Author Archives: Irfan Afifi
Tulisan ini berangkat dan dipantik dari pertanyaan-pertanyaan Ulil Abshar Abdalla pada status facebooknya terkait masalah ini, yakni Kenapa gagasan Islam Nusantara tidak terlalu diterima di kawasan Melayu? Saya akan berangkat dari analisis-analisis yang sebenarnya sudah saya sampaikan baik secara implisit maupun eksplisit di dalam karya-karya saya yang telah beredar maupun materi ceramah-ceramah diskusi saya di berbagai tempat, untuk tak lagi terlalu hanya berfokus pada jawaban pertanyaan ini semata, melainkan meluas ke problem terkait Islam Nusantara itu sendiri sebagai sebuah diskursus.
Pertama, kenapa diskursus Islam Nusantara tak terlalu bergayung sambut di wilayah kawasan Melayu, mungkin dipantik dari hal sederhana tapi sekaligus sebenarnya merepresentasikan bangunan dan dasar teoritik awal bagaimana “Islam Nusantara”–yang senyatanya memang disorongkan oleh sebuah organisasi Islam tertentu itu–dintrodusir, maupun latar dan konteksnya baik situasi maupun landas paradigmanya yang memunculkannnya secara serentak.
Ada siratan diskursus yang tak terkatakan, bahwa para pengusung “Islam Nusantara” secara umum, meski tak semuanya (yang bisa jadi tak disadari) menyakini dan memiliki “kepercayaan diri” dalam anggapan, bahwa merekalah pewaris sah dari tradisi corak proses “islamisasi” awal yang selama ini disebarkan sejak mula oleh para wali tanah Jawa maupun para dai-sufi penyebar Islam di kawasan lain berbahasa Melayu. Mereka para pengusung ini, merasa (atau setidaknya dipersepsi oleh orang lain) bahwa merekalah yang menjaga dan melestarikan corak, warisan, bentuk tradisional dari warisan Islamisasi di Nusantara zaman lampau (setidaknya kesan yang saya rasakan sebagaimana menurut keluhan orang dan kelompok di luar, maupun orang awam secara khusus). Tentu dalam kadar dan gradasi tertentu, hal ini bisa dibenarkan. Meski dalam skala penglihatan gerak sejarah yang lebih komprehensif, hal ini akan mereduksi warisan khasanah Islam Nusantara yang, menurut studi-studi yang saya kerjakan sejak 2007, senyatanya menyebar secara merata di dalam masyarakat, apapun penggolongan klasifikasinya dalam studi antropologi terkait polarisasi masyarakat yang sering kita gugat belakangan ini. Dan titik inilah, menurut saya, kebuntuan jawaban bermula, dan di belakang hari justru akan menjadi sentimen negatif (terkait Jawa vs Luar Jawa) bahkan termasuk antar organisasi di Jawa, yang sebenarnya bermula dari tangkapan kesan “kepercayaan diri” ini.
Ada siratan diskursus yang tak terkatakan, bahwa para pengusung “Islam Nusantara” secara umum, meski tak semuanya (yang bisa jadi tak disadari) menyakini dan memiliki “kepercayaan diri” dalam anggapan, bahwa merekalah pewaris sah dari tradisi corak proses “islamisasi” awal yang selama ini disebarkan sejak mula oleh para wali tanah Jawa maupun para dai-sufi penyebar Islam di kawasan lain berbahasa Melayu.
Akhirnya, untuk memberi contoh ilustrasi ringan, ada kecenderungan proses “eksklusifikasi” warisan corak kebudayaan dan tradisi secara sepihak, yang seolah-olah itu merupakan warisan mereka sendiri yang tidak dimiliki oleh kelompok Islam lain. Misalnya, budaya memakai “kopyah” “peci”, “sarung”, untuk memberi contoh ringan, yang sebenarnya merupakan budaya Nasional secara umum, justru dipersempit menjadi “seolah-olah” miliknya kelompok sendiri (saya sering mendengar curhatan kelompok minoritas agama selain Muslim di Jawa misalnya, mengeluhkan ini). Atau misalnya “tahlilan” yang sebenarnya merupakan budaya tradisi umum dan merata yang dijalankan oleh keseluruhan masyarakat Jawa, maupun Nusantara secara keseluruhan, (yakni sebelum kedatangan modernisme Islam yang menggugatnya), dipersempit menjadi milik kelompok tertentu. Bahkan jika mengutip klasifikasi yang disorongkan oleh sosok macam Clifford Geertz, yang sebenarnya berusaha ingin saya hindari, terkait Abangan, Priyayi, Santripun, maka dua kelompok pertama ini (Abangan dan Priyayi) dari sejak dulu melakukannya, dan bahkan hingga hari ini (ceteris paribus).
Dan dari proses “penyempitan” paradigma awal inilah analisis maupun studi kita akan warisan dan khasanah keilmuan tinggalan Islamisasi tahap awal, tak berkembang ke mana-mana, bahkan direduksi semata: Islam Nusantara merupakan Islam yang semata berkembang layaknya di pesantren-pesantren kita (bahkan merujuk organisasi Islam tertentu), dan Islam di luarnya adalah produk pencampuran yang tak lagi “menggeret” kita untuk memperhatikannnya atau bahkan menengoknya secara serius. Akhirnya kita semata sibuk mencari warisan teks-teks pesantren di masa lalu (tentu ini baik semata), dan itupun terbatas pada kitab pegon dan Jawi (yang secara huruf mempunyai kesamaan dengan huruf Arab), dan akhirnya abai terhadap warisan huruf Jawa (ha-na-ca-ra-ka) dalam kasus di Jawa, sebagaimana disarankan dan digelisahkan oleh Ahmad Suaedy, yang sebenarnya justru merekam tak kurang banyaknya khasanah keislaman di masa lalu.
Saya beri contoh, G.W.J Drewes (1968) misalanya dalam studinya “Javanese Poem Dealing and Attributed with Sunan Bonang”, telah mendata 14 karya (yang diatribusikan pada) Sunan Bonang, yang kesemuanya ditulis dalam bahasa dan huruf Ca-Ra-Ka Jawa, yang manuskripnya masih tersimpan di Leiden, yang hingga hari ini, Kita, para santri ini, tak pernah mengetahuinya ataupun membacanya. Atau kumpulan aneka-ragam Kidung tinggalan Sunan Kalijaga (misalnya, yang sebenarnya telah diterbitkan secara stensilan ataupun sebenarnya telah dibukukan di dalam kitab Primbon keluaran Keraton Surakarta [10 buku Primbon, cetakan ke-10, 2008]), atau juga bahkan warisan tembang macapat yang bergunung-gunung yang menumpuk di keraton Surakarta, Radya Pustaka, Mangkunegara, Sanabudaya, Perpustakaan Nasional, maupun di Leiden, maupun di perpustakaan lain, yang sebenarnya sebagian telah dikodifikasi oleh Nancy K. Florida dalam 3 jilid (Javanese literature in Surakarta manuscripts, 1993, 2000, 2012), sungguh tak memikat kita sedikitpun untuk sekadar menengoknya.
Perlu diketahui, warisan tembang dalam bentuk macapat (genre puisi yang dimaksudkan untuk ditembangkan) yang dipakai untuk menuliskan pengetahuan orang Jawa dalam bentuk serat maupun babad, korpus terbesarnya (menurut keterangan Nancy K. Florida) diisi oleh genre Suluk (sebuah istilah tasawuf yang dipakai untuk menamai kesusateraan macapat Jawa untuk mengungkapkan keilmuan Sufi di Jawa). Oleh karenanya tak terhitung lagi, karena menempati porsi besar dalam kesasteraan Jawa, berapa karya Suluk yang terlahir sejak era Pajang, Cirebon, Banten, hingga Mataram dan terus berlanjut hingga Surakarta dan Yogyakarta (setidaknya hingga Perang Diponegara dan setelahnya), teronggok dan tak terilmui lagi tradisi kesufiannya. Kalau saya bandingkan, jika di Persia misalnya, individu-individu sufi tertentu berhasil mengarang karya sufi tertentu (seperti misalnya “Mastnawi”-nya Jalaluddin Rumi–yang ditulis dalam bahasa Persia, ataupun puisi-puisinya Hafidz misalnya), maka pada latar kebudayaan Jawa misalnya, karya sufi yang terlahir justru telah tercipta dalam sebuah genre sastra (macapat) bernama “Suluk” yang warisannnya menumpuk di pusat arsip keraton maupun di tempat lainnya, seperti yang telah saya sebut sebelumnya.
Kalau saya bandingkan, jika di Persia misalnya, individu-individu sufi tertentu berhasil mengarang karya sufi tertentu (seperti misalnya “Mastnawi”-nya Jalaluddin Rumi–yang ditulis dalam bahasa Persia, ataupun puisi-puisinya Hafidz misalnya), maka pada latar kebudayaan Jawa misalnya, karya sufi yang terlahir justru telah tercipta dalam sebuah genre sastra (macapat) bernama “Suluk” yang warisannnya menumpuk di pusat arsip keraton maupun di tempat lainnya, seperti yang telah saya sebut sebelumnya.
Sebagai contoh misalnya, karya sufi berpengaruh “Tuhfatul Mursalah ila Ruhin Nabi”-nya Burhanpuri–karya pengajaran tasawuf muntahi-wujudi itu (baca: tauhid wujud/manunggaling kawula-gusti)–telah dikarang dalam bentuk Macapat (suluk) bernama “Serat Topah” yang telah dianotasi oleh A.H. Jhons Australia (Oriental Monograph Series No.1, tanpa tahun). Dan saya juga punya salinan lain yang berbeda dengan edisi Jhons, yang juga diberi judul “serat Topah” yang telah diterbitkan oleh penerbit Tan Khoen Shie. Dan karya-karya Suluk layaknya Suluk Ma’lumat Jati, Serat Wirid Hidayat Jati, Suluk Linglung, Suluk Kaki Waloka, Suluk Patekah, Suluk Bayan Maot, Suluk Martabat Sanga, Suluk Wahdat-Wakidiyyah, Serat Muhammad, Suluk Besi, Suluk Wragul, dan segudang judul warisan karya-karya itu benar-benar menunggu sentuhan para santri yang paling siap menerima khasanah ini.
Di Wirid Hidayat Jati karya Ronggawarsita misalnya, kita bisa menemukan argumentasi “mitoni” (tingkeban) alias kebiasaan slametan 7 bulan Bayi, juga terkait budaya tahlilan 7 hari (40 hari, 100 hari, dst) dalam hubungannya dengan perjalanan ruh dalam skema penjelasan “martabat tujuh”–dalam bahasa Centhini disebut “kasapta martabat”–layaknya dikenal dalam tradisi sufi. Dan masih banyak yang lain.
Yang saya ingin sampaikan sebenarnya sederhana, bahwa warisan “Islam Nusantara” tidak bisa semata dialamatkan pada pelacakan “teks-teks pesantren” semata, melainkan perlu diluaskan ke teks-teks keraton juga berserta manifestasi kebudayaannnya yang sebenarnya telah manifes dan tersebar merata di masyarakatnya. Karena menurut pelacakan saya, sebelum kekalahan keraton Jawa, alias sebelum titik penanda pada kekalahan Perang Diponegara (1825-1830), warisan Islamisasi para Wali sebenarnya menyebar merata di masyarakat baik di masyarakat maupun dalam kebudayaan keraton, sebelum penjajah Belanda maupun Inggris memecah-belah warisan ini dan masyarakat akhirnya terpolarisasi dalam berbagai kelompok preferensi keagamaan yang saling menegasi (meskipun masih menyakini sebagai Muslim) dalam payung kelompok yang hari ini kita kenal sebagai Abangan, Priyayi, dan Santri.
Dalam skema saya, seturut gambaran M.R.C Ricklefs dalam karyanya “Polarisizing Javanese Society” (2007), maupun “Mystics Syinthesis” (2006), yakni Setidaknya hingga perjanjian Giyanti di tahun 1755, masyarakat Jawa secara relatif keseluruhan telah menerima Islam sebagai penyatu identitas kejawaannya. Alias masyarakat Jawa tidak lagi bisa membayangkan dirinya di luar kerangka Islam. Saya membayangkan bahwa hingga masa itu kita hanya mengenal corak tunggal keberislaman yakni “Islam-Jawa” dengan segala varian yang masih padu (alias belum ada abangan, santri, dan priyayi sebagai kategori kelompok masyarakat yang preferensi keagamaannya saling menegasi dan mengutub). Dan corak itu sebut saja “Jawa-Islam” ini memang bercorak tasawuf, atau katakanlah cara orang Jawa masa itu menerjemahkan tasawuf, yang memang tidak menampik warisan kebudayaan Jawa sebelumnya (dan bahkan) mengolahnya menyatu menjadi bangun kebudayaan “Jawa-Islam”.
Saya membayangkan bahwa hingga masa itu kita hanya mengenal corak tunggal keberislaman yakni “Islam-Jawa” dengan segala varian yang masih padu (alias belum ada abangan, santri, dan priyayi sebagai kategori kelompok masyarakat yang preferensi keagamaannya saling menegasi dan mengutub)
Maka dalam catatan-catatan kunjungan pejabat-pejabat Belanda, kita bisa menemukan misalnya, apa yang kita sangka saat ini sebagai praktik “bid’ah” bernuansa Hindhu Budha yang mengotori Islam seperti menembang Macapat, Wayang, Slametan, Kenduri, Tahlilan, Merti Bumi, Sedekah laut, garebeg, dll, justru merupakan penanda penting keislaman orang Jawa, saat mereka dibujuk untuk berpindah ke Kristiani. Karenanya memang tak aneh jika atribusi kepengarangan Gendhing, Serat, kidung, Suluk, bahkan Wayang, selalu dikaitkan dengan para sunan ataupun wali sanga sebagai penciptanya, yang riwayatnya masih terawat apik, baik dalam tradisi tutur maupun tradisi kesasteraan. Dan dari hasil pembacaan saya atas warisan “serat”, “suluk”, “babad”, dan “wirid” yang saya lakukan dari sejak tahun 2009 hingga hari ini, saya berani berkesimpulan, bahwa kesusateraan “suluk”, “serat”, dan “babad” (dalam bentuk tembang macapat), juga “wirid” merupakan sebuah genre sastra yang muncul pada periode zaman Demak hingga Mataram Islam (hingga Yogyakarta dan Surakarta), alias pada periode Islamisasi, dan tidak kita temukan di periode Majapahit yang memang memiliki produk sastra berbeda bernama “Kakawin” dan “adiparwa” (berbahasa Jawi Kuna dengan metrum sendiri indianya) yang jauh berbeda dengan kesasteraan Macapat. Oleh karenanya, bahkan sekelas T.H. Pigeaud dalam karya kanonnya “Javaans Volksvertoningen”-nya (1938) tidak bisa menyangkal bahwa wujud pagelaran “wayang kulit purwa” dengan iringan ensembel gendhing, saron, gender, bonang, rebab, dllnya itu (meski cerita dasarnya diambil dari kisah parwa-parwa di zaman Majapahit) “penciptanya” adalah Sunan Kalijaga.
Nah Kenapa warisan Jawa-Islam, atau sebenarnya berlaku juga pada “Islam Nusantara”, yang dilandaskan para wali dan sufi-ulama penyebar awal kemudian terpecah? Saya hanya akan menjawab pada wilayah Jawa (karena ini memang concern saya), yang mungkin juga berguna untuk mendeteksi keterpecahan warisan Islam di wilayah Nusantara yang lain.
Hipotesis kuat saya, dalam kasus Jawa, adalah sejak kekalahan perang Jawa (1825-1830) sebagai tanda pemudah dan juga utama untuk analisis. Jika sebelum perang ini, masyarakat Jawa secara keseluruhan dipandang sebagai entitas kesatuan yang diiikat oleh Islam, atau dalam bahasa Ricklefs sebagai kesatuan dalan terms “Mystic-Synthesis” yang sebagaimana ditekankan oleh sejarawan ini bahwa terms “mystic” harus dipandang sebagai “semata cara orang Jawa menerjemahkan sufisme dalam realitas masyarakat Jawa”. Maka setelah perang Jawa Integrasi “sufisme Jawa” yang menyangga bangun integrasi masyarakat ini kemudian terkeping-terkeping. Sejak keraton Jawa tunduk, Belanda berusaha keras untuk menampik realitas (kemenyatuan) keislaman orang Jawa ini. Karena bagi penjajah, seperti ditunjukkan dalam gabungan pasukan Diponegara yang disokong oleh jaringan utama santri, pangeran, begal, kawula alit, blandong, kecu dengan semboyan “prang Sabilollah”-nya itu telah menyadarkan mereka bahwa: selama Islam masih menjadi identitas penyatu Kejawaan, maka Kekuasaan Belanda tidak akan tenang untuk selamanya. Dan Belanda sebagai penjajah akan terus menjadi sasaran pekik dan teriakan “kapir-Landa”, layaknya pekik suara yang keluar dari pemberontakan Trunajaya maupun Surapati sebelumnya yang juga memekikkan yel-yel yang sama (“kapir-landa”) ketika keraton Jawa menunjukkan kedekatan tertentu dengan pihak kolonial.
Oleh karena itu, setelah berakhirnya perang Jawa, Belanda dengan segera mencipta “Institut Bahasa dan Budaya” (Het Instituut voor de Javansche Taal) tahun 1832 di Surakarta (sebuah lembaga javanologi pertama yang belakangan menjadi cikal bakal berdirinya Universitas Leiden dan Delft di Belanda). Yakni sebuah lembaga yang berusaha merekonstruksi “kejawaan esensial” baru yang diperuntukkan bagi bangsawan (priyayi) Istana Jawa yang telah tunduk, yakni sebuah usaha mencipta secara baru gambaran dan defenisi kejawaan yang terbebas dari pengaruh Islamnya, alias kejawaan murni yang belum tersentuh “unsur revolusioner” semangat keagamaan padang pasir. Dan usaha menyingkirkan unsur “Islam” dari kejawaan ini sebenarnya telah diurai dan dipaparkan secara lengkap dan sistematis dalam karya suntingan saya Nancy K. Florida, “Jawa-Islam di Masa Kolonial: Suluk, Santri, dan Pujangga Jawa”, (Buku Langgar), Yogyakarta, 2020 yang sebenarnya telah banyak beredar. Dan, ringkasnya, mereka penjajah berusaha secara akademik memetakan dan “mendefinisikan ulang” kejawaan sebagai projek kanonisasi kebudayaan Jawa-baru yang terbebas dari unsur Islamnya, yakni dengan cara meneliti “kesalahan-kesalahan praktik ber-Islam”-nya orang Jawa (alih-alih meneliti keragaman budayanya), yang dengan cara itu mereka bisa memecah bangun integrasi ke-Islam-an orang Jawa, yakni hanya dengan menyebut subyek masyarakat jajahannya sebagai “bukan penganut Mohammedan” sejati atau menyebut dan melabeli sebagai “Muslim Sinkretik” saja. Belakangan nanti di era Orde-Baru, project kanonisasi kebudayaan Jawa ini menjadi bahan penting bagi langkah “jawanisasi” Suharto yang tak sadar mengulang proyek javanologi dengan spirit pengutamaannya nilai-nilai “kepriyayian” dengan tema sastra “adiluhung”-nya.
Mulai saat itulah, mereka berburu dan mengumpulkan naskah (bahkan dalam banyak kasus dengan cara merampasnya), menyusun ulang babad baru (babad Meinsma, Otlof, dll), menyunting dan menerbitkan serat-serat baru yang telah lulus sensor “provokasi” Islamnya, mencipta kamus (Pigeaud, Winter, dll), mencipta tata-penghormatan, etika, dan tradisi baru bagi kerajaan dan bangsawan yang sudah takluk, mengambil kewenangan administrasi para penghulu di seluruh pulau Jawa di bawah birokrasi kolonial, memutus mata-rantai hubungan pesantren dengan keraton (menurut Nancy bahkan hingga masa sebelum perang, pendidikan pesantren bagi pejabat, abdi dalem, dan pangeran merupakan modus utama di zamannya), juga mengawasi dengan ketat kunjungan “priester-priester” Islam (ulama’ Islam dan Arab) di keraton, hingga memecat dan mengganti para adipati-adipati di wilayah sekujur pulau yang disangka “terlibat” baik secara trah, jaringan, maupun berdasar tanda ketaatan syariat mereka sebagai (penanda) keterlibatan mereka dengan pemberontakan Diponegara yang maha dahsyat itu. Dan saya kira itulah awal permulaan terputusnya hubungan pesantren secara umum dengan keraton Jawa.
Belum lagi jika menilik dampak kebijakan Politik Tanam Paksa (coersed drudgery) yang konsekuensi buruknya terkait integrasi masyarakat baru dirasakan setelahnya. Bangun intregasi “Islam” yang menyangga Kejawaan pada masyarakat hingga saat itu akan benar-benar berubah dalam konteks relasinya dengan kekuasaan (perubahan pusat kekuasaan Baru). Penggolongan, strata, hirarki sosial yang terbentuk secara alamiah di masyarakat dan berlaku dimanapun seperti: petani, pedagang, bangsawan, maupun kalangan beragama, akan segera berubah sebagai sebuah kelompok-kelompok yang saling mengutub dan saling menegasi seiring dengan perubahan relasinya dengan konstelasi kekuasaan baru. Dalam konteks politik ekploitasi tanam/Cultuure Stelsel (1830), tiga golongan utama dalam masyarakat Jawa, Petani, Bangsawan, dan kalangan agama akan segera berdiri vis a vis dan saling berhadapan dan saling menegasi, meski mereka masih berada dalam satu payung keberagamaan Islam.
Kelompok pertama (1) Priyayi atau bangsawan keraton dari sejak tingkat regenten maupun vorstenlanden hingga kelurahan (adipati, wedana, hingga lurah) akan digerakkan oleh birokrasi kolonial sebagai subyek “penindas” atas kemenurutan petani rakyat bawah untuk kesuksesan politik ekspor tanam. (Bangsawan-bangsawan di sekujur pulau Jawa ini mendapat keuntungan ekonomis dari politik tanam paksa ini akan menyebabkan polarisasi hingga hilangnya ketaatan dan loyalitas petani dan kawula alit pada pememimpin aristokrasinya). Di abad setelahnya, kelompok ini, meskipun masih menyakini sebagai muslim, mereka akan semakin tercerabut identitas “Islam tradisionalnya” dan dengan serta lambat laun merangkul kebiasaan dan kebudayaan eropa penjajahnya (kami-landanen). Tak aneh jika menemui anekdot di awal abad 20: “meski kehidupan hedon-sekular yang menandai kebudayaan priyayi dalam menyerap kebudayaan Eropa-penjajah, mereka akan enggan berpindah ke agama penjajah dengan hanya menjawab, mending bertuhan satu dengan istri empat daripada bertuhan tiga dengan istri satu.”(lihat, Ricklefs, Islamization and Its Opponents, 2012)
Kelompok kedua, adalah para petani dan kawula alit atau rakyat bawah secara umum akan dijadikan “subjek tertindas” dengan kemelaratan dan penderitaannya yang semakin meningkat, yang masih terus saja melanjutkan warisan tradisi kejawaannya (yang sebenarnya dari sudut “aksioma kebudayaannya”–seperti dikatakan oleh Woodward (1989)–telah direvolusi secara menyeluruh oleh Islam (esoteris), yang sebagian besarnya merupakan tinggalan tradisi Jawa-Islamnya (kreatifitas kearifan) para wali yang memuncak dan ditradisikan secara sistematis di puncak kekuasaan Sultan Agung Mataram Islam (orang Jawa di seputaran wilayah Keraton selalu menganggap Sultan Agung adalah raja sekaligus wali). Belakangan kita akan menyebutnya dengan sebutan peyoratif sebagai abangan.
Kelompok Ketiga adalah kelompok pedagang dan para Haji yang sebenarnya relatif terbebas dari sistem Tanam Paksa ini yang secara umum lebih berperan sebagai penyedia ketersediaan cash-money atas sistem pembayaran dan sistem denda politik tanam (juga dimainkan oleh pedagang China dan India dalam kadar lain), yang semakin hari akan terbarui “ortodoksi” pemahaman keagamaannya (setelah kepulangan hajinya) seiring kemunculan Reformasi dan Modernisme Islam di semenanjung Arab. Sering disebut sebagai putihan.
Juga kelompok lain, sebagian para pemimpin Islam tradisional (alias tidak semua), yakni setelah keterputusan mata-rantai sistem pendidikan pesantren dengan Keraton setelah perang Jawa, yang memuncak dan semakin intensif setelah dibukanya terusan Suez 1869, akan segera mencipta dan membentuk jaringan internasional keilmuan, ulama, kuasa dan jejaring ortodoksi yang berbeda dan (ter)baru(i). Ini juga bisa menjadi penjelas kenapa mata-rantai silsilah keilmuan kita para santri (dari fikih hingga tasawuf muntahi), setelah akhir abad 19, sebagian besar tak lagi terhubung (alias sebagian besar terputus) dari mata-rantai sanad keilmuan dhahir maupun sanad tarikat serta pengajaran sufisme muntahi (bathin) dari jalur sanad keilmuan walisanga dan wali-wali tanah Jawi lain. Kelompok ini disebut dengan istilah sematan yang selanjutanya atau belakangan menunjuk secara meluas dan melebar sebagai penganut Islam taat: Santri.
Ini juga bisa menjadi penjelas kenapa mata-rantai silsilah keilmuan kita para santri (dari fikih hingga tasawuf muntahi), setelah akhir abad 19, sebagian besar tak lagi terhubung (alias sebagian besar terputus) dari mata-rantai sanad keilmuan dhahir maupun sanad tarikat serta pengajaran sufisme muntahi (bathin) dari jalur sanad keilmuan walisanga dan wali-wali tanah Jawi lain. Kelompok ini disebut dengan istilah sematan yang selanjutanya atau belakangan menunjuk secara meluas dan melebar sebagai penganut Islam taat: Santri.
Yang ingin saya katakan sebenarnya, bahwa semenjak kekalahan pusat Keraton Jawa di Perang Diponegara, warisan “Jawa-Islam” baik dalam tradisi, adat, kebudayaan, serta peradaban teks-teks huruf Jawi (pegon) maupun kesusateraan berhuruf Jawa ha-na-ca-ra-ka (Islam)-nya–yang oleh Ricklefs dianggap sebagai penyatu identitas dan integrasi tunggal masyarakat Jawa (hingga masa itu)–akhirnya berkeping-keping dan terpecah belah (baca: politik pecah kolonial), yakni dalam sebuah proses menaik pengutuban (polarisizing) masyarakat Jawa ke dalam tiga kelompok masyarakat yang saling menegasi sebagai dampak dari politik Tanam Paksa dalam konteks perubahan kepemimpinan kuasa baru: Putihan, Abangan, dan Priyayi.
