Menu

Hindia Belanda

Kunjungan kenegaraan Belanda yang diwakili oleh Raja Willem-Alexander dan Ratu Maxima ke negara Indonesia, membawa berita tersendiri yang cukup menarik perhatian. Antara lain tentang permintaan maaf oleh Raja Willem-Alexander atas kekerasan yang dilakukan oleh Belanda di Indonesia usai Proklamasi 17 Agustus 1945. Selain itu, yang tidak kalah menghebohkan adalah berita tentang pengembalian benda pusaka berupa Keris milik Pangeran Diponegoro kepada Presiden Joko Widodo di istana negara, yang memancing banyak reaksi dari berbagai kalangan. Esai di bawah ini adalah karya Peter Carey yang turut andil dalam merespon mengenai keris Pangeran Diponegoro, yang diterjemahkan oleh Feureau Himawan Sutanto, Bandung. Kepada mereka berdua dan pihak-pihak yang terlibat, redaksi langgar.co mengucapkan banyak terima kasih. (Redaksi)

Pada hari Rabu, 4 Maret 2020, hampir 190 tahun sejak Pangeran Diponegoro, yang perjuangannya mirip dengan ‘William the Silent’, Pangeran Diponegoronya Belanda, ditahan oleh Jenderal Hendrik Merkus de Kock di Magelang, Jawa Tengah (28 Maret 1830) dengan cara yang khianat, Museum Volkenkunde (Museum etnografis) di Leiden mengumumkan bahwa keris pusaka sang pangeran, Kangjeng Kiai Nogo Siluman (Yang Mulia Baginda Raja Naga yang Tidak Kasat Mata), akhirnya ditemukan. Menurut siaran pers mereka, keris ini akan dikembalikan ke Indonesia, hanya beberapa hari sebelum kunjungan kerajaan Raja Willem-Alexander dan Ratu Maxima ke Indonesia (10-13 Maret 2020).

Pengaturan waktunya pun sempurna. Namun tujuan pengembalian keris ini bukanlah untuk menebus kesalahan dimasa lalu melalui diplomasi warisan. Seperti yang dikatakan oleh filsuf hukum dan spesialis dalam karya seni jarahan, Jos van Beurden, kalau tujuannya untuk menebus kesalahan, maka pengembalian keris ini terjadi “sangat terlambat (rijkelijk laat).”[1]

Udang dibalik batu dalam pengembalian keris ini adalah perjanjian dagang.

Rombongan utusan dagang Belanda yang besar yang dipimpin oleh menteri-menteri Sigrid Kaag (Menteri Kerja Sama Dagang dan Pembangunan Luar Negeri), Cora van Nieuwenhuizen (Menteri Infrastruktur dan Manajemen Air), Bruno Bruins (Menteri Perawatan Medis), yang dikirim ke negara bekas jajahan mereka untuk mendahului kunjungan keluarga kerajaan menggarisbawahi kepentingan dibalik pengembalian keris ini. Seperti yang dikatakan mantan Perdana Menteri Belanda, Joop de Uyl (menjabat, 1973-77), dalam ucapan salah guna katanya yang terkenal, “Kami adalah bangsa pengubur mayat (We are a nation of undertakers [begrafenisondernemers])!” Namun, di samping tujuan dagang dan politik, apa sebenarnya arti penting kejadian ini?

Nogo Siluman[2] tampaknya bukanlah salah satu senjata pusaka yang paling disayang oleh Diponegoro. Dia tidak pernah menyinggung tentang keris ini dalam autobiografinya yang setebal 1.100 halaman, Babad Diponegoro (1831-32). Keris ini juga tidak tercatat diantara tombak-tombak dan belati-belati yang dibagikan oleh pemerintah Penjajahan Belanda kepada anggota keluarga Diponegoro setelah ia ditahan. Lebih lanjut lagi, keris ini juga tidak disinggung oleh Jenderal De Kock dalam laporannya yang sangat mendetil tentang perbincangannya dengan Diponegoro pada bulan Maret 1830 yang bersejarah itu.[3] Bagaimana keris ini bisa jatuh ke tangan komandan pasukan Belanda kelahiran Antwerp yang bernama Colonel Jan-Baptist Cleerens (1785-1850) (Gambar 5), yang kemudian mempersembahkan keris itu kepada Raja Willem I (bertakhta 1813-40) pada tanggal 11 Januari 1831, tetap menjadi misteri sampai hari ini. Tapi kita bisa mengira-ngira berdasarkan beberapa informasi yang kita ketahui. Karena Cleerens adalah perwira yang ditugaskan untuk menyiapkan “perundingan damai” dengan sang pangeran pada 16 Februari 1830 di Remokamal di Banyumas, dan Diponegoro menerimanya dengan hangat — sebagai ‘seseorang yang hatinya bisa dipercaya (kang tyas pan langkung pitajengipun)’ dalam autobiografinya[4] — mungkin saja dalam kesempatan ini belati pusaka itu diberikan untuk sebagai tanda jadi kesepakatan antar kedua pria tersebut atas janji yang diberikan Cleerens bahwa pihak Belanda akan melakukan perundingan dengan itikad baik.

