Bisa dikatakan satu tahun terakhir ketika identitas mahasiswa saya sudah memasuki masa-masa terakhir di dalam kampus. Saat itu juga proses pembelajaran di kampus saya sudah selesai, berbagai kegiatan oganisasi juga mengharuskan untuk regenerasi. Saya dihadapkan dengan situasi yang membingungkan sekaligus penuh tantangan, karena saya merasa belum cukup bekal untuk menanggalkan identitas mahasiswa dalam menghadapi kehidupan yang lebih nyata.
Dalam kondisi tersebut saya kemudian mencari gejala apa yang sedang saya dan mungkin banyak anak muda lain juga alami. Pencarian tersebut ternyata mengarahkan saya pada apa yang sering dinamakan oleh anak sekarang dengan quarter life crisis (krisis usia seperempat abad). Yakni gejala psikologi yang sering menimpa anak berusia 20 sampai 30 tahun, seperti rasa khawatir, keraguan, dan kebingungan untuk menentukan tujuan hidup. Banyak ahli menyebutkan, gejala psikologi ini disebabkan dari “diri sendiri” maupun lingkungan sekitar yang masih belum menemukan orientasi dirinya. Hal ini juga terkait erat dengan belum adanya nilai yang diyakini sesuai apa yang diidealkan, maupun banyaknya pilihan sehingga bingung untuk menentukan.
Saya sendiri cukup beruntung karena saya termasuk cepat menyadari adanya gejala normal yang banyak dialami oleh banyak muda tersebut. Tapi ketika dipikirkan lagi apa yang menimpa saya saat itu adalah keberuntungan saya saat ini. Karena justru dengan melalui fase tersebut, meskipun berat, saya jadi belajar banyak hal terkait diri saya dan bagaimana saya ke depannya.
Saat itu yang ada dalam pikian saya adalah kebingungan dan kekhawatiran. Beberapa bulan saya menjalaninya dengan muka tegar, namun jauh di lubuk hati yang terdalam rasa ambyar lah yang sebenarnya terjadi. Sekian bulan saya lalui dengan suasana yang demikian, dengan hanya berkegiatan alakadarnya, berharap rasa tersebut akan hilang sendirinya seiring berjalannya waktu.
Waktu semakin cepat berjalan, tapi rasa itu bukannya semakin hilang justru semakin beranak pinak menjadi rasa-rasa yang lain. Rasa khawatir beranak menjadi rasa hilangnya atas harapan, menjalar kepada akal yang sulit diajak berpikir lebih sistematis, dalam, apalagi kreatif-inovatif yang akhirnya menjadi pikiran yang serba negatif kemudian menjelma nalar yang mengarah pada konfliktual.
Rasa kebingungan ini juga semakin menjadi-jadi, rasa yang sebelumnya hanya akibat dari kurangnya aktifitas, menjalar menjadi kebimbangan dalam menentukan sikap. Dan ketika kebimbangan ini tidak segera menemukan jawaban ia akan mewujud rasa keputusasaan sekaligus gagal move-on dengan keadaan.
Rasa bingung dan khawatir, menurut saya menjadi sumber utama di fase quarter life crisis ini. Tapi, ketika hal ini tidak segera disadari maka ia akan menjadi semakin tidak produktif hingga berlarut-larut. Akibatnya segenap potensi kemanusiaan yang sebenarnya mencapai masa puncaknya di usia muda tersebut hilang begitu saja, tidak pernah terasah dengan maksimal, yang akhirnya mencapai kebekuan yang berkepanjangan.
Mengurai fase ini memang tidak semudah hanya mendaur ulang kata-kata. Ibarat pohon ia sudah ditanam dengan baik setengah jalan dalam masa pertumbuhan. Daunnya sudah mulai lebat, kuncup-kuncup bunganya mulai mekar dan sebentar lagi berbuah. Tapi pada saat yang sama kumbang-kumbang mulai datang, hama mulai mendekat, dan kondisi cuaca juga sangat menentukan. Biasanya pak tani, kemudian menyemai daun, memberi pupuk yang cukup dengan takaran yang tepat, merekayasa sedemikian rupa agar pohon yang ditanam bisa menghasilkan buah yang diharapkan.
