Menu

Orientasi “Islam Nusantara”: Melahirkan Insan (Kamil) Nusantara!

 “Islam Nusantara” dan Tempatnya dalam Sejarah Islam Dunia

Saya pernah punya pengalaman tersinggung dan marah, namun tidak tahu kepada siapa (mungkin mesti ditujukan kepada diri sendiri), ketika membaca buku Karen Armstrong berjudul Islam A Short History yang terbit pertama kali tahun 2000 dan dalam edisi Indonesia tahun 2002. Buku sejarah yang “lengkap dan ringkas” ini berkisah tentang pasang surut sejarah Islam di dunia yang fana ini, disertai kronologi dari mulai zaman Jahiliyah dan lahirnya Nabi Muhammad SAW (abad VI–VII M) sampai dengan era Muhammad Khatami, Presiden Iran yang pada tahun 1998 membebaskan pemerintahannya dari fatwa Khomeini atas Salman Rushdie yang novelnya dianggap menghina Nabi Muhammad SAW. Armstrong juga berbicara tentang problem minoritas muslim di Eropa dan Amerika, wacana tentang “negara Islam modern”, “fundamentalisme” dan sejenisnya. Tapi “aneh” tak ada satu pun kata Indonesia disebut dalam bukunya itu apalagi mengenai sejarah keislamannya maupun dilema-dilema dan eksperimentasi keberagamaan penduduk muslimnya, yang konon terbesar di dunia ini. Apa makna dari fakta ini? Paling tidak kita tahu bahwa eksperimentasi umat Islam Indonesia, yang berakar pada “Islam Nusantara”, masih sering diabaikan atau belum menemukan (ditemukan) makna dan tempatnya yang layak dalam peta dunia Islam.

Adakah yang bisa disebut “Islam Nusantara”? Adakah bedanya dengan “Islam di tempat lain”, juga bagaimana kaitannya dengan “universalisme Islam”? Apakah “Islam Nusantara” hanya efek atau gema dari “pusat dunia Islam”? Sejauh mana kita bisa membicarakan karakteristiknya? Apakah kita bisa berbicara tentang era kodifikasi (asrut tadwin) dari “Islam Nusantara” itu? Bagaimana kita menentukan korpus-korpus yang menjadi rujukan otoritatif periode (juga konfigurasi) sejarah yang membentuknya? Apakah “Islam Nusantara” mempunyai “manhajul fikr” yang spesifik, atau bahkan unik? Bagaimana kita mesti membincangkan, meneladani, dan mengembangkannya untuk konteks zaman sekarang? Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas tentu saja membutuhkan elaborasi yang komprehensif dan pendekatan yang multidisipliner, sekaligus merupakan agenda kerja kolektif suatu generasi. Ruang untuk menjawabnya pun tentu bukanlah artikel yang sangat terbatas semacam ini. Oleh karena itu, di sini saya tidak berpretensi untuk menjawab tuntas persoalan itu. Namun hanya menyampaikan  hipotesis yang bisa saya sampaikan berdasarkan pembacaan kritis terhadap naskah-naskah dan kitab-kitab karya ulama nusantara abad-abad lalu (abad XVI–XIX), dengan berbagai konteks historisnya.

Adakah yang bisa disebut “Islam Nusantara”? Adakah bedanya dengan “Islam di tempat lain”, juga bagaimana kaitannya dengan “universalisme Islam”? Apakah “Islam Nusantara” hanya efek atau gema dari “pusat dunia Islam”? Sejauh mana kita bisa membicarakan karakteristiknya? Apakah kita bisa berbicara tentang era kodifikasi (asrut tadwin)dari “Islam Nusantara” itu? Bagaimana kita menentukan korpus-korpus yang menjadi rujukan otoritatif periode (juga konfigurasi) sejarah yang membentuknya? Apakah “Islam Nusantara” mempunyai “manhajul fikr” yang spesifik, atau bahkan unik? Bagaimana kita mesti membincangkan, meneladani, dan mengembangkannya untuk konteks zaman sekarang? Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas tentu saja membutuhkan elaborasi yang komprehensif dan pendekatan yang multidisipliner, sekaligus merupakan agenda kerja kolektif suatu generasi.

Tampaknya perdebatan para ahli untuk berteori tentang “kapan mereka ke Nusantara”, “dari mana awalnya”, “siapa pembawanya” dan “apa sekte keagamaannya” tidaklah mesti dibaca sebagai semacam perlombaan lari atau teka-teki untuk mencari satu pemenang yang paling cepat dan paling benar. Tetapi hendaknya dinikmati seperti puzzle di mana setiap penemuan teori dianggap sebagai “satu yang tidak sempurna”, yang harus dicarikan potongan teori lainnya untuk digabungkan atau dihubung-hubungkan atau dikombinasikan dengan berbagai cara, baik menyamping, menyilang, atau memutar, sehingga memperoleh bentuk atau gambar yang semakin mendekati kesempurnaan, demikian terus-menerus. Oleh karena tidak dapat dibayangkan, bahwa lslam masuk ke Nusantara pada satu waktu tertentu, dari satu tempat tertentu, oleh seorang atau sekelompok orang dengan profesi, motif, dan identitas keagamaan yang homogen, kemudian secara linear berkembang dan menyebar ke seluruh Nusantara, ini jelas tidak realistis. Pembawa Islam ke Nusantara berasal dari wilayah yang beragam, dari Arab, India, Campa, Tiongkok, Persia, Asia Tengah, dan lain-lain, dengan status, profesi dan motif serta mazhab yang berbeda-beda, dan walau pun waktunya beragam (antara abad VII–XV), tapi bisa jadi mereka semua adalah sama-sama yang “pertama”, karena konteks wilayah mereka pertama kali mendarat yang berbeda-beda.

Pedagang Arab Muslim zaman Khalifah Ustman bin Affan (jadi jelas dia bukan Sunni/Syiah/Khawarij/Muktazilah) yang singgah di Palembang atau Barus (Sumatera Utara) mungkin saja dia (sengaja atau tidak sengaja) mengislamkan satu-dua orang di sana atau meninggalkan salah satu anggota rombongan di sana, dan ia bisa disebut sebagai pembawa Islam yang pertama di Nusantara. Lalu, ketika pada abad IX ada serombongan “pelarian politik” Syiah yang dikejar-kejar pasukan Dinasti Umayyah mendarat di Perlak (Aceh Timur) membangun komunitas Muslim dan mendirikan kerajaan Islam di sana, mereka juga bisa disebut yang pertama membawa Islam ke sana. Demikian pula antara abad X–XII, ketika pangeran Dinasti Umayyah atau Abbasiyah beserta pasukannya yang Sunni, atau dari Dinasti Fatimiyah yang Syiah, entah karena perpecahan politik wilayahnya masing-masing atau karena berekspansi (diaspora) lalu mendarat di berbagai wilayah Aceh lainnya, dan membangun kerajaan Islam yang lain. Atau juga ketika Syekh “Samsu Zen” datang ke Kediri pada abad X–XI dan menjadi guru rohani Prabu Jayabaya. Atau ketika rombongan Fatimah binti Maimun datang ke Gresik dari Persia lalu membangun komunitas muslim di sana. Demikian pula, para sufi yang mengembara pada abad-abad berikutnya dan menyebarkan Islam ke berbagai wilayah Nusantara lainnya (Jawa, Kalimantan, Sulawesi, atau Lombok) yang belum ada umat Islamnya di sana, mereka dalam derajat tertentu juga bisa disebut yang pertama membawa Islam ke Nusantara.

