Sejak tahun 2021, tradisi malamang yang dipraktikkan oleh masyarakat Minangkabau, khususnya wilayah Padang Pariaman, Sumatra Barat telah diakui secara resmi sebagai warisan budaya tak benda Indonesia (WBTbI) dalam kategori adat istiadat masyarakat, ritus, dan perayaan-perayaan. Secara historis, tradisi malamang diyakini pertama kali diperkenalkan oleh Syekh Burhanuddin, seorang ulama sufi yang membawa Tarekat Syattariyah ke Sumatra Barat pada abad ke-17.
Secara teknis, malamang adalah proses memasak beras ketan menggunakan media bambu (lamang) yang dibakar di atas bara api. Namun, nilai dan makna dari tradisi ini jauh melampaui aspek kuliner semata. Malamang merupakan representasi konkrit dari harmoni antara budaya lokal Minangkabau, ajaran Islam sufistik, dan semangat kebersamaan komunitas. Ia adalah sebuah ritus sosial-keagamaan yang menggabungkan aspek spiritualitas, kolektivitas, dan identitas lokal dalam satu ruang ekspresi budaya yang hidup.
Hingga kini, malamang masih dilestarikan, terutama dalam komunitas tarekat Syattariyah Pariaman. Tradisi ini acap kali hadir dalam momen-momen religius seperti maulid nabi, peringatan haul Syekh Burhanuddin, upacara kematian, dan pada bulan-bulan khusus dalam kalender hijriah lokal seperti Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, dan Sya’ban. Bahkan bulan-bulan tersebut mendapat sebutan baru kalangan masyarakat, yaitu sebagai “bulan lamang”.
Penting untuk dicatat bahwa dalam masyarakat Minangkabau, adat dan agama tidak dipandang sebagai dua entitas yang bertentangan, melainkan saling berkelindan dalam semangat adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Melalui kerangka ini, persiapan malamang bukan semata tradisi adat, tetapi juga bagian dari ekspresi religiusitas yang khas.
Ritus Komunal
Dalam karyanya The Ritual Process (1969), Victor Turner menegaskan bahwa ritual adalah mekanisme sosial dan kultural yang berfungsi sebagai sarana transformasi, bukan hanya ekspresi budaya yang bersifat repetitif. Menurutnya, ritual terdiri dari tiga tahap utama: separation (pemisahan), liminality (ambang transisi), dan reaggregation (penggabungan kembali). Selain itu, konsep communitas, yakni perasaan persaudaraan mendalam yang muncul ketika struktur sosial formal dilepaskan dalam suatu ruang ritual, juga menjadi sentral dalam analisis Turner.
Tahap pertama dari proses ritual menurut Victor Turner adalah separation, yaitu pemisahan ritus dari dunia sehari-hari atau profan sebagai syarat untuk memasuki wilayah sakral. Dalam konteks tradisi malamang, tahap ini diwujudkan melalui serangkaian kegiatan persiapan yang tak hanya bersifat teknis, tetapi juga mengandung makna simbolik dan sosial. Aktivitas seperti memotong dan membersihkan batang bambu, mencuci beras ketan, memarut kelapa, serta mengumpulkan dan menyusun kayu bakar dilakukan secara kolektif oleh seluruh anggota komunitas, baik laki-laki, perempuan, orang tua, pemuda, bahkan anak-anak, dalam sebuah mekanisme gotong royong yang mencerminkan nilai egalitarian dalam masyarakat Minangkabau.
Tempat berlangsungnya kegiatan persiapan ini juga sarat makna. Surau, rumah gadang, atau halaman rumah yang dipilih secara kolektif menjadi titik awal transformasi ruang sosial. Surau tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga menjadi pusat pendidikan, spiritualitas, dan budaya dalam masyarakat Minangkabau. Ketika persiapan malamang dilakukan di surau, ini menandakan bahwa kegiatan tersebut telah masuk dalam wilayah yang bukan semata-mata domestik, tetapi sudah memasuki ruang transenden yang diatur oleh norma dan nilai agama. Dalam istilah Emile Durkheim (1995), terjadi sacralization of space, yakni perubahan status ruang menjadi sakral karena fungsinya dalam aktivitas kolektif yang bermuatan spiritual.
Rangkaian kegiatan ini juga memiliki dimensi ritualisasi, sebagaimana dijelaskan oleh Catherine Bell (1997), yaitu proses di mana tindakan-tindakan biasa disusun dan ditata secara khusus untuk menghasilkan pengalaman simbolik yang berbeda dari aktivitas harian. Menurut Bell, ritualisasi bukan hanya tentang apa yang dilakukan, tetapi juga bagaimana dan di mana sesuatu dilakukan. Dalam hal ini, kegiatan seperti mencuci beras atau memotong bambu bukan hanya kegiatan praktis, melainkan tindakan yang sarat intensi simbolik, yakni mempersiapkan diri secara spiritual dan sosial untuk memasuki dunia sakral yang lebih tinggi.
