Menu

Dari Ritual Kelenteng Sampai Kartu Ramalan Nasib (Mengocok Bentuk Ciam Si karya Tan Lioe Ie)

Kurang lebih seratus tahun setelah Tan Tik Sioe (Mandarin: Cheng De Xiu),[1] seorang pertapa di lereng gunung Wilis menulis Ciam Si[2] dalam bahasa Melayu-Tionghoa (atau Melayu-Pasar)[3], akhirnya kita menemukan lagi “puisi ramalan” yang berasal dari khazanah sastra China ini ditulis dalam bahasa Indonesia oleh penyair Bali, Tan Lioe Ie (Mandarin: Cheng Liu Yi). Ciam Si-Ciam Si karya Tan ini—persisnya berjumlah 46 puisi—terhimpun dalam buku terbarunya, Ciam Si: Puisi-puisi Ramalan (Denpasar: Buku Arti, 2015).

Membaca Ciam Si: Puisi-puisi Ramalan, pertama-tama yang saya temukan adalah seluruh puisi Tan—sebagaimana Ciam Si yang disakralkan di kelenteng—juga tidak diberi judul, tetapi hanya menggunakan nomor dari 1-46 sebagai pengganti judul. Hal ini seyogianya memang sudah menjadi kekhasan Ciam Si yang dikenal oleh masyarakat Tionghoa penganut Tridharma.[4] Dalam prakteknya di berbagai kelenteng, nomor-nomor ini juga tertera pada bilah-bilah bambu kecil dalam tabung (untuk dikocok).

Apakah dengan begitu Tan dapat dikatakan secara taat mengikuti konvensi Ciam Si dalam khazanah tradisi aslinya? Saya kira tidak juga. Sebab apa yang dilakukan oleh Tan melalui puisi-puisinya ini, menurut saya, merupakan sebentuk pengadopsian dan penyesuaian dengan ikhtiar perluasan yang sekaligus menjadi penyangkalan terhadap pakem Ciam Si tradisional.

Tentu, untuk bisa melakukan pengkajian lebih lanjut atas hal ini, terlebih dahulu kita mesti mengetahui apa itu Ciam Si, seperti apa bentuknya, bagaimana sejarahnya, lalu bagaimana puisi jenis ini dipraktekkan di kelenteng-kelenteng sebagai bagian dari ritus tradisi yang terkait dengan ihwal keagamaan China.

***

KATA “Ciam Si” (Qian Shi) terdiri dari dua huruf yakni Ciam (籤) yang berarti tanda atau petunjuk, dan Si (詩) yang berarti puisi.[5] Dengan begitu, Ciam Si dapat diartikan sebagai “Puisi Petunjuk” atau puisi yang isinya dijadikan sebagai “petunjuk” bagi ragam persoalan umat yang datang ke kelenteng untuk memohon “kemurahan hati” para dewata.

Petunjuk-petunjuk yang terkandung dalam Ciam Si ini—yang bisa berupa solusi, nasehat, maupun sekadar ramalan akan kejadian mendatang yang bersifat prediktif—nantinya diharapkan bakal memberi arahan kepada para pemohon atas perkara yang sedang mereka hadapi. Sehingga petunjuk-petunjuk itu pun boleh jadi akan menjadi semacam “jalan alternatif” atau “jawaban kontemplatif-intropektif”, yang dalam situasi tertentu bisa pula diibaratkan sebagai semacam usaha “sedia payung sebelum hujan”.

Tetapi untuk memahami makna yang terkandung dalam teks Ciam Si ini tentunya membutuhkan interpretasi yang tak mudah. Kendati dalam kasus (baca: konteks) di Indonesia, kertas-kertas teks Ciam Si yang tersedia di berbagai kelenteng biasanya menyertakan juga terjemahan puisi-puisi tersebut dalam bahasa Indonesia berikut penafsirannya. Atau, terkadang sejumlah kelenteng hanya menyediakan penafsirannya saja di bawah puisi asli beraksara Hanzi tanpa menyertakan terjemahan.[6]

Hanya saja, menurut pembacaan saya, kerapkali kualitas penerjemahan maupun penafsiran itu agak kasar. Belum lagi sebagian kelenteng masih menggunakan kertas Ciam Si yang terjemahan puisinya ditulis dalam ejaan lama, baik Ejaaan Van Ophuijsen (1901-1947) maupun Ejaan Soewandi (1947-1972). Simaklah terjemahan Ciam Si beserta penafsirannya di bawah ini:

Urusan satu tahun mau bergerak begitu cepat

Baik kau sabar supaya menjadi tepat

Sebab Kwi Jin berada masih 1000 paal punya tempat

Segala warta dan berita perlahan2 bisa juga didapat

ARTINYA INI CIAM SI

Ini waktu keadaannya ada baik mau harap dapat uang enteng. Bersero dagang sedang saja. Mau gerakkan itu pekerjaan kalau keluarnya ini Ciam Si waktu ada waktu rembulan maksudnya kejadian. Barang yang hilang, lekat dapat dicari. Seperti menanya keadaannya itu orang boleh dipakai. Perkara yang menimpa kalau keluarnya ini Ciam Si waktu ada rembulan alamat selesai tidak apa2. Orang yang sakit meski lama tidak apa2. Hal perjodohan tidak bisa jadi. Maksud bepergian biar perlahan. Orang yang berjalan bakal pulang. Perniagaannya menunggu sebulan baru ada itu jalan. Yang hamil selamat saja.[7]

            Terjemahan Ciam Si di atas sebenarnya tak bisa dikatakan buruk, namun masalahnya justru terletak pada teks penafsirannya yang nampaknya merupakan penyalinan ulang dari terjemahan kasar berejaan lama secara asal-asalan.