Dari semenjak era Politik Tanam Paksa (1830), dibukanya Terusan Suez (1869), hingga diterapkannya Sistem Pendidikan Kolonial di masa Politik Etis (1901), kita akan melihat betapa para bangsawan Keraton maupun para priyayi di bawah birokrasi Kolonial (Pramoedya Ananta Toer mendefinisikan Priyayi sebagai “gelar” yang muncul dari proses perkawinan status bangsawan keraton dengan sistem pendidikan dan administrasi kolonial semenjak Belanda menjadi penguasa tunggal masyarakat Jawa secara keseluruhan) akan benar-benar terserap dalam kultur birokrasi-politik dan kebudayaan kolonial, yang lambat-laun akan mencerabut mereka (priyayi) dari “universum” Islam tradisional-pesantren mereka dan segera menginternalisasi “kejawaan esensial” hasil kodifikasi dan pemetaan filologis-arkeologis keilmuan sarjana kolonial atas kesusateraan dan kebudayaan Jawa, yang memang secara sitematis–seperti telah dikatakan oleh Nancy K. Florida–membuat ”mata kolonial” mereka benar-benar telah gagal dan “tak akan mau melihat” realitas maupun unsur Islam yang telah menubuh dalam realitas kebudayaan Jawa. Dan segera saja mereka, para javanici ini akan “menggusur” dan “membersihakan” realitas “Islam” bagi gambar “Kejawaan esensial” khayalan akademis mereka dalam rangka–mengutip perkataan Direktur awal lembaga Javanologi “Institut Bahasa dan Budaya Jawa (1832) lembaga yang telah saya singgung sebelumnya–untuk “mengelola dan berhubungan” dengan masyarakat Jajahan. Kita oleh karenanya tak terkejut dengan kegelisahan orang sejenis Kartini terkait kegelisahan dan keambiguan agamanya terkait fakta keterlahirannya sebagai muslim yang tak pernah melihat Al Qur’an sejak kecil, hingga melecutnya berguru ke Kiai Saleh Darat di semarang atas saran ajakan kakaknya Sosrokartono.
Bahkan, sejak peralihan minat sarjana kolonial dari kajian kesusasteraan Mataram Islam, Cirebon, dan Banten (baca; serat, babad, suluk, dan wirid), lalu segera berpindah ke pencarian sastra yang lebih kuno di zaman Hindhu-Budha yang lebih jauh (zaman Majapahit ke belakang, alias berbahasa Jawi kuna), Belanda telah berhasil merekontruksi, mendefisinikan, dan menanamkan kepada subyek priyayinya yang telah tunduk, bahwa kejawaan yang diterima mereka lebih berpaut dengan masa Hindu-Budhanya Majapahit yang jauh, daripada keberagamaan Islam yang senyatanya mereka anut secara aktual di masa itu. Misalanya karya “History of Java”-nya (1817) Raffles maupun “The History of Indian archipelego”-nya (1820) Crawfurd hanya memberi porsi ulasan sangat terbatas (minim) atas Islam sebagai agama aktual masyarakat Jawa, dibanding berlembar-lembar urusan agama kuno Jawa (Hindu-Budha, dll) yang senyatanya sebenarnya telah relatif dilupakan.
Ketercerabutan bangun “sufisme Jawa” yang sebenarnya menyangga bangun keraton Mataram Islam sebelumnya maupun kebudayaan priyayi secara integral, akhirnya lambat laun memudar dan tak terilmui kembali, yang menyebabkan perasaaan keterbelahan individu yang tak terkatakan.
Perlu diketahui ihwal keterkaitan sufisme dengan keraton Jawa, pada karya “The Seen and Unseen World in Java 1726-1749”-nya (1998) Ricklefs menyimpulkan bahwa bangun falsafah kerajaan Mataram Islam sejak di zaman Sultan Agung–terutama melalui telaah naskah Suluk Garwa Kencana, Kitab Usulbiyah, Serat Yusuf, dan Carita Iskandar–sebenarnya justru didasarkan pada bangun falsafah terkait “sistem peperangan pada keraton-diri (baca: jihad akbar) yang dijabarkan dalam sistem peperangan nafs dalam konsep sufisme [Sufi Political Philosophy]). Dan sistem pemerintahan Sufi ini juga dapat ditemui secara jamak, setidaknya aspek-aspek nilai-nilai gagasan tasawufnya untuk sistem kesultanannya, di keraton-keraton Nusantara seperti di Aceh, Mandar, dan Gorontalo, dan Bugis. Bahkan dalam tulisan M. Jadul Maula misalnya (dalam “Islam Berkebudayaan” [2019]), menyebut bahwa di kerajaan Buton, konsep “Martabat Tujuh” telah diterjemahkan dalam sistem tata kekuasaan dan struktur hirarki pemimpin dalam struktur masyarakatnya.
Sejak diberlakukan sistem pendidikan Etis di tahun 1900 an awal, para priyayi beserta keturunannya anak, dan cucu mereka pasca perang, akhirnya bergabung lebih awal pada bangun “pandangan dunia” baru dalam sistem pendidikan Etis, yang kemudian melambari “sistem world-view baru” bagi mereka, yang dulunya diisi pandangan “Islam tradisional” (pesantren-sufisme Jawa) setidaknya hingga kekalahan perang Jawa. Bahkan sebagian priyayi juga beberapa orang Jawa akhirnya menggabungkan diri pada gerakan theosophy, sebagai sebuah gerakan spiritualitas tanpa agama yang menjamur global di masa itu, yang akan memberi lambaran spiritualitas baru bagi para priyayi dan kalangan terpelajar Jawa yang semakin mencerabut mereka dalam landasan keilmuan lama sufisme Jawanya.
Di masa-masa inilah menjamur produksi tafsir warisan kesusateraan Jawa masa sebelumnya (Jawa-Islam) akhirnya bercampur dengan penafsiran khas theosophy yang belakangan dinamai dan dikenal sebagai Kejawen. Fenomena ini berbarengan kemunculan majalah berbahasa Jawa yang pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka (lembaga penerbitan awal Belanda) yang bernama: Kedjawen (1926-1942). Akhirnya seluruh warisan kesusateraan juga kebudayaan “Jawa-Islam” (baca: sufisme Jawa) menyurut dilabeli semata sebagai Kedjawen dan berkembang dengan dinamikanya sendiri yang semakin menjauh dan berdiri vis-avis dengan penafsiran dan pemahaman kelompok putihan maupun santri yang memang telah terbaharui pemahaman jaringan “ortodoksi” keagamaannya, baik dengan sebutan Istilah “modernisme Islam”, “neo-sufisme”, maupun kaitannya merebaknya Gerakan Wahabi di awal abad 20 (lihat, Azyumardi Azra, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia, 2004)
Bahkan mendekati kemerdekaan Indonesia, maupun akan marak setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945, (terutama sebelum dan setelah 1965), mulai muncul menjamurnya aliran kebatinan (alias fakta baru) yang mulai semakin tegas memisahkan diri bangun integrasi ke-Islam-annya. Bahkan, saya getir menyaksikan Buku “Ensiklopedi Spiritualitas Islam”-nya Seyyed Hossein Nasr (jilid 2, 2002) itu, dalam menyebut warisan sufisme Jawa, ia malah menyebut “Subud”, Susila Budi Darma, yang sering ditunjuk sebagai aliran kebatinan itu sebagai warisan Sufisme Jawa. Dan warisan kesusasteraan “Suluk”, “wirid”, dan “Jawa-Islam” tersuruk (sebagian dikarenakan rekonstruksi intelektual Belanda, yang membingkainya menjadi semata warisan “sinkretik”), yang akhirnya memisah dan membelah warisan priyayi dan santri. (lihat bagaimana gelar, Ki dan Kiai, yang di dalam serat-serat disebut secara bergantian dan sepadan (alias artinya sama), akhirnya memilah menjadi menyurut milik eksklusif sebagian sebagaian kelompok).
Bahkan, saya getir menyaksikan Buku “Ensiklopedi Spiritualitas Islam”-nya Seyyed Hossein Nasr (jilid 2, 2002) itu, dalam menyebut warisan sufisme Jawa, ia malah menyebut “Subud”, Susila Budi Darma, yang sering ditunjuk sebagai aliran kebatinan itu sebagai warisan Sufisme Jawa.
Untuk masyarakat Jawa secara umum, dalam masa akhir abad 19 (tahun-tahun 1860-an ke atas), catatan dan temuan sarjana kolonial, yakni sebagai dampak Politik Tanam Paksa dan ditemukannya mesin uap Kapal yang mempermudah perjalanan Haji, juga mulai muncul istilah “abangan” (alias muncul sebagai fakta baru) sebagai istilah yang mengacu sebagai kelompok yang memiliki preferensi keagamaan yang berbeda (meski masih dalam bingkai Islam) dan yang berdiri dan bersitegang dengan kelompok Islam yang terbarui pemahaman agamanya. Di masa ini pula, kebijakan pengawasan dan survei pesantren (melalui tangan bupati-bupati setempat) dan politik pelonggaran dan pembatasan jamaah Haji diterapkan. Kurikulum Pesantren-pesantren harus dilaporkan dan diawasi (Snouck menyebut tarikat merupakan momok kolonial), perkumpulan tarikat yang masih mengajarkan wirid dan jangka primbon tentang kedatangan “ratu-adil” (Centhini menyebut ratu adil dengan menunjuk istilah Wali-khalipah, atau Raja sekaligus Wali) dilarang dan dibatasi, dan praktik klenik dan tahayul di tempat umum dilarang, karena tidak sesuai dengan visi “rasional” pendidikan Etis zamannya. Di masa inilah kesarjanaan kolonial mulai menemukan naskah-naskah Kakawin warisan Hindhu-Buddhanya Majapahit, seperti Pararaton (1897) dan Negara Kartagama (1894), dll. (ditemukan justru tidak di Jawa melainkan di Lombok dan Bali) yang dengan segera publikasi atas ulasan ini ikut menentukan imaji dan gambaran baru yang merevisi terkait masa lalu Jawa maupun Nusantara yang lebih jauh.
Nah Faktor-faktor inilah yang semakin meruncingkan polarisasi di masyarakat Jawa (yang memang senyatanya sangat terkait langsung atau tidak langsung) dengan preferensi keagamaan dan bangun integrasi Islam yang menyangga kesatuan masyarakat sebelumnya. Dan kita tahu sebelum ide modern seperti negara bangsa (nation state), demokrasi, nasionalisme, sains dll dikenal, hanya sistem pandangan dunia agamalah yang menyangga struktur integrasi sebuah masyarakat tradisional. Namun bangun integrasi-penyatu “Islam” dalam kasus Jawa, juga banyak kesultanan Islam di Nusantara, akhirnya tercerai berai akibat dampak kebijakan politik, kebudayaan, dan pengetahuan yang diciptakan Belanda, yang lambat laun merangkak naik menjadi proses pengutuban “preferensi keagamaan” masyarakat yang saling menggugat dan berseteru.
Namun bangun integrasi-penyatu “Islam” dalam kasus Jawa, juga banyak kesultanan Islam di Nusantara, akhirnya tercerai berai akibat dampak kebijakan politik, kebudayaan, dan pengetahuan yang diciptakan Belanda, yang lambat laun merangkak naik menjadi proses pengutuban “preferensi keagamaan” masyarakat yang saling menggugat dan berseteru.
Pengutuban ideologi dalam baju “nasionalis, komunis, dan agama” di masa pergerakan nasional sebagaimana tercermin dalam kemunculan organisasi agama dan pergerakan nasional pada awal abad 20, layaknya Budi Utomo, Jawi Kanda, Insulinde, Syarikat Islam (merah dan putih), Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Taman Siswa, Jong Java, Jong Islaminten Bonds, dll sebenarnya hanya merupakan kelanjutan proses polarisasi masyarakat yang menaik sebagai dampak kebijakan kolonial setelah kekalahan perang kedaulatan Jawa, maupun perang-perang kedaulatan kesultanan-kesultanan Nusantara (ini perlu penelitian lebih lanjut). Proses pengutuban “preferensi keagamaan” ini kemudian berubah rupa dalam idiom-idiom baru, sebagai penanda ketergabungan mereka gerak modernisme dan masyarakat global dalam bingkai entah itu “nasionalisme”, “pan-Islamisme”, “sosialisme”, “komunisme”, “demokrasi”, “Internasionlisme”, “nation state”, “capitalism”, dll.
Polarisasi masyarakat Jawa ini akhirnya memuncak pada peristiwa 1965, dimana sesama anak bangsa akhirnya saling membunuh dalam sebuah peristiwa genosida sejarah yang menjadi beban perkembangan sejarah kita. Bangun integrasi “Islam” yang dulu menyanggga masyarakat ini pecah terkeping-keping dalam titik kulminasinya. Banyak orang Jawa (jutaan) secara berbondong-bondong beralih ke Kristiani (sebagian ke Hindhu Buddha), atau bergabung dengan kelompok-kelompok kepercayaan dan kebatinan yang sebelumnya menjamur. Wayang, peradaban kesusasteraan Jawa yang kaya, juga beserta khasanah ragam kesenian, yang dahulu dielu-elukan sebagai warisan tinggalan islamisasi para wali itu, oleh kelompok putihan dipandang sebagai identik dengan kelompok partai dan aliran kepercayaan tertentu (misalnya milik PKI, atau kelompok nasionalis). Pesantren akhirnya tak lagi terhubung lagi dengan kesenian dan ritus pagelaran Islam bulan-bulan Islam di keraton, maupun kesenian daerah (selain faktor gerak laju perubahan Modernisme secara umum) yang akhirnya membentuk subculture dan bangun pengetahuan tersendiri yang dulunya sebelum Perang Jawa merupakan kesatuan integral yang tersambung, yakni seiring perubahan metode kurikulum dan infrastruktur yang semakin terorganisasi dan terformalkan.
***
Usaha saya berlarat-larat untuk mengurai rangkaian skema historis dari sudut kritik historis pasca-kolonial, sebenarnya merupakan sebuah undangan atas penelitian kritis di kawasan lain terutama di wilayah berbahasa Melayu (dimana memang saya memiliki keterbatasan atas kajian di Luar Jawa, oleh karenanya saya meminta maaf), agar kita bisa melampui dan memberi alternatif baru atas penciptaan diskursus yang terbebas dari narasi “kuasa pengetahuan” kolonial (karena bagaimanapun dahulu penelitian-penelitian yang dikerjakan oleh sarjana kolonial terkait ke-Indonesia-an, kejawaan, dan ke-Islaman tersebut dalam konteks yang lebih khusus memang bagaimanapun menyisakan bias dalam bingkai pemilahan dan untuk langgengnya kekuasaan kolonial di Hindia Belanda). Analisis maupun penelitian lanjutan terkait polarisasi yang ditimbulkan dari kebijakan di sepanjang kawasan Melayu, seperti bagaimana Kolonialisme melakukan politik pecah-belah atas sistem nilai yang sebelumnya dianggap menyatu dan padu yang menyangga integrasi masyarakat layaknya terjadi di Jawa, seperti terkait pertanyaan bagaimana Kolonialisme membenturkan antara “Syarak” Vs “Adat”, “Teuku vs Tengku”, “Kalangan bangsawan vs Kalangan Adat”, “Sistem Peradilan Pidana kolonial vs pengadilan Serambi”, “Ki vs Kiai, dll akan sangat dibutuhkan dan diperlukan.
Usaha saya berlarat-larat untuk mengurai rangkaian skema historis dari sudut kritik historis pasca-kolonial, sebenarnya merupakan sebuah undangan atas penelitian kritis di kawasan lain terutama di wilayah berbahasa Melayu (dimana memang saya memiliki keterbatasan atas kajian di Luar Jawa, oleh karenanya saya meminta maaf), agar kita bisa melampui dan memberi alternatif baru atas penciptaan diskursus yang terbebas dari narasi “kuasa pengetahuan” kolonial (karena bagaimanapun dahulu penelitian-penelitian yang dikerjakan oleh sarjana kolonial terkait ke-Indonesiaan, kejawaan, dan ke-Islaman tersebut dalam konteks yang lebih khusus memang bagaimanapun menyisakan bias dalam bingkai pemilahan dan untuk langgengnya kekuasaan kolonial di Hindia Belanda).
Hal ini sangat berguna bukan hanya semata untuk menjawab pertanyaan awal kenapa Islam Nusantara tidak terlalu diterima di kawasan Melayu, melainkan lebih dalam usaha menjawab kenapa warisan proses Islamisasi di Nusantara tersebut tersebar dan menyebar yang tidak lagi diakrabi dan berputus jalan ketersambungannya dengan “teks-teks pesantren” yang sering diburu itu. Belum lagi jika kita melihat bagaimana polarisasi ciptaan kolonial itu berdinamika lebih lanjut membentuk berbagai sejarah turunan organisasi Islam yang tersebar di Indonesia (Masyumi, Persis, Muhammadiyah, NU, Al Wasliyah, Sumatra Tawalib, Persatuan Tarbiyah, Nahdlatul Wathon, LDII, dll) yakni menuruti kelanjutan proses sejarah kita berbangsa, yang darinya bisa mengenali kenapa wilayah kawasan kawasan Melayu atau bahkan organisasi Islam di Jawa sendiri yang tidak terlalu menerima sodoran “Islam Nusantara” yang memang senyatanya disodorkan oleh kelompok organisasi Islam tertentu, dan juga hadir dalam hiruk-pikuk pembelahan politik dalam konteks kesuksesan pemilihan presiden (meskipun jika para penyokongnya tidak merasa meniatkannya dalam dan untuk tujuan [diskursus] politik tertentu).
Juga kita bisa menangkap, bagaimana misalnya “Islam Nusantara” hadir dan (di)-muncul-(kan) dalam konteks merespon maraknya–meminjam bahasa Hasyim Muzadi–Islam “trans-nasional” (wahabi, HTI, salafi, dll) atas nama memunculkan atau (tepatnya) mempertahankan “Islam yang santun”, “Islam moderat”, “Islam yang rahmah dan ramah”, dan “Islam yang tidak marah”. Karena kebutuhan ini pula Islam Nusantara hanya diambil dan ditekankan pada sisi “wasatiyyah”-nya (moderatisme), atau semata unsur “toleran”-nya yang dipersepsi oleh sekelompok organisasi lain merujuk hanya pada kelompok tertentu semata. Tak aneh misalnya, jika Intelektual macam Muhammad al Fayyadl, sesuai tangkapan saya (semoga tidak salah), merasa bahwa moderatisme Islam hanya mengungkung wacana Islam semata bersikap “moderat” atau “ramah” yang bisa sangat rentan abai terhadap fakta penjajahan “kapital asing” dan abai terhadap visi-visi pembelaan terhadap kalangan mustadh’afin (tertindas secara struktural) dalam perkembangan kapitalisme tingkat lanjut. Juga saya bisa memahami mengapa tokoh sekelas Ahmad Najib Burhani (Koran Sindo, 19 Januari 2017) yang merasa bahwa “Islam Nusantara” seolah hanya menunjuk pada kelompok organisasi tertentu (sebuah persepsi tangkapan dari kelompok luar penyokong) dan bahkan justru mengutip Mohamad Shohibuddin, seorang Khatib Am pengurus NU Belanda (Koran Sindo, 24 Januari 2017), bahwa Islam Nusantara justeru bisa ditutupi sekaligus tertutupi (keluasan spektrumnya) oleh para pengusungnya sendiri (mahjubun bin Nahdliyyin). Bahkan dalam sebuah tesisnya Najib Burhani “Muhammadiyah Jawa” (2010), ia bahkan telah mendeteksi atau mendapatkan justifikasi bahwa pada dasarnya (tokoh-tokoh) Muhammadiyyah lebih tepat jika dikelompokkan sebagai “priyayi”. Rangkaian polarisasi ciptaan kolonial yang membelah itu akhirnya terus-menerus berlanjut dan mengkerangkai analisis para sarjana Muslim kita.
Mungkin ini juga yang melambari alasan yang mendasari bagaimana horison atas diskursus “Islam Nusantara” setidaknya secara umum, selalu secara tak sengaja merujuk kepada semata “Islamnya pesantren” (setidaknya dipersepsi orang luar seperti itu) atau perujukan “teks-teks pesantren” sebagai sasaran paling dituju dari penciptaan diskursus “Islam Nusantara”. Dan akhirnya kita abai atau lebih tepatnya belum mampu melampaui pembacaaan narasi sejarah kolonial sebagai sebentuk usaha “kritik diri” untuk melampaui narasi penciptaan sejarah dan politik pengetahuan dan kebudayaan yang dulu membelah integrasi sosial kita sebagai sebuah bangsa.
Mungkin atas alasan ini pulalah, dari sejak tahun 2010-an, saya yang sebenarnya berlatar pesantren dan menghabiskan belajar dalam institusi tradisional dan kultur ini selama hampir separuh hidup saya itu, terpaksa beralih fokus kepada warisan kaya kesusateraan “suluk”, “serat”, “wirid” dan “Babad”, sembari menautkan dan mengilmui kembali warisan kitab kuning juga kitab beraksara “pegon” dan “jawi”, plus kembali mengakrabi dan membiasakan diri dengan menghadiri pagelaran wayang kulit, ikut meramaikan pementasan “tari Lambangsari”, “salawat Emprak”, mendengarkan ulang Ketoprak “ondo-rante” dan “seh Jangkung”, belajar kembali menembangkan macapat, mengumpulkan naskah-naskah serat, suluk, babad, wirid dari sejak saya lulus dari kuliah, dan secara pelan-pelan bisa mengakrabi huruf-huruf dan bahasanya, hingga menghadiri dan melibatkan diri dalam acara ruwahan, megengan, rasulan, mertibumi, sedekahan, mengikuti perayaan suro-an di Keraton, hingga mengikuti kesenian menonton garebeg keraton, kesenian rodad, jatilan, dan hadrah.
Jika kita semata berfokus semata pada pelacakan “teks-teks pesantren”, maka kita akan kehilangan “arsip kebudayaan” yang merupakan manisfestasi paling nyata dari “ijtihad kebudayaan”-nya para wali maupun tokoh penyebar Islam awal yang seterusnya dilanjutkan oleh raja-raja kesultanan Mataram, Cirebon, Banten, dan kesultanan lain di Nusantara, sebelum badai penjajahan kolonial merusak warisan itu semua hingga terpecah-pecah dan berkeping-keping entah kemana.
Dari rangkaian pengelanaan ke jurusan lain ini, kesadaran saya benar-benar terentak-entak saat seorang pakar legendaris kesusasteraan Jawa tanpa tanding bernama Zoetmulder itu dalam sebuah tulisannya yang jarang dibaca, “ The Wajang as Philosophical Themes”(1971) mengatakan, bahwa Wayang bukan saja ia selaras dengan nilai-nilai moral kebaikan Islam, melainkan Wayang Kulit Purwa itu (yang ceritanya telah digubah secara mendasar oleh para Sunan) hanyalah menyampaikan “kehidupan” ini hanya merupakan “bayangan” (wewayanganing agesang) yang memancar dari alam kegaiban ilahi dari 3 martabat keesaan Tuhan dalam konsep martabat tujuh: Ahadiyyah, wahda, dan wahidiyyah. Atau bahwa dalam 12 jilid karya Centhini (1975)ternyata Seh Amongraga adalah seorang “santri lelana” yang menyesap kitab-kitab tradisi pesantren yang sebagian masih kita kenali, dan bahkan juga seorang penganut ajaran Syattariyyah-Naqsabandiyyah. Atau dalam Wirid Hidayat Jatinya (Wirid Ma’lumat Jati, Sadu-Budi, 1985) Ranggawarsita–seorang santri lulusan pesantren Gebang Tinatar Tegalsarinya Mbah Kiai Kasan Besari itu–adalah usaha eksplisit untuk menggabungkan 8 aliran “keilmuan ruhani” atau “ajaran tarikat” seperti diajarkan 8 wali tanah Jawa sebelumnya, yang ia rangkai dalam skema “martabat tujuh” dengan nama “hidayat jati”, dimana tokoh santri-pujangga ini oleh Nancy K. Florida dikatakan tercatat dalam naskah-naskah serat juga merupakan seorang mursyid Syattariyyah.
Atau kita juga akan tersentak, bahwa dalam ngilmu kasampurnan, yang dijadikan rujukan paling utama keilmuan yang menyurut dan dilabeli sebagai Kejawen itu, seperti dinukil oleh Kitab Primbon Attasadur Ma’na (2009) hanyalah merupakan nama lain dari ilmu ma’rifat dalam tasawuf (Ngilmu Kasampurnan menika namung tetuladan saking ilmu tesawuf), atau bahkan “martabat Tujuh” itu telah berkembang dalam karyanya pujangga “Ranggasasmita (pamannya Ranggawarsita), seperti dikatakan dalam karyanya “Suluk Martabat Sanga”, telah berkembang dalam bentuk “martabat sembilan”. Atau, Sultan Hamengku-Buwana, Sultan Yogyakarta pertama itu telah menerjemahkan konsep tauhid wujud “sangkan paraning dumadi” dalam tata pemerintahan dan rancang-planologi kota seperti tercermin dalam konsep “garis imajiner” yang membelah kota Yogyakarta dari tata-awal perjalanan hidup (suluk) dari panggung krapyak (kelahiran), siti hinggil, hingga tugu golong-gilig (sebagai simbol tegaknya alif kedirian) agar bisa menjadi Khalifatullah (wakil tuhan) dan bisa bertanggung jawab menjadi simpul pemimpin agama (sayyidin panatagama), setelah sebelumnya berperang (senapati ing ngalaga) untuk menaklukkan empat nafsu (sedulur-papat) dalam dirinya hingga mencapai dan mencipta kedaulatan alif dalam dirinya (jumenengan, pancer).
Atau juga untuk memberi contoh terakhir, bagaimana dalam “Sastra Gending” (Radya Agung, 2008) maha-karyanya Sultan Agung itu (seorang yang disebut Centhini sebagai “wali-umran” atau “raja-wali”), Konsep tauhid wujud “martabat tujuh” itu telah berhasil ditubuhkan dan menjadi perincian yang menguatkan prinsip tauhid dalam skema Indah teoritik tembang sebagai pandu bagi para niyaga (penabuh gamelan) dan manusia Jawa yang akan menyempurnakan “estetika-ma’rifat”-nya dalam laku olah karawitan dan laku perbuatan kita secara menyeluruh sebagai kelanjutan dari “sembah meluhurkan asma dzat” (amemuji asmane Dzat).
Rangkaian contoh temuan pengelanaan di jalur pelacakan sebut saja “arsip kebudayaan” ini sungguh bukan hanya semata untuk kritik diri, atau alih-alih semata-mata menjawab pertanyaan awal di tulisan ini (biarlah menjadi tugas tulisan lain yang lebih menyeluruh terkait wilayah kajian Melayu), melainkan juga sebentuk undangan untuk menyodorkan tawaran pembacaan yang lebih menyeluruh (atau katakanlah lebih luas) dalam rangka meneropong bangun “Islam Nusantara” yang relatif bisa menjangkau kelompok yang lebih luas, baik dari sisi sentimen politis maupun dari sisi kerangka wilayah kajian dan paradigmanya yang telah meluas dan diluaskan.
