Menu

Tradisi Malamang: Antara Ritus Komunal dan Makna Sosial

Sejak tahun 2021, tradisi malamang yang dipraktikkan oleh masyarakat Minangkabau, khususnya wilayah Padang Pariaman, Sumatra Barat telah diakui secara resmi sebagai warisan budaya tak benda Indonesia (WBTbI) dalam kategori adat istiadat masyarakat, ritus, dan perayaan-perayaan. Secara historis, tradisi malamang diyakini pertama kali diperkenalkan oleh Syekh Burhanuddin, seorang ulama sufi yang membawa Tarekat Syattariyah ke Sumatra Barat pada abad ke-17. 

Secara teknis, malamang adalah proses memasak beras ketan menggunakan media bambu (lamang) yang dibakar di atas bara api. Namun, nilai dan makna dari tradisi ini jauh melampaui aspek kuliner semata. Malamang merupakan representasi konkrit dari harmoni antara budaya lokal Minangkabau, ajaran Islam sufistik, dan semangat kebersamaan komunitas. Ia adalah sebuah ritus sosial-keagamaan yang menggabungkan aspek spiritualitas, kolektivitas, dan identitas lokal dalam satu ruang ekspresi budaya yang hidup.

Hingga kini, malamang masih dilestarikan, terutama dalam komunitas tarekat Syattariyah Pariaman. Tradisi ini acap kali hadir dalam momen-momen religius seperti maulid nabi, peringatan haul Syekh Burhanuddin, upacara kematian, dan pada bulan-bulan khusus dalam kalender hijriah lokal seperti Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, dan Sya’ban. Bahkan bulan-bulan tersebut mendapat sebutan baru kalangan masyarakat, yaitu sebagai “bulan lamang”.

Penting untuk dicatat bahwa dalam masyarakat Minangkabau, adat dan agama tidak dipandang sebagai dua entitas yang bertentangan, melainkan saling berkelindan dalam semangat adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Melalui kerangka ini, persiapan malamang bukan semata tradisi adat, tetapi juga bagian dari ekspresi religiusitas yang khas.

Ritus Komunal

Dalam karyanya The Ritual Process (1969), Victor Turner menegaskan bahwa ritual adalah mekanisme sosial dan kultural yang berfungsi sebagai sarana transformasi, bukan hanya ekspresi budaya yang bersifat repetitif. Menurutnya, ritual terdiri dari tiga tahap utama: separation (pemisahan), liminality (ambang transisi), dan reaggregation (penggabungan kembali). Selain itu, konsep communitas, yakni perasaan persaudaraan mendalam yang muncul ketika struktur sosial formal dilepaskan dalam suatu ruang ritual, juga menjadi sentral dalam analisis Turner.

Tahap pertama dari proses ritual menurut Victor Turner adalah separation, yaitu pemisahan ritus dari dunia sehari-hari atau profan sebagai syarat untuk memasuki wilayah sakral. Dalam konteks tradisi malamang, tahap ini diwujudkan melalui serangkaian kegiatan persiapan yang tak hanya bersifat teknis, tetapi juga mengandung makna simbolik dan sosial. Aktivitas seperti memotong dan membersihkan batang bambu, mencuci beras ketan, memarut kelapa, serta mengumpulkan dan menyusun kayu bakar dilakukan secara kolektif oleh seluruh anggota komunitas, baik laki-laki, perempuan, orang tua, pemuda, bahkan anak-anak, dalam sebuah mekanisme gotong royong yang mencerminkan nilai egalitarian dalam masyarakat Minangkabau.

Tempat berlangsungnya kegiatan persiapan ini juga sarat makna. Surau, rumah gadang, atau halaman rumah yang dipilih secara kolektif menjadi titik awal transformasi ruang sosial. Surau tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga menjadi pusat pendidikan, spiritualitas, dan budaya dalam masyarakat Minangkabau. Ketika persiapan malamang dilakukan di surau, ini menandakan bahwa kegiatan tersebut telah masuk dalam wilayah yang bukan semata-mata domestik, tetapi sudah memasuki ruang transenden yang diatur oleh norma dan nilai agama. Dalam istilah Emile Durkheim (1995), terjadi sacralization of space, yakni perubahan status ruang menjadi sakral karena fungsinya dalam aktivitas kolektif yang bermuatan spiritual.

Rangkaian kegiatan ini juga memiliki dimensi ritualisasi, sebagaimana dijelaskan oleh Catherine Bell (1997), yaitu proses di mana tindakan-tindakan biasa disusun dan ditata secara khusus untuk menghasilkan pengalaman simbolik yang berbeda dari aktivitas harian. Menurut Bell, ritualisasi bukan hanya tentang apa yang dilakukan, tetapi juga bagaimana dan di mana sesuatu dilakukan. Dalam hal ini, kegiatan seperti mencuci beras atau memotong bambu bukan hanya kegiatan praktis, melainkan tindakan yang sarat intensi simbolik, yakni mempersiapkan diri secara spiritual dan sosial untuk memasuki dunia sakral yang lebih tinggi.

