Menu

Sastra

Kita mafhum, tasawuf itu begitu banyak, majemuk, dan beraneka ragam. Ini karena sifat ajaran Tasawuf yang sangat individual, subjektif, dan intuitif. Abstraknya ajaran tasawuf juga menjadi penyebabnya. Sebab itu, kebanyakan Sufi tidak menyampaikan ajaran atau pemikiran mereka secara lugas dan deskriptif-ilmiah serta diskursif-ilmiah. Penyampaian seperti itu akan banyak menimbulkan pelbagai kesulitan yang selanjutnya membuat ajaran tasawuf tidak menarik. Meskipun demikian, harus dicatat juga bahwa ada juga yang menyampaikan ajaran tasawufnya secara deskriptif dan diskursif, misalnya Al-Ghazali dan Ibnu Arabi. Tetapi, jumlahnya tidak banyak.

Para sufi gemar menyampaikan ajaran tasawufnya melalui kesenian, misalnya tari, musik, dan Sastra.  Abdul Hadi WM pernah berkata  bahwa “… dalam tradisi tasawuf sendiri, di samping tari dan musik, puisi memainkan peranan sentral, khususnya dalam menyampaikan ajaran-ajaran yang tidak bisa disampaikan secara deskriptif. Contohnya, Jalaluddin Rumi, sufi-penyair yang begitu kondang di dunia tasawuf dan dunia sastra, sangat gemar menyampaikan ajaran-ajarannya melalui tari, musik, dan puisi. Dengan diiringi oleh tabuhan-tabuhan rebana yang dimainkan oleh para darwis dan serentak dengan itu para darwis itu menari-nari dengan gerakan-gerakan tertentu yang indah, berpuisilah Jalaluddin Rumi meluncurkan syair-syair sufistisnya sambil ikut menari-nari, berputar ke sana ke mari dengan gemulai dan indah.

Ini berarti, gagasan tasawuf dalam sastra merupakan transformasi atau manifestasi ajaran tasawuf.

Begitu juga sufi-sufi lainnya. Setidak-tidaknya mereka menulis syair-syair yang berisi ajaran tasawufnya. Di sini sastra telah menjadi wahana gagasan tasawuf. Ini berarti, gagasan tasawuf dalam sastra merupakan transformasi atau manifestasi ajaran tasawuf. Di sini dicontohkan karya Jalaluddin Rumi. Karier kesufian dan ajaran tasawuf Rumi praktis semuanya dituangkan ke dalam puisi-puisi dan aforisme-aforisme puitisnya yang bernas. Misalnya, gagasannya sekaligus ajarannya tentang kesatuan atau persatuan wujud. Dalam mengemukakan gagasan ini, misalnya, Rumi membuat puisi berikut ini.

T’lah kusisihkan segala kegandaan: kulihat dua dunia satu adanya; Satu kucari, satu kukenal, Satu kulihat Satu kuseru;

Dia yang Awal, Dia yang akhir, Dia yang Lahir, Dia yang Batin;

Tiada kukenal lain, kecuali “Ya Huw” dan “Ya Man Huw”

Aku mabuk piala Cinta, dua dunia t’lah hilang dalam pandanganku.

Dalam puisi di atas Rumi mengekspresikan gagasan kesatuan atau persatuan wujud dalam Tuhan. Segala kegandaan dan keanekaragaman yang wadag dan tampak saling bertentangan lebur menyatu dalam haribaan kesatuan atau persatuan wujud itu. Dikatakan Rumi:/…kulihat dua dunia satu adanya … Aku mabuk piala Cinta, dua dunia t’lah hilang dalam pandanganku/. Gagasan seperti ini juga tertuang dalam Masnavi-i Ma’navi [Masnawi], Divan-i Syams-i Tabriz [Diwan Samsi Tabriz], dan Fihi ma Fihi – yang merupakan karya puisi dan aforisme Rumi yang paling cemerlang yang berisi gagasan dan ajaran utama tasawuf Rumi.

Al-Hallaj juga harus dijadikan contoh seorang sufi radikal yang selalu mengungkapkan gagasan dan ajaran persatuan wujud, persenyawaan wujud, atau manunggaling kawula lan Gusti, malah sirnaning kawula marang Gusti dalam bentuk puisi. Bisa dibilang, semua gagasan dan ajaran Hallaj tentang persatuan wujud dieskpresikan dalam puisi, antara lain dalam Kitab Thawasin dan Diwan Al-Hallaj. Pada waktu mengungkapkan ajaran radikalnya, yaitu Ana al Haqq, Hallaj berucap dalam puisinya:

Aku adalah Engkau, tanpa ragu

Mahasuci Dikau, mahasuci daku

Tauhid-Mu adalah tauhidku

Memaksiati-Mu adalah memaksiatiku

Membuat marah-Mu adalah membuat

marahku

Dan ampunan-Mu adalah ampunanku

Di samping itu, Hallaj juga berucap:

Kuleburkan ruh-Mu dengan ruhku

Seperti leburnya khamr dalam air murni

Apabila sesuatu menyentuh-Mu

Ia pun menyentuhku

Maka tiba-tiba Engkaulah daku

Dalam setiap kondisi dan situasi

Dua kutipan di atas begitu gamblang dan terang mengungkapkan ajaran persatuan wujud menurut Hallaj. Larik /Aku adalah Engkau, tanpa ragu/ dan /Kuleburkan ruh-Mu dengan ruhku/ menggambarkan betapa dahsyat tiada tara kerinduan dan kasmaran yang dialami oleh aku lirik dan betapa luar biasanya magnet cinta Tuhan kepada aku lirik. Kerinduan dan kasmaran itu kemudian membuat si aku lirik (Hallaj) merasa bersatu atau sirna dalam Tuhan meskipun dalam arti metaforis (tidak dalam arti sebenarnya) sebab mana mungkin Khaliq dan makhluk benar-benar bersatu. Persatuan yang disampaikan Hallaj dalam puisi di atas adalah persatuan transenden, bukan persatuan monistis.

Demikian juga Muhammad Iqbal dapat dijadikan contoh penting. Pembaru pemikiran Islam, filosof, penyair, dan sufi ini justru mewadahi sebagian besar pemikiran keagamaan, gagasan filsafat, dan ajaran tasawufnya dalam puisi. Boleh dibilang, puisi adalah wadah dan wahana utama ajaran tasawuf Iqbal. Kumpulan puisi Asrari Khudi (Rahasia Diri) dan Javid Nama serta Pesan dari Timur merupakan tiga karya utama-unggul Iqbal yang secara kuat dan terang mengeluarkan gagasan dan ajaran tasawuf Iqbal. Javid Nama atau Kitab Keabadian atau Ziarah Abadi, misalnya, mengisahkan secara gamblang stasiun-stasiun jiwa [yang dinamai berbeda-beda oleh Iqbal] yang harus dilalui setiap pribadi atau manusia agar mencapai tangga keabadian.

Dalam setiap stasiun selalu ada prasyarat yang harus dipenuhi dan kendala yang harus diatasi. Kemampuan melewati satu stasiun jiwa akan mengantarkan kepada stasiun berikutnya. Demikian seterusnya terjadi. Misalnya, kemampuan melewati stasiun Prolog di Surga akan mengantarkan setiap pribadi ke stasiun Prolog di Bumi dan setelah itu ke stasiun Cakrawala Bulan. Perjalanan dari satu stasiun jiwa ke stasiun jiwa berikutnya digambarkan oleh Iqbal seperti perjalanan Isra’ Mi’raj. Dengan wadah puisi ini diharapkan oleh Iqbal, gagasan dan ajaran sufismenya jauh lebih konkret, mudah dihayati, dan cepat dipahami oleh pembaca.

Tak heran…, di antara semua gerakan mistisisme di dunia, tasawuf merupakan gerakan dan ajaran mistik yang paling banyak melahirkan penyair mistik.

Tak heran, seperti banyak dikatakan pemerhati dan peneliti, di antara semua gerakan mistisisme di dunia, tasawuf merupakan gerakan dan ajaran mistik yang paling banyak melahirkan penyair mistik. Ratusan, bahkan tak mustahil ribuan penyair mistik atau penyair sufi telah dilahirkan oleh gerakan sufisme. Hal ini setidaknya karena empat hal. Pertama, sastra dan tasawuf bertolak dari titik yang sama, yakni penghayatan. Kedua, sastra khususnya puisi yang menawarkan pengalaman estetis dan literer dan tasawuf yang menawarkan pengalaman mistik dan ruhaniah sama-sama sangat personal dan unik. Ketiga, pengalaman mistik yang dibuahkan oleh tasawuf selalu memiliki kualitas puitis dan estetis yang dibuahkan oleh sastra khususnya puisi juga memiliki kualitas mistis. Keempat, sastra khususnya puisi memiliki kemungkinan tak terbatas dalam menciptakan hubungan baru antara gagasan keagamaan dan keduniawian, antara imaji fana dan kudus (profan dan sakral), antara dunia batin dan dunia lahir, dan antara yang ruhaniah dan lahiriah.

Di samping penyair sufi atau mistik, tentu tasawuf melahirkan banyak karya sastra bernafas tasawuf yang tersebar ke pelbagai penjuru bumi. Bukan hanya di wilayah-wilayah Timur Tengah atau Islam, tetapi juga wilayah Barat yang kita pandang non-Islam. Khazanah sastra bernafas tasawuf diakui oleh berbagai ahli demikian kaya luar biasa. Louis Massignon, seorang Prancis yang [bisa disebut] sangat ahli tentang Hallaj dan berpengetahuan mendalam soal tasawuf, mengakui kekayaan khazanah sastra sufi. Demikian juga Annimarie Schimmel, seorang Jerman yang sangat otoritatif di bidang tasawuf, telah menghasilkan pelbagai kajian tentang tasawuf dan sastra sufi yang terdapat di berbagai wilayah — dari Timur Tengah sampai dengan Cina.

Selain itu, berbagai antologi puisi bernafas tasawuf juga telah diterbitkan baik oleh ahli-ahli Barat maupun oleh beberapa kritikus, penyair, dan ahli sastra Indonesia. Belakangan ini puisi-puisi bernafas tasawuf banyak diterbitkan dan diminati di Indonesia. Misalnya, antologi Musyawarah Burung-burung (Attar) Pesan dari Timur, Javid Nama (Iqbal), Diwan Al-Hallaj, Akulah Kebenaran (Hallaj), Masnawi, Khasidah Cinta, Diwan Samsi Tabriz (Rumi), dan Sastra Sufi [kumpulan puisi pelbagai penyair sufi]. Ini semua merupakan bukti betapa luar biasa kayanya khazanah sastra sufistis atau bernafas tasawuf.

Berbagai antologi puisi bernafas tasawuf juga telah diterbitkan baik oleh ahli-ahli Barat maupun oleh beberapa kritikus, penyair, dan ahli sastra Indonesia. Belakangan ini puisi-puisi bernafas tasawuf banyak diterbitkan dan diminati di Indonesia. Misalnya, antologi Musyawarah Burung-burung (Attar) Pesan dari Timur, Javid Nama (Iqbal), Diwan Al-Hallaj, Akulah Kebenaran (Hallaj), Masnawi, Khasidah Cinta, Diwan Samsi Tabriz (Rumi), dan Sastra Sufi [kumpulan puisi pelbagai penyair sufi]. Ini semua merupakan bukti betapa luar biasa kayanya khazanah sastra sufistis atau bernafas tasawuf.

Kita tahu, sastra di negeri-negeri Islam dan atau negeri-negeri yang dirambah Islam senantiasa kaya akan nafas tasawuf. Sastra Arab, sastra Persia, sastra Turki, sastra Hindi dan sastra Urdu, misalnya, disarati oleh nafas tasawuf. Malahan sastra-sastra ini sering disebut sebagai sastra sufi karena sastrawannya hampir semuanya sufi atau setidaknya menghayati tasawuf secara intens.

Sastra sufi atau sastra yang bernafas tasawuf diketahui mendorong, bahkan memelopori kebangkitan sastra nasional di negeri-negeri tersebut di atas — termasuk negeri Indonesia. Ditulangpunggungi oleh sufi-sufi sekaligus penyair-penyair seperti Rabi’ah al-Adawiyah, Abu Sa’id, Dzun Nun, Nikmatullah, Fariduddin Attar, al-Hujwiri, Ibnu Farid, Ibnu Atha, Abu al-Atahiyah, Haci Bayram, Umar Khayyam dan Iqbal, sosok tasawuf dalam sastra demikian menonjol dan kuat.

Sejatinya tak gampang dibuktikan apakah sufi sekaligus penyair tersebut mencipta puisi bernafaskan tasawuf ataukah menyampaikan ajaran tasawufnya melalui puisi. Tak ada petunjuk jelas untuk menentukan hal ini. Berhubung orang-orang tersebut adalah pertama-tama sufi, dan memiliki kualitas penyair, maka dapat dikatakan bahwa mereka menyampaikan ajaran tasawuf lewat sastra sekaligus bersastra. Jika kadar kesufian dan kepenyairan seorang sufi sama-sama kuat, maka boleh dikatakan orang tersebut merupakan penyair yang sufi atau sufi yang penyair. Ini mengakibatkan bahwa sastra khususnya puisi yang mereka hasilkan absah disebut sebagai sastra sufi dan absah pula disebut sastra bernafaskan tasawuf.

Jika kadar kesufian dan kepenyairan seorang sufi sama-sama kuat, maka boleh dikatakan orang tersebut merupakan penyair yang sufi atau sufi yang penyair. Ini mengakibatkan bahwa sastra khususnya puisi yang mereka hasilkan absah disebut sebagai sastra sufi dan absah pula disebut sastra bernafaskan tasawuf.

Sastra sufi atau bernafaskan tasawuf (karena di dalamnya terkandung gagasan-gagasan sufisme) tampak selalu lekat dengan agama Islam. Sepertinya ada dalil: sadar sastra sufi, sadar akan Islam. Tak ayal, sewaktu Islam berkembang dan tersebar ke berbagai penjuru dunia, sastra sufi atau bernafaskan tasawuf juga ikut berkembang dan tersebar ke berbagai penjuru dunia. Pada waktu Islam masuk ke nusantara, sastra sufi atau bernafaskan tasawuf pun ikut masuk. Di dunia Melayu malahan tasawuf atau sastra sufi membangkitkan sastra Melayu baru. Estetika sastra Melayu sangat kental dan tebal dimensi-dimensi dan anasir tasawuf.