Oleh karena itu, setelah kita kombinasikan dengan berbagai teori “kedatangan lslam” di atas yang perlu kita lakukan adalah menempatkannya dalam konteks “sejarah dunia” khususnya “dunia Islam” waktu itu di satu sisi,  dan di sisi lain “sejarah lokal-Nusantara” sendiri pada waktu yang bersamaan. Tentu saja, maksud konteks sejarah di sini dalam pengertian studi sejarah yang multidisipliner, meliputi sosial, budaya, ekonomi dan politik. Dengan demikian, kita akan memperoleh “gambar” tentang sejarah “Islam Nusantara” secara lebih jelas dan hidup. Kemudian, di dalam “gambar hidup” itulah kita menempatkan dan melakukan pembacaan secara kreatif, produktif, terhadap teks-teks keagamaan dalam berbagai bentuknya, yang ditulis oleh para ulama Nusantara. Sehingga gambar hidup itu semakin hidup, dan dari situ kita bisa lebih mengenali karakteristik dari “Islam Nusantara” secara lebih baik.

Oleh karena itu, setelah kita kombinasikan dengan berbagai teori “kedatangan lslam” di atas yang perlu kita lakukan adalah menempatkannya dalam konteks “sejarah dunia” khususnya “dunia Islam” waktu itu di satu sisi,  dan di sisi lain “sejarah lokal-Nusantara” sendiri pada waktu yang bersamaan.

Dalam kerangka ini, “Islam Nusantara” yang bisa diartikan sebagai kultur Islam yang berkembang dalam konteks Nusantara yang khas, terutama pada abad XIII–XIX M, dapat menjadi wilayah studi yang penting. Untuk itu, ia mesti dibedakan dengan studi “Islam lokal” dan “Islam lndonesia” karena muatan, konteks, dan kronologi historisnya yang memang berbeda. Walaupun ketiganya berkaitan erat dan saling mengandaikan namun studi “Islam Nusantara” masih lemah. Padahal sesungguhnya studi “Islam Nusantara” adalah wilayah studi yang semestinya dikembangkan untuk menjadi jembatan kreatif antara studi “lslam lokal” dengan “lslam lndonesia”.

Tasawuf, Spirit Ibnu Arabi dan Karakteristik “Islam Nusantara”

Sepertinya perubahan dahsyat “dunia” di abad XIII – ketika bangsa Mongolia menghancurkan pusat terpenting dari kebudayaan Islam era Bagdad, serta menundukkan sebagian besar Asia dan menyusup ke dalam wilayah Eropa, dan dengan demikian menghentikan tata susunan politis yang telah lama mapan dan membinasakan wilayah-wilayah luas kebudayaan (termasuk di sini paradigma ilmu keagamaan) yang telah sangat berkembang – justru menghasilkan, berkebalikan dengan pembinasaan itu, terjadinya suatu peningkatan aktivitas mistik, gagasan-gagasan, spiritualitas, dan literasi puitis. Tidak hanya dalam dunia Islam, tetapi juga seluruh Eropa dan Asia, termasuk wilayah Nusantara.

Tak pelak lagi, salah satu sumber utama dalam “kebangkitan spiritual dunia” tersebut adalah ajaran-ajaran, hikmah-hikmah, serta skema “futuhat” dari seorang pengembara, ahli hadis, fikih, teolog, pemerhati politik, filosof, dan sastrawan, Syekh Muhyiddin lbnu Arabi yang lahir di Murcia Spanyol tahun 1165 M dan wafat di Damaskus, Syria tahun 1240 M.  Ahmad Sirhindi yang biasanya dianggap penentang Ibnu Arabi, harus mengakui:  “Para sufi sebelum lbnu Arabi bila mereka membicarakan perkara ini hanya menyinggung sedikit saja dan tidak menguraikannya panjang lebar. Para sufi sesudah dia memilih mengikuti jejaknya dan menggunakan peristilahannya. Kita yang datang kemudian ini juga memanfaatkan berkah orang besar ini dan belajar dari pandangan-pandangan mistisnya. Semoga Tuhan memberikan kepadanya pahala yang terbaik bagi jasanya”.

lbnu Arabi[1] tumbuh di lingkungan Sunni, pada masa Dinasti Al-Muwahidun, di Andalusia. Beliau belajar Quran, hadis, tasawuf, teologi, fikih, dan ilmu-ilmu kebahasaan kepada para sufi Barat (Maghrib) dan ulama-ulama Malikiyyah yang memang dominan di sana dan juga para ulama Dzahiriyyah pengikut Ibn Hazm. Demikian pula beliau berguru kepada para sufi dan ulama Timur (Masyriq). Namun, beliau tidak terikat pada satu mazhab mana pun. Sistem-sistem mazhab itu tidak dijadikan “kerangkeng” bagi jiwanya sendiri atau pada jiwa orang lain para pengikutnya, namun justru jadi titik tolak “pengembaraan” spiritualnya. Dalam pengembaraan spiritual itu, hatinya menjadi lentur, luwes dan mengembang luas, sehingga dia bisa mengatasi perbedaan-perbedaan berbagai sistem keyakinan dan syariat, baik di kalangan internal umat Islam, antar agama-agama Ibrahimiah, antar agama-agama langit dan bumi, bahkan para ateis, dan mengajak mereka bersama-sama memasuki dan menempuh “agama cinta”.

Intoleransi dalam menghadapi perbedaan-perbedaan dalam masalah agama seperti termanifestasi di dalam mazhab-mazhab fikih, yang disebabkan karena ulama berhenti pada segi lahir dari ajaran dan dipasangi dengan kesempitan jiwa yang melahirkan sikap fanatisme ekstrim terhadap mazhab, dalam pandangan lbnu Arabi merupakan musibah terbesar dan rintangan terberat dalam beragama, yang mesti dikritik dan diatasi:

“Allah telah menjadikan perbedaan pendapat dalam menyikapi persoalan hukum sebagai rahmat bagi para hamba-Nya dan kelonggaran (ittisa) atas perintah-Nya yang mereka laksanakan demi kebaikan mereka. Namun terkait, dengan orang-orang yang mengikuti fukaha di zaman kita, para fukaha ini telah melarang dan mempersempit apa yang telah diperluas Hukum Suci bagi mereka. Mereka mengatakan pada pengikut mazhab mereka, misalkan ia seorang Hanafiyyah; “jangan mencari rukshah (hal yang meringankan) dari Syafi’i mengenai persoalan yang tengah kamu hadapi”; dan demikian seterusnya. Ini musibah terbesar dan rintangan terberat dalam masalah agama. Allah berfirman: ‘Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan’ (QS. Al-Hajj (22): 78). Hukum telah menyatakan kebenaran status siapapun yang berijtihad untuk dirinya sendiri dan untuk orang-orang yang mengikutinya. Tapi zaman kita, para ahli hukum telah mencela ijtihad dengan menyebutnya sebagai upaya mendorong umat untuk menghina agama. Bagi mereka, ini tindakan yang sangat bodoh.”[2]