Mungkin, kita, para santri ini, perlu menengok atau mempertimbangkan cara-pandang yang disodorkan oleh Muhammad Jadul Maula dalam karyanya “Islam Berkebudayaan” (Pustaka Kaliopak, 2019), dimana ia lebih memilih melihat dan meneropong warisan kebudayaan Islam yang ditinggalkan para wali dan dai-sufi kita itu dalam bingkai “berkebudayaan” dimana Islam di zaman lama telah relatif membantu proses berkebudayaan, alias proses berkemanusiaan sebuah bangsa–olah proses cipta karsa rasa fakultas kemanusiaan kita–yang warisan “ijtihad kebudayaan” itu telah diresapi sebagai ke-arif-an budaya (baca: urf, ma’rifat, bukan semata syaria’t) yang tidak hanya bisa dinikmati oleh Muslim saja melainkan telah menjadi “rahmat”, hikmat”, dan “kebijaksanaan” bagi manusia Jawa dan kerakyatan Indonesia secara menyeluruh.
Mungkin, kita, para santri ini, perlu menengok atau mempertimbangan cara-pandang yang disodorkan oleh Muhammad Jadul Maula dalam karyannya “Islam Berkebudayaan” (Pustaka Kaliopak, 2019), dimana ia lebih memilih melihat dan meneropong warisan kebudayaan Islam yang ditinggalkan para wali dan dai-sufi kita itu dalam bingkai “berkebudayaan” dimana Islam di zaman lama telah relatif membantu proses berkebudayaan, alias proses berkemanusiaan sebuah bangsa–olah proses cipta karsa rasa fakultas kemanusiaan kita–yang warisan “ijtihad kebudayaan” itu telah diresapi sebagai ke-arif-an budaya (baca: urf, ma’rifat, bukan semata syaria’t) yang tidak hanya bisa dinikmati oleh Muslim saja melainkan telah menjadi “rahmat”, hikmat”, dan “kebijaksanaan” bagi manusia Jawa dan kerakyatan Indonesia secara menyeluruh. Dan apapun proses penerjemahan Islam yang tak membantu alias menjadi pengganggu tumbuhnya keutuhan potensi ruhani seorang manusia (baca: Insan Kamil)–yang faktanya memang terlahir secara lokal, namun berkualitas universal dalam dimensi (ruhani) kemanusiaannya–harus ditampik dan dilawan (baik pengganggu struktural-sistemik maupun pandangan-ideologi dan nilai). Dan saya kira, para santri ini, menurut saya, merupakan titik hubung yang paling siap dalam menjebatani warisan kebudayaan Islam Indonesia bersambung kembali dengan bangun utuh intregalitas masyarakat dengan seluruh elemen yang membentuk ke-Indonesia-an kita hari ini. Allahu a’lam.
Irfan Afifi
Cepokojajar, 25 Juli 2021
Nb: Minta maaf karena belum melengkapi referensi literature yang akan disusulkan berikutnya.
Syahdan. Sekira pada tahun 2000 hingga 2007, yakni sebuah rentang waktu dimana saya menghabiskan masa kuliah saya di Filsafat UGM, saya mendapati diri saya terdampar dalam kegelisan intelektual atau bahkan pergulatan eksistensial yang tanpa harap. Di masa itu unggunan diktat kuliah filsafat Barat, tumpukan jurnal-jurnal internasional, serakan buku-buku tebal berdebu para filsuf dunia, diskusi-diskusi berat dan berlarat, hingga aktivisisme menggugat negara dan kampus tidak sedikitpun memberi pandu yang meneguhkan. Hingga saya meninggalkan kampus tua itu, pergulatan eksistensial atau sebut saja pergulatan intelektual-ruhani saya itu, justru semakin menjalar ke sekujur balung sumsum tubuh saya. Saya ambruk.
Saya memegang apa yang bisa saya raih. Saya merasa pengetahuan filsafat saya—tepatnya filsafat Barat, yakni semesta gagasan yang dulu saya pungut dengan telaten dan rasa curiosity yang menggelegak, ternyata hanya memberi skema deretan kontinum gagasan-gagasan para pemikir besar dunia yang sayangnya justru mengasingkan daripada mengukuhkan. Pikiran-pikiran pelik, melangit, dan “berat” yang memenuhi tempurung pikiran dan kepala saya, beserta timbunan kosakata elegan berkelas, namun juga sekaligus asing (dan mengasingkan) itu, juga bahkan termasuk deretan “isme-isme” yang saya koarkan yang bisa membuat ciut nyali para pendengar dalam sebuah laga-diskusi yang memang saling mengalahkan, mematahkan, dan menundukkan lawan itu, ternyata sama-sekali tak menuntun atau membantu saya sendiri mengenali apapun terkait diri, alih-alih skema gagasan filsafat masyarakat saya sendiri yakni tempat saya menjejakkan kaki di sana.
Saya memegang apa yang bisa saya raih. Saya merasa pengetahuan filsafat saya—tepatnya filsafat Barat, yakni semesta gagasan yang dulu saya pungut dengan telaten dan rasa curiosity yang menggelegak, ternyata hanya memberi skema deretan kontinum gagasan-gagasan para pemikir besar dunia yang sayangnya justru mengasingkan daripada mengukuhkan.
Gagasan-gagasan besar filsafat dunia yang memang bertahun-tahun saya sesap dari bangunan lusuh nan tua di bilangan Bulaksumur itu, pada masa itu benar-benar nyaris tanpa daya dan guna. Muspra. Saya merasa pikiran-pikiran melangit yang diajarkan di Kampus saya sendiri tak memberi ruang sedikitpun untuk menjangkau filsafat masyarakat saya sendiri. Ia sedang tak ingin menggeret para mahasiswanya untuk mengenali kedirian mereka. Mengenali pikiran-pikiran yang barangkali boleh kalian sebut dengan istilah “filsafat masyarakat” sendiri, yakni Indonesia, dimana tiap wilayah suku-bangsa asal para mahasiswa yang bergabung di kampus itu memang secara terpaksa tidak memilih terlahir di dalamnya.
Kegelisahan atau kecemasan eksistensial itu meluber hingga saya resmi lulus. Saya, yang memang dari sejak awal tak pernah memikirkan bekerja, apalagi bekerja pada orang lain atau institusi tertentu, memilih melarutkan diri di tiap malam-malam saya membaca ratusan temuan disiplin antropologi dan sejarah ihwal ke-Indonesiaan dan ke-Jawaan yang saya unduh secara rutin hingga memenuhi ruang hard-disc eksternal berkapasitas ratusan giga yang saya punya. Belum lagi dari luapan kegemaran diskursus filsafat yang terwarisi, saya masih terus saja tenggelam dan meluaskan bacaan saya mengenai filsafat dan mistisisme Islam, yang pada masa kuliah dulu sempat sedikit saya abaikan. Plus mulai kembali membuka kitab-kitab berdebu warisan pesantren saya di masa kecil hingga remaja, yang telah lama teronggok di pojok kamar.
Bahkan dalam kadar yang semakin intens, deraan kegelisan ruhani yang telah menjalar ke sendi-sendi aliran darah, memaksa saya mengambil keputusan yang terlalu berani. Saya yang baru saja menikah di awal tahun 2010, mengajak istri tinggal pada sebuah kontrakan dekat sebuah pondok pesantren di Mlangi, Yogyakarta agar saya dapat “nyantri” dan mengaji kembali kitab-kitab tua di sela Subuh dan malam hari. Di masa-masa itu, saya benar-benar tenggelam dalam permenungan dan laku. Hingga setitik cercah pemahaman mulai menyapa diri. Dari timbunan diskursus dan tradisi kesarjaan colonial berkait Jawa dan Indonesia, saya lamat-lamat bisa memahami bahwa terdapat narasi yang relatif padu berkait usaha mengkorting peran Islam dalam penubuhan struktur ke-Indonesiaan dalam konteks kepentingan langgengnya kekuasaan kolonial. Karena hanya Islamlah pada masa itu yang menjadi tenaga revolusioner yang terus saja dan selalu saja mengobarkan “perang sabil”, “sabilollah”, “kapir landa”, dll.
Dalam kasus Jawa, titik pentingnya ada pada peristiwa besar Perang Diponegara, yang kita tahu, sebagaimana dikatakan Ricklefs dalam tiga karya berpengaruhnya tentang sejarah Jawa, Mystics Synthesis in Java (2006), Polarising Javanese Society (2007), dan Islamization and Its Opponents in Java (2012), yakni hingga setidaknya sampai terbelahnya Jawa di perjanjian Giyanti (1755), Islam telah menjadi identitas pemersatu kejawaan (baca: wong selam). Orang Jawa, sejak saat itu tak lagi bisa membayangkan dirinya di luar kerangka identitas (pandangan dunia) ke-Islamannya. Praktik-praktik tradisi yang hari ini kita anggap sebagai produks sinkretisme Jawa, oleh masyarakat dulu justru dipandang sebagai penanda penting keber-Islamanya yang sekaligus malah membedakannya dengan periode Hindu-Budha Majapahitnya, yakni seperti menembang macapat, ziarah kubur, sedekah bumi, pagelaran wayang, selametan (kenduri), perayaan sekaten, panduan Primbon, garebeg besar maupun garebeg mulud, dan masih banyak lagi.
Belakangan saya tahu, bahwa praktik-praktik ini, sebagaimana telah ditunjukkan pada gugatan Nancy Florida di buku “Jawa-Islam di Masa Kolonial”-nya (Buku Langgar, 2020), bahwa apa yang sering dikhayalkan oleh para penjajah Belanda sebagai bentuk “kesalahan-kesalahan ber-Islamnya orang Jawa” ini justru merupakan sebentuk usaha orang Jawa menerjemahkan “tasawuf” dalam konteks pergulatan kebudayaannya, dimana keberagamaan bercorak “sufistik” (Jawa) tersebut merupakan modus keberagamaan umum di zaman itu, yang memang terlalu pelik disandarkan dan dibandingkan dengan kriteria keberagamaan Islam bernuansa formal hari ini. Bahkan dalam karya “the Seen and Unseen Worlds in Java”-nya (1998), Ricklefs mengatakan bahwa bangun filosofi mendasar sistem pemerintahan Mataram yang didirikan oleh Panembahan Senapati dan mencapai puncak kejayaannya di masa Sultan Agung itu–berdasarkan telaahnya atas naskah Suluk Garwa Kencana, Kitab Usulbiyah, Carita Iskandar, dan Carita Yusuf-nya–justru merupakan kerajaan Islam yang didasarkan pada kerangka dasar gagasan dan pengelolaan sistem filosofi “kerajaan dalam diri”, alias sistem filosofi-pandangan dunia tasawuf atau sufi terkait manusia paripurna (insan kamil) melalui sebuah peperangan dalam diri atau jihad besar (Sufi political philosophy).
Namun begitu, itu temuan dan omongan para sejarawan mutakhir, yang mulai sedikit memberi ruang gugatan (atas narasi kolonial lama) dan rekontruksi baru atas peran Islam yang sebenarnya, seperti dikatakan oleh Marks Woodward (1997) dalam karya “Islam in Java”-nya: bahwa “agama masyarakat Jawa adalah Islam, sebab doktrin Islam (esoterisme Islam) telah mengganti Hindhuisme dan Budhisme sebagai aksioma kebudayaan,” yang sayangnya oleh Ricklefs masih diberi label neologi samar yang berkonotasi campuran dan “tak murni”: Mystics Synthesis.
Ada catatan menggunung ihwal gugatan saya terkait skema bangun historis yang ditawarkan Ricklefs berkait pembacaannya tentang sejarah Jawa, terutama berkait istilah peyoratifnya–sebut saja–“perpaduan mistik atau sintesis mistik” (mystics synthesis) yang menjadi judul utama bukunya, yang ia pakai untuk menandai penubuhan Islam di Jawa. Namun biarlah itu menjadi tanggungan tulisan lain dan terpisah, yang semoga bisa saya kerjakan di waktu mendatang. Juga terkait terma “polarisasi masyarakat Jawa”-nya Ricklefs, yang sayangnya masih berbicara dari dasar pemilahan antropolog Amerika, Clifford Geertz, dengan intensi memperuncing strukturasi trikotomi dengan istilah “abangan, santri, dan priyanyinya”–yang kita tahu dari tulisan sang antropolog Amerika penulis “Agama Jawa” (Geertz) ini keluar kalimat dan konseptualitas yang menyakitkan, bahwa “Sunan Kalijaga” adalah personifikasi kelanjutan daya kultural pra Islam Jawa, seorang eksemplar sosok representasi tradisi yogi kuno yang menyambungkan cara pandang Jawa dengan masa lalu, yang sayangnya pernyataannya masih kita amini dengan kukuh (Islam Observed: 1971, The Diary of Javanese Muslim: 1985).
Ia, Ricklefs, dalam analisis pemilahannya, saya andaikan, berangkat dari fondasi Islam “murni” yang ia khayalkan menjadi dasar penilaian untuk menyaring apa “yang ortodoks” dan “apa yang heterodoks” (layaknya struktur ortodoksi/heterodoksi dalam kerangka agama Katholik. Dan hingga kini masih menjadi dasar analisis jamak para sarjana kita dalam memetakan keber-Islaman Jawa lama). Yakni sebuah usaha untuk memperbarui (juga sebenarnya sekaligus masih mengafirmasi) di satu sisi pemilahan tiga varian “The Religion of Java” sebagaimana dilakukan Geertz, namun di sisi lain justeru masih memendam dan menyimpan praasumsi terkait “ketidakmurnian” ke-Islaman masyarakat Jawa dengan memakai standar penilaian “Islam murni” hari ini. Ricklefs mengaitkan praktik terkait kepercayaan dan penerimaan kekuatan daya rohani atas tempat keramat, petilasan, dan makam wingit, juga penghormatan kepada para tokoh gaib ataupun suci lokal seperti “Sunan Lawu, Nyai Rara Kidul, maupun Kyai Slamet (dll), juga termasuk praktik “ngalap berkah” di petilasan para wali-wali tanah Jawi, dll, sebagai satu ciri campuran atau perpaduan mistiknya orang Jawa. Saya membayangkan tamsil sederhananya, ia, Ricklefs, mengimajikan secara naive dan polos, sebagai praandaian imajinatifnya, bahwa kata “dewi” dalam sematan “dewi rara kidul” punya konotasi kedewaan atau bahkan Tuhan (baca: kata Dewa dan Dewi)–padahal tak pernah ada dalam preseden sejarah orang Jawa seawam apapun membayangkan sosok Rara Kidul sebagai Dewa atau Tuhan. Dan oleh karena itu praktik pengkeramatan makam dan tokoh-tokoh suci lokal ini dianggap sebagai nilai yang membuat ke-Islamaan masyarakat Jawa ini tertolak keabsahannya, yang darinya mendapat sematan peyoratif “tidak murni” atau “sinkretik” (atau dikatakan secara lebih halus dengan terma synthesis), yang jika kita telaah, sebenarnya merupakan praktik jamak di berbagai belahan dunia Islam di masa tersebut sebagaimana dikatakan Marshal Hodgson dalam “The Venture Islam” (1974), yakni sebelum praktik-praktik tersebut tersapu bersih oleh standar dakwah & gerakan Salafi-Wahabi saat menyebar ke dunia muslim di akhir abad 20.
Namun begitu, sebelum me-review pendapat para sarjana beserta temuan kotemporernya seperti ditulis Ricklefs, Woodwards, maupun Nancy K. Florida seperti telah saya singgung di atas, saya mendapati cerita dan narasi lain, yakni narasi kesarjanaan kolonial atau bahkan hingga masa paska kolonilal ini, yang benar-benar ingin menggusur kontribusi kemenyatuan Islam dan kejawaan yang di waktu itu nyaris mengombang-ambingkan pergulatan “eksistensial” pencarian identitas ke-Indonesiaan, ke-Jawaan, juga ke-Islaman saya sendiri ihwal kedirian yang tertanam dalam kontruks sosial-kebudayaan masyarakat sepesifik dan partikular. Usaha saya untuk mengenali kedirian diri saya sendiri, dalam pengertian mendasarnya, yakni berusaha mengenali arah sangkan-paran kehidupan dalam sebuah perjalanan atau suluk, atau lelaku (baca: sufisme Jawa), yang akan menggeret para pe-laku yang bisa mengantarkan pengenalan realitas hakiki ketuhanan–sungguh benar-benar membentur tembok besar tradisi kesarjanaan kolonial (juga paskalonial) yang berusaha secara keras memisahkan keislaman dan kejawaan yang merupakan fakta menubuh yang saya alami sejak di masa kecil maupun belakangan sekaligus mencipta dampak asing dan mengasingkan terhadap diri dalam satu tarikan nafas.
Usaha saya untuk mengenali kedirian diri saya sendiri, dalam pengertian mendasarnya, yakni berusaha mengenali arah sangkan-paran kehidupan dalam sebuah perjalanan atau suluk, atau lelaku (baca: sufisme Jawa), yang akan menggeret para pe-laku yang bisa mengantarkan pengenalan realitas hakiki ketuhanan–sungguh benar-benar membentur tembok besar tradisi kesarjanaan kolonial (juga paskalonial)
Berbekal tumpukan file yang menyesaki hard-disc eksternal yang saya miliki, saya mulai sedikit bisa meraba ihwal gambar besar, bagaimana misalnya usaha “struktural” dan “sistematis” yang dilakukan penjajah dalam pendirian lembaga javanologi bernama Institut Bahasa dan Budaya Jawa/Het Isntituut voor de Javaansche Taal ( yang memang dibentuk tepat setelah berakhirnya perang Jawa dari sejak tahun1832)–yakni sebuah lembaga pengkajiaan Jawa pertama yang selanjutnya akan menjadi cikal bakal yang mengikuti terbentuknya pendirian Delf University dan Leiden University di Belanda–yang berusaha dengan keras menggariskan tata kebudayaan Jawa baru terutama bagi priyayi Jawa yang telah tunduk, yakni–mengikuti Nancy K. Florida, sebuah kebudayaan Jawa “asli” dan “essensial” yang di belakang hari akan dipandang sebagai bernilai adiluhung. Lembaga ini hendak mencipta, memonumentalisaikan dalam batas melingkar benteng Istana keraton Surakarta dan untuk para bangsawannya yang telah dalam kendali tadi, apa yang disebut “cagar kebudayaan adiluhung” Jawa, dan dengan segera mengembangkan, mendefinisikan, (dan sekaligus menggariskan) kebudayaan Jawa yang terpisah (dan memisahkan) diri dan berseberangan dengan Islam. Karena bagi para sarjana dan elit-elit penjajah, selama Islam masih menjadi identitas yang terhayati sebagai penyatu identitas kejawaan, kekuasaan kolonial tidak akan pernah tenang dan langgeng.
Trauma besar perang Dipanegara (1825-1830) dengan panji “perang Sabil” dan panji Islam tradisionalnya, semakin mempertajam kesadaran akan rumusan “Jawa essensial” ini, yang seturut perkembangannya juga melecut para sarjana dan indolog Belanda untuk mengimajikan akar “kejawaan essensial” yang belum terintrusi “agama padang pasir” (Islam) ini, yakni dengan secara intensif mencari sumber naskah dan menggali temuan-temuan filologis yang mengarah ke masa lalu Jawa di masa Hindu-Budhanya yang begitu jauh–yang sebenarnya telah dilupakan orang Jawa dalam rentang abad yang begitu panjang, atau dalam kasus lain setidaknya narasi sejarah masa lalu yang telah digubah di era Yasadipura tersebut, sejatinya telah mendapat bingkai strukturasi pandangan dunia baru yang telah tertransformasi oleh struktur pandangan dunia agama baru.
Sehingga sungguh tak mengherankan jika misalnya, naskah-naskah Jawi kuna, seperti naskah Kakawin Negara Kertagama, justru ditemukan JLA Brandes di Lombok tahun 1894 (konon malah diagungkan para elit kerajaan Lombok sebagai naskah pusaka Islam (?)), atau Pararaton yang ditemukan di Bali (1897) justru dikaji secara intensif malah di penghujung akhir abad 19 maupun di awal abad 20. Atau seturut penemuan bangunan-bangunan kuna candi-candi dan petilasan penting, yang memang secara intensif telah sebelumnya marak dikerjakan, maupun juga termasuk penemuan reruntuhan Borobudur yang lebih dulu digerakkan oleh tim Thomas Stanford Raffles, beserta nama “Borobudur”-nya itu yang untuk pertama kalinya justru baru kita temui di karya “History of Java”-nya di awal abad 19.
Para javanalog dan indolog membayangkan, dengan cara menemukan serta mengintensifkan temuan arkeologis dan filologis Jawa di masa lalu Hindu-Budhanya yang begitu jauh– setelah sebelumnya merasa kecewa dengan naskah-naskah gubahan Jawa modern di rentang masa Yasadipura I hingga pujangga panutup Ranggawarsita, yang dulu oleh para sarjana kolonial dan javanolog, yang khususnya oleh sejarawan T.H. Pigeaud (1967) dalam karya “Literature of Java”-nya dielu-elukan sebagai masa “reneisan kesasteraan Jawa” karena perannya mentransimikan gubahan kakawin lama ke masa abad 18 & 19 Surakarta, dan segera oleh para sarjana kolonial akan ditinggalkan karena dipandang berbaur dengan skema “intrusi” cerita dan pandangan Islam. Dengan usaha ini para sarjana kolonial berharap para elit bangsawan Jawa bisa terpaut kembali dengan masa lalu jauhnya, yang oleh penjajah dibayangkan sebagai kejawaan yang masih “tenang” dan “terbebas” dari intrusi semangat revolusioner Islam. Yakni sebuah kejawaan “murni”, “damai”, alias kejawaan “jinak” yang diharapkan tunduk pada supremasi kolonial.
Politik domestikasi (penjinakan) para priyayi dan elit keraton Surakarta ini, saya bayangkan mencapai puncak supremasinya dan mencapai titik keberhasilannya saat berlangsungnya pemberlakuan politik tanam paksa (coersed drudgery) yang sering dikenal dengan nama cultuur-stelsel di tahun 1830-1870. Dan nyaris politik pengaturan kendali birokrasi dan administrasi di vorstenlanden maupun para bupati di seluruh wilayah mancanagari saat itu telah berada secara utuh dalam kendali kolonial. Juga termasuk kebijakan pembentukan lembaga pengadilan-pengadilan hukum yang berusaha memisah dan memilah antara kasus pidana dan rad agama yang sebelumnya menyatu, mengatur kendali administrasi birokasi dari mulai penghulu pusat hingga modin atau kaum di tingkat desa dalam struktur administrasi kolonial yang mulai bergaji gulden, juga hingga pengerahan birokrasi adipati (bupati) dalam kendali kolonial sebagai bumper kekuasaan untuk kesuksesan penyelenggaraan cultuur stelsel hingga tingkat lurah di desa-desa sepanjang pulau.
Saya membayangkan, hirarki sosial yang terbentuk secara alamiah dalam struktur sosial tradisional lama seperti golongan kawula alit, petani, bangsawan, pedagang, santri, dll, akan segera berubah secara mendasar seiring perubahan yang mengikuti, yakni terutama dalam konteks relasinya dengan kekuasaan atau tepatnya pada perubahan kekuasaan baru: dari keraton ke kolonialis Belanda. Dalam lanskap pengerukan sumber daya alam dalam proyek penanaman “tanaman-tanaman ekspor” yang diwajibkan oleh kolonial pada tiap wilayah di sekujur pulau Jawa ini, benar-benar akan menggeret hirarki maupun strata sosial seperti (1) petani, (2) pedagang, dan (3) bangsawan elit keraton akan secara vis-avis berdiri bertentangan, saling menegasi, menyangkal, dan sekaligus saling “konfrontatif”, juga pada akhirnya saling mengutub, yang segera akan meretakkan sekaligus merobohkan sendi-sendi integrasi sosial masyarakat Jawa lama yang sebelumnya terbangun.
Politik tanam paksa ini, yang barangkali konsekuensinya baru kita rasakan dan lihat belakangan, akan membenturkan strata sosial masyarakat, yakni saat (1) para bangsawan keraton dari mulai regenten (bupati) hingga pejabat desa–dimana dari sistem ini para pemimpin pusat dan lokal mendapat share prosentase keuntungan dari politik tanam–akan dijadikan (sekaligus tetap dipertahankan struktur lamanya) sebagai para pemimpin legitimate di bawah kendali administrasi kolonial untuk menunjang kesuksesan penyelenggaraan politik eksploitasi tanam, dan oleh karenanya akan semakin hari menjadikan kelompok bangsawan ini terpisah dan terbelah dari solidaritas rakyat atau kawulanya (yakni, Priyayi), maupun (2) kelompok mayoritas petani dan kawula alit yang menjadi subjek eksploitasi yang semakin kehilangan naungan dan perlindungan dari pemimpin aristokrat maupun pemimpin agamanya dalam penyelenggaran sistem tanam yang menjadikan kelompok alit ini tersuruk dalam kemelaratan (yakni, abangan), (3) kelompok pedagang Islam dan Haji kelas menengah, terutama di sepanjang pesisir pantai, yang sebenarnya relatif terbebas dari sistem ini, melalui keterlibatan ekonomis dan politiknya dalam menyuplai ketersediaan cash maney, untuk sistem denda, serah, dan ganti pembayaran dalam sistem tanam, persis layaknya peran yang dimainkan oleh para saudagar China, Arab, dan India (yakni, putihan). Maupun kelompok pemimpin agama tradisional, yang sebagian telah terserap maupun mengalami penyesuaian dan perubahan praktik beragama pada jalur “doktrin agama yang sedang bergeser dan berubah” di Tanah Arab–setelah sebelumnya mata rantai keber-Islaman mereka lambat laun terputus (atau bahkan diputus) dari jalur keterhubungannya dengan para aristokrat keraton (by design oleh otoritas Belanda) sejak kekalahan perang Dipanegara di tahun 1825-1830 (yakni, putihan, santri).
