Latar
Pagi, 14 Februari 2023, tepat Hari Kasih Sayang, Mardi Luhung – penyair sekaligus ayahku – diundang oleh Tim Literasi dari UPT SD Negeri 20 Gresik untuk berbagi pengajaran cipta puisi kepada para peserta didik yang masih kelas tiga, empat, dan lima. Lalu, waktu beranjak duhur, lewat aplikasi WhatsApp, Mardi Luhung mengirim beberapa foto perihal dirinya bersama para peserta didik kepadaku. Mardi Luhung juga mengirim pesan: “Ini kegiatan literasi. Di lapangan desa. Grogi aku.” Aku hanya membalas pesan: “Fotonya bagus, Yah.”
Sore, di rumah sepulang dari pengajaran cipta puisi, aku mendengarkan cerita Mardi Luhung, betapa antusias para peserta didik menulis puisi. “Aku memberi tema peliharaan,” ucap Mardi Luhung yang bersamaan menyerahkan sebuah foto kertas coklat berisi puisi, “ini puisi yang Ayah sukai.” Aku membaca judul puisi dalam foto kertas coklat adalah Bingo. Dan, puisi Bingo ditulis oleh Habibi, salah satu peserta didik kelas tiga. Lewat pembacaan judul, kata Bingo mengingatkanku pada nama permainan, serta kata-seru yang menunjukkan perasaan beruntung.
Tapi, dari cerita Mardi Luhung, aku baru mengetahui, bahwa Bingo adalah nama anjing yang menjadi peliharaan Habibi. Bukan anjing sebagai hewan nyata, melainkan khayal. Jadi, Habibi menciptakan dan memelihara Bingo di ruang imajinasi. Lewat pembacaan utuh puisi Bingo, aku memahami bagaimana Habibi memberikan wujud pada anjing peliharaannya, yaitu: //warnanya biru/ matanya hitam/ makanannya tulang ikan/ kakinya tinggi/ bulunya biru/ guk-guk/ kalau malam sering guk-guk/ tiba-tiba saya kebangun/ dengar suara guk-guk//.
Aku kagum pada wujud Bingo yang digambarkan Habibi. Wujud Bingo yang tidak mirip anatomi anjing pada umumnya, sebab memiliki bulu bewarna biru dan berkaki tinggi. Apalagi, makanan Bingo adalah tulang ikan, bukan tulang sapi atau kambing. Lain itu, suara guk-guk seolah pertanda Bingo suka membangunkan Habibi untuk bermain, seolah tidak ada lagi sekat antara nyata dan khayal. Aku membayangkan, di ruang imajinasi, Habibi penuh riang menaiki Bingo yang melompat-lompat.
Tidak hanya seputar puisi Bingo, Mardi Luhung juga bercerita, bahwa pengajaran cipta puisi yang terlaksana pada tanggal 14 Februari 2023 sebagai pertemuan pertama. Artinya, ada pertemuan-pertemuan berikutnya yang akan dilalui. Dan pada pertemua kedua atau berikutnya nanti, tidak lagi berada di lapangan desa, melainkan tempat Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring. Selesai bercerita, Mardi Luhung memintaku agar menemaninya pada pertemuan kedua yang terlaksana pada 11 Maret 2023. Aku meng-iya-kan permintaan Mardi Luhung.
Pariwasata Mangrove Desa Karangkiring
Kira-kira pukul 09.30 WIB, 11 Maret 2023, aku dan Mardi Luhung tiba di UPT SD Negeri 20 Gresik. Aku baru mengetahui bahwa UPT SD Negeri 20 Gresik berada di tengah perkampungan pesisir, Desa Karangkiring, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik. Setelah memarkir sepeda motor, aku mengikuti Mardi Luhung dari belakang. Lalu, ketika Mardi Luhung masuk di ruang guru, aku langsung menengok para peserta didik yang mengenakan seragam pramuka. Aku melihat para peserta didik sedang duduk berjejer sembari memegang meja lipat dan polybag kecil berisi tanaman krokot.
Tidak sampai 10 menit, aku dan Mardi Luhung meninggalkan UPT SD Negeri 20 Gresik untuk menuju Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring. Di muka gerbang, sebelum Mardi Luhung menarik hendel sepeda motor, datang Muhammad Gus Maulana Yasin (aku memanggilnya Gus Yasin), salah satu anggota Tim Literasi dari UPT SD Negeri 20 Gresik. Lalu, Gus Yasin ikut bersama kami ke Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring. Dalam perjalanan, kami melewati tiga atau empat gang, lalu satu jalan dengan sekeliling semak-semak. Barangkali, jarak antara UPT SD Negeri 20 Gresik dengan Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring sekitar kurang lebih 900 meter.
Aku memerhatikan tidak ada papan nama Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring, kecuali area parkir, mangrove, dan geladak (jembatan tanpa pegangan tangan untuk memarkir perahu). Berkat lebatnya mangrove, hawa Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring terasa sejuk. Dan, tidak terasa sunyi, sebab lagu dangdut dari sistem suara elektronik dinyalakan dari kejauhan. Jadi, lagu dangdut itu mengiringi setiap langkah kami (aku, Mardi Luhung, dan Gus Yasin) berada di Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring. Aku memerhatikan lagi, bahwa geladak yang berlebar 150 centimeter itu cukup dilewati dua orang yang berdampingan. Meski begitu, seseorang tidak boleh berlarian di atas geladak demi keamanan dirinya.
Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring memiliki dua sisi, kiri dan kanan, kalau aku mengacu posisi mulai masuk dari atas geladak. Dua sisi itu terdapat tempat, yaitu: pada sisi kiri, berdiri warung dan bale (tempat istirahat para nelayan); sedangkan pada sisi kanan, berdiri beberapa gazebo seluas 3 meter x 3 meter. Wisatawan dapat membeli makanan dan minuman serta bercengkerama dengan nelayan atau penduduk setempat pada sisi kiri. Lalu, wisawatan dapat menikmati suasana pantai Desa Karangkiring yang ditumbuhi mangrove atau tempat tongkrong bersama keluarga di gazebo pada sisi kanan. Serta, pada sisi kanan, wisawatan dapat berswafoto atau memancing ikan di salah satu sudut.
Untuk pengajaran cipta puisi dalam pertemuan kedua, Tim Literasi dari UPT SD Negeri 20 Gresik mengajak para peserta didik pada sisi kanan Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring. Ketika para peserta didik tiba, aku melihat mereka berbaris rapi dan masuk satu per satu ke dua gazebo. Enam peserta yang tidak kebagian tempat di gazebo harus duduk bersama Tim Literasi di atas geladak. Setelah duduk, salah satu Tim Literasi meminta para peserta didik untuk menggunakan meja lipatnya. Beberapa peserta didik malah sibuk sendiri dengan tanaman krokot yang mereka bawa dari UPT SD Negeri 20 Gresik. Tapi, suara para peserta didik tidak begitu bising, sebab kalah dengan kemerduan lagu dangdut dari sistem suara elektronik.
Literasi 20
Spanduk berukuran 250 centimeter x 200 centimeter dipasang oleh Tim Literasi pada salah satu gazebo. Dalam spanduk itu bertulis “Literasi 20” sebagai nama kegiatan. Barangkali angka “20” mengacu pada nama sekolah. Sedangkan, kata “literasi” menjadi nama kegiatannya untuk tujuan perkembangan bakat para peserta didik. Perihal tujuan literasi itu, aku merasa telah tercanangkan di pelbagai sekolah di Gresik. Apalagi, dalam pengertianku, literasi adalah kegiatan membaca, menulis, dan berhitung. Jadi, penggunaan kata “literasi” berhubungan dengan semua pengajaran di sekolah.
Sebelum pengajaran cipta puisi dalam pertemuan kedua dimulai, aku mendengarkan pengarahan Gus Yasin kepada para peserta didik. Pengarahan mengenai tanaman krokot yang baru diterima oleh para peserta didik di UPT SD Negeri 20 Gresik. Gus Yasin menjelaskan bahwa para peserta didik harus merawat tanaman krokot. Kalau tanaman krokot mati? Para peserta didik segera melaporkan pada Gus Yasin atau Tim Literasi yang lain. Atau, tiap peserta didik yang tanaman krokotnya mati dapat meminta potongan cabang tanaman krokot milik temannya. Sebab, tanaman krokot mudah tumbuh hanya dengan potongan cabang yang menancap dalam tanah.
Aku menganggap tanaman krokot yang diberikan para peserta didik untuk merawatnya adalah bagian dari literasi. Barangkali, Tim Literasi ingin mengajarkan kepada para peserta didik mengenai tanggung jawab dan kepedulian terhadap tanaman. Dan, perihal perawatan tanaman krokot, para peserta didik juga memeroleh kosakata baru setelah mendengarkan pengarahan Gus Yasin. “Pak, apa itu penyiangan?” tanya salah satu peserta didik. Gus Yasin langsung menjelaskan bahwa penyiangan adalah tindakan mencabut rumput yang tumbuh di sekitar tanaman krokot.
Bagiku, tanya-jawab antara Tim Literasi dengan para peserta didik begitu penting sebagai bagian dari literasi. Tidak hanya Tim Literasi saja, juga tanya jawab antara Mardi Luhung dengan para peserta didik, seperti pertanyaan salah satu peserta didik setelah Mardi Luhung memberikan tema tanaman: “Apakah selain menulis puisi, juga tanamannya digambar, Pak?” Mardi Luhung tidak menjawab langsung pertanyaan itu, tapi bertanya kepada para peserta yang lain: “Apakah pakai digambar?” Serentak para peserta yang lain menjawab: “Tidak, Pak!” Nah, jawaban serentak para peserta yang lain menjadi jawaban atas pertanyaan salah satu peserta didik.
Aku menangkap bahwa kegiatan “Literasi 20” telah menempatkan orang dewasa (Gus Yasin dan Mardi Luhung) sebatas pendamping bagi anak-anak (para peserta didik). Sebatas pendamping yang meletupkan keingintahuan dan kemauan untuk berkreasi. Sehingga, orang dewasa memberikan pemahaman yang lebih mudah dicerna oleh anak-anak. Ya, ketika sebagian peserta didik masih ragu menuliskan jenis tanaman apa sebagai puisi, Tim Literasi dan Mardi Luhung harus sigap memberikan contoh jenis tanaman yang diketahui mereka, bisa mawar, kamboja, anggrek, tin, cemara, hingga mangrove.
Puisi Bertema Tanaman
Ada sekitar enam puluh peserta didik yang mengikuti pengajaran cipta puisi dalam pertemuan kedua di Pariwisata Mangrove Desa Karangkiring. Di tengah pengajaran cipta puisi, ada pembacaan puisi yang dimulai dari pertanyaan dari Mardi Luhung: “Siapa yang mau baca puisi? Boleh kok baca puisi walau belum selesai menulis.” Sebagian besar dari para peserta didik masih terlihat malu membacakan puisi karya sendiri. Tapi, beberapa anak justru mengacungkan jari dan memberanikan diri, seperti peserta didik kelas tiga yang bernama Dita.
Judul puisi yang Dita tulis adalah Bunga Sedap Malam. Berikut kutipan utuh puisi Bunga Sedap Malam, yaitu: //setiap hari aku menyiram bunga/ sedap malamku. setiap malam aku/ menghirup bunga sedap malamku/ dan kukasih nama satu malam indah./ dan aku selalu memetik bunga. yang/ layu aku merasa sedih karena/ bungaku sendiri. jadi aku beli 2 bunga/ sedap malam dua bunga itu kukasih/ nama malam dan indah agar ada/ sama sedikit. bunga yang sangat/ harum sekali warnanya putih./ hari yang lalu. mama papaku/ tidak punya uang dan aku punya/ ide. ideku adalah menjual 3 bungaku/ itu pengalaman tersedihku tapi tidak papa//
Aku sangat tertarik mendengarkan puisi Bunga Sedap Malam, sebab Dita memberikan nama, antara lain: Satu Malam Indah, Malam, dan Indah. Lain itu, Dita memberikan dua kesedihan dalam puisinya terhadap tanaman dan orang tua. Dua kesedihan yang digambarkan Dita, yaitu: …aku merasa sedih karena/ bungaku sendiri. jadi aku beli 2 bunga/ sedap malam… dan /hari yang lalu. mama papaku/ tidak punya uang dan aku punya/ ide. ideku adalah menjual 3 bungaku/ itu pengalaman tersedihku tapi tidak papa//.
Pembacaan dua kesedihan yang aku kutip dari puisi Bunga Sedap Malam di atas memerlihatkan empati aku-lirik terhadap tanaman dan orang tua. Aku-lirik juga tidak larut dalam dua kesedihan karena memiliki solusi, misal membeli dua tanaman agar tanamannya tidak sendirian, serta terpaksa menjual tiga tanaman ketika orang tuanya membutuhkan uang. Frasa tidak papa pada penutup puisi Bunga Sedap Malam menandakan aku-lirik begitu teguh atas tindakannya. Aku merasa tersentuh bagaimana cara Dita menghadirkan dua kesedihan dalam puisinya.
Selesai pengajaran cipta puisi dalam pertemuan kedua ini, para peserta didik telah pulang, Nita Agustian, anggota Tim Literasi yang lain, memerlihatkan kepadaku setumpuk kertas coklat berisi puisi. Puisi yang ditulis oleh para peserta didik. Dalam pembacaan ringkasku, ternyata beberapa dari para peserta didik telah menulis jenis tanaman yang sama, seperti mawar. Penulisan puisi yang mengambil jenis tanaman yang sama menandakan beberapa dari para peserta didik memiliki pengalaman serupa, misal mawar bewarna merah, memiliki duri yang unik, hingga bau yang wangi.
Sebagai penutup tulisan ini, aku mengutip utuh puisi dari peserta didik kelas tiga yang bernama Rahel, berjudul Pohon Jambu, yaitu: //di rumahku ada pohon jambu yang besar/ jambu itu berbuah dengan sangat besar/ aku menyukai rasa jambunya karena manis dan enak/ setiap hari aku mengambil jambunya karena enak/ aku sungguh suka dengan jambu itu/ tetapi kalau malam jambu itu dimakan kelelawar/ kelelawar sungguh suka dengan jambu karena manis// Dari apa yang disampaikan Rahel dalam puisi Pohon Jambu, aku menangkap kesinambungan antara makhluk hidup (manusia, tumbuhan, dan hewan). Kesinambungan itu menjadi poin penting dari pengajaran cipta puisi dalam pertemuan kedua ini. Dan, para peserta didik bisa mengembangkannya pada pertemuan-pertemuan berikutnya.
Apa yang terbetik di pikiran Anda ketika mendengar nama Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) atau Rumah Tahanan (Rutan)? Kemungkinan yang tergambar adalah tempat yang seram, tempat orang-orang sangar, bertato, dan stigma negatif lainnya tentang orang-orang yang melakukan tindak kriminal seperti penipuan, pencurian, pelecehan seksual, pembunuhan, tindak pidana korupsi, terorisme, dan lain-lain. Betulkah semua Lapas atau Rutan yang ada di wilayah kita semacam itu?
Pandangan atau kesan tentang Lapas atau Rutan di atas bisa benar tetapi bisa juga keliru. Betul, bahwa Lapas atau Rutan memang tempat bagi tahanan atau narapidana dengan masa tahanan tertentu, seumur hidup, atau terpidana mati sembari menunggu pelaksanaan putusan, yang sedang menjalani pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan (UU No. 19/2022 pasal 1 tentang Pemasyarakatan). Stigma bahwa kehidupan di dalam Lapas atau Rutan yang sarat dengan tindak kriminal, kekerasan, pemerasan dan sebagainya, memang tidak bisa dinafikan, terutama beberapa dekade lalu. Tapi, bagaimana dengan potret Lapas atau Rutan dekade terakhir ini, termasuk Lapas Kelas IIA Yogyakarta yang lebih dikenal dengan nama Lapas Wirogunan?