Tetapi berbeda halnya dengan manusia meski sama-sama makhluk hidup, yang mempunyai pola pertumbuhan sendiri, sangat dinamis dan tidak mudah ditebak. Selain itu manusia juga bukan objek yang selamanya bisa diintervensi dengan boyek lain di luar dirinya. Kalau pohon membutuhkan sentuhan manusia untuk bisa menyemai, memberi pupuk agar hama (penyakit) menyingkir, sehingga bisa berbuah secara maksimal, manusia dengan segenap potensi yang dimiliki hati, pikiran, kehendak serta pengetahuan seharusnya bisa melalui fase krisis tersebut secara mandiri. Apalagi setelah manusia menempuh pendidikan yang hampir memakan separuh umurnya, dari mulai jenjang sekolah dasar sampai perguruan tinggi, tentunya dengan bekal yang didapatkan ia lebih bisa kuat dan tatag menghadapi persoalan hidupnya.
Namun faktanya tidak demikian. Sejauh pengalaman saya, justru dengan bekal berpengetahuan hasil pendidikan yang ditempuh dengan waktu panjang tersebut, angkatan muda yang tergolong terdidik justru paling rentan mengalamai gejala krisis hidup seperti yang dijelaskan di muka tadi. Apalagi situasi Pandemi seperti sekarang ini, di tengah gerak ekonomi yang melambat sehingga banyak dari kita dihadapkan pada situasi tidak menentu di bawah-bayang resesi ekonomi.
Belum lagi dalam aspek yang lebih luas, lapangan pekerjaan misalnya, antara angkatan kerja yang membeludak dan pangsa pasar yang dibutuhan sama sekali tidak berimbang. Padahal dengan sistem kampus yang orientasinya ke dunia kerja, angkatan muda (mungkin juga termasuk saya) membutuhkan kepastian pekerjaan atau minimal kegiatan produktif setelah fase pendidikan untuk hanya sekadar bertahan hidup, atau terjun merasakan realitas masyarakat yang sebenarnya. Dalam kondisi ketidakpastian itulah, saya kemudian merenung tidak ingin larut dalam persoalan jika terus difikirkan tidak akan pernah ada ujungnya.
Kembali Ke Dalam Diri
Mengamati apa yang sudah dijelaskan di atas, semakin saya ngonceki (mengurai) diri saya sendiri, saya dihadapkan dua pilihan. Pertama bertahan dengan penuh kerapuhan dengan mengikuti arus kecepatan namun luput dari kedalaman, atau kedua berjarak sejenak kembali kepada diri sembari menyiapkan amunisi untuk mencari altertatif baru agar tegak dan tak salah menentukan pilihan.
Untuk kasus saya sendiri, saya lebih memilih mengambil jarak sejenak dengan hiruk pikuk kegiatan saya sebelumnya dengan mencoba kembali ke dalam diri sendiri. Dunia kampus saya tinggalkan, ngopa-ngopi sesekali secukupnya hanya untuk menyambung silaturahmi. Bahkan kegiatan pokok ekonomi yang selama beberapa tahun menjadi kayu bakar kehidupan saya tinggalkan dengan melakukan sekadarnya sebatas cukup untuk bertahan.
Di waktu itulah kemudian saya terpanggil kembali ke dunia saya yang jauh dan sudah lama saya tinggalkan. Dunia kecil di desa yang ternyata setelah saya coba tengok kembali penuh dengan nilai dasar kemanusiaan, norma, etika, dan ajaran yang denyutnya masih ada. Dunia yang kadang kita tak sadar dan tidak tahu lagi bagaimana menggunakan nilai-nilai tersebut di kehidupan nyata.
Menurut pemahaman saya harusnya pengetahuan tradisi ini mestinya masih dapat kita temukan, di setiap sudut masyarakat dimana kita hidup tumbuh dan berkembang. Namun kenyataanya nasib dari tradisi yang saya temukan berbeda-beda di setiap tempat, ada yang masih ada namun kehilangan tujuan, konteks dan relevansinya. Bahkan hilang karena memang sudah tidak mendapatkan ruang di alam berpikir masyarakatnya, atau hanya hadir secara sayup-sayup ketika dibutuhkan. Yang pasti banyak dari nilai-nilai tersebut mengalami dekadensi, sehingga saya sendiri merasa tak sanggup lagi memahami relevansinya di tengah masyarakat kita. Belum lagi membicarakan ketersingkiran diskursus tradisi dalam pendidikan kita, membuat nilai tersebut terkesan berjarak dan jauh dari kehidupan kita hari ini.
