Saya mungkin seorang yang—atau mungkin juga sebagian warga Kampung Buku Jogja yang dengan gegap gempita masih merayakan pemeran buku “Kampung Buku Jogja #4” 2018—dengan cara yang sedikit sentimentil terlalu terserap dan terjerat begitu kuat ke dalam buku dan pernak-pernik peliknya. Hingga bahkan untuk keluar dari belitannya, saya atau kita merasa tak mampu. Awalnya belitan itu kita datangi sebagai ujud rasa cinta, yakni dengan membenamkan diri dalam aktivitas membaca juga sedikit rasa ingin tahu menjelajahi semesta pengetahuan yang kita rasa akan mengantarkan pada sebuah “pencerahan” yang bisa menggusah kebodohan juga rasa ingin tahu kita.
Setidaknya aktivitas itu samar-samar saya rasakan sejak masih belia, hingga dalam pengertian intens dan “seriusnya” menanjak justru sejak saya mulai memasuki bangku perkuliahan. Awalnya kita mungkin tak sadar, “kegemaran” ini di hari-hari kelak akan menggeret kita ke sebuah arus pusaran serius, yang serta-merta (lalu pelan-pelan kita sadari) menyisihkan deretan pilihan-pilihan hidup kita yang lain sebagai adonan “rasa cinta”, keterpaksaan, penerimaan, kepasrahan, atau bahkan kerendah-hatian kita untuk menggaulinya, mengimajikannya sebagai “panggilan hidup” hingga umur yang semakin menyusut-maju.
Atau mungkin ini sejenis “derma” (darma), yakni sebuah panggilan hati atau “tugas” yang begitu kuat yang terus-menerus muncul dan menginterupsi pilihan-pilihan hidup sehingga tak kuasa kita tampik, maka kita, mau tak mau atau memang sudah “semestinya” untuk sekedar menyambut dan me-lakoni-nya dengan rasa cinta dan penerimaan tulus. Apakah buku beserta berbagai “daya- tariknya” dalam kasus saya, atau mungkin sebagian kita warga Kampung Buku Jogja, adalah sejenis ungkapan kerendah-hatian ejawahtah petitih “urip mung saderma nglakoni” atau “hidup sejenis sambutan tulus atas panggilan nurani yang menuntut” seperti dikatakan para leluhur kita. Saya tak tahu pasti. Tapi mungkin sebagian Anda setuju dengan saya.
Apakah buku beserta berbagai “daya- tariknya” dalam kasus saya, atau mungkin sebagian kita warga Kampung Buku Jogja, adalah sejenis ungkapan kerendah-hatian ejawahtah petitih “urip mung saderma nglakoni” atau “hidup sejenis sambutan tulus atas panggilan nurani yang menuntut” seperti dikatakan para leluhur kita. Saya tak tahu pasti. Tapi mungkin sebagian Anda setuju dengan saya.
Bangsa kita, saya kira, telah mengalami berbagai fase tak linier dari rentang jenjang pengenalan keberaksaraan yang dikenalkan yakni dari sejak mesin cetak dalam bentuk buku dan persuratkabaran, munculnya teknologi radio dan televisi audiovisual, timbulnya era eletronik, hingga era digital teknologi informasi yang kita sesap pada hari ini. Saya samar-samar ingat, teknologi mesin cetak yang memproduksi buku beserta surat kabar (bentuk ekstrim dari buku) yang menyebar di kalangan penggerak nasional awal negeri ini dalam konteks kebangsaan sungguh telah melahirkan juga melecut nasionalisme “yang dibayangkan” atau “diimajikan” sebagai Negara-bangsa. Teknologi cetak kapitalisme (print capitalism), menyitir Ben Anderson, telah melecut para tokoh nasional dan terpelajar era itu untuk merumuskan, menyatukan, dan melahirkan sebuah gagasan kebangsaan yang kita kenal hari ini sebagai “Indonesia”.
Kekuatan buku, surat kabar, beserta media teknologi cetak turunannya dalam lanskap latar sosial tradisi kelisanan (orality) mayoritas masyarakat Indonesia, telah menunjukkan signifikansinya dalam usahanya mengawal dan membantu perumusan dasar-dasar formatif di era awal pendirian negeri ini. Keberaksaraan (literacy), pengetahuan, sekolah, dan modernitas sebagai sebuah fakta tunggal yang sejak saat itu dianggap bernilai penting, yang oleh karenanya seruan imperatif moralnya susah diabaikan atau ditolak—bahkan oleh orang yang paling tidak peduli atasnya—kita diandaikan sebagai prasyarat penting dalam usaha membangun bangsa ini sejak di masa awal pendiriannya. Atau, saya tak tahu, mungkin hingga kini.
