durasi waktu pertunjukan juga tidak seperti teater konvensional.

“Bentuk pertunjukan ini sebenarnya bisa disebut durational performers, jadi waktunya punya konsep tersendiri. Menikmati pertunjukan ini sebenarnya kami rancang dari awal hingga akhir, jadi semuanya jadi satu kesatuan. Jadi tidak hanya pas pembacaannya saja, karena jika kita perhatikan dalam pembacaan lakon sebenarnya terekam dalam situs-situs sejarah yang kita kunjungi sebelumnya”, ujar Ghozali.

Selain itu Ghozali juga menambahkan bahwa salah satu penekanan dalam pertunjukan ini adalah pelibatan warga di sekitar situs sejarah. Karena menurutnya agar pengetahuan mereka muncul, karena yang memiliki pengetahuan atas situs sejarah sebenarnya mereka. Jadi kedatangannya dia di Girigondo dalam konteks ini adalah belajar menggali pengetahuan dari warga masyarakat di sina. 

“Karena mereka yang memiliki pengetahuan, jadi mereka harus muncul sebagai subyek. Nah dari pintu masuk itu warga jadi terbuka untuk berpartisipasi dan untuk terlibat dalam acara ini,” tegas Ghozali.

Diakhir obrolan Ghozali juga tidak memungkiri bahwa konsep yang ia bawakan masih ada kebolongan sebagai sebuah suguhan pertunjukan. Tetapi ia menyadari bahwa apa yang ia lakukan bagian dari eksperimen dirinya sendiri terutama untuk men challenge kemampuan kreatifnya untuk membuat program yang ada di tengah masyarakat sekaligus melibatkan mereka sebagai subjek pertunjukan.