Anda bisa jadi akan terkesima ketika melihat dan masuk ke dalam Lapas yang berada di jalan Tamasiswa 6 Yogyakarta ini. Setiap hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, dan Sabtu (di luar hari libur) antara pukul 08.30 WIB sampai waktu sholat dhuhur, Anda akan mendengar lantunan asmaul husna yang menjadi pertanda dimulainya pembelajaran keagamaan. Anda akan menjumpai orang-orang yang berbaju koko, memakai peci atau kopiah sedang belajar sholat atau praktek ibadah lainnya. Anda akan menyaksikan orang-orang yang sedang mengeja huruf hijaiyyah; Alif, ba, ta, tsa, membaca dan menghafal Al Qur’an.
Di samping itu, dalam Lapas, Anda juga akan menjumpai sebuah masjid yang setiap masuk waktu sholat fardhuberkumandang seruan adzan. Demikian juga Anda akan menjumpai sebuah bangunan yang didesain menjadi beberapa ruang kelas dan di samping pintu masuk tertulis papan besar, “Madrasah Al Qur’an Al Fajar”. Pemandangan semacam itu terjadi setiap hari di samping berbagai aktivitas pemasyarakatan lainnya, seperti bersih-bersih lingkungan, olahraga, baris-berbaris, bengkel kerja, pembuatan aneka kerajinan, makanan olahan dan sebagainya.
Begitulah situasi yang terjadi di Lapas Wirogunan Yogyakarta yang merupakan Lapas dengan standar keamanan tingkat tinggi. Pada hari-hari biasa, para narapidana muslim menjalani kegiatan keagamaan sebagai bagian dari pembinaan mental-spiritual di Madrasah Al Qur’an “Al Fajar”. Mereka mendapatkan haknya untuk menjalankan ibadah, mendapatkan pendidikan, pengajaran, rekreasional, serta kesempatan mengembangkan potensi, mendapatkan layanan informasi, perlakuan secara manusiawi, dan dilindungi dari tindakan penyiksaan, eksploitasi, pembiaran, kekerasan dan segala tindakan yang membahayakan fisik dan mental (UU No. 22/2019 pasal 7). Itulah sebagian dari hak-hak narapidana atau tahanan yang menjadi kewajiban layanan dari Lapas atau Rutan yang dijamin oleh undang-undang.
Pendirian Madrasah Al Qur’an “Al Fajar” Lapas Wirogunan merupakan bagian dari langkah strategis untuk melengkapi dan mengintensifkan pembinaan mental-spiritual dan keagamaan. Pembelajarannya diorientasikan pada Al Qurán, ibadah dan pengembangan akhlak yang dikelola secara terencana, terpadu dan berkelanjutan. Kegiatan pembelajaran melalui madrasah ini sekaligus sebagai bagian dari implementasi pembinaan narapidana atau tahanan yang berada di bawah Seksi Bimbingan Narapidana dan Anak didik (Binadik).
Visi Madrasah Al Qur’an yang didirikan pada bulan Maret 2018 adalah menjadi tempat pembelajaran Al Qur’an dan pembentukan pribadi terpuji bagi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) Kelas IIA Yogyakarta untuk menyiapkan kembali ke masyarakat menjadi warga negara yang baik. Sedang, tujuan pendiriannya antara lain: (1) meningkatkan pemahaman dan pengamalan agama sebagai dasar pembentukan pribadi yang berakhlak mulia, (2) meningkatkan kemampuan membaca dan menghafal Al Qurán serta menumbuhkan kesadaran untuk mempelajarinya secara sunguh-sungguh, (3) mendorong kesadaran dan kemampuan melaksanakan praktek ibadah secara benar dan tertib, seperti; bersuci (thaharah), shalat fardhu, dzikir dan amalan-amalan ibadah lainnya, dan (4) menanamkan nilai-nilai sosial-keagamaan dan implementasinya dalam perilaku hidup keseharian seperti ketertiban, kejujuran, kedisiplinan, saling menghargai sesama, solidaritas sosial dan sebagainya.
Proses penyelenggaraan Madrasah Al Qur’an di Lapas Wirogunan ini diperkuat dengan Memorandum of Uderstanding (MoU) antara Lapas Wirogunan, Kemenag Kota Yogyakarta dan Baznas DIY. Tujuan utama MoU ketiga lembaga ini, yaitu: Pertama, mewujudkan keterpaduan dan sinergi antara Lapas Kelas IIA Yogyakarta, Kantor KemenagKota Yogyakarta dan Baznas DIY dalam penyelenggaraan Madrasah Al Qur’an “Al Fajar”. Kedua, mengefektifkan penyelenggaraan Madrasah Al Qur’an “Al Fajar” agar dapat berjalan dengan baik dalam meningkatkan pembinaan mental-keagamaan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP).
Ketiga lembaga yang terikat dalam MoU, masing-masing memiliki tanggung jawab yang telah disepakati bersama. Lapas kelas IIA Yogyakarta memiliki tanggungjawab: (1) menyiapkan WBP yang beragama Islam untuk mengikuti kegiatan pembelajaran secara tertib dan reguler, (2) menyiapkan sarana dan prasana bagi terselenggaranya kegiatan pembelajaran. Pihak Kemenag Kota Yogyakarta memiliki tanggung jawab: (1) menugaskan tenaga pengajar/ustadz sesuai kebutuhan dan (2) melakukan koordinasi, monitoring dan evaluasi terhadap tenaga pengajar/ustadz. Sedangkan Baznas DIY memiliki tanggungjawab memberikan bantuan pembiayaan operasional kegiatan madrasah yang direalisasikan dalam setiap tahun anggaran.
Bentuk kegiatan
Kegiatan pembelajaran madrasah yang diampu oleh 38 ustadz dari unsur Penyuluh Agama Islam Kota Yogyakarta meliputi beberapa bentuk. Pertama, kegiatan klasikal. Kegiatan ini dilaksanakan pada permulaan dan akhir kegiatan untuk mengkondisikan WBP agar siap mengikuti proses pembelajaran. Di samping itu, kegiatan klasikal juga sebagai media untuk menyampaikan materi-materi yang bersifat umum, seperti akhlaq, tarikh, do’a-do’a sehari-hari dan sebagainya.
Kedua, kegiatan sorogan. Kegiatan ini diorientasikan untuk memberikan layanan peningkatan kemampuan personal. Bentuk kegiatan sorogan diterapkan untuk pembelajaran Iqra’, tahsin dan hafalan Al Qur’an. Ketiga, praktek ibadahyang difokuskan pada ibadah-ibadah yang bersifat fardhu a’in dan mendukung aktivitas keseharian, seperti; sholat, wudhu, hafalan dan lain-lain. Keempat, latihan hadroh, yang dilaksanakan setiap satu pekan sekali. Kelima, pengajian bersama. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menjalin kebersamaan semua WBP sekaligus meningkatkan wawasan dan kesadaran beribadah. Kegiatan diisi dengan shalawat bersama dan diselingi taushiyah singkat serta diakhiri dengan do’a.
Materi pembelajaran madrasah terdiri dari; (1) Al Qur’an, tiga sub-materi, yaitu: pengenalan huruf hijaiyyah/pra-Ap Alqur’an dengan menggunakan Iqra’, tahsin dan hafalan. (2) pengetahuan agama Islam, antara lain: Tauhid (‘aqidah), ibadah, akhlak/mua’malah dan tarikh. (3) Keterampilan seni-budaya Islam.
Wisuda Santri
Wisuda santri dimaksudkan sebagai bentuk apresiasi pencapaian prestasi santri dalam mengikuti pembelajaran. Sejak berdiri tahun 2018 sampai akhir tahun 2022, telah menyelenggarakan wisuda sebanyak tujuh kali dengan wisudawan sejumlah 408 orang. Santri yang diwisuda meliputi tiga kategori, yaitu: lulus Iqra’ jilid 1 – 6, Qira’atul Qur’an, dan hafalan Al Qur’an (hafalan juz 30, juz 29, juz 28, juz 1, juz 2, juz 3 dan juz 4).
Santri yang berhak mengikuti wisuda harus melalui proses ujian tulis dan praktek/lisan. Di samping itu, juga harus memiliki kompetensi standar, seperti: tertib sholat lima waktu, mengikuti sholat berjamaah di masjid (sholat dhuhur dan Ashar), dan berakhlak terpuji yang diindikasikan dengan tidak pernah melakukan pelanggaran terhadap tata tertib Lapas dan aktif mengikuti kegiatan pembelajaran yang dibuktikan dengan absen secara elektronik.
Syarat Remisi
Remisi merupakan hak setiap WBP dalam bentuk pengurangan masa hukuman pada hari-hari besar kenegaraan atau hari raya agama. WBP yang aktif mengikuti kegiatan madrasah menjadi salah satu syarat bagi WBP untuk mendapatkan remisi.
Kegiatan pembelajaran di madrasah Al Fajar yang difasilitasi oleh 36 ustadz ini benar-benar menjadi wadah yang memberikan manfaat besar bagi warga binaan secara pribadi, keluarga dan Lapas Wirogunan secara kelembagaan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator. Pertama, suasana kondusif hubungan antar sesama WBP dan antara WBP dan petugas Lapas. Sejak adanya madrasah, tidak ditemukan tindakan kekerasan atau eksploitasi sesama WBP atau petugas Lapas kepada WBP yang mengarah pada situasi chaos.
Kedua, pernyataan pribadi WBP yang dituangkan dalam bentuk tulisan dan dibukukan. Beberapa judul tulisan yang menunjukkan perkembangan pribadi positif antara lain: Dapat Mengaji dan Sholat, Dapat Lebih Berlatih Sabar, Mendapat Banyak Pengalaman Berharga, Pengin Jadi Imam Keluarga, Lapas Tempat Penyadaran Diri dan Taubat, Dapat Mengetahui Mana yang Baik dan Buruk, Ternyata Lapas Tidak Menyeramkan, Penjara Merubah Kehidupanku,Lapas Merubah Pikiran Dan Jalan Hidup, Mendapat Teman-Teman Sejati, Istiqamah Menghafal Al Qur’an, dan masih banyak pernyataan lainnya yang menunjukkan optimisme hidup lebih baik.
Demikianlah suasana di Lapas Wirogunan Yogyakarta dalam setiap harinya. Layaknya “pesantren” di tengah tembok penjara yang mendidik orang-orang yang sedang menjalani putusan pengadilan. Suasana keakraban, hilir-mudik santri-santri dari bloknya masing-masing menuju ke gedung madrasah atau masjid, benar-benar menjadi pemandangan yang menggembirakan dan menyejukkan. Ketika kita menyaksikan para narapidana sedang larut dalam pelajarannya masing-masing, rasanya kita tidak sedang ada di dalam penjara, tetapi kita sedang di tengah “pesantren” yang mendidik saudara-saudara kita yang sedang mengolah dan mengembangkan diri menjadi pribadi terpuji, berkarakter dan hamba-hamba Allah yang bermanfaat bagi diri mereka sendiri, keluarga dan masyarakat.
Surakarta, 28 Februari 2023
Tulisan ini bukan tentang lembaga langgar.co. Bukan. Lembaga ini tak perlu ditulis, tak harus, dan tak usah. Biarkan sepak terjangnya menjadi tulisan itu sendiri. Menjadi bukti eksistensinya. Program, kegiatan, apalagi sosok pemimpinnya, adalah diri yang harus didukung, diayomi, dan didampingi. Mari saling melengkapi satu sama lain.
Tulisan ini tak lain hanya dongengku belaka. Tak lebih. Dongeng tentang keberadaan langgar di kampungku, di pedesaan Madiun, Jawa Timur. Dongeng tentang langgar zaman dulu, sekira antara tahun 1900-2000, yang sebagian kudengar dari bapakku. Keadaannya mungkin sekarang berbeda, seiring dengan cobaan dan godaan zaman yang semakin dahsyat. Pembaca mungkin nanti akan tahu perbedaannya setelah membaca dongeng ini.
Langgar lebih dulu ada sebelum masjid. Langgar itu sebutan di Jawa untuk tempat ibadah umat Islam di pedesaan Jawa. Orang modern biasanya menyebut musala (atau lebih fasih, musholla). Sebutan ini sebenarnya jadi membingungkan dengan masjid jika ditilik dari arti asal katanya. Musholla artinya tempat salat. Masjid artinya tempat sujud. Padahal sujud itu bagian dari salat. Orang modern akhirnya membedakan musala dan masjid dengan fungsinya. Selain luas bangunannya, musala biasanya tak dipakai salat Jumat, masjid dipakai. Saya menduga, penggantian sebutan langgar jadi musala ini tak lain untuk menghilangkan peran langgar dalam sistem pengetahuan Jawa. Memang apa peran langgar bagi orang Jawa?
Luas langgar lebih kecil daripada masjid. Langgar Pak Zaini misalnya, ukurannya hanya 4×4 meter. Langgar Mbah Nuhyi 4×5 meter. Langgar Mbah Romo lebih kecil lagi, hanya 3×3 meter. Langgar Pak Yadi, kiai dengan jenggot sepuluh helai itu, luasnya 4×5 meter. Langgar Mbah Karsono yang berbentuk panggung dari kayu luasnya lebih besar 7×7 meter. Di depan rumah Mbah Karsono ini, di seberang jalan, Mbah Zainal yang lulusan pesantren Oro-Oro Ombo Madiun yang dipimpin Kiai Mahfud, juga mendirikan langgar seluas 3×4 meter. Namun, langgar dikenal bukan hanya sekedar luas bangunan. Bukan.
Umumnya, langgar itu didirikan di dekat rumah pemiliknya, yang umumnya santri lulusan pesantren. Sepulang mesantren di pesantren-pesantren yang tersebar di Jawa Timur dan Jawa Tengah, mereka itu ingin mempraktekkan ilmu yang diperolehnya. Mereka kemudian mendirikan langgar dan oleh masyarakat biasa disebut kiai langgar atau kiai kampung. Mereka mengajar sesuai dengan ilmu yang dikuasai dan diijazahkan kiainya saja. Tak boleh yang lain. Tujuannya, menunjukkan kepada masyarakat bahwa Islam itu menyenangkan, boleh berbeda, saling menghormati, dan tak kaku.
Desaku, desa Wangsen, terdiri dari 15 RW (rukun warga) dan 25 RT (rukun tetangga). Desa sebesar kurang lebih 10 hektar dengan penduduk sekitar 800 KK atau 1500 jiwa itu dikelilingi 30 bangunan langgar dan dipersatukan oleh satu masjid besar, Masjid Jami’ Misbahul Muttaqin (lentera orang-orang taqwa). Saat salat Jumat, warga atau jamaah, tumplek blek di masjid tersebut. Para orangtua, laki-laki dan perempuan, juga anak-anak, baik yang jalan kaki maupun yang berkendaraan, mereka berduyun-duyun datang ketika mendengar suara Muammar ZA atau Ustaz Mustafa dari kaset yang sama dan diulang-ulang. Khatib Jumat berkhutbah dengan membaca kitab Berbahasa Arab sekira 7 menit. Sang imam juga membaca surat-surat pendek. Para muazin (pelantun azan) umumnya adalah santri langgar, sementara khatib dan imamnya adalah kiailanggar. Dari titik ini, langgar adalah ruang untuk mendidik para muazin, khatib, dan imam masjid.
Selepas salat Jumat, para kiailanggar dan beberapa jamaah masjid akan bercengkerama di serambi masjid sembari udud, membersamai remaja masjid yang menghitung uang dari kotak amal, kemudian menuliskan jumlahnya di papan tulis serambi masjid. Para kiailanggar bercengkrama tentang langgar masing-masing, tentang anak-anak kampung yang nyantrik di langgar mereka, bertukar pengalaman tentang ilmu yang mereka peroleh dari pondok, dan tentang kiai-kiai pesantren mereka yang unik dan lucu, serta kadang tak masuk akal.
“Lha mbah kiaiku, Mbah Mangli, kui aneh. Nek diundang ceramah po slametan neng ndi ngono, blas ora gelem nek diwei duit po salam tempel. Wegah tenan pokok e. Nek wiridan ra umum suine. Kabeh pasa sunah dilakoni,” cerita Pak Zaini sembari tertawa kecil.
“Nek Mbah Mahfud Oro Oro Ombo kui mben jumat esuk mesti mara neng terminal Madiun. Trus menehi rokok sakler-sakler (sebatang) kabeh tukang becak, preman, ro sopo wae sing terminal. Mben jumat kui,” kata Mbah Zainal diiringi asap rokok yang mengepul dari mulutnya.