Ditokohi oleh sufi sekaligus sastrawan seperti Hamzah Fansuri, Nurruddin Arraniri, Syamsudin al-Sumatrani, Bukhari al-Jauhari, dan Abdurrauf Singkel, sastra Melayu yang bernafaskan tasawuf mencapai kemajuan-kemajuan yang begitu berarti. Buktinya, karya-karya monumental seperti Syair Perahu dan Rubaiyat (Hamzah Fansuri), Kitab Seribu Masalah (Abdurrauf Singkel), dan Tajus Salatin (Bukhari al Jauhari) dan Gurindan XII (Raja Ali Haji). Gagasan-gagasan tasawuf begitu kental-tebal dalam karya-karya tersebut.

Lebih jauh, tasawuf ini masuk ke dalam sastra-sastra daerah, antara sastra Jawa, sastra Bugis, sastra Bima, sastra Banjar, sastra Buton, dan sastra Sunda. Dalam sastra Jawa hal itu tercermin terutama dalam karya-karya Walisanga, utamanya karya Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang. Selain itu, tampak pula pada karya Yasadipura, Ranggawarsita, dan lain-lain. Larik-larik puitis Cermin dan Desas-desus karya Yasadipura begitu kuat memantulkan gagasan tasawuf atau nafas tasawuf. Serat Wirid Hidayat Jati karya Ranggawarsita menampakkan gagasan kuat sekalipun dipadu dengan berbagai unsur lain di luar Islam. Bisa dibilang, karya-karya pujangga Jawa penutup ini “basah kuyup” dengan gagasan tasawuf al-Ghazali.

Dari kajian-kajian Simuh, kita juga bisa tahu, suluk dan serat dalam sastra Jawa Abad XVII kental-tebal dengan gagasan tasawuf pantheistis yang berpadu dengan tradisi pra-Islam dan Kejawen. Sementara itu, dalam sastra Sunda gagasan tasawuf tercermin dalam suluk-suluk Cirebon. Suluk-suluk Cirebon pada umumnya bernafaskan tasawuf syuhudi atau sunni dan mengajarkan masalah martabat tujuh.

Dalam sastra modern atau kontemporer jejak gagasan tasawuf dapat ditemui antara lain dalam karya Kahlil Gibran dan Muhammad Iqbal. Karya-karya kedua orang ini demikian sarat dengan gagasan tasawuf. Ini bisa disimak dalam karya Sang Nabi dan Sayap-sayap Patah (Kahlil Gibran) dan Asrari Khudi dan Javid Nama (Muhammad Iqbal). Dalam sastra Indonesia jejak gagasan tasawuf masih tetap ada dan tampak, bahkan dalam hal tertentu bisa dikatakan kuat sekali.

Dalam sastra Indonesia jejak gagasan tasawuf masih tetap ada dan tampak, bahkan dalam hal tertentu bisa dikatakan kuat sekali.

Misalnya, karya-karya Amir Hamzah mencerminkan nafas sekaligus gagasan-gagasan tasawuf. Dalam berbagai bukunya Abdul Hadi WM memasukkan beberapa puisi Amir Hamzah ke dalam antologi puisi yang berjudul Sastra Sufi, yaitu Do’a, Berdiri Aku, Padamu Jua, dan Tetapi Aku. Bila kita resapi dan renungi, bisa dibilang bahwa puisi Padamu Jua bisa disebut puisi puncak sufistis Amir Hamzah.

Novel, puisi, dan cerpen Kuntowijoyo juga sangat sarat dengan gagasan tasawuf, misalnya Kotbah di Atas Bukit, Pasar, Mantra Pejinak Ular, Isyarat, Suluk Awang-Uwung, Ma’rifat Daun, dan Dilarang Mencintai Bunga-bunga. Bisa dikatakan, Kotbah di Atas Bukit, Dilarang Mencintai Bunga-bunga, Suluk Awang Uwung, dan Ma’rifat Daun merupakan kitab utama pemikiran tasawuf dari Kuntowijoyo.

Jika dikaji secara mendalam, tak pelak lagi, puisi-puisi Sutardji C. Bachri pada periode 1970-an yang terhimpun dalam antologi O, Amuk, dan Kapak, terlebih puisi periode 1980-an, kental dan pekat warna tasawuf. Puisi-puisi Sutardji pasca-antologi O, Amuk, dan Kapak malah sangat pekat dengan warna tasawuf.

Hampir semua cerpen Fudoli Zaini, antara lain Kota Kelahiran, Arafah, dan Batu-batu Setan mengembuskan nafas tasawuf sangat kuat dan pekat. Demikian juga karya-karya Emha Ainun Najib (99 Tuhanku, Seribu Masjid Satu Jumlahnya, dan Cahaya Maha Cahaya) mencerminkan nafas sekaligus gagasan tasawuf. Say ingin sebut nama Arini Hidayati yang menulis dua kumpulan aforisme puitis, yaitu Jiwa-jiwa Pencinta dan Budak Tuan Raja, yang menggunakan gaya pengungkapan seperti Rabi’ah al-Adawiyah dan tentu saja sarat gagasan tasawuf.

Hal tersebut membuktikan bahwa tasawuf sudah merasuk ke dalam sastra kontemporer Indonesia. Dalam sastra modern atau kontemporer nafas sekaligus gagasan tasawuf justru dimanfaatkan atau didayagunakan untuk menyegarkan, mencerahkan, dan memperkaya pengucapan sastra. Seingat saya, Teeuw pernah berkata bahwa sastra Indonesia dan sastrawan Indonesia telah memanfaatkan nafas tasawuf pantheistis (baca: bukan monisme) untuk memperkaya dan menganekaragamkan pengucapan sastra Indonesia.

Sebelum menamatkan Raden Mandasia, saya telah membaca Muslihat Musang Emas. Pada kumpulan cerita itu, saya menikmati betul gaya bercerita Yusi Avianto Pareanom, juga topik dan paradoks yang dia ajukan. Kita dijamu dengan sisi gelap, lucu tapi haru, dan anjay dalam kumpulan cerita itu. Siapkan diri untuk sering memaki. Hehehe.

Saya menduga—tepatnya berharap—kejutan yang akan saya alami selama membaca Raden Mandasia. Dan, tapir bunting! Bagus betul, batin saya. Maka, tak syak lagi jika novel ini diganjar penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa pada 2016 silam.

Buku ini kisah tentang petualangan seorang bekas pangeran dari negeri kalah, berjumpa pangeran dari pihak yang menjajah , kemudian terlibat persahabatan yang ganjil. Mengambil latar Babad Tanah Jawa, Sungu Lembu, pangeran dari Banjaran Waru yang menjadi si pencerita berteman dengan Raden Mandasia, pangeran dari Gilingwesi yang gemar mencuri daging sapi.

Sungu Lembu sendiri memiliki kemampuan yang tak kalah ganjil: ingatan lidah. Apa pun yang dicecap niscaya melekat dalam ingatan dengan sendirinya, termasuk unsur-unsur yang membentuknya. Ingatan lidah inilah yang beberapa kali menyelamatkan peruntungannya, termasuk ketika berjumpa dengan Putri Tabassum, putri yang menjelma mitos dari kerajaan Gerbang Agung.

Dua pemuda bengal ini berjumpa di Rumah Dadu Nyai Manggis. Ah, Nyai Manggis. Pesonanya, kata Yusi, adalah pesona perempuan tigapuluh enam tahun. Kau tahu, konon ini masa ketika seluruh unsur kecantikan merekah sempurna. Setiap ada nama Nyai, saya acap curiga, pasti pengarangnya menyematkan karakter kuat, seperti Dasima, juga Ontosoroh.

Dendam Sungu terhadap Kerajaan Gilingwesi, terutama pada Prabu Watugunung, dipupuk sejak kanak. Dia dianggap keturunan Gilingwesi karena ibunya pernah disuguhkan pada para perwira Gilingwesi (atau Watugung sendiri?). Kesumat itu makin menjadi ketika keluarga Banyak Wetan, tempat dirinya menemukan keluarga, harus tercerai berai karena diserbu pasukan Gilingwesi. Sungu menggelandang dengan satu tujuan: membunuh Watugunung. Dan takdir mempertemukannya dengan Raden Mandasia, anak Watugunung, yang tak hanya mengantarkannya mendekat ke lingkaran istana, tetapi juga melayari laut, benua, pelabuhan, kebudayaan, dan tentu saja Putri Tabassum.

Ah, tentu saya tak akan menggaraminya dengan mengisahkannya detail. Menceritakan ulang di sini adalah perbuatan kasip. Saya pembaca karya-karya Yusi yang terlambat. Begitu juga karya sastra lain yang sudah direkomendasikan beberapa orang di sekitar saya. Entah mengapa, bacaan sastra saya merosot beberapa tahun ini.

* * *

Membaca cerita seperti Raden Mandasia, atau Kambing dan Hujan, atau Orang-Orang Oetimu (yang terakhir ini belum beres karena ketika saya mulai membacanya berbarengan dengan istri yang ingin segera menyelesaikannya, jadi suami harus mengalah, wkwkwk), sedikit banyak membuat saya merasa perlu berterima kasih pada berbagai sayembara dan penghargaan sastra yang melambungkan karya-karya itu.

Untuk pembaca sastra awam seperti saya yang juga tidak begitu menaruh perhatian pada isu “kanonisasi sastra”, penghargaan semacam Kusala Sastra Khatulistiwa, Sayembara DKJ, atau penghargaan sebagai karya terbaik oleh surat kabar, majalah dan lain sebagainya, setidaknya dapat menjadi patokan untuk memilih bacaan. Risikonya, saya pasrah saja pada “selera” para pembuat kriteria karya yang mereka anggap bagus.

Tetapi, sejauh saya memilih bacaan dengan cara itu, saya merasa baik-baik saja. Meskipun yang terlambat saya sadari, ternyata selain turut menyetujui beberapa karya yang dianggap baik memang adalah baik belaka, saya juga jadi ikut-ikutan merasa ada karya lain yang tidak bermutu, sehingga saya kurang berminat mengoleksi atau membacanya.

Misalnya, untuk beberapa karya yang memilih judul nama planet dan tata surya, saya hanya mengoleksi dan membaca kisah tentang ambruknya ekonomi dan kongkalikong para garong: Negeri di Ujung Tanduk dan Negeri Para Bedebah.

Begitu pula, lama sekali saya baru memutuskan untuk membeli Laskar Pelangi yang kurang lebih karena bentukan selera yang demikian. Saya juga membeli Ketika Cinta Bertasbih hanya karena sedang diobral dan saya merasa juga perlu mengoleksi buku-buku yang mengundang perhatian publik, meskipun saya tak turut membacanya.

Saya merasa Laskar Pelangi tidak buruk, hanya kurang. Tetapi, saya merasa, pada masa tertentu, novel seperti ini jauh lebih tepat saya sodorkan pada anak gadis saya yang mulai remaja. Ya, semacam novel yang “memotivasi”. Ke depan, mungkin saya mulai akan menawarkan kepadanya Filosofi Kopi, Perahu Kertas, atau beberapa karya Dee lainnya yang ya, agak bucin-bucin tapi “sopan”.

Tentu saya belum berani menawarkan karya Ayu Utami, Djenar, Eka Kurniawan, juga Yusi ini. Terlampau banyak adegan cerrr-ke-cehhh yang mungkin baru siap dipahami ketika anak-anak telah beranjak dewasa.

Sependek yang saya tahu, kecuali Kecil-Kecil Punya Karya (KKPK) dan tentu saja buku-buku Abinaya Ghina Jamela, masih sedikit karya yang pas, baik, dan bagus buat remaja. Kecuali, kau pasrah pada yang semacam teenlit itu.

* * *

Mengikuti selera para kritikus dan penilai sastra nyatanya tidak selalu menyenangkan. Beberapa kali saya tak bisa menikmati membacanya. Bisa jadi karena saya awam atau karena memang penilaiannya terlampau dilebih-lebihkan.

Sebuah novel tentang “Aruna dan Lidahnya” yang akhirnya digarap jadi film dengan pemain Dian Sastro, gagal saya baca pada lembar-lembar pertama hanya karena di bagian awal semuanya satu paragraf (pengalaman ini tidak terjadi ketika saya membaca salah satu cerita Eka Kurniawan dengan teknik serupa tetapi jauh lebih mulus).

Pada intinya, beriman pada pilihan para kritikus itu berarti siap-siap menerima asupan selera mereka. Kita ingat, dulu ada Paus Sastra HB Jassin, juga berbagai tuduhan dan kritik terhadap Komunitas Utan Kayu (TUK), karena dianggap terlampau membentuk selera pembaca.

Tetapi saya masih yakin, berbagai sayembara dan penghargaan sastra itu ada gunanya, sehingga karya-karya bagus lahir dan menemui pembacanya. Sebagaimana pemeluk keyakinan setengah jalan, kita hanya perlu menyiapkan rasa ragu secukupnya. Sebab, setiap pembaca punya selera sendiri yang dibentuk oleh pengalaman membacanya.[]

Pada bulan Februari 1953, Buyung Saleh membabar hayat dan karya Multatuli dalam sebuah esai cemerlang yang berjudul “Multatuli sebagai Manusia dan Pengarang” di Majalah Kebudayaan Indonesia. Sebagai intelektual kiri dan pengurus Lekra yang cerdik, di esai tersebut ia tidak pernah menyebut kekhawatiran Lekra terhadap pengaruh buruk budaya asing dalam kerja-kerja kebudayaan para pekerja seni dan Sastra di Indonesia. Tidak pula ia menuliskan secara gamblang tentang proyek politik kebudayaan Lekra dalam penciptaan karya seni dan Sastra Indonesia. Alih-alih mempropagandakan Lekra secara telanjang, ia justru berusaha merebut tafsir Mutatuli dari sekedar sastrawan humanis “milik” Belanda menjadi pembawa suara keterjajahan masyarakat Indonesia (baca: Jawa) di masa itu. Pembabarandengan cara demikian bisa mengantar para pekerja seni dan sastra dalam mencapai kemajuan di lapangan Sastra Indonesia, terutama dalam memberi orientasi kerja-kerja sastra dan kesenian bagi para sastrawan dan seniman progresif masa itu.