Ia, keberaksaraan (literacy), telah menjadi norma dan ukuran capaian peradaban sebuah bangsa yang terus menerus harus dilanggengkan, karena daya jangkaunya dianggap dapat menggeret tiap individu yang bergelut dengannya untuk mengambil jarak atas dunianya, sehingga menumbuhkan unsur kedirian otentik dan refleksi bagi perkembangan jati diri, juga kemanusian dalam tata kebangsaan. Ia, keberaksaaraan juga dianggap wakil syah nilai “keterpelajaran” yang berdiri vis-avis dengan kelisanan dan ketak-beraksaraan alias ketak-melekhurufan yang meski pada titik tertentu kadang lebih bersifat menyatukan tetap saja ia kita posisikan sebagai wakil “ketertinggalan” dan “keberlarutan” dalam ketidaksadaran massal yang mengelabui.
Sekolah, pendidikan, buku, tulisan, dan keberaksaraan secara umum, saya kira sejak saat itu, kita anggap sebagai matra tunggal penting yang menyeret bangsa ini dalam usahanya memajukan masyarakat dan bangsa. Namun kita mafhum, belum melampaui fase matangnya, bangsa kita telah terbanjiri kebudayaan audio-visual televisi maupun turunannya yang justru menyuburkan fase kelisanan massal yang melenakan. Belum lagi, jika melihat fakta politik tertentu, yakni saat payung otoritariasme rezim kekuasaan justru menyabotase arah media cetak buku maupun surat kabar, juga banjir tayangan audio visual sebagai corong selektif ideology kekuasaan. Pada titik itu, media cetak buku justru terkerangkeng atau setidaknya tersuruk menjadi corong informasi dan pengetahuan normatif yang formal, kaku, superfisial, dan baku, yang dalam kadar tertentu menyuburkan budaya kelisanan kita yang pasif dan dangkal.
Pada titik itu, media cetak buku justru terkerangkeng atau setidaknya tersuruk menjadi corong informasi dan pengetahuan normatif yang formal, kaku, superfisial, dan baku, yang dalam kadar tertentu menyuburkan budaya kelisanan kita yang pasif dan dangkal.
Peran demokratisasi pengetahuan yang dulu disebarkan oleh buku juga jenis tulisan serta keberaksaraan lain dengan cara khasnya, yakni dengan aspek kedalaman yang meminta pembacanya masuk, juga unsur pengambilan jarak terhadap kenyataan yang terperantrai lewat keruntutan logis bahasa dan kedalaman permenungan yang ditawarkannnya, nyaris tak beranjak kemana-mana. Serbuan audio visual di masanya sungguh memberi tantangan tersendiri bagi gerak penyebarluasan tradisi keberaksaraan yang dari sejak awal kita imajikan akan bisa membantu pemenuhan penciptaan kedirian dan keterpelajaran, maupun pembangunan sebuah bangsa.
Belum reda fase transisi, atau mungkin lebih tepatnya fase interupsi ini, budaya digital teknologi informasi sungguh telah menjadi realitas yang tak mungkin kita hindari bahkan kita tampik. Deraan banjir informasi dari muara era digital teknologi informasi sungguh telah menjadikan buku hanya salah satu media minor dalam jagad keberlimpahan informasi, data, pengetahuan, atau bahkan Ilmu. Ia yang dulu kita andalkan sebagai perangkat keberaksaraan yang memupus “ketertinggalan” juga “kebodohan” nyaris lamat-lamat tersisih di pinggir “ketertinggalan” zaman.
Jika saya renung-renung, perangkat teknologi informasi pada gawai yang kita pegang saat ini misalnya, kita tahu, telah mempu merangkum dan mengkonvergensikan seluruh bangun kemampuan teknologi sebelumnya yang dulu merupakan unit satuan terpisah, yakni dengan meramu dan menggabungkan bentuk citra, gambar-gerak, aksara, teks, audio, visual, dan grafis audio-visual menjadi satu kesatuan pada layar kaca, plus ditambah kelebihan corak interaktif-bolak-balik komunikasi maupun persebaran informasinya yang lintas-batas. Sungguh sebuah preseden yang mungkin tak bisa saya bayangkan saat SMA.