Oleh karena itu lbnu Arabi mendorong dirinya sendiri dan murid-muridnya untuk mengatasi kemandekan beragama dengan mengembangkan aspek-aspek penalaran lahiriah di mana setiap persoalan hukum agama berhenti di situ. Manusia mesti mengembangkan sisi lain dari kehidupan yaitu dimensi batin yang mesti dieksplorasi:

“Aku berniat, jika Allah memberi umur panjang menyusun sebuah kamus penting yang akan membahas semua persoalan hukum yang berkisar pada aspek aspek lahirnya: pertama-tama dengan merumuskan dan menguraikan setiap persoalan dari sudut pandang lahir, lalu menelaah kedudukannya terkait dengan sisi batin manusia (hukumuha fi bathin insan).”[3]

Walaupun Ibnu Arabi tidak berkesempatan mewujudkan niatnya, namun di dalam Futuhat, beliau meluapkan beratus-ratus halaman untuk membahas rukun Islam dan persoalan hukum yang sedang berkembang pada massanya. Ibnu Arabi mempertimbangkan sekaligus mengabsahkan pertimbangan akal dalam kaitannya dengan syariat hukum Islam, menghargai pluralitas yang berkembang, dengan tujuan sistemik untuk seluas mungkin meringankan beban taklif setiap muslim. Kelonggaran “ekstrem” ini, mesti dipahami dalam konteks keseluruhan ajarannya yang berkaitan dengan fungsi kasih sayang (rahmaniyah) yang beliau tanamkan pada dirinya. Hal ini tidak bisa ditafsirkan sebagai sebentuk “kebebasan tiranis”, karena Ibnu Arabi tetap mempertahankan keteguhan luar biasa dalam melaksanakan syariat:

“Aku yakin bahwa aku termasuk orang yang berpegang teguh kepada Allah dan tidak mengkhianati perjanjian (mitsaq)… Ke sanalah aku membimbing manusia, dan berlandaskan prinsip inilah aku mendidik murid-muridku. Aku tidak akan membiarkan siapapun yang mengikat sebuah perjanjian (‘ahd) bersama Allah dan menerima ajaran yang kusampaikan untuk mengkhianati perjanjian itu, terlepas dari besar-kecilnya manfaat yang diperolah. Aku tidak mengizinkannya untuk melakukan hal itu, bahkan atas nama keringanan hukum (rukhshah) yang membenarkannya untuk melakukan hal itu tanpa dosa.”[4]

Dalam kedisiplinan yang tinggi dalam memegang mitsaq dan ‘ahd bersama Allah yang dicintai dan mencintainya, dengan bertumpu secara kukuh pada syariat yang diyakininya, namun dengan toleransi yang tinggi terhadap pluralitas syariatsyariat yang ada di dunia, yang diyakininya semua berasal dari Allah, Ibnu Arabi bersyair, mengajak seluruh agama, kepercayaan, dari segenap bangsa dan bahasa, dalam perbedaan-perbedaan, untuk bersama-sama bersatu dalam tajribah rohaniah (eksperimentasi rohani), melalui jalan cinta menuju  Sang Maha Cinta:

Hatiku telah siap menerima segala bentuk

Menjadi padang rumput bagi rusa, biara bagi para rahib

Menjadi candi bagi penyembah berhala, kakbah bagi para thaifiin

Menjadi alwah bagi Taurat, dan mushaf bagi Quran

Aku beragama dengan agama cinta, ke mana pun kendaraannya mengarah

Cinta adalah agamaku dan keyakinanku[5]

 Berkah Ibnu Arabi, seperti yang disampaikan Ahmad Sirhindi di atas, tampaknya terletak tidak hanya pada pencapaian rohaninya pada makam yang sangat tinggi, tetapi Ibnu Arabi meninggalkan catatan-catatan yang lengkap dan detail menstrukturkan segala pengalaman rohani, insight-insight dan “penglihatan” batinnya terhadap segala maujud dalam semua martabatnya, di dalam segenap lapis-lapis alamnya, dengan segenap interkoneksitas di antara yang maujud itu menjadi sistem wujud yang lengkap, terus membentuk mata rantai hingga pada intinya, pusat segala pusat: “Sang Wujud Mutlak, Sumber dari segala sumber wujud, Yang sekaligus menjadi tempat kembalinya segala sesuatu, Dia Yang Awal dan Akhir, Yang Dzahir dan Yang Batin”. Semua catatan Ibnu Arabi tersebut dimaksudkan sebagai pengajaran untuk semua manusia, karena pada akhirnya, di dalam sistem wujud tersebut, manusia yang mampu mewujudkan kesempurnaan dirinya, “Insan Kamil”, menduduki derajat yang sangat mulia dan tertinggi sebagai Cermin Tuhan, sebagai puncak manifestasi dari Sang Wujud.

  Ajaran-ajaran yang sangat kompleks tersebut, menjadi lebih sederhana dan semakin populer, berkembang ke berbagai penjuru, ketika disistemkan dan diberi penjelasan oleh murid dan penerjemah utama Ibnu Arabi, yaitu Shadr Al-Din Qunawi yang membentuk dan membingkai dalam nama “Wahdlatul Wujud”. Sementara gagasan tentang “Insan Kamil” menjadi populer dan mendapat sambutan yang luas, setelah dikembangkan dan disistematisasikan oleh Abdul Karim ibn Ibrahim al-Jili (w. 805 H) di dalam kitab Al-Insanul al-Kamil, fi Ma’rifatul Awakhir wal Awail. Pandangan-pandangan tentang sistem “Wahdatul Wujud” dan konsep “Insan Kamil” tersebut, kemudian diringkas lagi menjadi skema tentang manifestasi-manifestasi Dzat, di dalam aforisme-aforisme yang juga memuat panduan “praktis-operasional” untuk mengenali “Kesatuan Wujud” tersebut oleh Muhammad ibn Fadlullah al-Burhanpuri (w. 1620 M) melalui kitabnya yang sangat terkenal Tuhfatul Mursalah Ila Ruhin Nabi yang berlaku di wilayah Nusantara disebut “Martabat Alam Tujuh”, karena menjelaskan tentang tujuh martabat manifestasi wujud Tuhan yang disebut ke dalam istilah-istilah teknis: “Ahadiyah”, “Wahdah”, “Wahidiyah”, “Alam Arwah”, “Alam Mitsal”, “Alam Ajsam”, dan “Alam Insan Kamil”. Di luar kitab-kitab ini, dan kitab-kitab lain yang banyak mengulas ajaran-ajaran Ibnu Arabi, sebetulnya jauh lebih banyak penyebaran lagi pengaruh Ibnu Arabi yang dibawa oleh para sufi dari berbagai jaringan tarekat-tarekat ke berbagai penjuru dunia, tidak melalui tulisan-tulisan, melainkan melalui laku dan praktik.