“Aku kui mbiyen pernah dijak mbah kiaiku neng sawahe. Njur aku kon nyabuti suket nganti suwe ra dikon mandeg, nganti boyokku kaku..ha..ha..ha… mbah yaiku ming udad-udud neng gubug kaya etok-etok ra weruh. Sakwise kira-kira sejam aku diceluk. ‘Nuhyi… kowe tak kon nyabuti suket ngerti maksude?’ ‘Mboten, Kiai,’ jareku. ‘Ngene, suket kuwi urip dewe, ora ditandur. Ana sing gampang dicabut lan ana sing angel. Lha, kuwi kaya urip iki. Masalah kui ana sing tukul dewe, ana sing angel dirampungke lan ana sing gampang. Kui mau kabeh kersane Gustialah. Manungso kaya awak e dewe iki mung dijalok manut, supoyo ngerti nek sing kuoso kui Gustialah, dudu manungsa… ngerti kowe?’ ‘Nggih, kiai.’ Bar kui aku diwei rokok e mbah kiai, tapi aku ra gelem soale aku ra udud,” cerita Mbah Nuhyi yang memang tak merokok sampai tuanya.
Saling cerita pengalaman unik dan lucu itu akan berakhir setelah salah satu dari para kiailanggar itu izin pulang, atau akan ke sawah atau angon kambing. Waktu selepas Jumat itu memang menjadi waktu silaturahmi para kiailanggar. Di antara mereka kadang saling bertukar pendapat tentang aktivitas di langgar masing-masing. Misalnya, bertanya tentang maksud isi kitab yang mereka gunakan untuk mengajar, saling meminjam kitab, saling meminta ijazah, atau wirid, jopa-japu (doa) antar mereka.
Para kiai langgar itu mendirikan langgar berdasarkan ijazah ilmu yang dianggap mereka kuasai dari kiai mereka di pesantren. Tanpa ijazah itu, mereka tak berani mendirikan langgar, apalagi mengajarkan kepada masyarakat. Karena setiap santri itu memiliki penguasaan ilmu yang berbeda, maka setiap kiai langgar itu mengajarkan ilmu yang berbeda di langgar–langgar mereka. Atas alasan itu pula mereka mendirikan langgar sendiri-sendiri, bukan karena egois. Antar para kiai langgar itu sudah memahami hal tersebut, sehingga antar mereka tak saling benci, iri, atau rebutan santri kampung. Antar mereka bahkan akan memberi saran kepada santri kampung untuk ngaji kepada kiai langgar tertentu jika ingin menguasai ilmu khusus.
Pak Zaini misalnya, ia dikenal sebagai kiai wirid, karena dari pesantren ia diijazahi oleh kiainya untuk mengajarkan ilmu wirid. Pak Zaini hafal beragam wirid, baik Bahasa Arab maupun Bahasa Jawa. Ia kuat tirakat puasa sunah, salat malam, dan wirid berlama-lama. Puluhan wirid ia baca. Ada wirid harian, tiap jumat, tiap bulan suro, ramadhan, dan sebagainya. Langgar Pak Zaini hanya menerima santri kampung yang ingin mendalami wirid dan tirakat.
Mbah Nuhyi dikenal sebagai kiai langgar dengan penguasaan ilmu quran. Di langgar Mbah Nuhyi hanya diajarkan cara membaca alquran, dari pengenalan huruf hijaiyah sesuai makharijul huruf (keluarnya suara huruf dari mulut), arti dan makna tiap huruf dalam sistem pengetahuan Jawa, tujuh model bacaan alquran (qiraah sab’ah), belajar membaca alquran dengan dilagukan baik gaya Mesir, Turki, maupun langgam Jawa. Aku pernah nyantrik di Mbah Nuhyi tapi gagal, karena nafasku pendek. Hehehe….
Mbah Zainal dikenal dengan kiai fikih (aturan Islam). Di langgar Mbah Zainal hanya diajarkan tentang fiqih saja, tidak yang lain. Para santri kampung yang ingin tahu tentang najis, cara wudlu, apa yang membatalkan salat, aturan haidh bagi perempuan, cara memilih jodoh bagi laki-laki akan nyantrik di langgar Mbah Zainal. Setiap sore selepas asar, biasanya banyak santri kampung berangkat ke langgar dengan membawa kitab Taqrib, kitab fikih dasar yang biasa diajarkan di pesantren.
Mbah Karsono beda lagi, ia dikenal sebagai kiai jaduk. Di langgarnya selain untuk salat lima waktu, juga diajarkan ilmu jaduk atau ilmu kebal. Langgar Mbah Karsono tidak banyak santrinya, melainkan hanya tertentu saja. Ini memang disengaja oleh Mbah Karsono, karena tak semua orang boleh memiliki ilmu jaduk. Mbah Karsono hanya memilih sedikit dari banyak orang kampung yang ingin menjadi santrinya. Ia sudah diwanti-wanti oleh kiai pesantren yang memberinya ijazah, bahwa ilmu yang dikuasainya tak boleh sembarangan diberikan pada orang lain. Cerita bapakku, dulu beberapa orang kampung diminta untuk menelan gotri sepeda oleh Mbah Karsono setelah berpuasa dan berendam di sendang desa. Orang-orang itu kemudian dikirim Mbah Karsono untuk ikut perang melawan Belanda. Mereka masih hidup sampai tua.
Mbah Arifin juga berbeda. Ia dikenal sebagai kiai gurah. Langgar Mbah Arifin tidak ada santri yang belajar. Sekali waktu saja langgar Mbah Arifin didatangi santri kampung atau dari luar kampung untuk minta digurah. Mereka minta riyak atau gumpalan lendir di tenggorokannya dikeluarkan, agar suara mereka jernih saat menyenandungkan ayat alquran. Mbah Arifin biasanya akan menumbuk bawang merah dan bawah putih di campur air, kemudian setelah didoakan akan menuangkannya ke lubang hidung para santri kampung itu. Setelah bersih-bersin dan kepala pusing, biasanya dari mulut para santri itu akan keluar banyak lendir kental. Beberapa hari kemudian, mereka akan merasakan khasiatnya. Suara mereka bersih, nafas mereka panjang dan semua huruf hijaiyah seperti mudah diucapkan sesuai makharijul huruf-nya. Aku pernah digurah Mbah Arifin, tapi aku kapok karena kepalaku pusing berhari-hari. Ha… ha… ha….
Dapatlah dipahami, bagi orang Jawa, langgar itu episentrum penyemaian ilmu-ilmu Islam yang beragam dan menyenangkan. Langgar itu ruang pendidikan nilai-nilai kebaikan Islam. Dengan mendirikan langgar, para kiai langgar bisa mengatur dan mengelola langgar sesuai dengan ilmu yang mereka kuasai. Hal-hal itu tentu saja tak mungkin dilakukan di masjid, karena masjid harus mewakili banyak orang. Masjid biasanya juga memiliki struktur pengurus yang programnya tak bisa sebebas langgar.
Aahh… aku merindukan langgar–langgar seperti dulu itu.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
“Begawai” dan Sabung Ayam
Selesai makan malam yang nikmat, kami beranjak ke tempat semula, dan kembali menghanyutkan diri ke dalam sungai cerita. Ke mana lagi kami hendak menghanyutkan diri jika tidak dalam batang hikayat dan mata air kisah, wahai Tuan dan Puan?
Beberapa orang perempuan kampung datang menyambangi rumah Pak Dukun. Suara cakap mereka ditimpali gelak berderai sudah terdengar sejak dari halaman. Di antara mereka ada mengenakan kain panjang, sehingga harus menarik ujung kain supaya mudah naik tangga. Sebagian ibu mengunyah sirih.
Kebetulan besok pagi akan ada acara turun tanah, yakni mengupacarai arwah orang baru meninggal dunia. Beberapa waktu lalu adik ipar Pak Dukun mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat kejadian. Pak Dukun sendiri besok yang akan memimpin ritualnya, sebagaimana lazimnya ia badukun di rumah-rumah warga untuk hal yang sama. Perempuan-perempuan datang untuk menyiapkan bahan-bahan pekerjaan esok hari. Suasana jadi sedikit ramai. Mereka terus bercakap dalam aksen dan logat yang asing, tapi akrab sekali
Saat perempuan-perempuan itu asyik dengan pekerjaan mereka, saya meminta Pak Dukun mengisahkan cerita rakyat Talang Mamak. Ia bilang sudah banyak tak hapal, tapi toh ia ceritakan juga sebuah kisah tentang Putri Talang dan Pangeran Langit. Si pangeran, yang semula turun ke bumi menyerupai seekor burung kuau, tepatnya di Sungai Ekok, menjelma pangeran tampan. Gadis-gadis yang semula takut, ganti berebut mencari perhatian. Si bungsu, Putri Talang yang jelita jadi tumpuan iri kakak-kakaknya.
Saya menahan nafas.
“Putri Talang Bungsu diusir kakak-kakaknya itu. Tapi terlebih dulu mereka buat wajahnya jadi buruk rupa dengan memberi getah pohon kajai,” kata Pak Dukun kembali mulai.
Adakah Putri Talang itu engkau, Ayu? Saya berbisik dalam hati. Terbayang cerita Ayu tadi sore, bagaimana ia dan keluarga harus meninggalkan keindahan Sungai Ekok karena terusir mesin-mesin. Meski caranya berbeda tapi sama-sama memiliki kata getir; terusir!
“Tapi sebelum pergi, si Putri mencuci wajahnya dengan air telaga Sungai Ekok. Jadi tambah cantik dan elok. Kakak-kakaknya yang mengintip melihat sang Pangeran menjumpai si Putri di batas desa dengan tambah suka. Besoknya kakak-kakaknya meniru dengan menggetahi wajah mereka, tapi keburu dihinggapi lalat-lalat pertanda hatinya busuk,” lagi-lagi Pak Dukun terkekeh.
Ayu, sebagaimana sang Putri Talang, bukankah telah mencuci hatinya dengan mata air kisah Sungai Ekok, sehingga dengan itulah mungkin, sesore hari kulihat matanya berbinar.
Dan sebagai mana cerita Putri dan Pangeran di mana-mana, kisah Pak Dukun pun berakhir bahagia. Putri Talang dan Pangeran Langit menikah dalam pesta (begawai) tujuh hari tujuh malam.
Menurut Pak Dukun ada banyak cerita rakyat Talang Mamak. Ia menyebut Cerita Orang Bunut, Cerita Mambang Jinut, Bujang Romandung, Malim Sayang bahkan Malim Kundang, cerita kondang pantai barat. Menurutnya cerita Bujang Rumandung paling seru. Cerita ini merupakan bagian partembahan, yakni cerita lisan Talang Mamak di acara begawai (pesta perkawinan) yang dikenal juga sebagai bedar mayang (kembang pesta). Artinya, dalam sebuah pesta perkawinan bukan hanya pengantin perempuan ibarat kembang, bukan juga hanya gadis-gadis kampung yang berdandan, tapi tak kalah penting adalah cerita sebagai kembang kata-kata yang menghidupkan sebuah pesta.
“Anak-anak sekarang sudah jarang mendengar cerita moyang, kite yang tua pun sudah banyak lupe,” aku Pak Dukun jujur. Ia mengucapkannya dengan setengah terpejam.
Saya tanya apakah Pak Dukun tahu Cerita Bujang Tan Domang. Cerita lisan orang Petalangan ini juga biasa dituturkan dalam acara perkawinan, dan makan waktu empat sampai lima hari. Saya mengetahui hal itu dari sebuah buku tebal yang sudah ditranskrip oleh Tenas Effendi, terbitan Bentang Budaya bekerjasama dengan Ecole Francaise d’Extreme-Orient dan The Toyota Foundation (1997).
Pak Dukun mengaku tidak tahu. Tapi itu dapat dimengerti. Meski orang Talang Mamak secara umum kadang disebut juga sebagai orang Petalangan. Hanya saja yang dimaksud dalam Cerita Bujang Tan Domang merupakan masyarakat Petalangan yang bermukim di Desa Betung, Kecamatan Pangkalan Kuras, dulu masuk Kabupaten Kampar, sekarang Kabupaten Pelalawan.
Namun jika merujuk catatan Obdeyn, sebagaimana saya lihat dalam pengantar buku puisi Dheni Kurnia, Olang 2 (2016), semua suku pedalaman Riau berasal dari rumpun besar Datuk Perpatih Nan Sabatang. Mereka turun dari Gunung Marapi, menghiliri Sungai Kuantan/Indragiri, sebagian melalui Sungai Kampar dan sampai di Sungai Mandau, sebagian lagi menghilir melalui Sungai Batanghari. Di Mandau mereka menyebut diri Suku Sakai, di Jambi menyebut diri Suku Kubu/Anak Dalam, dan di Kuantan menyebut diri Talang Mamak. Jadi sangat mungkin semua suku tua pedalaman Sumatera ini punya silsilah besar yang sama sehingga alur dan fungsi cerita juga banyak yang sama.
“Cerita Bujang Rumandeung juga sangat panjang,” Pak Dukun memberi perbandingan. “Bisa tiga hari tiga malam, sampai tujuh kali perang, tujuh kali mati dan tujuh kali hidup kembali…,” kembali Pak Dukun terkekeh, dan perempuan-perempuan di dapur ikut bersorak girang membayangkan adegan dalam cerita. “Sayang itu sudah mulai jarang dipertunjukan,” Pak Dukun lalu seperti mengeluh.
Malahan yang sering “dipertunjukan” dalam acara begawai sekarang adalah sabung ayam, yang berbau judi. Meski sejatinya, sabung ayam merupakan acara sah dalam ritual-ritual penting orang Talang Mamak, mulai perkawinan (begawai), kelahiran maupun kematian (turun tanah). Hampir sama dengan ritual tabuh rah masyarakat Hindu Bali, ada ritual adu ayam untuk memulai sebuah upacara. Demi memenuhi syarat mendarahi halaman pura dengan tetesan darah si jago. Semacam persembahan pada Semesta. Itulah intinya.
Namun seolah bernasib sama dengan tabuh rah, tradisi adu ayam itu kerap dilanjutkan oleh para bandar sebagai ajang perjudian. Jadilah sabung ayam di sini atau metajen di Bali, jadi arena pertaruhan dan itu menghabiskan waktu berhari-hari. Ini membuat orang Talang Mamak dicap punya tradisi kurang elok. Padahal, secara adat, mereka tak pernah merestui adu ayam untuk berjudi, kecuali sebatas ritual mendarahi tanah tempat upacara. Tapi para bandar dan peminat judi sabung ayam akan lekas berkumpul jika ada acara begawai di kampung, dan itu sulit dicegah oleh siempunya acara.
Saya teringat dalam diskusi komisi-komisi di acara Pekanbaru kemarin. Budy Utami, penyair yang juga aktif berkegiatan di masyarakat pedalaman dan punya akses kepada sejumlah petinggi Riau, sampai menelepon langsung Kapolda Riau. Ia mengonfirmasi bagaimana pandangan polisi atas sabung ayam dalam begawai. Kata Budy, Pak Kapolda bilang jika sabung ayam sebatas ritual, tidak ada masalah. Yang persoalan adalah kalau sabung ayam itu dilanjutkan dengan perjudian.
Begawai itu sendiri bukan hanya punya sabung ayam, tapi ada proses panjang dari sejumlah tata-cara warisan leluhur. Mulai betandang, membibit, menyulu, berjanji, menjemput hingga menambul. Semua itu tak bisa sepenuhnya dinilai hitam-putih dengan kacamata agama langit. Sekali pun itu dianggap “pahit”. Betandang misalnya, laki-laki boleh bermalam di rumah perempuan, berangkat malam pulang pagi. Tapi itu bukan tanpa aturan. Ada pengawasan yang dilakukan secara ketat secara adat. Tulisan Ayu yang dimuat dalam buku hasil pelatihan menulis memori kolektif, sangat detail menceritakan tata cara dan falsafah Begawai.
Karena itu, jika memang ada penyesuaian atau perubahan, katakanlah sesuai ajaran Islam yang banyak dipeluk orang Talang Mamak, maka harus dengan pendekatan persuasif. Sebagaimana Ustaz Abdul Somad yang sering masuk secara kekeluargaan ke kalangan masyarakat adat Riau, termasuk ke komunitas Talang Mamak.
