Lembar
Suatu ketika, saya berkesempatan mengunjungi perpustakaan Mangkunegaran, Solo. Biar kelihatan ngintelek, saya serius menanyakan dokumen yang ditulis saat Pangeran Mangkunegoro alias Sambernyowo, pendiri Mangkunegaran, masih jumeneng. “Wah silahkan saja, Mas. Monggo dilihat-lihat,” sila abdi dalem yang menunggu perpustakaan ”hanya, apa njenengan bisa baca aksara jawa?” Saya geleng kepala sambil cengengesan, plus satu kata sakti mandraguna: ”lupa!”. ”Wah gimana tho, Mas? Sekolah tinggi-tinggi kok ndak bisa baca aksara sendiri? Lupa…”, sindir abdi dalem itu.
Saya yakin, saya tidak sendirian. Banyak masyarakat Jawa lainnya yang seperti saya. Tak mampu membaca huruf yang tertera di prasasti, media yang membawa pesan dari masa lampau, namun sangat mampu membaca headline dari New York Times. Bahkan masyarakat Jawa barangkali mampu melafalkan headline itu dengan sangat sempurna; seakan lidahnya sudah rasa Amerika.
Tulisan ini adalah refleksi saya pribadi atas ketercerabutan pengetahuan/kebudayaan Jawa dari diri saya. Ketercerabutan itu tidak melulu perkara kita menggandrungi praktik seni budaya tertentu lalu melupakan seni sendiri, tetapi juga sesederhana apa aksara yang saya gunakan dalam keseharian. Ketercerabutan itu adalah praktik dari imperialism kebudayaan yakni “praktik dominasi dalam hubungan budaya dimana nilai, praktik-praktik dan makna-makna dari budaya luar yang kuat dipaksakan kepada satu atau lebih budaya asli”. Tugas tulisan ini saya batasi untuk sekadar membuktikan bahwa imperialisme budaya tidak hanya melalui isi atau ideologi di balik praktik kebudayaan tersebut, melainkan juga masalah teknis (teknologi) berupa aksara yang seringkali diabaikan.
Kuasa Jawa dan Pembatasan Tulisan Masa Lampau
Raffles dalam History of Java mengatakan bahwa teraturnya administrasi tulisan pada abad 8 di Jawa menjadi pertanda akan munculnya peradaban. Aksara, dengan demikian, juga terhubung dengan pengaturan dan/atau kekuasaan. Pergantian dari aksara Pallawa dengan, misalnya, aksara Arab menandakan adanya kuasa yang berganti. Harold Innis, sejarawan komunikasi dari Kanada, juga menegaskan hubungan aksara dengan masalah pengaturan kekuasaan. Misalnya, pergantian hieroglif Mesir (tulisan symbol) menjadi aksara hieratik adalah karena administrasi kekuasaan Mesir yang kemudian membutuhkan penulisan yang lebih cepat dan efisien.
Aksara, dengan demikian, tidaklah netral. Aksara yang berlaku di Jawa terkait dengan bagaimana mode kekuasaan dijalankan, sehingga memengaruhi disiplin tulisan, atau penggunaan aksara di masa lampau Jawa.
Adalah mungkin untuk menyatakan bahwa menurut cara pandang lama di Jawa, segala hal terpusat pada raja. Kita akan kesulitan untuk membagi bidang-bidang pengetahuan; misalnya menjadi bidang hukum atau bidang agama, karena bagaimanapun teks-teks penulisan dari masa lama, biasanya merupakan percampuran dari penceritaan raja, hukum, juga agama. Raja/penguasa sendiri dianggap mempunyai relasi dengan ketuhanan. Ini terlihat dalam konsep raja-dewa masa Syiwa Buddha, atau konsep darah genealogis dari Muhammad, sebagai pemimpin keagamaan dalam masa Islam.
Isi narasi dari teks yang ditulis selalu berurusan dan berpusat pada raja. Teks-teks tersebut biasanya fokus pada peristiwa kanonik istana dimana aktornya adalah raja, urusan rumah-tangga, atau undang-undang/norma/prinsip hidup yang menjadikan praktik eksistensi raja sebagai sumber hukum. Tulisan adalah monopoli pemimpin, sebab ia dipandang sebagai ‘sudah haknya’. Sehingga barangkali, ciri pertama bagi tulisan dalam masa lampau Jawa dan persebarannya adalah selalu terpusat pada raja dan pembantunya.
Ketika kekuasaan ini dihubungkan dengan agama atau praktik religius, hubungan ini menyediakan sebuah hal khusus yang terkait dengan disiplin penulisan; sebuah metode yang sama sekali tidak dikenali—dan hampir tidak pernah bisa dihancurkan—oleh pengetahuan modern, yakni laku asketik. Entah dengan semedi atau laku tirakat yang kadang berelasi dengan adanya guru gaib, entitas spiritual yang tidak terlihat tapi diyakini memberikan pengetahuan bagi orang Jawa. Hal ini menjadi ciri kedua dari tulisan atau penggunaan aksara di Jawa masa lampau.
Suatu uraian mengenai peran semedi dapat ditemukan di serat Hariwangsa, karya Mpu Panuluh pada abad ke-12. Sesudah melukiskan keratonnya sebagai inkarnasi Wisnu, pengarang kemudian menjelaskan tujuan karya itu, yaitu untuk “membantu mempromosikan ketakterkalahan raja dan kemakmuran dunia”. Pengarang mempertalikan inspirasinya pada dua sumber; raja, yang merupakan pangeran di antara penyair maupun raja universal, dan praktek semedi dan asketisme.
Sebelum menulis serat Hariwangsa, pujangga penulisnya melakukan perjalanan ke puncak sebuah gunung, dengan maksud sungguh-sungguh menyembah Wisnu. Tujuannya adalah untuk membangun kontak langsung dengan Tuhan dan dengan demikian kekuatan magis yang diperolehnya akan membantunya dalam menulis karya sastranya. Selanjutnya, ia melakukan serangkaian ziarah yang panjang, dan akhirnya terjatuh kelelahan karena demikian keras latihan-latihan asketiknya.
Ketika Islam masuk Jawa, penyalinan tangan teks Al-Quran ke dalam sebuah manuskrip, misalnya, selalu dibarengi dengan kegiatan asketis; puasa atau tirakat. Barangkali juga, disiplin ini masih dipraktikkan hingga sekarang, meski dengan narasi legitimasi yang lain.
Dominasi perilaku asketis sebagai metode ini tidak hanya berelasi dengan eksistensi raja dengan aparat keagamaan (raja bahkan menjadi “sayidin panatagama”), akan tetapi juga pada bagaimana pilihan strategi distribusi tulisan.
Sistem pengetahuan Jawa lama biasanya ditandai dengan ketiadaan budaya tulis, meski sebenarnya tulisan ada tetapi ‘dibatasi’ sehingga membuat budaya lisan dominan. Pembatasan tulisan bukan karena bahan material tulisan tidak ada (sebab pada dasarnya tulisan tidak hanya mempunyai basis material kertas atau buku), akan tetapi disiplin yang dikembangkan menuntut adanya pembatasan tulisan dimana salah satu yang terpenting adalah disiplin asketis.
Pendeknya, di dalam sistem pengetahuan lama, pengetahuan itu ‘hidup’ dan ‘datang’ ketika dibutuhkan, tentunya dengan cara atau laku asketis. Kalaupun ada teks empiris, ia akan dimengerti sebagai hal yang berhubungan dengan laku asketis. Mungkin bukan saja karena itu lakunya, akan tetapi laku asketis diperlukan untuk memperkuat status teks empiris yang tidak “lebih penting” daripada “data hidup” guru gaib. Laku asketis tidak hanya berelasi dengan masalah “intensitas penggunaan tulisan”, akan tetapi juga kepada “status kebenaran tulisan”.
Aksara Latin dan Kolonialisme
Persebaran pengetahuan modern di Jawa ditandai dengan masuknya aksara/tulisan latin yang dikenalkan oleh kolonial. Kemampuan baca-tulis aksara latin, menurut Mikihiro Moriyama, peneliti Sunda, tak lepas dari ilham buku-buku sekolah yang terbit di bawah pengawasan pemerintahan kolonial (Belanda). Namun apa yang paling penting dari aksara latin adalah bukan hanya bentuknya. Ia membawa bentuk disiplin tulisan yang lain. Sebuah pengetahuan (knowledge) mengenai tulisan (menulis dan membaca) khas modern yang sangat berbeda dengan disiplin tulisan dalam sistem knowledge lama, seperti dijelaskan dalam sub-bab sebelumnya.
Persebaran buku bacaan bukan hanya mengenyahkan manuskrip, akan tetapi juga menghilangkan secara perlahan-lahan cara pandang lama terhadap tulisan. Status guru gaib yang dalam pengetahuan lama merupakan alat pengetahuan, dikategorikan tidak empiris dan kemudian “tidak benar”. Sebelum orang Eropa tiba, manuskrip dianggap keramat, ia berrelasi dengan tindak asketis. Akan tetapi orang Eropa, dalam laporan Gonggrijp misalnya, membacanya dengan pandangan yang lain;
“Dhoeloe-kala sabeloemnya orang tahoe ilmoe menera itoe, maka segala kitab djoega tersoerat dengan kalam. Koetika itu segala kitab terlalo mahal arganya dan adalah sedikit orang sadja jang mengerti membatja dan toelis. Tetapi pada sakarang ini Kangdjeng Goebernemen mengaloewarkan kitab yang moerah sakali sopaja orang beroleh goena deri pada batjanja itoe”
Gonggrijp melihat bahwa tulisan adalah satu-satunya sumber pengetahuan. Ia lalu menghubungkan kuantitas produksi tulisan dengan kemampuan membeli masyarakat terhadap tulisan tersebut.
Tulisan tidak akan berarti jika tidak ada kemampuan membaca sehingga praktik pembacaan pun kemudian turut dibicarakan oleh kolonial. Van der Chisj menulis:
“Penduduk Bumiputera mengenal dua cara membaca; pertama, dengan cara seperti kita, bedanya mereka jarang memahami tujuan resitasi; kedua, membaca dengan cara menyanyikannya (nembang maca). Mereka hanya menggunakan cara pertama, apabila cara kedua tidak mungkin, karena bagi mereka cara kedua pasti sangat digemari dan betul-betul dirasakan sebagai cara yang benar.”
Kemudian, Van der Chijs menemukan apa yang disebutnya sebagai ’pembacaan mekanik’, dimana asumsi utamanya adalah masyarakat hampir tidak mengerti apa yang mereka baca kecuali jika mereka menyanyikannya. Yang mengingatkan kita pada pembacaan Alquran (bahkan hingga sekarang), dimana alquran dibaca tanpa mengerti artinya.