Gamblang dalam imaji saya, pada titik preseden ini, masyarakat Jawa beserta elemen strata sosialnya benar-benar disorong dalam pembelahan dan pengkutuban (baca: Polarizing Javanese Society), yang akan segera memecah, dan menciptakan gerak saling berbenturan (dan membenturkan) antar kelompok dalam bangun keutuhan masyarakat Jawa, yakni dalam konteks relasinya dengan perubahan kontelasi kekuasaan Jawa. Kita tahu paska perang, penguasa Belanda beserta jajaran para “sarjana” dan “javanici”-nya berusaha mendayagunakan peneletian intensif atas naskah-naskah keraton, bahkan dengan cara merampasnya, untuk mengkhayalkan dan mendefinisikan secara baru, alih-alih daripada menganilisis keanekaragaman budaya ini di tiap wilayahnya, yakni sebuah tata-pengetahuan dan kebudayaan Jawa dalam bingkai “Jawa asli”–dan ini berarti akan menggusur peran Islam–yang akan dipersembahkan (sekaligus mereka bayangkan sudah seharusnya menjadi) milik ekslusif para priyayi yang telah tunduk. Para priyayi akan semakin terserap dengan kebudayaan dan gaya hidup baru, berikut kenyamanan yang diberikan oleh penguasa baru Eropa (alias telah terbelandakan), yang kian hari akan ikut mempercepat ketercerabutan mereka dengan universum pandangan Islam tradisional mereka. Juga termasuk peran sumbangan penyelidikan intensif arkeologi dan filologi yang dikerjakan para javanologi kolonial yang mulai mengarahkan penelitiannya ke masa lalu Hindhu Budha di masa Majapahait dan sebelumnya, yang dalam beberapa takaran tertentu yang akan memberi insight (atau tepatnya juga menggeser) ketersambungan Jawa yang diandaikan akan dibatinkan untuk para bangsawan keraton taklukannya ini, yakni dengan masa lalu pra Islamnya yang begitu jauh.
Kita tahu paska perang, penguasa Belanda beserta jajaran para “sarjana” dan “javanici”-nya berusaha mendayagunakan peneletian intensif atas naskah-naskah keraton, bahkan dengan cara merampasnya, untuk mengkhayalkan dan mendefinisikan secara baru, alih-alih daripada menganilisis keanekaragaman budaya ini di tiap wilayahnya, yakni sebuah tata-pengetahuan dan kebudayaan Jawa dalam bingkai “Jawa asli”–dan ini berarti akan menggusur peran Islam–yang akan dipersembahkan (sekaligus mereka bayangkan sudah seharusnya menjadi) milik ekslusif para priyayi yang telah tunduk
Saya menduga, ketercerabutan ini selanjutnya di masa awal abad 20 akan diperparah dengan bergabungnya para priyayi keraton maupun priyayi rendahan di berbagai wilayah dalam memasuki sistem pendidikan modern yang diintrodusir Belanda di masa Politik Etis (1901), yang secara tak sadar, akan benar-benar memutus struktur bangun pandangan dunia lama maupun epistemologi sistem pendidikan tradisional Islam esoteriknya (pesantren), dan oleh karenanya akan membuat mereka terserap dan terintegrasi secara umum ke dalam kebudayaan Belanda (kamilandanen). Bahkan melalui bantuan penelitian filologis dan arkeologis sarjana Belanda yang semakin hari kian intensif, para priyayi akan berhasil menautkan diri dengan masa lalu Hindu-Budhanya (sebagian) dalam payung gerakan Theosophy yang disebarkan oleh terpelajar Eropa. Yang lebih mencengangkan, di level akar rumput, seiring tingkat keterputusan maupun keretakan masyarakat ini, mulai akan ditemukan menjamurnya “aliran kebatinan” yang sebenarnya merupakan fenomena baru sejak awal 1930 hingga 1960-an, yang lambat laun “secara resmi” memisahkan dari bangun struktur pandangan dunia Islam seperti ditanamkan para wali tanah Jawi sejak masa islamisasi.
Penanda keretakan maupun pengkutuban masyarakat sebagai dampak dari sebut saja, baik by design atau (sebagian lain) tidak, dari politik kebudayaan maupun pengetahuan kolonial ini, adalah munculnya istilah “abangan” yang sebenarnya baru muncul di periode akhir abad 19 (sekira 1870an, menurut Ricklefs), alias ia merupakan fenomena baru. Setidakanya istilah ini, “abangan”, yang mengacu pada defenisi baru sebagai kelompok masyarakat yang punya preferensi berbeda dan telah terpisah terkait pandangan keagamaan, yang membedakan dirinya dari preferensi sekelompok lain dalam satu bangun keagamaan dalam Islam Jawa, semakin mengutub dan saling menegasi dengan kelompok lain sesama muslim Jawa. Fakta penguatan dan pengutuban preferensi keagamaan ini juga dipicu, selain juga dampak lanjutan disintregasi yang diciptakan sebagai rentetan dampak penerapan politik tanam paksa maupun pemutusan mata rantai keterhubungan pendidikan tradional Islam dengan keraton sejak kekalahan perang Jawa, juga disebabkan perubahan orientasi yang terbarukan di “pusat Islam” di tanah Arab yang mengubah pribumi muslim karena terpengaruh ide-ide reformisme Islam yang mulai menyebar ke seluruh dunia Muslim. Hal ini berarti para jemaah haji setelah kepulangannya dari tanah haram, mulai akan mempertanyakan corak praktik keberagamaaan saudara muslim tradisionalnya, dan oleh karenanya dalam takaran tertentu semakin mendesakkan praktik keagamaan baru yang sekaligus turut memeperuncing pengutuban yang telah sejak semula terdeteksi. Muslim Jawa, seperti halnya Ranggawarsita dengan corak pengetahuan mistisisme Islam tradisonalnya semakin tak lagi mempunyai ruang artikulasinya, dan oleh karenanya akan semakin tersuruk ke pinggir sejarah.
Polarisasi masyarakat Jawa semakin tak terhindarkan. Seluruh spektrum pergerakan nasional di awal abad 20an, seperti Jawi Kanda, Budi Utama, Serikat Islam, baik yang merah maupun yang hijau, juga Jong Java, dll, serta bahkan termasuk ormas Muhammadiyyah, Nahdlatul Ulama, dan Taman Siswa, hingga (pada tahun selanjutnya, sebelum dan sesudah kemerdekaan) seperti Murba, PSSI, PNI, PSI, dam lain-lain benar-benar mencerminakan dan merepresentasikan pengkutuban dan pembelahan “preferensi keagamaan” yang sebenarnya telah berlangsung merangkak dari abad sebelumnya. Hingga titik ini saya menjadi mafhum, dan bisa memaklumi kegelisahan seorang Kartini yang merasa di satu sisi sebagai seorang muslim namun tak pernah mengenal kitab sucinya (yang kemudian mendorongnya berguru pada Kiai Saleh Darat di Semarang), maupun polemik terbitan Suluk Gatholoco juga “olok-olok” di majalah Djawi Hisworo (1918) yang memuat “penghinaan” dengan konten subversifnya atas Islam, yang sempat memicu ketegangan dan kemarahan muslim dalam tubuh Serikat Islam, maupun rumor terkait Jawa yang akan segera beralih kembali ke agama “Budhi” seperti disabdakan Sabda Palon Nayagenggong yang mengemuka dan menggema untuk pertama kalinya di awal abad. Saya rasa dalam konteks keterbelahan seperti itulah, sebut saja “politik pecah belah kolonial” itu akhirnya menemukan preseden awal perbenturannya antar sesama warga “bangsa” sendiri.
Hingga titik ini saya menjadi mafhum, dan bisa memaklumi kegelisahan seorang Kartini yang merasa di satu sisi sebagai seorang muslim namun tak pernah mengenal kitab sucinya (yang kemudian mendorongnya berguru pada Kiai Saleh Darat di Semarang), maupun polemik terbitan Suluk Gatholoco juga “olok-olok” di majalah Djawi Hisworo (1918) yang memuat “penghinaan” dengan konten subversifnya atas Islam, yang sempat memicu ketegangan dan kemarahan muslim dalam tubuh Serikat Islam, maupun rumor terkait Jawa yang akan segera beralih kembali ke agama “Budhi” seperti disabdakan Sabda Palon Nayagenggong yang mengemuka dan menggema untuk pertama kalinya di awal abad.
Hingga bangsa ini menyongsong kemerdekaan 1945 juga penyelenggaraan pemilu pertama di tahun 1955, polarisasi dan keterbelahan masyarakat warisan kolonial ini, semakin menyeret pengkutuban “ideologis” yang mengumpul dalam partai politik: nasionalis, agama, komunis, dll yang muncul di era itu. Titik integrasi yang menyatukan sebuah masyarakat, yang di masa dahulu selalu berarti sebuah pandangan dunia agama tertentu– karena belum muncul ideologi tandingan seperti demokrasi, nasionalisme, sosialisme, negara bangsa, kapitalisme, komunisme, dll–akhirnya tak lagi kuat menampung daya rengkuhnya. Di tahun 1965-66, pengkutuban masyarakat yang tercipta awal di masa-masa kolonial, yang sejatinya pada awalnya merupakan polarisasi preferensi keagamaan yang kemudian tergeret pada politik pengerahan massa partai politik yang saling berkonfrontasi secara idedologi. Di masa itu tragedi kemanusiaan pecah, bangun penyatu lama bernama “Jawa-Islam” terkoyak. Dan sesama anak bangsa saling membunuh dalam sebuah peristiwa yang sering disebut genosida dalam peristiwa G30/S yang terekam di buku-buku sejarah kita. Dan kita hingga hari ini masih menggendong beban sejarah besar ini, yang barangkali pada dan dari titik itu, banyak simpul masalah kebangsaan bisa kita atasi dan pecahkan.
Di tahun 1965-66, pengkutuban masyarakat yang tercipta awal di masa-masa kolonial, yang sejatinya pada awalnya merupakan polarisasi preferensi keagamaan yang kemudian tergeret pada politik pengerahan massa partai politik yang saling berkonfrontasi secara idedologi. Di masa itu tragedi kemanusiaan pecah, bangun penyatu lama bernama “Jawa-Islam” terkoyak.
***
Saya sengaja memilih sedikit berlarat mengurai proses ekslusi Islam atas proses penubuhannnya dalam masyarakat Jawa di awal pengantar ini bukan tanpa alasan. Selain dikarenakan oleh pola penceritaan tulisan (dari sudut pergulatan personal) yang diharapkan bisa lebih intim, dekat, dan bahkan sedikit emosional, yang bisa menggeret para pembaca untuk terlibat maupun ikut menceburkan diri dalam kompleksitas diskursus ini, juga sebenarnya dinafasi ajakan pembayangan melalui penelaahan juga pembatinan dan pergulatan historis sejenis (dalam kasus saya, Jawa) yang sebenarnya juga berlangsung di banyak tempat di wilayah kepulauan yang hari ini kita namakan Indonesia. Saya membayangkan, di banyak tempat di wilayah Nusantara ataupun Indonesia (dan ini ditunjukkan oleh tersebarnya kesultanan Islam di seluruh penjuru kepulauan ini), Islam, yakni sebelum kolonialisme mencengkram, bagaimanapun telah menjadi perekat “tradisional” (atau katakanlah proto-nasionalisme persatuan awal dalam gradasi tertentu), yang menghubungkan semacam kesamaan maupun irisan khasanah kebudayaan dan peradaban Nusantara, yang akan (dan telah) sedikit banyak merajut keindonesiaan kita hari ini, yakni tentu dengan sekaligus diikuti penelaahan pada pelik penerjemahan lokal ajaran agama ini di tiap wilayahnya yang beragam. Bahkan di masa itu, Islam dalam tingkatan tertentu, telah menjadi identitas kesukuan yang tak terpisah dan terpilah lagi seperti kita lihat pada suku Minang, Sunda, Madura, Melayu, Aceh, Makasar, Banjar, Bugis, Lombok, dan masih banyak lainnnya.
Karena bagaimanapun, seperti saya telah singgung secara tersirat, usaha menyangkal realitas penubuhan Islam di Jawa ini bukan untuk pertama menonjolkan agama ini dan meminggirkan yang lain, namun semata langkah jujur dalam menelaah sejarah dan menerobos tembok besar kesarjanaan kolonial (juga paska-kolonial) yang barangkali akan berguna dalam merumuskan arah dan titik pijak perjalanan sebuah bangsa. Karena seperti yang telah saya paparkan dan singgung di buku saya, “Saya, Jawa, dan Islam” (Tanda Baca, akhir 2019), memang sangat diperlukan sebuah pembacaan kritis baru atas narasi sejarah kita terutama berkait Islam, karena merupakan realitas mayoritas terberi yang bagaimanapun punya sumbangsih besar dalam membentuk keber-agamaan mayoritas ke-Indonesiaan kita (dan tentu saja juga harus diikuti pembacaan sejenis atas agama-agama lain yang akan membantu pembacaan relitas keragaman yang mengukuhkan). Dalam konteks demokrasi yang secara faktual mengarah kepada kecenderungan “liberal” yang kita akrabi hari ini, yakni secara praktis memang punya kecenderungan ingin meminggirkan wacana agama semata di ruang privatnya, mungkin rasa-rasanya kita perlu memberi ruang insight ini: bahwa sekeras apapun usaha untuk memecahkan atau memberi arah dan solusi baru atas problem keindonesiaan kita, jika tanpa usaha dan pembacaan atas penanganan “agama” ini, sungguh akan dibayangi keretakan dan kegagalannya. Karena “agama ini” kian hari justu merupakan realitas yang terus saja meningkat dan tak mungkin lagi dipinggirkan dan diabaikan. Dan dari jalan ini barangkali bisa menjadi titik penting untuk menggali rumusan dan sodoran tawaran solutif untuk membaca ke-Indonesiaan, dimana memang dari sejak dini senyatanya, negeri ini, seturut dengan nilai keagamaan tersebut oleh karenanya memproklamasikan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai salah satu sila yang mendasari bangun filosofi dan dasar bernegaranya.
Karena bagaimanapun, seperti saya telah singgung secara tersirat, usaha menyangkal realitas penubuhan Islam di Jawa ini bukan untuk pertama menonjolkan agama ini dan meminggirkan yang lain, namun semata langkah jujur dalam menelaah sejarah dan menerobos tembok besar kesarjanaan kolonial (juga paska-kolonial) yang barangkali akan berguna dalam merumuskan arah dan titik pijak perjalanan sebuah bangsa.
Dan pada aras diskursus dan kegelisahan seperti inilah, yakni sebuah titik permulaan yang menggeret ke semesta kegelisahan dan pergulatan juga “perjalanan” yang mengombang-ambingkan diri seperti telah disinggung, Saya kemudian memutuskan untuk menyesap dan memulai berburu manuskrip dan naskah lama, utamanya naskah serat, babad, suluk, dan wirid, yang memang terdapat dalam kesusateraan Jawa, dan segera mulai mengakrabi huruf dan bahasanya, mengenali dan sekaligus memetakan khasanah sejarah dan keilmuannya, yang darinya saya berharap bisa merekontruksi secara baru narasi keilmuan dan sejarahnya yang terbebas dari bias-bias sejarah kolonial, yang dalam kasus saya, justru menutupi dan merintangi arah perjalanan dalam mengenali kedirian yang mengutuhkan.
Bahkan dalam kasus pergulatan sendiri, saya mulai pelan-pelan bisa menjumput khasanah kearifan baik yang masih hidup maupun terpendam dalam timbunan manuskrip kuno masyarakat saya, yang bukan saja akan membantu mengenali akar yang menyangga bangun keindonesiaan, melainkan secercah “makna” yang meneguhkan diri dalam sebentuk “derma” yang bisa mengutuhkan diri. Sebagai tamsil ringan, saya mulai tersapa pengertian bahwa konsep kemanusiaan dan prinsip ketuhanan, yang dalam konteks pergulatan kebudayaan Eropa sering dipandang sebagai dua nilai yang berdiri saling vis-avis dan saling menegasi seperti terekam dalam proses sekularisasi politik, seni, dan etika (aufklarung) yang mematang di masa-masa awal pembentukan negara bangsa masa modern, justru dalam kasus masyarakat kita merupakan dua prinsip yang saling mengandaikan.
Prinsip berkemanusiaan, yang dalam andaian nalar tradisi lama juga berarti bermakna proses berkebudayaan, justru menemukan pemaknaan mendasarnya dalam pengandaian yang menyatu dengan prinsip berketuhanan. Artinnya dilema pertentangan HAM internasional (prinsip etis kemanusiaan) dan nilai-nilai agama yang kita temui akhir-akhir ini justeru seringkali saling berseberangan dan menyangggah, pada nalar tradisinya merupakan prinsip yang tak terpisah dan saling mengandaikan. Dulu, kata “budaya” atau dalam istilah Serat Wedhatama misalnya disebut “budya” misalnya, adalah merupakan sebentuk olah budi kemanusiaan (amasah mesu budi) atau sepadan dengan gagasan hari ini tentang “mendayakan budi” kemanusiaan kita. “Budi” di sini tidak semata merujuk fakultas “akal” semata, melainkan mencakup seluruh fakultas ruhani dalam diri manusia berupa (1) “raga” atau “karsa”, (2) “cipta”, (3) “jiwa”, dan (4) “rasa”. Usaha manusia untuk mengolah keempat fakultas kemanusiaan ini, atau mendayakan budi ini (baca: budi daya, budaya) adalah usaha untuk mengutuhkan proses berkemanusiaan seseorang itu sendiri. Artinya proses berkebudayaan adalah proses berkemanusiaan itu sendiri.
Namun begitu, proses berkemanusiaan pada konsep lamanya masih mengaitkan dan mendasarkan prinsipnya pada konsep ketuhanan, atau bahkan masih berbicara dalam konteks penerjemahan nilai ajaran agama tertentu. Artinya, jika kita bersepakat pada defenisi sederhana bahwa kebudayaan merupakan sebuah proses maupun hasil olah (1) cipta, (2) karsa, (3) rasa manusia sebagaimana diintrosudir oleh Koentjaraningrat–dalam skema Wedhatama masih mengikutkan fakultas (4) Jiwa–kebudayaan justru dipandang sebagai laku mengutuhkan proses berkemanusiaan sesuai seruan ajaran agama tertentu, dan oleh karenanya proses tersebut masih bersangkut dengan pengandaian ontologi manusia yang bersifat ruhani. Karena, di hari ini rasa-rasanya, kebudayaan, seturut padanan istilahnya “cultuur” atau “culture” yang lebih dekat dengan arti “bercocok tanam” yang sebenarnya tidak terlalu sepadan dengan istilah “budaya”–benar-benar hanya mengarah pada aktivitas hasil cipta yang profan, material, yang tak tersambung dengan visi kerohanian, ketuhanan, maupun alih-alih visi kehidupan akhir kelak seperti diyakini dalam ajaran agama-agama kita.
Dalam uraian Wedhatama, proses olah berkebudayaan, atau mendayakan budi kemanusiaan ini (cipta, karsa/raga, jiwa, dan rasa) adalah semacam laku mengolah potensi “ruhani” manusia, yang berangkat dari andaian bahwa yang ruhani dalam diri kemanusiaan itu seseorang tersambung dengan realitas terdalam ketuhanannya. Makanya dalam kasus pengandaian ontologi manusia ini, usaha mengolah dan menggali potensi diri ruhani ini disebut laku atau suluk–sebuah istilah sufisme yang diserap dalam perbendaharaan genre tembang kesusateraan Jawa (macapat) maupun terserap dalam istilah pewayangan (wayang kulit purwa), maupun sebenarnya sudah terserap dalam perbendaharaan istilah Indonesia secara umum–yakni sebuah laku menyempurnakan kedirian kemanusiaan seseorang (insan kamil, janma utama) dalam rangka penerjemahaan dorongan “fitrah” ilahi yang terberi dan ternanam secara inhern dalam diri manusia berupa dorongan “kebaikan”, “keindahan”, dan “kebenaran”.
Laku penyempurnaan kemanusiaan ini berlangsung secara bertahap dalam sebuah jenjang gradasi menaik sesuai rentang masa perjalananan hidup seseorang, yakni persis seperti terekam dalam kandungan arti harfiah kata “suluk” yang memang memiliki arti “perjalanan” “lelaku” “lakon”, “mlaku” atau “laku” kehidupan manusia dari semenjak dari dia berada dalam kandungan (maskumambang) hingga maut menjempunya (Pucung) dalam bingkai pandangan dunia lama terkait asal dan tujuan kehidupan manusia (sangkan paraning dumadi/Innalillahi wa inna ilaihi raji’un, asal dari Tuhan dan akan kembali pada Tuhan).
Oleh karenanya laku berkebudayaan (kebudayaan) ini masih berada dalam galur olah ruhani (baca: lelaku atau olah spiritual dalam bahasa Jawanya) untuk menuju keutuhan kemanusiaan dalam bingkai penerjemahannya terkait aktualisasi dorongan “lurus” yang diafirmasi oleh ajaran kebenaran “universal” agama dalam konteks pergulatan kemanusiaan yang lebih specifik, khusus, dan partikular sebuah masyarakat atau bangsa tertentu, yang oleh karenanya tidak semata menghasilkan produk nilai “baik-buruk” yang menghakimi, melainkan juga “kearifan” (ma’rifat), “kebijaksanaan” “hikmat”, dan “adat-istiadat” (‘urf) yang beragam, yang sampai hari ini senyatanya masih menyangga bangun integrasi masyarakat Indonesia secara umum.
Sehingga tak mengherankan jika term laku berkebudayaan, dalam nalar lama Serat Wedhatama misalnya, masih berbicara dalam konteks penerjemahan ajaran agama tertentu. Bahkan untuk menamai juga mengelaborasi olah mengutuhkan potensi kemanusiaan alias olah (1) raga/karsa, (2) cipta, (3) jiwa, dan (4) rasa manusia ini, Serat ini masih berbicara persis seperti padanan tahapan dalam jenjang ber-suluk dalam tradisi spiritualitas Islam, yakni (1) olah Karsa/Raga (Syari’at), sebuah laku mengolah disiplin tubuh (raga) juga potensi kehendak (karsa) atau dorongan natural, maupun sekaligus mendisiplinkan kecenderungan nafsu egotisme yang merusak diri dan kebersamaan melalui panduan awal “hitam-putih” dan “baik-buruk”, serta kemudian (2) mengolah potensi dan menajamkan cipta akal pikiran (Tarikat) untuk mengenali “baik-buruk” dalam dimensi kebenaran yang lebih tinggi beserta “reason” yang mendasarinya, atau termasuk juga di dalamnya eksplorasi batas imajinasi, analisis, abstraksi, refleksi, inovasi, terkait kebenaran yang sebenarnya telah terberi secara inhern pada manusia, (3) juga mengorientasikan terus-menerus kemurnian tekad, niat, dan jiwa kita (Hakikat) untuk terus bersetia pada nilai-nilai “lurus” yang akan menjadi pandu arah kiblat “nilai-nilai ketuhanan” yang bersemayam dalam diri kita (kemanusiaan luhur), yang seringnya justru kalah, larut, dan hanyut dalam godaan “pamrih”, egotisme diri, nafsu, serta gemerlap capaian material kebudayaan, yang kadang menggusur arah perkembangan nilai kemanusian dan kehidupan yang lebih hakiki, serta terakhir (4) melatih potensi rasa hingga titik terdalamnya (Ma’rifat) yang akan meningkatkan tahapan kebenaran dan kebaikan hidup ke titik paling puncak dan sublim estetiknya yang akan menyuburkan sifat kasih, tenggang rasa, empati, rasa sama, rasa-satu, keindahan, maupun keluruhan kemanusiaan secara utuh.
Dari visi pandangan dunia lama ini, lamat-lamat saya bisa merangkai bahwa proses berkebudayaan atau proses berkemanusiaan itu sendiri adalah usaha penerjemahan nilai ketuhanan yang sayangnya dua hal ini (budaya vs agama) sering diperhadap-hadapkan secara biner di hari ini. Dan dari skema ini pula saya mulai sedikit mengerti kenapa misalnya prinsip kemanusiaan, seperti tertera dalam falsafah bangsa ini: Pancasila, selalu harus disandarkan pada prinsip ketuhanan, karena memang spirit penerjemahan kebenaran universal sebuah agama tertentu, harus (dan selalu harus) membantu sebuah proses pergulatan dan laku berkemanusiaan sebuah masyarakat yang lebih spesifik sesuai tantangan khas, partikular, dan lokalnya (Ketuhanan). Yakni sebuah prinsip nilai ketuhanan yang telah membantu “perjalanan” spesifik berkebudayaan dan sekaligus proses berkemanusiaan sebuah bangsa tertentu, alias telah membantu dan menelurkan budi utama, akhlak, dan adab, yang tidak lagi mengekslusi, menggusur, dan menafikan agama-agama lain dalam payung kebersamaan yang menyatukan (Kemanusiaan dan Persatuan). Atau meminjam istilah Soekarno, sebuah “ketuhanan yang berkebudayaan”: ketuhanan yang tak lagi menyalahkan “tuhan-tuhan” agama yang lain. Yakni sebuah capaian ketuhanan yang tak lagi egoistis yang telah bisa melampaui horizon kebenaran syariat “baik-buruk”-nya yang masih terbatas, menuju kepada tata kebenaran dan kebersamaan, dan kerakyatan yang telah dipandu “hikmat-kebijaksanaan,” dan kearifan yang merangkul keragaman dalam sebuah permusyawaratan (Kerakyatan). Sehingga dari proses berkemanusiaan tersebut dengan sendirinya akan mengantarkan manusia Indonesia lebih bijaksana dalam mengenali serta mendudukkan capaian “kebenaran” tersebut sesuai porsi, tempat, dan kedudukannya dalam perjalanan kehidupan berbangsa, alias telah mengenali aspek ketidakadilan dalam pergulatan pikiran dan tindakan diri sendiri yang merupakan prasyarat utama dalam menciptakan tata-keadilan sosial yang menyeluruh bagi bangsa (Keadilan).
Atau meminjam istilah Soekarno, sebuah “ketuhanan yang berkebudayaan”: ketuhanan yang tak lagi menyalahkan “tuhan-tuhan” agama yang lain. Yakni sebuah capaian ketuhanan yang tak lagi egoistis yang telah bisa melampaui horizon kebenaran syariat “baik-buruk”-nya yang masih terbatas, menuju kepada tata kebenaran dan kebersamaan, dan kerakyatan yang telah dipandu “hikmat-kebijaksanaan,” dan kearifan yang merangkul keragaman dalam sebuah permusyawaratan (Kerakyatan).
***
Akhirnya, setelah masa pergulatan atau sebut saja “perjalanan” (suluk) yang mengombang-ambingkan diri, saya mulai bisa mengenali rintangan diskursus akademik atau tepatnya tembok diskursus kolonial yang dulu dicipta oleh kolonialisme dalam kepentingannya baik secara ekonomi, politik, dan kebudayaan, yang ingin melanggengkan supremasi kekuasaannya, yang sayangnya dalam gradasi tertentu, narasi diskursusnya masih dirawat dan diyakini kukuh oleh para sarjana paskalolonial hari ini. Bagi saya, mungkin rintangan tersebut, terletak pada narasi (struktur pandangan dunia) Islam yang berusaha dipinggirkan di pojok sejarah, yang di belakang hari kita tahu justru memecah keterbelahan integrasi bangsa yang terus saja membebani sejarah perjalanan bangsa ini.