Kemarahan Pak Batin
Dalam lintasan waktu yang panjang, tak kalah banyak unsur-unsur adat Talang Mamak yang hilang. Ritual membuka huma, mengobat padi dan memanen ladang, misalnya, sudah tak bisa dilakukan lagi seperti dulu. Hampir tak ada hutan bersisa untuk dibuka menjadi huma. Padahal di situlah teater ritual mereka dipentaskan. Penanam padi ladang juga makin sedikit. Selain lahan kurang subur karena tak ada proses menabur abu dari hasil pembakaran, beras dari kota juga menyerbu masuk ke kampung-kampung. Lagi pula, siapa yang mau menggara burung-burung? Dulu anak-anak mereka yang melakukannya.
“Sekarang anak-anak sibuk main hp,” seorang perempuan tua ikut berciloteh.
“Burung mereka sekarang burung kartun, dan kesukaan mereka main game,” sela perempuan lain.
“Iya, memang begitu,” Pak Dukun membenarkan. “Dulu banyak permainan dalam acara begawai. Sekarang banyak pilihan permainan dalam gawai,” Pak Dukun tertawa lepas mendapat dua perbandingan yang memuaskan itu: begawai sebagai pesta perkawinan yang punya banyak mata acara, dan gawai sebagai gadget yang penuh tawaran.
Begitulah, sabung ayam dalam begawai, misalnya, hanyalah satu rangkaian dari acara lain yang tak kalah penting, seperti bapantun dan basilat. Sekarang, katanya, tinggal sabung ayamnya saja.
Saat bercerita tentang sabung ayam, Pak Batin Irasan muncul di pintu. Ia menepati janji untuk datang. Wajah Pak Batin jauh lebih dingin dan “angker” dibanding Pak Dukun. Rupanya ia sempat menguping kami bercerita soal adu ayam. Langsung saja ketika masuk Pak Batin menyambung,”Dalam acara di Pekanbaru kemarin sudah aku bilang kalau sabung ayam itu wajib ada di acara begawai, jangan hanya lihat lanjutannya…
Matanya merah. “Aku tak suka ada kepala desa yang bilang itu semua haram dan membuat kita jadi miskin. Untung aku idak satu kelompok dengan dio, kalau satu kelompok kuhabisi pendapat dio. Tahu apa orang adat kita!” Pak Batin merujuk sidang komisi di acara Pekanbaru tempo hari. Menurutnya ada seorang kepala desa dari Rakit Kulim membuat pernyataan kontra terhadap adat. Padahal yang ia lihat hanya efek dari adat yang tidak dikawal semestinya.
“Tapi saat istirahat, aku panggil dio sendirian, dan aku cecar soal adat…” nada Pak Batin terdengar gemilang.
Saya tak tahu sejauh itu kemarahan Pak Batin. Meski kemarin, saya memang melihat ia sosok paling vokal bicara keadaan masyarakatnya. Kebetulan ia salah seorang pembicara di forum, bersanding dengan Prof. Dr. Kurnia Warman, dan lain-lain. Jauh sebelum kawasan Rakit Kulim memiliki sistem pemerintahan desa dan kecamatan, ia sudah malang-melintang sebagai pemimpin kampung-kampung Talang Mamak. Pak Batin juga kerap diundang dalam pertemuan masyarakat adat di berbagai tempat, termasuk ke Ambon. Para kepala desa sekarang rata-rata adalah angkatan keponakan dan anak-anaknya, sebagian punya hubungan darah dengan dia. Jadi wajar Pak Batin bisa langsung “menjewer” mereka bila dianggap kurang pas dalam tugas.
Ruang dapur Pak Dukun jadi sedikit mencekam karena pelampiasan amarah Pak Batin. Saya pun nyaris ciut nyali melihat wajahnya yang merah berkeringat. Apa akal? Jika saya bawa rokok sendiri, pasti sudah saya tawari dia sebagai pemecah kebuntuan. Tapi saya tidak merokok, kecuali sesekali saat kepedasan, cuaca dingin atau nongkrong—jika dihitung sebenarnya kelewatan juga untuk sebutan “tidak merokok”. Sedang berpikir-pikir demikian, eh, tak lama kemudian, Pak Batin angkat baju kaos yang dikenakannya sambil bilang,”Cuacanya panas, mungkin sebentar mau hujan…”
Lalu ia telentang begitu saja di atas tikar, dengan perut terbuka menggunung. Seketika “kengerian” yang ia timbulkan buyar…
Pak Batin pamit menjelang tengah malam dengan air muka yang mulai bersahabat. Sepulang Pak Batin, saya dipersilahkan Pak Dukun untuk tidur di tengah rumah induk. Rumah induk punya tiga kamar yang ditempati Pak Dukun dan istrinya serta anak-anak perempuannya. Selebihnya ruangan dibiarkan lapang terbuka, tidak banyak perabot. Saya bayangkan itu tempat yang luas bagi anak-anak untuk berlarian sepuasnya.
Di bagian atas ada pagu tempat menyimpan alat-alat rumah tangga. Karena besok pagi mau ada acara, beberapa kali perempuan-perempuan kampung naik ke tangga pagu menurunkan alat-alat dapur. Seiring malam yang kian larut, perempuan-perempuan itu pun pamit, dan suara yang tadi ramai di dapur perlahan surut.
Ditemani anak-anak lelaki Pak Dukun, rasa lelah dan kantuk segera menggamit saya ke peraduan. Malam itu, meski hanya beralas tikar, saya tidur nyenyak sekali. Apalagi, benar terka Pak Batin, hujan turun tengah malam membuat hawa jadi nyaman.
Pagi Bening di Talang Sungai Parit
Saya terbangun saat kokok ayam jantan bergema nyaring di kolong rumah. Sengaja saya bangun pagi-pagi, selain untuk menunaikan sholat subuh, juga mengambil waktu mandi mumpung anggota keluarga yang lain belum bangun. Soalnya adalah, kamar mandi Pak Dukun yang berada di samping rumah, persis dekat lorong orang ke luar-masuk, tidak berdaun pintu. Kamar mandi itu sendiri bersih, luas, dan memiliki bak air yang besar. Sebuah mesin cuci merk terbaru juga ada di situ.
Tapi saya tak punya bayangan lain bagaimana caranya mandi di tempat terbuka seperti itu, kecuali bangun lebih dulu selagi masih gelap. Eh, ternyata saya tetap keduluan orang lain! Anak-anak Pak Dukun sudah pada bangun. Malahan kakak David, saya lupa namanya, sudah bersiul-siul menyisir rambut di depan kaca, bersiap sekolah karena sekolahnya cukup jauh. Terpaksalah pagi itu saya hanya cuci muka dan berwuduk saja.
Tentu saya tahu, orang-orang di kampung yang dekat dengan alam terbiasa bangun sebelum fajar untuk menunaikan darma baktinya di sawah, ladang dan huma penghidupan. Begitulah yang saya lihat di Talang Sungai Parit. Saya sengaja berjalan keliling kampung dan menjumpai orang-orang mulai beraktivitas. Kebanyakan berangkat ke kebun, dan sebagian pergi membangkit bubu dan jala di sungai atau parit. Saya juga melihat kakak David berangkat sekolah dengan berjalan kaki, masih bersiul-siul riang. Ada pun David yang sudah berapa waktu ini tak mau masuk sekolah, tak kalah riang dengan senyumnya, datang menyusul saya.
“Mau ikut saya, ndak, Pak?” katanya.
“Ke mana?”
“Menyusul Hairil ke parit angkat jala!”
“Baik,” jawab saya, dan David segera berbalik.
Tak berapa lama ia kembali mengendarai motor bebek yang rodanya dimodifikasi dengan ban bergerigi besar. Pilihan ban ini untuk menundukkan medan licin berlumpur ke kebun atau ke ladang. Motor pun menderu membawa kami menyusuri jalan tanah liat yang tak kalah licin. Saat mau masuk ke arah kebun di mana Hairil memasang jala di salah satu paritnya, anak itu lebih dulu muncul bersama seorang temannya.
“Keno ula,” katanya. Ternyata jalanya dimasuki seekor ular seukuran kaki orang dewasa. Badannya jadi tambah gemuk karena memangsa ikan-ikan di jala. Ular itu sendiri akhirnya tersangkut dan mati. Hairil terpaksa membuang sekalian jalanya, dan tanpa kelihatan kecewa, ia segera meluncur pulang dengan knalpot motor berasap.
Saya dan David melanjutkan perjalanan ke arah Talang Perigi. Di perbatasan, di atas jembatan Sungai Ekok II, kami berhenti. Sisi sungai itu dijadikan tepian mandi oleh masyarakat terdekat. Tapi karena semalam hujan cukup deras, airnya melimpah kuning kecoklatan. Sungai ini akan bergabung dengan anak-anak sungai lain sampai akhirnya masuk Sungai Kuantan atau Indragiri.
Posisi jembatan yang diresmikan tahun 2013 itu lumayan tinggi. Dari sana saya bisa melihat hamparan kebun kelapa sawit seluas mata memandang. Seperti lautan. Hijau tua kemerahan. Mengepung kampung-kampung adat Talang Mamak. Hanya sebagian kecil lahan tampak menyisakan kebun karet.
Setelah memotret menggunakan hp ke arah empat mata angin—dengan pemandangan yang sama; lautan hijau tua—saya lalu googling mencari luasan kebun sawit di Indragiri Hulu. Pusat Statistik Provinsi Riau mencatat luas areal perkebunan sawit Indragiri Hulu tahun 2019 mencapai 118.969, 00 hektar. Bandingkan dengan kebun karet seluas 61.370, hektar. Apalagi kelapa yang hanya 1.828, 00 hektar.
Karena sinyal hilang-timbul, saya tidak sempat menemukan berapa luas kebun sawit di Kecamatan Rakit Kulim. Tapi saya duga pasti sangat luas, jika bukan yang terluas. Dalam kegiatan kemarin, saya sempat mendengar para aktivis menyebut sejumlah nama perusahaan besar yang beroperasi di Rakit Kulim. Mereka disebut kerap terlibat konflik dengan masyarakat adat.
Tak heran, di google dengan gampang terlihat judul-judul berita media online tentang kondisi lapangan. Misalnya lahan warga Desa Pring Jaya yang diduga diserobot perusahaan, sehingga masyarakat balik menangkap karyawan (Riau Madani, 4 Oktober 2016). Atau tentang pengrusakan pondokan petani sawit Desa Talang Tujuh Buah Tangga yang diduga dilakukan pihak perusahaan (Merdeka, 27 Desember 2017). Juga tentang sebuah perusahaan yang ditaksir merugikan negara Rp 12 trilyun karena mengalihfungsikan hutan adat Talang Mamak di Desa Talang Selantai (Berita One, 23 Juli 2022). Dan masih banyak lagi.
Tapi ada juga berita-berita memikat hati seperti petani Talang Mamak yang diajak bikin kelompok tani oleh perusahaan di Petalongan, perusahaan sawit yang membangun jembatan antar desa, perusahaan salurkan CSR ke empat sekolah, hingga PTPN V yang membuka akses jalan penghubung 11 desa.
Bagaimana pun, media adalah arena kontestasi. Saya hanya bisa berbisik dalam hati, semoga saja jurnalis-jurnalis masa kini tetap setia pada hati nurani. Salah satunya menjaga kejujuran membela nasib masyarakat adat menghadapi penyerobotan lahan oleh perusahaan perkebunan.
“Kalau air surut, enak mancing di sini,” suara David yang jernih membasuh pikiran saya. Bila air besar dan deras, kata David, ikan-ikannya ikut hanyut. Bila banjir meluapi kebun sawit, maka ikan-ikan itu akan masuk ke parit-parit kebun. Saat air surut, galur-galur akan terisi ikan puyu, sepat, gabus, limbat dan bakok. Itulah asal-usul ikan di parit. Tapi kata David lagi, tak jarang ikan diberi racun potas oleh mereka yang tak sabar.
“Sekalinya dapat memang banyak, Pak, tapi semua ikan musnah. Harus menunggu lagi musim banjir supaya parit ada ikannya.”
Ya, selalu ada yang dikalahkan lewat kekuasaan jalan pintas, gumam saya.
Dan untuk memintas pikiran berat supaya tak menggencet pagi bening saya di Talang Sungai Parit, maka saya mengingat kenangan manis dengan ikan rawa. Waktu kecil saya senang memancing di sungai kecil dan rawa-rawa kampung saya. Dulu kampung di pantai barat Sumatera itu masih menyisakan rawa dan kebun sagu. Kini, seperti kampung-kampung Talang Mamak yang berubah, lingkungan kampung saya juga berubah. Semua rawa mengeras kering lalu dijadikan lahan membangun rumah.
Karena itulah, setiap kali pergi ke Kalimantan, saya selalu melirik spot mancing ikan rawa, dan bernostalgia dengan ikan aruan, papuyu dan sepat. Dan di Talang Mamak, saya tak mau kehilangan moment yang sama. Maka saya bilang ke David, nanti sore kita harus mancing. David dengan senang hati menyambut, dan segera menyebut nama-nama tempat yang bisa dijajal sebagai spot mancing terbaik. (Dan itulah yang kami lakukan kemudian, meski karena keterbatasan waktu tak sempat ke spot rekomendasi David, tapi mancing di parit dekat rumah cukup melepas klangenan masa kecil).
“Badukun, Turun Tanah”
Pulang ke rumah, saya melihat jejalan sepeda motor parkir di halaman. Selain motor baru, dalam arti terlihat bersih dan tidak dimodifikasi, tak kalah banyak motor tua dengan ban bergerigi besar. Itu artinya, orang yang bekerja di kampung atau kecamatan, serta mereka yang bekerja di ladang, sekarang sama-sama berkumpul di rumah Pak Dukun. Untuk menunaikan acara turun tanah seperti saya dengar kemarin.
Benar saja. Rumah bagian dapur sudah penuh dengan laki-laki yang duduk sambil merokok dan menginang. Di bagian lain ruang itu para perempuan sibuk menyiapkan segala sesuatu. Mereka merebus ramuan dari tumbuhan hutan, dan yang lain membuat wadah dan anyaman untuk badukun. Ruang itu konsisten digunakan sebagai aktivitas umum, mulai menerima tamu hingga berupacara. Sementara ruang rumah utama dibiarkan kosong lapang, sehingga ketika saya masuk dari pintu samping sejenak saya merasa asing, seolah terkepung mata-mata yang serentak menatap dari arah dapur.
Tapi itu tidak lama. Sesuara yang akrab saya dengar menyela di antara tatapan mata,”Ayo makan, Pak, nasinya sudah keburu dingin!” Di tengah rumah, dekat tiang, ternyata telah terhidang nasi dengan sayur-mayur segar seperti kemarin malam. Tampaknya tuan rumah mengerti kesukaan saya.
Dan Pak Dukun masih sempat menyilahkan saya makan sesaat sebelum ia sendiri bersiap-siap menjalankan aktivitasnya badukun. Ia duduk di tengah-tengah hadirin, buka baju saja. Mulutnya komat-kamit bukan mengucap mantra, tapi mengunyah sirih. Di depannya, seorang laki-laki duduk menghadap. Laki-laki itulah yang mulai beraksi menggerakan segala piranti upacara. Menyan dibakar, asapnya diusapkannya ke wajah Pak Dukun. Ia ucap bismillah, setelah itu bercampur mantra-mantra.
Rupanya dalam upacara tersebut Pak Dukun lebih berperan sebagai “medium” bagi arwah si mati. Peran itu, saya ketahui kemudian, jauh lebih berat. Ia ibarat pemimpin upacara, sedangkan pelaksana upacara adalah balian atau kumantan. Laki-laki yang membaca mantra di hadapan Pak Dukun itulah sang Kumantan.
Mantra Pak Kumantan kian “liar”, mulutnya kian cepat berucap. Tangannya menyentuh tiap titik tubuh Pak Dukun, menggarisnya dengan kapur, dan menempelkan anyaman daun rumbai yang dibuat perempuan-perempuan tadi, mulai di kepala, bahu dan dada. Anyaman itu menjuntai berjumbai-jumbai di kening Pak Dukun yang masih terus mengunyah sirih seperti mengunyah permen karet, membuat wajahnya seperti berubah jadi wajah masa silam seolah saya belum mengenalinya sejak semalam.