Sangatlah sukar mengharapkan adanya ’interpretasi’ (dalam kerangka rasional-modern) dalam kegiatan membaca di epistem lama, kecuali untuk beberapa aparat epistemik yang terdapat di lembaga agama seperti mandala atau pesantren. Masyarakat dengan pola lama, tidak membutuhkan adanya pengertian, akan tetapi perasaan ketika terhubung dengan bacaan. Pengertian menurut mereka bukanlah pemahaman rasional, akan tetapi sebuah penghayatan dan pengalaman akan “rasa”. Mungkin seperti apa yang disebutkan oleh Manilowski bahwa “fondasi-fondasi kepercayaan dan praktek-praktek tidaklah berasal dari isapan jempol belaka, melainkan bersumber pada serangkaian pengalaman yang sungguh dihayati”
Lembaga yang paling berperan mengangkat elemen-elemen pengetahuan baru seperti status tulisan empiris dan tipologi pembacaaan rasional, sekaligus juga menghancurkan gaya pengetahuan lama, tentu saja adalah sekolah. Meski, dalam beberapa waktu yang lama, ia harus berhadap-hadapan dengan aparat/institusi dalam cara pandang lama; pesantren dan madrasah (dua lembaga Islam, dua lembaga yang dekat juga dengan laku asketis).
Pada Mei 1871 Departemen Pendidikan, Agama dan Industri mengeluarkan Keputusan Pokok Pendidikan yang menghasilkan dua perubahan penting dalam kebijakan kolonial di bidang pendidikan. Pertama, pemerintah bertanggung jawab atas pendidikan setiap orang, tidak hanya dari golongan Bangsawan Bumiputera saja. Kedua pendidikan harus diberikan dalam bahasa-bahasa daerah (Volkstalen) dan apabila di tempat-tempat tertentu hal ini tidak mungkin dilaksanakan, maka pengajaran harus memakai bahasa Melayu.
Kegiatan penulisan juga berubah. Jika sebelumnya ia lebih dekat pada tindakan asketis, maka pada masa kolonial ini, menulis adalah sebuah kegiatan yang bisa dilakukan semua orang, dimana saja dan kapan saja. Untuk latihan menulis, digunakanlah batu tulis dan kapur. Kertas masih merupakan barang mahal pada abad ke-19. Murid-murid menulis abjad di atas daun pisang (pisang-blad) dengan pena bulu unggas yang diruncingkan. Dua bahan itu murah, didapat dengan mudah, dan murid dapat berlatih mengarang dan menulis indah, demikian menurut Van Der Chijs.
Belanda, tulis Moriyama kemudian, secara berangsur-angsur coba mengajari mereka budaya membaca dalam hati. Berdasarkan pengalaman para murid mendaraskan Alquran, tuan-tuan kolonial itu menduga bahwa melagukan teks menghambat pemahaman pada isi. Mereka percaya bahwa pelajaran yang disampaikan dengan “budaya membaca dalam hati” akan membawa hasil, dan “pembaca modern” akan terbentuk
Dengan demikian, cara pandang lama yang persebarannya terpusat pada lingkungan istana (raja dan pujangga) digantikan oleh pengetahuan modern yang disebarkan secara merata, tidak hanya pada lingkungan istana. Serta-merta, tindak asketis, yang mengandalkan pada “olah rasa”, kemudian dinilai sebagai mitos atau irasional atau supra-empiris.
Aksara sebagai bentuk Imperialisme Kebudayaan
Monumen penting dari penerimaan masyarakat kita pada aksara adalah peristiwa 28 Oktober 1928; Sumpah Pemuda. Sumpah yang menyatukan masyarakat di Nusantara, termasuk Jawa, menjadi satu kolektivitas modern bangsa (Indonesia) dan bahasa yang satu yaitu bahasa Melayu yang sudah diganti namanya dengan “bahasa Indonesia. Pertanyaannya adalah: apa aksaranya?
Artinya, Sumpah Pemuda mengikrarkan beberapa perkara dengan jalan menyembunyikan perkara lainnya. Kebungkaman Sumpah Pemuda ikhwal aksara diperoleh dengan menganggap selesai perihal aksara. Hal ini menegaskan aksara latin yang telah banyak dipakai sebagai “aksara Indonesia” yang melancarkan peminggiran aksara lainnya, misalnya aksara jawa, aksara sunda sebagai “aksara daerah” dan aksara arab sebagai “aksara agama”. Sumpah Pemuda adalah pencapaian paling sukses latihan dan disiplin aksara latin pemerintahan kolonial mulai tahun 1800-an melalui sekolah, surat kabar dan bentuk-bentuk praktik aksara latin lainnya.
Sementara Sumpah Pemuda bekerja dengan kebungkaman, lain halnya dengan novel “Sengsara Membawa Nikmat” karangan Tulis Sutan Sati yang kebetulan juga terbit perdana pada tahun 1928. Diceritakan bahwa seorang Midun yang alim dan bersahaja, masuk penjara karena ia cuma kenal aksara pegon arab. Ia tertipu akibat perjanjian yang ditulis dengan aksara latin. Ending-nya, setelah ia dilatih baca-tulis aksara latin oleh seorang narapidana di sebuah penjara, ia berhasil menjadi asisten demang. Dengan novelnya, Tulis Sutan Sati seakan-akan dengan tegas membilang bahwa “kesadaran” hanya bisa dimiliki dengan aksara latin. Aksara pegon arab (bawaan periode Islam) hanyalah membuat bangsa ini tertipu seperti Midun.
Alih-alih mengantarkan bangsa ini mengenali bagaimana bangsa yang hidup di Nusantara ratusan tahun lalu, aksara latin sekaligus memungkinkan kita untuk terus belajar pada bangsa asing. Cukup dengan satu kali pemindahan huruf, maka logika orang Indonesia akan berganti dengan logika orang Inggris. Aksara, yang menjadi modal pengetahuan kita, lebih memudahkan kita belajar pada bangsa yang menggunakan latin. Aksara latin, disadari atau tidak, adalah tahap awal penyatuan “Indonesia” dengan globalisasi barat sebagai pusat dari “imperium aksara latin”. Kalau sudah begitu, meski kita memandang sinis Sutan Takdir Alisjahbana yang mengusulkan pengadopsian kebudayaan barat sebagai model kebudayaan Indonesia dalam Polemik Kebudayaan, pada kenyataannya, usulan itu sudah kita lakukan.
Epilog
Hingga pada tahun 1990-an, saya masih merasakan praktik huruf pegon arab dengan bahasa Jawa di madrasah sore desa saya. Saya juga masih ingat ketika belajar tajwid melalui bahasa Indonesia dengan huruf pegon arab di sebuah quran terbitan Semarang. Bisa jadi, sekarang pun, huruf pegon arab masih dipraktikkan di banyak pesantren-pesantren tradisional untuk sorogan bersama kyai. Nasib Aksara Jawa setali tiga uang dengan aksara pegon. Di SD saya, ia ‘tersingkir’ cuma sebagai ‘sub bahasan’ dalam pelajaran “Boso Jowo”. Masih mending, jika siswanya mengerti dan serius. Kalau muridnya seperti saya, 20 aksara ditambah pasangannya itu paling-paling cuma jadi bahan hafalan saja.
Sekali lagi, tugas tulisan ini adalah untuk menunjukkan bagaimana instrumen teknis seperti aksara menjadi alat imperialisme dan dominasi, bukan untuk kemudian mengajak kembali menggunakan aksara tertentu. Tulisan ini tidak berusaha menyarankan misalnya masyarakat Jawa kembali menggunakan aksara Jawa untuk melawan dominasi aksara latin. Toh tulisan ini telah memperlihatkan bagaimana penggunaan aksara Jawa di masa lampau, merupakan bentuk dominasi atau pengaturan kekuasaan yang juga layak untuk dilawan. Pun, kalau tulisan ini mengajak demikian, tulisan ini ambigu, karena ditulis dengan aksara latin. Tapi biar tidak dinilai tidak memberikan apa-apa, barangkali tulisan ini adalah untuk mengingatkan kembali kebijakan yang perlu di jaman Kalatidha; Sak beja-bejane wong sing lali, isih beja kang eling lan waspada.
Kematian dance dikabarkan terjadi di Sakatoya Collective Space, padukuhan Jaranan, Panggungharjo, Sewon, Bantul. Kematian itu digelar melalui sebuah pertunjukan bertajuk The Death of Dance oleh Fitri Setyaningsih. Saya tiba, disambut untuk mengisi catatan registrasi ulang, mendapatkan masker dan gelang pita berwarna hijau, lalu menjalin obrolan hangat dengan teman-temanku yang lebih dulu tiba. Saya tidak begitu mengenal sesuatu bernama dance itu. Namun, jika kita mengandaikan Sakatoya sebagai rumah duka atas dance, mengapa tidak ada kemurungan, kemarahan, atau air mata untuk dance yang konon tewas malam itu, seperti kematian-kematian lain yang pernah kutemukan? Siapa gerangan dance itu dan mengapa ia diperlakukan seperti bajingan yang begitu dibenci?
Sebelumnya, perlu diterangkan lebih dulu, bahwa yang mati di sini adalah dance, seperti tajuk yang Fitri ajukan, dan bukan tari, joget, dansa atau gerak (untuk pertanyaan atas beda antara konsep-konsep itu, saat ini penulis memilih bersikap agnostik!). Dalam khazanah Bahasa Inggris (sebagai bahasa kolonial paling dipercaya hingga hari ini dan dengan begitu cukup valid membicarakan politik maknanya atas seni), dance punya makna yang ramping. Sebagai kata kerja, ia berarti to move the body and feet to music. Sementara itu, sebagai kata benda, ia berarti a particular series of movements that you perform to music or the type of music that is connected with it. Bagi kamus resmi itu, tubuh, bersama musik atau sonik, adalah medan utama dari dance.
Sementara itu, pada kenyataannya, kita melihat praktik dan pandangan dunia atas dance atau dans yang meletakkan karya-karyanya dalam persimpangan antar berbagai macam wahana seni dalam bentuk-bentuk yang koreogras, yaitu, kalau boleh saya mengartikan dan bukan membatasi pandangan dunia, berupa komposisi tubuh dan struktur gerak dalam ruang-waktu sebagai materi atau meta-materi. Dance telah terlampaui oleh dirinya sendiri. Kita bisa menyaksikan beberapa dance, pertarungan pandangan dunia, dan komposisi koreogras dari beberapa karya yang ada, seperti Yvonne Rainer.

Yvonne Rainer, kita tahu, adalah salah satu dedengkot dance abad 20 yang dikenal atas karya-karya eksperimentalnya dan NO Manifesto1 yang diterbitkannya pada tahun 1965. Masa-masa hangat bagi pergerakan seni konseptual di Amerika Serikat. Pemberangusan pemikiran komunisme dan sosialisme di dunia, termasuk Indonesia. Tren pembongkaran bahasa dalam skena DWEM (Dead-White-Euro-American-Male) di Utara, seperti Wittgenstein Awal-Akhir. Permulaan peningkatan kepunahan-kepunahan hewan berkat laku antropogenik. Pemanggangan dunia-dunia. Di masa itulah, pemikiran Rainer atas dance lahir.