Tentu saja kita ketahui bahwa Belanda kemudian mengingkari perjanjian ini. Dan akibatnya menjadi bencana — untuk bangsa Belanda dan juga bangsa Indonesia.

Seperti yang ditulis oleh Pangeran Hendrik sang Pelaut (Prins Hendrik de Zeevaarder, 1820-1872), putra bungsu Raja Willem II (bertakhta 1840-49) (Gambar 2) yang pada saat itu masih berumur 16 tahun, dalam buku hariannya (Gambar 3) dengan penuh kejujuran setelah bertemu dengan Diponegoro di tempat penahanannya di Benteng Rotterdam, Makassar, pada tanggal 7 Maret 1837:

Semua orang tahu kalau Diponegoro memberontak melawan kita, tapi penahanannya akan selalu, menurut hemat saya, menjadi sebuah noda dalam reputasi orang Belanda sebagai manusia yang mulia. Benarlah bahwa ia adalah seorang pemberontak, akan tetapi, dia datang menemui kita untuk mengakhiri sebuah perang yang telah memakan begitu banyak korban jiwa dikedua belah pihak, dan dia datang menemui kita dengan memegang janji yang diberikan pihak Belanda untuk melakukan perundingan dengan itikad baik. Kemudian dia ditahan atas perintah Jenderal de Kock. Saya percaya bahwa urusan ini, yang telah membawa berbagai keuntungan bagi kita (mengenai kepemilikan kita atas keseluruhan pulau Jawa), telah mengakibatkan bahaya besar dalam artian moral, karena kalau dimasa depan kita ketiban sial dimana kita terlibat dalam sebuah peperangan lagi di pulau Jawa, atau kita [orang Belanda] atau [mereka] orang Jawa akan dikalahkan, karena tak seorang pun petinggi pribumi akan bersedia menjalin hubungan dengan kita lagi—dan ini tidak akan hanya terjadi di pulau Jawa, namun demikian halnya pula di semua tempat [di seantero kepulauan Hindia-Belanda/Indonesia].”

[“Iedereen weet dat Diepo Negoro [Diponegoro] in opstand tegen ons is geweest maar zijn gevangennemen zal altoos volgens mijne wijze van de zaak in te zien, een schandvlek aan de oude hollandsche trouw zijn. Het is waar hij was muiteling, maar hij kwam om een eind te maken aan eene oorlog die aan ons en aan hem zoo’n veel volk heeft gekost had en wat nog meer is hij kwam vertrouwende op de hollandsche trouw om te onderhandelen. Toen is hij gevat op order van de Generaal De Kock. Ik geloof dat deze zaak die ons het is waar zeer veel gedient heeft (betrekkelijk ons bezit van Geheel Java) ons het grootste kwaad gedaan heeft in het moreel want indien wij voor ons ongeluk weer oorlog op Java krijgen zal een der beiden ten onder gaan wij of de Javaan, want geen een Hoofd zal dan immer meer iets met ons te doen willen hebben. Dat zal niet alleen op Java gebeuren maar overal.”][5]

Ramalan Pangeran Hendrik pun terbukti benar. 112 tahun kemudian, pada tanggal dan bulan yang sama (8 Maret 1830) dengan hari ketika Diponegoro datang ke Magelang diikuti 700 orang pengikutnya untuk berunding dengan Jenderal de Kock, pasukan Belanda pun mengalami kekalahan besar di tangan pasukan Jepang (8 Maret 1942). Kebanyakan orang Indonesia pun merayakan kekalahan ini — ‘tidak akan ada seorang pun kepala suku [orang Indonesia] yang bersedia menjalin hubungan dengan kita lagi. [geen een (Indonesisch) Hoofd zal dan immer meer iets met ons te doen hebben]!’ Jarang ada Schadenfreude (kegembiraan atas malapetaka [yang ketiban musuh]) lebih bisa dinikmati daripada ini!