            Lazimnya untuk memperoleh sebuah Ciam Si di kelenteng, seorang pemohon terlebih dahulu harus menjalankan ritual yang relatif sederhana didahului dengan membakar dupa di hadapan altar dewa sembari mengucapkan niat dalam hati. Rangkaian proses ritualistik untuk memohon petunjuk dewa melalui Ciam Si ini disebut Kiu Ciam (Qiu Qian [求籤]) yang artinya “Memohon Ciam (Petunjuk)”.

 Ada dua cara melakukan Kiu Ciam. Pertama, dengan Chouqian (抽籤) dan yang kedua adalah Yaoqian (搖籤). Perbedaannya adalah jika Chouqian dilakukan dengan cara menarik bilah bambu berisi angka Ciam Si dari dalam tabung, Yaoqian dilakukan dengan mengocok tabung bambu. Dimana nantinya bilah-bilah bambu yang tertarik atau terlempar keluar akan dicocokkan nomornya dengan nomor-nomor puisi yang tersedia.[8]

Sebagai bagian dari tradisi sastra China, puisi Ciam Si tentu saja memiliki sejarah panjang. Menurut Ardian Cangianto misalnya, cikal-bakal Ciam Si sebagai tradisi ramalan sudah ada sejak Dinasti Zhou (1046-256 SM), dimana pada mulanya ia berasal dari metode Yizhan yang menggunakan batang rumput sebagai media.

Sebagai bagian dari tradisi sastra China, puisi Ciam Si tentu saja memiliki sejarah panjang. Menurut Ardian Cangianto misalnya, cikal-bakal Ciam Si sebagai tradisi ramalan sudah ada sejak Dinasti Zhou (1046-256 SM), dimana pada mulanya ia berasal dari metode Yizhan yang menggunakan batang rumput sebagai media.

Metode ini lantas berkembang seiring waktu karena adanya kebutuhan akan ramalan atas nasib kerajaan, misalnya seni ramalan Qinchen (秦讖) yang terkemuka pada era Dinasti Qin Mugong (659-621 SM). Kemudian sejak awal Dinasti Han berkembang pula ramalan berdasarkan kitab-kitab klasik yang dikenal sebagai Chenwei (讖緯), yang mana selain memakai puisi, ramalan jenis ini juga memakai gambar diagram. Dan salah satu di antaranya yang paling terkemuka adalah Tuibei Tu (推背圖) atau “Gambar Menggosok Punggung” yang ditulis oleh Yuan Tiangang dan Li Chunfeng (602-670) pada Dinasti Tang.[9] Ramalan-ramalan berbentuk puisi banyak dihasilkan pada masa-masa ini dan setelahnya, terutama pada periode Dinasti Ming oleh peramal mashyur China yang keakuratan ramalannya dianggap setara dengan Nostradamus dan Malachi, yakni Liu Bowen (劉伯溫) (1311-1375) [10] dengan karya terkenalnya, “Shaobing Ge” (燒餅歌) atau “Nyanyian Memanggang Kue”.[11]

Selanjutnya pada masa Dinasti Han, beredar pula kitab “Lingqi Jing” (靈棋經) atau “Metode Catur Ruh” karya Dongfang Shuo yang dianggap sebagai salah satu peletak dasar metode Ciam Si seperti yang digunakan di kelenteng saat ini.[12]

Sementara itu sumber lain menyebutkan bahwa tradisi Ciam Si sesungguhnya berasal dari metode ramalan I Ching. Karena itu, teknik ramalan Ciam Si dilihat pula sebagai penyederhanaan dari teknik ramalan I Ching, yakni salah satu metode ramalan kuno yang bersumber kepada ajaran Taoisme.

Sebagaimana diungkapkan Zainab Nur Hidayah dalam kajian skripsinya “Ciam Si di Klenteng Dewa Kwan Im Gunung Kawi Kabupaten Malang Jawa Timur”: Metode I Ching ini menggunakan enam koin yang masing-masing dilemparkan untuk selanjutnya disusun berurutan secara vertikal sehingga membentuk hexagram. Karena rumitnya teknik meramal I Ching ini, para ahli ramal di Cina pun kemudian menyederhanakannya dengan pemakaian puisi-puisi yang berasal dari kisah-kisah klasik.[13]

Siapakah yang menerjemahkan Ciam Si di berbagai kelenteng dari bahasa China ke dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia? Ini boleh dibilang tak pernah diketahui seperti halnya para penulis puisi-puisinya. Bahkan sebagian penganut Tridharma percaya bahwa teks-teks Ciam Si tersebut ditulis oleh para dewa sendiri, atau “diilhami” oleh dewa lewat para perantaranya, misalnya melalui ritual Tatung.[14]

Karena itu, penulisan Ciam Si oleh Tan Lioe Ie seperti yang terhimpun dalam buku puisi keduanya ini bagi saya selain merupakan satu gagasan estetik kepenyairan yang kreatif, juga dapat dibaca sebagai sebuah upaya lain untuk memperkaya khazanah perpuisian berbahasa Indonesia.