NO Manifesto, seperti bayi yang belajar bicara, berkata tidak terus-terusan pada tatapan lazim atas dance dan memulai semua hanya dari reruntuhan dance yang tersisa dari negasi-negasinya, yaitu tubuh, gerak, dan kemungkinan-kemungkinan spasial yang lebar. Dalam Trio A, karya dance awal Rainer pasca-NO Manifesto, tubuh tidak terbatasi oleh dramatika sonik yang menyetrap gerak seperti yang dibilang kamus, melainkan melintasi ruang dalam repetisi gerak yang berikhtiar dengan negasi-negasi konsepnya dari manifesto. Dance, bagi Rainer, seolah tidak lagi begitu peduli pada materi sebagai suatu kebenaran, seperti plot, logika-dramatika Aristotelian, dan penyetrapan imperialisme Amerika Serikat yang ditempel-tempelkan pada tubuh, melainkan berasal dari dalam, dari tubuh, dari subjek yang mengalami dunia.
Setelah Rainer, diakui atau tidak, dance kontemporer mulai meleraikan sesuatu di luar tubuh dan hadir tanpa embel-embel representasi yang kokoh (bayangkan tembok batako yang menghalangi pintu rumah). Dance melesap ke dalam tubuh dan ketakberhinggan koreograsnya, melentingkan konsep kemanusiaan kepada kekosongan bernama tubuh yang menegasi kenyataan linguistik dance dalam darurat kuncitara tubuh oleh trauma dan kepalsuan-kepalsuan pasca-perang, seperti kematian yang Fitri Setyaningsih ingin hadirkan di Sakatoya malam itu.
Kematian ini adalah penutup dari salah satu program Komunitas Sakatoya tahun ini, yaitu Ruang Dalam Project 2025: An Ecology of Blur, sebuah platform pertunjukan yang mempertemukan seniman bersama audiens dengan jumlah yang terbatas. Kerangka kuratorial putaran pertama platform ini, yaitu ekologi blur, menandai dunia dan tubuh yang mengalami di dalamnya sebagai yang kabur, tak tuntas, tak biner, tak pasti, tak bebas dari saling bentuk, rembes, dan interupsi. Bagaimana blur membaca kematian dance? Atau, kalau boleh membacanya dari aspek kebahasaan, bagaimanakah blur dan Fitri Setyaningsih melihat Alam Semesta yang tidak lagi bisa berpusat pada kemanusiaan, imbas gugatan Rainer dan pemikiran sekawanan DWEM pasca-Perang Dunia II itu atas konstruksi kenyataan linguistik yang gempa dan runtuh?
Fitri, seperti Rainer, hendak bermain-main dengan kehampaan. Saya mengikuti semacam-lokakarya bersama Fitri di Sakatoya, sehari sebelum pertunjukan. Di lokakarya itu, ia menjelaskan semacam-metode yang sedang diujicobakannya. Mungkin lebih dekat disebut sebagai paradigma, ketimbang metode, karena skema materialisasinya yang mengarah ke dalam diri. Saya menyebutnya, Paradigma Empat Elemen, yaitu proses menyadari (eling) atas elemen dasar dalam diri. Elemen-elemen itu antara lain adalah api, tanah, air, udara. Teks-teks di luar diri seperti dilepaskan, peserta semacam-lokakarya itu diminta untuk menggerakkan elemen dalam tubuh itu. Tubuh, bagi Fitri, adalah alam itu sendiri yang hampa bahasa, hanya memori-memori primordial. Dengan kata kunci memori primordial ini, saya hendak mengajak Anda membaca dance dari Fitri dan kematiannya dari perspektif Sunda yang saya alami sejak belia.
Saya mau menceritakan kematian ini tanpa terburu-buru, seperti Rainer dan Fitri, memposisikan catatan tanpa banyak perantara broker makna dan pantulan spektakel tekstual. Menjelang pertunjukan secara resmi dimulai, percakapan-percakapan kecil antara saya dan teman-teman dibuka dengan pertanyaan tentang guna masker gelang warna hijau atau merah di pergelangan kami. Obrolan itu memunculkan lelucon-lelucon kurang lucu, spekulasi-spekulasi berantakan, dan dugaan-dugaan aneh tentang kemungkinan yang akan terjadi beberapa waktu ke depan. Jika dance mati, apakah dia dikubur, dibakar, atau diawetkan? Apakah gelang ini bentuk variasi partisipasi, seperti tren artistik belakangan seputar politik kewargaan, pseudo-historiogra, dan sebagainya? Gelang merah untuk membakar dance, gelang hijau untuk mengubur dance, dan masker untuk mengantisipasi bau busuk dari dance yang terawetkan? Pertanyaan itu kami simpan setelah gelaran. Tak lama kemudian, Galuh Putri, sebagian dari Sakatoya, mengumumkan pertunjukan akan dimulai dan mengajak audiens ke ruang utama pertunjukan di atas. Namun, rupanya lelucon buruk kami gagal.
Tidak ada prosesi pemakaman dance malam itu. Kursi-kursi ditata dalam dua bagian, kursi hijau dan kursi merah. Audiens duduk di kursi dengan mencocokkan warna gelang mereka dengan warna kursi. Ada sonik dan gema yang berat, ada juga kesunyian yang datang dari diamnya orang-orang, ada suhu dingin dari air conditioner, ada aroma dupa. Vibesnya kematian banget bjir. Debu-debu menghampar persegi panjang dengan tengkorak mungkin primata, Fitri Setyaningsih, bayangannya yang Luluk Ari Prasetyo, dan cahaya. Partikel cahaya itu, seperti konstelasi tata surya, menabrak dari pusat medan bintang ke material-material di sekitar dalam keberbatasan jangkauannya. Kontur debu yang tumpah persegi panjang itu membentuk bias bayangan, begitu juga kepada tengkorak, Fitri, Bayangan Fitri yang Luluk Ari Prasetyo, penonton, kursi-kursi plastik merah dan hijau. Saat itu, saya belum melihat mereka, baik kematian atau dance. Di manakah bajingan yang tewas itu?
Sepanjang pertunjukan, saya mencari kematian. Pertunjukan dimulai, Fitri menari bersama Bayangannya yang Luluk Ari Prasetyo dan aktan-aktannya yang lain. Gerakannya sekilas repetitif. Putaran terus-menerus, searah jarum jam. Debu menyebar ke mana-mana karena gerakan-gerakan itu, dan cahaya menabrak debu untuk memastikan keberadaan inderawinya untuk manusia. Sonik menggema di ruangan lantai dua Sakatoya itu, seperti sedang gempa rasanya, tetapi tidak ada apa-apa, tidak ada ketakutan, hanya ada pertunjukan itu, penonton, kru, dan seperti-kematian di sekeliling kami. Bayangan yang dikerjakan oleh cahaya dan tabrakannya atas materi di sekitar mencitrakan materi sebagai bias yang berubah sepanjang waktu. Pertunjukan diselesaikan ketika Fitri Setyaningsih hendak memberikan tengkorak yang digenggamnya sejak mula kepada Bayangannya yang Luluk Ari Prasetyo, lalu lampu mati, dan orang-orang bertepuk tangan. Dan saya masih belum menemukan kematian, dance begitu sehat wal afiat dan bugar. Siapakah yang mati dari dance itu?
Sebagai seorang separuh Sunda dan subjek-terpapar monoteisme sepanjang hidup, saya membaca kematian dance pada The Death of Dance dalam gerak bandul antara dua paradigma, yaitu kosmologi dan religiositas alakadarnya. Tatapan religiositas alakadarnya menggiring saya menanti kematian datang. Bagi monoteisme, apalagi Samawi, roh sering disejajarkan pada pribadi, sehingga kematian berlaku gaplokan ganda (double hit) pada roh dan sik. Tubuh yang tak mati, begitu juga Alam Semesta, selalu mengandung Roh, tubuh fana, Roh akan kembali kepada Yang Esa dan kekal.
Sementara itu, dalam kosmologi Sunda, seperti yang ditafsirkan Stephanus Djunatan dari pantun-pantun (Mundinglaya Dikusumah dan Eyang Resi Handeula Wangi) dan manuskrip kuno Sewaka Darma, tubuh, begitu juga Alam Semesta, begitu juga dance, atau segala sesuatu, adalah tentang pertumbuhan, pencerahan budi, peziarahan lintas-semesta (dari Puncak Dunia atau Nirwana hingga Ambang Maut dan sebaliknya) dalam metafora gunung2. Tubuh, ruang, dan waktu adalah proses kemenyeluruhan semesta (baca: gerak naik-turun lintas-semesta) dari setiap mahkluk untuk bersama-sama pergi pada pencerahan dan peristiwa moksa, seperti anarkisme primordial yang bergerak dalam partikel-partikel penyusun buana.

Dalam masyarakat Sunda kontemporer, pengetahuan itu tidak banyak hadir, terutama setelah monoteisme datang. Saya menemukan reruntuhannya dalam laku-laku sosial, seperti nganteuran atau nga-hyang yang masih terjadi belakangan. Nganteuran, khususnya dalam masyarakat Sunda di Cibarusah, dilakukan dengan mengantarkan ayam bekakak ke orang tua, diadakan sebelum dan sesudah Ramadan. Sementara nga-hyang adalah menjadi tak-terlihat. Praktik menghilang itu masih dilakukan salah satunya oleh saudara kakek saya, namanya Karung, dia seorang Betawi, dan bisa menghilang ketika dikejar-kejar tentara kolonial setelah mencuri uang untuk dibagikan ke masyarakat miskin. Ketahanan pengetahuan itu turut didukung oleh konsep hirup atau kahirupan dalam leksikon Basa Sunda yang berarti proses segala sesuatu tumbuh, bergerak, dan hancur. Djunatan juga membandingkannya dengan Sewaka Darma yang merumuskannya secara berbeda dalam anotasi 65.
“Sebab utuh tanpa dengar Sebab hampa tanpa wujud Kepada yang halus tanpa kurungan dan lembut Tak memiliki badan kasar Tak bersua dengan salah Tak bercampur baur Tak dinikmati dan tak dibiasakan Tak ada kerabat tak ada orang lain”
Tubuh, seperti hirup, bukan sekadar kekosongan total, melainkan juga inti “kekuatan, kemampuan, atau sumber dari segala sesuatu yang ada”. Dalam The Death of Dance, seperti Trio A, atau karya-karya tubuh yang presence (hadir) lain tanpa broker makna seperti Jérôme Bel, Contact Gonzo, atau William Forsythe, tubuh adalah hirup yang adalah pengetahuan pada dirinya sendiri. Dengan begitu, dance di sana tidak lagi mengalami kematian seperti yang dibayangkan juga oleh sobat-sobat monoteisme, tetapi suatu kematian yang penuh. Kematian yang berasal dari segala sesuatu yang ada dari dance, yaitu hanya tubuh, ruang, dan sejarah elemen dasar. Seperti ada magma dalam tubuhmu yang tak dapat teruraikan lagi, suatu pemenuhan dari yang lenyap dan lesap. Dance mengalami kematian, dan dengan begitulah ia ada, hadir, kethok.