Mengingat perannya sebagai intelektual kiri dan pengurus Lekra masa itu, upaya Buyung Saleh dalam membangun fondasi penciptaan sastra dan seni ini pada dasarnya adalah kerja politik kebudayaan sebagaimana yang diamanatkan dalam Konsepsi Kebudayaan Rakyat (Mukadimah Lekra 1950). Untuk lebih masuk dimensi politis dari pembahasan Multatuli lewat esai cemerlang Buyung Saleh, mari kita periksa sejenak isi Mukadimah Lekra 1950. Bagian V dari Konsepsi Kebudayaan Rakyat—yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Mukadimah Lekra 1950—menyebutkan bahwa “Kebudayaan asing yang progresif akan diambil sarinya sebanyak-banyaknya untuk kemajuan perkembangan gerakan kebudayaan rakyat Indonesia… Kebudayaan asing akan diambil sarinya dengan cara kritis atas dasar kepentingan praktis dari Rakyat Indonesia”.

Penyebutan posisi dan arti penting kebudayaan asing dalam perkembangan gerakan kebudayaan rakyat Indonesia merupakan buah kesadaran Lekra bahwa kebudayaan bangsa Indonesia adalah bagian tak terpisahkan dari kebudayaan dunia. Kemajuan kebudayaan Indonesia tidak akan menemukan bentuk terbaiknya apabila kerja-kerja kebudayaan tidak menyerap secara kritis sari kebudayaan dari luar yang dianggap sesuai dengan kebudayaan Indonesia.

Bila ditelisik ke kondisi kehidupan di lapangan kebudayaan masa itu, tanggapan Lekra terhadap kebudayaan asing dilatarbelakangi meruyaknya kekhawatiran sebagian kalangan seniman akan kegagalan revolusi Agustus 1945 di lapangan kebudayaan.

Kalangan pekerja seni dan sastra yang mendirikan Lekra itu berpandangan bahwa revolusi Agustus 1945 terancam gagal oleh gaya dan pandangan hidup kosmopolitan para pekerja seni dan sastra akibat pengaruh dan penanaman budaya secara sadar oleh kaum kolonial Barat setelah mereka terusir dari Nusantara. Bagi Nyoto dan kawan-kawannya yang mempelopori pendirian Lekra, kemenangan perjuangan di lapangan politik harus diikuti dengan kemenangan perjuangan di lapangan kebudayaan.

Berpijak dari Konsepsi Kebudayaan Rakyat secara khusus dan Mukadimah Lekra 1950 secara umum itulah, Buyung Saleh mulai membabar kepribadian Multatuli sebagai pengarang dan sekaligus humanis yang menuntut keadilan bagi rakyat Indonesia lewat perkataannya bahwa Orang Jawa pun sama manusianya dengan orang kulit putih, yaitu manusia dengan segala sifat-sifat dan konsekuensinya. Dalam salah satu bagian tulisannya, ia menunjukkan betapa bersikerasnya Multatuli mengatakan bahwa “kultuur stelsel atau kerja bebas sami mawon bagi Orang Jawa selama ia tidak berada di bawah pemerintah adil yang melindunginya terhadap penggarongan dan pembunuhan. Moralitas dan rasa perikemanusiaan pihak yang memerintahlah yang akan menentukan apakah orang Jawa berada di bawah pemerintahan yang adil atau rakus”.

Buyung Saleh melakukan provokasi pada pembaca esainya dengan menyatakan bahwa sebagai seorang manusia Multatuli memiliki nyali untuk “meninggalkan jabatan baik guna membela kebenaran dan keadilan dan perikemanusiaan, meskipun diri sendiri, isteri dan anak akan terancam kelaparan, betapa pun juga segi-segi lain dari pada perangainya menjadi sasaran kecaman”. Lewat keindahan gaya bahasa yang menghantarkan kegemilangan pemikiran-pemikirannya, terutama lewat Max Havelaar, Multatuli menghantam sistem tanam paksa yang memberi keuntungan berlimpah pada kaum kolonialis Belanda dan Eropa, menghantam liberalisme yang saat itu sedang dipropagandakan, menghantam kerja rodi dan perusahaan perkebunan dan dagangnya serta permintaan paksa dan korupsi dengan menggunakan jabatan. Tanpa ketakutan, ia menyuarakan  tuntutan hak, hukum dan keadilan bagi orang Jawa di masa jaya-jayanya kekuatan kolonial di Hindia Belanda sampai-sampai menggegerkan kalangan sastra dan politik negeri Belanda dan Eropa.

Sekali pun roman dan karya-karya lain yang ditulis Multatuli tersebut tidak serta-merta menciptakan perbaikan nasib bagi bangsa Indonesia dan pemulihan kehormatan bagi dirinya sendiri, namun seiring berlalunya waktu hasil olah pikirannya telah turut memainkan peranan penting di dalam proses penyadaran bangsa Indonesia setengah abad yang lampau (Buyung Saleh, Majalah Kebudayaan Indonesia No. 12 tahun 1954). Ia memengaruhi mulai dari Kartini, Tiga serangkai Indisch Partij (Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat) sampai Muhammad Yamin.Namun sejauh yang bisa dibaca dari tulisan Saleh, wilayah pengaruh Multatuli dan karya-karyanya lebih besar di lapangan politik daripada lapangan sastra atau seni.

Proyek—atau lebih tepatnya cita-cita—politik kebudayaan yang diprovokasikan oleh Buyung Saleh lewat esai cemerlangnya ini sepertinya berangkat dari kebutuhan adanya eksemplar atau teladan paripurna baik figur maupun karya-karya seni dan sastra yang bisa menjadi kebanggaan nasional sekaligus fondasi bagi kemajuan penciptaan karya sastra dan seni Indonesia di masa-masa selanjutnya. Satu windu sejak Indonesia mencapai kemerdekaan politiknya, kalangan pekerja seni dan sastra, terutama yang berafiliasi dengan Lekra, mulai mendambakan lahirnya karya-karya seni dan sastra nasional yang mampu secara tepat dan cemerlang membabar permasalahan sosial rakyat Indonesia.

Esai tentang Multatuli di Majalah Kebudayaan Indonesia No. 3 tahun 1953 ini dalam satu dan lain hal berhasil memprovokasi para pekerja seni dan sastra berorientasi kerakyatan untuk mempelajari  lebih mendalam karya-karya Multatuli, terutama yang berkaitan dengan permasalahan Indonesia sebagai Negara bekas jajahan Belanda. A.S. Dharta dan Bakrie Siregar tercatat pernah mementaskan drama pertunjukan dengan lakon Saija dan Adinda, sebuah roman percintaan masyarakat kelas bawah Lebak di bawah tindasan kolonial Belanda.Penyair Sitor Situmorang menyebut bahwa karya-karya Multatuli telah menjadi darah dalam perjuangan para pekerja seni dan sastra dalam mewujudkan kebudayaan Indonesia yang terlepas dari segala bentuk penindasan. Puncak perayaan Multatuli terjadi antara tanggal 5-6 Maret 1960, ketika sejumlah pekerja sastra menulis secara bersamaan tentang Multatuli baik di Harian Rakyat maupun Zaman Baru.

Lekra sendiri menyiapkan berbagai strategi kebudayaan agar cita-cita mereka yang ambisius tercapai. Program Turba, penerjemahan karya-karya asing maupun karya-karya lama Nusantara yang masih dalam bahasa lokalnya, pengkampanyean cara kerja 1-5-1, sampai pendirian Yayasan Multatuli.

Dalam referatnya di penutupan KSSR tahun 1964, misalnya, D. N. Aidit merasakan arti pentingnya karya-karya Multatuli dan Ronggowarsito untuk dibaca secara luas di Indonesia sekaligus memiliki kegundahan tentang belum diterjemahkan dua karya ini ke dalam Bahasa Indonesia.

Karya yang mereka idam-idamkan itu, yang di kemudian hari terbukti bisa menjadi kebanggaan nasional dan mampu menjadi inspirasi dalam kerja-keja penulisan karya sastra di berbagai belahan dunia, memang dilahirkan oleh salah satu pekerja sastra yang bernaung di bawah Lekra sejak sekitar 1957. Lewat kerja kepengarangan Pramoedya sejak tahun 1960-an hingga 1995, Sastra Indonesia bisa menampilkan permatanya yang dikagumi para pembaca sastra dari berbagai belahan dunia. Sayangnya, baik Buyung Saleh, para penggagas, sampai pekerja seni dan sastra Lekra tidak mengira bahwa karya yang mereka idam-idamkan itu justru lahir setelah gerakan kebudayaan rakyat yang mereka bangun dengan susah-payah itu dibumihanguskan oleh Rezim militer Orde Baru!

***

Beberapa tahun sebelum Mukadimah Lekra 1950 dideklarasikan dan BuyungSaleh bersama teman-teman Lekranya mulai membabar posisi dan arti penting hayat dan karya Multatuli dalam pencarian bentuk sastra dan seni Indonesia, Pramoedya Ananta Toer tengah merintis jalan kepengarangannya dengan melahirkan serangkaian cerita pendek dan sebuah novel (Perburuan) yang memenangkan sayembara menulis novel pada 1949. Sebagai seorang pengarang yang mengalami langsung pahit-getir kolonialisme Belanda dansatu dari sekian pelaku sejarah dari ikhtiar revolusioner Indonesia agar terlepas dari belenggu kolonialisme, Pramoedya mencoba merefleksikan serangkaian pengalaman-pengalaman hidup diri dan masyarakatnya lewat kisah-kisah revolusi yang penuh kontradiktif.  Tak berbeda dengan Multatuli yang menjadi seorang otodidak di lapangan kebudayaan, Pramoedya yang tak memiliki rekam jejak sekolah cukup mentereng menempa diri sebagai seorang pengarang lewat pekerjaannya sebagai seorang stenograf menjelang kemerdekaan, kesukaannya dalam membaca, dan pergulatan hidup-matinya dalam perang fisik dan penjara sampai penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Republik Indonesia.

Lekra berdiri tidak lama setelah Pramoedya dari penjara Bukit Duri. Namun sampai tahun 1957, Pramoedya tidak pernah menunjukkan afiliasi politik kebudayaannya. Selain masih berkutat dengan serangkaian masalah sehari-hari—mulai kewajiban mencari penghidupan ekonomi untuk keluarga dan adik-adiknya, permasalahan keluarga seperti perceraian dan pernikahan keduanya dengan Maemunah Thamrin—ia juga masih bergulat menemukan bentuk terbaik dalam melahirkan karya-karya sastra. Bisa dikatakan di masa awal kepengarangannya, Pramoedya adalah seorang individualis yang mencari jalan kepengarangannya dengan menyerap dari berbagai sumber penciptaan.

Yang menarik, meski masih berlaku layaknya ronin di dunia sastra, mulai tahun 1952 banyak dari pandangan-pandangan pribadi Pramoedya tentang sastra bertemu dengan pandangan-pandangan Lekra. Misalnya, di tahun 1952 Pramoedya menulis tiga esai yang sangat tipikal Lekra, yaitu “Kesusasteraan dan Perjuangan”, “Kesusasteraan sebagai Alat” dan “Definisi Keindahan daam Kesusasteraan. Esai yang terakhir inilah yang secara perlahan-lahan menarik batas yang jelas antara Pramoedya Ananta Toer dengan kawan sekerjanya di masa awal seperti Ramadhan KH dan HB Jassin.

Kombinasi antara pengalaman pahit sejak kanak-kanak hingga dewasa, kacaunya kehidupan pribadi akibat perceraian hingga beban ekonomi karena harus menanggung hidup adik-adiknya, sikap maupun pandangan kritisnya terhadap segala bentuk penindasan dan kedekatan personalnya dengan A.S. Dharta maupun sesama pengarang dan seniman progresif mengantarkannya untuk bergaul rapat dengan Lekra.

Pandangan, semangat, dan cita-cita Lekra akhirnya turut memandu arah kepengarangan Pramoedya. Ia semakin menginsyafi orientasi literernya yang lebih dekat pada humanisne ala Multatuli dan realis mesosialis ala Maxim Gorky. Di masa-masa antara 1957-65, ia aktif mulai dari menerjemahkan karya Maxim Gorky, menjadi utusan dalam pertemuan pengarang Asia-Afrika, terlibat dalam berbagai polemik sosial dan kebudayaan seperti pelarangan hak berdagang warga Tionghoa ke daerah terpencil, polemiknya dengan Hamka, dan menerbitkan karya-karyanya seperti Gadis Pantai dan Panggil Aku Kartini Saja. Yang menarik, di sela-sela aktivitasnya yang padat itu, ia masih sempat mengumpulkan berbagai dokumen dan melakukan riset sejarah berkenaan dengan revolusi Indonesia. Kelak, dokumen sejarah yang dengan telaten ia kumpulkan dan baca itulah yang menjadi bahan berharga dalam menulis karya-karyanya di Pulau Buru.

Keyakinan literernya yang telah ia tulis sejak 1952, bahwa karya-karya besar muncul dari penderitaan dan perjuangan manusia untuk bertahan hidup dalam lingkungan yang penuh penindasan, ia pertaruhkan secara langsung ketika kudeta merangkak militer pada 1 Oktober 1965 berhasil menjadikan kaum progresif revolusioner seperti dirinya sebagai tahanan politik hina di Pulau Buru. Selama pengasingan di Pulau Buru, ia menjawab tantangan ideal penciptaan Lekra dengan menulis Trilogi Arok Dedes-Mata Pusaran-dan Arus Balik hingga Tetralogi Pulau Buru yang masyhur.

Bila karya-karya yang ditulis Pram di Pulau Buru diterangi di bawah cahaya penciptaan Lekra,  Arok Dedes adalah bentuk paling gamblang tentang bagaimana Pramoedya memberikan cara pandang baru tentang warisan sastra yang lahir di Nusantara. Kisah tentang awal-mula dinasti kekuasaan Jawa ini merupakan karya satire Pram untuk mengejek rezim militer Orde Baru yang memperoleh kekuasaan secara licik lewat pembantaian saudara sebangsanya sendiri. Dari sekedar kisah tentang intrik asmara dan kekuasaan antara Arok, Dedes dan Tunggul Ametung, Pramoedya menafsirkannya sebagai usaha percobaan kudeta pertama di Nusantara. Salah satu kelebihan Pramoedya ketika mengolah kisah dari kitab Pararaton ini adalah menerjemahkan anasir-anasir klenik atau irasional menjadi sesuatu yang rasional. Pramoedya menginterpretasikan Keris Mpu Gandring dalam Pararaton sebagai tokoh yang memainkan peran sebagai makelar persenjataan.