Proses untuk menggali dan kembali ke dalam diripun kemudian saya coba mulai. Namun, lagi-lagi saya terbentur pada fakta bahwa pengetahuan modern yang merangsek dalam institusi pendidikan yang telah terlanjur saya cecap dan menubuh dalam struktur kebudayaan kita saat ini, membuat proses penggalian tersebut benar-benar bukan pekerjaan yang mudah bagi saya. Nalar modern telah menjadi seperti kaca mata, bagi sebuah mata yang terlanjur minus, sehingga saya sulit untuk tidak menggunakan kaca mata yang sebenarnya juga membuat mata saya sudah semakin buram.
Hal ini seperti tergambarkan dalam nalar individualisme modern seperti dihadapkan dengan nalar kolektif gotong royong masyarakat kita, nalar liberal dipaksa bersanding dengan pandangan spiritual yang menjadi jantung dari kebudayaan masyarakat Nusantara, dan banyak nilai lain yang memang sebenarnya berbeda namun dipaksa disandingkan dengan tidak sejajar.
Realitas keterbelahan kultural tersebutlah yang menurut saya, pertama kali untuk disadari kemudian diterima dengan lapang dada. Sejak ketemu simpul tersebut, gairah saya semakin menguat untuk mempertemukan nalar pengetahuan tradisi yeng telah ada namun tertimbun di dalam diri, dengan nalar modern baru yang dengan kuat merangsek dari luar tersebut. Terus pertanyaan yang muncul kemudian bagaimana keduanya nalar modern dan tradisi bisa sejajar untuk disandingkan?
Perkenalan dengan Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryamentaram
Uraian saya di atas sebenarnya hanya ingin mengarah kepada Kawruh Jiwa-nya Ki Ageng Suryamentaram, suatu pengetahuan atas jiwa atau rasanya manusia. Yang menurut saya mempunyai ketersambungan akar dalam struktur pandangan masyarakat tradisional Jawa, namun juga bisa sangat masuk dalam logika masyarakat modern.
Kawruh Jiwa sebagai buah pemikiran Ki Ageng Suryamentaram memang tampak asing bagi kita generasi muda millenial saat ini. Pemikiran kawruh jiwa sendiri lahir dalam suasana kolonialisme di awal abad ke-20 puncak dari modernisme Barat. Dimana logika materialisme, empirisme, liberalisme mulai menyebar ke-penjuru dunia termasuk Indonesia, sebagai bangsa jajahannya Belanda. Pada saat itulah putra dari Sultan Yogyakarta ke-VII ini dihadapkan dengan kenyataan mulai merosotnya kehidupan orang-orang istana karena intervensi penjajah Belanda, dan tentu juga meluber ke rakyat secara umum. Rasa rendah diri, mengalah, terjebak sama mitos dan klenik, serta hanyut ke dalam budaya Barat adalah ciri masa penjajahan Belanda saat itu.
Suatu ketika di masa kegelisahannya di dalam istana Ki Ageng berujar “seprana seprene, aku rung pernah kepethuk wong” (selama ini kehidupan Ki Ageng di dalam istana belum pernah melihat/bertemu manusia). Pertanyaan yang nampak sederhana, namun bagi Ki Ageng sangat membuatnya gelisah setiap saat. Hal tersebut dikarenakan kehidupan istana yang ternyata tidak membawa dirinya ketemu dengan hakikat manusia, tetapi malah sebaliknya menjauhkan dirinya dengan hakikat kemanusiaanya. Dari keresahan itulah akhirnya Ki Ageng memutuskan untuk keluar, pergi dari istana, kemudian mengembara untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang telah diajukan. Dengan tekad itu, ia menyamar sebagai rakyat jelata, berkeliling merasakan hidup seperti mereka, menjadi penjual batik dan penggali sumur, dengan harapan apa yang dilakukannya itu, mendapat jawaban atas hakikat manusia yang sesungguhnya.