Dance yang modar itu seperti sedang begitu dicintai dan diziarahi bersama-sama oleh setiap material yang menyatu di Sakatoya malam itu. Apakah audiens juga sedang melakukan dance kepada dance, yaitu kematian yang penuh? Eh, tadi kursi hijau dan merah maksudnya apa, ya?
Referensi
[1] NO Manifesto oleh Yvonne Rainer tahun 1965.
[2] Kekosongan yang Penuh: Sebuah Tafsir atas Kosmologi Sunda oleh Stephanus Djunatan, dalam Jurnal Melintas Vol. 29 No. 3 Tahun 2013.
Di banyak ruang sosial kita hari ini, simbol masih menjadi mata uang sosial yang kuat. Nama keluarga, garis keturunan, gelar adat, bahkan foto bersama tokoh besar bisa membuka banyak pintu. Ia tidak selalu dibangun dengan kerja—tapi diwariskan. Modal simbolik, dalam istilah Pierre Bourdieu, adalah pengakuan sosial yang memberi legitimasi kekuasaan. Tapi pengakuan itu hanya bertahan jika ada alasan yang terus diperbarui. Ketika pewaris tidak memiliki kapasitas, legitimasi mulai goyah. Modal simbolik itu tetap berbentuk, tapi kehilangan isi.
Simbol yang diwariskan seharusnya menjadi pengingat nilai-nilai luhur yang pernah diperjuangkan. Namun dalam banyak kasus, pewaris tidak menyadari bahwa simbol itu bukan semata kehormatan, tapi juga amanah. Ketika simbol digunakan hanya untuk status, tanpa kerja nyata atau kontribusi sosial, ia kehilangan kekuatannya. Maka dari itu, simbol warisan tanpa kapasitas bukan hanya rapuh, tetapi juga berisiko menimbulkan resistensi dari masyarakat.
Fenomena ini banyak kita lihat dalam berbagai lini kehidupan: dari politik hingga budaya. Anak seorang pemimpin yang gagal meneladani ayahnya, atau keturunan tokoh agama yang menjual nama leluhurnya untuk kepentingan pribadi—semua menciptakan jarak antara simbol dan nilai. Masyarakat yang awalnya hormat perlahan menjadi sinis. Pengakuan sosial pun mulai mengendur, hingga akhirnya lenyap sama sekali.
Warisan bukanlah dosa, tapi mengandalkannya tanpa kerja adalah penyakit sosial. Dan saat warisan tak dijaga, nama yang dulu disanjung bisa berubah jadi bahan tertawaan. Bukan karena leluhurnya salah, tapi karena cucunya lupa belajar sejarah. Simbol tak boleh dipakai sebagai perhiasan belaka, simbol harus dirawat melalui laku hidup dan kontribusi nyata.
Warisan yang Dihormati, Pewaris yang Dipertanyakan
Ada nama-nama yang membuat orang menunduk hormat hanya dengan mendengarnya. Mereka yang semasa hidupnya membela rakyat, menjaga nilai, dan memperjuangkan kebenaran—meski tak selalu populer atau berkuasa. Warisan mereka bukan sekadar gelar atau silsilah, melainkan pengaruh sosial yang lahir dari pengorbanan dan konsistensi. Masyarakat menyebut nama itu dengan hati-hati, dan menaruh harapan besar pada keturunannya: “Jika leluhurnya seperti itu, tentu anak cucunya akan membawa nilai yang sama.”
Harapan yang besar ini tidak datang begitu saja, melainkan tumbuh dari pengalaman kolektif yang melihat bagaimana leluhur itu hidup. Sayangnya, pewaris sering kali gagal membaca harapan ini. Banyak pewaris mengira bahwa nama besar cukup sebagai tiket untuk mendapatkan pengakuan sosial. Padahal tanpa kapasitas dan nilai yang dihidupi, nama itu hanya akan menjadi beban sejarah yang berat.
Ketika pewaris tak mampu menjaga nilai itu, rasa hormat mulai berubah arah, mulai dari kecewa, menjadi sinis, lalu akhirnya: pengabaian. Ini bukan hanya krisis kepercayaan pada individu, tapi juga krisis simbol. Hal yang menyedihkan adalah saat publik mulai bertanya: “Apa benar leluhurnya sebaik itu?” Kritik terhadap pewaris terpantul ke belakang. Memori kolektif ikut terganggu. Padahal yang bermasalah bukan warisannya, melainkan cara pewarisnya. Simbol bisa diwariskan, tapi maknanya harus diperjuangkan kembali.
Pewaris simbolik bukan hanya perkara membawa nama, tapi juga menerjemahkan nilai dalam konteks jaman. Masyarakat tak menuntut kesempurnaan, tapi kejujuran dan kesungguhan untuk menjaga nilai. Pewaris yang tidak bisa membaca zaman dan menggenggam nilai warisannya akan kehilangan relevansi. Ketika relevansi itu hilang, simbol yang mereka bawa menjadi sekadar citra.
Ketika Legitimasi Sosial Dicabut: Publik sebagai Hakim Modal Simbolik
Dalam teori Pierre Bourdieu, simbol adalah bentuk kuasa yang hanya bekerja jika ada pengakuan sosial. Modal simbolik tidak bersumber dari harta atau silsilah, melainkan dari legitimasi kolektif. Seperti dijelaskan Bourdieu: “Symbolic capital is credit… recognition is the cornerstone of symbolic power.” Artinya, kekuasaan simbolik hanya sah jika masyarakat mengakuinya.
Di sinilah masyarakat berperan sebagai hakim atas legitimasi ini. Bila publik merasa bahwa pewaris tak lagi mencerminkan nilai leluhur, mereka bisa mencabut pengakuannya. Ini adalah bagian dari apa yang disebut Bourdieu sebagai symbolic struggle—pertarungan makna dalam medan sosial yang terus berubah. Proses pencabutan ini menjadi refleksi bahwa kekuasaan simbolik tidak bersifat absolut, melainkan harus terus-menerus dibuktikan secara sosial.
Namun kritik publik yang lahir dari kekecewaan kadang tidak tepat sasaran. Simbol yang sah bisa ikut runtuh karena kesalahan individu. Ketika publik menyerang pewaris tanpa membedakan antara nilai leluhur dan kegagalan keturunannya, maka simbol yang seharusnya menjadi pijakan sejarah justru dikubur. Ini bukan hanya kegagalan kritik, tapi juga bentuk penghapusan simbolik yang ironik.
Penting untuk diingat: simbol bisa kehilangan makna jika disalahgunakan, tapi simbol juga bisa kehilangan tempat jika masyarakat gagal membedakan antara sejarah dan arah. Kritik sosial harus berangkat dari pembacaan yang jernih, agar simbol tetap menjadi rujukan nilai, bukan korban dari kemarahan kolektif.
Simbol, Kuasa, dan Kritik yang Tidak Salah Sasaran
Kritik sosial yang sehat tidak hanya mengoreksi individu, tapi juga memahami konteks struktur sosialnya. Dalam medan sosial yang dijelaskan Bourdieu, modal-modal seperti ekonomi, budaya, sosial, dan simbolik diperebutkan. Maka kritik adalah bagian dari perebutan legitimasi yang sah dan penting. Kritik yang diarahkan dengan cermat bisa mendorong pembaruan nilai, memperbaiki sistem, serta menghidupkan kembali makna simbolik secara relevan.
Kritik harus cermat membedakan antara simbol yang sah dan pewaris yang gagal, agar tidak berubah menjadi kekerasan simbolik. Kritik sosial yang jernih akan menyerang penyalahgunaan, bukan sejarah; mengoreksi individu, bukan menghancurkan ingatan kolektif. Dalam simbolik warisan, nilai bisa bertahan jika pewaris memberi kehidupan padanya. Jika tidak, maka yang patut dikritik adalah praktik pewaris, bukan narasi leluhur.
Padahal kekuasaan simbolik tak pernah tinggal di simbol itu sendiri, melainkan dalam struktur dan relasi sosial yang memberinya tempat. Kritik sosial yang tidak salah sasaran seharusnya membedakan antara nilai yang pernah diperjuangkan dan pewaris yang gagal menghidupi. Kritik yang tepat tidak menghapus sejarah, melainkan menyaring ulang: mana yang masih hidup sebagai nilai, mana yang tinggal sebagai nama.
Dengan demikian, simbol tidak dimusuhi, tetapi ditata ulang. Kritik menjadi alat emansipasi, bukan penghukuman. Karena dalam masyarakat yang reflektif, simbol bukan hanya produk masa lalu, tapi juga peluang untuk memperbarui komitmen bersama terhadap nilai yang hidup.
Simbolik Warisan vs Simbolik Organik: Sebuah Pembacaan Kritis atas Legitimasi
Dalam kerangka teori Pierre Bourdieu, modal simbolik bekerja sebagai bentuk kekuasaan yang diperoleh dari pengakuan sosial. Namun cara memperoleh pengakuan itu berbeda-beda. Di sinilah pentingnya membedakan antara simbolik warisan dan simbolik organik.
Modal simbolik warisan merujuk pada legitimasi yang diperoleh karena nama besar, silsilah, atau afiliasi historis. Sedangkan simbolik organik tumbuh dari kerja nyata, kontribusi sosial, dan konsistensi nilai dalam medan sosial.
Simbolik warisan bisa memudahkan akses sosial, tapi ia tidak menjamin keberlanjutan pengakuan jika tidak dihidupi kembali. Sebaliknya, simbolik organik cenderung lebih tahan lama karena dibangun dari relasi yang hidup dan aktual. Ia menuntut proses pembuktian terus-menerus, sehingga legitimasi sosialnya lebih kokoh dan kontekstual.
Dalam praktik sosial, banyak individu yang memiliki modal simbolik warisan tapi tidak memiliki kapasitas untuk menghidupinya. Di sisi lain, ada juga figur-figur yang tidak berasal dari garis keturunan tokoh besar, namun karena kerja dan nilai yang dibawa, mereka mendapatkan tempat di hati publik. Inilah bentuk simbolik organik yang lahir dari medan sosial yang dinamis.
Dengan membedakan dua jenis modal simbolik ini, kita bisa membaca ulang siapa yang benar-benar layak dipercaya dan siapa yang hanya berdiri di atas bayang-bayang sejarah. Simbol tidak selalu sah hanya karena diwariskan. Ia sah karena terus dimaknai, dihidupi, dan diperjuangkan secara nyata.
Jika Masyarakat Kehilangan Orientasi Historis
Kritik sosial yang tidak dilandasi pemahaman historis dapat membawa masyarakat pada kehilangan arah. Ketika publik lebih cepat menghakimi daripada memahami akar sejarah sebuah simbol, maka yang terjadi bukan pembaruan nilai, melainkan penghapusan makna kolektif. Ini berbahaya, karena sejarah sosial bukan hanya milik individu atau kelompok, tapi bagian dari memori kolektif yang membentuk identitas masyarakat.