Lalu bagaimanakah nasib Yang Mulia Baginda Raja Naga yang Tidak Kasat Mata dalam pengasingannya selama 189 tahun di Belanda? Masih ada begitu banyak teka-teki yang harus dipecahkan. Dikutuk untuk berada ditengah kegelapan di Koninklijk Kabinet van Zeldzaamheden (Koleksi Benda Langka Kerajaan) di Den Haag (1831-83) kemudian di gudang berdebu di Rijks Ethnographisch Museum/Rijksmuseum voor Volkenkunde (Museum Etnografis Negara; pasca-2005, Museum Volkenkunde [Museum Etnologi]) di Leiden, nasib belati ini adalah sebuah kisah pengasingan dan kelupa-lupaan. Jauh di mata, jauh di hati. Mirip, malah, dengan nasib mantan pemiliknya, Pangeran Diponegoro, yang menghabiskan sepertiga hidupnya (1833-55) di dalam dua buah “kamar yang panas dan menyedihkan” — demikian tulis Pangeran Hendrik — di Benteng Rotterdam yang berada di Makassar, di kepulauan Celebes (Sulawesi) nun jauh di sana.

Nasib belati ini sangat berbeda dengan sebilah belati kerajaan lain — keris yang satu ini adalah keris yang betul-betul bergaya Nogosiluman dengan tiga belas kelukan (ěluk) pada bilahnya (lihat catatan kaki 2) — yang dirampas oleh Letnan-Gubernur Inggris, Thomas Stamford Raffles (menjabat, 1811-16) dari Sultan Yogyakarta (bertakhta 1792-1810/1811-12/1826-28) setelah pasukan Inggris menjarah keratonnya pada hari Sabtu dini hari, tanggal 20 Juni 1812 dan kemudian mengasingkan sang sultan ke Pinang (1812-15).

Senjata pusaka ini, yang dipersembahkan oleh Raffles sendiri pada bulan Mei 1817 kepada Putra Mahkota Inggris, yang dikemudian hari diangkat menjadi Raja George IV (bertakhta 1820-30), seorang anggota keluarga kerajaan Inggris yang dikenal menyukai persenjataan dan segala hal yang berkaitan dengan militer walau ia sendiri tidak pernah maju ke medan tempur, telah lama disimpan di Koleksi Persenjataan Kerajaan (Royal Armoury Collection) di Puri Windsor dimana keris ini bisa dinikmati melalui internet (lihat foto 1).[6] Bagaimanapun perasaan anda tentang adil atau tidaknya menyimpan peninggalan bersejarah dari zaman penjajahan didalam museum di negeri penjajah, setidaknya belati yang satu ini dikuratori dan dipelihara dengan baik. Sangat berbalikan dengan ketidakpedulian Belanda terhadap senjata pusaka pribadi Diponegoro yang selama lebih dari satu abad hilang di museum-museum negara itu. Tapi mungkin inilah saatnya dimana sebuah masa depan yang baru sedang menanti keris yang seperti Kucing Cheshire — kadang kasat mata, kadang menghilang — ini, dan ia akan mentertawai mantan penculiknya sembari terbang menuju tanah air diatas sayap Garuda.

Gambar 1: Perbandingan dua buah keris: Atas: Keris pribadi Sultan Hamengkubuwono II dari Yogyakarta, yang bergaya Nogosiluman dengan tiga belas kelukan (ěluk), sekarang berada di Koleksi Persenjataan Kerajaan (Royal Armoury Collection) di Puri Windsor, Inggris; dan Bawah: Keris milik Diponegoro, yang bergaya Nogososro dengan sebelas kelukan (ěluk), sebelumnya keris ini berada di Museum Volkenkunde (Museum etnografis), Leiden dan kini (pasca akhir Maret 2020) berada di Museum Nasional, Jakarta. Photo oleh Koleksi Persenjataan Kerajaan dan Profesor Sri Margana (Universitas Gajah Mada/Leiden University).