Sementara dalam karya monumentalnya yang berjudul Arus Balik, Pramoedya mengajukan thesis lenyapnya kekuasaan Nusantara di perairan dan pesisiran akibat muncul dan berkuasanya orang-orang dari atas angin. Di Pulau Jawa, hilangnya kekuasaan orang-orang Jawa atas perairan dan pesisir membuat mereka mengungsikan pusat kekuasaan masuk jauh ke pedalaman. Pusat-pusat kekuasaan Jawa tak lagi berada di Surabaya, Semarang, Demak atau Tuban, namun masuk hingga ke Pajang dan Mataram. Sebagai anak zaman yang tumbuh dan dibesarkan di masa-masa pergerakan nasional dan kemudian masa-masa revolusi kemerdekaan, Pramoedya menjadikan kisah tentang manusia-manusia Jawa dalam Arus Balik dalam bingkai pembangunan Bangsa Indonesia (nation building), meski akan dengan sangat mudah bisa kita sebut bahwa pengarang dari Blora ini jatuh pada cara pandang anakronistik.

Empat abad dari setting waktu di novel Arus Balik, Pramoedya melahirkan tokoh Minke, seorang bangsawan Jawa yang melepaskan seluruh atribut kebangsawanan dan kejawaannya demi merengkuh apa yang disebut sebagai ‘kemajuan’  bangsanya dalam karya besarnya Tetralogi Pulau Buru. Sekali lagi Pramoedya menempatkan novel ini dalam perspektif nation-building, meski di bagian awal Bumi Manusia secara gamblang Minke mengaku gagap saat salah seorang gurunya bertanya apa yang telah diperbuat oleh terpelajar Jawa setelah orang-orang Eropa telah melahirkan berbagai penemuan menakjubkan dan Jepang telah menemukan penicilin.

Hampir empat abad setelah kehadiran orang-orang atas angin di bumi Nusantara, orang-orang Jawa —seperti halnya orang-orang Nusantara lainnya—mengalami penjajahan dan penistaan menyakitkan, dimana perlawanan untuk meraih kembali harga dirinya selalu bisa ditundukkan Portugis, Belanda dan Inggris.

Maka kita bisa melihat ucapan Sanikem atau Nyai Ontosoroh kepada Minke sebagai sebuah ikhtiar manusia Jawa untuk melepaskan diri dari tirani penjajahan yang selama berabad-abad membikin manusia jawa tak lebih dari kera. Tak peduli dengan kekalahan yang diterimanya, mereka telah menjalankan tugas sejarah yang dituntut oleh zaman yang membesarkan mereka. Ucapan Nyai Ontosoroh, “Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya,” telah membebaskan dirinya dan diri Minke dari tuduhan bahwa mereka mangkir dari kewajiban sejarah yang dibebankan pada mereka. (Baca juga: Rokok Terakhir Pram)

***

Sekitar tujuh atau delapan tahun sebelum dipublikasikannya tetralogi Pulau Buru dan hampir dua puluh empat tahun sebelum dipublikasikannya Arus Balik,Kuntowijoyo menerbitkan karya bernasnya yang secara kebetulanmemiliki ketersambungan dengan gagasan Pramoedya tentang sejarah masuk dan bertahtanya kolonialisme Barat di bumi Nusantara. Novel kuntowijoyo yang berjudul Pasar ituselesai ditulis pada 8 November 1971 dan diterbitkan tidak jauh dari masa-masa itu. Kebetulan berikutnya adalah bahan utama novel ini adalah pemikiran Ronggowarsito, pujangga Jawa terbesar yang menuliskan tentang berbagai persoalan masyarakat Jawa di masanya, pujangga Jawa yang telah menarik perhatian Aidit dan para pekerja seni dan sastra Lekra ketika mereka sibuk membangun konsepsi gerakan kebudayaan rakyat baru.

Bila melihat menakar tahun-tahun penyusunan novel ini hingga masa terbitnya, sangat masuk akal adanya pertimbangan politis kenapa Kunto memilih untuk mengekstrapolasikan pemikiran Ronggowarsito dalam bentuk novel. Pertama, tentu saja latarbelakang historis Kuntowijo. Meski dilahirkan di Sorobayan, Bantul (Yogyakarta), namun masa kanak-kanak hingga menjelang dewasa Kunto lebih banyak dilewatkan di Klaten dan Solo. Tidak jauh dari tempat tinggalnya di Klaten bersemayam jasad Ronggowarsito. Bagi seorang penulis, tidak ada landasan pengetahuan dan jejakan kaki kepengarangan yang paling kukuh selain landasan yang berasal dari pengetahuan dan ruang kebudayaannya sendiri. Dengan demikian, citra-diri dan pergulatan karya seorang penulis, tidak akan jauh-jauh dari penulis pendahulunya, terutama penulis yang berasal dari ruang kebudayaan yang sama.

Kedua, pengamatan tajam Kunto sejak masa-masa akhir kekusaan Sukarno dan masa-masa awal kekuasaan Soeharto. Pertarungan tajam antara kelompok progresif revolusioner dengan militer di akhir kekuasaan Sukarno yang berujung dengan kudeta merangkak Jenderal Soeharto menciptakan situasi ketidakpastian di kalangan masyarakat. Bagi masyarakat Jawa, situasi ketidakpastian yang diakhiri dengan pembantaian massal 1965 ini mengingatkan mereka dengan apa yang dipaparkan oleh Ronggowarsito dalam Serat Kalatidha.

Ketiga, pilihan studi Kuntowijoyo dalam ilmu sejarah, khususnya sejarah sosial. Disiplin ilmu sejarah yang dipilih Kunto ketika menempuh pendidikan dan kemudian mengajar di Universitas Gajah Mada (UGM) membuatnya memiliki kesempatan luas untuk menemukan sumber jawaban—terutama sumber jawaban yang berasal dari literatur-literatur sejarah yang ia pelajari—bagi pertanyaan-pertanyaan eksistensial dirinya sebagai seorang pengarang. Dengan demikian, ia berbeda dengan Multatuli maupun Pramoedya yang menjadi seorang otodidak dalam studi-studi tentang masyarakatnya.

Novel Pasar berkisah tentang hari-hari tua seorang mantri pasar terpelajar yang tinggal di sebuah kota kecamatan kecil di pedalaman Jawa yang harus menghadapi protes orang-orang pasar karena ulah burung-burung dara peliharaannya dan persaingan terselubungnya dengan saudagar Kasan Ngali. Kedamaian yang telah sekian lama tanpa gangguan tiba-tiba dirusak oleh boikot para pedagang di pasarnya yang tak mau membayar karcis akibat semakin sering diganggu burung dara peliharaannya. Situasinya menjadi makin sulit ketika Kasan Ngali, memanfaatkan situasi kacau di dalam pasar dengan membuka pasar baru di pekarangannya. Lelaki tua mata keranjang itu juga berusaha mengambil hati perempuan cantik pegawai Bank Pasar, dengan cara menghidupkan Bank yang hampir mati karena orang-orang tak lagi berminat menabung.

Setelah dihantam masalah dari berbagai arah, akhirnya ia sadar bahwa dirinyalah yang harus tahu diri. Kepada pembantunya yang terpercaya, Mantri Pasar menyuruh menghibahkan burung-burung itu pada orang-orang pasar. Tak berhenti sampai di situ, ia menyuruh Paijo agar seluruh bagian pasar dibersihkan, genteng-genteng pecahnya diganti, sampah-sampah menumpuk dibersihkan, dan tembok serta bagian-bagian pasar dicat dengan kapur Wonogiri terbaik. Meski tak bisa meyakinkan pemilik Bank dan Siti Zaitun agar tetap membuka kantornya di pasar Gemolong, namun ia puas karena Paijo berhasil mengajak kembali orang-orang yang semula berjualan di pasar baru bikinan Kasan Ngali kembali ke pasar yang telah ditata dan dibersihkannya. Tukang karcis terpercaya ini juga berhasil mengajak orang-orang yang semula menggelar dagangannya di bibir jalan dan di luar pasar untuk masuk ke dalam los-los pasar yang masih tersedia.

Lewat novel Pasar  ini Kuntowijoyo mengajukan thesis cemerlangnya yang secara kebetulan merupakan lanjutan thesis Pramoedya tentang kekalahan manusia Jawa dalam Arus Balik dan Tetralogi Pulau Buru. Secara jenial ia meletakkan setting ruang ceritanya di sebuah kota kecamatan kecil di pedalaman Jawa, ruang alternatif terakhir yang dimanfaatkan oleh orang-orang Jawa untuk mengkonsolidasikan martabat dan harga dirinya yang telah berabad-abad direndahkan oleh kehadiran orang-orang atas angin dan oleh kolonialisme yang mengikutinya,  suatu kejatuhan martabat dan harga diri yang bahkan tidak bisa dipulihkan setelah tercapainya kemerdekaan dan kedaulatan politik mereka dalam bingkai Republik Indonesia.

Kalau lewat Arus Balik Pramoedya membabar tentang hilangnya kekuasaan orang-orang Nusantara (khususnya Jawa) atas laut dan pesisir sehingga mereka harus menyembunyikan dirinya di pedalaman, dan kalau lewat tetralogi Pulau Buru Pramoedya menyuguhkan pada pembacanya kisah tentang perlawanan orang Jawa terpelajar untuk bangkit dari masa-masa kegelapan yang telah berabad-abad mengungkungnya, maka Kuntowijoyo lewat Pasar membabar kisah tentang kalah dan lenyapnya manusia Jawa bahkan ketika mereka telah berada di pedalaman, sebuah kekalahan menyakitkan untuk eksis di dunia lahir sehingga memaksa manusia Jawa ciptaannya untuk melarikan diri ke pedalaman batinnya! Aksidensi ketersambungan antara ide Pramoedya di Arus Balik dengan novel Pasar Kuntowijoyo, terutama pada memori masa lalu yang jauh dari Orang Jawa soal laut, muncul ketika Mantri Pasar mengalami peristiwa yang menyakitkan hatinya:

“Ia terduduk. Merenungi nasibnya. Penyabar yang baik pun akan bangkit marahnya mengalami peristiwa itu. Diingat-ingatnya, obat apa yang baik untuk menghilangkan sakit hati? Laki-laki, lebih-lebih laki-laki tua, adalah laut. Segala dendam, marah, umpatan bisa dilemparkan kepadanya tanpa mengotorkan hatinya. Aih, dia teringat masa yang jauh itu. Masa kecilnya. Masa mudanya, masa dewasanya. Dan kenangan-kenangan… Jauh sebelum gadis itu memarahimu, engkau adalah, engkau adalah, engkau adalah…” (Pasar, hal. 107-108).

Di sini laut bukan semata-mata metafora yang dipakai oleh pengarang untuk menggambarkan wadah yang bisa menerima semua dan segala tanpa mengeluh. Naluri dan kesadaran sejarah Kuntowijoyo atas dinamika sejarah orang Jawa dari masa ke masa membuat tokoh utama ciptaannya merindukan laut saat ia tengah merasakan kekalahan menyakitkan meski dirinya berada jauh di pedalaman Jawa dan latarbelakangnya bukan berasal dari wilayah pesisir. Di masa yang jaraknya tak begitu jauh dari kejayaan Nusantara di lautan, pada malam hari Wiranggaleng menyimak dongeng-dongeng tentang keindahan laut ini dari Rama Cluring, sehingga ia tergerak untuk menghadirkannya kembali meski kemudian terbukti gagal. Berabad-abad kemudian, Mantri Pasar kembali merasakan kerinduan serupa pada laut, dan kerinduan pada masa lalu gemilang itu, masa lalu di seberang kala mula kejatuhan manusia Jawa dalam kegelapan sejarahnya seperti yang dialami oleh Minke dan dirinya.

Aksidensi ketersambungan novel Kuntowijoyo dengan dua karya besar Pramoedya terlihat bahkan sejak awal novel. Kalau Wiranggaleng menjadi terpelajar dengan mendengarkan kisah-kisah kebesaran nusantara (baca: Jawa) dari mulut Rama Cluring maupun lewat pengalaman-pengalamannya di berbagai medan pertempuran, apabila Minke menjadi terpelajar justru dengan melepaskan hampir seluruh atribut kebangsawananya —dan dengan demikian atribut Jawa-nya— demi merengkuh ilmu pengetahuan dan spirit modernisme Eropa, maka Mantri Pasar mengukuhkan kejawaannya dengan kemampuannya menulis huruf-huruf Jawa, menguasai tembang macapat, candrasengkala, menjadi pembaca setia dharma kandha, serta menguasai hampir semua kata-kata bijak dan pitutur Jawa yang dianggapnya adi luhung. Untuk meyakinkan pembacanya bahwa tokohnya adalah seorang terpelajar Jawa yang akan menghadapi dunia kenyataan yang keras, Kunto membuka ceritanya dengan sebuah usulan yang memikat:

“Kalau Engkau terpelajar, dan tinggal di kota kecamatan itu, berhubunganlah dengan Pak Mantri Pasar. Sebab tak seorang pun —kecuali Kasan Ngali, tentu— yang mengaku orang Jawa tidak memujinya.” (Pasar, hal. 1).

Keterpelajaran Mantri Pasar ini  makin dikuatkan dengan kebiasaannya membaca koran (meski merupakan koran pinjaman dari kantor kecamatan) dan memakai kacamata, sebuah perilaku terpelajar yang akan sangat susah ditemui padanannya di Kecamatan Gemolong.