Orientasi historis memberi kita peta nilai. Tanpa itu, simbol-simbol bisa dengan mudah dihancurkan hanya karena kegagalan pewaris. Padahal, simbol yang diwariskan sering kali lahir dari perjuangan panjang, pengorbanan, dan konsistensi moral. Jika masyarakat tidak mampu membedakan antara simbol dan penyandangnya yang lalai, maka sejarah bisa menjadi korban dari amnesia kolektif.
Bourdieu menyatakan bahwa simbol bekerja jika ia dikenali. Tapi pengenalan itu tak akan lahir tanpa pemahaman. Maka menjaga orientasi historis bukan berarti mengkultuskan masa lalu, melainkan merawat ingatan bersama agar bisa menjadi cermin dalam menilai hari ini.
Masyarakat yang memiliki kesadaran historis akan lebih adil dalam melakukan kritik. Mereka tahu bahwa setiap simbol membawa konteks, dan bahwa pewaris bisa gagal tanpa harus menghapus nilai yang diwarisi. Dalam ruang publik yang sehat, pemisahan ini penting agar kritik tidak menjadi kekerasan simbolik.
Kritik yang Menjadi Kekerasan Simbolik
Bourdieu banyak menyoroti kekerasan simbolik sebagai dominasi yang halus namun efektif dalam menjaga status quo. Namun dalam konteks ini, kita bisa melihat arah sebaliknya: bahwa publik juga bisa melakukan kekerasan simbolik jika kritik tidak diarahkan secara proporsional dan adil. Ketika simbol diserang habis-habisan karena perilaku satu individu, maka yang terjadi adalah penghukuman kolektif terhadap sesuatu yang belum tentu bersalah.
Kekerasan simbolik dari masyarakat terjadi saat kritik berubah menjadi penghapusan. Nama besar yang dulunya menjadi pengikat sosial tiba-tiba kehilangan tempat hanya karena pewarisnya gagal menjaga perilaku. Ini bukan hanya bentuk pelampiasan, tapi juga gejala hilangnya kemampuan publik dalam membedakan nilai dan representasi.
Dalam medan sosial, pertarungan legitimasi memang tak terhindarkan. Namun kekerasan simbolik dari publik bisa menghasilkan luka yang dalam: baik pada simbol yang dihancurkan, maupun pada nilai yang ikut terkubur. Ini juga membuka ruang bagi manipulasi, karena simbol-simbol baru yang muncul bisa jadi tidak membawa nilai, hanya membawa sorotan.
Untuk itu, penting bagi masyarakat untuk belajar melakukan kritik dengan adil dan terukur. Mengoreksi pewaris yang gagal adalah bagian dari tanggung jawab sosial. Tapi menjaga simbol agar tetap bermakna juga bagian dari perawatan kolektif atas sejarah dan nilai. Kritik seharusnya memperbaiki, bukan menghancurkan.
Beban atau Peluang: Mewarisi Simbol dan Tanggung Jawab Sosial
Mewarisi simbol adalah persoalan dua sisi: beban dan peluang. Beban, karena ia membawa ekspektasi dan pengawasan publik. Peluang, karena ia bisa menjadi jalan untuk memperbarui komitmen terhadap nilai yang diwariskan. Dalam medan sosial yang kompleks, pewaris simbolik harus mampu membaca konteks, belajar dari sejarah, dan membuktikan dirinya secara aktual.
Simbol yang diwariskan tidak cukup hanya dikenakan. Ia harus dihidupi. Ini berarti kerja sosial, partisipasi nyata, dan keberanian untuk bertumbuh sesuai zaman. Mereka yang hanya memakai nama tapi tak menyentuh nilai akan segera kehilangan tempat. Sementara mereka yang sungguh-sungguh menjaga dan menghidupi simbol bisa menjadikannya kekuatan yang bermakna.
Dalam teori Bourdieu, simbol hanya sah sejauh ia diakui. Maka pengakuan itu harus terus diperbarui melalui praktik. Bukan hanya dengan klaim atau cerita masa lalu, tapi dengan tindakan hari ini. Mewarisi simbol adalah mewarisi tugas—bukan cuma kehormatan.
Akhirnya, masyarakat pun perlu memberi ruang bagi pewaris yang berjuang. Tidak semua warisan dijaga dengan sempurna. Tapi selama ada usaha yang jujur dan terbuka untuk tumbuh, maka simbol masih bisa hidup. Karena simbol yang hidup bukan yang diwariskan, tapi yang terus dimaknai bersama.
Di tengah lanskap geopolitik yang terus berubah dan tekanan global yang tak henti-henti, Iran tampil sebagai bangsa yang tidak hanya bertahan secara fisik, tetapi juga secara epistemik. Ia menolak tunduk pada narasi dominan yang datang dari luar, dan justru membangun identitasnya dari dalam—dari kedalaman sejarah, spiritualitas, dan pemikiran filsafatnya sendiri. Dalam proses ini, Mulla Shadra muncul sebagai salah satu figur kunci yang membentuk fondasi batin bangsa. Ia bukan sekadar filsuf klasik dari abad ke-17, melainkan arsitek dari sebuah cara berpikir yang menyatukan akal, wahyu, dan intuisi spiritual. Pemikirannya tidak hanya bertahan dalam teks-teks kuno, tetapi terus hidup dalam cara bangsa Iran memahami diri, dunia, dan kekuasaan.
Shadra lahir di Shiraz pada masa dinasti Safawi, sebuah periode yang menandai kebangkitan kembali filsafat Islam setelah masa stagnasi pasca-Al-Ghazali. Ia mengalami pengasingan intelektual dan spiritual sebelum akhirnya merumuskan hikmah al-muta’aliyah—teosofi transenden—sebuah sintesis radikal antara filsafat peripatetik Ibnu Sina, iluminasionisme Suhrawardi, dan mistisisme Ibn ‘Arabi. Dalam sistem ini, Shadra menempatkan wujud (keberadaan) sebagai realitas primer, dan memperkenalkan konsep gerak substansial yang menyatakan bahwa segala sesuatu, termasuk substansi terdalam, sedang bergerak menuju kesempurnaan. Gagasan ini bukan hanya metafisika abstrak, tetapi juga kerangka dinamis untuk memahami perubahan sosial, spiritual, dan bahkan politik.
Di Iran kontemporer, pemikiran Shadra tidak hanya diajarkan di ruang-ruang akademik seperti Universitas Tehran atau Hauzah Ilmiyah Qom, tetapi juga menjadi bagian dari diskursus publik dan kebudayaan populer. Ia menjadi sumber inspirasi bagi para pemikir yang ingin menjawab tantangan modernitas tanpa harus menanggalkan akar tradisi. Dalam konteks ini, Shadra memberi bangsa Iran bahasa filosofis yang khas—sebuah cara untuk berbicara tentang sains, etika, dan masyarakat tanpa harus mengadopsi kerangka Barat secara mentah. Ia memungkinkan lahirnya epistemologi yang berakar, bukan sekadar meniru. Dan dalam dunia yang semakin terdikte oleh narasi global, kemampuan untuk berpikir dari dalam adalah bentuk kemandirian yang paling mendalam.
Lebih dari sekadar sistem pemikiran, filsafat Shadra telah membentuk tipe intelektual yang khas di Iran: mereka yang tidak hanya berpikir dengan logika, tetapi juga dengan hati yang bening. Dalam tradisi ini, pengetahuan sejati tidak hanya lahir dari observasi atau deduksi, tetapi juga dari penyucian jiwa dan pengalaman eksistensial. Ini menciptakan kultur intelektual yang menyatukan akademia dan spiritualitas—sebuah sintesis yang jarang ditemukan di tempat lain.
Dalam masyarakat yang sering memisahkan antara rasionalitas dan religiositas, Iran justru membangun jembatan di antaranya. Dan Shadra, dengan keberaniannya menyatukan yang sering dipisahkan, menjadi arsitek awal dari jembatan itu.
Dalam konteks sejarah modern Iran, filsafat Shadra telah menjadi semacam fondasi epistemologis yang memungkinkan bangsa ini membangun sistem pengetahuan yang tidak bergantung pada paradigma Barat. Ketika banyak negara Muslim lainnya mengalami ketergantungan intelektual terhadap teori-teori sosial dan politik dari luar, Iran justru mengembangkan pendekatan yang berakar pada tradisi filsafat Islam sendiri. Shadra, dengan sintesisnya yang mendalam antara rasionalitas dan mistisisme, menyediakan kerangka konseptual yang memungkinkan para pemikir Iran untuk berbicara tentang modernitas, sains, dan masyarakat tanpa harus menanggalkan bahasa metafisika Islam. Dalam hal ini, filsafat Shadra bukan hanya warisan, tetapi juga alat emansipasi intelektual.
Salah satu aspek paling revolusioner dari pemikiran Shadra adalah keberaniannya untuk menyatukan dimensi rasional dan spiritual dalam satu sistem pengetahuan yang utuh. Ia menolak dikotomi antara akal dan wahyu, antara filsafat dan tasawuf, dan justru membangun jembatan di antara keduanya. Pendekatan ini memberi Iran kemampuan untuk berpikir secara holistik, tidak terjebak dalam reduksionisme saintifik maupun dogmatisme religius. Dalam masyarakat yang terus bergulat dengan pertanyaan tentang identitas, modernitas, dan otoritas, filsafat Shadra menawarkan jalan tengah yang tidak kompromistis, tetapi justru memperluas cakrawala berpikir. Ia mengajarkan bahwa kebenaran tidak hanya ditemukan dalam laboratorium atau kitab suci, tetapi juga dalam pengalaman eksistensial yang mendalam.
Tak mengherankan jika para pemikir revolusi Iran, seperti Ayatollah Khomeini dan Murtadha Mutahhari, menjadikan karya-karya Shadra sebagai bagian dari fondasi intelektual mereka. Khomeini, misalnya, dikenal sebagai pembaca serius Asfar Arba‘ah, dan dalam banyak tulisannya, ia menggabungkan kerangka metafisika Shadra dengan visi politik Islam yang transformatif. Dalam hal ini, filsafat Shadra tidak hanya menjadi sumber inspirasi spiritual, tetapi juga menjadi dasar konseptual bagi gagasan bahwa negara dapat dibangun di atas fondasi ontologis dan etis, bukan sekadar hukum positif atau kalkulasi kekuasaan. Ia memberi legitimasi filosofis bagi proyek politik yang ingin menyatukan dimensi batin dan lahir dari kehidupan berbangsa.
Lebih jauh lagi, pendekatan Shadra terhadap pengetahuan—yang menempatkan kasyf (penyingkapan batin) sejajar dengan rasionalitas—telah membentuk tipe intelektual yang khas di Iran: seorang pemikir yang tidak hanya cerdas secara logis, tetapi juga memiliki kedalaman spiritual.
Ini menciptakan kultur intelektual yang unik, di mana akademia dan kontemplasi tidak saling meniadakan, tetapi justru saling memperkaya. Dalam dunia yang sering memisahkan antara universitas dan tempat ibadah, Iran justru membangun jembatan di antaranya. Dan di balik jembatan itu, berdiri sosok Shadra—diam, tetapi menentukan.