Hingga sekira tahun 2011, saya akhirnya, beserta sekelumit teman, dengan segenap kemampuan dan tekad akhirnya memberanikan diri mendirikan lembaga kajian dan penerbitan buku yang kami namai, Ifada Initiatives, dengan tagline yang kami harap sedikit bisa menopang semangat dan mewadahi penerjemahan pergulatan kami, yakni “Khasanah Pemikiran Nusantara”. Buku-buku berkait tema kajian Indonesia atau bahkan khasanah pemikiran dan sejarah Nusantara, baik dari hasil pemikiran sarjana Indonesia maupun hasil terjemahan karya dan beberapa disertasi di universitas-universitas luar negeri yang memang senafas dengan “cara dan arah pembacaan” kami, akhirnya kami terbitkan satu-persatu dengan telaten dengan balutan kecintaan yang menggebu.
Puluhan judul sudah kami terbitkan. Namun sepertinya segenap tekad kukuh dan rasa cinta yang membalutinya ternyata tak terlalu cukup. Hingga di awal tahun 2015, saya ambruk kembali. Miss-management mulai menggorogoti sendi-sendi pengelolaan kelembagaan kami. Ifada Initiatives akhirnya terpaksa collapse dengan menanggung utang tak terbilang sedikit. Teman-teman yang menemani perjalanan kelembagaan ini, hengkang satu-per-satu, dan meninggalkan saya sendirian yang terpaksa harus menanggung kerugian yang membuat saya entah untuk sekian kali benar-benar tersuruk, yang bukan lagi dalam pengertian ruhaninya lagi melainkan dalam pengertian profan dan materialnya.
Saya sendiri mulai banyak merenung, dan berusaha sebisanya menegakkan diri. Hingga akhir 2017, alhamdulillah, saya bisa kembali memulihkan diri, serta menyeleseikan tanggungan-tanggungan utang-utang klien yang menunggu. Dan, sejak saat itu pula, saya mulai merintis diskusi ala kadarnya, dengan melibatkan teman-teman dekat yang saya rasa sedang bergulat atau menekuni isu tertentu yang bersangkut dan terpaut dengan Indonesia. Dari diskusi rutin ala kadarnya inilah, akhirnya saya bersama sekelumit teman mendirikan media kebudayaan bernama Langgar.co, yang karena pendalaman diskursus yang telah terbaharui, memutuskan untuk memperbaharui tagline dengan frase: “Suluk Kebudayaan Indonesia”. Media ini kami launching secara resmi di tanggal 18 September 2018, tepat di hari ulang tahun saya sendiri. Diskusi-diskusi yang telah berlangsung sebelumnya, kami pertahankan, meski saya sendiri bersama teman telah berpindah kantor di Piyungan Bantul. Media kecil Langgar.co yang pada awalnya kami niatkan sebagai ruang menampung tulisan dan pergulatan kami sendiri ihwal soal ke-Indonesiaan dan Islam, tak dinyana justru disambut deretan penulis-penulis prolifik dan terkenal yang membanjiri meja redaksi kami. Di waktu itu, rasa-rasanya saya sedang diterpa angin kegembiraan dan optimisme, setelah masa-masa tersuruk yang membenamkan diri.
Dan di tahun 2018 itulah kami mulai mengkaji dan menekuni dan naskah-naskah kuno, terutama naskah-naskah di era abad 16 hingga abad 19 akhir. Diskusi dengan tema “alternatif” dan berbeda, yang biasanya keluar dan luput dari bahasan akademisi kampus, sebagai misal terkait tema “pemikiran dan ajaran para wali tanah Jawi berdasar pembacaan naskah” kami intensifkan dan kembangkan secara rutin dan berjadwal, meski dengan peserta yang dibatasi dalam jumlahnya karena keterbatasan ruang di pendapa kami. Hingga sebuah kedatangan seseorang teman akhirnya mengubah secara mendasar rancang bangun kegiatan dan forum diskusi yang telah kami selenggarakan secara keseluruhan.
Pada penghujung akhir tahun 2018, seorang seniman ternama yang memiliki nama Jumaldi Alfi tiba-tiba mengunjungi Langgar. Ia bercerita bahwa pola maupun praktik keaagamaan di Minangkabau, yakni sebuah tempat dimana Alfi dilahirkan, mengalamai perubahan orientasi mendasar yang, seturut penuturannya yang bisa menarik haru, kian hari semakin bersemangat untuk menggusur manifestasi keragaman praktik keberIslaman bersendi adat. Katanya dengan mengharu, “surau-surau dirubuhkan bukan dalam pengertian metaforiknya seperti diceritakan A.A. Navis dalam cerita ‘Rubuhnya Surau Kami’, melainkan ia benar-benar dirobohkan dalam pengertian harfiah materialnya.” “Dan dengan segera masjid-masjid berarsitektur dan berdonasi Arab akhirnya tegak berdiri di antara puing-puing tradisi,” imbuhnya. Seniman ini juga menggarisbawahi terkait perubahan-perubahan mendasar orientasi praktik keagamaan muslim Minangkabau secara umum yang sayangnya justru semakin eksklusif dan tertutup dalam gerak praktik dan pemikiran keagamaannya. “Lalu kemana jejak ‘trah pemikiran’ tokoh besar Mohammad Hatta, M. Yamin, Hamka, dan (bahkan) Tan Malaka, juga sederet para sastrawan besar yang pernah dilahirkan Minangkabau?” tanyanya dalam nada menggebu.
Sejak siang itu, saya bersepakat dengan tawaran Uda Alfi, begitu saya biasa memanggilnya, untuk memindahkan forum diskusi Langgar.co, yang selanjutnya saya namai Forum “Suluk Kebudayaan Indonesia”–saya ambil sesuai tagline media kami–yang bertempat di Galeri Seni Sarang Bulidings milik sang seniman. Saya sendiri bersama Bagus Pradana, teman yang juga ikut mengawal berdirinya media Langgar.co, merancang dan menyusun perencanaan materi kajian Suluk maupun list para pemateri yang kami saring sesuai rekam-jejak pergulatan dan keilmuan maupun usaha serius mereka dalam menelurkan tawaran-tawaran alternatif-solutif atas pembacaaan arah kebudayaan Indonesia secara mendasar. Dan, tentunya, seturut dengan prasyarat yang dulu saya sodorkan ke Alfi untuk memberi apreseasi yang pantas kepada para pemateri, kami bisa sedikit memaksa para pemateri yang kami undang untuk menuliskan gagasan yang akan mereka sampaikan setidaknya dalam 15 halaman kertas folio. Selain itu, saya bersama Bagus Pradana, serta Jumaldi Alfi juga turut menggandeng dan melibatkan komunitas kajian yang beririsan, seperti Saidian Institute, yang dipimpin oleh Hasan Basri Marwah. Dari kerjasama nama-nama ini lah “Forum Suluk” ini akhirnya bisa diselenggarakan secara bulanan, meski dengan kekecualian di bulan-bulan awalnya yang masih berlangsung per dwi-mingguan, dan akhirnya untuk pertama kalinya diinisiasi secara resmi pada tanggal 16 Desember 2018.
Hingga buku ini terbit, Forum Diskusi “Suluk Kebudayaan Indonesia” telah terselenggara sekira 11 pertemuan, dengan tema, pemateri, dan sodoran diskursus yang beragam, yang terbagi dalam serial sesi yang tiap serinya terdiri lima pertemuan, yang masing-masing pertemuan diisi oleh satu pemateri. Dan hingga peritiwa pandemi Covid-19 yang mulai menerpa (Maret 2020), yang oleh karenanya memaksa kami menghentikan sementara penyelenggaraan acara Suluk, kami telah menyelenggarakan 3 serial sesi yakni: “Forum Suluk Kebudayaan Indonesia seri 1” (berisi 5 pertemuan dengan masing-masing pemateri pada tiap bulan berjalan), “Forum Suluk Kebudayaan Indonesia seri 2” (dengan lima pertemuan dengan masing-masing pemateri), dan juga “Forum Suluk Kebudayaan Indonesia seri 3” yang hanya baru menyelenggarakan satu pertemuan, sebelum kebijakan lockdown akhirnya diterapkan. Kami membayangkan forum “Suluk Kebudayaan” ini, terutama saya sendiri sebagai penggagas materi, bisa menampung pergulatan kebudayaan secara lebih luas dalam renik sesuai variasi konjungtur wilayah Indonesia, dalam pengertian makna suluk yang telah saya singgung di awal pengantar ini, yang pada fase-fase awal berdirinya Langgar.co memang masih terbatas pada diskursus yang didominasi oleh isu Ke-jawa-an, Islam, dan Ke-Indonesiaan secara lebih umum.
Tema-tema yang kami angkat forum di “Suluk Kebudayaan” begitu beragam yang meski masih meraba bentuk, kami banyangkan bisa menampung “alternatif” pembacaaan akan rekonstruksi arah kebudayaan yang baru. Tema-tema tersebut diantaranya, “Tradisi Wujudiyah di Pulau Lombok”, “Usaha Menjadi Muslim sekaligus Modern: Catatan atas ‘Empat Bulan Di Amerika’ Hamka,” “Menjadi Jawa tanpa Menonton Wayang,” “Ngelmu dalam Tradisi Epistemologi Jawa”, “Minagkabau Pertalian Adat dan Syara’”, “Wayang Sebagai Kritik Kebudayaan”, “Menjadi Muslim, Menjadi Indonesia,” “Genealogi Historiografi Islam Jawa”, “Istana Prawoto dalam Serat Centhini,” “Konstelasi Politik Identitas Muslim Tionghoa pasca Orde-Baru”, hingga “Pesantren Jawa abad 15-17 dan Dasar Keilmuannya”, juga tema-tema yang urung terselenggara karena pandemi Covid seperti “Jaringan Walisanga dalam Rekaman Naskah Bugis-Makassar”, “Ambon dalam Diskursus Paska-kolonial,” dan “Genealogi Keilmuan Agraria di Indonesia.”
Saya sendiri juga menyeleksi pemateri secara ketat, seturut konsen rumusan dan pergulatan keilmuan mereka yang saya pandang menawarkan arah baru rumusan kebudayaan, yang karenanya nama pemateri selain banyak didominasi nama-nama anak muda dengan pembacaan segarnya, juga nama-nama yang meski tak begitu terekam dalam jejak akademis yang lebih formal namun memiliki tawaran pembacaan yang genuine dan rumusan terobosan. Di antara para pemateri yang telah kami undang, antara lain Hasan Basri Marwah, Hairus Salim, Mahfud Ikhwan, Irfan Afifi, Ridwan Muzir, M. Jadul Maula, Katrin Bandel, Achmad Fawaid, Dwi Cipta, Ali Ramdhoni, Afthonul Afif, Nur Kholik Ridwan, dan Hatib Abdul Kadir (belum terselenggara), Muhammad Al Fayyadl (belum), Ahmad Nasih Luthfi (belum), Ahmad Baso (belum), dan Raudal Tanjung Banua (belum).
Buku yang anda pegang ini adalah sejenis rekaman atas pergulatan diskursus dan materi yang telah disampaikan di Forum Suluk Kebudayaan Indonesia, yang telah terselenggara sejak 16 Desember 2018 hingga 7 Maret 2020, yang hingga hari ini (semoga) masih (akan) terus berlangsung, namun urung terpaksa ditunda selama pandemi Covid-19. Ia sejenis rekaman yang berusaha menengok kembali akar masa lalu Indonesia, yang saya bayangkan, di satu sisi bisa menjebol warisan “diskursus kolonial” juga (yang terus tersambung hingga) paskakolonial sehingga bisa menelurkan rumusan dan tawaran baru atas arah baru kebudayaan Indonesia, maupun di sisi lain bisa memeras dan meresapkan sari pati “hikmat-kebijaksanaan” maupun pergulatan bangsa seturut renik kompleksitasnya maupun rintangannya yang lebih mendasar dalam proses perjalanannya “menjadi Indonesia”.
Yakni sebuah proses yang lebih jujur untuk mengenali kedirian kebangsaan kita (jati diri) yang tak hanya merupakan produk “olah pikir” semata, melainkan juga merupakan “olah budi” sebagai kesatuan seluruh olah-fakultas ruhani kemanusian yang bisa melecut, mengajak, dan menggeret secara lebih jauh kepada olah (1) Cipta, (2) Karsa, (3) Jiwa, dan (4) Rasa, sebagaimana tersemat pada kata “kebudayaan” dalam pengertian mendasarnya, yang saya harapkan dari proses itu, pijakan kemandirian dan kedaulatan diri bangsa, baik pada ranah politik, ekonomi, maupun kebudayaan, akan bertopang pada akar serabut kebudayaan yang mengukuhkan, dan darinya sekaligus bisa menumbuhkan dan merentangkan dahan, ranting, daun, dan juga rimbun bebuahan yang menjulang memenuhi angkasa.
Proses ini saya imajikan merupakan sejenis pergulatan “olah kemanusiaan” maupun “olah kebudayaan” yang secara mendasar bisa menerobos pembacaan segar agar mampu mengenali diri kebangsaan dalam rentang kehidupan perjalanan kehidupannya–seperti telah secara tersirat terekam dalam kata “suluk” (perjalanan/olah diri) maupun “kebudayaan” sebagaimana telah saya singgung di awal pengantar ini–yang bisa membantu keterjagaan diri dalam semesta keterombang-ambingan arus besar kebudayaan dunia yang menyesaki dunia hidup kita hari ini. Yakni sebuah (undangan) pergulatan kebudayaan yang tidak semata bertumpu pada capaian material-intelektual-profannya semata, melainkan olah kemanusiaan yang mampu mengantarkan kepada capaian nilai luhur kemanusiaan yang bertopang pada gagasan ontologi manusia yang berjangkar pada nilai ketuhanan sebagaimana tercantum dalam sila falsafah bangsa kita. Dan dari jalur itu, setelah proses pergulatan yang telah telah saya ceritakan, undangan juga cara-baca baru atas arah kebudayaan dan proses “perjalanan” kebangsaan sebagaimana terekam dalam keseluruhan isi buku ini, mendapat gayung bersambutnya. Dan saya, setelah fase keterombang-ambingan yang telah saya singgung, bukan saja tak lagi merasa sendiri dan kesepian, melainkan saya, atau kita, dengan segenap kerendah hatian bisa sedikit menjumput “makna” yang mengukuhkan diri dalam semesta perjalanan. Akhir kata selamat membaca.
Cepokojajar, Yogyakarta, 19 Januari 2021
*Tulisan ini diambil dari pengantar buku “Suluk Kebudayaan Indonesia,” Buku Langgar, Yogyakarta, Januari 2021.
Referensi
Ann Kumar, The Diary of Javanese Muslim, Religion, Politics, and Pesantren 1883-1886, Faculty of Asian Studies Monographs: New Series No. 7, Faculty of Asian Studies Australian University, Canbera 1985.
Clifford Geertz, The Religion of Java, London, the University of Chicago Press, 1960.
Clifford Geertz, Islam Observed: Religious Development in Marocco and Indonesia, New Haven, Yale University Press, 1968.
Irfan Afifi, Saya, Jawa, dan Islam, Tanda Baca, Yogyakarta, April 2019.
M.R.C. Ricklefs, Mystic Synthesis in Java: A History of Islamization from the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries, (Norwalk, CT: EastBridge, 2006).
________________, Polarizing Javanese Society, Islamic and other Visions (c. 1830-1930), NUS Press (Singapore: 2007).
——————, Islamisation and Its Opponents in Java, A Political, Social, Cultural, and Religious History C. 1930 to the Present, NUS Press (Singapore: 2012).
Nancy K. Florida “Writing Traditions in Colonial Java, the Questions of Islam” dalam Culture and Scholarships, S.C. Humphreys (editor), The University of Michigan Press, (USA: 1997).
Nancy K. Florida “Reading The Unread in Traditional Javanese Literature” dalam Indonesia Vol. 004, 1997-10, hal. 1-15, (INDO/44/0/1107009790/1-15), Cornell University Southeast Asia Program, (USA: 1997).
Nancy K. Florida, Jawa Islam di Masa Kolonial: Suluk, Santri, dan Pujangga Jawa, Buku Langgar (Yogyakarta: 2020).
Sir Thomas Stanford Raffles F.R.S., The History of Java, (Vol. 1 & 2) John Murray Albemarle Street, London, 1817.
Theodore G. Pigeaud, Literature of Java I & II, Spinger-Science+Business Media, B.V., Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, Leiden, 1967.
Woodwards, Marks R., Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta, University of Arizona Press, (USA: 1989).
Marshal Hodgsons, The Venture of Islam, Conscience and History in a World of Civilizations, vol. 3, Chicago Press, 1974.
Saya mungkin seorang yang—atau mungkin juga sebagian warga Kampung Buku Jogja yang dengan gegap gempita masih merayakan pemeran buku “Kampung Buku Jogja #4” 2018—dengan cara yang sedikit sentimentil terlalu terserap dan terjerat begitu kuat ke dalam buku dan pernak-pernik peliknya. Hingga bahkan untuk keluar dari belitannya, saya atau kita merasa tak mampu. Awalnya belitan itu kita datangi sebagai ujud rasa cinta, yakni dengan membenamkan diri dalam aktivitas membaca juga sedikit rasa ingin tahu menjelajahi semesta pengetahuan yang kita rasa akan mengantarkan pada sebuah “pencerahan” yang bisa menggusah kebodohan juga rasa ingin tahu kita.
Setidaknya aktivitas itu samar-samar saya rasakan sejak masih belia, hingga dalam pengertian intens dan “seriusnya” menanjak justru sejak saya mulai memasuki bangku perkuliahan. Awalnya kita mungkin tak sadar, “kegemaran” ini di hari-hari kelak akan menggeret kita ke sebuah arus pusaran serius, yang serta-merta (lalu pelan-pelan kita sadari) menyisihkan deretan pilihan-pilihan hidup kita yang lain sebagai adonan “rasa cinta”, keterpaksaan, penerimaan, kepasrahan, atau bahkan kerendah-hatian kita untuk menggaulinya, mengimajikannya sebagai “panggilan hidup” hingga umur yang semakin menyusut-maju.
Atau mungkin ini sejenis “derma” (darma), yakni sebuah panggilan hati atau “tugas” yang begitu kuat yang terus-menerus muncul dan menginterupsi pilihan-pilihan hidup sehingga tak kuasa kita tampik, maka kita, mau tak mau atau memang sudah “semestinya” untuk sekedar menyambut dan me-lakoni-nya dengan rasa cinta dan penerimaan tulus. Apakah buku beserta berbagai “daya- tariknya” dalam kasus saya, atau mungkin sebagian kita warga Kampung Buku Jogja, adalah sejenis ungkapan kerendah-hatian ejawahtah petitih “urip mung saderma nglakoni” atau “hidup sejenis sambutan tulus atas panggilan nurani yang menuntut” seperti dikatakan para leluhur kita. Saya tak tahu pasti. Tapi mungkin sebagian Anda setuju dengan saya.
Apakah buku beserta berbagai “daya- tariknya” dalam kasus saya, atau mungkin sebagian kita warga Kampung Buku Jogja, adalah sejenis ungkapan kerendah-hatian ejawahtah petitih “urip mung saderma nglakoni” atau “hidup sejenis sambutan tulus atas panggilan nurani yang menuntut” seperti dikatakan para leluhur kita. Saya tak tahu pasti. Tapi mungkin sebagian Anda setuju dengan saya.
Bangsa kita, saya kira, telah mengalami berbagai fase tak linier dari rentang jenjang pengenalan keberaksaraan yang dikenalkan yakni dari sejak mesin cetak dalam bentuk buku dan persuratkabaran, munculnya teknologi radio dan televisi audiovisual, timbulnya era eletronik, hingga era digital teknologi informasi yang kita sesap pada hari ini. Saya samar-samar ingat, teknologi mesin cetak yang memproduksi buku beserta surat kabar (bentuk ekstrim dari buku) yang menyebar di kalangan penggerak nasional awal negeri ini dalam konteks kebangsaan sungguh telah melahirkan juga melecut nasionalisme “yang dibayangkan” atau “diimajikan” sebagai Negara-bangsa. Teknologi cetak kapitalisme (print capitalism), menyitir Ben Anderson, telah melecut para tokoh nasional dan terpelajar era itu untuk merumuskan, menyatukan, dan melahirkan sebuah gagasan kebangsaan yang kita kenal hari ini sebagai “Indonesia”.
Kekuatan buku, surat kabar, beserta media teknologi cetak turunannya dalam lanskap latar sosial tradisi kelisanan (orality) mayoritas masyarakat Indonesia, telah menunjukkan signifikansinya dalam usahanya mengawal dan membantu perumusan dasar-dasar formatif di era awal pendirian negeri ini. Keberaksaraan (literacy), pengetahuan, sekolah, dan modernitas sebagai sebuah fakta tunggal yang sejak saat itu dianggap bernilai penting, yang oleh karenanya seruan imperatif moralnya susah diabaikan atau ditolak—bahkan oleh orang yang paling tidak peduli atasnya—kita diandaikan sebagai prasyarat penting dalam usaha membangun bangsa ini sejak di masa awal pendiriannya. Atau, saya tak tahu, mungkin hingga kini.
Ia, keberaksaraan (literacy), telah menjadi norma dan ukuran capaian peradaban sebuah bangsa yang terus menerus harus dilanggengkan, karena daya jangkaunya dianggap dapat menggeret tiap individu yang bergelut dengannya untuk mengambil jarak atas dunianya, sehingga menumbuhkan unsur kedirian otentik dan refleksi bagi perkembangan jati diri, juga kemanusian dalam tata kebangsaan. Ia, keberaksaaraan juga dianggap wakil syah nilai “keterpelajaran” yang berdiri vis-avis dengan kelisanan dan ketak-beraksaraan alias ketak-melekhurufan yang meski pada titik tertentu kadang lebih bersifat menyatukan tetap saja ia kita posisikan sebagai wakil “ketertinggalan” dan “keberlarutan” dalam ketidaksadaran massal yang mengelabui.
Sekolah, pendidikan, buku, tulisan, dan keberaksaraan secara umum, saya kira sejak saat itu, kita anggap sebagai matra tunggal penting yang menyeret bangsa ini dalam usahanya memajukan masyarakat dan bangsa. Namun kita mafhum, belum melampaui fase matangnya, bangsa kita telah terbanjiri kebudayaan audio-visual televisi maupun turunannya yang justru menyuburkan fase kelisanan massal yang melenakan. Belum lagi, jika melihat fakta politik tertentu, yakni saat payung otoritariasme rezim kekuasaan justru menyabotase arah media cetak buku maupun surat kabar, juga banjir tayangan audio visual sebagai corong selektif ideology kekuasaan. Pada titik itu, media cetak buku justru terkerangkeng atau setidaknya tersuruk menjadi corong informasi dan pengetahuan normatif yang formal, kaku, superfisial, dan baku, yang dalam kadar tertentu menyuburkan budaya kelisanan kita yang pasif dan dangkal.
Pada titik itu, media cetak buku justru terkerangkeng atau setidaknya tersuruk menjadi corong informasi dan pengetahuan normatif yang formal, kaku, superfisial, dan baku, yang dalam kadar tertentu menyuburkan budaya kelisanan kita yang pasif dan dangkal.
Peran demokratisasi pengetahuan yang dulu disebarkan oleh buku juga jenis tulisan serta keberaksaraan lain dengan cara khasnya, yakni dengan aspek kedalaman yang meminta pembacanya masuk, juga unsur pengambilan jarak terhadap kenyataan yang terperantrai lewat keruntutan logis bahasa dan kedalaman permenungan yang ditawarkannnya, nyaris tak beranjak kemana-mana. Serbuan audio visual di masanya sungguh memberi tantangan tersendiri bagi gerak penyebarluasan tradisi keberaksaraan yang dari sejak awal kita imajikan akan bisa membantu pemenuhan penciptaan kedirian dan keterpelajaran, maupun pembangunan sebuah bangsa.
Belum reda fase transisi, atau mungkin lebih tepatnya fase interupsi ini, budaya digital teknologi informasi sungguh telah menjadi realitas yang tak mungkin kita hindari bahkan kita tampik. Deraan banjir informasi dari muara era digital teknologi informasi sungguh telah menjadikan buku hanya salah satu media minor dalam jagad keberlimpahan informasi, data, pengetahuan, atau bahkan Ilmu. Ia yang dulu kita andalkan sebagai perangkat keberaksaraan yang memupus “ketertinggalan” juga “kebodohan” nyaris lamat-lamat tersisih di pinggir “ketertinggalan” zaman.
Jika saya renung-renung, perangkat teknologi informasi pada gawai yang kita pegang saat ini misalnya, kita tahu, telah mempu merangkum dan mengkonvergensikan seluruh bangun kemampuan teknologi sebelumnya yang dulu merupakan unit satuan terpisah, yakni dengan meramu dan menggabungkan bentuk citra, gambar-gerak, aksara, teks, audio, visual, dan grafis audio-visual menjadi satu kesatuan pada layar kaca, plus ditambah kelebihan corak interaktif-bolak-balik komunikasi maupun persebaran informasinya yang lintas-batas. Sungguh sebuah preseden yang mungkin tak bisa saya bayangkan saat SMA.
Apakah buku yang kita pajang hari ini di tempat ini masih memiliki signifikansi? Atau mungkin tepatnya apakah buku yang saya akrabi dengan sentimental itu, yang wilayah edar-pusarnya sulit saya jauhi itu, yang padanya saya imajikan sebagai jalan yang secara berlebihan saya sofitikasi sebagai panggilan hati, atau juga padanya saya mengakrabi hidup baik bersama maupun melaluinya itu tak lagi bersesuaian dengan gerak dan perubahan zaman? Saya benar-benar tak tahu.
Apakah buku yang kita pajang hari ini di tempat ini masih memiliki signifikansi? Atau mungkin tepatnya apakah buku yang saya akrabi dengan sentimental itu, yang wilayah edar-pusarnya sulit saya jauhi itu, yang padanya saya imajikan sebagai jalan yang secara berlebihan saya sofitikasi sebagai panggilan hati, atau juga padanya saya mengakrabi hidup baik bersama maupun melaluinya itu tak lagi bersesuaian dengan gerak dan perubahan zaman? Saya benar-benar tak tahu.
Yang saya tahu, fase banjir informasi sebagai dampak perkembangan revolusi teknologi informasi digital hari ini pada gradasi tertentu, saya khawatir, justeru hanya menebalkan apa yang dikatakan Walter J. Ong seperti disitir Prof. A, Tew sebagai fase “kelisanan sekunder” (secondary orality). Fase ini sebenarnya tak sedang mengajak kita menuju perkembangan lanjut yang menguatkan tradisi keberaksaraan dan literacy yang kita idealkan, melainkan ia hanya menebalkan kebudayaan lisan yang dulu tak benar-benar terangkat secara cukup dan tersisihkan dalam fase pembentukan tradisi keberaksaaraan awal yang disorongkan oleh tradisi buku atau media cetak aksara lain, maupun juga semangat “keterpelajaran” yang tak sungguh tercipta yang dibawanya, meski jumlah sekolah, sarjana, dan universitas di negeri kian meningkat.