Irfan Afifi, Pembacaan orasi Budaya di Kampung Buku Jogya
Apakah buku yang kita pajang hari ini di tempat ini masih memiliki signifikansi? Atau mungkin tepatnya apakah buku yang saya akrabi dengan sentimental itu, yang wilayah edar-pusarnya sulit saya jauhi itu, yang padanya saya imajikan sebagai jalan yang secara berlebihan saya sofitikasi sebagai panggilan hati, atau juga padanya saya mengakrabi hidup baik bersama maupun melaluinya itu tak lagi bersesuaian dengan gerak dan perubahan zaman? Saya benar-benar tak tahu.
Apakah buku yang kita pajang hari ini di tempat ini masih memiliki signifikansi? Atau mungkin tepatnya apakah buku yang saya akrabi dengan sentimental itu, yang wilayah edar-pusarnya sulit saya jauhi itu, yang padanya saya imajikan sebagai jalan yang secara berlebihan saya sofitikasi sebagai panggilan hati, atau juga padanya saya mengakrabi hidup baik bersama maupun melaluinya itu tak lagi bersesuaian dengan gerak dan perubahan zaman? Saya benar-benar tak tahu.
Yang saya tahu, fase banjir informasi sebagai dampak perkembangan revolusi teknologi informasi digital hari ini pada gradasi tertentu, saya khawatir, justeru hanya menebalkan apa yang dikatakan Walter J. Ong seperti disitir Prof. A, Tew sebagai fase “kelisanan sekunder” (secondary orality). Fase ini sebenarnya tak sedang mengajak kita menuju perkembangan lanjut yang menguatkan tradisi keberaksaraan dan literacy yang kita idealkan, melainkan ia hanya menebalkan kebudayaan lisan yang dulu tak benar-benar terangkat secara cukup dan tersisihkan dalam fase pembentukan tradisi keberaksaaraan awal yang disorongkan oleh tradisi buku atau media cetak aksara lain, maupun juga semangat “keterpelajaran” yang tak sungguh tercipta yang dibawanya, meski jumlah sekolah, sarjana, dan universitas di negeri kian meningkat.
Dalam konteks masyarakat yang masih tenggelam dalam arus budaya kelisanan, media tulisan dan aksara hanya akan mengganti fungsi storage yang dulu diperankan oleh ingatan dan hafalan, dimana dalam pola tertentu, penalaran seseorang hanya berfungsi mengulang pola formulaic, melanggengkannya dengan skema repetitive, hingga pada ujungnya tak benar-benar menciptakan corak tradisi penalaran baru yang mandiri dan otentik. Dengan pola seperti itu, banjir aksara, teks, tulisan, grafis, dan audio visual dari perkembangan teknologi informasi mutakhir ini justru mungkin tak benar-benar mengangkat kesadaran keberaksaraan kita, alias masih jauh dari sekadar mencipta permenungan individual berjarak dalam bangun penalaran runtut yang mengindividuasi, ataupun menemukan formula baru untuk menilai keadaan lebih jeli sesuai tantangan zaman yang telah mendunia, ataupun juga membantu kita baik sebagai diri dan bangsa untuk menceburkan diri ke dalam sebuah usaha pembatinan reflektif dalam sebuah aktivitas soliter dan independen dalam suasana hening aktivitas penelaahan “satu per- satu huruf” masalah sehingga muncul rumusan-rumusan segar atas tantangan-tantangan kita yang lebih kompleks, atau bahkan dalam usaha kita merumuskan diri dan bangsa.
Tentu pada level budaya kelisanan yang menjadi realitas umum masyarakat ini tak melulu punya sisi buruknya. Pada gradasi tertentu, saya rasa, budaya ini karena kecenderungannya pada pengulangan formulaic—seperti tercermin dalam bentuk pola repetitifnya yang disediakan pada bahasa lisan bersama juga jenis berfikir yang menuruti pola baku—jauh lebih bersifat menyatukan dan merangkul kebersamaan massal dalam bangun integrasi masyarakat secara umum. Tak aneh misalnya, perilaku membaca dalam latar masyarakat komunal yang masih menekankan budaya kelisanan yang kolosal, adalah sejenis aktivitas egois yang merusak integrasi masyarakat, yang oleh karenanya tak disukai.
Namun, dalam perkembangan teknologi informasi mutakhir, kelebihan budaya lisan ini justru menyuburkan kelenaan massal yang terserap dalm pusaran banjir informasi lintas batas yang bahkan telah menyusup hingga pada level pribadi-pribadi melalui telpon pintar yang kita genggam. Maka menjadi masuk akal, jika berita hoax menyebar begitu laris, dan sentimen dan preferensi massa hanyut dan terombang-ambing dalam gelombang deras arus informasi, yang dalam konteks latar keterbelahan politik, justru bisa membawa keretakan integrasi sebuah masyarakat atau bahkan bangsa.