Lebih lanjut, proses ini juga dapat dipahami sebagai bentuk penyucian kolektif (collective purification). Melalui keterlibatan aktif semua pihak, terjadi semacam disolusi sementara terhadap struktur sosial formal. Mereka yang dalam keseharian mungkin terpisah oleh status ekonomi, usia, atau pendidikan, kini menyatu dalam kegiatan yang sama dengan tujuan yang sama: mempersiapkan ritus keagamaan dan budaya. Hal ini sejalan dengan gagasan Turner bahwa tahap separation mengawali momen peralihan menuju status atau kondisi baru, baik secara individu maupun kolektif. Dalam konteks ini, komunitas tidak hanya bersiap memasak lamang, tetapi juga sedang membentuk ulang dirinya melalui interaksi sosial yang berakar pada nilai kebersamaan dan spiritualitas.
Dari sisi spiritualitas Islam lokal, terutama yang dipengaruhi oleh Tarekat Syattariyah, kegiatan ini juga mencerminkan kesiapan batin untuk menyambut momen-momen sakral seperti peringatan Maulid Nabi atau haul ulama. Dalam ajaran tasawuf, kesiapan batin (taharah qalb) seringkali dimulai dari kesiapan lahir, yakni membersihkan tubuh, pakaian, dan lingkungan. Oleh karena itu, proses mencuci beras dan membersihkan bambu juga dapat dibaca sebagai bentuk simbolik dari pembersihan diri, baik secara fisik maupun spiritual, sebelum memasuki fase liminality dalam ritual.
Tahap kedua, liminality, adalah momen inti dari pengalaman ritual. Pada tahap ini, aktivitas Tahap liminality merupakan inti dari seluruh proses ritual menurut Victor Turner. Ia menandai kondisi ambang, di mana individu atau kelompok berada di luar struktur sosial formal, dalam keadaan “tidak di sini dan tidak di sana”, yakni di antara keadaan lama yang ditinggalkan (profane) dan keadaan baru yang belum sepenuhnya dicapai (sacred). Dalam konteks malamang, liminality terjadi ketika proses memasak lamang sedang berlangsung. Inilah momen ketika dimensi simbolik, sosial, dan spiritual berpadu secara konkrit dalam tindakan kolektif yang intens.
Aktivitas memasak lamang bukan sekadar proses teknis memasukkan beras ketan bercampur santan ke dalam bambu dan membakarnya di atas bara. Ia adalah titik kulminasi dari transformasi sosial. Pada tahap ini, seluruh elemen masyarakat terlibat aktif dalam peran-peran yang tidak terikat oleh hirarki atau status sosial formal. Anak-anak membantu mengangkut kayu dan air, para pemuda menjaga api dan mengatur posisi bambu, sementara para ibu dan nenek menyiapkan bahan serta memberikan arahan, dan para lelaki dewasa memastikan nyala api stabil dan aman. Tidak ada pembagian kerja yang ketat berdasarkan kelas, usia, maupun gender. Semua orang berpartisipasi dalam suatu ruang kolaboratif yang cair, setara, dan terbuka.
Inilah yang oleh Turner disebut sebagai communitas: suatu bentuk kohesi sosial yang bersifat spontan, egaliter, dan tidak terstruktur secara hierarkis. Communitas muncul bukan karena norma formal atau sistem sosial yang mapan, melainkan dari pengalaman bersama yang mendalam dan transformatif.
Dalam suasana ini, masyarakat berada bersama dalam arti yang paling esensial yang tidak sekadar berdampingan secara fisik, tetapi juga menyatu dalam tujuan, kerja, dan nilai. Kesetaraan ini bukanlah kesetaraan simbolik semata, melainkan diwujudkan secara praktis dalam tindakan-tindakan kolektif yang penuh makna.
Ruang liminal dalam malamang juga merupakan arena di mana nilai-nilai spiritual dan budaya diwariskan secara hidup. Tradisi ini bukan hanya soal menghasilkan makanan khas, tetapi juga sarana pembelajaran intergenerasional. Anak-anak dan generasi muda tidak hanya menyaksikan, tetapi turut mengalami secara langsung bagaimana nilai gotong royong, kesabaran, ketelitian, dan kesucian niat diterapkan. Mereka belajar dari orang tua dan tokoh masyarakat bukan melalui kuliah atau ceramah, tetapi dari kebersamaan dalam kerja yang menyatu dengan makna sakral. Dengan demikian, tradisi ini berfungsi sebagai institusi pendidikan nonformal yang sangat kuat dalam mentransmisikan etika, spiritualitas, dan identitas budaya.