Dalam konteks masyarakat yang masih tenggelam dalam arus budaya kelisanan, media tulisan dan aksara hanya akan mengganti fungsi storage yang dulu diperankan oleh ingatan dan hafalan, dimana dalam pola tertentu, penalaran seseorang hanya berfungsi mengulang pola formulaic, melanggengkannya dengan skema repetitive, hingga pada ujungnya tak benar-benar menciptakan corak tradisi penalaran baru yang mandiri dan otentik. Dengan pola seperti itu, banjir aksara, teks, tulisan, grafis, dan audio visual dari perkembangan teknologi informasi mutakhir ini justru mungkin tak benar-benar mengangkat kesadaran keberaksaraan kita, alias masih jauh dari sekadar mencipta permenungan individual berjarak dalam bangun penalaran runtut yang mengindividuasi, ataupun menemukan formula baru untuk menilai keadaan lebih jeli sesuai tantangan zaman yang telah mendunia, ataupun juga membantu kita baik sebagai diri dan bangsa untuk menceburkan diri ke dalam sebuah usaha pembatinan reflektif dalam sebuah aktivitas soliter dan independen dalam suasana hening aktivitas penelaahan “satu per- satu huruf” masalah sehingga muncul rumusan-rumusan segar atas tantangan-tantangan kita yang lebih kompleks, atau bahkan dalam usaha kita merumuskan diri dan bangsa.
Tentu pada level budaya kelisanan yang menjadi realitas umum masyarakat ini tak melulu punya sisi buruknya. Pada gradasi tertentu, saya rasa, budaya ini karena kecenderungannya pada pengulangan formulaic—seperti tercermin dalam bentuk pola repetitifnya yang disediakan pada bahasa lisan bersama juga jenis berfikir yang menuruti pola baku—jauh lebih bersifat menyatukan dan merangkul kebersamaan massal dalam bangun integrasi masyarakat secara umum. Tak aneh misalnya, perilaku membaca dalam latar masyarakat komunal yang masih menekankan budaya kelisanan yang kolosal, adalah sejenis aktivitas egois yang merusak integrasi masyarakat, yang oleh karenanya tak disukai.
Namun, dalam perkembangan teknologi informasi mutakhir, kelebihan budaya lisan ini justru menyuburkan kelenaan massal yang terserap dalm pusaran banjir informasi lintas batas yang bahkan telah menyusup hingga pada level pribadi-pribadi melalui telpon pintar yang kita genggam. Maka menjadi masuk akal, jika berita hoax menyebar begitu laris, dan sentimen dan preferensi massa hanyut dan terombang-ambing dalam gelombang deras arus informasi, yang dalam konteks latar keterbelahan politik, justru bisa membawa keretakan integrasi sebuah masyarakat atau bahkan bangsa.
***
Sekali lagi, mungkin saya orang yang terlalu sintementil terhadap buku. Dan selalu saja buku menarik saya ke dalam pusaran edarnya begitu kuat. Namun saya harus katakan, sebenarnya saya merasa tak pantas berbicara di forum KBJ ini, tempat dimana orang-orang masih merayakan dan menghidupi buku dengan cinta dan kerendah-hatian. Dalam jejak saya mengakrabi dan bergumul dengan buku, dan bahkan hingga detik ini masih berusaha menghidupinya sebagai sandaran yang menopang hidup dan rasa cinta saya, saya jujur merasa tak terlalu berhasil. Ada banyak orang yang berhasil mewujudkan mimpi untuk menghidupi buku, menyebarkan tradisi keberaksaraan beserta spirit penelaahan mendalam terkait ilmu untuk menegakkan proses berpikir mandiri, yang oleh karenanya membuat saya sebenarnya sedikit merasa gentar dan tak semestinya berdiri dan berbicara di hadapan warga Kampung Buku Jogja hari ini.
Ada banyak orang yang berhasil mewujudkan mimpi untuk menghidupi buku, menyebarkan tradisi keberaksaraan beserta spirit penelaahan mendalam terkait ilmu untuk menegakkan proses berpikir mandiri, yang oleh karenanya membuat saya sebenarnya sedikit merasa gentar dan tak semestinya berdiri dan berbicara di hadapan warga Kampung Buku Jogja hari ini.
Namun, setidaknya pembicaraan saya hari ini bisa mengingatkan teman-teman, betapa selalu saja ada orang yang tanpa lelah, meskipun kadang-kadang gagal, menghidupi buku dan menyebarkan kandungan tradisi peremenungan darinya dalam laku pemikiran atau pembatinan diri individual dalam ruang hening soliter menelaah dengan sabar untaian huruf-per-huruf untuk penarikan solusi-solusi baru dalam bangun argumentasi logis maupun reflektif yang mengambil jarak atas pusparagam fenomena maupun informasi yang menyesaki kehidupan hari ini setiap detiknya.
Saya kadang-kadang merenung, siapa yang pertama menyerukan dan sekaligus menyorongkan prototype tradisi menulis, membaca, atau juga simbolisasi buku yang membuat kita mengasosiasikan secara kuat pada “ketercerahan”, “cahaya”, dan “ilmu”. Lamat-lamat saya ingat, metafora “kalam”, “pena”, “lauhul mahfudz” (lembaran-lembaran yang terjaga), “tulisan”, “kitab”, “ilmu”, juga perintah “membaca” tersurat secara eksplisit dalam kitab suci kita. Mungkin Tuhanlah pelaku pertama yang menganjurkan manusia untuk mengakrabi ilmu, lembaran, tulisan, juga menyerukan pentingnya berilmu, merawat dan menumbuhkan tulisan sebagai symbol representasi proses penciptaan keberadaan eksistensi manusia juga jagad semesta se-isinya.
Mungkin alasan inilah yang mendasari kita masih juga terseret untuk terus-menerus menghidupi “buku”, “lembaran”, dan “tulisan”, dan bahkan membatinkannya sebagai derma, yang pusarannya membelit pilihan-pilihan kita yang ternyata hingga hari ini masih kita rayakan di pameran buku ini. Dalam hal ini saya tidak memaksudkan “buku” dalam pengertian konvensional-bakunya, yakni sebagai semata dalam bentuk lembaran fisik yang dibendel yang bau khasnya kita sering hirup dengan kerinduan. Namun sebuah kemungkinan buku yang bahkan formatnya bisa berbentuk apapun yang kita bayangkan mampu menyesuaikan, juga berintegrasi dengan kultur arus besar teknologi informasi hari ini, dimana buku dan tradisi permenungan berjarak yang membantu penelaahan sabar, runtut, mendalam, dan reflektif harus terus ada dan dihidupi terus-menerus. Dan, karena alasan itu pula “buku” harus terus menerus ada, yang dengannya kita masih dengan ingar-bingar hari ini menyorongkannya dalam even besar Kampung Buku Jogja ini.
Saya akhirul kata dengan begitu merasa tidak sedang terseret dalam pusaran edar buku ini sendirian.
* Tulisan disampaikan sebagai ‘Orasi Kebudayaan” di perhelatan acara Kampung Buku Jogja #4 yang bertempat di gedung PKKH Universitas Gadjah Mada, 10 Sepetember 2018.
Tulisan ini akan saya mulai dengan menyorongkan dilema. Sesaat setelah menerima undangan panitia untuk menjadi salah satu narasumber dalam rangkaian acara Kongres Kebudayaan Desa 2020 ini, muncul sebuah kelebat pikiran yang menghinggapi saya dalam bentuk dilema, atau mungkin malah semacam paradoks. Dilema tersebut jika dalam bentuk pertanyaan kurang lebih saya bahasakan seperti ini: Bagaimana kita membincang dan mempercakapkan kebudayaan, yang kita tahu di era ini pengertian atasnya telah menyusut menjadi semata sebagai kesenian, tradisi, dan pengetahuan tradisional semata—tentu saja terkait relasinya dengan Pandemi Covid-19 ini—dimana pada saat yang bersamaan seluruh kebijakan struktural-programatis penanganan pandemi Corona ini didasarkan pada temuan sains atau nalar modern—yang oleh manusia hari ini sering ditempatkan, didirikan, dan dihadapkan vis-avis dengan pengertian kebudayaan yang telah disusutkan tadi, yang justifikasinya didakwa berada di seberang yang ilmiah tersebut? Atau pada titik mana, tepatnya, tulisan saya ini berikutnya bisa masuk akal didiskusikan dalam bangun carut-marut diskursus yang menyertai munculnya virus yang melanda dan sedang menghantui jagad manusia hari ini? Atau dari jurusan lain, bagaimana saya mempercakapkan sudut pandang kebudayaan yang sejak bangsa ini memproklamirkan kemerdekaannya, nalar kebudayaan dalam pengertian mendasarnya sebagai sistem makna dan pengatahuan telah berpisah secara diametral dengan nalar pandangan dunia keilmuan sains yang diajarkan di sekolah dan universitas? Dari jawaban atas pertanyaan ini, sedikitnya, semoga kita bisa menjernihkan duduk perkara kebudayaan dalam konteks kebijakan, entah itu terkait pandemi yang melanda kita, maupun agenda keseluruhan dalam level penilikan ulang “wilayah” kebudayaan yang hingga hari ini merupakan ranah pinggiran terlantar dalam jejaring tata-sosial, ekonomi-politik kita, yang ternyata terus saja secara sembunyi maupun terang-terangan kita rindukan.
Jika kita menyakini, sebagaimana Daoed Joesoef, salah satu mantan Menteri Pendidikan kita, bahwa kebudayaan seturut dengan aspek maknanya sebagai “sistem ide” dan “nilai” dan “pengetahuan” yang dikandungnya adalah merupakan inang dari sistem pengetahuan dan keilmuan (sistem pendidikan), atau dalam rumusan lain ia, kebudayaan, merupakan faktor konstitutif sistem pendidikan dan sistem pengatahuan, kenapa hari ini dua hal ini dimana sistem pengetahuan modern (sains) yang mewujud dalam bangun-tubuh sekolah dan universitas kita, sungguh sedang berdiri hadap-perhadap dengan kebudayaan yang telah menyempit menjadi sistem perilaku dan nilai yang ada di sebarang justifikasi ilmiah? Ada apa ini? Ada problem mendasar apa yang menghinggapi bangsa ini?
Kita mafhum gerak dan munculnya sistem pendidikan di negeri kita merdeka ini, jika kita mau berlapang dada, muncul dan hadir pertama-tama dari gerak eksogen dibanding desakan gerakan endogen. Ia sistem pendidikan modern ini adalah sesuatu yang didesakkan dari luar oleh kolonialisme di masa Politik Etis yang dicangkokkan penjajah bersama seluruh perangkat sistem pengatahuan (juga pada akhirnya perilaku dan nilai) yang baru, yang memang berseberangan dengan pandangan dunia masyarakatnya. Meski pada awalnya, Belanda sebenarnya telah berusaha mengenali dan mensurvei sistem pendidikan asli pribumi untuk dijadikan dasar yang melambari bangun sistem pendidikan baru, namun pilihan akhir penjajah adalah mengintrodusir sistem pengetahuan dan ilmu yang mencerabutkan akar pengetahuan lama. Ia hadir dari sesuatu yang sama sekali asing (dan kemudian dicangkokkan) dari inang kebudayaan lain, yang sayangnya hingga hari ini menyebabkan fase transisi tanpa ujung (belum/tidak berhasil) kita selesaikan sebagai bangsa. Atau mungkin benar apa yang dikatakan Umar Khayam, kita ini masih terus dalam keadaan “rasa terbelah dan gamang” dalam menyambut kebudayaan modern, tanpa/belum mau/belum berhasil menyelesaikan transisi ini.
Atau mungkin benar apa yang dikatakan Umar Khayam, kita ini masih terus dalam keadaan “rasa terbelah dan gamang” dalam menyambut kebudayaan modern, tanpa/belum mau/belum berhasil menyelesaikan transisi ini.
Akibatnya, sayup-sayup kebudayaan dalam pengertian khususnya sebagai sistem pengetahuan tradisional (atau kebudayaan dalam pengertian tradisionalnya) yang memandu perilaku keseharian yang memberi makna bagi hidup, masih menghidupi dan menafasi kita (alias dalam derajat tertentu belum tergantikan, terutama di desa) di satu sisi, namun (berkebalikan dengan itu) di sisi lain seluruh perangkat, gaya, pranata dan istitusi ekonomi, politik, dan kemasyarakatan secara lahir tampil dalam wujud kulit dan baju modernitas tergelar dalam tampilan luarnya dan telah menjadi imperatif norma yang terus-menerus menginterupsi pandangan pengetahuan tradisional tersebut. Maka tak aneh, jika bangsa ini telah legal testosterone enanthate berhasil menyorongkan neologisme (istilah baru) bernama “budayawan” yang tak punya padanan katanya pada level pranata keilmuan dan kebudayaan pada negara-negara yang telah memeluk sistem keilmuan modern (sains) secara utuh? Istilah ini seolah ingin menyodorkan bahwa terdapat nalar berbeda (bisa jadi berkait dengan nalar lama/atau bahkan berkait dengan tradisi yang masih hidup di pinggir modernitas) yang berada di luar demarkasi rasionalitas modern sains yang memandu sekolah dan universitas maupun kebijakan publik yang tunduk pada norma sains itu, yang ingin terus menyuarakan kebenarannya, dan sekaligus menjadi interupsi atas klaim nalar sains yang mengatur secara menyeluruh pranata sosial modern, mulai dari pranata sosial pemerintahan, bank, organisasi sosial, dll, yang senyatanya sudah, minimal secara lahir, menjadi entitas faktual dan kehidupan sehari-hari masyarakat ini.
Mungkin juga keberadaan pranata seperti kebudayaan dan kesenian tradisional yang sayup-sayup masih berusaha setengah mati dipertahankan, atau keberadaan sistem pendidikan tradisional bernama “pondok” atau “pesantren”—ya sistem yang oleh Ki Hajar Dewantara dipandang sebagai sistem pendididkan “asli” pribumi itu—sebagai lokus pengetahuan “lain” di luar sains yang hingga hari ini masih terus mencoba bertahan di pinggiran demarkasi rasionalitas keilmuan dan sistem pendidikan modern (sains), atau banyaknya praktik maupun pengetahuan tradisi yang terus saja berdenyut, meski sayup-sayup, menyuarakan kearifan-kearifan yang banyak berseberangan dengan atau minimal berjalan terpisah di luar nalar modern, atau juga masih terdapatnya arus sistem ekonomi tradisional—sebagaimana dikatakan H. Boeke—yang tak segera terintegrasi atau berjalan sendiri/terpisah dari ekonomi modern yang mendasarkan capaian akumulasi kapital dalam mantra ekonomi kapitalisme modern. Atau juga munculnya pranata-pranata atau wadah-wadah pengajian atau ruang-ruang berskala masif pengajian kultural yang terus-menerus subur menjamur yang melabrak jam-positivisme waktu kerja produktif sebagaimana digariskan oleh waktu masyarakat industrial?
Apa yang sebenarnya tengah berlangsung pada masyarakat ini? Apakah sebenarnya ia “gamang” atau “enggan” menggabungkan diri dengan gerak laju modernitas secara penuh? Apakah memang sebagai bangsa kita belum berhasil, untuk tak mengatakannya gagal, me-reintergrasi pada level kebudayaan dalam pengertian mendasarnya, dalam bangun keilmuan dan kebudayaan modern secara utuh. Mungkin “keterbelahan” ini juga yang menyebabkan kita masih terus menyusu pada induk inang kebudayaan lain yang menjadikan kita masih terus-menerus jadi konsumen kebudayaan, yang oleh karenanya membuat kita tak begitu berdaulat dan mandiri secara kebudayaan, politik, maupun ekonomi, alih-alih membincangkan kepribadian bangsa. Kegagagalan ini menyebabkan perumitan ke level dalam dinamika kebudayaan itu sendiri (dalam hal struktur kebudayaan dan pandangan lama, yang lamat-lamat masih berdetak), atau dalam bahasa lain “involusi”, yakni telah berpisahnya dengan dinamika gerak perubahan yang terus berlangsung di luar kendali dirinya, yang alih-alih kita diharapkan menjadi “actor kebudayaan” yang berdaulat, tegak, dan mandiri dalam konteks individu, masyarakat, maupun bangsa dalam deru silang-kebudayaan arus teknologi-informasi mendunia yang meruah ke sekujur bumi, yang dengan sendirinya diikuti oleh suatu proses yang sering disebut sebagai cultural impasse (kebuntuan budaya).
Apa yang sebenarnya tengah berlangsung pada masyarakat ini? Apakah sebenarnya ia “gamang” atau “enggan” menggabungkan diri dengan gerak laju modernitas secara penuh? Apakah memang sebagai bangsa kita belum berhasil, untuk tak mengatakannya gagal, me-reintergrasi pada level kebudayaan dalam pengertian mendasarnya, dalam bangun keilmuan dan kebudayaan modern secara utuh.
Debat maupun polemik riuh terkait arah kebudayaan dari sejak Polemik Kebudayaan Sutan Takdir Alisyahbana di tahun 1930-an, Surat Kepercayaan Gelanggang, hingga Manifesto Kebudayaan, belum mengakhiri maupun menyeleseikan keterbelahan kebudayaan ini. Dan bahkan dalam derajat tertentu, meski keseluruhan manifestasi pranata sosial kita telah berubah menjadi institusi modern, dan sebagian besar wajah-tampilan, gaya hidup, perangkat teknologi, perilaku konsumsi dan politik kita, sepenuhnya telah dipandang modern dalam bentuknya, namun sistem pengetahaun dan sistem nilai kita secara halus masih ditaburi dengan tebaran struktur kearifan-religius dan tradisi yang masih bertebaran di ruang hidup kultural kita. Lalu, jika pada kenyataannya kearifan tradisi, dan nalar pengetahuan secara sembunyi, masih hidup dalam ruang kultural kita, akankah kita mampu merekonstruksi kearifan kebudayaan sesuai tantangan kekinian, tanpa terjebak pada perumitan kebudayaan ke dalam (baca: involusi), yang jangan-jangan usaha pengatasan atas masalah “keterbelahan” kultural kita ini sebenarnya merupakan solusi bagi upaya mengintegrasikan bangun identitas kultural bangsa ini yang akan menopangnya menuju kedaulatan dan kemandirian bangsa?
Lalu, jika pada kenyataannya kearifan tradisi, dan nalar pengetahuan secara sembunyi, masih hidup dalam ruang kultural kita, akankah kita mampu merekonstruksi kearifan kebudayaan sesuai tantangan kekinian, tanpa terjebak pada perumitan kebudayaan ke dalam (baca: involusi), yang jangan-jangan usaha pengatasan atas masalah “keterbelahan” kultural kita ini sebenarnya merupakan solusi bagi upaya mengintgrasikan bangun identitas kultural bangsa ini yang akan menopangnya menuju kedaulatan dan kemandirian bangsa?
Saya jauh-jauh hari, merasa tak terlalu punya pretensi awal untuk bisa menjawab pertanyaan ini. Namun begitu, permasalahan yang saya sodorkan bisa menjadi undangan bagi siapapun untuk mengenali duduk perkara, minimal berkait relasi kebudayaan dan pengetahuan. Karena bagaimanapun, sistem pendidikan yang tercerabut dari akar sistem pandangan dunia dan kebudayaan masyarakatnya tidak akan memperkokoh kedirian dan kemandirian sebagai bangsa, dan dampak lanjutannya akan melanggengkan kegamangan dan keterbelahan kultural sebagaimana saya sedikit diskusikan di paragraf-paragraf sebelumnya.
Desa Sebagai Pijakan
Desa sebagamaina sering muncul dalam bayang imaji kita, ia sering kita bayangkan sebagai sesuatu yang ideal. Di ruang kultural ini, kita sering membayangkan imaji kebersamaan, gotong-royong, kesederhanaan manusianya, kemandirian, juga kearifan (tradisional), yang tak lagi kita dapatkan saat kita menghirup udara kebudayaan kota. Ia kita bayangkan sebagai tempat kembali bagi orang-orang yang telah menyesap udara pengap suasana kejengahan Kota. Ia seolah ingin ditempatkan sebagai soko guru kebudayaan yang menyambungkan kesinambungan dengan akar di masa lalu.
Bayangan ini tak sepenuhnya salah. Namun begitu, ada banyak yang telah berubah dengan desa kita. Sejak kita merdeka, kebijakan sentralisasi pendidikan, politik, ekonomi, juga kebudayaan, telah banyak memangkas kearifan, khasanah tradisi, kekayaan atau juga keunikan pengetahuan tradisionalnya (saya sebenarnya ingin menghindari istilah ini) yang kita gadang-gadang tumbuh dan berkembang dalam pertemuan kreatif dengan arus perubahan yang terus berdenyut. Namun faktanya ia merupakan sesuatu yang ada di pinggir, atau karena keterputusan dinamika makna internal yang tak lagi dikenali, ia akhirnya terpinggirkan. Belum lagi jika melihat kebijakan pembangunan (modernisme) yang kadang memang dalam derajat tertentu sengaja didesakkan tanpa menimbang integrasi dan ketersambungan akar tradisional yang menyangganya, benar-benar telah membuat warisan-warisan yang menyangga bangun pandangan dunia masyarakat yang menghidupi ruang kultural ini berada di ruang “transisi”—atau dalam situasi “keterbelahan”—yang hingga kini tak pernah menemukan ruang pemecahan mendasar, di saat seluruh situasi, pranata sosial, serta daya dukung kultural-sosial telah banyak berubah di luar kendali kita.
Ini belum termasuk menimbang fakta perkembangan teknologi-informasi global yang telah menyesaki praktik sehari-sehari masyarakat desa kita hari ini. Sehingga hiruk-pikuk deru silang riuh teknologi-informasi telah ikut menentukan arah perkembangan gerak perubahan yang tak lagi bisa kita elakkan. Maka lengkaplah “kegamangan” ini melanda di sekujur penjuru kota hingga desa. Dan mungkin justru titik inilah relevansinya kita membincangkan desa sebagai soko guru kebudayaan penyangga.
Tema seminar seperti yang disodorkan panitian Kongres Kebudayaan ini membunyikan judulnya dengan gagah: “Kebudayaan: Merekontruksi Ulang Alam Pikiran Nusantara Sebagai Basis Peradaban dan Tata Nilai Indonesia Baru.” Mungkin judul ini ingin menegaskan satu hal: kebutuhan, atau sebut saja kerinduan untuk menyambungkan dengan akar masa lalu yang menyangga diri kita saat ini. Sebuah kehendak untuk tak mau terputus dengan akar, yang dalam tulisan saya di atas juga bisa dimaknai keterputusan, kebingungan, dan keterbelahan (karena tak lagi tersambung/ atau berjalan sendiri-sendiri), yang melalui cara itu, dibayangkan bangunan dasar kultural bangsa kita bisa berpijak pada dasar akar yang kokoh (dan dengan cara itu pula kita mungkin membayangkan gagasan kemandirian dan kedaulatan), yang darinya pada situasi baru ini, apalagi di era pandemik ini, kita punya daya pemaksa yang mengharuskan kita sebagai bangsa, untuk menilik dan memeriksa ulang akar-akar yang menyangga kita tersebut, serta mendesak kita, terutama di saat krisis, untuk menengok ulang perihal arah praktik kultural mendasar kita yang bisa jadi telah menimbulkan krisis, bencana, dan pandemi. Dan di titik itulah membincangkan Desa mungkin menemukan signifikansi dan relevansinya.
Namun, untuk melakukan tilikan ke belakang tersebut, saya ingin berbelok sebentar, dan mengetengahkan temuan dalam sebuah disiplin psikologi sosial. Dalam sebuah pendekatan baru dalam disiplin ini, tepatnya pada apa yang disebut sebagai teori “representasi sosial” yang dikenalkan dari disiplin psikologi sosial, ada sebuah temuan menarik yang ingin saya bagi. Terdapat asumsi dalam pendekatan teori ini yang mengatakan, bahwa dalam menerima nilai, budaya, dan praktik baru (yang asing), sebuah masyarakat mempunyai perangkat “pengetahuan sosial” atau semacam “nalar sosial” untuk menerjemahkan, menanggapi, mengkonstruk ulang fenomena sosial tadi, yang secara sosial kemudian disebarkan merata ke dalam masyarakat. Jadi proses penerimaan nilai, pandangan, dan praktik hidup modern, untuk mengambil satu contoh, tidak diterima melalui proses mental individual yang terpisah dari nilai-nilai masyarakatnya. Karena dalam koridor disiplin ini, “perilaku individu merupakan cerminan dari sistem pemikiran sosial dan sistem pemikiran sosial tersebut dibangun atas dasar kehidupan kolektif setiap individu sebagai bagian anggotanya”.
Jadi proses penerimaan nilai, pandangan, dan praktik hidup modern, untuk mengambil satu contoh, tidak diterima melalui proses mental individual yang terpisah dari nilai-nilai masyarakatnya. Karena dalam koridor disiplin ini, “perilaku individu merupakan cerminan dari sistem pemikiran sosial dan sistem pemikiran sosial tersebut dibangun atas dasar kehidupan kolektif setiap individu sebagai bagian anggotanya”.
Dalam proses penerimaan nilai, pandangan, dan praktik modernitas, misalnya, masyarakat kita tidak mengunyah fenomena sosial bernama modernitas itu secara mentah semata. Masyarakat berusaha mengklasifikasi dan menamai realitas baru atau elemen-elemen asing dalam keseharian tersebut sesuai sebut saja dengan repertoire makna yang sudah dikenal sebelumnya.
Hal ini bermakna, pengertian modernitas yang menjadi identitas kita hari ini sebagai contoh, justru dibentuk oleh katakanlah “pengetahuan awam” yang memandu individu, yakni dalam konteks sosialnya untuk mendekati makna maupun menafsir realitas bernama “modernitas” tersebut. Oleh karenanya, konteks kultural memainkan peran utama. Karena “ruang budaya” seperti telah banyak kita ketahui merupakan wadah pengetahuan bersama yang tidak bisa disepadankan dengan prinsip kesahihan dalam konteks pengetahuan ilmiah. Atau dalam jalur lain, yang memandu kita dalam menerima, menyerap sistem pengetahuan maupun kebudayaan baru yang asing, bukan pertama-pertama ditentukan oleh justifikasi kesahihan penalaran ilmiah seperti di sekolah, melainkan respon “skema pengetahuan kultural sehari-hari” yang kemudian kita integrasikan dalam praktik keseharian masyarakat.
Dalam jalur ini, ruang budaya juga dipandang merupakan tempat endapan sistem nilai, ungkapan, penilaian sosial, sistem simbolik, mitologi, tradisi, agama, yang semuanya mengalir menyatu dalam bahasa. Bahasa orang kebanyakan dengan begitu merupakan wadah pengetahuan kultural bersama (pengetahuan awam) untuk menafsir, mengaproriasi, maupun menerjemahkan modernitas dalam praktik keseharian, pandangan, dan nilai masyarakat.