Dengan tekad itu, ia menyamar sebagai rakyat jelata, berkeliling merasakan hidup seperti mereka, menjadi penjual batik dan penggali sumur, dengan harapan apa yang dilakukannya itu, mendapat jawaban atas hakikat manusia yang sesungguhnya.
Waktu terus berjalan, sampai akhirnya niat untuk menanggalkan gelar kepangeranan yang memang sudah diidamkan semenjak keluar dari istana dikabulkan oleh sultan HB VIII, raja pengganti ayahnya. Kemudian ia memutuskan untuk memulai kehidupan baru di daerah Bringin Salatiga sebagai seorang petani dengan mendirikan langgar kecil sebagai tempat belajar bersama keluarga.
Pada fase hidup inilah Ki Ageng sekitar tahun 1927 akhirnya mendapatkan jawaban atas pertanyaannya terkait hidup dan manusia yang selama bertahun-tahun digelisahkan. Ia menceritakan pada suatu pagi, selepas tidur ia tiba-tiba membangunkan istrinya serta-merta berujar,
“Bu, apa yang kucari selama ini sudah ketemu. Aku tidak bisa mati. Ternyata yang merasa tak kunjung bertemu manusia, yang selalu merasa kecewa dan tak pernah puas adalah manusia, wujudnya Suryamentaram. Suryamentaramlah yang ketika yang diperintah kecewa, dimarahi kecewa, disembah kecewa, dimintahi berkah kecewa, dianggap dukun kecewa, dianggap gila kecewa, menjadi bangsawan kecewa, menjadi pedagang kecewa, dan menjadi petani juga kecewa. Nah, mau apa lagi? Sekarang tinggal diperhatikan, diketahui dan ditelaah.” (Kawruh Jiwa, 2018).
Jawaban tersebut sontak bagi Ki Ageng adalah cahaya penerang jalan hidupnya beliau. Semenjak itu juga ia sering jalan-jalan keliling dari tempat satu ke tempat lainnya, bukan untuk bertirakat seperti sebelumnya, melainkan bercerita tentang pengalamannya memahami dirinya sendiri, menjajaki lapis-lapis karep (keinginan) atau makna yang dirasakan. Pada proses pergulatan yang amat panjang inilah ia menemukan konsep yang sekarang banyak dikenal sebagai kawruh jiwa.
Kawruh Jiwa, Pengetahuan atas Diri
Banyak sebenarnya ajaran yang disampaikan oleh Ki Ageng, tapi menakar kebutuhan dan relevansinya untuk anak muda, saya akan bercerita beberapa ajaran yang menurut saya sangat kontekstual. Tapi sebelumnya, seperti wejangan Ki Ageng, bahwa segenap pengalaman yang dihasilkan tersebut diproyeksikan, bukan sebagai ajaran, agama, maupun ideologi yang bersifat mutlak namun semata pengalaman pribadi yang kemudian dirumuskan secara sistematis, dan disajikan lebih umum untuk panduan bagi siapa pun yang ingin belajar terkait pengetahuan atas cara bekerja rasanya sendiri.
Simpul pertama yang menurut saya menarik adalah usaha untuk mengetahui cara bekerjanya rasa manusia, yang dalam bahasa pelajar kawruh jiwa disebut kramadangsa yakni, diri yang terbalut dengan keinginan-keinginan ego manusia. Di sinilah karep (keinginan) yang menjadi citra diri yang bahkan menguasai manusia untuk melakukan apa yang dikehendaki. Sementara Kramadangsa sendiri mempunyai karakter senang dan susah. Senang ketika apapun yang ia kehendaki dan inginkan bisa terwujud, dan akan merasa susah ketika keinginan yang ia harapkan tak bisa terwujud. Dalam bahasa Ki Ageng disebut, mulur-mungkret.
Padahal ketika kita mau jujur, rasa susah dan senang, baik dan buruk, sebenarnya muncul tidak secara tiba-tiba. Ia berangkat dari pengalaman panjang yang telah kita dokumentasikan ke dalam fikiran kita atau dalam bahasa Ki Ageng disebut catetan-catetan yang menempel dalam pikiran, hasil dari proses pengalaman, cecapan informasi, serta ajaran-ajaran yang kita terima dari luar diri kita yang kemudian membingkai pandangan dunia manusia.