Lebih lanjut, proses ini juga dapat dipahami sebagai bentuk penyucian kolektif (collective purification). Melalui keterlibatan aktif semua pihak, terjadi semacam disolusi sementara terhadap struktur sosial formal. Mereka yang dalam keseharian mungkin terpisah oleh status ekonomi, usia, atau pendidikan, kini menyatu dalam kegiatan yang sama dengan tujuan yang sama: mempersiapkan ritus keagamaan dan budaya. Hal ini sejalan dengan gagasan Turner bahwa tahap separation mengawali momen peralihan menuju status atau kondisi baru, baik secara individu maupun kolektif. Dalam konteks ini, komunitas tidak hanya bersiap memasak lamang, tetapi juga sedang membentuk ulang dirinya melalui interaksi sosial yang berakar pada nilai kebersamaan dan spiritualitas.

Dari sisi spiritualitas Islam lokal, terutama yang dipengaruhi oleh Tarekat Syattariyah, kegiatan ini juga mencerminkan kesiapan batin untuk menyambut momen-momen sakral seperti peringatan Maulid Nabi atau haul ulama. Dalam ajaran tasawuf, kesiapan batin (taharah qalb) seringkali dimulai dari kesiapan lahir, yakni membersihkan tubuh, pakaian, dan lingkungan. Oleh karena itu, proses mencuci beras dan membersihkan bambu juga dapat dibaca sebagai bentuk simbolik dari pembersihan diri, baik secara fisik maupun spiritual, sebelum memasuki fase liminality dalam ritual.

Tahap kedua, liminality, adalah momen inti dari pengalaman ritual. Pada tahap ini, aktivitas Tahap liminality merupakan inti dari seluruh proses ritual menurut Victor Turner. Ia menandai kondisi ambang, di mana individu atau kelompok berada di luar struktur sosial formal, dalam keadaan “tidak di sini dan tidak di sana”, yakni di antara keadaan lama yang ditinggalkan (profane) dan keadaan baru yang belum sepenuhnya dicapai (sacred). Dalam konteks malamang, liminality terjadi ketika proses memasak lamang sedang berlangsung. Inilah momen ketika dimensi simbolik, sosial, dan spiritual berpadu secara konkrit dalam tindakan kolektif yang intens.

Aktivitas memasak lamang bukan sekadar proses teknis memasukkan beras ketan bercampur santan ke dalam bambu dan membakarnya di atas bara. Ia adalah titik kulminasi dari transformasi sosial. Pada tahap ini, seluruh elemen masyarakat terlibat aktif dalam peran-peran yang tidak terikat oleh hirarki atau status sosial formal. Anak-anak membantu mengangkut kayu dan air, para pemuda menjaga api dan mengatur posisi bambu, sementara para ibu dan nenek menyiapkan bahan serta memberikan arahan, dan para lelaki dewasa memastikan nyala api stabil dan aman. Tidak ada pembagian kerja yang ketat berdasarkan kelas, usia, maupun gender. Semua orang berpartisipasi dalam suatu ruang kolaboratif yang cair, setara, dan terbuka.

Inilah yang oleh Turner disebut sebagai communitas: suatu bentuk kohesi sosial yang bersifat spontan, egaliter, dan tidak terstruktur secara hierarkis. Communitas muncul bukan karena norma formal atau sistem sosial yang mapan, melainkan dari pengalaman bersama yang mendalam dan transformatif.

Dalam suasana ini, masyarakat berada bersama dalam arti yang paling esensial yang tidak sekadar berdampingan secara fisik, tetapi juga menyatu dalam tujuan, kerja, dan nilai. Kesetaraan ini bukanlah kesetaraan simbolik semata, melainkan diwujudkan secara praktis dalam tindakan-tindakan kolektif yang penuh makna.

Ruang liminal dalam malamang juga merupakan arena di mana nilai-nilai spiritual dan budaya diwariskan secara hidup. Tradisi ini bukan hanya soal menghasilkan makanan khas, tetapi juga sarana pembelajaran intergenerasional. Anak-anak dan generasi muda tidak hanya menyaksikan, tetapi turut mengalami secara langsung bagaimana nilai gotong royong, kesabaran, ketelitian, dan kesucian niat diterapkan. Mereka belajar dari orang tua dan tokoh masyarakat bukan melalui kuliah atau ceramah, tetapi dari kebersamaan dalam kerja yang menyatu dengan makna sakral. Dengan demikian, tradisi ini berfungsi sebagai institusi pendidikan nonformal yang sangat kuat dalam mentransmisikan etika, spiritualitas, dan identitas budaya.