***

TENTU, sastra modern (berbahasa) Indonesia—seperti halnya sastra modern di belahan dunia manapun—sejak mula dan pada akhirnya adalah ikhtiar pencarian ke wilayah lain yang melampaui sekat-sekat geografis, negara, dan bahasa. Karenanya, karya sastra Indonesia modern tak bisa tidak merupakan upaya-upaya pembacaan ulang dan penyerapan atas bentuk-bentuk tradisi kesusastraan dari berbagai penjuru dunia, dalam hal ini terutama sebagai terusan dari tradisi sastra Barat.

TENTU, sastra modern (berbahasa) Indonesia—seperti halnya sastra modern di belahan dunia manapun—sejak mula dan pada akhirnya adalah ikhtiar pencarian ke wilayah lain yang melampaui sekat-sekat geografis, negara, dan bahasa.

Dengan demikian, sastra Indonesia boleh dikatakan sebagai perkawinan antara bentuk asing dan tema lokal, sembari sesekali para sastrawan kita dalam pengumulan estetiknya mencoba pula menoleh ke arah bentuk (yang diyakini) lokal, kepada apa yang disebut para antropolog sebagai “sastra lisan”.

Artinya dalam hal ini, sastra Indonesia bukanlah sesuatu yang hanya tumbuh bercecabang dari “akar tradisi” sendiri atau hasil menimba dari “sumur asli”; tetapi sejak awal merupakan kerja pengadopsian dan pengadaptasian atas ragam bentuk tradisi sastra dari khazanah kebudayaan lain, yang mana kemudian ia sekaligus menjadi semacam “pengkhianatan” terhadap konvensi tradisi-tradisi tersebut.

Bahkan apabila kita berpaling kembali sejenak kepada tradisi Pujangga Lama dalam sejarah sastra Melayu pra-Indonesia, dengan mudah kita pun bisa menemukan bagaimana usaha penyerapan atas tradisi lain itu telah dilakukan oleh para pujangga dalam wujud Syair (Arab), Gurindam (Tamil), Seloka (Sansekerta) maupun bentuk “puisi lama” lainnya seperti Mantra (Hindi), Karmina, dan Talibun yang keotentikan kemelayuannya tak lepas dari diskusi-interogasi dengan banyak khazanah luar—bahkan termasuk di sini Pantun (dari bahasa Minang: Panuntun) yang sudah dianggap sebagai bagian dari khazanah asli Nusantara.[15]

Ya, setiap dari kita yang membaca sejarah sastra Indonesia tentunya bakal menemukan bagaimana seorang Roestam Effendi dan rekan-rekannya ingin melepaskan diri dari kungkungan bentuk tradisional Syair dan Pantun—yakni sebuah kegelisahan akan revolusi “bentuk” dan “jiwa baru” puisi Indonesia (yang nasional sifatnya) untuk memisahkannya dari wawasan puisi (lama) Melayu sebagai pancaran masyarakat pra-Indonesia. Karena itu, meskipun karya-karya Pujangga Lama masih nampak kentara dengan wujud pantun dan syair, Sutan Takdir Alisjahbana dalam esainya “Sajak dan Isinya” sebagai contoh, menunjukkan sikap penolakan terhadap kata-kata klise dan metafora tradisional dalam sajak-sajak generasinya. Seperti dikatakan Dami N. Toda:

[…] wacana estetika perpuisian “kebangkitan puisi Indonesia”, adalah dasar moral perjuangan menuju “identitas” kebudayaan nasional persatuan Indonesia, yang realisasinya dalam puisi berupa pembebasan diri dari bentuk dan isi lama dengan pernyataan “perasaan yang berduyun-duyun keluar sendirinya tiada tertahan, seperti air memancar dari tanah, dan bentuk dan iramanya dari jiwa”.[16]

Namun begitu—meminjam H.B. Jassin—pemaknaan bahasa yang kuat untuk tujuan puitik dalam Angkatan Pujangga Baru sesungguhnya (hanya) berpuncak pada puisi-puisi Amir Hamzah.[17] Dan seturut itu, jauh sebelumnya Chairil Anwar pun berujar dalam esainya yang berjudul “Hoppla!”:

Puncaknya dalam gerakan Pujangga Baru selama 9 tahun adalah Amir Hamzah dengan prosa-prosa lyris, sajak-sajak lepas, 2 ikatan sajak: “Buah Rindu”, “Nyanyian Sunyi”, salinan dari beberapa sastrawan-sastrawan Timur yang ternama, disatukan dalam “Setanggi Timur”. Kata kawan-kawan seangkatannya Amir Hamzah dapat pengaruh dari pujangga-pujangga sufi dan Parsi. Tetapi yang perlu diperhatikan bagi saya ialah, bahwa Amir dalam “Nyanyi Sunyi” dengan murninya menerakan sajak-sajak yang selain oleh “kemerdekaan penyair” memberi gaya baru pada bahasa Indonesia, kalimat-kalimat yang pedat dalam seruannya, tajam dalam kependekannya. Sehingga susunan kata-kata Amir bisa dikatakan destruktif terhadap bahasa lama, tetapi suatu sinar cemerlang untuk gerakan bahasa baru![18]

Chairil benar. Dalam puisi-puisi Amir Hamzah, kita bukan saja menemukan gaya ungkap yang lebih luwes dan bertenaga ketimbang puisi-puisi terdahulu maupun puisi teman-teman seangkatannya, tetapi juga keleluasaannya dalam memungut diksi-diksi baru, misalnya dari bahasa Jawa.