Momen liminal juga memungkinkan terjadinya refleksi kolektif. Saat menunggu lamang matang, seringkali terjadi percakapan santai di antara para peserta. Namun, percakapan ini seringkali membawa nilai-nilai moral, kisah-kisah leluhur, dan pengalaman spiritual. Dalam kerangka sufisme lokal, khususnya tradisi Tarekat Syattariyah yang mewarnai praktik malamang, di mana kegiatan ini tidak lepas dari penghayatan terhadap waktu sebagai momen spiritual (waqt), di mana setiap detik mengandung peluang untuk dzikrullah dan refleksi batin. Bahkan ada komunitas yang mengiringi kegiatan ini dengan bacaan shalawat, zikir bersama, atau pengajian singkat sambil menjaga api tetap menyala. Ini menunjukkan bahwa malamang bukan semata kerja fisik, melainkan bentuk amal ibadah kolektif yang menyatukan dunia jasmani dan rohani.
Dalam pandangan antropologi simbolik, momen liminality dalam tradisi malamang juga memperlihatkan multivokalitas simbolik. Lambang seperti api, bambu, dan ketan tidak hanya bermakna material, tetapi sarat dengan tafsir spiritual dan kultural. Api bisa dimaknai sebagai semangat dan purifikasi, bambu sebagai simbol keteguhan dan kesabaran, dan ketan sebagai lambang keterikatan serta kebersamaan (karena sifatnya yang lengket dan menyatu). Ketiganya bersatu dalam proses memasak lamang sebagai representasi dari perjuangan spiritual dan sosial masyarakat untuk menjaga kesinambungan tradisi dan iman mereka.
Tak kalah penting, liminality dalam malamang membuka ruang rekonstruksi identitas kolektif. Identitas yang dibangun di sini bukan identitas eksklusif berbasis primordialisme, melainkan identitas inklusif yang menekankan peran aktif individu dalam proses sosial-keagamaan. Seseorang dianggap bagian dari komunitas bukan karena garis keturunan atau status sosial, tetapi karena keterlibatan dan kontribusinya dalam praktik budaya dan spiritual. Dalam dunia yang makin terdiferensiasi dan terfragmentasi oleh individualisme modern, malamang menawarkan alternatif model identitas yang partisipatif, kontekstual, dan berakar pada pengalaman bersama.
Tahap ketiga dalam kerangka ritual menurut Victor Turner adalah reaggregation, atau reintegrasi, yaitu fase di mana individu atau kelompok yang telah melalui pengalaman transformatif dalam ruang liminal kembali masuk ke dalam struktur sosial, tetapi dengan identitas dan nilai-nilai yang diperbarui. Dalam konteks tradisi malamang, fase ini dimulai ketika lamang yang telah matang diangkat dari bara api, didinginkan sebentar, dan baru kemudian dibagikan kepada masyarakat, baik kepada keluarga, tetangga, jamaah tarekat Syattariyah, hingga tamu-tamu yang hadir.
Makna Simbolik
Pembagian lamang ini memiliki makna simbolik yang dalam. Secara kasatmata, ia mungkin tampak hanya sebagai bentuk kedermawanan atau sedekah (sadaqah). Namun dalam bingkai ritual dan kultural, tindakan ini merepresentasikan proses ritual re-entry sebagaimana dijelaskan oleh Ronald Grimes (2014), yakni kembalinya individu ke dalam tatanan sosial dengan membawa pengalaman spiritual, emosional, dan sosial yang baru. Proses ini bukan hanya menandai berakhirnya ritus, tetapi lebih penting lagi, menegaskan peran individu sebagai bagian integral dari komunitas yang kini telah diperkuat melalui pengalaman kebersamaan yang intens.
Lamang yang dibagikan bukan sekadar makanan, melainkan simbol dari nilai-nilai yang telah diperkuat selama proses ritual: kebersamaan, ketulusan, pengabdian, serta kesalehan kolektif. Dalam setiap potong lamang terkandung makna hasil kerja sama, pengorbanan waktu dan tenaga, serta doa-doa yang terpanjat selama proses pembuatannya. Dengan menerima lamang, setiap anggota komunitas menjadi bagian dari lingkaran makna tersebut. Inilah yang memperkuat kohesi sosial dan memperbarui solidaritas kultural.