Momen liminal juga memungkinkan terjadinya refleksi kolektif. Saat menunggu lamang matang, seringkali terjadi percakapan santai di antara para peserta. Namun, percakapan ini seringkali membawa nilai-nilai moral, kisah-kisah leluhur, dan pengalaman spiritual. Dalam kerangka sufisme lokal, khususnya tradisi Tarekat Syattariyah yang mewarnai praktik malamang, di mana kegiatan ini tidak lepas dari penghayatan terhadap waktu sebagai momen spiritual (waqt), di mana setiap detik mengandung peluang untuk dzikrullah dan refleksi batin. Bahkan ada komunitas yang mengiringi kegiatan ini dengan bacaan shalawat, zikir bersama, atau pengajian singkat sambil menjaga api tetap menyala. Ini menunjukkan bahwa malamang bukan semata kerja fisik, melainkan bentuk amal ibadah kolektif yang menyatukan dunia jasmani dan rohani.

Dalam pandangan antropologi simbolik, momen liminality dalam tradisi malamang juga memperlihatkan multivokalitas simbolik. Lambang seperti api, bambu, dan ketan tidak hanya bermakna material, tetapi sarat dengan tafsir spiritual dan kultural. Api bisa dimaknai sebagai semangat dan purifikasi, bambu sebagai simbol keteguhan dan kesabaran, dan ketan sebagai lambang keterikatan serta kebersamaan (karena sifatnya yang lengket dan menyatu). Ketiganya bersatu dalam proses memasak lamang sebagai representasi dari perjuangan spiritual dan sosial masyarakat untuk menjaga kesinambungan tradisi dan iman mereka.

Tak kalah penting, liminality dalam malamang membuka ruang rekonstruksi identitas kolektif. Identitas yang dibangun di sini bukan identitas eksklusif berbasis primordialisme, melainkan identitas inklusif yang menekankan peran aktif individu dalam proses sosial-keagamaan. Seseorang dianggap bagian dari komunitas bukan karena garis keturunan atau status sosial, tetapi karena keterlibatan dan kontribusinya dalam praktik budaya dan spiritual. Dalam dunia yang makin terdiferensiasi dan terfragmentasi oleh individualisme modern, malamang menawarkan alternatif model identitas yang partisipatif, kontekstual, dan berakar pada pengalaman bersama.

Tahap ketiga dalam kerangka ritual menurut Victor Turner adalah reaggregation, atau reintegrasi, yaitu fase di mana individu atau kelompok yang telah melalui pengalaman transformatif dalam ruang liminal kembali masuk ke dalam struktur sosial, tetapi dengan identitas dan nilai-nilai yang diperbarui. Dalam konteks tradisi malamang, fase ini dimulai ketika lamang yang telah matang diangkat dari bara api, didinginkan sebentar, dan baru kemudian dibagikan kepada masyarakat, baik kepada keluarga, tetangga, jamaah tarekat Syattariyah, hingga tamu-tamu yang hadir.

Makna Simbolik

Pembagian lamang ini memiliki makna simbolik yang dalam. Secara kasatmata, ia mungkin tampak hanya sebagai bentuk kedermawanan atau sedekah (sadaqah). Namun dalam bingkai ritual dan kultural, tindakan ini merepresentasikan proses ritual re-entry sebagaimana dijelaskan oleh Ronald Grimes (2014), yakni kembalinya individu ke dalam tatanan sosial dengan membawa pengalaman spiritual, emosional, dan sosial yang baru. Proses ini bukan hanya menandai berakhirnya ritus, tetapi lebih penting lagi, menegaskan peran individu sebagai bagian integral dari komunitas yang kini telah diperkuat melalui pengalaman kebersamaan yang intens.

Lamang yang dibagikan bukan sekadar makanan, melainkan simbol dari nilai-nilai yang telah diperkuat selama proses ritual: kebersamaan, ketulusan, pengabdian, serta kesalehan kolektif. Dalam setiap potong lamang terkandung makna hasil kerja sama, pengorbanan waktu dan tenaga, serta doa-doa yang terpanjat selama proses pembuatannya. Dengan menerima lamang, setiap anggota komunitas menjadi bagian dari lingkaran makna tersebut. Inilah yang memperkuat kohesi sosial dan memperbarui solidaritas kultural.