Namun begitu, barulah pada puisi bebas Chairil sendirilah kita kemudian bersua dengan usaha penjelajahan estetik dan penggalian kreatif yang meluas ke seluruh dunia itu. Melalui kerja penerjemahan dan sadurannya, Chairil berkenalan dengan puisi-puisi dari berbagai khazanah, terutama dari puisi-puisi penyair Barat (misalnya Jan Jacob Saluerhoff, Hendrik Marsman, atau Federico Carcia Lorca) dan menimba “ilham” darinya, lalu menulis sajak-sajak bebas yang tidak hanya berkontribusi terhadap masa depan sastra dan bahasa Indonesia tetapi juga sekaligus menjadi ciri khas situasinya: Semangat nasionalisme Indonesia.

Kendati demikian, Chairil juga tak bisa kita katakan membuang segala corak puisi lama begitu saja. Seperti yang dilihat Nirwan Dewanto, “Senja di Pelabuhan Kecil” juga memperluas konsep sampiran dan isi dalam pantun:

[…] bait pertama dan kedua adalah sampiran, dan bait ketiga adalah isi. Kedua bait sampiran tersebut adalah lanskap murni, yang seakan-akan dikatakan oleh orang ketiga. Tetapi sekonyong-konyong orang pertama, si aku, muncul pada bait ketiga, bukan untuk berseru, tetapi bergumam lembut, mengarisbawahi apa yang dinyatakan kalimat pertama dalam sajak itu. Pola sampiran-isi ini muncul kembali dalam kwatrinnya yang lain “Derai-derai Cemara”.[19]

Tentu saja pengolahan kembali Pantun ini kemudian juga kita temukan pada puisi banyak penyair Indonesia lain, mulai dari Sitor Situmorang (dengan contoh penerapan Pantun Berkait dalam puisinya “Lagu Gadis Itali”) sampai Raudal Tanjung Banua yang melakukan reinterpretasi terhadap bentuk sekaligus tema-tema Pantun tradisional.

Sehingga jelas dalam hal ini, sekali lagi, puisi modern Indonesia bukanlah pengukuhan ke dalam, melainkan usaha-usaha pencarian yang tak kunjung usai ke berbagai wilayah lain; berjumpa dan berdialog aktif dengan ragam khazanah asing dan berupaya menundukkannya dengan bahasa Indonesia sebagai medium. Lalu bersamaan dengan itu para penyair kita dalam ikhtiar pencarian estetiknya juga tak canggung melirik kembali ragam gaya ucap perpuisian lama yang membuat sejarah sastra Indonesia menjadi sejarah pengingkaran sekaligus nostalgia.

Dan dengan begitu, sastra Indonesia pun bisa dibilang sebagai “sastra dunia yang ditulis dalam bahasa Indonesia”, tak ubahnya seperti kemeriahan karnaval yang berwarna-warni: Penulisan ulang Soneta dan Balada, penggunaan bentuk Kwatrin, gairah terhadap Haiku Jepang, penyegaran kembali Pantun, kemudian ada Talk-poetry, Puisi Konkrit, puisi-puisi kolase-instalasi surealis ala Afrizalian, hingga upaya Tan Lioe Ie menghidupkan Ciam Si dalam sastra (berbahasa) Indonesia.

***

YA, lewat buku kumpulan puisi keduanya setelah Malam Cahaya Lampion (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2005) ini, Tan Lioe Ie boleh dikatakan dengan penuh kesadaran telah mencoba menggali kembali bentuk sastra China klasik dalam medan kepenyairannya di jagat sastra modern berbahasa Indonesia. Hanya saja sebagai keturunan Tionghoa, sayangnya Tan tidak menguasai bahasa dan aksara China, sehingga dalam riset-risetnya ia terpaksa mengandalkan Ciam Si hasil terjemahan yang terdapat di kelenteng atau menggunakan narasumber translator.[20]

Hanya saja sebagai keturunan Tionghoa, sayangnya Tan tidak menguasai bahasa dan aksara China, sehingga dalam riset-risetnya ia terpaksa mengandalkan Ciam Si hasil terjemahan yang terdapat di kelenteng atau menggunakan narasumber translator.

Namun begitu, apakah keterbatasan dalam penguasaan bahasa ini lantas menjadi kendala dan kelemahan Tan dalam menulis Ciam Si? Bisa jadi ya, tetapi bisa juga hal ini malah memberikannya keuntungan tersendiri, dimana dalam konteks tertentu ia justru memiliki keleluasaan dan keluwesan dalam menyerap sekaligus melakukan pengingkaran terhadap konvensi Ciam Si asli berbahasa China. Akibatnya, dalam proses kreatifnya selaku penyair ia pun melahirkan corak baru untuk genre puisi ramalan ini yang bakal menjadi ciri khasnya sendiri.