Pandangan-pandangan tentang sistem “Wahdatul Wujud” dan konsep “Insan Kamil” tersebut, kemudian diringkas lagi menjadi skema tentang manifestasi-manifestasi Dzat, di dalam aforisme-aforisme yang juga memuat panduan “praktis-operasional” untuk mengenali “Kesatuan Wujud” tersebut oleh Muhammad ibn Fadlullah al-Burhanpuri (w. 1620 M) melalui kitabnya yang sangat terkenal Tuhfatul Mursalah Ila Ruhin Nabi yang berlaku di wilayah Nusantara disebut “Martabat Alam Tujuh”, karena menjelaskan tentang tujuh martabat manifestasi wujud Tuhan yang disebut ke dalam istilah-istilah teknis: “Ahadiyah”, “Wahdah”, “Wahidiyah”, “Alam Arwah”, “Alam Mitsal”, “Alam Ajsam”, dan “Alam Insan Kamil”.

 Nusantara tampaknya menjadi salah satu tempat di mana berkah dari Futuhat Ibnu Arabi tersebut, tidak semata-mata dikutip dan diajarkan sehingga berguna, melainkan dieksperimentasikan di dalam ruang historis yang riil, sehingga tidak saja membentuk jiwa bangsa ini, tetapi juga jejak kultural yang nyata.[6] Namun di sini saya tidak mengatakan bahwa para guru sufi “pengemban berkah” ajaran Ibnu Arabi-lah pembawa Islam pertama dan menyebarkannya ke seluruh Nusantara. Namun yang ingin saya katakan adalah bahwa melalui merekalah berbagai “gelombang” Islam yang datang susul-menyusul ke berbagai wilayah Nusantara, dengan segala pertentangan aliran/mazhab dan afiliasi politik, perbedaan suku bangsa, profesi, motif, dan kedudukan sosial mereka semua, tidak membuat wilayah Nusantara ini semata-mata menjadi “tempat penampungan pengungsi dan pelarian politik”, atau hanya menjadi objek penderita dari perluasan wilayah pertikaian politik di negeri lain, atau hanya menjadi negara boneka, taklukan dan koloni bangsa asing. Para guru sufi itu, pada umumnya bertransformasi menjadi manusia kreatif, yang mengolah perbedaan-perbedaan, merangsang sintesis-sintesis antarkultur dan langsung maupun tak langsung ikut “menciptakan” identitas baru secara terus menerus. Kita tahu, yang lahir pada masa-masa itu adalah kerajaan-kerajaan Islam yang berdaulat, dari mulai Pasai, Aceh Darussalam, Deli, Aru, Minangkabau, Palembang, Jambi, Banten, Cirebon, Demak, Pajang, Mataram, Banjarmasin, Makassar, Bugis, Buton, Bima, Dompu, Selaparang, dan seterusnya. Mereka muncul dengan adat/identitas kulturalnya yang beragam, ekspresi kesenian yang kaya dan bermakna, sastra-sastra suluk dan didaktik yang bermutu tinggi, etika-etika sosial dan lingkungan yang penuh hikmah dan sebagainya.

Nusantara tampaknya menjadi salah satu tempat di mana berkah dari Futuhat Ibnu Arabi tersebut, tidak semata-mata dikutip dan diajarkan sehingga berguna, melainkan dieksperimentasikan di dalam ruang historis yang riil, sehingga tidak saja membentuk jiwa bangsa ini, tetapi juga jejak kultural yang nyata.

Membangun Tatanan Sosial-Politik: Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Adat

Di dalam sebuah salinan manuskrip[7], dijelaskan tentang “akta” pendirian Kerajaan Aceh Bandar Darussalam pada tanggal 12 Rabiulawal 913 Hijriah dan “Pohon Kerajaan” yang di-istikhar-kan (diupayakan) oleh paduka Sri Sultan ‘Alaidin Johan ‘Ali Ibrahim Mughayat Shah[8], Yang disebut “Pohon Kerajaan” atau dasar kerajaan adalah sebagai berikut:

“Bahwasanya kita semua satu negeri, satu bangsa, dan satu kerajaan, dan satu ‘alam (bendera) dan satu ajaran yakin Islam dengan mengikuti syari’at Nabi Muhammad SAW atas jalan Ahlussunnah Waljama’ah dengan mengambil hukum dari pada Qur’an dan Hadits Nabi dan Qiyas dan Ijma’ ‘alim ulama Ahlussunnah Waljamaa’ah dengan hukum, dengan adat, dengan reusam, dengan qanun yaitu syara’ Allah, syara’ Rasulullah, dan syara’ kami bernaung di bawah panji-panji syari’at Nabi Muhammad SAW dari dunia sampai akhirat dan dalam dunia sepanjang masa.

… (dilanjutkan dengan deskripsi 21 pasal kewajiban rakyat Aceh)

   (penutup)… mudah-mudahan Insya-Allah Ta’ala dapat selamat bahagia segala umat manusia dalam negeri Aceh Bandar Darussalam khususnya dari Aceh jajahan takluk umumnya yaitu supaya menjadi manusia yang baik dan berkelakuan tabiat yang baik secara tertib sopan majelis dan hormat yang mulia yang sempurna dengan berkat syafa’at Nabi SAW supaya peliharalah bangsa kami Aceh dari pada mara dan bahaya dengan selamat sejahtera bahagia sepanjang masa dan jauh dari pada lembah kehinaan dan kesusahan sepanjang hidupnya supaya terpelihara negeri kami Aceh dan bangsa Aceh dengan usaha yang baik supaya dapat meraih kesenangan bersama-sama yaitu antara rakyat dengan kerajaan dengan tabah dan tawakal kepada Allah Ta’ala dapat … kebajikan bersama-sama dengan saudara Islam yang dalam negeri Aceh dan berkasihan dengan mengikut syara’ Allah dan syara’ Rasulullah dan syara’ kerajaan yang mufakat dengan Qur’an dan Hadits dan Qiyas dan Ijma’ ulama Ahlussunnah Waljama’ah r.a. dan hukum adat dan hukum qanun dan hukum reusam.

Syahdan bermula maka barang-siapa yang tidak mengikut dan tidak menurut seperti yang tersebut itulah Ijma’ sabda mufakat kerajaan kami Aceh ke atas tiap-tiap mereka itu yang mungkar dengan dua hukum yaitu syara’ dan hukum adat. Sekianlah sabda mufakat kerajaan kami Aceh Bandar Darussalam Madinatussultan Al-Asyie Al-Kubra dan jajahan takluknya.”