Namun siapa pun yang telah mempelajari sejarah keterjajahan Jawa selama berabad-abad baik oleh Portugis, Inggris dan terutama Belanda akan menyadari bahwa keterpelajaran dan penguasaan pengetahuan Mantri Pasar pada nilai-nilai Jawa pada hakekatnya adalah keterpelajaran yang patologis. Hampir di sepanjang novel kita akan mendapati begitu banyak kata-kata bijak atau pitutur Jawa adi-luhung yang terlontar baik dalam benak Mantri Pasar maupun saat ia bercakap-cakap dengan Paijo, Siti Zaitun, Camat, Polisi, dan orang-orang Pasar. Watak patologis dari kata-kata bijak atau pitutur Jawa yang terlontar dari benak dan mulut Mantri Pasar saat menghadapi kekacauan dunia luar yang melibatkan dirinya itu semakin kuat karena ia menempatkan segenap kata-kata bijak itu sebagai rasionalisasi dari ketidakmampuan atau kemenyerahan dirinya dalam menghadapi dunia luar yang keras.

Kalau kita sedikit menengok pada peran para antropolog dan javanolog Belanda —peran kaum terpelajar Belanda itu sendiri— yang dimanfaatkan oleh rezim kolonial Belanda untuk menundukkan orang-orang Jawa, makin gamblanglah posisi fiksional Mantri Pasar dalam novel besutan Kuntowijoyo ini. Begitu Belanda bisa masuk dan mengintervensi kekuasaan pedalaman Jawa, terutama setelah berhasil memecah belah kerajaan Mataram dan menundukkan pemberontakan Diponegoro yang disokong oleh kaum ulama, intelektual organik yang dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial Belanda berusaha keras memecah-belah orang Jawa menjadi berbagai kelompok dan kelas sosial. Masyarakat Jawa, misalnya, dibelah menjadi dua bagian, yaitu kaum abangan dan santri. Kaum terpelajar Belanda yang menjadi Hamba kekuasaan kolonial ini kemudian bergerak lebih jauh dengan membangun sistem nilai kaum abangan yang berbeda vis a vis dengan kaum santri, bukan hanya dalam laku kehidupan sehari-hari namun juga sampai pada persoalan spiritualitas mereka.

Ajaran-ajaran kebatinan kaum abangan konstruksi para antropolog dan javanolog Belanda inilah yang mereduksi spirit progresif dan tangguh nilai-nilai Jawa hingga hanya menjadi argumentasi post-factum dari kekalahannya terhadap kenyataan dunia luar yang tak menentu. Alih-alih bergerak keluar, ajaran-ajaran kebathinan yang telah dipengaruhi oleh tangan-tangan kekuasaan Belanda lewat para Javanolog-nya tersebut justru mengarahkan orang Jawa untuk bergerak ke dalam ruang batinnya yang luasnya nyaris tak terbatas. Kenyataan-kenyataan keras di luar dirinya tak dianggap sebagai ancaman yang mengganggu atau melenyapkan eksistensinya, namun justru harus diakui sebagai bagian dari proses kemenangan pertempuran batinnya. Itulah sebabnya secara intensional Kunto memanfaatkan konsep mawas diri, samadya, Wani ngalah duwur wekasane dan kata-kata bijak semacam nglurug tanpa bala,menang tanpa ngasorake sebagai bagian dari thesis bahwa orang Jawa tak mesti bertempur untuk memenangkan kenyataan-kenyataan lahir sesuai dengan keinginannya karena pertempuran yang sebenarnya bagi mereka adalah pertempuran batin.

Akibat pereduksian makna ini, nilai-nilai Jawa yang semula adiluhung akhirnya tak lebih dari common sense dan lebih sering dimanfaatkan sebagai omong kosong atau rasionalisasi menyedihkan untuk melarikan diri dari kekalahan.

Rangkaian kekalahan Mantri Pasar di hadapan dunia luar yang keras ini di sepanjang novel, meski ia telah berada di sebuah kota kecil di pedalaman Jawa, membuatnya memutuskan untuk melarikan diri ke pedalaman batinnya, sebuah wilayah yang tak mungkin bisa dijajah secara langsung oleh orang lain. Ia sadar bahwa dirinya adalah penguasa alam pikirnya, penguasa tunggal atas batinnya sendiri. Manakala ia tidak bisa berdaulat di dunia lahir, teritori mana lagi yang bisa menjadikan dirinya sebagai diri yang berdaulat selain wilayah batin? Dengan menguasai pedalaman batin ini Mantri Pasar berharap bahwa kekalahan di masa kininya bisa mendapatkan balasan kemenangan di masa mendatang. Kalau ganjarannya tidak dirasakan langsung di dunia, maka di akherat nanti kita akan memeroleh ganjaran yang setimpal atau bahkan lebih besar. Rasionalisasi menyedihkan ini diungkapkan oleh mantri pasar saat mendekati Paijo yang sedang menyapu:

“Ketahuilah, juru penghibur yang sejati adalah diri kita sendiri. Makna hidup itu tidak pada yang sekarang tetapi pada yang kemudian. Memang, mungkin sekarang kita susah. Itu hanya sementara… Hidup kita pusatnya di sini. Hati. Yaitu bagaimana engkau memahami. Kita punya akal. Tapi ketahuilah itu baru syarat hidup. Jangan campuradukkan antara pelengkap hidup dengan hakekatnya. Yang penting itu rasa. Rasa itu di sini…” (Pasar, Hal. 155-156).

Kita tak mungkin menemukan karakter mantri pasar ini seperti Dr. Faust sebagaimana yang diciptakan Goethe, sebuah karakter yang rela mengorbankan apa pun, termasuk bersekutu dengan seta agar tujuannya tercapai. Tak ada pertarungan konyol semacam Lelaki Tua dalam novel The Old Man and the Sea karya Hemingway, yang dengan keras kepala membawa pulang ikan marlin meski hanya tulang-tulangnya saja setelah berhari-hari bertarung dengan keganasan ikan hiu di lautan, sebuah kekonyolan yang menjadi bukti bahwa manusia harus bertarung sampai titik darah penghabisannya agar ada yang layak diceritakan pada generasi-generasi sesudahnya. Ia lebih suka menjalani hidup samadya, tak berlebih-lebihan, tak berusaha memaksakan kehendak untuk meraih sesuatu yang mustahil. Ketidakmampuannya bertarung dengan menggunakan seluruh modal kekayaan, kepandaian dan keberaniannya ia rasionalisasi dengan ungkapan Jawa agar orang tak perlu adigang, adigung, dan adiguna untuk mencapai tujuan-tujuannya.

Gamblang sudah bahwa seluruh kata-kata bijak ini secara fatalistik ia gunakan sebagai benteng pertahanan batin dalam menghadapi kekacauan dunia. Ia cukup berpuas diri dengan menerima keadaan dimana batinnya tenang, tak peduli apakah kejawaan yang ia bangga-banggakan lenyap, apakah dirinya hanyut dan karam dari arus kehidupan yang menyeretnya.

***

Hampir empat puluh tahun sejak novel Pasar karya Kuntowijoyo diterbitkan, seorang pengarang yang juga pernah menimba ilmu di Bulaksumur menerbitkan novel dengan judul ganjil: Ulid Tak Ingin ke Malaysia. Pengarang itu adalah Mahfud Ikhwan. Sialnya, novel tebal yang pertamakali diterbitkan pada 2009 ini tak pernah mendapatkan perhatian luas dari publik pembaca sastra Indonesia. Butuh waktu kurang lebih empat tahun dari pertamakali dicetaknya Ulid Tak Ingin ke Malaysia agar novel yang ditulis selama kurang lebih lima tahun oleh pengarangnya itu dibicarakan di beberapa kalangan di Yogyakarta. Namun bahkan setelah karya-karya selanjutnya dari Mahfud Ikhwan—Kambing dan Hujan dan Dawuk—memenangkan sayembara novel DKJ maupun Khatulistiwa Literary Award dan novel Ulid Tak Ingin ke Malaysia berganti judul menjadi Ulid, tidak banyak yang memperbincangkan novel ini secara serius. (Baca juga: Menjadi Jawa Tanpa Nonton Wayang)

Sudah sejak awal masa kepengarangannya Mahfud Ikhwan terpikat pada hayat dan karya Kuntowijoyo. Di masa-masa awal pembentukan dirinya sebagai seorang pengarang, Kuntowijoyo bisa menjadi model peran dirinya karena keduanya memiliki latarbelakang subkultur agama yang sama (Muhammadiyah), tumbuh besar di pedesaan dan menimba ilmu di tempat yang sama (UGM). Tentu saja ada perbedaan prinsipil berkaitan dengan latarbelakang kelas social kedua penulis ini: Kunto berasal dari keluarga feodal kecil sementara Mahfud Ikhwan adalah representasi dari masyarakat kelas bawah dari pedesaan terpencil di Jawa. Perbedaan yang lain adalah Kunto tumbuh sebagai seorang sastrawan nyaris di sepanjang masa hidup rezim militer Orde Baru, sementara Mahfud menjalani proses pembentukan dirinya sebagai seorang pengarang sesudah jatuhnya rezim Soeharto. Perbedaan ini, sekali pun belum tampak benar, nantinya akan menentukan perbedaan strategi literer dan titik fokus dalam melahirkan karya sastra di antara keduanya.

Novel pertama Mahfud Ikhwan ini berkisah tentang tokoh Ulid dan Desa Lerok yang pada suatu masa pernah Berjaya dengan hasil panen bengkuang dan gamping pinilihnya. Namun masa-masa keemasan pembuatan gamping dan penanaman bengkuang perlahan lenyap akibat hadirnya semen dan munculnya bengkuang kualitasnya dan kuantitas yang lebih bagus dari tempat lain. Menghadapi senjakala kejayaan bengkuang dan gamping Lerok, Ulid memutuskan untuk ikut merantau ke Malaysia. Keputusan ini bukannya tanpa pergulatan. Ia ingat pengalaman buruk yang dihadapi ayahnya ketika mengalami penahanan akibat masuk ke Malaysia lewat jalur tidak resmi. Tetapi tugas yang lebih besar telah menunggunya, yaitu kebutuhan ekonomi keluarga, dan yang tak kalah penting adalah masa depan dan pendidikan tiga orang adiknya. Ia mengorbankan dirinya demi dunia yang sangat ia cintai sejak masa kanak-kanak: sekolah. Keputusan Ulid untuk merantau ke Malaysia ini sekaligus mengubur cita-citanya untuk menjadi insinyur pertanian.

Yang menarik, dalam novel Ulid ini kita hampir tak menemukan gambaran desa yang indah dan nostalgik seperti yang banyak digambarkan oleh pelancong Barat lewat pelukisan keindahan atau eksotisme Nusantara. Mahfud keluar dari jebakan eksotisme dan cara pikir “Mooi Indie” dalam mendeskripsikan latar geografis dan kultural Lerok sebagaimana yang banyak menjangkiti sebagian besar penulis Indonesia.

Perubahan alam dan sosio-kultural desa Lerok tak disikapi dengan tangisan atau rasa sesal kehilangan surga oleh penduduknya, namun sebagai sebuah keniscayaan yang tak bisa mereka bendung. Alih-alih menyesali atau menangisinya, mereka justru menciptakan banyak humor sberkaitan dengan perubahan yang menimpa Lerok.

Hal menarik lain adalah kepiawaian Mahfud membangun deskripsi khasnya tentang masyarakat desa. Ia menegasikan common sense yang selama ini umum diterima bahwa masyarakat desa hidup dalam ketenangan dan kesederhanaan lewat kegelisahan Ulid untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan tanpa henti di setiap fase hidupnya. Ketika gamping dan bengkuang mulai ditinggalkan sebagai sumber mata pencaharian orang-orang Lerok, dan orang-orang mulai melirik pindah kerja ke Malaysia untuk merubah nasib hidupnya, Ulid justru masih yakin gamping dan bengkuang bisa menjadi sumber mata pencaharian yang bisa diandalkan. Tindakan ini, secara ironik, tergambar dengan keteguhan hati dia untuk menyimpan bibit bengkuang untuk suatu saat ditanamnya lagi demi membuktikan kebenaran dari keyakinannya.

Kita mungkin bisa membandingkannya dengan novel Ahmad Tohari yang sangat jempolan, Ronggeng Dukuh Paruk. Deskripsi Mahfud tentang Lerok dengan hutan dan berbagai jenis kayu yang tumbuh di dalamnya, bengkuangnya, kapur dan jubungnya, musik dangdut, dan terutama soal TKI dan Malaysia tak kalah dengan deskripsi Tohari tentang Paruk, alam Paruk dan sekitarnya yang detil lewat berbagai jenis tanaman, satwa-satwa, dan terutama kehidupan ronggeng-nya. Dalam setting sastra Indonesia masa kini, ULID bisa menjawab kegelisahan Ahmad Tohari berkenaan dengan sedikitnya novel berlatar pedesaan dalam satu dekade terakhir. ULID karya Mahfud Ikhwan dan Syeh Bejirum dan Rajah Anjing karyaFahruddin Nasrullah bisa dikedepankan untuk memberi alternatif segar dari membanjirnya karya sastra urban yang tak menunjukkan perkembangan berarti.

Dari cara Mahfud menulis novelnya, kita bisa pula melihat dimensi lain dari perubahan sosial masyarakat desa yang tidak kita temukan saat membaca Pasar karya Kuntowijoyo. Keunikan novel Pasar Kuntowijoyo adalah karena ia bisa menjadi penanda yang baik tentang terjadinya perubahan sosial masyarakat pedesaan Jawa ketika rezim politik Orde Baru mulai menancapkan kuku kekuasaannya diikuti di samping kuku kekuasaan pasar (kapitalisme?). Ulid membuka peluang lain dari terjadinya perubahan sosial masyarakat desa. Bukan oleh arahan negara seperti yang digambarkan secara tersirat oleh Kunto dalam novelnya, bukan oleh modal yang datangnya dari dalam negeri, tapi oleh peristiwa migrasi dan penghancuran batas-batas geografis imajiner sebuah negara dan modal yang berasal dari suatu tempat yang jauh dan di luar batas geografis imajiner tersebut.