Lalu, seperti apa persamaan dan perbedaan antara Ciam Si yang ditulis oleh Tan Lioe Ie dengan Ciam Si di kelenteng?

Dari sisi kesamaan, saya kira baik Ciam Si karya Tan maupun Ciam Si di kelenteng sama-sama ditulis sebagai “puisi petunjuk”; yang secara esensial berfungsi untuk meramal atau memberi petunjuk bagi pembacanya. Karena itu, seperti dikatakan Tan sendiri sebagai penutup kata pengantarnya: “Bagi yang hendak “bermain” dengan Ciam Si dalam buku ini, bisa melakukannya dengan membuat nomor undi dari 1 sampai 46. Jawaban dari pertanyaan yang diajukan “pemain” adalah Ciam Si sesuai dengan nomor yang didapat. Boleh juga menggunakan cara lain jika punya.”[21]

Bahkan lebih jauh, setelah terbitnya buku kumpulan Ciam Si ini Tan Lioe Ie juga menerbitkan puisi-puisinya itu dalam bentuk kartu ramalan berjumlah 46 lembar seukuran kartu Tarot yang disebutnya sebagai “Kartu Ciam Si”.[22] Dan untuk memainkannya (seperti petunjuk yang tertera di perangkat kartu), “Seorang pemain harus mengajukan pertanyaan dalam hati, baik tentang kesehatan, bisnis, jodoh, dan lain-lain lalu mengocok kartu-kartu itu dan memilih salah satu kartu. Puisi yang tertera pada kartu itulah yang kemudian menjadi jawaban untuk ditafsirkan.”

Dengan demikian, apabila istilah “sastra terapan” (applied literature) [23] memang dapat digunakan di sini, barangkali puisi-puisi yang ditulis oleh Tan Lioe Ie ini—seperti juga Ciam Si yang digunakan di kelenteng—bisa kita kategorikan sebagai semacam “puisi terapan”. Dimana kata “terapan” yang saya maksudkan di sini adalah bagaimana sebagai karya sastra, Ciam Si memikul fungsi secara praksis sebagai medium untuk meramal. Satu hal yang mungkin dapat kita bandingkan dengan fungsi Mantra dalam budaya masyarakat tradisional di Nusantara (juga di sejumlah wilayah Asia lainnya). Hanya saja, jika Ciam Si di kelenteng—sebagaimana kedudukan Mantra dalam masyarakat tradisional Nusantara—merupakan teks yang disakralkan, tidak demikian halnya dengan Ciam Si karya Tan Lioe Ie,[24] yang seperti kata Tan sendiri: […] “bisa/boleh “dimainkan” oleh siapa pun yang berminat, tak peduli apa pun agama/keyakinannya [dan] tentu juga diperkenankan mendekatinya sebagai “penikmat” puisi semata.[25]

Seperti apa perbedaan antara Ciam Si karya Tan dengan Ciam Si-Ciam Si di kelenteng? 

Secara umum, saya kira Ciam Si yang ditulis oleh Tan ini apabila kita bandingkan dengan terjemahan Ciam Si dalam bahasa Indonesia di berbagai kelenteng tidaklah terdapat banyak perbedaan. Hanya saja Tan mencoba menerapkan sejumlah permainan kreatif baru terhadap pakem Ciam Si, misalnya Ciam Si No. 1 dan No. 46 yang hanya terdiri dari satu baris, yang mana mengingatkan kita kepada puisi Sitor Situmorang, “Malam Lebaran”.

Berbagi cahaya

(Tan Lioe Ie, 1, Ciam Si: Puisi-puisi Ramalan)

Tertawa

(Tan Lioe Ie, 46, Ciam Si: Puisi-puisi Ramalan)

Namun selebihnya Ciam Si karya Tan Lioe Ie tetaplah mempertahankan konvensi 4 baris dengan bentuk yang lebih bebas. Puisi-puisi Tan ini umumnya juga tak terikat dengan permainan rima seperti halnya Ciam Si dalam bahasa China, dengan pengecualian Ciam Si No. 29 dan No. 31 yang berakhir a-a-a-a, serta No. 33 yang berima a-b-a-b. Sementara itu, sebagian terjemahan Ciam Si yang beredar di kelenteng nampaknya berusaha mengadopsi permainan rima ala Pantun Melayu sebagai bagian dari kreativitas kerja penerjemahannya. Simaklah kutipan-kutipan yang saya sertakan di bawah ini sebagai contoh:

Kuda api menderap ke timur

Melintasi padang rumput subur

Pangeran angin menghalau awan dan kabut

Matahari kekasih bulan leluasa berbagi senyum

(Tan Lioe Ie, 24, Ciam Si: Puisi-puisi Ramalan)

Angin dan gelombangnya sungai Tiang Kang berangsur teduh

Ada waktu pelayaran maju dan selamat bakal meneduh.

Kui Jin itu orang mulia akan datang kudu

Suatu perkara bakal terlepas dari pengadu.