“Jangan kau foto,” bisik Pak Batin kepada saya yang mendekat tegak di pintu. Tangan saya sebenarnya ingin bergerak memotret agak sepetik dua petik, tapi seolah tahu hasrat saya, Pak Dukun mendelik. “Makan saja sekarang,” katanya.
Seorang laki-laki kurus dengan kepala terikat kain hitam, ikut mengulang,”Ya, makanlah, Bang. Kami semua tadi sudah makan bahidang…”
Saya akhirnya patuh. Lagi pula saya lihat, sejumlah laki-laki sudah mulai beringsut turun jenjang. Yang lain terus berbincang sesamanya. Tentang kebun dan ladang-ladang. Info terbaru perusahaan perkebunan, dan segala macam. Perlahan barisan orang-orang mulai longgar. Bunyi mesin motor ribut di halaman.
Saya tak mengerti mengapa ritual yang saya bayangkan begitu sakral, ternyata berlangsung di antara percakapan dan kepergian orang-orang tanpa perlu pamit pulang. Padahal dalam buku Upacara Tradisional (Upacara Kematian) di Riau susunan Daud Kadir dkk. yang sempat saya scan di perpustakaan Komunitas Suku Seni Pekanbaru, kematian bagi orang Talang Mamak dianggap sangat “menakutkan”. Saya lihat buku itu lagi di hp. Di situ disebutkan kematian adalah kejadian yang tidak baik, bahkan disebut peristiwa sial. Karena itu mereka akan berupacara dengan sangat hikmat supaya roh si mati tidak mengganggu yang tinggal dan selamat ke tempat asal (1985:40).
Apakah ini hanya acara “sampingan” mengingat peristiwa kematian adik ipar Pak Dukun sudah lewat berapa waktu berselang? Atau ini bagian dari perubahan?
Saya tak tahu. Tapi boleh jadi saya telah terperangkap romantisisme yang kadung menganggap segala sesuatu tentang masyarakat adat itu eksotik. Ah, tidak! Sudah lama saya menyadari bahwa anggapan itu tak perlu. Saya teringat puisi yang saya tulis tentang masyarakat Dayak Loksado beberapa waktu lalu. Puisi tersebut justru ingin mengejek sikap orang-orang yang datang bertandang ke Loksado dengan semangat destinasi wisata. Jadi saya paham masyarakat adat tak saatnya lagi dikaitkan dengan eksotisme, sebagaimana kolonial memandang segalanya dari kacamata mooi-indie!
Hanya saja, jujur, sepanjang upacara yang saya lihat barusan, bukankah menyangkut kematian? Kematian, bagi saya, selalu terasa lain: sakral, ngelangut, hikmat. Tapi orang Talang Mamak pasti punya persfektifnya sendiri dengan filsafat dan semesta adat.
“Swalayan Sayur-Mayur” dan “Olang”
Sekarang saya ingin tahu ladang Pak Dukun, dari mana sayuran segar yang saya lahap dengan nikmat, berasal. David segera membawa saya ke sana. Letaknya tak jauh dari rumah, hanya di seberang jalan yang masuk ke arah kebun karet. Ladang sayur itu sendiri bekas ladang karet Pak Dukun yang sudah ditebangi karena harga tak kunjung membaik.
Lahan seluas hampir dua hektar itu semua diisi aneka tanaman sayur, mulai jagung, labu, ketimun, terong tunjuk-terong bulat-terong ungu, singkong berbagai jenis (saya baru lihat ada singkong berdaun keriting), rimbang, cabe, tomat, kecipir, pitula, kacang panjang, pariya, keladi, semua ada. Tak berlebihan ladangnya dikatakan sebagai “swalayan sayur-mayur.”
Menurut David, ladang sayur seluas itu tidak untuk dijual. Buat kebutuhan sehari-hari saja. Kalau ada tetangga atau orang kampung mau, boleh ambil. Dua buah pondok leang-leang berdiri di tengah ladang. Di atas pondok terdapat berbagai bungkus bibit tanaman berupa bebijian yang dikemas kelompok usaha tani atau mungkin hasil kemasan pabrik. Kata David, bapaknya membeli semua itu di Air Molek. Sekalian membeli pupuk dan obat, sebab, lanjut David, pupuk kandang saja kadang tak cukup.
“Kenapa tidak dibuat sendiri, David?”
“Lebih praktis. Dulu bila panen jagung misalnya, berapa tongkol jagung tua digantung di atas tungku dapur sampai siap tanam. Kini sudah jarang. Begitu juga pupuk, dulu dari kotoran lembu dan kambing, sekarang bapak tak sempat lagi membuatnya. Lagi pula, kurang mempan. Tanahnya sudah beda.”
Saya memandang hamparan ladang sambil menyimak jawaban perubahan yang disampaikan David. Di tengah ladang berdiri tiang sutet, dan kabel-kabel besar listrik melintang di atas langit ladang. Serombongan burung bertengger sebagaimana hinggap di ranting. Jadilah pemandangan “arkaik” berbaur dengan “futuristik”—hal-hal yang banyak mewarnai kehidupan orang Talang Mamak sekarang.
Sedang berpikir-pikir demikian, di pondok terjauh terdengar suara tembakan.
“Bedil?” saya kaget.
Lalu disusul suara ribut monyet-monyet menjauh.
“Kena?” saya lanjut bertanya.
David tertawa.
“Itu kakak saya menakut-nakuti monyet dengan bazoka buatan, Pak,” jelas David kemudian. Katanya, bila Doni tidak menyopir truk, ia akan membantu menjaga ladang dari serbuan monyet. Saya mendatangi pondok itu dan melihat bazoka buatan mereka menggunakan paralon diisi spritus. Di pangkalnya dilekatkan sebuah alat pemantik eletrik yang dihubungkan dengan kabel. Bila diisi spritus dan dipantik, akan menimbulkan gema suara, tapi tak ada benda yang keluar sebagai peluru. Semacam tembakan hampa. Saya mencoba, sayang tidak bisa meletus.
Puas berkeliling ladang sayur, saya pamit kepada kakak David yang sedang menonton sebuah acara musik di kanal Youtube. Katanya, sambil menunggui kebun dari usikan monyet, bisa asyik buka Youtube karena sinyal di kebun bagus ketimbang di rumah. O, okelah kalau begitu.
Kami bermaksud kembali ke rumah. Tapi persis di depan rumah Pak Batin, kami berpapasan dengan Ayu. Ia segera mengingatkan janji saya saat di Pekanbaru.
“Jadi Bapak ke huma melihat padi kami?”
Tentu saya ingat janji itu.
“Ayo, sekarang saja, Ayu,” jawab saya menghemat waktu.
Ayu tinggal mengubik Hairil yang sedang menjemur cucian di halaman rumahnya. Mungkin ia mengambil alih tugas keluarga karena ayah-ibunya sibuk membantu acara di rumah Pak Dukun. Anak tiri Pak Batin itu sudah tahu rencana ke huma. Jadi ia pun bersiap naik motor. Di sebuah warung, ia mampiri Harianto. Berombongan kecil, kami berangkat menuju huma yang terletak di luar desa. Memasuki jalan tanah becek berlumpur, hingga motor tak bisa lagi dinaiki. Di batas itulah kami berhenti dan harus berjalan kaki.
Apa yang disebut ladang di sini berbeda dengan ladang di Bukit Barisan, kampung saya. Di tempat saya, ladang berada di atas bukit, penuh pendakian. Ladang Talang Mamak terhampar datar karena memang terletak di hutan gambut. Tapi suasana yang ditimbulkannya sama: kedamaian huma. Angin semilir, suara burung-burung, dan kuik elang yang melayang layah di langit, membuat bayang-bayangnya memanjang menyepuh bubungan pondok yang berdiri kukuh di tengah ladang.
Kulik elang mengingatkan saya pada buku puisi Dheni Kurnia, penyair dan jurnalis kelahiran Air Molek, Olang 2 (Palagan Press, 2016). Buku pemenang utama Anugrah Hari Puisi itu sengaja saya bawa dan kebetulan saya yang mencetaknya dulu di Yogya. Puisi-puisi Bang Dheni dalam Olang bertolak dari kehidupan masyarakat Talang Mamak. Maklum kakekya dari pihak ibu, punya hubungan darah dengan keturunan suku tuha ini.
Dalam masyarakat Talang Mamak, tulisnya di pengantar, olang (elang) merupakan perlambang. Sakral. Tidak boleh dipelihara, diburu, ditangkap apalagi dibunuh. Elang dianggap sebagai perantara pesan kepada yang gaib. Baik ketika melakukan pengobatan maupun ketika menyampaikan pesan kepada roh-roh orang yang sudah mati. Suara kulik elang juga mengandung pertanda.
Melihat sisa hamparan padi huma yang terjepit di tengah kepungan sawit, saya baca sebait sajak Bang Dheni, “Ruh Olang” yang menyayat hati:
Tampek ruh nanlah tobang
Tompek zat nanlah runtuh
Tompek bunian nanlah putus
Ke sarang olang-olang
Padi Ladang, Huma dan Harapan di Pondok Kukuh
Padi ladang milik keluarga Ayu tampak tidak terlalu subur, terutama jika dihubungkan dengan huma tempatnya tumbuh. Bukankah huma diasumsikan berhumus tebal? Tapi lihatlah, batang padi Ayu kurang tinggi. Daunnya agak menguning. Buah-buahnya banyak yang hampa. Menurut Ayu, sejak mereka dilarang membakar lahan, padi ladang jadi berubah kerdil. Biasanya, abu lahan yang dibakar akan menyuburkan tanaman.
“Tapi kami tidak membakar seperti orang buka kebun sawit. Kami punya aturan, dan tak pernah api menjalar memusnahkan hutan,” kata Ayu sungguh-sungguh.
Engkau benar, Ayu. Di kalangan masyarakat peladang, membakar lahan ada cara dan aturan mainnya. Tidak asal bakar, apalagi dengan sikap praktis akan mendapat lahan seluas-luasnya. Peladang terlebih dulu membersihkan sekeliling lahan minimal sejarak satu depa dari belukar atau hutan sekitar. Itu akan menjadi jalur pengaman api untuk tidak menjalar, sekaligus tempat memantau jika angin berhembus kencang.
Saya tahu persis tradisi itu karena ayah saya juga seorang peladang. Di sana. Di kaki Bukit Barisan. Ayah saya biasa membakar hasil tebasan ladangnya, dan abunya dibiarkan sebagai pupuk alami yang menyuburkan tanaman. Tapi di sini, di kaki Bukit Tiga Puluh, sejak para pekebun besar main bakar lahan demi keperluan praktis, yang tertuduh sebagai pembakar hutan dengan kabut asap pekat, adalah petani kecil dengan huma-huma kecil penghidupannya ini.
Lalu dengan konyol dan naif pemerintah mengeluarkan larangan membakar lahan. Beberapa kali terjadi kasus: lantaran membakar hasil tebasan di tengah huma, peladang Talang Mamak ditangkap polisi bahkan ada yang ditahan. Sejak itu mereka takut membakar hasil tebasan, sekalipun berakibat pada pola membuka lahan dan hasil ladang.
“Padahal padi ladang harus tetap ada,” kata Harianto, anak Talang Mamak yang berhasil menamatkan kuliah di Pekanbaru. Bagi komunitas mereka, padi ladang merupakan bahan untuk setiap upacara. Keberadaannya tak bisa digantikan dengan beras dari padi sawah yang banyak dijual di pasar atau toko sembako.
Begitu juga tuduhan sebagai peladang berpindah. Jangan bayangkan mereka membuka hutan seperti pemilik HPH dan HGU yang menghabisi semua pohon dalam waktu singkat. Masyarakat adat Talang Mamak punya aturan berladang dalam siklus yang diatur sepanjang musim, sepanjang masa. Saya teringat cerita Pak Dukun semalam tentang tata cara membuka ladang. Dimulai lebih dulu dengan malambas (menebas). Lalu di situ dipasang limasan dari pelepah pisang.
Setelah tiga hari, wadah yang sudah dimantrai Pak Dukun maupun kumantan itu, akan dilihat kembali. Jika posisinya tertelungkup, berarti tak ada izin dari penunggu hutan. Jika tidak tertelungkup, berarti ada izin. Maka dibolehkan mulai membuka hutan dengan terlebih dulu memperhatikan sembilan malata di langit (hal-hal gaib), sembilan malata di awang-awang (seperti angin, puang, petir), dan sembilan melata di bumi (seperti ular, kerong-kerong, kala, lawa-lawa, selembada, cicak, semut…).
“Huya, huyaa!!” tiba-tiba terdengar suara menggusah dari tengah ladang, dan tali-temali orang-orangan dari jerami serentak bergerak-gerak. Ternyata itu adik perempuan Ayu yang bertugas menjaga padi dari serbuan burung-burung….
Aneh, ingatan saya melayang kepada sebuah sajak pendek kawan seperantauan saya, Riki Dhamparan Putra. Sajak berjudul “Huya” itu sudah sama-sama kami hapal sejak menyusuri malam-malam Kota Denpasar. Rasanya, cocok belaka ketika saya dawamkan di tengah huma orang Talang Mamak.
HUYA
Kami minum darah kami
Didih kerikil pasir di jalan
Nyanyian cinta
Sepanjang jalan nasib
Patuk biji musim
Kami terusir
Terbang cari makna kata
Huya
Kami saksikan
Lumbung demi lumbung punah
Dibakar tangan-tangan waktu
Cukuplah
Kami tak lagi akan minta padamu
Kami makan hati kami
Kami kepalkan
Bagi yang mengais sampah
Di taman-taman negeri
1996
“Burungnya banyak sekali, sebab tinggal ladang kami dan ladang Dita saja yang belum panen,” kata Ayu sambil menunjuk ladang Dita di seberang pondoknya. Hari itu ladang Dita tidak ada yang menjaga, sebab ibunya yang biasa menjaga sedang sibuk membantu acara di rumah Pak Dukun. Dita sendiri pergi menunggui saudara yang sakit yang kemarin sudah ia jenguk. Tapi sesekali adik Ayu ikut menggusah burung-burung ke huma Dita.
Burung-burung pipit pemangsa datang bergerombol setiap saat, dan setiap itu pula adik Ayu menghardik dan mengusirnya. Butuh kesabaran khusus untuk menunggui padi pada masa seperti ini, yang menurut Ayu bisa hampir sebulanan.
Umur padi ladang sejak ditanam dan panen berkisar enam bulan. Sebagaimana saat menanam, saat menuai pun ada upacara dan lelaku khusus yang harus dijalani para peladang. Misalnya, pekerjaan menuai akan dilakukan para perempuan, dan itu tidak boleh bersuara. Jangankan berbincang sesama mereka, bahkan jika ada yang menyapa atau memanggil, tak boleh disahut.
“Sebab boleh jadi yang menyapa itu bukan makhluk seperti kita…”
Saat berbincang di depan pondok, ayah Ayu datang. Saya mengulurkan tangan. Laki-laki penuh keringat itu menjabat tangan saya erat-erat. Betapa hangat. Kemudian ia perintahkan Ayu mengajak kami naik ke pondok. “Buatkan minum,” katanya.
Setelah mencuci kaki di sebuah parit yang dilengkapi dengan titian dan lantai papan, selayaknya tepian mandi, kami semua naik ke pondok bertiang tinggi itu. Pondok kayu berukuran sekitar 6 x 5 meter itu memang kukuh. Punya serambi kecil, ruang tengah dan dapur. Ayu segera menyalakan api di tungku. Sementara saya mengajak Harianto, Hairil dan David, bercerita tentang kehidupan mereka.
Keluarlah semua riwayat, hikayat, silsilah, juga cita-cita dari mulut mereka. Penuh hikmat. Dan lebih dari suara yang begitu fasih merangkai cerita, saya juga melihat banyak kisah terpancar dari mata dan muka yang bersih.
Kemudian seorang gadis yang saya lupa namanya datang menyusul. Ia membawa sekresek kue-kue yang tampaknya sengaja ia beli di warung.