Banyak hal menarik dari isi manuskrip di atas, dan kita dapat menganalisisnya dari berbagai sudut pandang. Pertama, tentu saja informasi tentang wacana ”Ahlusunnah Wal Jama’ah” yang dalam konteks ini dilegalisasi menjadi dasar kerajaan Aceh. Lepas dari sahih tidaknya isi manuskrip ini bahwa Kerajaan Aceh waktu itu bermazhab Sunni, karena informasi lain menyebutkan pada abd XV-XVI M, Kerajaan Aceh yang bermazhab Syiah mengirimkan ekspedisi ke Pariaman, Sumatera Barat, dipimpin oleh Pangeran Burhanuddin Syah,[9] tapi bahwa wacana “Ahlusunnah Wal Jama’ah” vis a vis Syiah di luar Jawa, khususnya Sumatera, sudah berlangsung sejak lama sekali. Sebuah informasi mengatakan sejak abad IX M, pada masa Kerajaan Perlak.[10] Di dalam perdebatan tentang “Pembaharuan Aswaja di Lingkungan NU” (di Jawa) beberapa tahun lalu, aspek historisitas seperti itu hilang, tidak dapat dikenali. Tampaknya ada missing link, karena hampir semua penulis dalam hal ini mengatakan “gelap”. Padahal di dalam kitab-kitab kuning melayu (arab-pegon) yang ditulis oleh para ulama “al-Jawi”, seperti Syekh Abdurrauf Singkel, Syekh Abdusshamad al-Palimbani, bahkan Syekh Muhammad Nafis al-Banjari, mereka seringkali menyebut paham mereka sebagai “Ahlusunnah Wal Jama’ah”. Hal menarik lainnya adalah informasi mengenai hubungan genealogis antara sultan-sultan Aceh dengan Kesultanan Bani Seljuk di Bagdad, bahkan nasab mereka sampai pada Iskandar Zulkarnain. Ini tentu  saja membutuhkan ilmu dan pembahasan tersendiri.

Namun yang menarik bagi saya dan relevan dengan konteks tulisan ini – lepas dari ke-sunni-an atau ke-syiah-an Kerajaan Aceh ­– adalah karakteristik tentang hubungan agama dan kerajaan di satu sisi, dan hubungan antara syara’ dan adat di sisi lain. Bagaimanakah watak dari hubungan-hubungan ini? Apakah bersifat formal dan totalitarianistik, dengan menjadikan Aswaja satu-satunya ukuran untuk semua aspek kehidupan? Dalam hal ini, Aswaja dalam pengertian yang bagaimana? Kalau kita memperhatikan kedua puluh satu pasal-pasal di dalam “Pohon Kerajaan” tersebut akan tampak bahwa hubungan-hubungan itu tidaklah totalitarianistik seperti yang diklaim para pendukung penerapan Syariat Islam dewasa ini. Menarik memperhatikan bahwa hanya tiga dari dua puluh satu pasal itu yang “langsung” berkaitan dengan agama (Aswaja), dan ini pun bersifat keilmuan, yaitu kewajiban rakyat untuk belajar dan mengajar ilmu agama Islam syariat Nabi Muhammad SAW atas mazhab Ahlusunnah Wal Jama’ah, kewajiban untuk menjauhkan diri dari pada mengajar dan belajar ilmu kaum 72 golongan di luar Ahlusunnah Wal Jama’ah, kewajiban memegangi mazhab Syafi’i (qaul jadid) dalam setiap kasus hukum syara’, kecuali darurat, boleh memegangi mazhab yang tiga. Satu lagi pasal yang berkaitan dengan syara’, namun lebih berwatak etis, karena berisi larangan pengunaan harta zakat untuk keperluan masjid atau meunasah karena itu berarti mengambil hak fakir miskin, dan keharusan bersegera membagikannya kepada ashnaf yang delapan.

Namun yang menarik bagi saya dan relevan dengan konteks tulisan ini – lepas dari ke-sunni-an atau ke-syiah-an Kerajaan Aceh ­– adalah karakteristik tentang hubungan agama dan kerajaan di satu sisi, dan hubungan antara syara’ dan adat di sisi lain.

Sebagian besar pasal berisi tentang kewajiban (penguatan) ekonomi seperti bertani utama lada (juga lainnya), belajar mengajar pandai emas, tembaga, ukir-ukiran bunga, khusus perempuan untuk pandai menenun kain sutera, kain benang, menjahit, menyulam, melukis bunga pada pakaian (dan lain sebagainya), juga ada kewajiban (unik) untuk belajar mengajar berdagang di dalam maupun luar negeri dengan bangsa asing, … kewajiban untuk belajar … mengukir kayu, batu bata dengan memperhatikan komposisi (pasir, tanah liat, kapur, air kulit, batu karang yang ditumbuk, dll.), juga belajar mengajar indang emas, juga kewajiban memelihara ternak segala macam. Kemudian, ada beberapa pasal dengan “Pengaman dan bela diri/negara” seperti kewajiban selalu membawa senjata, belajar ilmu kebal, dan belajar menggunakan senjata. Kemudian, menarik juga adanya pasal-pasal tentang kultur/adat, yakni kewajiban setiap tahun untuk menyelenggarakan khanduri (kenduri) laut di bawah kewenangan penuh Amirul … yaitu Panglima Laut, khanduri (kenduri) blang (sawah) pada tiap-tiap di bawah kewenangan penuh Panglima Meugoe dengan Kejruen Blang (Pejabat Urusan Sawah) khanduri maulid Nabi yang mana waktunya diatur bergiliran satu sama lain dalam jangka waktu tiga bulan agar bisa saling mengunjungi. Juga ada kewajiban (unik) dalam setiap membangun rumah/meunasah/balai/masjid, untuk memasang kain warna merah putih pada tiap tiang di atas puting di bawah bara’.[11] Juga ada kewajiban yang saya kira lebih dekat kepada Syiah yaitu larangan kepada rakyat untuk memakai kain, sutera, payung dan lain-lain yang berwarna kuning atau hijau,[12] karena warna-warna itu khusus untuk keluarga kerajaan dan syarif-syarif Bani Hasyim dan Bani Muththalib yang silsilahnya bersambung kepada Sayidina Hasan dan Husein, putera Fatimah, cucu Rasulullah SAW.

Karakteristik yang penting dicatat lagi di sini adalah kesejajaran dan keseimbangan hubungan antara syara’ dan adat. Di dalam dua paragraf yang terakhir terdapat penegasan tentang hubungan yang erat antara syara’ dengan hukum adat, hukum qanun dan hukum reusam. Seperti tercermin di dalam isi pasal-pasal di atas, hukum antara syara’ dan adat benar-benar erat tak terpisahkan, tidak saling bertentangan atau saling intervensi satu sama lain.[13] Di dalam masyarakat sampai sekarang masih sering dikutip ungkapan-ungkapan tradisional: Adat bak Po Teumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Laksamana, Reusam bak Putri Phang (Adat adalah kewenangan Sultan Iskandar Muda, Hukum adalah kewenangan Syekh Abdurrauf, Qanun adalah kewenangan Laksamana dan Reusam adalah kewenangan Puteri Pahang). Sayang sekali, makna hubungan-hubungan yang sejajar dan tidak saling intervensi, namun tetap berkaitan erat, tidak bertentangan dan tidak terpisahkan ini, sulit sekali terpahami dan justru makna sebaliknya tercermin di dalam UU NAD yang lalu. Demikian pula dengan ungkapan lain: Hukom ngon adat, lagee dzat ngon sifeut (Hubungan hukum syara’ dengan adat adalah tak terpisahkan, seperti dzat dan sifat), sering direproduksi namun dengan makna yang kehilangan konteks dan kerangka pemaknaannya.