(Ciam Si No. 12, Kelenteng Tien Kok Sie, Pasar Gede, Solo)

Bandingkan pula dengan Ciam Si karya Tan Tik Sioe yang asli ditulis dalam bahasa Melayu dengan ejaan lama berikut ini:

Ladjoe poen ladjoe perahoe ladjoe

Ladjoenja tjepet mengedjar gloembang

Toedjoe manoedjoe ka depan madjoe

Madjoenja tjepet sebagi koembang.

(Tan Tik Sioe, Biografi Rama Moorti Tan Tik Sioe Sien)

Adapun contoh Ciam Si dalam bahasa China (Mandarin) yang seyogianya juga tidak terikat pada rima adalah sebagai berikut:

乘馬去長安         [Cheng ma qu Chang’An

看花花 正發        Kan hua hua zheng fa

一日雨來淋         Yi ri yu lai lin

香色盡凋零[26]      Xiang se jin diao ling]

Lalu, di manakah letak “pemberontakan” Tan Lioe Ie terhadap konvensi Ciam Si?

Meskipun pada sebagian puisinya dalam buku ini Tan bisa dikatakan mencoba menaati kaidah Ciam Si sesuai dengan tradisi aslinya, misalnya dalam hal jumlah kata per baris yang mesti sama seluruhnya, tetapi ia mencoba mengingkari ketentuan “kata yang umumnya berjumlah ganjil” (3, 5, atau 7). Hal ini bisa kita temukan pada Ciam Si karyanya dari No.2 sampai No.23 yang merupakan puisi 4 baris dengan jumlah kata per baris sama tetapi sebagian berjumlah genap (4 atau 6). Selain itu juga terdapat Ciam Si Tan Lioe Ie yang jumlah kata per barisnya tak seluruhnya sama (dari No.24 sampai 45). Tentu saja, Ciam Si satu baris pada No. 1 dan No.46 di sini dapat juga kita katakan sebagai pembangkangan ekstrim Tan Lioe Ie terhadap konvensi Ciam Si.

            Sehingga dengan begitu, kendati secara umum masih menuruti konvensi 4 baris, Ciam SiCiam Si Tan Lioe Ie dalam hal ini barangkali dapat kita kategorikan sebagai puisi bebas. Dimana dalam kenakalan kreatifnya, ia juga mempertimbangkan “hukum sebab akibat” antara dua bait pertama dan dua bait terakhir yang bukan pola sampiran-isi:

Di bumi dewi air menari riang

Kumbang bunga mendengung merdu

Di langit dewa emas tersenyum

Awan gelap berlalu sudah

(Tan Lioe Ie, 32, Ciam Si: Puisi-puisi Ramalan)

            Sementara itu Ciam Si yang terdapat di kelenteng—seturut pengamatan saya—lazimnya memiliki pola sampiran-isi sebagaimana Pantun, satu hal yang juga mengingatkan saya kepada puisi tradisional terkemuka lainnya dalam khazanah sastra China, yakni Sanko dari kebudayaan suku Hakka.[27] Di bawah ini adalah contoh Sanko berbahasa Hakka dari Pulau Bangka yang ditulis dalam Hanzi:

七仙姑來七姐妹,         [Chit sian ku loi chit ci moi,

七朵蓮花六朵開。         Chit tong lian fa liuk tong khoi.

七朵蓮花開六朵,         Chit tong lian fa khoi liuk tong,

還有一朵等郎來。[28]      Han jiu jit tong then long loi.]

Demikianlah kiranya catatan saya atas puisi-puisi Tan Lioe Ie yang terhimpun dalam kumpulan puisi Ciam Si: Puisi-puisi Ramalan.[]


[1] Tan Tik Sioe dilahirkan di daerah Caniikan, Surabaya pada tanggal Cap Ji Gwee Cap Si (bulan Duabelas hari ke-14) tahun 2434 Kongzi. Atau menurut perhitungan tahun Masehi tanggal 11 Januari 1884. Tan Tik Sioe menguasai bahasa Melayu, Jawa dengan aksara Jawa, China, dan Inggris, semuanya itu adalah hasil ketekunannya belajar sendiri (otodidak), karena ia hanya sempat menempuh pendidikan dasar di sekolah Tiong Hoa Hwee Koan (THHK). Lebih jauh mengenai sosok Tan Tik Sioe, dapat dibaca dalam John Surjadi Hartanto, Biografi Rama Moorti Tan Tik Sioe Sian: Pertapa di Lereng Gunung Wilis (1978).

[2] Tulisan dan ejaan “Ciam Si” seperti ini (sebagaimana yang digunakan oleh Tan Lioe Ie dalam bukunya Ciam Si: Puisi-puisi Ramalan merupakan dialek Hokkien (Fujian) yang ditulis berdasarkan lafal alfabet bahasa Indonesia sesuai EYD.

[3] Bahasa Melayu Tionghoa atau disebut juga sebagai Bahasa Melayu Rendah dan Bahasa Melayu Pasar merupakan bahasa Melayu Pergaulan yang dipergunakan oleh sebagian etnis Tionghoa pada jaman kolonial Belanda (hingga masa-masa awal kemerdekaan Indonesia), termasuk dalam urusan baca-tulis. Penamaan “Bahasa Melayu Rendah” yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda ini tentu saja amat politis, yang mana hal itu dipergunakan untuk membedakan bahasa Melayu sehari-hari tersebut dengan bahasa Melayu yang mereka jadikan sebagai bahasa administratif Pemerintahan Kolonial yakni yang disebut sebagai Bahasa Melayu Tinggi. Bahasa Melayu Tinggi inilah bahasa yang dipakai oleh para pengarang Angkatan Balai Pustaka. Gugatan atas istilah “Bahasa Melayu Rendah” antara lain pernah dilakukan oleh Prof. Liang Liji (Guru Besar Ilmu Sastra Timur di Universitas Peking, RRC) dalam pengantarnya untuk buku antologi Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 3 (KPG, 2001), hlm. xv-xxvi.