Ketika kopi terhidang, dan anak-anak pun mulai makan kue, saya berkata,”Tulislah apa-apa yang kalian ceritakan itu dalam bentuk cerpen, puisi, novel…”
“Bagaimana caranya, Bapak?” tanya mereka hampir berbarengan.
Saya tersenyum. “Kalian bisa mulai dengan membaca. Buku-buku yang saya bawakan kemarin, semuanya buku cerita dan buku puisi.” Saya memang membawakan mereka sekardus buku dari Yogya dan sudah saya serahkan sewaktu di Pekanbaru.
“Siap, Bapak, tapi kami juga ingin diajari cara menulisnya,” kata Hairil penuh minat. Yang lain terlihat antusias. Saya sesap kopi dengan nikmat.
Rasa lelah terasa sirna. Saya bersyukur telah menjejak tanah orang Talang Mamak, dalam dua makna. Pertama boleh jadi harafiah, di mana telah saya susuri sejumlah tempat dan saya jejaki sebagian kecil jalur hidup mereka. Kedua, segala yang saya dapat di sini menjejak di benak saya sebagai pengalaman berharga dan falsafah yang kaya. Namun saya masih berharap ada makna ketiga: meninggalkan jejak, sekecil apa pun kelak…
“Saya siap mengajari kalian menulis. Akan kita agendakan. Sekarang kalian lanjut dulu menulis hikayat kampung bersama Pak Pinto. Lewat menulis, kita semua akan menorehkan jejak,” saya meyakinkan mereka, dan sebenarnya lebih meyakinkan diri saya sendiri. Karenanya, nada suara saya nyaris tersedak.
Saya lihat wajah semua anak berseri-seri. Seperti bulir padi yang terbit dari batang-batangnya yang kurus di tengah ladang.
“Huyaa!!” adik Ayu berseru lagi. “Huya, huyaaa…!” Tali-temali bergerak. Ia terus berseru. Saya membayangkan gadis belia itu bagai Pak Dukun mengucap mantra-manta yang tak nampak, setia memagar kampung dari serbuan burung-burung liar. Bukan sekedar pipit dari tepi-tepi rimba, melainkan deru mesin-mesin sawit dari pusat-pusat kekuasaan.
Kami pun lalu berteriak bersama-sama,“Huya, huyaa!!”
Begitulah, kami gusah langit Talang Mamak yang masih mendung. Tapi dari balik awan, matahari akan bersinar membuat semuanya kembali cerah. Menumbuhkan harapan. Seperti biji buah labu yang diberikan Pak Dukun ketika saya pamit dari Talang Sungai Parit.
“Dalam buah labu kering ini masih tersimpan biji-bijinya. Pak Raudal bisa mengeluarkannya untuk ditanam di mana saja, sementara buahnya bisa buat wadah tempat air minum, sebagaimana kami memakainya di sini. Air akan menjadi sejuk,” tentu, Pak Dukun tidak sedang membaca mantra, walau ucapannya penuh simbol. Ia menyerahkan labu kering ukuran sedang ke tangan saya. Juga kambuik (tas bulat kecil) dan anyaman tempat tembakau dari daun rumbai yang kuat. Saya menerimanya dengan rasa haru dan terima kasih.
/Talang Sungai Parit-Lemahdadi,
awal tahun 2023 Menja
Tulisan berjudul lengkap Menjejak ke Talang Mamak (Catatan Asa dari Talang Sungai Parit, Desa Adat di Tengah Lautan Sawit) ini merupakan tulisan bagian ke tiga dari tiga edisi yang akan diterbitkan di Langgar.co
Catatan Acara Pembukaan Presentasi Residensi Kecil Tani Jiwo
Siapa yang tidak mengenal dataran tinggi Dieng? Daerah yang terletak di perbatasan Wonosobo dan Bajarnegara tersebut, sering kali dikenal banyak menawarkan panorama keindahan alam dengan hawa dingin yang menusuk tubuh. Sejumlah kolektif anak muda yang tergabung dalam Yayasan Desa Akar Karsa dan Tani Jiwo, melihat Dieng secara berbeda. Melalui program residensi yang dirancang, mereka ingin melihat Dieng dari segala kompleksitas persoalan seperti kerusakan lingkungan, sistem sosial, budaya, ekonomi yang tidak berimbang. Medium residensi mereka pilih, untuk mencoba mengakrabi dan belajar kembali pada alam Dieng yang mereka cintai.
***
Pagi saat langit Yogyakarta masih tampak sendu tertutup mendung (27/01/23), saya berangkat ke Dieng. Sebelum berangkat saya sempat melihat google map yang menunjukkan jarak tempuh dari Yogya sampai Dieng membutuhkan waktu 3 jam 20 menit. Pikir saya, itu waktu yang singkat saat di mana saya terbiasa naik motor 6 jam non stop. Tanpa pikir panjang––dan tentu tidak ada persiapan khusus kecuali jaket dan sarung untuk mengantisipasi cuaca dingin yang katanya tidak ketulungan––saya berangkat sambil membayangkan indahnya pemandangan alam yang akan saya lewati di sepanjang jalan.
Benar saja, baru satu jam perjalanan, kira-kira baru sampai Muntilan Magelang, motor yang saya kendarai tiba-tiba bermasalah. Entah kenapa, saya tidak benar-benar paham. Ada suara keras dari balik mesin pengikat roda belakang. Saya kemudian turun, melihat keseluruhan bagian motor masih utuh tidak hilang sedikitpun. Tetapi saat pedal gas saya putar, motor tetap tidak bisa berjalan. Dengan berat hati, akhirnya mau tidak mau saya mesti dorong motor hingga kira-kira 200 meter. Kebetulan ada orang yang berbaik hati, seorang tukang ojek online mendorong motor saya dan motor ke bengkel tujuan. Tidak begitu lama, 30 menit saya menunggu motor sudah selesai diperbaiki.
“Fanbel e pedot mas, dan reng lakernya remok. Piye arep diganti boten,” ucap Mas Bengkal.
“Gak popo mas, ganti mawon seng penting aman,” tegas saya, sambil melihat uang di dompet yang masih aman.
Selepas semuanya diganti dan motor selesai diperbaiki, perjalanan saya lanjutkan. Sepeda montor terasa lebih enteng dan meyakinkan untuk menembus kabut Dieng. Selepas daerah Temanggung melewati perkebunan teh daerah Tembi, saya mulai sadar peristiwa rusaknya montor saya barusan, bisa jadi bukan suatu yang patut untuk disesalkan. Bahkan dalam kasus yang satu ini, hal itu adalah keberkahan. Pasalnya, dengan medan yang menanjak ekstrem dengan jumlah kelokan yang tidak terhitung lagi jumlahnya, ditambah lebatnya hujan dan minimnya jarak penglihatan karena kabut yang sudah mulai turun, performa motor tampaknya menjadi hal yang utama. Karena tanpa motor yang sehat dan mumpuni, mungkin cerita perjalanan ini tidak akan sampai di hadapan pembaca.
Siang sepanjang perjalanan melintasi pegunungan Sindoro menuju Dieng, saya disambut kabut putih dengan sedikit hujan tipis. Motor saya kendarai pelan, sambil mengamati lebih dekat jajaran gunung dan perbukitan yang dari kejauhan tampak indah, tetapi ketika saya semakin dekat gunung dan bukit itu seperti tidak bernyawa. Warna hijau pucat mungkin tepat untuk menggambarkan jajaran gunung yang tak lagi dipenuhi dengan pohon-pohon besar yang menjadi jantungnya. Entah dibawa kemana pohon-pohon yang memberi nyawa pada lereng dan tebing yang menjulur panjang dan besar seperti siluet itu. Hanya ada ladang-ladang kentang, cabai, dan hamparan luas kebun teh yang membentang di Tembi. Hawa sejuk yang awalnya membawa kedamaian seketika berubah menjadi kegetiran. Hutan beralih menjadi ladang pertanian, rumah-rumah saling ditumpuk berundak hampir tidak beraturan. Seketika saya berpikir, apakah ini yang dimaksud keindahan. Entahlah.
Entah dibawa kemana pohon-pohon yang memberi nyawa pada lereng dan tebing yang menjulur panjang dan besar seperti siluet itu. Hanya ada ladang-ladang kentang, cabai, dan hamparan luas kebun teh yang membentang di Tembi. Hawa sejuk yang awalnya membawa kedamaian seketika berubah menjadi kegetiran. Hutan beralih menjadi ladang pertanian, rumah-rumah saling ditumpuk berundak hampir tidak beraturan. Seketika saya berpikir, apakah ini yang dimaksud keindahan. Entahlah.
Sesampainya di lokasi, acara pembukaan “Presentasi Akhir Residensi Kecil Tani Jiwo” acara ternyata sudah dimulai. Terdengar suara alunan musik gamelan yang mengalun halus nan syahdu dengan syair-syair bernuansa Jawa Islam, saat saya baru saja menginjakkan kaki di Hostel Tani Jiwo di daerah Dieng Kulon (Barat) masuk daerah Banjarnegara. Tetapi saya salah, alunan musik yang saya kira adalah alunan satu set gamelan ternyata tak terlihat di ruang terbuka di lantai tiga tersebut. Rasa penasaran saya semakin bertambah, ketika saya hanya melihat dua orang duduk bersila, satu orang terlihat membaca naskah tembang, satu lainnya tampak membelakangi penonton, entah apa yang dimainkan. Rasa penasaran membuat saya bertanya kepada peserta lainnya. “itu bundengan mas” tutur teman di sebelah saya.
Selepas acara pembukaan selesai, peserta menunggu diarahkan untuk mengikuti tour untuk melihat presentasi 10 karya dari 13 peserta residensi. Namun, tiga peserta diantaranya tidak menampilkan karya di pameran, tetapi mereka membuat acara-acara dalam rangkaian program . Sambil menunggu giliran, saya berkesempatan untuk ngobrol dengan Said pemain bundengan yang sempat membuat saya penasaran tersebut. Said menceritakan bahwa bundengan adalah satu jenis alat musik traditional yang berasal dari Wonosobo. Biasanya musik ini dimainkan ketika berada di ladang di sela-sela mereka bertani. Elemen dan bentuk alat musik ini sangat menarik, terbuat dari bilah bambu yang di rakit melengkung hampir setengah lingkaran. Sekilas alat musik ini mirip seperti tudung atau penutup kepala petani di ladang. Anggapan tersebut tidaklah salah, menurut Said yang juga meneliti alat musik ini, ia menyatakan bahwa alat musik ini awalnya difungsikan sebagai tudung. Warga Diang biasanya menyebutnya kowangan, banyak petani biasa mengenakannya untuk melindungi kepala dari terik dan hujan. Alat musik ini dibuat dengan kerangka berbahan bambu, dan dilapisi pelepah bambu yang sudah kering atau biasa disebut clumpring. Di tengah bagian dalam kemudian ada beberapa senar raket dan beberapa bilah bambu kecil yang diselipkan disela-sela ruas anyaman. Melalui senar dan bilah bambu kecil itulah suara yang menyerupai gamelan ternyata bisa muncul menggema.
Seperti di utarakan Said musik bundengan ini sekarang sudah tidak begitu populer lagi di daerah Dieng. Mungkin hanya beberapa orang tua yang masih bisa memainkan jenis kesenian ini. Dari hal itulah Said sebagai generasi muda yang mencintai kesenian ini, dan juga kebetulan berkesempatan kuliah di ISI Surakarta jurusan etnomusikologi, ia merasa seperti mempunyai tanggung jawab untuk merawat dan berusaha mengilmui kembali kesenian ini agar tidak hilang.
Udara sore dengan hawa dingin Dieng semakin menusuk tulang. Selepas diskusi banyak dengan Said, giliran saya untuk mengikuti tour hasil residensi Tani Jiwa dimulai.
Di Balik Keindahan Alam Dieng
Sebelum mengikuti tour, saya berhenti sejenak. Mencoba membaca catatan kuratorial yang di tulis Rahma Azizah sebagai salah satu fasilitator dalam program residensi ini. Setelah membaca, saya baru bisa memahami bahwa acara pameran hasil residensi ini, ternayata bukanlah hasil yang sehari jadi. Program residensi yang sudah dimulai sejak tahun 2022 ini merupakan usaha dari teman-teman Yayasan Akar Karsa yang diseponsori oleh Tani Jiwo untuk menciptakan ruang dialog dan transfer pengetahuan sekaligus suatu usaha untuk mereproduksi pengetahuan tentang Dieng yang dilakukan oleh 13 residen yang terpilih. Seperti yang di ungkapkan Rahma dalam catatan kuratorialnya, bahwa program ini diperuntukkan untuk mengajak peserta untuk bersama belajar melihat suatu tempat tanpa perlu menggunakan oposisi biner, “the I and the others,” saya dan mereka. Karena kaca mata melihat sesuatu sebagai yang lian, justru menjadikan (masyarakat lokal) hanya menjadi obyek eksotisme belaka. Disebutkan juga bahwa memang selama ini Dieng yang terletak di kawasan dataran tinggi, sering kali dijadikan ruang eskapisme belaka. Dengan hawa sejuk dan pemandangan alam mempesona, tidak jarang menjebak seorang pada satu pemahaman pada “nature is healing.” Tentu pandangan tersebut tidak bisa benar-benar bisa dihindarkan. Sehingga dalam tulisan doni untuk memilah peserta residensi ia juga harus lebih selektif untuk mengantisipasi pandangan eksotisasidesa yang ia tidak harapkan dari program ini.
Doni juga menyebutkan bahwa melalui program residensi ini, diharapkan juga bisa menjadi praktik baru untuk membuka kemungkinan akses pengetahuan lokal yang telah menubuh dari masyarakat Dieng. Karena menurutnya selama ini seperti terbenam dalam hingar-bingar pembangunan pariwisata kawasan Dieng yang semakin pesat. Tidak hanya itu, melalui program ini, Tani Jiwo juga ingin mencoba masuk dalam arena seni kontemporer yang selama ini hanya bergaung di pusat-pusat kota.
Masih dalam catatan Rahma, tema besar “Jiwo-Jiwo Ngendong” dipilih untuk menjadi pengikat narasi dari proses panjang yang dilakukan oleh para peserta residen yang dilakukan hampir selama satu tahun ini di Dieng. Kata ngendong sendiri diambil dari bahasa lokal Dieng yang berarti berkunjung ke rumah seseorang. Ungkapan ini digunakan Rahma untuk menggambarkan praktik yang juga dilakukan oleh peserta residensi selama proses penggalian data. Dalam proses ini peserta melakukan perjalanan dan perjumpaan, menyelami alam berpikir masyarakat Dieng dan tentu melihat kondisi rell geografis dari balik-balik homestay yang mulai menjalar di sepanjang jalan Dieng. Tema ini kemudian menjadi metafora dari ke-13 residen yang telah datang dan tinggal di Dieng. Merekalah, ungkap Rahma, sebagai jiwa-jiwa yang dipertemukan oleh Dieng. Dari proses ngendong ini juga, pada akhirnya mereka (peserta residen) tidak hanya melihat Dieng hanya sebagai ruang stereotipikal yang selalu berkorelasi dengan eksotisasi sebagai kawasan wisata, tetapi lebih jauh dari itu Dieng dapat dilihat sebagai subjek utuh yang mengalami dinamika sosiokultural dan ekologis untuk terus dihidupi dan dimaknai ulang terus menerus. Melalui hal itu juga, dari hasil ngendong yang dilakukan oleh peserta mereka menyaksikan dan menemukan secara langsung persoalan-persoalan mendasar terkait kapitalisasi pertanian yang tidak berkeadilan, eksploitasi penggunaan lahan, dan komersialisasi pariwisata yang menggusur kearifan-kearifan lokal.
Kata ngendong sendiri diambil dari bahasa lokal Dieng yang berarti berkunjung ke rumah seseorang. Ungkapan ini digunakan Rahma untuk menggambarkan praktik yang juga dilakukan oleh peserta residensi selama proses penggalian data. Dalam proses ini peserta melakukan perjalanan dan perjumpaan, menyelami alam berpikir masyarakat Dieng dan tentu melihat kondisi rell geografis dari balik-balik homestay yang mulai menjalar di sepanjang jalan Dieng.