Gambar 2: Pangeran Hendrik Sang Pelaut (1820-72), putra bungsu Raja Willem II dari Nederland (bertakhta 1840-49), lukisan cat minyak oleh Jan-Baptist van der Hulst (1790-1862) kini berada di Istana ‘Het Loo,’ menggambarkan sang pangeran sedang berpakaian letnan kelas dua angkatan laut Belanda sebelum dia berlayar ke Indonesia pada tanggal 17 Oktober 1836 diatas fregat Bellona (Kapten Pieter Arriëns). Photo oleh Komunitas Sejarah Oranje-Nassau (Geschiedkundige Vereniging Oranje-Nassau).

Gambar 3: Halaman dari buku harian Pangeran Hendrik sang Pelaut dimana ia bercerita tentang pertemuannya dengan Pangeran Diponegoro pada tanggal 7 Maret 1837 di Benteng Rotterdam, Makassar, dan pada halaman ini tercantum sketsa tangan yang menggambarkan Pangeran Diponegoro dengan tutup kepala muslim bergaya Bugis. Arsip Kerajaan (Koninklijke Huis Archief [Den Haag]), GO54-309-01 (Arsip Pangeran Hendrik), ‘Dagboek’, 7-03-1837. Gambar oleh Koninklijke Huis Archief, Den Haag.

Gambar 4: Sketsa pensil yang menggambarkan Diponegoro yang dibuat oleh Adrianus Johannes (Jan) Bik (1790-1872) yang dibuat di Balai Kota (Stadhuis) Batavia (pasca-1942, Jakarta) di akhir bulan April 1830 sebelum sang pangeran berlayar di atas korvet perang Pollux ke pengasingannya di Sulawesi (3/4 Mei 1830). Sketsa ini menggambarkan sang pangeran berpakaian “imamat” yang ia gunakan selama Perang Jawa, yang terdiri dari turban, baju koko/pakaian yang terbuat dari katun (kabaya) dan jubah. Sebuah selempang digantungkan di bahu kanannya dan pusaka keris Kangjeng Kiai Bondoyudo (Yang Mulia Baginda yang Bertanding Tanpa Senjata) terselip di tali pinggangnya yang terbuat dari sutra dan berhiaskan bunga-bunga. Pipinya yang agak kempot, yang menonjolkan tulang pipi sang pangeran yang tinggi, disebabkan karena penyakit malaria tropisnya yang terus menerus kambuh yang dideritanya sejak ia berkelana di hutan-hutan di daerah Bagelen dan Banyumas pada tiga bulan terakhir Perang Jawa (11 November 1829-16 Februari 1830). Gambar oleh Rijksmuseum, Amsterdam.

Gambar 5: Penahanan Diponegoro oleh Jenderal de Kock pada hari Minggu, 28 Maret 1830, lukisan cat minyak diatas kanvas oleh Raden Saleh (sekitar 1811-80), 112 x 179 cm, diselesaikan pada bulan Maret 1857. Saleh melukiskan Kolonel Jan-Baptist Cleerens (1785-1850) sebagai figur Yudas Iskariot dengan menyender ke sebuah tiang yang berdiri di bagian kiri Rumah Keresidenan dan matanya memandang dengan penuh arti ke arah pemirsa. Kolonel kelahiran Antwerp ini sebenarnya tidak menghadiri penahanan Diponegoro, tapi Saleh telah memasukkan dia dalam lukisannya ini untuk menggarisbawahi pengkhianatannya. Lukisan ini kini menggantung di Istana Negara di Jakarta. Gambar seizin Sekretariat Presiden Republik Indonesia.

 

Catatan Kaki:

[1] Eric Brassem, “Nederland geeft ‘verloren’ kris terug aan Indonesië”, Trouw (4 Maret 2020).