[4] Tridharma atau Sam Kau (Mandarin: 三教, Sanjiao) berarti Tiga Agama atau Tiga Ajaran. Istilah ini merujuk kepada tiga ajaran yang menjadi dasar praktek kepercayaan ini, yaitu Taoisme, Konfusianisme, dan Buddhisme. Sebagai agama tradisional masyarakat Tionghoa (Senisme), Tridhama merupakan hasil sinkretisme tiga filsafat (Tao, Konfusianisme, dan Buddhisme) yang memengaruhi kebudayaan China dan sejarah panjang bangsa China sejak 2500 tahun lalu. Istilah “Tridharma” sendiri diciptakan oleh masyarakat Tionghoa Indonesia pada masa Orde Baru setelah praktek adat istiadat China (termasuk ekspresi keagamaan) dilarang oleh Pemerintah Soeharto. Agar kepercayaan tradisi China ini bisa tetap eksis, mereka pun menggolongkan diri sebagai bagian dari agama Buddha. Mengenai Tridhama, antara lain bisa dibaca di https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tridharma, diakses 04/08/2020.

[5] Anonim. “Mengenal Paopoe dan Ciamsi sebagai Sarana Komunikasi” dalam http://tionghoa.info/mengenal-poapoe-dan-ciamsi-sebagai-sarana-komunikasi/, diakses 02/08/2020.

[6] Saya sempat menemukan kertas-kertas Ciam Si di sejumlah kelenteng yang hanya berisi terjemahan kasar puisi tanpa menyertakan teks aslinya dalam Hanzi, antara lain di kelenteng Kwan Ti Miaw, Pangkalpinang, Pulau Bangka.

[7] Puisi Ciam Si beserta penafsirannya ini saya petik dari Chitra Yuanita, “Metodologi Penelitian Kualitatif Motivasi Pengunjung Gunung Kawi untuk Melakukan Ritual Ciam Si” dalam http://chitrayuanita.blogspot.com/2012/06/metodologi-penelitian-kualitatif_13.html?m=1, diakses 04/08/2020.

[8] Lihat Anonim, “Mengenal Paopoe dan Ciamsi sebagai Sarana Komunikasi”.

[9] Ardian Cangianto, “Ciamsie Selayang Pandang” dalam http://www.facebook.com/groups/66553252435/view=permalink&id=10158052857967436, diakses 02/08/2020.

[10]  Tentang Liu Bowen, dapat dilihat di http://en.wikipedia.org/wiki/Liu_Bowen, diakses 15/08/2020.

[11] Mengenai puisi “Shaobing Ge” (燒餅歌) bisa melihat ”燒餅歌” http://zh.wikipedia.org/zh-hant/%E7%87%92%E9%A4%85%E6%AD%8C, diakses 15/08/2020.

[12] Metode peramalan ini jauh lebih sederhana ketimbang metode Yizhan. Caranya adalah dengan menulis huruf 上 (atas), 中 (tengah), 下 (bawah) masing-masing empat buah pada kayu cendana atau kayu zao yang dibuat seperti buah catur pada satu sisi, sementara sisi yang tak ditulis disebut man (鏝) dan memiliki 125 kemungkinan jawaban. Kemudian dadu-dadu ini dikocok dan dibariskan, setelah itu hasil yang keluar dicarikan padanannya pada kitab. Jawaban yang muncul nantinya adalah puisi yang harus ditafsir. Lihat Ardian Cangianto, “Ciamsie Selayang Pandang”.

[13] Zainab Nur Hidayah, “Ciam Si di Klenteng Dewa Kwan Im Gunung Kawi Kabupaten Malang Jawa Timur”, Skripsi (Malang: Program Studi Sastra Cina, Jurusan Bahasa dan Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya, 2017), hlm. 15-16.

[14] Tatung (bahasa China-Hakka): Ritual mengundang para dewa merasuki tubuh dalam tradisi kepercayaan Tionghoa. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Tatung, diakses 07/09/2020.

[15] Dalam esainya “Pantun: Dua Bahasan Kosmologis”, Jakob Sumardjo menulis: “Sudah banyak dikatakan, bahwa pantun adalah puisi asli Indonesia. Meskipun demikian, masih belum ada pendapat yang memuaskan di mana sebenarnya nilai-nilai keasliannya. […] Para sarjana tersebut (Belanda, pen) pada umumnya setuju bahwa pantun adalah puisi asli Indonesia. Tetapi keaslian itu tidak pernah dicari pada latar belakang budaya asli Indonesia. […] Puisi pantun bukan hanya dikenal oleh suku Melayu, tetapi juga dikenal oleh suku-suku lain di Indonesia. Persyaratan formal jenis puisi ini sama di mana-mana, yakni sampiran, isi, dan bersanjak a-b, a-b. Dilihat secara budaya, sebagai way of life suatu masyarakat, maka dapat diduga, bahwa yang mendasarinya adalah substrata budaya Indonesia, bahkan mungkin Asia Tenggara. Karena kategori budaya primordial Indonesia merupakan budaya mistis atau budaya spiritual, maka pemahaman tentang religi asli, mitos, ritual, dan kosmologinya harus ditemukan lebih lanjut. Lihat Jakob Sumardjo, “Pantun: Dua Bahasan Kosmologis” dalam Jurnal Kritik, No.1 Tahun I, 2011, hlm. 8-9.