Dalam beberapa penelitian yang saya baca terkait pendekatan ini, mengetengahkan temuan yang menurut saya menarik. Karena bukan saja mengelak dari rumusan besar, bahwa untuk menyongsong gerak modernitas dunia, masyarakat Dunia Ketiga dipaksa untuk memilah, meneliti, dan (pada akhirnya) menghilangkan hambatan tradisi kultural sebagai prasyarat menuju modernitas, melainkan masyarakat justru punya konsep sendiri yang masih berjangkar pada tradisi-kultur untuk mengapropriasi modernitas tersebut.
Modernitas, sebagaimana sering didengungkan, bagi masyarakat Dunia Ketiga, bukan merupakan sebuah “gerak dalam”, alias sebuah gerak yang tidak lahir dari masyarakat itu sendiri. Ia lahir dari usaha untuk mengikuti gerak sejarah dunia agar ia tidak tertinggal dalam peradaban dunia. Oleh karena itu untuk mengatasi ketertinggalan peradaban tersebut, ia perlu mengubah ataupun menyesuaikan lapisan nilai tata-pemerintahan, ekonomi, maupun kulturalnya, sebagaimana dipersyaratkan oleh Barat (sebagai acuan modern). Ini berarti dibutuhkan suatu pengetahuan acuan tertentu tentang Timur di segala aspeknya, yang senyatanya memang didefinisikan menurut kebutuhan Barat (Modernitas). Inilah yang menjadikan kita sebagai sebagai bangsa yang terkurung dalam jebakan sejarah, sebuah jebakan yang membuat Dunia Ketiga tidak bisa kembali lagi ke keadaan semula; menemukan arah dan rumusannya sendiri.
Ini berarti dibutuhkan suatu pengetahuan acuan tertentu tentang Timur di segala aspeknya, yang senyatanya memang didefinisikan menurut kebutuhan Barat (Modernitas). Inilah yang menjadikan kita sebagai sebagai bangsa yang terkurung dalam jebakan sejarah, sebuah jebakan yang membuat Dunia Ketiga tidak bisa kembali lagi ke keadaan semula; menemukan arah dan rumusannya sendiri.
Yang saya ingin katakan sebenarnya, pada level yang halus di satu sisi terdapat sebut saja tingkat “keterhubungan” yang relatif sinambung dalam dinamika internal psikologis-kultural masyarakat, namun di sisi lainnya “pengetahuan kultural” atau “ruang kultural” tersebut tak pernah benar-benar diakui atau mendapat pengesahan justifikasi ilmiahnya sebagai norma yang diacu oleh setiap “kebijakan” pranata dan kebudayaan modern yang telah menjadi realitas faktual keseharian kita. Karena “pengetahuan kultural” ini diabaikan sekaligus tak terintegrasikan ke dalam bangun utuh sistem pengetahuan (pendidikan) dalam tubuh institusi modern pendidikan kita secara sinambung, alih-alih ke dalam bangun pranata dan struktur kebijakan publik modern kita (alias masih berdiri terpisah, karena dianggap di seberang yang ilmiah/modern—“tradisional” dan selalu diperlawankan dengan yang “modern”[tradisional vs modern]), warisan pengetahuan ini tidak berkembang secara sehat, wajar, bahkan distorsif. Akhirnya sebut saja “kearifan pengetahuan awam” ini mengalami patahan-patahan yang tak lagi terurus, yang dalam derajat tertentu mengalami perumitan ke dalam logika internalnya. Dan karena tak lagi menjadi inang kebudayaan yang menyangga bangun –atau dalam bahasa lain faktor konstitutif—bagi pengetahuan ilmiah (sistem pendidikan kita) yang menjadi norma bersama kehidupan modern, keadaan ini menyebabkan kondisi “keterbelahan’ seperti saya maksud dalam paragraf-paragraf sebelumnya.
Belum ada usaha untuk memikirkan secara serius di tingkatan epistemologis, bagaimana “warisan-warisan” pengetahuan maupun kearifan tersebut, untuk mengangkatnya ke dalam derajat “ilmiah” tertentu ke level penelitian-penelitian serius, meski dalam kadar tertentu ia mempunyai kontradiksinya sendiri, yang dengannya menjadikannya di satu sisi berdiri “sejajar” yang layak dipertimbangkan proses pengaturan kebijakan bersama masyarakat, juga di sisi lain bisa menjadi “cadangan kearifan” yang terus dimaknai secara baru sesuai kebutuhan gerak perubahan “dinamis” masyarakat, yang secara faktual masih terus berusaha menjaganya agar tak punah. Karena dalam beberapa takaran khusus, pengetahuan tradisional tersebut—baik sebagai perasan nilai agama yang berserak dalam masyarakat maupun nilai religiusitas yang telah tertubuhkan, terolah, dan termanifestasikan secara lebih spesifik dalam tradisi dan kebudayaan—masih belum tergantikan dalam menafsir secara eksistensial “kebermaknaan hidup” masyarakat dan masih menjadi penyangga bangun pandangan dunia (world-view) secara lebih utuh, meski ia terus saja terpinggirkan dalam deru nalar pengetahuan ilmiah modern yang telah mendunia. Nah, pada titik ini desa merupakan titik pijak juga titik berangkat yang tepat untuk memulai semua itu, karena merupakan “oase” yang terus-saja dengan setengah mati dijaga agar terus mengalir.
Nah, pada titik ini Desa merupakan titik pijak juga titik berangkat yang tepat untuk memulai semua itu, karena merupakan “oase” yang terus-saja dengan setengah mati dijaga agar terus mengalir.
Kebudayaan sebagai Basis Sistem Pengetahuan
Penggalan kalimat “Merekontruksi Ulang Alam Pikiran Nusantara Sebagai Basis Peradaban dan Tata Nilai Indonesia Baru” seperti tertera dalam topik Kebudayaan dalam Kongres Kebudayaan Desa kali ini, menyiratkan (secara halus) sebuah usaha juga tekad untuk melibatkan gagasan Alam pandangan dunia (Nusantara) yang seringkali diabaikan dan tak lagi diperhatikan, di saat rasionalitas modern (sains) telah menjadi imperatif moral maupun epistemologis yang dipandang legitimate atas seluruh praktik kehidupan publik modern kita, minimal dalam konteks keabsahan publiknya. Ia, alam pandangan Nusantara, sebagai sesuatu sistem pandangan dunia secara diametral memang berseberangan dengan ontologi materialistic-positivisme kehidupan modern, dipandang masih berdenyut dan menyangga bangun pengetahuan masyarakat dalam pengertian eksistensial hidup, namun ia kekurangan keabsahan legitimasi ilmiah publiknya karena tak lagi terintegrasi dalam tubuh sistem pandangan dunia pendidikan modern maupun praktik dan kehidupan modern secara umum, serta oleh karenanya dengan itu perlu untuk dilibatkan menjadi basis yang menopang akar kedirian bangsa, yang kita bayangkan akan mengantarkan kita perihal tegaknya kedirian karena disangga oleh akar yang kokoh (kedaulatan). Dan lewat jalur arah pemaknaan inilah mungkin judul gagah di atas ingin diarahkan.
Belum lagi jika menimbang bahwa seluruh bangunan yang menyangga integrasi sosial-kultural, seperti nilai “gotong-royong”, “harmoni”, “rukun”, “saling berbela-rasa”, “persatuan”, kebersamaan,” “solidaritas”, “tepa-salira” “kesederhanaan”, “ketuhanan”, “musyawarah”, dan nilai penopang lainnya yang relatif menjaga diri kita dalam sebuah keutuhan sebagai bangsa, mungkin tidak pertama-pertama muncul dari sistem pandangan dunia modern beserta justifikasi ilmiahnya, melainkan ia pertama lahir dari bangun pandangan dunia Nusantara lama sebagai inang kebudayaannya. Ketertiban moral, kebersamaan, gotong-royong, dan saling tolong-menolong misalnya, yang masih terus terselenggara dan bertahan di masyarakat ini bukan karena dorongan ketertiban hukum postif modern misalnya, melainkan lebih pada ‘warisan’ kearifan dan hikmat-kebijaksanaan dari sistem pengetahuan atau pandangan dunia lama, yang masih mendasarkan konsep kemanusiaan sebagai suatu konsep yang bukan menegasi prinsip ketuhanan misalnya, sebagaimana dalam gagasan humanism Barat, melainkan sebuah konsep kemanusiaan yang masih mendasarkan dirinya dan bertumpu kepada konsep ketuhanan.
Belum lagi jika menimbang bahwa seluruh bangunan yang menyangga integrasi sosial-kultural, seperti nilai “gotong-royong”, “harmoni”, “rukun”, “saling berbela-rasa”, “persatuan”, kebersamaan,” “solidaritas”, “tepa-salira” “kesederhanaan”, “ketuhanan”, “musyawarah”, dan nilai penopang lainnya yang relatif menjaga diri kita dalam sebuah keutuhan sebagai bangsa, mungkin tidak pertama-pertama muncul dari sistem pandangan dunia modern beserta justifikasi ilmiahnya, melainkan ia pertama lahir dari bangun pandangan dunia Nusantara lama sebagai inang kebudayaannya.
Jika hanya konsep berupa sistem pandangan dunia dan kearifan lama kita masih memandu perilaku sosial-kultural minimal dalam pengertian eksistensial-ontologisnya pada masyarakat ini, kenapa seluruh bangun warisan sistem kearifan, perilaku, tradisi, dan norma-norma tradisional tersebut tak pernah menjadi nalar/kebijakan “arus utama” dalam kebijakan publik pengaturan sosial-kultural kita sebagai bangsa? Mungkin faktornya, seperti saya telah jelaskan di paragraf-paragraf sebelumnya, dikarenakan karena kegagalan proses “re-integrasi kultural”, atau proses penyeleseian masa transisi kultural yang hingga hari ini tak kunjung menemukan rumusan pemecahan masalah mendasarnya. Atau mungkin juga, karena proses reintegrasi kultural tersebut yang tak kunjung terselesaikan, menyebabkan warisan kearifan, pengetahuan praktik kultural, dan sistem norma-nilai sebagai hasil saling-silang pengaruh kebudayaan dan agama, benar-benar terabaikan, yang oleh karenanya menyebabkan “keterputusan” pengetahuan juga nilai dengan laju perubahan gerak modernitas, alias ia tak lagi berkembang secara wajar dan sehat, yang dalam derajat tertentu juga bermakna kehilangan konteks pemaknaan dinamis yang ikut men-drive gerak perubahan zaman. Maka dalam sudut optik ini, mau tak mau, jika kita masih menginginkan bangsa ini kokoh dan tegak berdiri dengan ‘akar’ yang menopang kedirian bangsa (alias berdaulat & mandiri), sebuah usaha untuk menggali, merekontruksi, atau katakanlah mengilmui kembali alam pikiran Nusantara, atau bahkan sistem pandangan dunia, yang sebenarnya telah termaktub dan terkandung dalam dasar-filsafat (philoshophie grondslag) Pancasila bangsa kita, sebagaimana diamanatkan oleh tema Kongres Kebudayaan Desa kali ini, sebenarnya telah menemukan relevansi kokoh pada dirinya.
Bahkan jika kita mau berlapang dada, nilai kemanusiaan yang didasarkan pada prinsip Ketuhanan, sebagaimana tertera dalam dasar filsafat Pancasila kita, dalam galur rasionalitas pengetahuan ilmiah modern, ia tak menemukan justifikasi ilmiah-positivistiknya (ketuhanan dalam paradigama sains tidak dianggap sebagai fakta ilmiah). Artinya saya ingin katakan, apa yang yang menopang nilai “gotong-royong”, “persatuan”, “kemanusiaan”, bahkan “keadilan” dan “kerakyatan” kita tidak pertama ditopang nilai rasionalitas modern yang telah mengokupasi sistem pendidikan dan kehidupan publik kita, melainkan disanggga oleh warisan nilai-nilai kearifan, hikmat, dan kebijaksanaan (kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan) yang merupakan resapan nilai agama (religiositas) yang telah menubuh dalam kebudayaan. Dan dari struktur sistem pengetahuan pandangan dunia lama jenis tersebut, sebut saja begitu, bangunan kokoh kebangsaan kita masih relatif tegak.
Sistem Pandangan Dunia Penyangga Nilai Integrasi Masyarakat
Saya ingin mengulang proposisi awal terkait desa, bahwa ia merupakan soko guru kebudayaan yang meyangga bangun nilai-nilai besar yang mengikat integritas keutuhan kebangsaan kita yang masih berpaut dengan akar kultural masyarakat yang terus saja kita rindukan. Dan dari jalur ini, saya akan mengeksplorasi sekadarnya secara ringkas, tentu dikarenakan pembatasan dan keterbatasan panjang tulisan dalam kesempatan ini, yakni berkait gagasan nilai-nilai besar ini dalam keterkaitannya dengan nilai-nilai kultural yang berakar dalam sistem pengetahuan maupun sistem pandangan dunia lama yang terus saja mencoba bertahan. Saya akan mengelaborasi hal ini dari sudut sistem pengetahuan Jawa, atau sebut saja nalar kebudayaan Jawa sebagai satu eksemplar—sebuah wilayah kultural yang paling saya akrabi—dimana nilai-nilai besar tersebut dalam derajat tertentu masih mendasarkan pada sistem pandangan kultural masyarakat.
Saya akan mengelaborasi hal ini dari sudut sistem pengetahuan Jawa, atau sebut saja nalar kebudayaan Jawa sebagai satu eksemplar—sebuah wilayah kultural yang paling saya akrabi—dimana nilai-nilai besar tersebut dalam derajat tertentu masih mendasarkan pada sistem pandangan kultural masyarakat.
Gagasan “Kebudayaan” misalnya, seperti pada topik yang dipilih dalam acara Kongres Kebudayaan kali ini, tidak muncul pertama dari konsep masyarakat industri layaknya dalam tahapan sejarah masyarakat Eropa, yang sering menyorongkan kata “culture” yang lebih dekat pada makna “bercocok tanam” (cultuur/Belanda), alias semata dekat dengan olah peradaban material semata. Gagasan “budi” “buddhaya” atau “budya” atau bahkan “budi daya” (mendayakan budi), dalam tradisi masyarakat kita masih berkait dengan sesuatu yang ruhani. Dalam khasanah “Serat Wedhatama” misalnya, laku mengolah budi (amasah mesu budi, mendayakan budi/budaya) sebagai sebuah laku mengolah seluruh dimensi lahir-batin fakultas yang membentuk kedirian manusia (yakni 1. karsa/raga, 2. cipta, 3. jiwa, dan 4. rasa) adalah merupakan laku utuh berkemanusiaan itu sendiri dalam pengertian ruhaniah, alias masih berpijak pada gagasan tentang sesuatu yang ilahiah (Ketuhanan).
Proposisinya sederhana laku mengolah seluruh empat potensi kemanusiaan ini adalah laku meng-“aktual”-kan potensi “ilahiah” yang secara fitrah ada dalam diri manusia, yaitu laku atau olah mengontrol atau menundukkan (1) Karsa yang punya kecenderungan pada pemuasan kesenangan egotis sebagai sebuah disiplin ragawi yang berdampak ruhani, dan laku menajamkan (2) Cipta untuk mengenali kebenaran dan kebatilan (kebermanfaatan), juga sebuah laku mejernihkan atau mengorientasikan kembali (3) Jiwa/Kalbu arah kehidupan kita dalam perspektif yang lebih menyeluruh (tidak semata untuk tujuan hidup di dunia ini, namun juga hidup setelah mati), dan terakhir sebuah laku mengolah kepekaan (4) Rasa mengenali keindahan, mengukuhkan kepedulian, empati, dan mengasah kasih sayang (asah-asih), yang darinya akan mengantarkan sedikit-demi sedikit penyingkapan akan arah & aliran (rahasia) hidup yang lebih utuh.
Jadi jika olah budi atau sebut saja olah mendayakan budi (karsa/cipta/jiwa/rasa)—Koentjaraningrat mendifinisikan kebudayaan sebagai “hasil” cipta-karsa-rasa manusia, bukan “proses” (bandingkan dengan Wedhatama)—alias olah mengutuhkan kedirian manusia itu sendiri sebagai sesuatu yang bersifat ruhani dalam pengertian terluasnya, maka tidak aneh jika dalam khasanah Serat Wedhatama ini laku mengolah empat fakultas diri ini alias olah budi atau budaya ini dinamai dalam term “sembah”: Sembah Raga (karsa/kehendak), Sembah Cipta, Sembah Jiwa, dan Sembah Rasa. Bahkan secara lebih eksplisit empat tahapan olah “sembah” ini (proses berkebudayaan) disepandakan dalam proses tahapan laku empat dalam gagasan pandangan dunia agama tertentu (Islam) bernama: Syariat (sembah raga), Tarekat (sembah Cipta), Hakikat (sembah Jiwa), dan Ma’rifat (sembah Rasa)—artinya konsep kebudayan sangat berpaut dengan Agama, alias tak terpisahkan.
Bahkan secara lebih eksplisit empat tahapan olah “sembah” ini (proses berkebudayaan) disepandakan dalam proses tahapan laku empat dalam gagasan pandangan dunia agama tertentu (Islam) bernama: Syariat (sembah raga), Tarekat (sembah Cipta), Hakikat (sembah Jiwa), dan Ma’rifat (sembah Rasa)—artinya konsep kebudayan sangat berpaut dengan Agama, alias tak terpisahkan.
Jika kita bersepakat bahwa tujuan diturunkannya agama—saya mengambil contoh Islam—adalah untuk menantang manusia meningkatkan derajat kemanusiaannya dalam bingkai prinsip “kebebasan” (ikhtiyar) yakni dari kondisi “basyariah” (derajat kehewanan, alias masih menuruti dorongan natural-hewani-nabatinya) menuju derajat kemanusiaan utuh (“insaniah”) yang telah mengatasi hambatan (kecenderungan) natur-nya, maka ajaran agama tak lain dari proses berkebudayaan itu sendiri, alias proses mengutuhkan olah berkemanusiaan itu sendiri, yakni sesuai kecenderungan dorongan “fitrah” (dorongan kepada yang lurus/kebaikan, keindahan, dll, alias dorongan ilahiah), yang tidak lain adalah sebenarnya nama lain “ajaran” yang ingin disorongkan oleh agama. Oleh karenanya kita sering mendefiniskan kebudayaan sebagai usaha keluar dari kondisi nature (basyariah) menuju culture (insaniyah).
Dari seluruh olah/laku “proses berbudaya” tersebut, seperti ditegaskan oleh Wedhatama, muara puncaknya adalah meningkatnya proses berkemanusian menuju kualitas “manusia utama” (janma utama) atau manusia berbudi utama. Di Sumatera, Bugis, dan Makassar, pada masa awal Islamisasi Nusantara, kita tahu gagasan “insan kamil” (manusia paripurna/utama/utuh) merupakan ajaran pokok yang telah menyebar dan membentuk struktur pandangan dunia Nusantara. Maka kita sering mendengar, bahwa kata “budi” (akar dari kata budaya) sering dikaitkan dengan “akhlak” dan “perbuatan baik” (akhlak-budi-pekerti). Bahkan kita juga dapat menghubungkan kata “kearifan” (dari kata “arif”, seakar kata dengan “ma’rifat” sebagai padanan dalam tahapan “sembah Rasa” yang telah saya jelaskan) dengan istilah lain “adat” (alias salah satu dimensi kebudayaan) yang dalam bahasa Arabnya berbunyi “urf” (adat atau arif-urf-ma’rifat). “Adat” atau “urf” (produk kearifan) (ingat istilah ini dari bahasa Arab, “addat-isti’addat”) adalah pengetahuan/kearifan (ma’rifat) atau nilai-nilai kebaikan yang telah termanifestasi dalam proses olah-kemanusiaan masyarakat sesuai tantangan partikularnya (manusia Jawa, manusia Sunda, manusia Nusantara, dll) sebagai produk “kearifan” atau “kebijaksanaan” dalam menerjemahkan secara lokal nilai-nilai universal keagamaan yang dianutnya. Nama-nama seperti “Arif Budiman”, “Arif Wicaksono”, menyiratkan akan gagasan pandangan dunia perihal gagasan sekaligus doa yang disematkan orang tua yang muncul dari struktur pandangan dunia terkait gagasan olah-kemanusiaan tersebut.
Makanya, seperti saya telah tekankan di paragraf sebelumnya, bahwa konsep “kemanusiaan” atau sebut saja gagasan “menjadi orang” (dadi wong) selalu terkait dan disandarkan pada konsep “ketuhanan”, seperti dirumuskan dalam Pancasila, yang berseberangan dan melawan prinsip “humanity” sebagai gagasan yang menegasi (atau minimal berdiri berseberangan dengan gagasan) (ke-)tuhan(-an). Dan dalam olah proses berkemanusian tersebut, kebudayaan sungguh tak terpisahkan dari gagasan agama. Malah saya menemukan, jika kebudayaan kita artikan dalam maknanya sebagai sistem pengetahuan (ide, dan makna)—selain makna lain sebagai sistem perilaku (pranata) dan produk budaya, laku olah kemanusian mengaktualkan empat fakultas kediriaan manusia itu (budaya), disebut Wedhatama sebagai, merupakan “laku berpengatahuan” atau “laku berilmu” itu sendiri. Dalam sebuah adigium yang cantik, Wedhatama menyebut: “Ngelmu iku kalakone kanthi Laku” (Ilmu itu tercapainya melalui laku-berkemanusian). Laku di sini, tidak pertama-tama terkait makna “praktik” atau “mempraktikan” sebagaimana dipahami secara sederhana oleh orang kebanyakan (ini hanya separuh benar), namun sebagaimana dieksplisitkan dalam Serat ini, adalah laku mengolah unsur kemanusiaan (olah kemanusiaan) atau mengolah empat fakultas kemanusiaan: (1) Karsa/Raga (amagang Laku), (2) Cipta (laku), (3) Jiwa (pepuntoning Laku), 4. Rasa (hasil laku, sudah tak ada lagi petunjuk).
Laku di sini, tidak pertama-tama terkait makna “praktik” atau “mempraktikan” sebagaimana dipahami secara sederhana oleh orang kebanyakan (ini hanya separuh benar), namun sebagaimana dieksplisitkan dalam Serat ini, adalah laku mengolah unsur kemanusiaan (olah kemanusiaan) atau mengolah empat fakultas kemanusiaan: (1) Karsa/Raga (amagang Laku), (2) Cipta (laku), (3) Jiwa (pepuntoning Laku), 4. Rasa (hasil laku, sudah tak ada lagi petunjuk).
Yang ingin saya katakan, proses menjadi manusia (berbudaya) dalam galur sistem pengetahuan ini adalah merupakan laku berilmu itu sendiri, dan ujung dari olah ini adalah kearifan dan kebijaksanaan, budi-pekerti, dan akhlak. Makanya dalam istilah tradisi, kata “sarjana” (dari bahasa Jawa) yang dalam perbendaharaan kesusasteraan serat, suluk, dan babad, sering dimaknai sebagai “orang yang telah tuntas/selesai dalam olah fakultas kemanusiaannya” (wong kang wus putus ing olah ngelmi/budi). Istilah ini sekaligus berbeda dengan istilah “sujana” (orang yang telah mengetahui banyak hal namun belum bisa menubuhkan dalam proses berkemanusiaannya secara paripurna). Makanya istilah capaian berpengetahuan atau berilmu selalu diandaikan berkait dengan peningkatan kualitas kedewasaan moral-ruhani-akhlak seseorang. Orang seperti ini dipandang sudah “sepuh” (dewasa/disesep ampuhe), karena telah bisa bersikap “arif” karena telah mengenali dan menempatkan kebenaran secara adil “sesuai tempatnya” dalam jaring bangun-susun kebenaran yang lebih utuh dan menyeluruh (bener durung mesti pener/becik). Dan orang yang telah mengenali pengetahuan ini dalam olah berkemanusiaan dalam laku/lelakon/lelaku hidupnya dikatakan telah mendapat pengetahuan “hikmah”, “kearifan”, dan “kebijaksanaan”.
Oleh karenanya, konotasi berilmu selalu berkait dengan gagasan kedewasaan. Dikatakan seseorang “telah menjadi orang” atau “dadi wong” (kemanusiaan), bisa merujuk orang yang berpengaruh, atau orang yang memiliki posisi atau jabatan tinggi misalnya, sebenarnya ingin menunjuk perihal besar tanggung jawab moral yang diembannya, maupun kedalaman pengetahuannya yang menubuh sebagai tempat sandaran orang banyak (yang dipimpinnya), alias telah “tegak” dan mandiri (baik secara pengetahuan, ekonomi, moral, maupun ruhani), sebagai hasil dari proses olah berkemanusiaanya. Pada istilah yang berkebalikan dengan “menjadi orang” (dadi wong) kita juga mendapati istilah “durung jawa” (belum Jawa/mengerti), yang sering dikonotasikan pada sikap atau perilaku anak-anak atau kekanak-kanakan, karena masih terbelenggu sikap egotis “menang sendiri” atau “benar sendiri” yang berlawanan dengan prinsip pengaturan kehidupan bersama yang didasarkan pada prinsip menanggalkan sikap “mementingkan diri sendiri” dan invidualisme. Hal itulah yang menyebabkan, dalam tradisi kita, khususnya Jawa, dalam level kebudayaannya, dipenuhi istilah nanding-sarira (membandingkan antar diri), ngukur-sarira (mengukur diri), tepa-salira (menakar diri dari sudut pengetahuan, rasa atau kebenaran orang lain/alias merasakan rasa orang lain/ tenggang rasa), hingga mulat sarira dan mawas diri (mengawasi atau mengenali diri sendiri), yang sebenarnya merupakan katakanlah tahapan proses berkemanusiaan diri yang tidak mungkin berhasil tegak tanpa proses memanusiakan (baca: nguwongke) manusia lain dalam kebersamaan hidup (gotong-royong), yang memang secara ontologis saling mengandaikan.
Keberhasilan dalam olah-kemanusiaan untuk mencapai kedewasaan (alias telah mampu ber-tepa-salira [tenggang rasa], mandiri [dadi wong], dan mengatasi sikap “mementingkan diri sendiri”) inilah yang menyangga bangun “persatuan”, “kebersamaan”, dan prinsip “gotong-royong” ataupun “kerukunan”. Oleh karenanya dari sejak awal saya katakan bahwa olah-kemanusiaan (prinsip kemanusiaan) yang didasarkan pada prinsip ketuhanan (prinsip ketuhanan) dalam nalar pengetahuan ini akan mengantarkan pada kondisi “persatuan” dan “gotong-royong” (prinsip persatuan). Bahkan sebagaimana olah berkemanusiaan yang bertujuan pada usaha penanggalan sikap “mencari benar sendiri” (alias telah melampaui egotisme individualnya, alias bersikap adil pada dirinya sendiri) maupun proses olah kemanusiaan yang berujung pada budi-pekerti-utama atau “adab”, maka kalimat sila Pancasila “kemanusiaan yang adil dan ber-adab” punya titik hubung relevansi makna dengan proses berkemanusiaan (berkebudayaan) seperti yang telah saya elaborasi.