Setelah membaca apa yang di tulis Rahma, kepala saya seperti penuh dengan rasa penasaran, tidak sabar untuk melihat satu persatu hasil dari karya teman-teman peserta residensi ini. Dari lantai tiga kami di ajak ke lantai dua, ada sekitar 6 orang yang tergabung dalam kelompok saya. Doni salah satu panitia dalam acara ini yang berperan sendiri untuk menghantarkan kami untuk melihat satu persatu karya dari peserta.
Ada 9 karya yang dipamerkan dari sembilan individu ataupun kelompok kolektif yang mengikuti residensi dalam presentasi ini. Mereka berasal dari banyak tempat seperti dari Yogyakarta, Bandung, Padang, Surabaya dan beberapa dari daerah sekitar seperti Wonosobo dan Banjarnegara. Menurut penuturan Rahma Azizah salah satu fasilitator dari program residensi ini, ketika program ini di buka awalnya ia tidak mengira ternyata yang mendaftar membludak hingga sampai 90 peserta. Hingga akhirnya, mengingat resource penyelenggara yang tidak besar hanya di pilih 13 peserta saja.
“Waktu pembukaan program ini, saya sempat kaget ternyata peminatnya luar biasa. Tetapi karena panitia dari tim Tani Jiwo kecil, akhirnya kami mengurasi hingga terpilihlah 13 peserta yang sampai tahap akhir di presentasi ini,” ucap perempuan yang berasal dari Solo tersebut.
Rahma juga menambahkan, bentuk program residensi ini merupakan program yang pertama dilakukan. Sebelumnya di tahun 2020, dengan bentuk yang agak berbeda, mereka membuka lokakarya dalam bentuk workshop kepenulisan yang berhasil mengeluarkan buku kompilasi dari beberapa anak muda di sana yang menuliskan kampung halamannya, Dieng Sebelum Matahari Terbit judul bukunya . Dari program itulah kemudian berkembang, mereka membuat Yayasan Desa Akar karsa yang akhirnya di tahun 2022 berkembang membuat program residensi ini.
Soal bagaimana karya 13 peserta tersebut, tentu tidak akan semuanya saya akan ulas dalam catatan pendek ini. Masih ditemani Doni yang dengan sabar menuntun kami menyelami satu persatu karya peserta. Saat tour berlangsung tiba-tiba fokus saya tertuju pada karya salah satu kolektif Bakar Tanah Leb yang menyuguhkan hasil riset mereka terkait tanah-tanah di dataran Dieng. Seperti yang saya pahami saat mereka menjelaskan, bahwa di daerah Dieng ada beberapa jenis tanah yang di dalamnya mempunyai fungsi dan latar historis yang beraneka ragam. Karakteristik jenis tanah tersebut bisa menunjukkan latar peradaban yang ada di Dieng sebelumnya.
Karya dari Gilang Mustofa juga tidak kalah menarik, selama program berlangsung Gilang dengan tekun berusaha mengumpulkan berbagai jenis tumbuhan yang bisa di konsumsi atau yang biasa disebut ramban dari kawasan Dieng. Gilang menemukan banyak jenis tumbuhan yang selama ini pengetahuan atas jenis-jenis tumbuhan tersebut, sudah tidak banyak dimiliki oleh masyarakat setempat. Menariknya beberapa jenis tumbuhan kemudian dibuat sampel yang diawetkan dalam kaca yang di display indah. Selain itu juga disediakan beberapa jenis tumbuhan yang baru saja di petik. Dari berbagai jenis tumbuhan tersebut, kami kemudian dipersilakan untuk mencoba merasakan dengan memakannya.
Proyek Benggala dari Yogyakarta juga menampilkan karya yang tidak kalah atraktif, mereka berusaha menggambarkan fenomena ekologis dari karya instalasi yang mereka tampilkan. Melalui bentuk kendi tembikar yang di isi air, pengunjung dipersilahkan untuk menyiram salah satu wadah yang di sana ada tumbuhan. Menariknya, ketika kita menyiram tumbuhan tersebut kemudian akan muncul efek suara yang menyerupai suara angin dan kegaduhan. Melalui karya tersebut, tangkapan pendek saya, mereka ingin mengingatkan kita soal kekeringan air di daerah Sikunang dan sekaligus untuk merawat alam Dieng yang menurut mereka tidak sedang baik-baik saja.
Tidak terasa tour melihat karya 13 seniman yang terlibat di pameran ini selesai. Kami kemudian dipersilakan untuk naik lagi di lantai tiga. Saya mencoba untuk menyulut rokok barang sebatang, sambil memandang jalinan gunung yang memanjang. Belum genap setengah batang, hawa dingin sudah menembus jaket saya yang tidak terlalu tebal. Saya masuk ke dalam ruangan yang sudah berjajar banyak orang. Salah satu peserta resideni menggelar diskusi menarik menyoal tanaman kentang. Reza Maulana sebagai akademisi jebolan UGM menyatakan bahwa hampir sama seperti yang terjadi di Kabupaten Temanggung dengan persoalan tembakau yang tak kunjung membuat petani sejahtera. Dieng yang terkenal sebagai penghasil kentang terbaik se-pulau Jawa, juga mengalami nasib yang sama. Usaha dengan modal pertanian kentang dengan segala risikonya ternyata tidak berbanding lurus dengan hasil yang didapatkan petani di lapangan. Reza juga jelaskan bahwa alih fungsi lahan besar-besaran di Dieng yang awalnya untuk memacu produktivitas kentang ternyata tidak selaras dengan hasil yang di dapatkan petani. Harga jual kentang di pasaran semakin rendah, dan keuntungan terbanyak bukan di dapatkan oleh petani, tetapi para tengkulak yang sesuka hatinya memainkan harga. Kondisi tersebut memaksa generasi muda dari anak petani untuk beralih ke sektor pariwisata yang hari-hari ini di poles sedemikian rupa di Dieng. Munculnya homestay dan berbagai event pariwisata menjadi fase baru Dieng menuju laju pembangunan yang kencang.
Kondisi seperti itu semakin memperumit persoalan sosial dan ekonomi yang ada di Dieng. Laju modal yang besar ternyata tidak sejalan dengan tumbuhnya pengetahuan atas pentingnya menjaga lingkungan. Sehingga ancaman terhadap krisis lingkungan mulai dari penggundulan hutan yang berakibat longsor dan hilangnya sumber mata air ke depan juga tidak bisa dihindarkan. Seketika perhatian saya tertuju pada bukit tinggi yang dapat saya lihat dari ruangan diskusi di balik jendela-jendela besar di ruangan itu. Saya melihat bukit yang tampak hijau ranum itu, tidak secuilpun ada pohon-pohon besar.
Setelah diskusi, pertunjukan Lengger di malam hari menjadi penutup acara pada hari itu. Pertunjukan yang diadakan di depan, seberang Hostel Tani Jiwo tersebut disambut meriah dan dipadati oleh antusias warga sekitar. Saya tampak khusuk dengan seni tradisi yang baru saya dapati pertama kali ini. Tari yang ditampilkan hampir tidak ada cerita yang menyambungkannya, setidaknya itu yang saya lihat. Hanya ada dua penari Lengger perempuan yang bergantian menari di kelilingi penari laki-laki, yang bahkan ada anak-anak yang silih berganti menari melingkari sang Langger. Terlepas berbagai tantangan dan ancaman material yang ada di Dieng. Melihat antusias warga sekitar atas kesenian tradisi ini, ada sisi lain yang membuat segala persoalan yang dihadapi masyarakat Dieng terasa paradok, atau malah sebaliknya tradisi dengan segala kearifan kolektifnya yang justru membuat mereka bertahan dari ancaman.
Sambil melihat gerak lenggak-lenggok para penari Lengger, kemudian saya merenung panjang bahwa apa yang dilakukan oleh Doni, Rahma, dan segenap tim di belakangnya ternyata tidak hanya sekedar inisiatif eventual belaka. Tetapi lebih dalam dari hal itu, upaya kecil yang mereka dengungkan ternyata adalah wujud kecintaan mereka terhadap alam Dieng dengan segala persoalan dan tantangannya. Dan melalui acara ini, mereka berhasil memantik keresahan untuk menyemai hal baik untuk Dieng ke depan. Semoga.
Di Rumah Pak Dukun
Rumah Pak Dukun paling besar dibanding semua rumah yang saya lihat saat melewati jalan kampung. Terbuat dari kayu kulim (ulin), bertiang setinggi satu meter, menyisakan kolong nyaman bagi anjing, ayam dan hewan piaraan. Sejenak mengingatkan saya pada rumah panjang Dayak, Balai Malaris, di Loksado, Pegunungan Meratus.
Rumah itu terbagi dua. Bagian utama saya perkirakan berukuran 12 meter x 9 meter. Berdinding dan berlantai papan, sudah mengenakan jendela-jendela kaca dengan bingkai polos. Atapnya dari seng. Sedangkan bagian kedua berukuran sekitar 8 meter x 5 meter, merupakan bagian dari dapur, berdinding kulit kayu tarab dan beratap daun rumbia. Bahan-bahan kayu, termasuk kulitnya yang tebal dan kuat, diambil dari pohon-pohon terakhir kawasan Rakit Kulim. Belakangan rumah-rumah berganti tembok-beton sebagaimana jamak kita jumpai di kampung-kampung lain.
Di belakang samping kiri terdapat bangunan lumbung yang semuanya berbahan kayu. Kecuali atapnya yang tidak selengkung tanduk kerbau, bentuk bangunan persis lumbung di Minangkabau dengan ukuran mengecil ke bawah, lazim disebut rangkiang. Rangkiang biasanya didirikan di bagian depan rumah gadang, tapi di Talang Mamak berada di samping belakang. Lebih ke belakang lagi dari lumbung, terdapat kandang kambing Pak Dukun yang sesekali terdengar ramai mengembik.
Padi di lumbung dan ternak di kandang, bukankah cukup bukti untuk menunjukkan kekuatan orang Talang Mamak untuk mandiri?
Begitulah saya mengartikan semua hal yang saya lihat di seputar rumah dan pemukiman Pak Dukun.
Pak Dukun, laki-laki bertubuh gempal dengan air muka yang akrab. Saya taksir usianya belum 60. Ia tersenyum lebar menyambut kami di pintu rumah bagian dapur. Tiga orang anaknya sepantaran Dita dan Ayu ikut duduk menunggu. Hairil Candra, anak Pak Batin, ikut bergabung. Keakraban segera terasa di antara kami. Persis keakraban yang saya rasakan saat bertemu Pak Batin dan anak-anak Talang Mamak di Hotel Premiere Pekanbaru tempo hari.
“Beginilah keadaan kami di sini, Pak. Rumah kayu gotong royong, sisa masa lalu,” kata Pak Dukun memperkenalkan “istana”-nya.
“Enak rumah Pak Dukun ini, sejuk,” kata saya tanpa bermaksud berbasa-basi.
Kami dipersilahkan menaiki anak tangga pendek, dan mendapati ruangan berlantai bambu dialasi bentangan tikar rumbai hasil anyaman sendiri. Selain tikar, perempuan-perempuan Talang Mamak juga pandai menganyam rupa-rupa wadah keseharian mulai bakul, tas, ambung, hingga tempat tembakau-sirih-pinang.
Rupanya ruangan bagian dapur inilah yang difungsikan tuan rumah untuk menerima setiap tamu. Baik tamu dari jauh maupun orang sekitar yang datang hendak berobat. Saya duduk menyandar ke dinding kulit pohon tarab yang kuat.
“Di tempat bapak duduk nanko, hampir tiap tahun ada orang partai politik ikut duduk. Terakhir bapak gubernur Riau. Semua menjanjikan perubahan,” kata Pak Dukun dengan nada ironis. Saya merasa tergelitik. Ia lalu membuat sirih, dan menyilahkan saya ikut menginang.
Teringat masa kecil bersama nenek, saya pun mencoba melipat sesirih pinang. Sebenarnya saya ingin sambil bertanya siapa nama Pak Dukun, tapi entah kenapa saya rasa belum saatnya, atau mungkin tak perlu. Sebab dengan panggilan “Pak Dukun” saja sudah cukup mewakili segala hal tentang dirinya.
Sesuai namanya, Pak Dukun berperan mengobati orang sakit dengan menggunakan ramuan daun-daunan: si tawar sidingin dan pucuk kumpai serta tanaman hutan. Namun untuk memetik atau mencarinya, termasuk menyiapkan perlengkapan badukun, Pak Dukun dibantu para bantara. Sepasang bantara laki-laki dan sepasang bantara perempuan.
Dukun memang menjadi bagian penting dari struktur masyarakat adat Talang Mamak, selain batin dan balian atau lazim disebut kumantan. Kalau Pak Batin berperan sebagai katuha atau pemimpin adat, maka dukun dan balian sama-sama mengobati penyakit dan memimpin ritual. Bedanya, dukun lebih menangani hal-hal tak kasat mata, seperti ilmu gaib, gangguan roh atau menjinakkan harimau. Sedangkan balian mengobati penyakit fisik seperti luka atau patah tulang.
“Istilahnya, kumantan untuk berobat tangga di atas, dukun tangga di bawah,” jelas Pak Dukun. Karena itulah, di ruangan tempat kami duduk, ada sebuah bilik kecil berdinding kulit kayu tempat menyimpan benda-benda keramat milik Pak Dukun.
“Dulu, ketika hutan kami masih ada, harimau yang tersesat masuk kampung atau mengganggu orang berhuma, tugas aku mengurus,” kata Pak Dukun dengan bahasa Minangkabau campur bahasa Melayu, namun dengan logat yang khas.
Sebagaimana bahasanya yang khas, orang Talang Mamak juga punya hubungan khas dengan si raja hutan. Mereka tidak saling bermusuhan. Tak ada harimau yang dibunuh, tak ada manusia yang terbunuh. Justru itulah peran sentral Pak Dukun; menjinakkan harimau dengan semangat persahabatan. Hal ini mengingatkan saya pada cerita-cerita masa kecil dulu di kampung, yakni tentang manusia harimau atau cendaku, harimau jadi-jadian. Ia akan beraksi bila ada tindak kejahatan di kampung. Tapi di kampungku, pantai barat Sumatera, cendaku dipercaya berasal dari pedalaman Jambi.
“Sebenarnya, cendaku itu merujuk Sungai Batang Cenaku, daerah pemukiman Talang Mamak arah perbatasan Jambi. Masyarakatnya memang akrab dengan harimau, habitat asli Bukit Tiga Puluh,” saya teringat cerita Sanak Andiko Sutan Mancayo kemarin di Pekanbaru.
“Segalanya Berantakan”
Peran sentral dukun sebagai penetralisir jagad kosmos dan jagad hayati, membuat keberadaannya sangat dihormati. Apalagi dukun merupakan jabatan turun-temurun dengan ilmu warisan yang tidak semua keluarga memilikinya. Meski tentu mutlak legitimasi adat dan masyarakat. Karenanya, meski Pak Dukun mewarisi profesi dukun dari sang ayah dan ayahnya dari kakeknya dan begitu seterusnya, tapi harus ditahbiskan lewat upacara khusus.
“Saya ini orang tidak sekolah. Kebanyakan kami di sini begitulah adanya. Mungkin karena itu perusahaan sawit bersilintas angan kepada kami. Semua hutan tempat kami berhuma, bahkan ladang karet kami, habis diambil perusahaan dan ditanami sawit. Atas nama HGU,” Pak Dukun menerawang.
HGU adalah Hak Guna Usaha, izin konsesi pengolahan lahan yang diberikan pemerintah kepada perusahaan kelapa sawit. Semacam HPH (Hak Penguasaan Hutan) pada masa Orde Baru yang menghabiskan jutaan hektar hutan dari Sumatera hingga Papua. Hal sama terulang lewat HGU. Berkat surat sakti itu, sejumlah perusahaan perkebunan besar milik swasta bersimaharajalela membuka kebun tanpa batas. Keanekaragaman hayati di planet bumi mereka buat homogen dengan satu jenis tanaman saja.
Pak Dukun menyepuh mulutnya dengan punggung tangan, mulut yang terpercik air sirih. Ia kemudian mengganti sirih dengan menyulut sebatang rokok. Setelah isapan pertama, sembari menghembuskan asap tipis di udara, ia mulai menceritakan nasibnya sendiri berhadapan dengan pemegang HGU.