[2] Nama keris ini memang membingungkan karena bentuk kerisnya yang bukan merupakan tipe Nogo Siluman, yang mana keris tipe Nogo Siluman memiliki tiga belas kelukan (ěluk) pada bilahnya, namun keris ini merupakan tipe Nogososro yang hanya memiliki sebelas kelukan (ěluk). Apalagi, menurut Ketum Sekretariat Nasional Perkerisan Indonesia (SNKI), Fadli Zon, itu bukan dhapur [bentuk bilah] Nogo Siluman (Naga Siluman) tapi dhapur Nogo Rojo (Naga Raja): ‘Naga Raja memang mirip dengan Naga Sasra, hanya beda di mahkota’, tweet, 12-03-20. Menurut ahli keris lain, Mpu Nilo, ‘untuk mengetahui apakah keris tersebut Nogo Siluman atau bukan, sangat mudah: keris Nogo Siluman memiliki dhapur berbentuk naga tanpa badan. Naga tersebut hanya sebatas leher tanpa bagian tubuh yang menjalar ke ujung keris’. Sumber dari kebingungan ini mungkin sebagian disebabkan oleh sebuah uraian tentang belati Diponegoro ini yang ditulis oleh komandan pasukannya yang masih muda (22 tahun), Ali Basah Sentot Prawirodirjo (sekitar 1808-55), tertanggal 27 Mei 1830 (Susan Legêne, De Bagage van Blomhoff en Van Breugel; Japan, Java, Tripoli en Suriname in de negentiende-eeuwse Nederlands cultuur van het imperialisme [Amsterdam: Museum voor de Tropen, 1998], hlm. 290-91), dan sebagian lagi disebabkan karena deskripsi yang dibuat oleh pelukis Raden Saleh Syarif Bustaman (sekitar. 1811-80), yang juga masih muda pada saat itu (20 tahun), dalam uraiannya yang tentatif tentang senjata itu ketika keris itu tiba di Koninklijk Kabinet van Zeldzaamheden (Koleksi Benda Langka Kerajaan) pada pertengahan bulan Januari 1831, lihat Werner Kraus dan Irina Vogelsang, Raden Saleh; The Beginning of Modern Indonesian Painting (Jakarta: Goethe Institut, 2012), hlm.36-37.

[3] Universiteitsbibliotheek Leiden (UBL), KITLV H (=Hollands MS) 340, H.M. de Kock, Verslag van het voorgevallene met den Pangeran Dipo-Nagoro kort vóór, bij en na zijne overkomst [Laporan tentang yang terjadi dengan Pangeran Diponegoro sedikit sebelum, selama dan sesudah kedatangnya (kepada kami)], 1 April 1830.

[4] Peter Carey, The Power of Prophecy; Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855 (Leiden: KITLV Press, 2007), hlm.669 catatan kaki 55.

[5] Arsip Kerajaan (Koninklijke Huis Archief (Den Haag), GO54-309-01 (Arsip Pangeran Hendrik), ‘Dagboek’, 7-03-1837, dikutip dalam Katrientje Huyssen van Kattendijke-Frank (ed), Met prins Hendrik naar de Oost; De reis van W.J.C. Huyssen van Kattendijke naar Nederlands-Indië, 1836-1838 (Zutphen: Walburg, 2004), hlm. 121.

[6] https://www.rct.uk/collection/67495/kris-and-scabbard (Kris dan sarungnya, besi, emas, rubi, berlian, dan kayu, RCIN 67495).

 

*Judul asli sesai ini “Gara-Gara Nila Setitik, Rusak Susu Sebelanga [Een Schandvlek op De Oud Hollands Trouw]: Sebuah Renungan Tentang Pengembalian Keris Pusaka Pangeran Diponegoro, Kangjeng Kiai Nogo Siluman”

Zulhijah 1439 Hijriah, saya kadang bertanya-tanya, sebenarnya apa yang dibayangkan oleh pemeluk agama lain tentang umat Islam yang menunaikan ibadah haji pada setiap bulan Zulhijah? Pertanyaan ini –mungkin– dulu juga pernah hadir dalam benak seorang pemuda Kristiani, kelahiran Oosterhout –Belanda– 138 tahun silam. Bila saya hanya terhenti pada sebuah pertanyaan, maka setahu saya pemuda itu berhasil menjawab pertanyaan yang sama dengan tuntas. Bahkan, jawaban yang ia peroleh, konon mampu menjembatani orang-orang sebangsanya untuk membayangkan satu hal yang sebenarnya sangat berjarak dengan mereka. Hal itu adalah Islam.