***
Sekali lagi, mungkin saya orang yang terlalu sintementil terhadap buku. Dan selalu saja buku menarik saya ke dalam pusaran edarnya begitu kuat. Namun saya harus katakan, sebenarnya saya merasa tak pantas berbicara di forum KBJ ini, tempat dimana orang-orang masih merayakan dan menghidupi buku dengan cinta dan kerendah-hatian. Dalam jejak saya mengakrabi dan bergumul dengan buku, dan bahkan hingga detik ini masih berusaha menghidupinya sebagai sandaran yang menopang hidup dan rasa cinta saya, saya jujur merasa tak terlalu berhasil. Ada banyak orang yang berhasil mewujudkan mimpi untuk menghidupi buku, menyebarkan tradisi keberaksaraan beserta spirit penelaahan mendalam terkait ilmu untuk menegakkan proses berpikir mandiri, yang oleh karenanya membuat saya sebenarnya sedikit merasa gentar dan tak semestinya berdiri dan berbicara di hadapan warga Kampung Buku Jogja hari ini.
Ada banyak orang yang berhasil mewujudkan mimpi untuk menghidupi buku, menyebarkan tradisi keberaksaraan beserta spirit penelaahan mendalam terkait ilmu untuk menegakkan proses berpikir mandiri, yang oleh karenanya membuat saya sebenarnya sedikit merasa gentar dan tak semestinya berdiri dan berbicara di hadapan warga Kampung Buku Jogja hari ini.
Namun, setidaknya pembicaraan saya hari ini bisa mengingatkan teman-teman, betapa selalu saja ada orang yang tanpa lelah, meskipun kadang-kadang gagal, menghidupi buku dan menyebarkan kandungan tradisi peremenungan darinya dalam laku pemikiran atau pembatinan diri individual dalam ruang hening soliter menelaah dengan sabar untaian huruf-per-huruf untuk penarikan solusi-solusi baru dalam bangun argumentasi logis maupun reflektif yang mengambil jarak atas pusparagam fenomena maupun informasi yang menyesaki kehidupan hari ini setiap detiknya.
Saya kadang-kadang merenung, siapa yang pertama menyerukan dan sekaligus menyorongkan prototype tradisi menulis, membaca, atau juga simbolisasi buku yang membuat kita mengasosiasikan secara kuat pada “ketercerahan”, “cahaya”, dan “ilmu”. Lamat-lamat saya ingat, metafora “kalam”, “pena”, “lauhul mahfudz” (lembaran-lembaran yang terjaga), “tulisan”, “kitab”, “ilmu”, juga perintah “membaca” tersurat secara eksplisit dalam kitab suci kita. Mungkin Tuhanlah pelaku pertama yang menganjurkan manusia untuk mengakrabi ilmu, lembaran, tulisan, juga menyerukan pentingnya berilmu, merawat dan menumbuhkan tulisan sebagai symbol representasi proses penciptaan keberadaan eksistensi manusia juga jagad semesta se-isinya.
Mungkin alasan inilah yang mendasari kita masih juga terseret untuk terus-menerus menghidupi “buku”, “lembaran”, dan “tulisan”, dan bahkan membatinkannya sebagai derma, yang pusarannya membelit pilihan-pilihan kita yang ternyata hingga hari ini masih kita rayakan di pameran buku ini. Dalam hal ini saya tidak memaksudkan “buku” dalam pengertian konvensional-bakunya, yakni sebagai semata dalam bentuk lembaran fisik yang dibendel yang bau khasnya kita sering hirup dengan kerinduan. Namun sebuah kemungkinan buku yang bahkan formatnya bisa berbentuk apapun yang kita bayangkan mampu menyesuaikan, juga berintegrasi dengan kultur arus besar teknologi informasi hari ini, dimana buku dan tradisi permenungan berjarak yang membantu penelaahan sabar, runtut, mendalam, dan reflektif harus terus ada dan dihidupi terus-menerus. Dan, karena alasan itu pula “buku” harus terus menerus ada, yang dengannya kita masih dengan ingar-bingar hari ini menyorongkannya dalam even besar Kampung Buku Jogja ini.
Saya akhirul kata dengan begitu merasa tidak sedang terseret dalam pusaran edar buku ini sendirian.
* Tulisan disampaikan sebagai ‘Orasi Kebudayaan” di perhelatan acara Kampung Buku Jogja #4 yang bertempat di gedung PKKH Universitas Gadjah Mada, 10 Sepetember 2018.