Cara kerja rasa inilah yang jarang disadari atau bahkan tidak diketahui. Di tengah banjir informasi, serta cepatnya perubahan realitas yang terjadi maka catetan di kepala kita semakin banyak, menumpuk, dan tumpang tindih. Sehingga berdampak kepada kramadangsa kita yang semakin bias dan tersembunyi, antara kebutuhan dan keinginan tidak lagi jelas perbedaannya, Antara citra dan fakta semakin buram wujudnya, dan ketika semua itu terjadi, akhirnya sedih dan bahagia seakan sulit kita hadirkan dalam kehidupan kita.
Meneliti cara kerja rasa/karep memang bukan untuk menolak gejala rasa tersebut, karena rasa-rasa tersebut ada sebagai daya hidup manusia yang tak mungkin dihindari sebagai konsekuensi kemelekatan jiwa kita dengan tubuh jasad yang memang bekerja sesuai dengan dorongan alamiahnya. Tetapi kita hanya perlu menjaga kesadaran akal kita untuk selalu mengawasi atau mawas diri terhadap sistem kerja diri kita yang sejati dengan dorongan kramadangsa yang juga punya mekanismenya sendiri. Dalam konteks tersebut “keseimbangan” antara diri dan kramadangsa adalah kunci. Dalam hal ini jangan sampai “diri” yang sebenarnya punya dorongan baik terkalahkan dengan karep-karep keinginan yang banyak dan jauh, sehingga melenakan potensi-potensi kemanusiaan yang kita miliki.
Dalam konteks tersebut “keseimbangan” antara diri dan kramadangsa adalah kunci. Dalam hal ini jangan sampai “diri” yang sebenarnya punya dorongan baik terkalahkan dengan karep-karep keinginan yang banyak dan jauh, sehingga melenakan potensi-potensi kemanusiaan yang kita miliki.
Pesan selanjutnya yang menurut saya relevan bagi generasi kita yang mengalami quarter life crisis adalah “tidak ada suatu apapun di dunia ini yang layak dikejar mati-matian, dan sebaliknya juga ditolak mati-matian”. Hal ini menurut saya penting sebagai rambu agar tidak terjebak kepada idealisasi bayangan, gegayuhan yang kita cita-citakan. Karena pada faktanya kehidupan yang benar-benar dapat kita rasakan adalah apa yang sudah terjadi, dan apa yang saat ini sedang terjadi. Artinya di luar fakta hidup demikian “di sini, saat ini, dan seperti ini” masif bersifat bayangan dan kemungkinan-kemungkinan, jadi tak layak kita kejar maupun kita tolak mati-matian.
Contohnya ketika kita mendapatkan kesempatan tertentu tapi ketika hal tersebut tidak sesuai dengan ekspektasi yang kita inginkan, hal tersebut langsung kita tolak, tanpa sejenak kita endapkan dan coba terlebih dahulu. Dan sebaliknya ketika punya keinginan, kita sekuat tenaga mengejarnya mati-matian, yang kadang kali memaksakan dan luput menakar kemampuan. Pada titik inilah menurut saya, sikap biasa aja dalam mengejar dan menolak sesuatu perlu diperhatikan. Karena dengan sikap biasa aja, kita ada ruang perenungan sejenak untuk menentukan pilihan.
Terakhir setelah kita mengetahui cara kerja rasa kita, gejolaknya, kemudian menakar potensi-potensi kemanusiaan yang terpendam di dalam diri kita, selanjutnya bisa menerima fakta hidup dengan apa adanya. Melihat kenyataan dengan wajar, tanpa latah menghadapi realitas yang memang pada dasarnya cepat berubah. Di kondisi ini, selanjutnya tergantung kita, konsep hidup apa yang akan kita pilih. Untuk saya pribadi, saat ini saya memilih hidup yang ditawarkan Ki Ageng, bahwa hidup itu sekuatnya, sebutuhnya, secukupnya, dan sewajarnya tanpa harus difabrikasi dan dipaksakan, dengan senantiasa menebarkan kebaikan.
Karena,“barang siapa mencari kebahagiaan tanpa memperhatikan kebahagiaan saudara, tetangga, dan sesamanya, sama artinya ia menyiapkan tali untuk mencekik lehernya sendiri”. Demikian Ki Ageng memberi wejangan.
Ilustrasi: photography-ruben-retoka-