Lewat pembentukan karakter dan rangkaian peristiwa dalam Ulid kita bisa menyaksikan ikhtiar literer sang penulis untuk men-subversi realitas keseharian kita sehingga akhirnya memicu pembaca untuk menilai ulang pandangannya tentang kehidupan desa, bentuk dan proses pendidikan ideal untuk mereka, posisi unik masyarakat desa ketika berhadapan dengan negara, agama, alam, dan isu-isu perubahan sosial yang harus mereka hadapi. Ambil contoh dalam soal posisi tawar antara penduduk Lerok dan negara. Dalam banyak novel Indonesia, dengan mudah kita menemukan narasi perlawanan suatu entitas politik atau penduduk suatu wilayah dengan otoritas negara. Namun sangat jarang relasi warga dengan negara atau negara dan entitas politik itu hadir dalam suasana penuh humor atau kocak. Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari jelas-jelas menghadirkan relasi antara negara dan berbagai kelompok masyarakat desa dengan cara yang menegangkan. Begitu juga dengan novel Upacara karya Korrie Layun Rampan yang berkisah tentang masyarakat Dayak di Kalimantan. Namun, Ulid, seperti kisah-kisah Kuntowijoyo menghadirkan relasi negara-masyarakat yang tak selamanya konfliktual, menegangkan, dan traumatik. Dengan mudah kita bisa menemukan bagaimana peristiwa-peristiwa traumatik yang mencerminkan relasi negara dan masyarakat di desa Lerok segera mencair menjadi humor bagi penduduknya.

Di awal cerita kita disuguhkan betapa berkuasanya negara lewat representasi sinder hutan yang bisa menentukan hidup mati atau bebas dan terpenjaranya penduduk Lerok seperti Tarmidi. Namun ketika Malaysia menjadi solusi bagi kesulitan-kesulitan hidup penghuni Lerok—meski pun mereka harus membayar resiko-resiko tertentu akibat pergi ke sana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya—mereka menemukan kemandirian dirinya dan merespons kuasa kuat negara yang seolah menentukan hidup dan mati mereka dengan berbagai cara.

Lewat humor yang mengagumkan dalam novel Ulid ini, misalnya, kita bisa menyaksikan bagaimana masyarakat yang dulunya gemetar dan tak berkutik di depan negara yang kuat kini bisa mengabaikan atau bahkan melecehkannya lewat obrolan tentang hak masyarakat mendapatkan fasilitas listrik. Makin banyaknya produk-produk teknologi yang membutuhkan listrik, ketidakcukupan listrik dari diesel Ngatimin dan Margino dalam memenuhi kebutuhan listrik warga Lerok, dan tiang-tiang listrik yang tak juga dipasang oleh pemerintah,  membuat mereka merasa dilecehkan sebagai warga negara.

Ketidakmampuan negara memenuhi hajat hidup warga Lerok akhirnya bukan hanya membuat warga melecehkannya, namun juga mengolok-olok otoritas negara itu lewat pembandingannya dengan Malaysia, tempat sebagian besar warga Lerok memenuhi nafkah hidupnya.

Naiknya daya tawar orang-orang Lerok terhadap negara bukan hanya hadir lewat obrolan penuh humor tentang proses masuknya listrik PLN ke desa Lerok. Dengan semakin naiknya taraf kehidupan ekonominya, orang-orang Lerok mulai bisa membangun jalan dan masjid dengan biaya sendiri. Tindakan ini dilakukan bukan semata-mata karena kebutuhan mendesak mereka atas fasilitas publik yang mereka butuhkan, namun juga dilandasi keputusasaan mereka pada  pemenuhan tanggungjawab pemerintah dalam menyediakan fasilitas publik tersebut. Lebih jauh lagi, apa yang mereka lakukan juga menjadi jawaban membangun atas kritik lambatnya pembangunan fasilitas-fasilitas umum yang menjadi tanggungjawab negara.

Bila dalam tetralogi Pulau Buru Pramoedya membabar tentang perampasan kekayaan alam dan ruang hidup manusia Jawa/Nusantara dan tragedi perumahkacaan dari perlawanan baru manusia Jawa lewat perangkat pengetahuan yang mereka sediakan; bila novel Pasar Kuntowijoyo membabar tentang ketersingkiran manusia Jawa dari ruang geografis riilnya dan terpaksa mendamaikan keterdesakan mereka di ruang batinnya, maka novel Ulid menyuguhkan narasi yang menyedihkan: tidak kondusifnya lagi ruang hidup dan penghidupan di Jawa sehingga memaksa mereka mencari ruang hidup dan penghidupan di luar batas-batas geografi riil negara. (Baca juga: Ketika ke Bioskop adalah Suatu Dosa)

Dari sudut pandang ekonomi, kita bisa melihat adanya alur ekspansi kapitalisme dari tiga karya dan tiga jaman ini: pertama memasuki pusat-pusat kota (Surabaya dan Batavia), kemudian merambah ke kota kecil atau pinggiran kota (Gemolong) sebelum mencengkeram wilayah paling terpencil dari ruang hidup manusia Jawa (Lerok). Sebagai konsekuensi logis dari ekspansi capital dari pusat kota sampai jauh ke pedesaan suatu Negara/wilayah ini tampak pada tersingkirnya penghuni di ruang-ruang itu. Dalam Tetralogi Pulau Buru, kita bisa menyaksikan kebangkitan dan kejatuhan elite pribumi seperti Nyai Ontosoroh dan Minke di depan kuasa Negara/capital meski mereka melakukan perlawanan sekuat-kuatnya. Dalam novel Pasar karya Kunto, kita menyaksikan kejatuhan feodal kecil seperti Mantri Pasar akibat masuknya bank dan kelas pengusaha seperti Kasan Ngali. Sementara dalam kasus Ulid, para penghuni Lerok terpaksa harus menjalani hidup sebagai manusia pengembara karena terusir baik oleh tidak lakunya bengkoang maupun kapur Lerok.

Yang sangat khas dari ketiganya adalah keteguhan tokoh-tokoh utama mereka dalam memegang keyakinannya. Dalam diri Minke kita menemukan manusia yang tak pernah berhenti melawan tirani kolonial yang membelenggu bangsanya, pada diri Mantri Pasar kita menemukan keteguhannya pada nilai-nilai hidup adiluhung Jawa sebagaimana yang diuraikan Ronggowarsito, dan keteguhan hati Ulid bahwa bengkoang Lerok masih tetap yang terbaik dan suatu hari nanti akan tumbuh entah di tanah mana dan milik siapa. Pergulatan jiwa semacam inilah yang membuat karya mereka berbeda dengan karya kebanyakan penulis sejaman mereka.

 

Warkop Paranormal, 22 Juli 2019

Esai ini disampaikan dalam acara diskusi Suluk Kebudayaan Indonesia #2 “Menjadi Indonesia: Pergulatan Teks Kebudayaan”, pada Senin, 22 Juli 2019 pukul 19.30-selesai di SaRang Building #2, Kalipakis, Tirtomartani, Kasihan, Bantul.

Baca juga Kontestasi Politik Identitas Golongan Tionghoa Muslim

Belum lama ini diriku berkesempatan melakukan observasi di Gunungkidul untuk riset pribadi. Pagi hari aku diajak teman untuk menemani anak-anak SD jalan-jalan keliling desa. Musim kemarau, sejauh mata memandang hanya ada batu dan pohon yang meranggas, didukung alam Gunungkidul yang memang demikian.

Aku melihat rombongan di depan sedang berhenti di jembatan desa. Karena penasaran aku ikut nimbrung di keramaian. Seorang anak menangis karena botolnya jatuh ke sungai karena disenggol temannya. Ibu guru mengomeli karena jengkel peringatannya tidak diindahkan

“Sudah dibilangin toh. Kalau di jembatan jangan inguk-inguk, jatuh kan botolnya,” seru bu guru.

Ibu guru masih melanjutkan omelannya sambil memberi perintah pada anak yang menjatuhkan botol minuman temannya. Aku kaget. Sungai atau kali itu sungguh dalam, walaupun sedang kering.

“Sudahlah, Bu. ‘Kan Cuma botol, kasihan anaknya kok disuruh turun, apa tidak bahaya?” aku tidak tahan untuk tidak berkomentar.

“Ndak papa, Bu, anak sini biasa kok kalau cuma turun ke kali, wong biasanya kalau pas musim penghujan mereka biasa ciblon kok. Ah ini perkara yang rumit, Bu. Kalau botol itu cuma botol air mineral biasa, tak apalah, masalahnya ini botol merk TW, kalau nggak diambil nanti si anak bisa dibubur emaknya,” jelas bu guru dalam bahasa Jawa.

Kata simbah-simbah, di dekat belik Kali Lusi itu Arya Penangsang pernah beristirahat untuk minum dan mengikat kuda kesayangannya, Gagak Rimang, sebelum melanjutkan perjalannya ke Demak Bintara.

Aku geleng-geleng sambil menahan tawa karena teringat meme-meme tentang merk botol itu, tapi juga ngeri melihat anak yang turun ke kali. Aku jadi teringat dulu waktu kecil sempat menghanyutkan klenthing ke kali, seharian tidak berani pulang karena pasti diomeli simbah. Ah, kenangan itu tiba-tiba terdampar lagi setelah terhanyut sekian tahun.

 

Ingatan Masa Kanak dan Sungai

Dalam Konferensi Musim Sejagat, Setya dan Na’im menggambarkan sungai dengan segala masalahnya. Mau tidak mau, kenangan masa kecilku terpanggil lagi. Ketika teman-temanku anak metropolitan menanyakan tentang kampung halamanku, bayangan mereka selain sawah pasti akan ada sungai atau aku menyebutnya kali. Aku tahu pasti mereka membayangkan kali yang jernih, airnya dingin, dan banyak batu-batu besar seperti di Jenawi, Karanganyar, kampung halaman sahabatku. Ah, tentu saja mereka harus menghapus bayangan kali yang seperti itu. Kali di tempatku bukan jenis kali pegunungan macam itu. Kali yang airnya keruh dan akan mengering di musim kemarau. Ada dua jenis kali di tempatku. Kali kecil atau orang-orang di desaku menyebutnya “Kali Sin” dan kali besar yang namanya “Kali Lusi”. Di Kali Sin aku pernah mengambil air dengan jerigen lalu membawanya dengan bronjong dan mendorongnya di jalan yang menanjak. Waktu itu memang sumur bor belum berfungsi. Aku juga sering diajak ibu mencuci baju di Kali Lusi, bermain di dekat belik yang airnya jernih sambil ngobrol dengan pakdhe-pakdhe yang mengambil air di situ untuk dijadikan air minum. Kata simbah-simbah, di dekat belik Kali Lusi itu Arya Penangsang pernah beristirahat untuk minum dan mengikat kuda kesayangannya, Gagak Rimang, sebelum melanjutkan perjalannya ke Demak Bintara.

Teringat dulu ancaman orang tua di desaku yang menakut-nakuti anak-anak mereka agar tidak pergi ke kali di waktu bedhug atau candhikala.Mengko ana gundreng,” kata mereka.

Kali banyak disebut di karangan anak Sekolah Dasar, setidaknya itu yang pernah aku alami dulu. Berbeda dengan teman-temanku, kenanganku tentang kali tidak begitu menyenangkan. Haha. Teman-teman bisa menceritakan pengalamannya ciblon, ngguyang sapi, mengumpulkan tanaman kembang banyu, saling ledek kalau ada benda kuning mengambang (anak di tempatku menyebutnya semuning) atau menceritakan keseuran mereka bermain sepak bola di kali yang sedang mengering. Aku? Takut dengan banjir yang tiba-tiba datang ketika masih di tengah kali di saat menyeberang, takut dengan bayangan bambu yang kukira ular, takut dengan kelabang yang tiba-tiba masuk ke bajuku ketika berada di kali, dan takut terseret ke kedung yang dalam dan dimakan kalap (hantu air). Juga cerita tentang seorang guru Taman Kanak-Kanak yang ikut hanyut ke kali Lusi ketika jembatan yang dilewatinya tiba-tiba putus ketika beliau sedang perjalanan berangkat ke tempat mengajar, di TK yang sekarang menjadi tempat mengabdi ibuku. Ibu guru itu bernama Siti Aminah, jenazahnya ditemukan di Demak beberapa hari kemudian. Namanya diabadikan menjadi nama jembatan yang pernah putus tersebut. Jika kamu lewat jembatan di daerah Bandang, Wirosari, Grobogan, itulah jembatan Siti Aminah. Ingatanku tentang kali adalah semua hal yang menakutkan. Sampai sekarang aku masih takut air dan tidak bisa berenang. Payah.

Gambar: “Pohon Detektif” Karya Na’imatur Rofiqoh

Na’im dan Setya menyebut Kali Pepe di ceritanya “Kota Pepe” dan “Pohon Detektif”. Na’im mengimajinasikan sebagai sebuah kota air sedang Setya menyebutnya secara harfiah. Sepertinya Kali Pepe di kota Solo memang punya keterikatan emosional dengan mereka. Aku pernah ngonangi mereka melakukan aktivitas di bantaran Kali Pepe (semoga tidak salah). Beberapa teman aktivis juga pernah mengadakan acara dengan melibatkan anak-anak yang tinggal di pinggir Kali Pepe. Aku sendiri tidak terlalu memiliki kenangan dengan Kali Pepe kecuali ketika jalan-jalan dan melewati jembatan Arifin yang menghubungkan Widuran dan Kabalen. Kali Pepe seingatku hanya pernah kusebut dalam parikan-parikanku, sebatas untuk menyamakan rima.

 

Cerita yang Mengancam

Cerita anak seharusnya adalah cerita yang menyenangkan, walau mungkin di dalamnya menceritakan kesedihan, usahakan happy ending, berakhir bahagia. Aku pernah mendengar temanku, seorang penulis Cerita Anak bilang begitu. Sebelum menulis ulasan ini, aku membuka-buka lagi tulisan cerita anak punyaku. Cerita-cerita yang kutulis masih khas cerita anak konvensional, pesan moral masih terlihat jelas walau tidak menggurui. Nah, cerita yang seperti ini yang tidak kutemukan di dalam Konferensi Musim Sejagat.

Kebetulan aku mengenal Na’im dan Setya. Dua orang ini sungguh sialan. Mereka adalah orang yang wagu jika mungkin menulis fiksi (hanya penilaian subyektifku). Kesan esais mbalung gereh alias ngeri sudah tersemat di nama mereka. Hanya ketika menulis cerita anak, sepertinya aku harus mengakui bahwa aku harus waspada dengan mereka. Haha. Sungguh terlihat dedikasi mereka pada dunia anak. Cerita yang mereka tulis mempunyai ruh yang kuat, sederhana tapi mengena.