Lebih jauh lagi, pembagian lamang juga mengandung makna redistribusi sosial yang inklusif. Dalam masyarakat Minangkabau, di mana prinsip gotong royong dan musyawarah sangat dijunjung tinggi, malamang berfungsi sebagai medium aktualisasi nilai-nilai adat tersebut. Tidak ada yang dipinggirkan dalam proses ini. Bahkan masyarakat yang tidak terlibat langsung pun tetap mendapatkan bagian, sebagai wujud dari prinsip inklusivitas budaya dan spiritual. Ini mencerminkan semangat “berbagi berkah” yang tidak terbatas pada garis keterlibatan praktis, tetapi berbasis pada nilai kesamaan derajat sebagai sesama insan dalam satu komunitas.

Dalam konteks tarekat Syattariyah, yang menjadi akar spiritual dari praktik malamang, reaggregation juga menandai integrasi kembali individu dalam jalan spiritual (thariqah) dengan membawa semangat tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) yang lebih tinggi.

Lamang yang dibagikan bukan hanya makanan jasmani, tetapi juga simbol keberhasilan dalam menjaga adab, kesabaran, dan keikhlasan selama proses bersama. Dengan demikian, reaggregation juga menjadi bentuk afirmasi bahwa nilai-nilai sufistik telah diinternalisasi dalam bentuk praktik sosial.

Tahap reaggregation juga berfungsi sebagai momen reproduksi budaya. Melalui tindakan pembagian lamang, nilai-nilai budaya dan spiritual diwariskan dari generasi ke generasi. Anak-anak yang melihat proses ini secara langsung belajar bahwa dalam komunitas mereka, kehidupan bukan tentang mengambil, tetapi tentang memberi; bukan tentang prestise, tetapi tentang partisipasi; bukan tentang individualisme, tetapi tentang keterikatan sosial dan spiritual. Dengan kata lain, malamang dalam tahap ini memainkan peran pedagogis yang kuat dalam membentuk karakter kolektif dan etika sosial komunitas.

Di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang seringkali mendorong disintegrasi nilai-nilai tradisional, malamang tampil sebagai bentuk resistensi budaya yang cerdas. Ia tidak menolak modernitas secara membabi buta, tetapi menawarkan model alternatif bagi kehidupan sosial, yakni model yang berbasis pada spiritualitas, kebersamaan, dan kesadaran historis. Reaggregation dalam hal ini bukan hanya reintegrasi sosial biasa, melainkan juga pembaruan makna dalam struktur sosial yang sedang terus berubah. Tradisi ini menjadi ruang di mana identitas kolektif Minangkabau-Islami dipertegas ulang dengan cara yang hidup dan dinamis.

Tak kalah penting, pembagian lamang juga menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini. Ia menghubungkan nilai-nilai yang diwariskan oleh ulama-ulama terdahulu seperti Syekh Burhanuddin dengan kebutuhan sosial masa kini. Oleh karena itu, tradisi ini tidak hanya mempertahankan warisan, tetapi juga memodernisasinya secara kontekstual. Dalam istilah Turner, reaggregation bukan hanya mengembalikan individu ke struktur lama, tetapi memasukkannya ke dalam struktur baru yang lebih kaya secara pengalaman dan makna.

Di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang seringkali membawa homogenisasi budaya, malamang berfungsi sebagai benteng ketahanan budaya dan spiritual. Ia menghidupkan kembali kesadaran akan pentingnya akar budaya dan spiritualitas lokal sebagai fondasi identitas kolektif. Selain itu, malamang juga menunjukkan bahwa Islam di Nusantara, khususnya di Minangkabau, tumbuh dalam semangat inklusivitas dan kearifan lokal yang tinggi.Praktik seperti ini perlu didokumentasikan, diteliti, dan difasilitasi agar tetap lestari. Pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan komunitas adat memiliki tanggung jawab besar untuk merawat tradisi ini bukan sebagai warisan mati, tetapi sebagai “warisan hidup” yang terus bertransformasi dan relevan dalam konteks zaman. Penelitian lintas disiplin yang menggabungkan antropologi, studi agama, sosiologi budaya, dan pendidikan Islam juga sangat penting untuk menggali lebih dalam potensi transformatif dari tradisi seperti malamang.

Dengan demikian, dalam hemat penulis tradisi malamang bukan sekadar ritual memasak atau warisan kuliner tradisional. Ia adalah bentuk ritus transformatif yang menjembatani masa lalu dan masa kini, individu dan komunitas, dunia profan dan sakral. Dalam kerangka Victor Turner, malamang mencerminkan esensi dari ritual yang tidak hanya memperingati, tetapi juga menghidupkan nilai-nilai spiritual, sosial, dan budaya secara kolektif. Tradisi ini adalah bukti nyata bahwa di balik aktivitas yang tampak sederhana, tersimpan kekuatan besar dalam membentuk kohesi sosial, menginternalisasi nilai-nilai agama, dan melestarikan identitas budaya secara berkelanjutan.

0
464
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.