Seperti tercermin di dalam isi pasal-pasal di atas, hukum antara syara’ dan adat benar-benar erat tak terpisahkan, tidak saling bertentangan atau saling intervensi satu sama lain.

Tentang hubungan syara’ dan adat dengan karakteristik sebagaimana dibicarakan di atas, tampaknya tidak hanya berlaku di Aceh saja. Di berbagai wilayah lain di Nusantara, seperti Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Lombok kecenderungan seperti itu juga merata. Saya pernah membaca suatu naskah dari Barus[14] (Sumatera Utara) yang mengisahkan antara lain terjadinya peperangan yang terus-menerus antara kerajaan pesisir dengan pedalaman, yang kemudian dalam suatu perundingan damai yang juga dihadiri wakil dari Kerajaan Pagaruyung Padang, Sumatera Barat, ditengahi oleh seorang “Syekh dari Singkil”, dengan memakai formula “Adat basandi Syara’, Syara’ basandi Adat”.[15]

Pada umumnya kita sulit mendapatkan klarifikasi terhadap asal-usul, makna, dan paradigma dari ungkapan-ungkapan tradisional seperti di atas. Namun menurut saya, ungkapan-ungkapan di atas menunjukkan satu karakteristik “Islam Nusantara” yang dipengaruhi oleh spirit dan berkah futuhat Syekh Ibnu Arabi. Di dalam kitabnya, al-Futuhatul Makiyyah, Ibnu Arabi ketika membicarakan ber-tajalli-Nya nama-nama Tuhan, “al-Mudabbir”, “al-Mufashil” dan “ar-Rabb”, seperti terungkap dalam ayat al-Qur’an, dalam kaitannya dengan keseimbangan hukum realitas melalui penataan kerajaan secara baik (ishlahul mamlakah), demi suatu maslahat, sejalan dengan makna ayat “wa likullin ja’alna minkum syir’atan wa minhaja” (dan bagi setiap umat, Kami jadikan sebuah syir’ah dan minhaj), mengatakan:

“Sesungguhnya Allah menjadikan ketentuan-ketentuan untuk memperbaiki kerajaan (ishlahul mamlakah) ke dalam dua bentuk: pertama, as-siyasatul hikamiyah (kebijakan lokal/adat) yang sebetulnya berasal dari ilham Allah, namun tidak disadari oleh perumusnya, dan kedua adalah as-siyasatu as-syar’iyyah (ketentuan syara’).[16]

Jadi, dari sini kita tahu, kenapa hubungan antara adat dan syara’ itu mesti sejajar, seimbang, dan tak terpisahkan, karena pada hakikatnya keduanya berasal dari Allah. Bedanya, yang satu melalui ilham kepada jenius lokal atau filsuf atau cerdik pandai, dan satunya lagi langsung berupa tasyri’ melalui wahyu kepada Nabi. Keduanya penting, tidak semata-mata demi keseimbangan alam, tetapi juga demi kemaslahatan. Dalam ajaran Ibnu Arabi, yang disebut kemaslahatan bersifat nyata dan langsung, yaitu terpenuhinya kebutuhan warga kerajaan. Ukuran kebesaran seorang raja adalah seberapa banyak dalam setiap hari ia dapat menyelesaikan masalah dan kebutuhan warga yang diajukan kepadanya. Demikian pula sebaliknya, kalau seorang raja berbuat zalim atau membunuh seorang warganya, maka itu berarti ia sedang menghancurkan kerajaannya sendiri.

Jadi, dari sini kita tahu, kenapa hubungan antara adat dan syara’ itu mesti sejajar, seimbang, dan tak terpisahkan, karena pada hakikatnya keduanya berasal dari Allah. Bedanya, yang satu melalui ilham kepada jenius lokal atau filsuf atau cerdik pandai, dan satunya lagi langsung berupa tasyri’ melalui wahyu kepada Nabi. Keduanya penting, tidak semata-mata demi keseimbangan alam, tetapi juga demi kemaslahatan.

Jalan Pembentukan Integritas dan Kesejatian Diri (Insan Kamil):

            Sejauh ini, saya menggambarkan paham “wahdatul wujud” dengan tokoh utamanya Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi sebagai “katalisator” yang paling berpengaruh dalam pembentukan karakteristik “Islam Nusantara”. Mungkin akan ada yang mempertanyakan, bagaimana bisa begitu? Bukankah paham itu tertolak di Nusantara, juga di dunia Islam pada umumnya? Pertanyaan semacam ini bukan mengada-ada, karena kita memang lebih sering disuguhi gambar dengan segala citranya yang menempatkan paham ini dan tokoh-tokohnya sebagai “antagonis” di dalam sejarah “Islam Nusantara”. Semua ini tampaknya berpangkal pada “cerita” di dalam babad, serat, suluk, atau legenda rakyat tentang eksekusi hukuman mati terhadap tokoh-tokoh yang dianggap sesat dan membuat kekacauan di masyarakat karena menganut paham ini di berbagai wilayah Nusantara: Syekh Siti Jenar di Jawa pada abad XV–XVI, Syekh Hamzah Fansuri di Aceh abad XVI–XVII, dan Syekh Abdul Hamid Abulung di Martapura (Banjarmasin) pada abad XVIII. Menarik, cerita-cerita itu mempunyai plot dan latar panggung yang hampir mirip, yaitu ada tokoh penyebal, yang bidah, membuat onar masyarakat, kemudian ia dipanggil raja untuk dimintai keterangan, tapi malah menunjukkan kebidahannya, sehingga kemudian oleh Ulama/Wali yang otoritatif, diadili dan divonis sesat, lalu dijatuhi hukuman mati dan seluruh pengikut-pengikutnya dikejar-kejar, disuruh tobat, ditangkap atau dibunuh.

Sejauh ini, saya menggambarkan paham “wahdatul wujud” dengan tokoh utamanya Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi sebagai “katalisator” yang paling berpengaruh dalam pembentukan karakteristik “Islam Nusantara”. Mungkin akan ada yang mempertanyakan, bagaimana bisa begitu? Bukankah paham itu tertolak di Nusantara, juga di dunia Islam pada umumnya? Pertanyaan semacam ini bukan mengada-ada, karena kita memang lebih sering disuguhi gambar dengan segala citranya yang menempatkan paham ini dan tokoh-tokohnya sebagai “antagonis” di dalam sejarah “Islam Nusantara”.