Dalam masyarakat Iran yang sarat dengan ketegangan antara konservatisme religius dan aspirasi reformis, filsafat Shadra berfungsi sebagai ruang tengah yang memungkinkan dialog tanpa harus menyeragamkan pandangan. Ia tidak memihak secara eksplisit, tetapi justru karena itu, ia dapat menjadi titik temu. Dalam diskusi antar generasi—antara ayah yang memegang teguh syariat dan anak yang mempertanyakan segalanya—nama Shadra kadang muncul sebagai jembatan: bukan untuk menyamakan pandangan, tetapi untuk mengakui bahwa pencarian kebenaran bisa mengambil banyak bentuk. Ia mengajarkan bahwa kedalaman lebih penting daripada kepastian, dan bahwa keraguan yang jujur bisa menjadi awal dari pengetahuan yang lebih otentik.
Dalam ranah politik, pengaruh Shadra mungkin tidak selalu tampak di permukaan, tetapi ia hadir sebagai fondasi diam yang menopang cara berpikir sebagian elite intelektual Iran. Beberapa tokoh penting dalam Revolusi Islam, seperti Ayatollah Khomeini, dikenal sebagai pembaca serius karya-karya Shadra. Mereka tidak hanya mengutipnya, tetapi juga menginternalisasi cara berpikirnya—yang menyatukan metafisika, etika, dan spiritualitas—ke dalam visi politik yang transformatif. Dalam hal ini, filsafat Shadra memberi legitimasi ontologis bagi gagasan bahwa negara bukan sekadar entitas hukum, tetapi juga organisme spiritual yang harus mencerminkan tatanan kosmik dan moral. Ia menawarkan cara berpikir tentang kekuasaan yang tidak terjebak dalam kalkulasi pragmatis, tetapi berakar pada pemahaman mendalam tentang hakikat manusia dan tujuan keberadaan.
Kemandirian politik Iran, yang sering dibaca hanya dalam kerangka geopolitik atau resistensi terhadap hegemoni Barat, sebenarnya juga memiliki dimensi batin yang lebih dalam. Keteguhan Iran dalam mempertahankan jalur politik dan budayanya sendiri tidak bisa dilepaskan dari fondasi intelektual yang telah dibangun selama berabad-abad—dan Shadra adalah salah satu pilar utamanya.
Dalam menghadapi tekanan global, embargo, dan isolasi, Iran tidak hanya bertahan secara ekonomi, tetapi juga secara epistemik. Ia tidak kehilangan arah karena memiliki kerangka berpikir yang dalam dan berakar. Dalam hal ini, filsafat Shadra menjadi semacam jangkar spiritual yang menahan bangsa ini dari terombang-ambing oleh arus globalisasi yang seragam.
Di luar Iran, pemikiran Shadra mulai menarik perhatian para sarjana yang mencari alternatif terhadap dikotomi Barat antara rasionalisme dan spiritualitas. Di universitas-universitas di Eropa dan Amerika Utara, karya-karyanya seperti Asfar Arba‘ah dibaca ulang sebagai upaya radikal untuk menyatukan metafisika, etika, dan pengalaman mistik dalam satu sistem yang koheren. Ia menjadi contoh bahwa filsafat Islam bukan hanya warisan masa lalu, tetapi juga sumber daya intelektual yang relevan untuk masa depan global. Dalam dunia yang semakin terdikte oleh logika instrumental dan efisiensi, pendekatan Shadra terasa seperti undangan untuk kembali merenung—bahwa berpikir bukan hanya untuk menguasai dunia, tetapi juga untuk memahami tempat kita di dalamnya.
Dalam dunia yang semakin terdikte oleh logika instrumental dan efisiensi, pendekatan Shadra terasa seperti oase yang menyejukkan. Ia tidak menawarkan solusi instan atau sistem politik siap pakai, tetapi mengajak untuk menyelami realitas secara perlahan—dengan kesabaran seorang peziarah. Dalam filsafatnya, berpikir bukanlah sekadar alat untuk menguasai dunia, melainkan cara untuk memahami tempat kita di dalamnya. Dan dalam konteks Iran, cara berpikir ini telah membentuk semacam ketahanan batin yang tidak mudah digoyahkan oleh tekanan eksternal.
Maka, ketika kita berbicara tentang kemandirian Iran—baik dalam bidang politik, budaya, maupun intelektual—kita tidak bisa mengabaikan dimensi batin yang menopangnya. Di balik kebijakan luar negeri yang tegas, di balik retorika perlawanan terhadap hegemoni global, terdapat fondasi metafisik yang lebih dalam: keyakinan bahwa bangsa ini memiliki cara sendiri untuk memahami dunia, dan bahwa cara itu sah secara filosofis. Dalam ruang sunyi filsafat dan doa, Shadra berdiri sebagai penjaga gerbang—bukan untuk menutup, tetapi untuk menyaring, agar yang masuk ke dalam tetap selaras dengan hakikat.
Di Shiraz, kota kelahirannya, dan di Qom, tempat ia pernah menyepi, pemikiran Shadra masih diajarkan dan direnungkan. Ia tidak hanya hidup dalam teks, tetapi juga dalam cara sebagian masyarakat Iran memahami eksistensi: sebagai gerak menuju kesempurnaan, sebagai pencarian makna yang tak pernah selesai. Dalam setiap perjalanan intelektual dan spiritual bangsa ini, Shadra hadir sebagai kompas yang tidak menunjuk ke satu arah, tetapi mengajak untuk menyelami kedalaman.
Di luar Iran, warisan Shadra mulai menemukan gema baru. Para sarjana filsafat, teologi, dan studi Islam mulai melihat dalam dirinya bukan hanya seorang pemikir klasik, tetapi seorang visioner yang menawarkan alternatif terhadap dikotomi modern antara rasionalitas dan spiritualitas. Ia menunjukkan bahwa filsafat Islam tidak harus menjadi bayang-bayang Barat, tetapi bisa menjadi cahaya yang berdiri sendiri—dengan logika yang jernih dan hati yang terbuka.
Dan mungkin, dalam dunia yang semakin bising oleh opini dan klaim kebenaran, itulah bentuk kekuatan yang paling langgeng: kebijaksanaan yang tidak memaksa, tetapi mengundang; yang tidak menggurui, tetapi membimbing. Mulla Shadra, dengan filsafat-mistiknya yang dalam dan lentur, telah memberi bangsa Iran bukan hanya sistem berpikir, tetapi juga cara untuk tetap berdiri—dengan kepala tegak dan hati yang bening—di tengah badai zaman.
Tulisan ini bukan tulisan ilmiah, melainkan sebuah catatan pengalaman. Bicara pengalaman, tentu sangat subjektif. Sudut pandangnya pun berangkat dari diri seorang yang mengalaminya. Dalam hidup, setiap orang sangat pasti memiliki pengalaman, entah itu pengalaman yang bahagia atau tidak, sehingga pada satu keadaan terkadang pengalaman itu disebut sebagai titik balik.
Tulisan ini sengaja saya beri judul, “Mesin, Agama, dan Maulid”, bukan tanpa alasan, sebab melalui tiga kata itulah pengalaman hidup bermula. Pengalaman ini bukan tentang kesuksesan, seperti umumnya yang menceritakan hidup dari susah kemudian menjadi sukses dan kaya raya. Ini soal cara bagaimana memaknai dan mensyukuri hidup.
Perjalanan Sebagai Pelajar SMK
Sebagai anak semata wayang, orang tua di seluruh jagat sebagaimana umumnya pasti menginginkan anaknya bertumbuh kembang dengan baik. Apakah di masa depan anak itu sukses (kaya dan berpangkat) atau tidak, itu urusan Gusti Allah Swt.
Sebagai anak yang lahir di kota metropolitan seperti Jakarta. Harapan orang tua untuk anaknya menjadi baik, nampaknya “hampir” pernah tidak terpenuhi. Pasalnya sejak duduk di bangku SMP, saya sudah terhitung bandel. Bandel yang dimaksud adalah malas belajar. Maunya hanya bermain-main saja.
Berpikiran hanya untuk bermain-main ternyata berdampak pada sekolah saya. Tidak seperti teman-teman yang mampu masuk SMA terbaik di Jakarta, saya justru masuk SMK (Sekolah Menegah Kejuruan) pada tahun 2005. Mending jika SMK-nya negeri dan favorit. SMK saya hanya swasta: SMK Satya Bhakti I, Jakarta Timur, jurusan teknik mesin atau otomotif. Alih-alih berubah, masuk SMK justru membuat saya semakin liar bandelnya.
Salah satu kebandelan yang pokok—bukan membenarkan, namun sudah menjadi “tradisi”—adalah tawuran di sekolah. Sedangkan di rumah, alih-alih belajar, saya malah main modif-modif motor. Jika membicarakan tawuran pelajar di Jakarta, tidak bisa tidak, SMK berada di urutan pertama yang mesti disebut. Nama-nama SMK seperti, Boedoet, Bonser, Chaptoen, Bonzer, dan Kapal menunjukkan bahwa SMK tersebut menjadi pemain krusial yang membikin tawuran pelajar di Jakarta tak ubahnya budaya yang melekat pada pola pikir para pelajar.
Sebagai pelajar SMK, beberapa kali saya juga turut menjadi bagian budaya tawuran tersebut, meski tidak pernah mencelakakan lawan, namun tawuran untuk saat ini tidak pernah dibenarkan. “Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti jatuh juga”, ungkapan itu mungkin menggambarkan. Sepandai-pandainya saya menyembunyikan kata “nggak pernah tawuran” di hadapan orang tua, tetap saja ketahuan. Harapan orang tua untuk anaknya menjadi baik sempat saya lukai. Orang tua saya marah besar. Bahkan sempat dalam marahnya “hampir” membuat saya tidak diakui sebagai anak.
“Hampir” tidak diakui anak ternyata membekas di hati saya. Sedih, frustasi, dan kecewa meliputi hati saya. Percuma keren di luar, tapi jika tidak mendapatkan ridho orang tua, apalah artinya hidup. Sebab jamak diketahui bahwa ridho Allah adalah ridho orang tua.
Pada saat-saat sedih dan frustasi itu, tiba-tiba pada tahun 2007, salah seorang kawan mengajak saya untuk ikut pengajian. Awalnya saya menolak, sebab bagaimana mungkin orang yang masih senang dengan pencarian identitas melalui tawuran dan main motor, tiba-tiba diajak ngaji. Namun, karena terus memaksa akhirnya saya menurutinya. Ada kata-katanya yang masih saya ingat sampai saat ini,
“Mas, ayo ikut ngaji enak, cuma duduk saja, nanti habis ngaji ada makan nasi kebuli. Habis itu terserah loe mau ikut lagi apa nggak”.
Mengikuti Majelis Para Habaib
Dengan menaiki kereta listrik, akhirnya saya dan teman saya pergi ke pengajian tersebut. Pengajiannya terletak di daerah Citayam, Bogor, Jawa Barat. Sebagai pelajar yang bukan berlatar belakang pondok pesantren, saya tidak memiliki pengetahuan soal ilmu agama yang luas. Sehingga saya tidak pernah tahu pengajian apa yang akan didatangi.
