Selamat Pagi, Bumi
Selamat pagi, burung-burung
melalui cericitmu, aku terima salam dari ranting nan rimbun
sebelum batang-batang pohon ditebang untuk dibikin tisu
demi mengelap air mataku yang menetes
karenamu
Selamat pagi, air mengalir
gemericikmu adalah kabar baik
bahwa batu-batu kapur masih menggunduk di balik gunung
sebelum orang-orang membongkarnya untuk tambang
demi pembangunan, demi kemajuan,
tapi tidak demi engkau
Selamat pagi, matahari
cahayamu adalah kabar tentang ozon, hutan, dan hama
siklus bumi masih baik dan bahwa iklim masih terjaga
sehingga kami dapat begitu leluasa
membuang lebih banyak karbon ke udara
Apa kabar, tanah?
Uar aromamu di kala hujan pertama menyapa
adalah salam untukku: tentang lempeng bumi yang tidak berubah
tentang cacing-cacing yang berjuang menawarkan limbah
serta ketabahanmu menanggung amoniak dan sampah
sehingga kami bebas melepas hak milik untuk berpindah
Selamat pagi, manusia
engkau bekerja demi melangsungkan hidup
dan engkau hidup sekadar iseng menunggu maut
Tapi,
Mengapa engkau merusak laut?
hanya karena engkau punya teknologi untuk menangkap ikan?
namun siapa sesungguhnya yang memberi pakan?
Mengapa engkau meracuni bumi?
hanya karena engkau yang menanam demi alasan pangan?
Namun siapa sesungguhnya yang menumbuhkan?
23/08/2017
Renungan Dari Meja Makan
Tangan-tangan yang kekar
silang-sengkarut di atas meja
Cumi dan rajungan, rawon dan gulai
bagaikan aurat: kolesterin merangsang selera
Lalu sedih saat melihat pengidap gula
yang bersyahwat tapi tak kuasa
Garpu dan sendok beradu sempat
membalik, menusuk, menyuap
Terdengar gemerincing piring
Gelas berdenting beradu genting
Cecap mulut dan serdawa
mengiringi orkestra meja makan raksasa
Pramusaji datang dan pergi
mengantar dan bergegas
Orang-orang asyik tak peduli
kecuali menyantap yang dihadapi
Dari tanah manakah ini kentang dikerat dadu,
dari Wonosobo atau kabupaten Bandung?
Seperti apakah bentuk muasalnya dahulu,
berbentuk bulat atau runjung?
Tangan siapakah yang menyembelih?
dagingnya tebal dan lezat sekali
Adakah si jagal baca basmalah
Atau di bawah pisau-mesinkah ia mati?
Tangan-tangan berjibaku dalam prasmanan
silang-sengkarut di atas meja
ambil yang sini, jangkau yang sana
Meja makan adalah ruang munajat sufi berzikir
atau tempat para filsuf berpikir
serta sumber hikmah para dabir
Ia adalah upacara atas nikmat terberi
untuk indera pencecap yang masih berfungsi
untuk tangan yang masih bisa menyuap
untuk hidung yang masih bisa mengendus
untuk mata yang masih bisa memilih
bahwa semua ini tidak datang serta-merta
Ada yang menumbuhkan, ada yang menghidupkan
dan karena itu haruslah engkau tahu
makanan adalah nyawa ibadahmu
27/2/2019
Doa Sebelum Makan
Dengan puji dan syukur untuk-Mu
melihat rezeki melimpah tak jadi kami rakus
sebab perut hanyalah sejengkal usus
sedangkan syahwat tak pernah putus
Kecamuk tangan di atas meja
tak jadi kami pegang sendok dan garpu
sebab doa dan enzim mengalir dari sela-sela jari
tak menetes dari melamin dan baja
Dengan menyebut namamu, kami makan
sambil meingat saudara-saudara kami yang lapar
supaya tak ada remah nasi menangis di piring:
“Mengapa hanya mereka yang masuk ke perutmu,
sedangkan kami masuk keranjang sampah
busuk menanggung bau, maujud menjadi limbah?”