            Cerita-cerita ini terus bertahan, walaupun sesungguhnya banyak mengandung paradoks dan anakronisme sejarah, sebagian mungkin karena “dijaga” dan “dinormalkan” melalui asumsi-asumsi akademis, walaupun sesungguhnya berupa klaim atau kesalahpahaman yang rapuh. Sebagai contoh, misal apa yang ditulis Dr. Simuh di dalam disertasinya Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ronggowarsito:

            “Di kalangan para penganut paham Manunggaling Kawula-Gusti, memang ada segolongan kecil yang berpaham pantheisme, yang memandang bahwa hakekat alam, manusia dan Tuhan, adalah sama. Yakni serba Tuhan, yang dianut oleh Ibnu Arabi, Hamzah Fansuri, Samsudin Pasai, dan dalam cerita Serat-Babad Syekh Siti Jenar. Namun, sebagian besar pengikut paham Manunggaling Kawulo-Gusti, masih mempertahankan perbedaan antara Tuhan yang wajib disembah, dan kawulo yang wajib menyembahnya. Seperti halnya Husain Ibn Mashur Al-Hallaj, Abdurra’uf al-Singkili, Ar-Raniri, dan lain-lain.”

Satu paragraf singkat dan padat dari dari Dr. Simuh di atas menunjukkan beberapa hal tentang asumsi-asumsi dan stereotip terhadap paham “Manunggaling Kawulo-Gusti”, istilah Jawa untuk menyebut “Wahdatul-Wujud”. Beserta “pemetaan” beberapa tokohnya dan pembedaan “aliran/varian” di dalam paham “Manunggaling Kawulo-Gusti” itu sendiri antara panteisme (paham serba Tuhan) yang berarti cenderung meninggalkan “syariat” dengan para pengikut yang tetap memegangi  “syariah” dan masih mempertahankan perbedaan antara Tuhan yang wajib disembah dan hamba yang wajib menyembahnya.

Dengan mengikuti model penilaian seperti di atas, kita sebetulnya dengan mudah bisa menunjukkan beberapa kesalahan dalam kesimpulan pada paragraf di atas atau yang sejenisnya. Beberapa kutipan dari ajaran-ajaran Ibnu Arabi dalam kitab al-Futuhatul Makkiyyah pada pembahasan-pembahasan di awal sudah cukup untuk menunjukkan kesalahan ini. Juga, kalau kita baca sendiri secara langsung, ajaran-ajaran Hamzah Fansuri, guru sufi abad XVI ini, di dalam kitab kita Syarabul ‘Asyikin, Asrarul ‘Arifin, dan sebagainya, maka stigma di atas jelas sekali kesalahannya. Barangkali dua kutipan dari Kitab Syarabul ‘Asiqin ini bisa mewakili ajaran-ajaran Hamzah Fansuri:

Barangsiapa tiada menurut fi’ilnya (Nabi), ia itu naqis (kekurangan) dan sesat hukumnya, karena shari’at [dan tariqat] dan haqiqat pakaian Nabi. Apabila kita tinggalkan suatu daripada tiga itu, naqis hukumnya. Adapun barangsiapa mengerjakan sembahyang fardlu, dan puasa fardu, dan makan halal, dan meninggalkan haram, dan berkata benar, dan tiada laba, dan tiada dengki, dan tiada minum tuak, dan tiada mengumpat orang, dan tiada mengadu-ngadu, dan tiada zina, dan tiada ujub, dan tiada riya’, dan tiada takabbur – banyak lagi mithalnya ini – ia itu memakai shari’at. Kerana perbuatan itu perbuatan Muhammad Rasulullah (shalla’llahu ‘alaihi wa sallam) yogya kita turut supaya dapat kita ke dalam tariqat, karena tariqat tiada lain daripada shari’at[17].

Demikian juga kalau kita baca secara langsung tanpa apriori ajaran Syamsuddin al-Sumatrani (wafat tahun 1630 M), pensyarah Hamzah Fansuri, dalam kitab Tibyan Mulahadhatil Muwahhid wal Mulhid fi Dzikrillah, maka tidak ada perbedaannya dengan isi kitab Nuruddin Ar-Raniri: Hujjatus Shiddiq li Daf’iz Zindiq. Beberapa disertasi sudah ditulis di Indonesia yang menunjukkan tuduhan-tuduhan terhadap Ibnu Arabi, Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani selama ini adalah suatu kezaliman.[18] Agus Sunyoto juga tidak saja telah mensistematisasi ajaran tasawuf Syekh Siti Jenar di dalam proporsinya dan menunjukkan ketauhidannya, bahkan mendekonstruksi sejarahnya untuk mengatasi secara meyakinkan berbagai keterbatasan atau penyimpangan yang menyembunyikan realitas di dalam babad-babad.[19]

Keyakinan saya bahwa spirit Ibnu Arabi[20]-lah yang menjadi “katalisator” terpenting (baik secara intelektual maupun spiritual) dalam pembentukan karakteristik “Islam Nusantara”, juga didukung oleh fakta bahwa – sejauh bisa ditelusuri – keseluruhan korpus karya Ulama-ulama Nusantara (abad XV–XIX), baik yang akrab di lingkungan kaum santri atau pesantren, maupun yang dipegangi di lingkungan kaum abangan (Keraton dan sekitarnya), baik di Jawa maupun di luar Jawa, menunjukkan derajat keterpengaruhan yang tinggi terhadap ajaran-ajaran Ibnu Arabi. Di luar naskah-naskah sejenis Babad, yang persis “sejarah” dan sejenis kisah atau epos, seperti Serat Menak atau Hikayat Amir Hamzah, maka hampir kesemuanya berupa naskah-naskah suluk, tasawuf, yang bersifat didaktis, teoritis maupun praktis. Dan kalau kita baca secara seksama, akan tampak bahwa semuanya berakar pada paham “Wahdatul-Wujud”, bermuara pada upaya membuka jalan bagi pembentukan “Insan Kamil”, manusia sempurna. Siapa “Dia”? Ia yang di dalam dirinya sendiri sudah merealisasikan segala kemungkinan yang mungkin bisa dicapai oleh makhluk. Sehingga dapat menjadi teladan untuk setiap orang, sebab, pada kenyataannya, setiap makhluk terpanggil untuk merealisasikan kemungkinan-kemungkinan yang ia bawa sejak lahir sesuai dengan nama Ilahi yang menjadi Rabb-nya yang khusus. Bagaimana mencapainya? Mari kita baca sekali lagi puisi Hamzah Fansuri di atas:

“Ketahuilah anak Adam/ Engkaulah haqiqat ‘alam

Isyiqmu jangan kau padam/ Supaya dapat berpayung iram

Campurkan yang empat ‘alam/ Hancurkan di laut dalam/

Syar’iy nabi yang khatam/ Kerjakanlah daim siang dan malam.”


Catatan Kaki:

[1] Untuk pembacaan terhadap Ibnu Arabi, disamping bercermin pada syarah-syarah tradisi, saya juga berhutang pada buku biografi intelektual dan spiritual Ibnu Arabi yang ditulis oleh Claude Addas, Mencari Belerang Merah, terj. Zaimul Amin. (Jakarta: Serambi, 2004). Juga kepada analisis Nasr Hamid Abu Zayd, Hakadza Takallama Ibnu Arabi (Beirut: al-Markazuts Tsaqafil Arabi. 2004), cet II.