Sesampainya di sana saya menemui banyak sekali orang yang memakai peci putih dan sarung. Sebagai yang pertama kali hadir, sepanjang pengajian, saya hanya duduk, membaca maulid, sholawat, mendengar ceramah, makan nasi kebuli, dan pulang. Entah apa yang saya alami, namun kegiatan yang hanya baca sholawat, dengerin ceramah, dan makan membuat hati saya jadi senang. Awalnya saya tidak tahu soal habib-habib-an. Saat itu saya baru tahu bahwa ternyata majelis pengajian itu bernama al-Busyro pimpinan Sayyidil Walid al-Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Qodir Assegaf, Bukit Duri, Jakarta Selatan.

Setelah acara selesai, sejak saat itu saya berkata kepada teman saya, dan saya masih ingat betul kata-kata saya sendiri, “Ternyata enak ya ngaji begini, besok kalau ada acara seperti ini, hadir lagi yuk”. Bahkan bukan saja saya semakin senang dengan pengajian tersebut, di antara kesenangan lainnya adalah saya semakin sering mengikuti pengajian sholawat para habaib dan mulai mengikuti orang-orang dengan memakai peci putih, sarungan. Dan anugerah terbesar yang saya alami setelah menghadiri pengajian itu adalah perubahan orientasi pendidikan saya.

Di sekolah saya mulai berubah, tidak lagi mengikuti tawuran—Meski harus saya akui bahwa saya masih malas belajar. Namun, pengajian itu membawa dampak penting atau titik balik dalam hidup, yakni saya semakin ingin belajar mendalami agama. Seakan-akan itu merupakan kenyataan yang memang dan harus disyukuri, keinginan saya untuk belajar agama akhirnya dipenuhi oleh Allah Swt melalui jalur pendidikan tinggi UIN Syarif Hidyatullah Jakarta jurusan Perbandingan Agama tahun 2009.
Banyak orang, dan bahkan orang tua saya sendiri kaget, bagaimana mungkin dari SMK Teknik mesin bisa ke jurusan Perbandingan Agama? Sampai-sampai penguji ujian masuk UIN Jakarta, Pak Surya yang di kemudian hari menjadi dosen Bahasa Arab saya mengatakan, “kamu dari SMK ke jurusan ini, kayak loncat tanaman”. Jawaban paling logis atas perubahan itu mungkin bisa diringkas bernama “hidayah”.
Maulid dan Sebuah Catatan
Perubahan dimanapun bukan sesuatu ujug-ujug terjadi, pasti ada awal dan sebab. Jauh setelah mengikuti pengajian majelis para habaib itu, dan alhamdulillah setelah selesai kuliah hingga S2 di Universitas Gadjah Mada, saya semakin sadar. Dan, sekali lagi, hidup harus patut disyukuri (apapun kondisinya). Ada satu penjelasan yang saya temukan di Instagram milik Pusat Studi Quran tertanggal 27 Mei 2025. Penjelasan itu dimulai dengan pertanyaan, “rasanya semakin jauh dari agama, kapan yah aku dapet hidayah?”
Kemudian di slide selanjutnya dijawab, “kadang hidayah Allah Swt datang dalam bentuk sederhana, salah satunya lewat ada teman tiba-tiba ngajak pergi kajian”.
Ajakan sederhana untuk ikut majelis taklim bukanlah perkara sepele. Pasalnya banyak dari teman-teman saya yang SMK itu mengalami perubahan hidup. Atau sebagian orang di dunia ini mengalami hidup yang cukup ekstrem. Dalam konteks SMK, momentum perubahan hidup terjadi ketika tawuran, lalu ditangkap polisi. Atau ketika tawuran kena sabetan benda tajam kemudian cacat. Atau ketika main motor ikut kebut-kebutan di jalan kemudian mati. Teman saya tidak mengajak saya berubah lewat hal-hal yang berat, seperti suruh baca filsafat, misalnya. Bagaimana mau baca filsafat wong saat itu saya masih kelas 3 SMK dan belum memiliki media sosial seperti saat ini.
Terlepas dari personal nasab atau anda membenci habaib, namun, peran majelis taklim bagi kehidupan saya sangat penting. Betul sebagaimana dikatakan oleh salah satu tokoh kiai besar negeri ini yang mengatakan, “dalam konteks perumusan hukum Islam di Indonesia atau Bahtsul Masail, habaib tidak ada”. Namun, kehadiran habaib jelas terasa dalam hidup saya. Sebagai contoh, tidak mungkin anak SMK seperti saya yang tidak memiliki pengetahuan agama tiba-tiba disuruh mikir. Wong, belajar saja males. Nah, untuk merubah itu tentu caranya juga harus sederhana, yakni duduk, maulidan, sholawatan, dengerin ceramah, dan makan. Dalam konteks saat itu, yang ada di pikiran saya hanya “alhamdulillah bisa ikut maulidan.”
Cara-cara sederhana ini saya kira juga dialami oleh beberapa orang terkenal di negeri ini. Sebagai contoh, adalah gitaris Sheila on 7 Sakti Ari Seno atau Salman al-Jugjawy dan Gito Rollies. Dalam kasus Sakti, menurut wawancara ia berubah hanya karena melihat majalah berjudul kematian saat dirinya ingin naik pesawat. Ada perasaan takut saat dirinya ingin naik pesawat, takut apakah pesawat ini akan baik-baik saja atau tidak. Dalam kasus Gito Rollies, ia berubah dan mendapat hidayah hanya karena melihat orang berbondong-bondong Jumat’an.
Anda mungkin boleh membenci habaib atau kehabib-habiban (itu pilihan, tapi juga tidak berlebih-lebihan). Karena mungkin ada habaib yang dawir (tukang minta-minta) atau ceramah dan perilakunya yang tidak mencerminkan akhlak Nabi Saw. Namun, kehadiran mereka dan masih banyak lagi yang baik-baik dan santun yang hanya menyelenggarakan maulidan, sholawatan, dan makan-makan tidak bisa dipungkiri keberadaannya.
Oleh karena itu, sekali lagi, pengalaman selalu bersifat subjektif. Tidak bisa dihakimi hanya karena berbeda tempat dan waktu. Mungkin hari ini, seiring perkembangan waktu dan media sosial, banyak orang yang berubah dan mendapat hidayah melalui postingan online. Namun, saat itu tahun 2007, saat media sosial belum seriuh sekarang, ajakan seorang sahabat yang saya alami adalah cara Tuhan paling sederhana memperkenalkan sesuatu yang baik. Sebab mungkin kembali pada jawaban Pusat Studi Quran bahwa hidayah Allah Swt memang datang lewat cara-cara yang sederhana.
I
Esai kritis A.S. Laksana—atau Sulak, “Hantu Pohon Seno Gumira dan Sastra yang Bersuara” di akun FB-nya (13/06) jika kita baca sekilas tampak elegan dan memikat. Esainya detail, nyaris terkesan teliti, dan logis. Namun, bila kita perhatikan dengan seksama, argumennya menunjukkan dua kelemahan serius. Pertama, terlalu menyederhanakan, dan kedua, detail dari pendekatan kritisnya tidak relevan. Dan akibatnya, kesimpulan Sulak bahwa kredo Seno Gumira Ajidarma “Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus berbicara” sebagai distorsi nilai-nilai sastra, seolah-olah sastra yang membahas realitas politik atau sosial secara otomatis mengkhianati esensi artistiknya—adalah tidak tepat.
Di sinilah inti kesalahan Sulak. Sulak membangun dikotomi palsu antara jurnalisme dan sastra, dan memperlakukan keduanya sebagai hal yang secara historis dan estetis tidak kompatibel. Apa yang mestinya kita sadari adalah sastra tidak pernah terpisah begitu jelas dari laporan jurnalistik. Faktanya, penggabungan narasi faktual dengan teknik sastra telah melahirkan beberapa karya paling kuat abad ke-20. Sebut saja Truman Capote yang menulis In Cold Blood, Norman Mailer dengan The Executioner’s Song, atau Louis Begley’s Wartime Lies—bahkan Tom Wolfe dengan “Jurnalisme Baru” yang kemudian digunakan Tempo. Setiap karya itu, masing-masing menunjukkan bagaimana bahan jurnalistik, ketika diolah dengan imajinasi sastra, dapat menghasilkan bentuk naratif baru—hibrida yang melampaui baik pelaporan konvensional maupun fiksi konvensional. Karya-karya ini tidak mengkhianati sastra; mereka justru memperluas kemungkinannya. Menolak hibriditas semacam itu atas dasar estetika bukan hanya ahistoris—itu adalah mengabaikan vitalitas yang terus berkembang dari bentuk sastra itu sendiri.
Secara adil, penolakan Sulak terhadap gagasan kredo “sastra harus berbicara” dapat dibaca sebagai sikap estetis—sebagai pembelaan terhadap otonomi sastra, fiksi yang terbebas dari beban pesan politik. Namun, sikap semacam itu, meskipun secara teoritis valid, menjadi problematis ketika mengabsolutkan entitas awalnya sebagai satu-satunya bentuk kemurnian estetis. Argumen Sulak mengutamakan bentuk di atas konteks, seolah-olah gaya eksis secara independen dari substansi, seolah-olah kekerasan dan kehancuran dunia sudah tak tertanam dalam bahasa itu sendiri.
Purisme estetika ini mengabaikan bahwa beberapa karya sastra yang paling abadi justru adalah karya yang berani berbicara—karya yang berbicara bukan sebagai propaganda, tetapi sebagai saksi. Posisi Seno, ketimbang mendistorsi sastra, justru memulihkan dimensinya yang etis. Ia menegaskan bahwa gaya dan ucapan bukanlah musuh. Ketika sastra berbicara, ia tidak berhenti menjadi sastra—ia menjadi lebih mendesak, dan lebih diperlukan. Ia menjadi apa yang Camus pernah sebut sebagai “tindakan solidaritas.” Penolakan Sulak, meskipun tampak elegan, pada akhirnya mundur ke dalam konsepsi sastra yang aman dan tertutup—sedangkan kredo Seno membukanya menuju risiko, menuju sejarah, dan menuju kemanusiaan.
Sulak menyalahpahami fungsi kredo tersebut. “Sastra harus bicara” bukan berarti sastra harus menjadi selebaran, brosur. Ini bukan retorika agitasi, melainkan posisi etis seperti gagasan Sartre bahwa sastra harus terlibat. Seno tidak memaksa sastra mengabdi pada pidato politik, tetapi mengingatkan bahwa ketika ruang kebenaran ditutup, fiksi bisa menjadi satu-satunya lorong untuk menyampaikan realitas yang tak terkatakan. Kredonya bukan perintah dogmatis, melainkan deklarasi tanggung jawab dalam zaman represif. Itulah sebabnya “Saksi Mata” tidak hanya kuat secara tema, tetapi juga karena bentuknya yang menggabungkan kesaksian dan absurditas dengan logika naratif yang padat.