Lebih jauh lagi, pembagian lamang juga mengandung makna redistribusi sosial yang inklusif. Dalam masyarakat Minangkabau, di mana prinsip gotong royong dan musyawarah sangat dijunjung tinggi, malamang berfungsi sebagai medium aktualisasi nilai-nilai adat tersebut. Tidak ada yang dipinggirkan dalam proses ini. Bahkan masyarakat yang tidak terlibat langsung pun tetap mendapatkan bagian, sebagai wujud dari prinsip inklusivitas budaya dan spiritual. Ini mencerminkan semangat “berbagi berkah” yang tidak terbatas pada garis keterlibatan praktis, tetapi berbasis pada nilai kesamaan derajat sebagai sesama insan dalam satu komunitas.
Dalam konteks tarekat Syattariyah, yang menjadi akar spiritual dari praktik malamang, reaggregation juga menandai integrasi kembali individu dalam jalan spiritual (thariqah) dengan membawa semangat tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) yang lebih tinggi.
Lamang yang dibagikan bukan hanya makanan jasmani, tetapi juga simbol keberhasilan dalam menjaga adab, kesabaran, dan keikhlasan selama proses bersama. Dengan demikian, reaggregation juga menjadi bentuk afirmasi bahwa nilai-nilai sufistik telah diinternalisasi dalam bentuk praktik sosial.
Tahap reaggregation juga berfungsi sebagai momen reproduksi budaya. Melalui tindakan pembagian lamang, nilai-nilai budaya dan spiritual diwariskan dari generasi ke generasi. Anak-anak yang melihat proses ini secara langsung belajar bahwa dalam komunitas mereka, kehidupan bukan tentang mengambil, tetapi tentang memberi; bukan tentang prestise, tetapi tentang partisipasi; bukan tentang individualisme, tetapi tentang keterikatan sosial dan spiritual. Dengan kata lain, malamang dalam tahap ini memainkan peran pedagogis yang kuat dalam membentuk karakter kolektif dan etika sosial komunitas.
Di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang seringkali mendorong disintegrasi nilai-nilai tradisional, malamang tampil sebagai bentuk resistensi budaya yang cerdas. Ia tidak menolak modernitas secara membabi buta, tetapi menawarkan model alternatif bagi kehidupan sosial, yakni model yang berbasis pada spiritualitas, kebersamaan, dan kesadaran historis. Reaggregation dalam hal ini bukan hanya reintegrasi sosial biasa, melainkan juga pembaruan makna dalam struktur sosial yang sedang terus berubah. Tradisi ini menjadi ruang di mana identitas kolektif Minangkabau-Islami dipertegas ulang dengan cara yang hidup dan dinamis.
Tak kalah penting, pembagian lamang juga menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini. Ia menghubungkan nilai-nilai yang diwariskan oleh ulama-ulama terdahulu seperti Syekh Burhanuddin dengan kebutuhan sosial masa kini. Oleh karena itu, tradisi ini tidak hanya mempertahankan warisan, tetapi juga memodernisasinya secara kontekstual. Dalam istilah Turner, reaggregation bukan hanya mengembalikan individu ke struktur lama, tetapi memasukkannya ke dalam struktur baru yang lebih kaya secara pengalaman dan makna.
Di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang seringkali membawa homogenisasi budaya, malamang berfungsi sebagai benteng ketahanan budaya dan spiritual. Ia menghidupkan kembali kesadaran akan pentingnya akar budaya dan spiritualitas lokal sebagai fondasi identitas kolektif. Selain itu, malamang juga menunjukkan bahwa Islam di Nusantara, khususnya di Minangkabau, tumbuh dalam semangat inklusivitas dan kearifan lokal yang tinggi.Praktik seperti ini perlu didokumentasikan, diteliti, dan difasilitasi agar tetap lestari. Pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan komunitas adat memiliki tanggung jawab besar untuk merawat tradisi ini bukan sebagai warisan mati, tetapi sebagai “warisan hidup” yang terus bertransformasi dan relevan dalam konteks zaman. Penelitian lintas disiplin yang menggabungkan antropologi, studi agama, sosiologi budaya, dan pendidikan Islam juga sangat penting untuk menggali lebih dalam potensi transformatif dari tradisi seperti malamang.
Dengan demikian, dalam hemat penulis tradisi malamang bukan sekadar ritual memasak atau warisan kuliner tradisional. Ia adalah bentuk ritus transformatif yang menjembatani masa lalu dan masa kini, individu dan komunitas, dunia profan dan sakral. Dalam kerangka Victor Turner, malamang mencerminkan esensi dari ritual yang tidak hanya memperingati, tetapi juga menghidupkan nilai-nilai spiritual, sosial, dan budaya secara kolektif. Tradisi ini adalah bukti nyata bahwa di balik aktivitas yang tampak sederhana, tersimpan kekuatan besar dalam membentuk kohesi sosial, menginternalisasi nilai-nilai agama, dan melestarikan identitas budaya secara berkelanjutan.