“Kebun karet saya habis dibabat perusahaan,” katanya dengan nada tertahan.
Sebanyak empat hektar kebun karet Pak Dukun ludes nyaris dalam sehari ditebangi mesin-mesin raksasa perusahaan. Ia yang hari itu tidak ke kebun, diberi tahu oleh peladang lain, dan saat bergegas datang dia hanya menemui batang-batang karet kesayangannya sudah rebah terhumbalang.
“Itu ditebangi tanpa ganti rugi, Pak?” saya bertanya polos.
“Macam mano nak ganti rugi, izin pun dio tidak, Pak,” kata Pak Dukun seolah tersedak. “Karena aku marah, besoknya aku dipanggil ke kantor perusahaan dan diberi uang empat juta. Kalau itu ganti rugi, ya, rugi aku, Pak!”
Pak Dukun mengaku tak tahu dari mana perusahaan itu muncul, tahu-tahu sudah menerabas hutan di sekitar Talang Sungai Limau, Talang Sungai Parit dan kampung-kampung sekitar. Mulanya perusahaan membuka kebun di kawasan Seberida yang masih jauh dari Talang Parit. Tapi pelan dan pasti merangsek ke kawasan Rakit Kulim. Padahal jika dilihat di peta Indragiri Hulu, Rakit Kulim terletak di kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Tapi entah bagaimana ceritanya kebun sawit milik sejumlah perusahaan leluasa membuka lahan di kawasan yang dilindungi. Ini mengingatkan saya pada Taman Nasional Tessa Nilo di Pelalawan yang juga beririsan dengan hutan tanaman industri.
Anak-anak seusia Dita dan Ayu lebih tak mengerti perubahan alam mereka. Dalam separoh usia mereka, tiba-tiba mereka telah menjumpai saja sawit tumbuh di mana-mana.
“Dulu kami tinggal di Sungai Ekok,” Ayu menyela. “Ayah berladang karet dan membuka huma berladang padi. Pohon-pohon kulim, tarab, sialang, pulai hingga enau dan nibung rapat mengepung kampung. Sungai juga jernih, banyak ikannya. Ada sebuah danau kecil di sana, selalu berair sepanjang musim,” mata Ayu berbinar-binar menuturkan cerita dalam bahasa yang indah. Pasti ia terbayang masa kecilnya yang tak kalah indah.
Tapi kemudian mata Ayu berubah memendam amarah. Suatu hari sepulang sekolah, katanya, ia lihat hutan di sekitar kampungnya habis ditebangi. Ia melihat ayahnya panik. Dan ibunya menangis di sudut rumah. Ayu yang lelah berjalan kaki dari sekolah hanya diam memeluk ibunya, tidak mengerti apa yang terjadi. Ia pikir, besok ayahnya masih bisa menyadap karet, dan ibunya menggara burung-burung di huma.
Untuk beberapa hari ke depan, ayah dan ibunya, sebagaimana keluarga peladang lain, memang masih bisa bekerja di lahan mereka. Tapi setelah beberapa waktu segalanya berubah. Air mulai keruh, lantas mengering. Hutan berganti hamparan tanah terbuka dan segera ditanami anakan sawit. Cuaca terasa panas. Hidup setiap keluarga menjadi sulit. Seolah tak ada lagi masa depan.
“Untunglah kami masih punya lahan di Talang Parit sini. Ayah mengajak kami pindah, dan tinggallah ladang kenangan kami, dirajam sawit,” mata Ayu kini berkaca-kaca. Kami semua hening sejenak.
“Segalanya rusak, Pak!” suara Pak Dukun menyentak kami. Seketika saya teringat novel pascakolonial Chinua Achebe, Segalanya Berantakan. Apa yang dialami orang Ibo di Afrika, sebagaimana diceritakan Chinua, juga dialami orang Talang Mamak di Sumatera sebagaimana diceritakan Pak Dukun dan Ayu.
“Hidup kami jadi susah,” Pak Dukun mulai lagi. “Banyak warga kami sudah tak punya lahan. Ada yang diambil perusahaan, atau tak ada lagi hutan yang hendak dibuka. Sebagian terpaksa menjual lahannya untuk memenuhi kebutuhan hidup.”
Pak Dukun menggambarkan keterpaksaan itu lewat sosok perempuan-perempuan perkasa Talang Mamak. Mereka terpaksa harus ikut mendodos ke kebun PTPN. Padahal upahnya tak masuk akal. Bayangkan, sekarung goni besar buah sawit hanya dihargai Rp. 6000. “Untuk dapat uang Rp. 30.000 sehari berapa goni kami nak dodos?”ucapan Pak Dukun itu bergema di rongga telinga saya.
Mendodos adalah proses menjuluk buah sawit dengan galah besi. Jika tidak pandai, buah sawit bisa-bisa jatuh menimpa si tukang dodos. Masih untung kalau pohon sawitnya masih rendah. Kelapa sawit PTPN V yang ditanam sejak tahun 1991 itu sudah terbilang tua sehingga pohon-pohonnya tinggi. Kesulitan itu dihadapi orang Talang Mamak yang tak punya pilihan. Tak terkecuali para perempuannya. Seorang di antaranya adalah perempuan remaja yang ikut kelas latihan menulis dengan Pinto Anugrah.
Pak Dukun boleh dikatakan cukup beruntung. Sebagai tokoh masyarakat, ia akhirnya ditawari bekerja di salah satu perusahaan perkebunan sebagai tenaga security. Ia mengaku terpaksa menerimanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun itu pun hanya status kontrak, karena untuk bekerja tetap harus ada ijazah. Sementara Pak Dukun, jangankan ijazah, baca tulis saja susah. Sampai suatu hari, sebagai security ia sempat melihat peta HGU perusahaan. Ia melihat ada bagian ditandai warna hijau, dan ia bertanya kepada rekannya yang paham apa maksudnya.
“Itu ternyata kawasan yang diperuntukkan buat masyarakat, kebun plasma. Namun itu sering tidak dipatuhi perusahaan. Mereka tetap menanam kawasan itu, dan jika tak ada gugatan, maka warna hijau itu bisa saja lanjut dikuasai perusahaan.”
Melihat itu, Pak Dukun berpikir, kalau begitu aku harus menguasai lahan itu sebelum didiamkan, tekadnya. Maka ia kumpulkan beberapa orang kampung, lalu lahan itu mereka kuasai. Setiap karyawan perkebunan masuk mereka usir dan lawan. Lahan yang baru ditanami sawit itu lalu mereka bagi-bagi. Luas totalnya ada 16 hektar.
“Itu cara saya melawan, Pak, karena itu hak kami,” kata Pak Dukun berani.
Saat bercerita demikian, Pak Batin Irasan datang. Rumahnya hanya bersebelahan dengan rumah Pak Dukun, sebuah rumah semi permanen yang lebih kecil. Dia hanya menengok kami sebentar, kemudian pamit dan berjanji akan datang lagi nanti malam. Seiring dengan itu, Pinto dan sopir kami pun pamit ke Air Molek. Diikuti Ayu, Dita dan Hairil yang juga pamit. Tinggallah saya bersama Pak Dukun dan keluarganya.
Di luar, gelap mulai menyungkup perkampungan. Serangga malam mulai mengatur konser dengan nada kodratinya masing-masing. Ramai yang terasa senyap.
“Mengaji” di Rumah Pak Dukun
Istri Pak Dukun sudah menyalakan lampu teplok yang terbuat dari kaleng minuman ringan. Ia berseru meminta David, anak lelaki bungsunya, untuk membawakan lampu itu ke hadapan saya dan Pak Dukun yang masih duduk berhadap-hadapan. Selintas persis orang sedang mengaji. Saya yang dimasa kecil duduk menghadap guru dengan lidi di tangan, kini menghadap seseorang yang juga tak ubahnya seorang guru dengan rokok di jari. Ia beri saya tunjuk-ajar, cerita dan falsafah nenek moyang.
Sebuah bola listrik sebenarnya menyala cukup terang di ruang dapur, dan sebuah lagi di tengah rumah, tapi lampu minyak buatan ini tetap sengaja dinyalakan.
“Listrik sering mati. Lebih baik sedia pelita sebelum gelap,” kata Pak Dukun sambil menerima lampu teplok yang diulurkan David.
“Masih gampang dapat minyak tanah di sini, Pak?” tanya saya, sambil mengingat kehidupan di kampung dulu. Listrik baru masuk kampung saya ketika saya sudah SMA. Sebelumnya, sejak terpancar ke dunia, keluarga saya dan keluarga lain di kampung memakai lampu teplok minyak tanah yang dibuat dari kaleng-kaleng bekas. Hanya surau dan lapau yang punya lampu stronkeng, menguapkan aroma spirtus, dan setiap kali dipompa akan bertambah terang berdengking.
“Ini pakai solar. Aman. Jangan pakai bensin, apinya bisa menjalar.”
Untuk pertama kali saya tahu bahwa solar juga bisa dijadikan bahan bakar lampu teplok. Saya kira karena Riau kaya minyak, dan pusat tambangnya tak jauh dari sini, akan gampang dapat minyak tanah. Padahal, saya sadar kemudian, untuk mendapat bahan bakar solar pun masyarakat Riau masih sering antri di POM, sebagaimana saya lihat sepanjang jalan Lintas Sumatera. Segala macam jenis minyak lebih gampang didapatkan di Ibukota, pusat kekuasaan, ketimbang di daerah yang menjadi pusat tambang dan basis kedaulatan.
David ikut duduk bersama kami. Bayang-bayang kami memanjang di dinding kulit kayu, bergoyang ditiup angin lembab yang berhembus di tiap celah. Saya membayangkan bayang-bayang itu seperti mambang hutan memanjati pohon-pohon.
“Si David sudah tak mau sekolah,” Pak Dukun menoleh anaknya.
“Kelas berapa kamu, David?”
“Kelas dua SMP, Pak.”
“Sudah dua kali gurunya mencari ke mari, menanyakan kenapa David tak masuk sekolah. Aku tak tahu apo jawabnyo,” jelas Pak Dukun.
David senyum sumringah. Sikap tak mau sekolah itu bukan perkara baru di sini.
“Sekolahlah lagi, David,” bujuk saya. David hanya mengangguk-angguk.
“Dulu minta motor bebek, kemudian ganti motor sport,” gumam Pak Dukun. Tadi di luar memang saya lihat sebuah motor sport bagus parkir di halaman. “Kebetulan ada masa harga sawit baik, bisa saya belikan motor. Pernah juga dapat penambah beli truk dengan menjual sebidang kebun karet. Dulu ada dua truk. Sekarang tinggal satu. Anak saya Doni yang menyopirinya cari muatan, kadang sampai ke Seberida dan Peranap.”
Istri Pak Dukun memberi isyarat bahwa makan malam sudah siap. Pak Dukun mengajak saya bergeser sejarak dua lembar tikar ke arah tungku. Di sana sudah terhidang nasi kemerahan dari beras ladang yang ditumbuk sendiri dengan alu. Kesannya seperti beras pirang. Kata guru saya di SD dulu, beras seperti itu lebih sehat karena kulit ari padi masih melekat, ketimbang beras putih ngecling yang jadi favorit orang kota, sampai ada berita beras diberi zat pemutih segala.
Ada goreng ikan laut, yang kata Pak Dukun biasa dibawa pedagang ikan dari pesisir, entah pesisir barat atau pesisir timur. Yang menggoda saya adalah goreng ikan air tawar seperti gabus dan sepat yang didapat langsung dengan memancing. Atau memasang bubu dan jala malam hari, diangkat pagi. Tak kalah menakjubkan adalah aneka sayuran rebus dan dibuatkan sambal belacan. Mulai daun pucuk ubi, terong, rimbang, kacang panjang, kecipir dan pariya. Semua itu ditanam sendiri oleh Pak Dukun di kebunnya yang tak jauh dari rumah.
Bayangkanlah betapa “mewah”-nya makan malam kami. Nasi dari beras ladang yang ditumbuk sendiri, aneka sayur yang ditanam sendiri dan ikan air tawar yang ditangkap sendiri. Semua sayur saya coba. Sampai akhirnya saya merasakan rasa pahit yang luar biasa. Saya ternyata telah memakan buah pariya. Saya kira pariya sama dengan pare yang banyak di Jawa, ternyata beda.
“Pare lebih panjang dan besar, tidak terlalu pahit,” kata istri Pak Dukun tersenyum. “Pariya paling besar hanya seempu kaki, panjangnya setelunjuk, tapi lebih pahit…”
Mendengar itu, Pak Dukun yang sudah lebih dulu cuci tangan segera menyambut,”Kalau kutahu periya pahit, tidak kumakan sejak semula, kalau kutahu bercinta pahit tidak kucoba sejak semula,” ia berhenti sebentar. “Kalau sampirannya pare, maka jadinya: kalau kutahu kere itu pahit, kupilih kaya sejak semula,” ia lalu tertawa dengan tubuh terguncang-guncang. Kesan seorang dukun yang biasanya “ngeri-ngeri sedap” sirna berkat kreativitas dan keakrabannya menghidupkan suasana.
Pak Dukun mengingatkan saya pada sosok laki-laki Minang atau Melayu yang gemar berpantun. Memang, masyarakat Talang Mamak memiliki tradisi berpantun dan kefasihan berpetatah-petitih. Banyak tunjuk-ajar adat dan ajaran leluhur disampaikan dalam bentuk bidal, pantun berkait dan berbagai metafor.
Pak Dukun mengenal baik alam tempatnya lahir dan tumbuh. Dari Pak Dukunlah saya tahu bahwa kancil, pelanduk dan nafu itu berbeda. Kancil lebih kecil, beratnya sekitar 3-5 kg saja. Telinga dan taringnya lebih panjang dan warnanya kemerahan. Pelanduk lebih besar, bisa mencapai 7-8 kg warnanya agak kelabu. Nafu paling besar, bisa mencapai 10-15 kg, taringnya pendek dan punya bintik-bintik putih di leher.
“Dan yang paling cerdik memang kancil. Kalau kena jerat, ia akan diam tak bergerak, mulutnya penuh lalat. Saat dilepas karena dikira mati, ia segera bangkit berlari,” Pak Dukun terkekeh.
Saya terbayang cerita-cerita kancil yang cerdik dan lucu. Kadang kelucuannya juga dramatis. Misalnya, bagaimana ia menukar dirinya yang terkurung di kandang peladang dengan seekor anjing. Si kancil membujuk anjing peladang untuk masuk dan membiarkan dirinya pergi. Sebab katanya pesta khusus telah menanti. Di atas rumah, Pak Peladang dan Bu Peladang memang sedang sibuk menyiapkan masak besar. Seekor kancil kena jerat dan kini sudah ada di kandang di kolong rumah. Si anjing malang terpikat. Ketika tiba saat memotong, Pak Peladang ternyata telah memotong anjingnya sendiri.
Pak Dukun juga punya kisah dramatis seperti itu. “Adakalanya kancil menggigit kakinya yang kena jerat. Hingga putus. Maklumlah taringnya tajam, dan tungkainya memang kecil,” sebut Pak Dukun tenang, nyaris dingin.
Ia juga menjelaskan beda kura-kura dengan labi-labi, dan beda lagi dengan bulus. “Apalagi dengan penyu, bedanya jauh. Meski di sini ada Kecamatan Pasir Penyu, padahal jauh dari laut…” Pak Dukun terkekeh lagi. Kreatif, pikirku.
Cerita Pak Dukun tentu berangkat dari pengalamannya berhadapan langsung dengan segala makhluk rimba, sungai atau rawa. Kala itu hutan rimba masih jaya di tangan pemilik tanah ulayat. Sungai dan sumber air masih terawat. Sebelum mesin-mesin perusahaan bagai ulat-ulat ganas merenggut dan menggerogoti pusat semesta mereka.
Tulisan berjudul lengkap Menjejak ke Talang Mamak (Catatan Asa dari Talang Sungai Parit, Desa Adat di Tengah Lautan Sawit) ini merupakan tulisan bagian ke dua, dari tiga edisi yang akan diterbitkan di Langgar.co