Dan ini ditambah penegasan sila “Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat dan Kebijaksanaan dalam permusyawaratan Perwakilan”, yang hanya mengafirmasi saja elaborasi yang telah saya kemukakan. Karena proses berkebudayaan (olah kemanusiaan) sebagai sebuah proses berpengetahuan itu sendiri, dimana dalam laku mengutuhkan kedirian kemanusiaan seseorang akan mengantarkan pada capaian pengetahuan “kearifan” atau “kebijaksanaan”, maupun “hikmat”, alias proses menerjemahkan kebenaran dalam konteks pergulatan kemanusiaan yang spesifik dan particular ke-Indonesiaan, atau telah berhasil menempatkan kebenaran pada “porsi” dan “tempat”, dan “takaran”-nya karena telah menyisihkan sikap “menang sendiri” (alias telah arif, bijak, kebijaksanaan) karena dipandu dalam payung musyawarah, untuk mencegah dorongan ingin “benar sendiri” atau “semaunya sendiri”. Dan pada pandu “hikmat”, “kebijaksanaan” (kearifan) inilah bukan hanya prinsip “kerakyatan” kita arahkan, melainkan dari jalan ini gagasan adil—ingat kata ini berakar dalam istilah al Qur’an (‘adl)—bisa terselenggara (Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia).
Karena bagaimanapun, sikap mencari “benar sendiri” maupun “semaunya sendiri” (alias berangkat dari egotisme dan menafikan kebersamaan/gotong royong) akan menjadi penghalang terbesar mengenali sesuatu sesuai “porsi” dan “tempat”-nya dalam jaring “kebenaran” hidup secara lebih menyeluruh (kearifan), apalagi dalam usaha untuk menempatkan, mendudukkan, atau menciptakan kondisi sesuai tatanan sesuai “porsi”, “takaran”, “tempat”-nya sebagaimana dikandung dalam istilah adil seperti yang ingin diusahakan (keadilan). Dan dari proses olah berkemanusiaan ini, keadilan sosial tak mungkin terselenggara, tanpa pengandaian nilai “adil terhadap diri sendiri” yang dicapai dari keberhasilan olah berkemanusiaan (Kemanusiaan) atau berkebudayaan yang menuntun usaha memanusiakan manusia lain (Persatuan), dalam rangka mengaktualkan “fitrah” kebenaran “ilahiah” yang tertanam dalam diri yang selaras serta dikukuhkan oleh kebenaran ajaran agama kita tersebut (Ketuhanan).
***
Nah di penghujung tulisan ini saya ingin katakan, nilai-nilai besar yang menopang bangsa ini sebagaimana telah saya elaborasi di atas ternyata disangga oleh bangun sistem pandangan dunia lama, sebut saja begitu—dalam istilah topik Kongres Kebudayaan Desa ini dibahasakan dengan istilah “Alam Pikiran Nusantara”—yang lambat laun tidak lagi kita kenali, atau alih-alih kita ilmui, atau bahkan kita singkirkan, yang sebenarnya masih berdenyut secara halus dalam ruang kesadaran dan alam pikiran bangsa ini. Dan saya kira desa merupakan ruang kultural tempat nilai-nilai besar yang menopang bangsa tersebut masih terus dijaga dan dipertahankan, meski ia juga pada sisi lain terus saja terdesak ke pinggiran.
Dan saya kira Desa merupakan ruang kultural tempat nilai-nilai besar yang menopang bangsa tersebut masih terus dijaga dan dipertahankan, meski ia juga pada sisi lain terus saja terdesak ke pinggiran.
Di masa pandemik ini, mungkin banyak orang tersadar betapa bangun tata sosial politik bangsa kita begitu lembek dan rapuh. Juga pada takaran tertentu, rajutan kultural kebersamaan masyarakat, kita rasa tak setangguh dulu. Orang-orang dipaksa untuk merenung sekaligus memikirkan, juga tergagap-gagap pada saat bersamaan, ihwal tata kebiasaan baru, yang mungkin tak punya presedennya di belakang. Harus ada usaha serius untuk memikirkan bangun integrasi kultural dalam pengertian mendasarnya, yang bukan hanya untuk mempersiapkan tata “new normal” semata, melainkan juga untuk mengusahakan penyeleseian masalah “transisi kultural” yang telah saya sebut di awal tulisan ini. Karena tanpa usaha ulang untuk mengilmui kembali nalar pandangan dunia masyarakat ini, yang sebenarnya secara faktual masih menyangga bangun kedirian kita sebagai bangsa, dan kemudian mengenali “warisan” kearifan pandangan dunia lama tersebut beserta turunan praktik kulturalnya, juga sekaligus mendudukkannya dalam dialektika yang dinamis dalam arus perubahan dunia modern dunia, kita akan terus-menerus terseok-seok, alih-alih berdiri berdaulat di tengah arus perubahan yang tak sepenuhnya kita kendalikan.
Kenapa saya tak melulu berfokus pada tata nilai baru atau oleh orang banyak disebut new-normal itu, karena dalam cara pandang tradisi hal itu punya nilai dan makna lain, yang dari cara pandang tersebut mengakibatkan cara penanggapan dan penyeleseian lain atasnya. Bencana besar Pageblug yang hari ini melanda dunia—kamus Bausastra Poerwadarminta mendefinisikan pageblug sebagai masa dimana banyak penyakit menular (ungsum lelara nelular)—dalam kacamata tradisi adalah sebuah peristiwa siklik (cakramanggilingan), alias terjadi sebuah pergerakan kosmis berulang dari suatu kondisi menuju kondisi lain seperti dalam adegan gara-gara dalam pewayangan. Dan orang bersikap, setelah gara-gara reda (sirep), bukan untuk kembali pada keadaan semula, melainkan telah terbarukan dan siap menyesuaikan diri dengan keadaan baru. Dan kesiapan itu dicapai dengan mengubah kedirian kita yang juga ikut terbarukan, lewat proses “laku ruhani” (tapa) yang mengubah.
Dari struktur nalar ini, pageblug, bencana, ataupun pandemi, harus menggeret orang untuk menengok kedirian dan masyarakatnya. Karena pengandainnya, jika terjadi huru-hara atau bencana pada jagad gede kita, pasti ada yang tak beres dari jagad cilik ruhani diri kita. Pasti ada ketidakberesan ruhani, yang gradasinya bermuara menaik menuju para orang-orang kunci yang menentukan praktik kehidupan bersama, yang menyebabkan guncangan kosmis ini. Jika jagad ruhani kita dipenuhi “keserakahan”-yang menyebabkan nalar eksploitasi di luar kendali atas lingkungan maupun atas manusia lain, atau “ketidakjujuran” atau “menang-sendiri”, juga kondisi ruhani “tak amanah”-yang menyebabkan aturan bersama yang muncul justru menimbulkan perpecahan, maraknya perselisihan, atau suburnya kebencian, dan masih banyak lainnya, maka kita diminta berbenah. Pasti ada yang mesle dari cara berelasi kita (dunia ini) terkait alam, manusia, dan juga Tuhan, alias ada yang salah dari proses olah berkemanusiaan atau berkebudayaan kita, bahkan di dunia ini, secara lebih mendasar. Dan mungkin inilah saat yang tepat untuk mengeavaluasi olah-berkemanusiaan atau olah-berkebudayaan kita bersama sebagai bangsa, yang juga bisa menjadi sumbangsih atas dunia, atau bahkan merupakan titik krusial yang sebenarnya menjadi prasyarat menyemai kemandirian dan kedaulatan kita sebagai bangsa, dan (akhirnya) saya kira desa merupakan titik pijak yang tepat untuk memulainya.
Cepokpojajar, Bantul, 1 Juli 2020
*(Makalah ini disampaikan dalam acara Kongres Kebudayaan Desa 2020, 6 Juli 2020, Kampung Mataraman, Jl. Ringroad Selatan, Glugo No. 93, Panggungharjo, Yogyakarta 55188)
Saya hingga hari ini merasa diri sebagai santri Lelana. Atau santri kelana, atau sebut saja semacam pelajar atau penuntut ilmu yang sedang berkelana dan terus mengembara. Saya tak tahu sampai kapan predikat ini akan saya sandang, atau barangkali memang mungkin tak seharusnya saya tanggalkan. Nah, Termasuk kunjungan saya ke berbagai kota di Jawa beberapa bulan-bulan terakhir ini, juga saya saya maknai dalam pengertian itu. Dan mungkin juga kunjungan-kunjungan saya setelahnya.
Saya memaknai “lelana” di sini sedikitnya terkait dalam pengertian ontologis yang bisa saya gapai. Kata “lana” seturut makna Kawi-nya saya duga lebih dekat pada makna “sendiri”, “kesendirian”, atau mungkin lebih tepatnya “asing” atau “terasing”, mirip dekat kata “gharib” dalam bahasa Arab yang juga berarti “asing”. Karena mungkin sejatinya “rumah” kita memang tidak di dunia ini.
Kita sebenarnya hanya merupakan tamu di dunia ini, dan oleh karenanya “keterasingan” dan kesementaraan selalu akan menguntit kita, nyaris seperti bayangan kita sendiri.
Darinya saya tergoda untuk mengambil rumusan: memang hidup ini cuma persinggahan. Hidup ini adalah sejenis perjalanan, pengelanaan, lelakon, atau bahkan pengembaraan. Ya kita hanyalah seorang yang berusaha menyesap pengetahuan hidup sebagai bekal untuk dan di dalam perjalanan dan pengelanaan itu sendiri (santri kelana).
Selama kunjungan saya di berbagai kota di Jawa, banyak teman di berbagai daerah bertanya tentang Langgar kami (Langgar.co), juga kabar tentang forum “Suluk Kebudayaan Indonesia” yang kami gagas dan kelola yang pada bulan Maret ini memasuki seri #3. Bahkan beberapa orang menawarkan diri untuk mendirikan Langgar cabang di kota-kota mereka. Yang sudah menawarkan diri mendirikan Langgar cabang adalah Malang, Kediri, dan Ponorogo. Saya jujur belum punya jawaban, meski mereka sudah posting deklarasi dalam beranda media sosial mereka.
Tegerak akan pertanyaan mereka, malam tadi tiba-tiba muncul kelebatan ide seperti ini. Saya ingin mengundang teman-teman sekalian yang berkenan, untuk menghidupkan kembali atau bahkan mendirikan Langgar mereka di berbagai kota. Langgar tidak dalam pengertian webnya, melainkan menghidupkan kembali Langgar-langgar di desa/kota (jika memungkinkan termasuk bangunan fisik dan nama “Langgar”-nya, yakni sebagai aktivitas “ngaji” dan “mengkaji” kebudayaan dalam pengertian terluasnya yang menyangga bangun masyarakat dan bangsa kita.
Saya menyodorkan gagasan dan nama “langgar” sebagai kata lokal yang telah diserap (termasuk turunan lokal lain yang dimungkinkan, seperti surau, taratak, langge, dll.) untuk menjadi ikon. Kenapa seperti itu, karena bagi kami, “Langgar” merekam pertemuan lokal-global sekaligus. Ia berasal dari ide lokal-partikular yang bertemu ajaran yang punya dimensi universalnya (Islam).
Kedua kenapa saya masih mengaitkan agama dalam usaha mengaji dan mengkaji ulang tradisi dan kebudayaan, karena memang dalam konteks kita berbangsa, dalam konteks Indonesia, agama selalu menjadi sesuatu yang inti dan tak bisa diabaikan. Bahkan jika mau jujur, setiap gerakan (saya pingin menghindari kata ini sebenarnya) apapun yang berusaha mengubah kenyataan Indonesia tanpa menyelesaikan dan menangani agama secara tuntas, hanya akan dibayangi keretakan.
Ketiga kenapa kebudayaan karena ini merupakan inti olah kemanusiaan praktik diri dan masyarakat kita dalam berbangsa (olah cipta, karsa, rasa). Jika di titik ini gagal, perubahan di level sistem, struktur, maupun suprastruktur akan bersifat sementara, parsial, dan kandas. Tentu olah ini bersifat khusus dan bercorak partikular sesuai kondisi tantangan dan keadaan bangsa yang memang berbeda dari bangsa lain.
Oleh karenanya, menurut saya ketegangan perspektif ham universal (liberal) vs fundamentalisme-formalisme agama, yang dalam derajat tertentu mendaku klaim universalnya dan oleh karenanya mengabaikan partikularitas pergulatan olah berbangsa, yakni dalam menyorongkan perubahan bangsa, akan terus menjadi sumber perpecahan dan tegangan. Dan hanya melalui jalur kebudayaan (dimana kata ini menampung proses pergulatan olah kemanusiaan yang bersifat universal dan partikular sekaligus), siapa tahu ketegangan ini bisa ditangani.
Dengan cara itu isu-isu penting seperti, gender, HAM, toleransi, multikulturalisme, agama, kemanusiaan, ketuhanan, juga ideologi besar dunia vs pancasila, bisa kita tangani lebih arif dengan cara masih mengaitkan “akar” tradisi dan kebudayaan yang menyangga kedirian (seakar kata dengan kata berdiri/mandiri) berbangsa kita.
Dengan cara menghidupkan kembali dan mendirikan langgar kita bisa memulai “kajian” dan “pengajian” yang meningkatkan kualitas kemuliaan kemanusiaan kita (baca: aji). Alias meningkatkan level olah kemanusiaan (suluk budaya) yang mengangkat level pemahaman ketuhanan dan pemahaman agama kita di satu sisi (istilah Soekarno, agama/ketuhanan yang berkebudayaan) maupun proses olah kemanusiaan kita sebagai bangsa (budaya). Sehingga tak ada lagi orang yang berujar tanpa dasar terkait pertentangan antara kemanusiaan versus ketuhanan yang berdiri berhadap-hadapan.
Dan saya pikir Langgar bisa menjadi tempat singgah dan tempat mengendapkan kejernihan serta tempat menyesap ilmu dalam sebuah perjalanan, pengembaraan, dan pengelanaan berbangsa, untuk memberi arah baru untuk menuntaskan tugas kemanusiaan kita dalam perjalanan dan pengelanaan sementara kita di dunia ini.
Karena keberhasilan menunaikan tugas di dunia yang sementara ini, alias tugas olah kemanusiaan dan Suluk kebudayaan bangsa ini adalah satu-satunya yang bisa menggaransi kita bahwa perjalanan dan pengembaraan kesementaran hidup di dunia ini masih punya makna.
Dan dari proses tersebut, hal-hal apapun yang menghalangi olah proses kemanusian, beragama, ketuhanan, dan berbudaya kita, seperti sistem ekonomi yang menghisap, transaksi politik liberal yang mengabaikan keadilan, gelontoran arus pengetahuan yang membuat ketercerabutan, gagasan doktrin agama yang menggusur kebudayaan, dll. akan menjadi musuh dalam olah mendirikan “jati diri” bangsa.
Dan dengan adanya langgar, saya yang membayangkan sebagai santri kelana yang mulai kelelahan dan yang terus menerus dalam perjalanan dan Lelakon, bisa singgah sementara dan menginap sementara, serta meminum dahaga pengetahuan dan meneguhkan saya untuk terus melanjutkan perjalanan dan pengembaraan. Sebuah Langgar Kebudayaan yang menjadi tempat persinggahan orang-orang yang berjalan (suluk), yang juga bisa membantu dan memberi bekal perjalanan sementara berbangsa di dunia yang fana ini.
Apakah ajakan saya ini akan bersambut?
Saya tak benar-benar tahu, apakah gejala formalisme beragama kita yang kian marak di Indonesia belakangan ini, yang bahkan pada taraf tertentu punya dimensi atau semangat untuk mengekslusi atau menyingkirkan kelompok (agama) lain, pada ambang tertentu, sudah membuat kita sebagai bangsa, semakin menjauh dari prinsip dan nilai kebersamaan, dan kegotong-royongan, atau sebut saja pesatuan Indonesia, sebagaimana dulu nilai-nilai tersebut dipancangkan oleh para pendiri bangsa di masa awal kemerdekaan negeri ini. Saya tak punya kapasitas menilainya.
Namun, saya tiba-tiba mengingat sebuah istilah yang dulu dikenalkan Soekarno di rapat BPUPK, tanggal 1 Juni 1945, saat ia berkesempatan menyodorkan gagasannya terkait dasar filsafat Negara Indonesia (philosofische grondslag)—yang kemudian ia namai sendiri dengan nama “Pancasila”, yang berarti “lima asas” atau “lima dasar”. Saat mengemukakan sila yang kelima (Soekarno tak mementingkan urutan sila ini, karena baginya hanya sekadar “urut-urutan kebiasaan saja”), ia menyarankan Indonesia Merdeka harus berdasar prinsip Ketuhanan. Yakni bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, namun masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan (menurut kepercayaan) Tuhannya sendiri. Hendaknya Negara Indonesia ialah Negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara Kebudayaan yakni dengan tiada “egoisme agama”. Bahwa prinsip kelima daripada negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain (Soekarno, 1984: 147-154).
Apa makna kalimatnya? Atau bagaimana tepatnya kita merespon istilah “ketuhanan yang berkebudayaan” yang ia sorongkan, di saat Sekularisme telah meresapi bangun ruang hidup kita secara keseluruhan—sebagaimana dulu dicetuskan dalam bingkai nalar sains abad modern yang memang berusaha menyingkirkan sejauh-jauhnya peran agama juga Tuhan menyingkir di sisi pinggir peradaban dunia? Atau Juga bagaimana memaknai istilah Soekarno tersebut, di saat agama telah terdomestifikasi sebagai ajaran ritual peribadatan semata, sehingga membuatnya saling hadap perhadap dengan wilayah “kebudayaan” di satu sisi, maupun gejala sains (paradigma modernisme yang telah menyangga bangun keseluruhan pranata sosial modern kenegaraan kita saat ini) yang secara umum telah memilah ranah-ranah politik, kebudayaan, seni, dan agama—terutama dalam arena diskursus politik publik demokrasi liberal—sebagai sesuatu yang saling memisahkan dan saling bediri hadap-perhadap satu dengan yang lain di sisi lainnya? Dan lalu bagaimana kita menyambungkan makna prinsip ketuhanan, yang senyatanya telah kita sepakati menjadi satu bagian dasar negeri kita, juga bagaimana menyambungkan makna agama sebagai “petunjuk keseluruhan hidup” dalam konteks kebangsaan kita yang semakin larut dalam diskursus politik demokrasi liberal yang mendomestifikasi peran agama ke dalam ruang privat?
Saya ingin menjawabnya dengan mengais khazanah tradisi dari “Serat Wedhatama” dalam literatur Jawa. Dalam pembendaharaan serat ini, terdapat sebuah istilah penting terkait definisi “kebudayaan” yang dari khasanah pengetahuan tersebut barangkali istilah kebudayaan itu kita ambil: yakni “olah budi” atau “budya”. Jika kita bersepakat arti kebudayaan—sebagaimana didefinisikan Koentjaraningrat sebagai “hasil olah Cipta, karsa, dan rasa manusia”, maka kebudayaan dalam konotasi tertentu merupakan sebuah proses “olah budi” kemanusian, tentu jika kata “budi” kita maknai seturut dengan pemaknaan Wedhatama dimana istilah “budi” menunjuk aspek terdalam keseluruhan diri manusia: yakni Karsa, Cipta, Jiwa, dan Rasa. Olah Budi dengan demikian adalah proses mengolah unsur terdalam bagian diri (sifatnya rohani), atau proses mengolah Karsa, Cipta, Jiwa, dan Rasa kita agar kemanusiaan kita menjadi lebih utuh.
Tak mengherankan jika kita mendapati, salah satu defenisi kebudayaan berbunyi sebagai olah “men-daya-kan budi kemanusian kita (baca: budaya, budi-daya) yakni agar kita bergerak dari kecenderungan sifat-sifat hewan yang memang secara alami menggerakkan hidup kita (nature), menuju kondisi kemanusiaan yang lebih utuh dalam berelasi mengatur hidup bersama yang lebih memanusiakan orang (culture). Dalam konteks ini sebenarnya kata “budaya” dengan segenap konotasi “ruhaninya” tak benar-benar sepadan dengan kata “cultuur” (belanda) ataupun “culture” (inggris) yang lebih punya asosiasi kepada aktivitas “bercocok tanam”.
Masalahnya dulu, terutama dalam pengertian tradisi Jawa, juga bahkan di Nusantara secara keseluruhan, kata olah budi masih berkait sesuatu yang ruhani, alias masih menyandarkan Tuhan dalam bangun proses mengutuhkan potensi kedirian kemanusiaan tersebut. Karena sejatinya olah potensi Karsa, Cipta, Jiwa, dan Rasa, (olah-budi, atau budaya) dari keseluruhan potensi yang tersimpan dalam diri kita adalah sejenis usaha mengolah potensi “ilahiah” atau “ruhaniah” di dalam diri yang seringnya kalah dengan dominasi dorongan “kehewanan” yang menghambat proses kita menjadi “manusia”. Oleh karenanya, di dalam literatur “Serat Wedhatama” proses “olah budi” atau proses berbudaya tersebut masih diembel-embeli dengan kata “sembah”: yakni Sembah Karsa, sembah Cipta, sembah Jiwa, dan sembah Rasa.
Keberhasilan dari proses mengolah potensi “ilahiah” kemanusian kita ini akan mengantarkan kita kepada derajat kemanusiaan yang bisa memuliakan manusia lain alias mengantarkan kita menjadi manusia yang utuh dan “paripurna” (insan kamil). Sebuah capaian kemanusiaan yang telah membantu kita memperindah budi-pekerti dan akhlak yang utama (janma utama).
Keberhasilan dari proses mengolah potensi “ilahiah” kemanusian kita ini akan mengantarkan kita kepada derajat kemanusiaan yang bisa memuliakan manusia lain alias mengantarkan kita menjadi manusia yang utuh dan “paripurna” (insan kamil). Sebuah capaian kemanusiaan yang telah membantu kita memperindah budi-pekerti dan akhlak yang utama (janma utama). Dan bukankah ini, mengambil contoh ajaran Islam, merupakan tujuan puncak diturunkan ajaran agama: yakni menyempurnakan akhlak utama. Yakni budi-pekerti yang dicapai manusia setelah melalui proses perjuangannya mengolah-budinya atau setelah proses olah “berkebudayaan”nya, dari kondisi status kemanusiaannya yang sebelumnya terbelenggu dorongan-dorongan alami hewaninya (basyar) menuju diri kemanusiaan yang dilimputi oleh akhlak dan budi-pekerti utama untuk mengatur hidup bersama yang saling mengamankan dan menebarkan kedamaian, kebersamaan, dan rahmat kepada siapapun (insan).
Dalam koridor penafsiran ini, ajaran inti beragama adalah mengolah budi kemanusiaan dari status “kehewanan” kita menuju potensi “kemanusiaan” kita, alias ajaran berkebudayaan atau bahkan proses berkebudayaan itu sendiri, dalam visi ketuhanan yang membantu kita memperindah pola kehidupan bersama dalam sebuah tata-kemasyarakatan. Dan dengan kerangka ini pula, agama—beserta ajaran tentang ketuhanannya—seharusnya tak bediri terpisah dengan “kebudayaan”, serta hendaknya mengukuhkan “olah-kedirian” berkebudayaan atau olah proses kemanusiaan sebuah masyarakat, yang memang secara factual bersifat particular-lokal (Indonesia) dan memang berbeda-beda pada setiap bangsa dan masyarakat. Inilah ajaran ketuhanan yang telah membantu menegakkan jati-diri olah-kebudayaan kebangsaan masyarakat tertentu, yakni telah melampaui ajaran hitam-putihnya (syari’at) sebagai batu bata-utama awal dalam menata hidup yang telah mengantarkannya kepada capaian “hikmat”, “kebijaksanaan”, dan “kearifan” (satu akar kata dengan ma’rifat). Sebuah agama yang tidak lagi mengawang dalam ajaran dan doktrin yang masih berjarak dan memisahkan diri pergulatan kebudayaan sebuah masyarakat, melainkan ajaran keagamaan dan ketuhanan yang membantu mengutuhkan jati-diri “kebudayaan” sebuah bangsa dalam mengekplorasi olah potensi “ilahiyah” yang bersemanyam dalam “fitrah” kemanusiaan yang berkecenderungan lurus (hanif) tersebut.
“Ketuhanan yang berkebudayaan” sebagai salah satu sila dari Pancasila seperti disorongkan Soekarno di atas, dengan sendirinya sekarang memiliki relevansi dan memungkinkan kita memaknainya untuk kebutuhan kita hari ini. Bahwa dalam visi dan prinsip ketuhanan dan ajaran agama, hendaknya membantu kita untuk mengatur hidup bersama dalam bingkai kerakyatan yang tidak semata dipandu olah ajaran hitam-putih (parsial menurut egoisme kelompok maupun golongan [agama] tertentu) melainkan seharusnya dipandu oleh penglihatan utuh dalam bingkai “hikmat” (mengambil hikmah “baik” dari peristiwa “buruk”, alias telah melampaui baik-buruk), maupun dalam bingkai kebijaksanaan dan kearifan (ma’rifat) yang tidak lagi mencari menang-menangan dalam payung “musyawarah”. Yakni olah kemanusiaan dalam mengatur hidup bersama dalam semangat “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dalam permusyawaratan”. Dalam bahasa Soekarno, olah kemanusian dalam bingkai ketuhanan tersebut dengan sendirinya bersifat “kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme agama’” yang tidak membenarkan “egotisme kebenaran” dari prinsip ketuhanan tertentu.
Dalam kalimat lain, prinsip ketuhanan dalam proses olah kemanusiaan yang mengutuhkan proses berkebudayaan sebuah bangsa seharusnya juga mengejawantah dalam akhlak maupun budi pekerti luhur.
Dalam kalimat lain, prinsip ketuhanan dalam proses olah kemanusiaan yang mengutuhkan proses berkebudayaan sebuah bangsa seharusnya juga mengejawantah dalam akhlak maupun budi pekerti luhur. Yakni sebuah prinsip ketuhanan yang telah membantu olah budi-pekerti dalam proses menjadi manusia seutuhnya dalam mengejar kecenderungan fitrahnya sesuai konteks pergulatan kebangsaannya yang memiliki tantangan dan kondisi yang memang berbeda dengan bangsa lain. Nah, prinsip ketuhanan dan ajaran agama seperti inilah yang telah terbukti membantu manusia Indonesia menemukan jati-diri kemanusiaannya. Ketuhanan yang mengantarkan penganutnya kepada akhlak utama dan budi-pekerti luhur dan ketuhanan yang tidak lagi mengekslusi, menyingkirkan, dan menghina “tuhan” kelompok lain, alias ketuhanan—dalam bahasa Soekarno—“ketuhanan yang berkebudayaan, yakni ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain.” Sebuah prinsip ketuhanan dan agama yang justru membantu memperkokoh jati-diri kebudayaan sebuah bangsa dalam menata kehidupan bersama. Ajaran agama yang dengan sendirinya bisa menebar rahmat bagi alam semesta.