Berkahi rezeki kami, ya, Allah!
Bismillah
Suatu Keluarga
Dalam Dua Masa
Ayam berkokok, fajar datang
Cahaya merahnya memantik tungku,
menyalakan api, lalu melukis siluet pagi
pada wajah perempuan renta
yang keluar-masuk dapur
berabad-abad lama
Perempuan itu memanaskan kuali
menuang setangkup beras, juga nasib
serta segayung air dan stereotip
Yang mendampinginya adalah rasa lapar
berpusat di perut: tubuh yang sakit
Di luar, di atas balai-balai
seorang lelaki duduk mencangkung
menunggu masakan dihidangkan
dikerubung anak-anaknya yang kecil dan kurus
singkong dan jagung, terong dan kangkung
Lelaki tua menjelma luka
saat anak-anak itu serupa lalatnya
Perempuan renta masih di depan tungku
ketika telah bertahun-tahun ia menunggu
Mukanya meredup, tenaga menguncup
Anak lelakinya yang pergi ke sawah
seperti cucunya yang pergi ke sekolah
tak pulang jua ke rumah
Ayam berkokok, eksavator yang datang
Cahaya benderang memancar dari lampu sorot
Perempuan renta dan lelaki tua
serta anak-anaknya yang kecil dan kurus
tak ada lagi di sana
karena tanah tempat mereka lahir
telah ditukar uang:
sesembahan ciptaan manusia
yang bahkan kepada siapa pun hamba
ia sudi bertuan
2/8/2017
Kemiskinan Dan Iman
Bukanlah kemiskinan yang membuat orang takluk
mereka menyerah hanya karena raibnya iman
5/5/2018
Yang Berdiam
di Dalam Kulkas
(untuk Afrizal Malna)
Seonggok daging kambing yang hangat
tak sampai ke rumah tetangga yang kedinginan
daging hangat tetap kedinginan di dalam kulkas
“Sudah berapa lama kamu di sini, Ging?
Berat tugasku mengawetkanmu.”
“Mana aku tahu, Kas! Itu pertanyaan tak perlu.
bukankah ini semacam cryonic?
Darah yang beku adalah matisuri
aku akan bisa menjawab setelah keluar dari sini”
“Mestinya engkau segera menjadi sate atau gule di Idul Adha
Lebih terhormat martabatmu lenyap di perut orang ciptaan Tuhan,
daripada lama di sini, diselamatkan oleh suhu buatan manusia.”
“Andai aku bisa memilih takdir,
maka aku tak berharap menjadi daging,
atau bertahan di lemari pendingin,
melainkan menjadi mulut yang berdoa; menghapusmu
dari daftar penemuan manusia yang mengagumkan
sebab kehebatanmu juga menunda orang menjadi dermawan.”
“Gila kamu ini! Kau anggap aku toghut
Enteng kau omong begitu tapi enjoy kau tinggal di sini.
Dasar daging tak tahu diri!”
Tiba-tiba, pintu kulkas menyala
percakapan terhenti, sepi
hanya bunyi kompresor dan lubang angin yang menderu
Lalu, menyembul sebatang tangan putih nan bersih
merasuk ke lantai satu, ke lantai dua
ke seluruh sela-sela sayuran:
kangkung dan kacang panjang,
tomat dan cabe; sawi dan brokoli.
“Tuh, lihat! Kubis dan kemangi telah pergi, Ging!”
Kulkas dan daging kembali bercakap
Berisik, seluruh sayuran mulai berdebat
Tak ada yang mendengar tangisan kubis dan kemangi
karena telah berada di keranjang sampah
sebab hanya lele, makhluk kanibal berkumis jarang
serta sebagian kecil vitamin dan klorofil mereka
yang masuk ke perut manusia
9/12/2017