[16] Dami N. Toda, Hamba-Hamba Kebudayaan (Jakarta: Sinar Harapan), hlm. 66-67.

[17] Ibid.

[18] H.B. Jassin, Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (Jakarta: PT Gunung Agung, 1978), hlm. 143-144.

[19] Nirwan Dewanto, “Gerimis Logam, Mayat Oleander (Perihal Puisi Goenawan Mohamad)”, Paper, diceramahkan di Teater Salihara, Jakarta, 3 Agustus 2011 (Jakarta: Komunitas Salihara, 2011), hlm 17.

[20] Berdasarkan konfirmasi langsung saya dengan Tan Lioe Ie.

[21] Tan Lioe Ie, Ciam Si: Puisi-puisi Ramalan (Denpasar: Buku Arti, 2015), hlm. xiv-xv.

[22] Kartu Ciam Si ini adalah ciptaan Tan Lioe Ie serta merupakan yang pertama dan satu-satunya di dunia.  Karena itu, hak cipta kartu permainan berjenis kartu ramalan ini pun didaftarkan oleh Tan ke Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia dengan nomor pencatatan “000187736” tertanggal 15 Mei 2020 dengan kategori jenis ciptaan “Tafsir”. Informasi ini berdasarkan foto “Surat Pencatatan” yang dikirimkan Tan Lioe Ie kepada penulis.

[23] Lihat Bahram Behin, ”What Is Applied Literature?” dalam The Journal of Applied Linguistics and Applied Literature: Dynamics and Advances, Volume 7, Issue 1, Winter and Spring, 2019, hlm. 21-33.

[24] Lantaran sifatnya yang praksis dan tak terpisahkan dari ritus keagamaan, Ciam Si (seperti yang beredar di kelenteng-kelenteng masa kini) pun kerapkali terabaikan (untuk tidak menggunakan istilah “tersisihkan”) dalam kajian sastra serius dan dianggap sebagai genre sastra populer. Kendati di sisi lain oleh sebagian kalangan, terutama para penggunanya, ia digolongkan sebagai teks sakral.

[25] Tan Lioe Ie, Ciam Si: Puisi-puisi Ramalan, hlm. vi-vii.

[26] Dipetik dari Tan Lioe Ie, Ciam Si: Puisi-puisi Ramalan, hlm iii.

[27] Sanko atau Shange (山歌) secara harfiah berarti Tembang Bukit (Hill Song), sejenis puisi terikat yang dinyanyikan. Ciri khas Sanko mirip dengan Pantun dalam khazanah kesusastraan Melayu. Setiap bait Sanko terdiri dari empat baris dan setiap baris terdiri dari tujuh kata. Seperti halnya Pantun, Sanko juga terdiri dari sampiran dan isi, dimana baris pertama dan kedua adalah sampiran, sementara baris ketiga dan keempat merupakan isi. Bedanya adalah apabila Pantun biasanya berpola a-b-a-b (dan a-a-a-a), Sanko kebanyakan berima a-a-b-a, meskipun dapat juga ditulis dengan pola a-a-a-a. Dari segi ragam jenisnya, Sanko dan Pantun pun memiliki banyak kesamaan. Jika kita cermati isinya, jenis-jenis Sanko antara lain terdiri dari Sanko Muda-Mudi (Percintaan), Sanko Nasehat, Sanko Agama (terkait dengan cerita Dewa-Dewi dan ajaran Senisme), Sanko Kiasan, Sanko Teka-teki, bahkan Sanko Jorok (berisi kata-kata vulgar).

Ada pula jenis Sanko yang dikenal sebagai Ko Fan Ko (過番歌) atau Sanko Merantau (Harfiah: Sanko Menyeberang ke Negeri Barbar). Sanko terakhir ini pada tempo dulu lazimnya ditembangkan oleh para perantau Hakka di dermaga-dermaga sambil menunggu kapal yang bakal mengangkut mereka berlayar ke Nanyang (Nusantara) tiba. Lihat catatan singkat Sunlie Thomas Alexander, “SANKO – 山歌 (2)” di https://www.facebook.com/100005704565841/posts/1946052668928200/. Penjelasan ringkas tentang San Ko ini juga bisa ditemukan di Joe Petersen & Liu Weilin, “San Ko – Syair Hakka yang Sudah Langka” dalam http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/2513-sanko-syair-hakka-yang-sudah-langka, diakses 07/09/2020.

[28] Dipetik dari莎萍, “邦加的客家山歌(二)” dalam http://www.guojiribao.com/shtml/gjrb/20120813/79206.shtml, diakses 07/09/2020.

0
5352
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.