Pemuda yang memiliki pertanyaan yang sama seperti yang saya ajukan itu bernama Christiaan Snouck Hurgronje. Bila saya hanya iseng-iseng bertanya dan ujungnya, masih bingung untuk menjawab pertanyaan itu, maka bagi Snouck (baca: panggilan Christiaan Snouck Hurgronj) pertanyaan tersebut menjadi sebuah pertanyaan kunci dalam karya desertasi yang diberinya judul Het Mekkaansche feest (Festival Mekah). Melalui serangkaian penelitian serius selama enam tahunan terhadap teks-teks klasik berbahasa Arab, Snouck berhasil mempertahankan jawaban yang ia peroleh dalam sebuah sidang terbuka di Universitas Leiden, pada tanggal 24 November 1880.

Saya memang tidak setekun Snouck Hurgronje. Saya hanya membaca beberapa buku lalu menyerah karena semakin bingung menjawab pertanyaan iseng tersebut. Snouck jauh lebih unggul daripada saya, ia berhasil merasionalisasikan hubungan antara tradisi beragama kaum Yahudi dengan Ibadah haji yang diserukan oleh Muhammad, sang orang Arab itu. Tak berhenti di situ, Snouck bahkan berani menggugat dogma ketuhanan yang dipahami oleh umat Islam hanya  untuk mendapatkan jawaban yang paling rasional dari pertanyaan yang berusaha ia jawab. Dan, ia berhasil (baca : sementara ini) melakukan gugatan itu.

Dalam Het Mekkaansche Feest, Snouck dapat menjelaskan secara lebih rasional bahwasannya Ibadah haji yang diserukan oleh Muhammad itu sebanarnya juga dapat dibaca sebagai sebuah strategi politik ketimbang hanya memahaminya secara taklid sebagai sebuah perintah agama yang dogmatis.  Bagi Snouck, Muhammad adalah seorang ahli strategi politik yang ulung (Drewes, 1957).

Bila mengamati konteks historiografi dari Haji itu sendiri sebagai sebuah syariat (baca: Hukum yang wajib dilaksanakan dalam Islam), maka kita perlu mundur kebelakang untuk melihat kembali sejarah awal penyebaran agama yang sempat mengalami penolakan dari kalangan Yahudi di Arab. Banyak riwayat yang menceritakan bahwa penolakan tersebut, terutama dalam hadist-hadist khudsi. Terdapat satu fakta yang tidak dapat dipungkiri, bahwa Muhammad adalah seorang Arab (baca: suku pengembara), yang berbeda dengan orang-orang Yahudi pewaris sah kota suci Makkah. Dan, yang pasti ia (baca: Muhammad) jelas berjarak dengan tradisi keagamaan yang diimani oleh orang-orang Yahudi itu. Apapun yang akan dilakukan oleh Muhammad, ia adalah orang luar (the other/outsider) dalam perspektif orang Yahudi. Disinilah letak sisi politis dari sosok Muhammad, sang Nabi umat Islam itu. Apapun tindakan yang ia serukan akhirnya cukup rasional untuk didekati dengan perspektif politik (Hurgronje, 1917). Untuk mendapatkan kepercayaan orang Yahudi bahwa ia (baca : Muhammad) juga merupakan bagian dari mereka (baca : tradisi ketuhanan kaum Yahudi), maka tugas utama Muhammad adalah meyakinkan komunitas-komunitas Yahudi di Arab bahwa ia merupakan bagian dari mereka. Jelas strategi diplomasi harus ambil bagian di sini.

Ketika umat Islam yang dipimpin oleh Muhammad melaksanakan Haji untuk pertama kalinya (baca : menziarahi dua kota suci peninggalan nabi-nabi bangsa Yahudi) maka Muhammad sang orang asing itu pun segera mendapatkan pengakuan atas “Kenabiannya” dari bangsa Yahudi (Hurgronje, 1917; Drewes, 1957). Maka menjadi sangat rasional ketika seruan haji yang dibawa oleh Muhammad dibaca sebagai sebuah kebijakan diplomasi politik. Apalagi ketika seruan haji itu dilegitimasi dengan wahyu Ilahiyah yang didapatkan oleh Muhammad (baca: Surah Al Hajj yang berisi kisah mengenai pembangunan Kaabah oleh Ibrahim, Sang Nabi Yahudi) (Hurgronje, 1917). Disinilah letak rasionalisasi dari Ibadah Haji yang berhasil disusun oleh Snouck Hurgronje itu.