Kadang kita berpikir bahwa sebaiknya kita harus Menghanyutkan Kenangan-kenangan itu

Na’im dan Setya menolak menulis cerita yang berakhir bahagia atau cerita yang bahagia dari awal. Membaca lima dari enam cerita di buku mereka, aku merasa hatiku suram. Iki cerita anak kok madesu ngene ya, gerundelku dalam hati. Apakah kalau cerita ini dibaca oleh anak-anak responnya akan sama denganku? Atau hanya aku yang kelewat baperan? Mungkin harus kutanya pada sampah-sampah di Kota Pepe.

Dalam “Hantu Sampah” karangan Setya, tokoh Mbak Ita mengancam adiknya, Adin, “Nanti aku bilangin Ibu, lho! Kan sudah dibilangin. Bahaya! Nanti kamu digondol sama ikan bermuka dua,” (hal 19). Adin dan teman-temannya malah menertawakan ancaman mbaknya itu. Mana ada yang percaya dengan keberadaan ikan bermuka dua, palingan juga sudah minggat karena takut sampah di kali. Edan, bahkan penunggu sungai pun harus takhluk dengan ganasnya sampah. Hantu pun bisa diganggu sampah. Teringat dulu ancaman orang tua di desaku yang menakut-nakuti anak-anak mereka agar tidak pergi ke kali di waktu bedhug atau candhikala.Mengko ana gundreng,” kata mereka. Gundreng adalah anak-anak genderuwo yang suka muncul tepat di tengah hari, di pinggir kali. Aduh dulu aku begitu takut. Jangan-jangan gundreng sekarang tak pernah muncul lagi karena kali sudah begitu rusaknya.

Gambar: “Kota Pepe” Karya Na’imatur Rofiqoh

Na’im tidak mau kalah dalam hal ancam-mengancam ini. Dalam ceritanya “Konferensi Musim Sejagat” dia menciptakan banyak dewa. Dewa-dewa ini berkonferensi. Ada Dewa Sungai, Dewa Hujan, Dewa Pohon, Dewa Badai bahkan Dewa Beton dan Dewa Pencakar Langit. Dalam menyelesaikan masalah mereka selalu mencari jalan terbaik kecuali Dewa Badai yang maunya merusak saja. Lihat saja apa katanya, “Benarkah? Aku akan pergi dari sini sekarang juga. Akan kucari anak-anak itu. Kalau kutemukan satu saja anak yang membuang sampah di sungai, aku akan mengamuk dengan badai yang paling dahsyat! Ha ha ha!” kata Dewa Badai Keras. Tanpa menunggu, Dewa Badai melesat meninggalkan konferensi. Tak ada yang sempat mencegahnya. Berhati-hatilah saat mau membuang sampah. Dewa Badai Mengintai! (hal. 27)

Buang sampah sembarangan bukan denda ancamannya, tapi amukan Dewa Badai. Dhuh.

 

Menghanyutkan Kenangan

Aku merasakan romantisme masa lalu dalam cerita Setya “Vionisa dan Kedip”. Kedip si Ikan Cupang yang dipelihara Vionisa di akuarium rumahnya mengadu kalau dia merindukan rumahnya di sungai. Vio ingin mengembalikan Kedip, tapi teringat sungai sekarang kotor, banyak sampah dan ada pengerukan lumpur. Tentu saja itu  bukan tempat berpulang yang baik.

Kenangan masa lalu juga dirasakan oleh tokoh Idan dalam “Idan Takut Air” karangan Na’im. Bukan kenangan yang baik ketika kenangan itu adalah tentang sungai yang merenggut nyawa seorang bapak. Kenangan yang pastinya akan enggan diziarahi oleh Idan.

Baik Kedip atau Idan merasakan momen ingin merasa pulang dan “pulang”. Tapi kadang memang kita harus merelakan bahwa kita tidak bisa kembali ke masa kecil yang menyenangkan, ke kampung halaman yang masih asli. Kadang kita berpikir bahwa sebaiknya kita harus menghanyutkan kenangan-kenangan itu. Tapi bukannya mereka tidak benar-benar pergi? Bisa jadi malah jadi sampah yang menyumbat dan membuat banjir di tempat lain.

Ah tenang saja, tidak semua cerita di buku ini suram sebenarnya. Ada geng detektif cilik yang suka bermarkas di “Pohon Detektif”. Mereka akan sigap membantumu di setiap kondisi. Mereka akan melaporkan kepada Pak RT ketika hujan turun dan sungai terlihat akan meluap. Tapi banjir tidak berani mengganggu karena warga sering bekerja bakti membersihkan bantaran sungai. Ahai. Mungkin mereka juga yang sudah membersihkan kenangan-kenangan sampah yang menghanyut di sungai kehidupan kita dan mencegah banjir air mata kemudian. Aih.

Mendungan, 30 Oktober 2018

Blakra’an (baca: dolan) ke Kepatihan Pakualaman Sabtu malam kemarin, 10/11, saya berangkat bersama laron yang menclok di jaket dan nyelip di sela helm saya. Sebagian area Piyungan-Potorono-Kotagede malam itu mati listrik –pemadaman bergilir– PLN biasa menyebutnya begitu. Maka yang terjadi adalah laron-laron yang mengerumuni lampu jalan, beralih mengejar lampu sepeda motor atau mobil. Wah, ini momen puitik, pikir saya. Di antara laron yang beterbangan, hujan yang menjelang, dan jalanan yang padat kendaraan, saya memikirkan acara peluncuran buku Antologi Puisi Mata Khatulistiwa di Kepatihan Pakualaman Sabtu malam itu. Mengapa acara Sastra ini menghadirkan orang-orang pemerintahan, dosen, dan akademisi yang lain –selain seniman tentu saja? Mengapa  pula acara ini dihelat di lingkungan Pura Pakualaman?

Acara ini diawali dengan sajian makan malam di sisi belakang pendapa Kepatihan. Setelah MC membuka acara, Muhammad Bagus Febrianto – pengageng urusan macapat Kadipaten Pakualam– tampil  membacakan beberapa padha dalam pupuh Dhandhanggula dan Kinanthi untuk menyambut para hadirin. Lantas Ibu Nana Ernawati, ketua Lembaga Seni dan Sastra Reboeng (selanjutnya: Reboeng), menyampaikan pengantar tentang peluncuran buku Mata Khatulistiwa. “Mengapa acara yang biasanya di gedung kesenian, harus di Kepatihan Pakualaman?” Ya, saya juga tanya itu tadi di jalan, Bu. “Sebenarnya ini sudah menjadi krenteg, supaya masyarakat dan kerajaan ada silaturahmi,” lanjut Bu Nana. Hmmm, saya menggumam. “Semua kitab suci agama, termasuk Al-Qur’an ditulis dalam bentuk puisi. Di sini saya ingin mengatakan keberadaan puisi seperti tersisihkan. Tidak seperti seni tari, musik, dan seterusnya,” kata Bu Nana. Di akhir acara saya mendapat keterangan lebih lanjut dari Iman Budi Santosa, editor Mata Khatulistiwa.

Foto bersama seusai peluncuran buku.

Foto bersama seusai peluncuran buku.

Lantas Bu Nana mempersilakan beberapa tamu undangan naik ke panggung di depan para hadirin untuk turut meluncurkan buku Mata Khatulistiwa. Antara lain, ketua BPAD DIY, ketua TBY DIY, dan Eros Djarot. Menurut Eros Djarot ia mewakili kakaknya, Slamet Rahardjo, yang malam itu sedang syuting program televisi. Program apa ya, saya hanya menduga Sentilan Sentilun, begitu juga kedua MC yang memandu acara dengan heboh. Tapi kok belakangan Butet Kertaradjasa hadir ke Kepatihan, bahkan membaca dua puisi karya Bu Nana Ernawati? Siapa dong pemeran Sentilun yang sedang syuting dengan Slamet Rahardjo? Sudah. Banyak tanya di dalam kepala malah bikin ruwet, nanti saja tanya langsung.

Usai peluncuran buku secara resmi dan berfoto, acara dilanjutkan dengan pembacaan puisi oleh para tamu undangan Reboeng. Pembacaan puisi yang dipandu oleh dua MC yang heboh pun tidak menghilangkan kesan formal yang dibawa oleh para tamu undangan. Meski memang artikulasi dan karakter puisi yang dibacakan juga memiliki ruh dan semangat di sekujur tubuh puisi, namun kesan itu tetap berbekas di kepala saya. Tentu tidak semua tamu undangan yang begitu. MC kadang berceletuk ketika pembaca puisi dan penyair yang dipanggil maju disambut tepuk tangan, “Nyapres-nyapres. Pendukungnya banyak ya.” Lalu hadirin tertawa. Pembacaan puisi diacak, mulai dari Aceh, melompat ke Jawa Barat, meluncur ke Sumatera Utara, menengok Sumatera Barat, terbang ke Flores, singgah ke Jawa Timur, balik lagi ke Aceh, berderap ke Papua dan mendarat tuntas di Yogyakarta melalui pembacaan oleh Butet Kertaredjasa atas puisi Nana Ernawati.

Di sela-sela pembacaan puisi, Teater Eska menampilkan musikalisasi dua puisi dari Papua dan Jawa Timur, karya dua penyair yang syairnya ada di dalam buku Mata Khatulistiwa. Lalu Jejak Imaji menambahkan alat musik lain di adonan keragaman musik mereka, dengan saxophone mereka menyajikan musik puisi karya Nana Ernawati, kalau nggak salah ingat. Lalu Serat Djiwa membawa suasana Kepatihan yang basah oleh gerimis menuju kesenyapan dengan beberapa aransemen musik etnik di Nusantara merespons keanekaragaman puisi dalam buku Mata Khatulistiwa. Tampak dari alat musik mereka yang kawin dengan alat musik Eropa: Gambus, Gitar, Sapek Dayak, Akordeon yang sering digunakan di Melayu, Perkusi Papua, Biola, dan Cello. Pupuh sinom padha pertama pada Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV pun dibacakan untuk memungkasi pentas: “Nulada laku utama, tumrape wong Tanah Jawi, Wong Agung ing Ngeksiganda, Panembahan Senopati, kepati amarsudi, sudane hawa lan nepsu, pinesu tapa brata, tanapi ing siyang ratri, amamangun karenak tyasing sesama.” Keragaman di Nusantara saya tangkap dengan cukup jelas dari seluruh rangkaian penampilan.

Singkatnya kalau “Nusantara” kita akan bicara lokalitas, kalau “Indonesia” kita akan bicara globalitas.

Poster peluncuran buku Antologi Puisi Mata Khatulistiwa.

Poster peluncuran buku Antologi Puisi Mata Khatulistiwa.

Buku ini memuat puisi yang menunjukkan nilai-nilai kedaerahan dari 29 provinsi di Indonesia. Saya menangkap sebuah lanskap yang dipotret oleh beberapa puisi yang dibacakan atau dimusikkan malam itu, adanya persinggungan atau justru saling berhadapan antara Tradisi dan Modernitas. Misalnya, Irwan Segara yang memotret pertahanan diri Orang Badui, Banten, atau Indrian Koto tentang Orang Rantai di Minang. Buku ini merupakan refleksi atas kebingungan dan ketercerabutan Indonesia dari Nusantara. Manusia Nusantara yang aneka ragam ini dipaksa dan didesak oleh Indonesia untuk terus menjauhi dirinya sendiri; sebuah kritik yang keras, tegas, sekaligus anggun. Begitu.

Mengundang orang pemerintahan, politisi dan akademisi hadir dan membaca puisi, plus diiringi musikalisasi yang hibrid adalah brilian. Namun menurut saya meniadakan diskusi di acara launching buku sekomplet Mata Khatulistiwa, bagai puisi yang gagal membangun metafora. Bagaimana masyarakat bisa tahu gagasan di balik tiap puisi di dalam buku kalau begini ‘kan? Dan sebaliknya, bagaimana para penyair dan Reboeng mengetahui gagasan para pembacanya di acara itu? Eman banget, Rek! Bagaimana juga mengetahui bahwa para hadirin memahami gagasannya masing-masing jika tanpa diskusi? Kalau yang terakhir ini urusan pribadi tentu saja.

~~

Kedung Darma Romansha. Dok: Mas Rency Timoho

Kedung Darma Romansha, penyair.

Jarum jam di sisi timur panggung menunjuk pukul sembilan lebih, saya mengira pembacaan puisi oleh seluruh tamu undangan Reboeng telah berakhir, seorang demi seorang tampak saling berpamitan. Aprinus Salam, Eros Djarot, Sri Adiningsih, Sri Surya Widati, Sitoresmi Prabuningrat, dan beberapa yang lain seingat saya beranjak meninggalkan Kepatihan sebelum acara usai. Saat masih gerimis. Lalu saya beranjak juga keluar ruangan untuk merokok, dan di sana bertemu dengan beberapa penyair yang menunggu giliran membaca puisi. Masing-masing membacakan puisi sesuai daerah mereka berasal. Di muka pintu saya dipanggil Hasan Gauk, teman asal Lombok, yang sedang merokok lintingan bersama Nermi Silaban, Kedung Darma Romansha, Irwan Segara, Indrian Koto dan lainnya. Saya pun bergabung, tentu saja untuk minta tembakau Senang yang ia bawa sekantong besar itu. Enak tembakaunya, halus, di lidah.

Mario F. Lawi, Latief S. Nugraha, Mas Hamdy Salad, Pak Landung Simatupang, Dedet Setiadi, dan beberapa sastrawan senior lain yang hadir tetap di tempat. Mereka ternyata juga menunggu giliran membaca puisi. Mata Khatulistiwa ini menghimpun puisi karya 55 penyair Nusantara dengan catatan penutup yang ditulis oleh Kris Budiman. Nilai lokalitas dari berbagai daerah ditunjukkan oleh para penyair dalam buku ini dengan memotret peristiwa yang dekat dengan diri mereka. Mungkin ini adalah buku pertama di Indonesia dengan konsep mempersatukan puisi-puisi karya penyair di Indonesia dengan tema khusus: nilai-nilai dan kenyataan kampung halaman para penyair.

Mata Khatulistiwa sebetulnya adalah fenomena antropologi yang disampaikan berupa puisi.