II
Sulak mencemooh gaya repetitif dan deskripsi pohon dalam cerpen “Hantu Pohon” sebagai arbitrer. Tapi kritik ini menyelisihi logika postmodern, yang memang menolak konsistensi linear atau koherensi Aristotelian, di mana Seno sendiri adalah seorang posmodernis seperti pengakuannya dan karyanya.
Dalam dunia Kafkaesque dan fiksi posmodern, hal yang tampak tidak logis secara realistik justru punya logika internal sendiri: logika dari ketakstabilan, logika dari ketakmenentuan eksistensi, logika dari trauma kolektif. Pohon dalam cerpen itu bukan karakter realis; ia adalah entitas metaforis yang mencerminkan trauma sejarah yang tak bisa ditebang begitu saja.
Cara pembacaan Sulak ini, seperti cara membaca bayang-bayang di dinding gua Plato yang menjadi sia-sia ketika kita mengira itu adalah wujud yang asli, membaca “Hantu Pohon” dengan pandangan modernis adalah cara membaca yang salah dari awal. Sulak, dengan bahasa yang memikat dan tersesat, mencoba memasukkan cerita ini ke dalam kotak struktur, logika, dan karakter modernis—namun membawa jeda yang berlawanan, kekacauan, dan absensi koherensi sebagai cacat. Padahal, cacat itu bukan cacat sama sekali—melainkan potensi yang kuat dan berisi .
Modernisme dan postmodernisme bukan dua gaya yang saling tumpang tindih, tetapi dua paradigma membaca yang berbeda. Modernisme, seperti dalam karya Kafka atau Budi Darma, menempatkan struktur di atas kekacauan. Karakter tetap konsisten, perubahan hanya satu kali, dan absurditas dipicu oleh satu kejadian melampaui nalar tapi tetap beroperasi di bawah aturan.
Postmodernisme yang mesti dipahami menolak pencarian harmoni. Ia menemani pembaca keluar dari retorika presisi: simbol boleh tak tentu, narasi boleh tumpang tindih, nada boleh bertabrakan. Dan “Hantu Pohon” adalah teks seperti itu: bayangan, suara, celetukan, sulur – semuanya hadir sebagai tanda bahwa dunia ini tidak bisa dikurasi. Membacanya dengan alat yang salah sama seperti menggunakan obeng sebagai kunci inggris.
Sulak menyatakan bahwa cerita tersebut gagal karena ketidakhadiran logika internal dan konsistensi naratif. Namun, kesimpulan ini mengasumsikan kerangka kerja, bahwa sebuah cerita pendek atau fiksi harus mematuhi ekspektasi struktural tertentu—jenis yang kita warisi dari fiksi tradisionil dan modernis, terutama varian yang muncul dari Kafka dan diteruskan kepada penulis Indonesia seperti Iwan Simatupang atau Budi Darma. Meskipun asumsinya pada dasarnya tidak salah. Hanya saja menerapkan lensa tradisionil atau modernis pada karya postmodernis seperti mengukur bayangan dengan penggaris. Akibatnya, kita mengkritik bayangan karena tidak lurus.
“Hantu Pohon” bukanlah modernis dalam bentuk atau semangatnya. Ia adalah postmodern—teks yang menari dengan dekonstruksinya sendiri, yang memecah suara dan gambar bukan untuk menciptakan kekacauan, melainkan untuk mencerminkan kondisi dunia yang sudah terpecah-pecah. Keluhan Sulak bahwa pohon itu mengubah makna, bahwa horornya menjadi komedi, bahwa alegorinya menolak kejelasan, bukanlah kegagalan cerita. Namun, itu adalah penolakan Sulak sendiri untuk membaca cerita sesuai dengan syaratnya sendiri.
III
Ketika Sulak membandingkan “Hantu Pohon” dengan Metamorfosis, ia justru memperlihatkan salah kaprah yang mendasar. Absurditasnya bukan berarti absurditas yang masuk akal secara formal. Dan semua itu nyaris ada dalam karya Kafka—hingga kemudian melahirkan istilah Kafkaesque. Kafkaesque adalah atmosfer—rasa gentar, absurditas eksistensial, alienasi, dan absurditas birokratik yang tak bisa dijelaskan secara nalar. Dalam cerita Kafka, absurditas tidak harus masuk akal. Bahkan, justru absurditas yang paling efektif adalah yang tidak menjelaskan dirinya sendiri. Jadi, menyalahkan “Hantu Pohon” karena tidak memiliki konsistensi metaforis adalah kegagalan memahami gaya atau teknik yang dipakainya.
Sulak mengacu pada Kafka sebagai parameter, dan mengatakan bahwa Metamorfosis berhasil karena Gregor Samsa tetap serangga, fokus dan karakternya tetap terjaga, dan absurditasnya disiplin. Namun, di tempat itu, ia melewatkan inti bahwa “Kafkaesque” bukan tentang kualitas internal absurditas, tapi tentang dunia yang tampak beraturan tapi sesungguhnya kacau.
Gregor Samsa jatuh dari satu paradoks menuju paradoks berikutnya; pembaca tidak menemukan aturan absurditas, tetapi tembok kegelisahan yang berulang. Konsistensi Plot tidak pernah tenang—tapi bergolak. Sama halnya Joseph K dalam The Trial, siapa tahu apa sistem itu, atau bagian mana yang nyata atau bagian mana yang mimpi.
Apa yang dicerca Sulak sebagai “tidak disiplin” dalam narasi Seno sebenarnya adalah hal yang sama dengan yang dilakukan Kafka: menciptakan ruang kegilaan yang tidak bisa dijelaskan. Jika Sulak mencela narasi “Hantu Pohon” karena tidak cukup modernis, maka ia sebenarnya seperti menuntut Seno untuk menjadi apa yang tidak sedang ia bangun—yaitu, meniru Kafka, tapi tanpa mengerti keberadaan Kafka yang asli.
Postmodernisme bukan paradoks; ia adalah perayaan paradoks. Ia meletakkan fragmen-fragmen tanpa jembatan, mengundang pembaca menyatukan sendiri, jika sanggup. “Hantu Pohon” adalah contoh bagaimana narasi bisa bekerja dengan suara yang paralel—orang kampung, rumor sarat ironi, gagasan sesajen, dan dialog-detail yang banal. Maka dalam pendekatan posmodernis ini, memungkinkan kita mendapatakan, misalnya dalam “Pohon Hantu”:
1. Polifoni ala Bakhtin
Jangankan suatu narasi tunggal yang mengikat, kita menyimak banyak suara—tertawa, tertarik, mengabaikan, dan syok. Ini bukan gangguan, melainkan cara kerja. Di dalam keriuhan itu, terselip rasa takut, rasa sejarah, kecemasan yang bukan retorika, melainkan ‘dar’ suara rakyat.
2. Intertekstualitas dan Parodi
“Ajaib seperti dangdut.” Ini bukan sinisme – ini penghormatan ironis, sebuah pastiche—mengembang, konyol, lucu. Tetapi kemunculannya mengejutkan dan membuat teks tidak bisa dikontrol. Ini wajar dalam postmodern: bentuk mengaburkan makna, makna melawan bentuk. Seperti dalam teks Ketoprak, lawakan bahkan tragedi.
3. Distraksi sebagai Kritik
Sulak menyebut celetukan sebagai “gangguan,” namun postmodern tidak percaya bahwa pembaca ingin duduk tenang. Ia seperti nova—pecah berfilamen, dan lewat pada kita bentuk-bentuk yang berubah. Di era yang penuh iklan, retorika, propaganda, dan suara viral, Seno menggunakan sesuatu yang sama. yaitu kebisingan sebagai tanda kesaksian.
IV
Sulak juga menuding bahwa pohon itu jadi “sirkus,” tidak tersistem. Tetapi di konteks postmodern, ini valid: pohon bukan tokoh, tapi geografi kekuasaan—geografi yang membahayakan, menyamar, bergeming, dan mati-matian menolak ditebang. Ia mati, namun tumbuh lagi. Ia bukan benda, tapi aksi dan suara: dahan cabang kemresek, bergetar, menyulam ulang sejarah banyak suara.
Dus, menuntut agar pohon tetap sama adalah memaksa simbol untuk setia pada tafsir. Kritikus sastra yang baik tahu bahwa simbol dalam postmodern bisa tak menetap. Tak setia menetap. Ia bisa meledak menjadi banyak hal, menular ke mana pun, bahkan menjadi anti-simbol. Ia lebih tepat disebut hyper-simbol, sebuah bentuk gelombang makna, bukan kepastian.
Demikian juga soal trivia dan celetukan. Dalam retorika Sulak, celetukan adalah cacat. Tapi ini mengabaikan tradisi cerita lisan dan sastra Indonesia yang justru bisa hidup dari celetukan dan ironi. Celetukan bukan kelemahan; ia adalah strategi naratif. Ia mengganggu keseriusan dan menghindarkan cerita dari dogma. Ia bukan “sampiran”, melainkan bagian dari orkestrasi suara. Gaya ini sangat dekat dengan puitika ‘Pasar Malam’—di mana berbagai genre, nada, dan wacana bertabrakan dalam satu teks.
Sulak juga menyimpulkan bahwa cerita absurd Indonesia lahir karena “kredo” untuk bersuara, seolah-olah absurditas dalam cerita hanya alat untuk menyampaikan pesan. Ini adalah cara pandang sempit.
Cerita absurd di tangan Seno, Agus Noor, atau bahkan Indra Tranggono bukan pidato, melainkan pengalaman estetis tentang keterpecahan realitas. Dalam posmodernisme, tidak ada pusat yang stabil. Tidak ada “pesan” tunggal. Yang ada adalah pembacaan, pergeseran makna, dan pengalaman ketakpastian.
Dengan demikian, esai Sulak ini lebih menyerupai kritik konservatif terhadap bentuk dan cara bertutur yang tak dikenalnya. Ia menghendaki sastra yang “teratur” seperti arsitektur klasik, padahal Seno sedang membangun labirin: tempat di mana makna berputar, di mana bahasa tidak mencari solusi tetapi menyingkap luka. Kritik Sulak dengan demikian juga gagal membaca ironi Seno, justru karena ingin menundukkan semua bentuk pada satu paham estetika yang telah selesai.
Seno benar. Sastra memang harus bicara—tapi bukan sebagai corong, melainkan sebagai ruang pantulan. Suara dalam sastra bukan hanya satu nada; ia polifonik, berdialog, ia absurd, ia menyimpang, ia membingungkan, ia menggoda, ia mengejek. Dan di situlah keberaniannya. Karena ketika negara menjadi satu suara yang menindas, sastra adalah kekacauan yang membebaskan.
Dan seperti pohon yang batangnya megal-megol dan tidak bisa ditebang itu, fiksi Seno menolak ditebang oleh kritik yang ingin merapikannya. Sebab pohon itu bukan sirkus. Pohon itu adalah sejarah kita, trauma kita, dan absurditas kita—yang tak bisa dijelaskan hanya dengan satu logika tunggal. []