[2]  Al-Futuhat Makkiyah, Kairo, 1293 H. Juz I, h. 392

[3] Futuhat, Juz I. H. 334.

[4] Futuhat, I, hlm. 723.

[5] Adz-Dzakhairul A’laq fi Syarh Tarjumanil Asywaq, tahqiq: Muhammad Abdurrahman al-Kurdi, Kairo, 1968.

[6] Masa-masa yang paling dinamis dalam Ashru at-Tadwin “Islam Nusantara” memang  antara abad ke-15-ke-18, tepat beriringan dengan kemunculan karya-karya “implementatif” Al-Jili dan Al-Burhanpuri di atas. Pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, Sunan Kalijaga dkk menghasilkan karya-karya yang tidak hanya menerjemahkan konsep-konsep seperti “Insan Kamil” dan “Maratibul Wujud” saja, tetapi secara kreatif juga mengembangkan dan mengkontekstualisasikan dengan kultur Jawa yang ada saat itu, seperti yang selama ini dikenal sebagai suluk-suluk pesisiran, Serat Menak, Serat Martabat Alam Pitu, dan sebagainya. Pada dekade berikutnya, Hamzah Fansuri muncul dengan syair-syair dan prosa-prosa yang menggelora tentang hakikat wujud dan jalan-jalan menuju pembentukan “Insan Kamil”, peralihan abad berikutnya, tampil Syekh Syamsuddin al-Sumatrani, abad ke-17 muncul Syekh Abdurra’uf al-Singkili, Mbah Mutamakin Kajen dan Syekh Yusuf al-Makassari yang cemerlang dan abad berikutnya, abad ke-18, kita bertemu dengan Syekh Abdushomad al-Palimbani dan Syekh Muhammad Nafis Banjar.

[7] Salinan manuskrip ini adalah kitab Tadzkiratul Tabaqat, Qanun Syara’ Kerajaan Aceh, susunan Syekh Syamsul Bahri, yang disalin oleh Tengku di Mulik Sayyid Abdullah al-Jamalullail atas titah Tuanku Ibrahim al-Mulaqqab Paduka Sri Sultan ‘Alaiddin Mansyur Syah pada tahun 1272 Hijriah. Untuk informasi ini, saya berterima kasih kepada Prof. Dr. T. Ibrahim Alfian.

[8] Di dalam sebuah manuskrip lain, yang tersimpan di Universitas Kebangsaan Malaysia, ada diceritakan tentang kedatangan kabilah dari Bagdad sebanyak 500 orang pada tahun 510 Hijriah atau 1116 Masehi di bawah pimpinan Makhdum Abi Abdillah Syaikh Abdurrauf al-Mulaqqab Tuan di Kandang Syaikh Bandar Darussalam dan membawa agama Islam kepada penduduk kampung Pande di Aceh. Putranya ialah Sultan Johan Syah yang menjadi Sultan di kampung Pande, dan seterusnya sampai kepada Johan Ali Ibrahim Mughayat Syah ini. Manuskrip tersebut juga menyebutkan bahwa sultan-sultan Aceh ialah zuriah Sultan Iskandar Zulkarnain melalui cabang Turkestan, Bukhara, yang dimulai dari Sultan Malik Ilik Khan Syah Saljuq. Untuk data ini, saya berterima kasih kepada Prof. Dr. T. Ibrahim Alfian. 

[9] Slamet Muljana, Sriwijaya (Yogyakarta: LKIS, 2006). Jejak dominasi Syiah masih dapat dikenali di daerah-daerah Pariaman, Jambi dan Bengkulu sampai saat ini, yang setiap tanggal 10 Muharram menyelenggarakan Festival Tabut untuk memperingati peristiwa Karbala, dan konon tradisi ini dimulai sejak zaman Burhanuddin Syah.

[10] Baca laporan hasil seminar masuknya agama Islam di Indonesia, A. Hasjmy, dkk., Medan, 1969, yang kesimpulan-kesimpulan terpentingnya banyak mendasarkan pada sebuah naskah Idzharul Haq fi Mamlakati Perlak yang mengkisahkan tentang kedatangan “armada” dari Persia di Perlak pada abad VIII–IX M, dan berhasil mendirikan kerajaan Islam yang pertama di sana. Naskah ini juga banyak bercerita tentang perkawinan-perkawinan “politik” antara pendatang-pendatang Muslim itu dengan keluarga “pemegang otoritas lokal”, dan kemudian membangun silsilah raja-raja di Perlak dan bersambung ke Pasai dan Malaka. Juga, pada akhirnya, sultan-sultan Aceh.

[11] Sampai sekarang, di berbagai desa di Jawa, saya masih melihat banyak orang yang memasang kain/bendera merah putih pada blandar, ketika membangun rumah, (mungkin) tanpa tahu asal-usulnya.

[12]. Menurut informasi, di Banjarmasin masih ada “tabu” bagi orang kebanyakan untuk mengenakan pakaian dengan warna kuning dan hijau.

[13] Bandingkan dengan karakteristik hubungan-hubungan itu di dalam UU NAD atau RUU Pemerintahan Aceh yang sekarang.

[14] Jane Drakard, Hikayat Raja-raja Barus (Jakarta; Gramedia, 1998).

 [15] Bandingkan dengan slogan Sumatera Barat saat ini yang berubah menjadi “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah” (ABSSBK), yang juga belum ada penjelasan resminya tentang asal-usul dan kerangka pemikirannya, baik secara filosofis maupun praktisnya.

 [16] Futuhat, juz 1.

[17] Baca Disertasi Dr. Kautsar Azhari Noer tentang Ibnu Arabi, dan Disertasi Dr. Abdul Hadi WM, tentang Hamzah Fansuri. Kedua disertasi ini diterbitkan oleh Penerbit Paramadina

 [18] Lihat novel-novel sejarah Agus Sunyoto tentang Syekh Siti Jenar, jilid 1–7 diterbitkan LKIS Yogyakarta.

 [19] Sekali lagi, saya ingin menegaskan bahwa yang saya maksud dengan spirit atau “futuhat” Ibnu Arabi di sini, bukanlah semata-mata kitab-kitab Ibnu Arabia atau murid-murid/pengikutnya langsung, melainkan ini berkaitan dengan posisi “unik” ajaran-ajaran Ibnu Arabi di antara ajaran-ajaran sufi sebelum dan sesudahnya, yang “merangkum” keseluruhannya tanpa menghilangkan perbedaan-perbedaan yang ada, bahkan menempatkannya dalam “martabat”-nya masing-masing. Jadi, maksudnya lebih kepada keseluruhan para sufi dan ajaran-ajarannya di dalam perbedaan varian di antara mereka, dan mungkin pertentangan-pertentangan di antara mereka juga, yang sudah “dirangkum” oleh Ibnu Arabi.

*Tulisan ini merupakan bagian dari salah satu tulisan dalam buku “Islam Berkebudayaan; Akar Kerarifan Tradisi, Ketatanegaraan, dan Kebangsaan”, (Pusataka Kaliopak: 2019).

0
1102
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.