Misalnya, Indrian Koto, membaca puisinya yang memotret kehidupan Orang Rantai di tanah Minang. Tenang dan mengalir. Kedung Darma Romansha, menghadirkan dua puisi tentang Pantura Jawa Barat. Saya ingat di puisi yang pertama, ia menyetel lagu dangdut koplo dari handphone miliknya sebagai pengiring. Kedua, ini juga menjadi ciri dirinya dan Pantura, saweran. Dengan meniru logat penyanyi dangdut koplo ia membuat repetisi, “Ya Pak sawerannya ya, Pak Butet sawerannya, Pak Landung sawerannya, Bu Nana sawerannya dong…” Hadirin tertawa. “Yang digoyang yang…Yang digoyang yang…Yang digoyang yang…” Bu Nana beneran menyawer. “Asiik… Wik… Wik… Wik… Wik… Aaah…” Hadirin kembali tertawa. Para penyair muda-tua juga tertawa. Wah ternyata semua orang mengikuti video itu. “Salam Dangdut Pantura!” Kedung berteriak, tuntas.

Apa yang saya dapat dari acara peluncuran buku Mata Khatulistiwa sebagai-paling minim-pembaca Sastra Indonesia? Saya bertanya pada diri saya sendiri, saya coba jawab sendiri, Anda kalau mau ikut menjawab dan bertanya silahkan ya.

Melalui diktat pelajaran sekolah dulu, kita tahu kata “Indonesia” baru saja digunakan pada tahun 1928, 90 tahun yang lalu. Kata ini hanya selalu berperan politis. Belakangan saya baru mengetahui dari Kyai Jadul Maula pada salah satu serial Ngaji Dewa Ruci di Pondok Pesantren Budaya Kaliopak, Yogyakarta pertengahan tahun ini, bahwa kata ini lebih awal digunakan. Kyai Jadul menyebut ada sebuah manuskrip surat yang tersimpan di perpustakaan Kraton Ngayogyakarta antara kesultanan Demak dan kesultanan Aceh yang menggunakan kata Indunisiyah. Penulisannya dalam huruf pegon, kala itu pesantren dan kraton masih utuh tak terpisahkan. Kata ini digunakan, menurutnya, untuk menyepakati pemersatuan wilayah antara seluruh kesultanan dan kerajaan di Nusantara waktu itu. Oke. Saya kesampingkan data ini, karena buku Mata Khatulistiwa ternyata berangkat dari fakta sejarah yang lebih muda. Yakni Indonesia 90 tahun belakangan. Sementara kata “Nusantara”, melalui diktat sekolahan dan kuliahan (bagi yang kuliah) kita juga tahu, ada lebih banyak tafsir longgar atas kata itu yang hari ini lebih fungsional di wilayah Kebudayaan daripada “Indonesia.” Singkatnya kalau “Nusantara” kita akan bicara lokalitas, kalau “Indonesia” kita akan bicara globalitas. Betul?

Iman Budi Santosa, penyair.

Iman Budi Santosa, penyair.

Acara sudah ditutup saat itu, pembaca terakhir adalah Butet Kertaredjasa yang khas dengan medok Jogja itu. Atas saran Mas Latief S. Nugraha akhirnya saya putuskan untuk ngobrol dengan Iman Budi Santosa (IBS) yang berperan sebagai editor buku Mata Khatulistiwa, selain dirinya ada: Nurul Ilmi Elbana, dan Nana Ernawati. IBS, sastrawan senior yang turut mendirikan Persada Studi Klub bersama Umbu Landu Paranggi, Teguh Ranusastra Kumbara, dan lain-lain pada 1969 ini adalah penggagas penyusunan antologi Mata Khatulistiwa. Sebagai penggagas dan editor, IBS tidak memberi anotasi sedikitpun pada setiap puisi di dalam Mata Khatulistiwa. “Yang penting adalah, jupuken (baca: ambilah) dari duniamu. Sing Lampung yo jupuken sak isomu (baca: ambilah sebisamu). Karena pada waktu globalisasi, lokalitas itu tertindih,” katanya.

Dari IBS saya memperoleh keterangan, bahwa persoalan hari ini bermula dari penyeragaman. Ini tampak misalnya ketika Anda pergi berkunjung atau tinggal di luar negeri. Misalnya ada orang bertanya, dari mana asal Anda? Anda menjawab, Indonesia. Indonesia baru hadir saat itu, detik itu. Namun, jika Anda ada “di dalam” Indonesia, jawaban Anda justru akan dikejar. Dari mana asal Anda? Dari Jawa Timur. Jawa Timurnya mana? Ngawi. Ngawinya mana? Paron. Paronnya mana? Itulah kampung halaman. Begitu terus, dan Anda akan selalu menemui kenyataan bahwa kita ini berbeda-beda. “Pada waktu kita ngomong air, neng kene banyu, neng kono ci, neng kono aya, neng kono aing, neng kono danun, cobo?” IBS memberi contoh kecil.

Ruangan sudah mulai sepi waktu itu, IBS yang duduk di samping kiri saya menambahkan keterangan, “Mata Khatulistiwa itu isinya bukan sekadar puisi. Nek dibanding-bandingke, seperti Al-Qur’an, itu bentuknya juga puisi tho, tapi sebetulnya isinya adalah nilai-nilai antropologis. Mata Khatulistiwa sebetulnya adalah fenomena antropologi yang disampaikan berupa puisi,” katanya dengan logat khas Jawa Timur bagian barat. Negara yang seharusnya terbebani pekerjaan “penjagaan persatuan” semacam ini. Namun keragaman yang nyata sehari-hari kita hadapi ini sedang ditunjukkan sebisanya, semampunya, oleh mereka para penyair dalam buku ini. “Negara, yang dipikirkan Indonesia, itu satu. Keragaman ini pada suatu saat akan terlupakan, padahal isih enek. Iki lho sing medeni,” IBS menambahi keterangan. Saya simpulkan ya, kehadiran seluruh keragaman Nusantara dalam Mata Khatulistiwa juga merupakan bentuk ajakan untuk kembali pulang ke lokalitas – meminjam IBS – yang tersisih dan tertindih oleh Indonesia itu. Wah, saya justru ada pertanyaan lagi: Sebenarnya ke mana seluruh keragaman yang terancam ini akan bermuara?

~~~


Foto: Mas Rency Timoho

Pertama menemuinya, perhatian saya tercuri oleh tato kecil di tangannya: kuda. Saya tak tahu maknanya, dan tak pernah berusaha menanyakannya. Bodo amat. Menit demi menit berlalu, yang saya tahu waktu itu: tubuhnya kisut, tangannya penuh kerut-merut.

Tua. Seluruh tubuhnya sudah tua, begitulah saya meyakininya. Kecuali sepasang mata yang warnanya bagai matahari, hangat dan cerah. Saya tak pernah bisa melupakan hari saat kami duduk di beranda, bercakap-cakap tentang Malioboro, tempat ia keluyuran dan menuliskan  hampir seluruh sajaknya. Juga tentang sajak “Apa Ada Angin di Jakarta?”. Juga tahun-tahun yang dilaluinya di Pulau Dewata.

Lelaki tua itulah, lelaki yang selalu bisa mempertahankan ketegarannya dengan topi usang di kepala, yang dahulu mengajari Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, Iman Budhi Santosa, Ragil Suwarno Pragolapati, dan banyak lainnya, untuk menulis sajak. Tapi dalam beberapa hal masih tampak gagah. Matanya seolah bisa menghanyutkan berbagai benda bercahaya.

Kebesaran namanya itu yang membuat saya kikuk. Saya sangsi bisa menulis sosoknya dengan benar. Meski saya telah mendengar, cerita tentangnya dari orang lain dan buku-buku, saya tak terlalu yakin itu akan banyak membantu.

Tapi saya memberanikan diri. Kisah ini adalah tentang Umbu Landu Paranggi. Tepatnya Umbu dan saya. Tapi selalu dengan pusat perhatian pada Umbu, lelaki tua berambut panjang dengan sajak-sajak Sumbanya –muasalnya, tanah dan lazuardi biru, keindahan yang bersahaja, lunak dan kelabu.

***

Waktu itu…

Waktu matahari sudah lebih tinggi, di tanah Humba, di batu-batu Maramba, kuda-kuda rebah, seorang “melupa hidup gelisah” membisik talkin purba. Angin, jirat aku pergi. Sisipkan aku ke liang duka. Burung, angkat aku tinggi. Terbangkan aku hingga Ruaka. Dan…

sunyi

      bekerjalah kau

bagi

      imanku risau

(Umbu Landu Paranggi, Doa Alit)

 

Tapi sudah lama ia tinggalkan tempat kelahirannya itu. Terbang bagai awan lalu, dekat dengan cahaya, melintas hutan-hutan dan pelabuhan, dibakar terik dan kesepian.

Kini, di usianya yang tambah tua tambah sunyi, jalannya jauh lebih pelahan, ia telah mencapai kedalaman yang semestinya. Ia telah menyusuri daratan-daratan masa mudanya –Yogyakarta, tempat ia menatap langit jernih, kota di mana ia menemukan cinta pertamanya; Bali, tempat ia mendengar suara dayung-dayung tercelup, membelah air, berubah menjadi mantra.

Saya kutip salah satu sajaknya “Dari Pos Plawangan, Kepada Yogya” yang berbicara tentang cintanya. Yogyakarta…

Adalah kenangan

dan gelisah itu

Berpuluh dan berpuluh seperti sayup mimpi, di sini

di mana sukma cinta tak pernah menyerah

Begitulah.

Saya selalu berpikir ia adalah seorang pengembara, dan tak ada lagi perbatasan yang masih tersisa untuk diseberanginya. Samudera terdengar mengabur di belakangnya. Dan ia sudah habis-habisan dengan diri sendiri dan memenangkannya.

Memang pribadi seperti dia mempunyai gaya yang khas: romantik. Penampilannya selalu menarik. Umbu: demikian orang memanggilnya. Penuh gairah hidup bebas. Itulah batas, batas yang membedakannya.

Ia tak pernah bercerita pada kita tentang rang tuang karang. Tapi kita tahu dari mana ia datang.

Sumba –nirwana seorang gembala kuda, istana para rato, tempat doa-doa rungkut, suara kuda merendah, lembut, basah oleh kabut.

Tentu saya bukan satu-satunya orang yang terpukau “keliaran” itu. Kuda yang turun di kaki bukit-bukit yang jauh. Hijau palem dan cokelat batu. Matahari yang menembus pori-pori, padang-padang yang dibasuh hujan sehari. Getar-getar suara tambur. Ombak yang datar, dan membentur-bentur. Dan burung-burung yang menukik ke dalam air, tercebur.

***

Saya tak punya kata-kata untuk menyangkal semua itu.

Juga bunyi bau padang Sumba. Tanah rumput ringik kuda. Jangkrik yang terdiam dalam terik. Keluhan kadal pendek-pendek, halus, dan menisik. Teriak gembala. Laki-laki Sumba. Ia akan selalu di sana. Duduk di atas punggung kuda. Di jaga seribu Marapu, ditemani satu atau dua anjing bermata sayu.

Ia akan berkuda, melintas sabana. Dan Umbu, yang mengalir darah Sumba dalam tubuhnya. Terseret dari sabana ke sabana. Saya kutipkan sajaknya yang bagus, dan akan diingat terus, Sabana.

memburu fajar
yang mengusir bayang-bayangku
menghadang senja
yang memanggil petualang

sabana sunyi
di sini hidupku
sebuah gitar tua
seorang lelaki berkuda

sabana tandus
mainkan laguku
harum nafas bunda
seorang gembala berpacu

lapar dan dahaga
kemarau yang kurindu
dibakar matahari
hela jiwaku risau
karena kumau lebih cinta
hunjam aku ke bibir cakrawala

Umbu, ya Umbu Landu, singkatnya, saya mengenalnya sebagai pohon rindang yang teduh. Seorang gembala berpacu. Lelaki yang berani membakar langit dan membikin rumput jadi hijau. Adalah angin yang menggelombangkan bukit-bukit biru.

Umbu dan Sumba tak bertepi. Abadi.

Kita tahu: di Sumba, di Tana Humba, pada batu lengas, pada langit kapas, di sepanjang pantai timur, antara semak dan batu kapur. Gembala kuda bukan buckaroo yang memberi isyarat pada kuda dengan taji-taji di sepatu. Tak ada topi taco atau sehelai bandana buat menghalau panas dan debu. Juga aksesori perak berkilau. Juga pelana lengkung dan celana pipa panjang.

***

Apa yang dipakai, seutas tali, langit warna ganih, itulah harta yang dimiliki orang Sumba dan Umbu Landu Paranggi.

Sumba, pulau yang memiliki sedikit tajuk, yang dikelilingi tanjung dan teluk, selama satu-dua hari antara Februari dan Maret menjadi tempat paling tergesa. Orang dengan ikat merah, para rato perkasa, datang memacu kuda, sebagian lagi turun dari mobil-mobil yang disewa.

Di sana, di bawah matahari Sumba, sepanjang palung sungai Wanokaka, di dataran Lamboya, lepas dari teluk dan cahayanya yang gemetar, yang berkobar. Keberanian tegak kembali. Kita akan menarik nafas waktu seorang tersungkur, darah mengucur, lembing menancap di tubuh dan tanah, dari nganga luka.

Tapi tak ada darah yang sia-sia. Sebab darah yang menetes memberkati. Mungkin ini yang dimaksud Georges Dumezil: le festin d’immortalite. Atau “Karnaval” kata Mikhail Bakhtin.

Yang menakjubkan: jika Giosue Carducci, ketika menyebut Italia dalam sajak-sajaknya, terus menyeru kemegahan singa dan gladiator. Maka kuda dan gembala, tiap jengkal tanah keramat, Sumba, yang tumpat-pedat dalam sajak-sajak Umbu segalanya, ialah gemetar jemari dan bisik rindunya. Seperti bunyi sajaknya ini, Kenangan-Kananggar

Ringkik kuda

menggugah rindu

gairah cinta petani

tertanam di tanah ini

 

Ringkik kuda

di bukit-bukit berbatu

angin kemarau

mengusap sabana

 

Warga gembala

di padang terbuka

di lembah-lembah sunyi

berjaga petani

Dan rinduku pada Umbu, mungkin hanya angin, daun, dan debu. Ke laut, laut, ‘kuhanyut, hanyut. Jam-jam pasir di waktu air, di pukul air waktu pasir. Umbu…

Dalam detak detik, dalam genggaman usia

Mengombak suaramu jauh bergema

(Umbu Landu Paranggi, Solitude).

Salam hangat,

A.R.