Melalui tesis tersebut, Snouck akhirnya juga mampu merasionalisasikan implikasi dari pengakuan yang diberikan oleh Bangsa Yahudi atas ketersambungan sanad dari Islam terhadap tradisi keagamaan yang diimani oleh Yahudi. Implikasi tersebut ia namai sebagai “Islamisasi” (hasil strategi diplomasi yang dilakukan oleh Muhammad). Setelah Islam memperoleh legitimasinya, proses Islamisasi akhirnya mulai masif terjadi di kota suci kaum Yahudi (baca : Makkah). Bahkan Kaabah yang terletak di pusat kota Makkah pun berhasil direbut oleh umat Islam. Tak hanya itu, beberapa situs keagamaan kuno yang terletak di daerah-daerah perbukitan di sekitar Makkah pun terdampak proses Islamisasi itu (Drewes, 1957).

Jawaban Snouck itu jelas diluar jangkauan saya, meskipun –baik saya maupun Snouck Hurgronje– mengawalinya dari sebuah pertanyaan yang sama, tetapi tetap saja Snouck Hurgronje-lah yang berhasil menjawab pertanyaan itu dengan bobot jawaban yang lebih berkualitas secara akademis. Het Mekkaansche Feest karya Snouck Hurgronje memberikan sumbangsih yang besar terhadap kajian Islam dan antropologi timur di universitas-universitas Eropa hingga hari ini. Bahkan sangat pantas bila karya tersebut dikatakan sebagai karya yang melandasi pandangan dasar para peneliti Eropa yang mengkaji Islam pada masa-masa berikutnya.

Snouck mungkin salah satu sarjana Eropa angkatan pertama yang sangat paham Islam dizamannya. Dan, tak heran, jika dunia mengenangnya sebagai sosok antropolog termashur bila kita melihat kegemilangan karya-karya yang ditulisnya itu. Pun di sini, di Indonesia (baca: dahulu Hindia Belanda) Snouck Hurgronje juga menjadi tokoh kunci, ia menjabat sebagai penasihat pemerintah Hindia Belanda urusan keagamaan, melalui petuah-petuahnya-lah pemerintah kolonial akhirnya sepakat untuk mengontrol secara ketat arah perkembangan agama Islam kedepannya. Hasilnya: Perang Aceh akhirnya dapat diredam pemerintah, Voorstenlanden berhasil ditakukan, bahkan aliran-airan dalam Islam yang masuk ke Hindia-Belanda pun berhasil di-screening. Sadar atau tidak sadar, mungkin keislaman yang kita pahami hari ini –bisa jadi– merupakan produk politik agama yang telah dirumuskan oleh Snouck Hurgronje.


Referensi

Drewes, G. Snouck Hurgronje and The Study of Islam, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 113, 1957

Hurgronje, C. Snouck. Perayaan Mekah 1880 dalam Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje, Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS) Jilid I, Jakarta, 1995.

Hurgronje, C. Snouck. The Revolt in Arabia, The Knickerbockers Press G.P. Putnam’s Sons New York and London, 1917

 Kuitenbrouwer, Maarten. Dan Harry A. Poeze (ed), Dutch Scholarship in The  Age of Empire and Beyond, Koninklijke Brill Leiden – Boston NV., 2014

 Low, Michael Christopher, “Empire of the Hajj: Pilgrims, Plagues, and Pan-Islam under British Surveillance,1865-1926.” Thesis, Georgia State University, 2007

Porter, Venetia dan Liana Saif, The Hajj : Collected Essay, The Trustees of British Muesum, 2013

 Van Koningsveld, Pieter. S.., Conversion of European Intellectuals to Islam: The Case of Christiaan Snouck Hurgronje alias ʿAbd al-Ghaffār, dalam Muslim in Interwar Europe : A Transcultural Historical Perspective, Koninklijke Brill Leiden – Boston NV., 2016