Menu

Lembar

Ketika akhir bulan Maret 2020 saya menulis dengan tajuk “Revolusi Covid-19,”banyak komentar/pertanyaan yang saya terima. Semampu saya, komentar/pertanyaan itu sudah saya jawab satu persatu dalam tulisan berikutnya “Revolusi Covid-19: Konfirmasi“. Dalam jawaban tersebut, saya menyandarkan argumen pada SARS-CoV-2, virus penyebab wabah Covid-19, sebagai aktor non-manusia (actant). Namun, saya menyimak bahwa banyak dari komentar atau pertanyaan tersebut berasal dari kelompok yang memiliki konsumsi bacaan kritis, misalnya studi tentang kapitalisme. Satu benang merah dari banyak pertanyaan/komentar itu yang dapat saya lihat adalah titik tolak pertanyaan yang berangkat dari (kepentingan) manusia. Misalnya, kalau bukan oleh manusia, atau lebih spesifik manusia yang dianggap progresif, maka susah diterima akan lahir sebuah revolusi. Saya dapat memahami ketika tulisan bertajuk “Revolusi Covid-19” itu diluncurkan, banyak komentar yang cenderung kontra terhadapnya.

Tidak ada yang salah dalam hal itu. Sesuatu yang sangat normal karena yang bertanya/berkomentar adalah manusia. Bagi saya, namun, semua komentar/pertanyaan tersebut hanya menambah bukti terhadap bagaimana saya melihat klaim-klaim yang selama ini beredar. Bahwa meskipun secara retoris manusia selalu dikatakan sebagai bagian dari ekologi, manusia selalu dikatakan sebaiknya jangan melihat semuanya berpusat di manusia (antroposentris), pada kenyataannya semuanya itu cenderung menjadi seruan-seruan di atas kertas, yang susah untuk dijadikan sebagai kerangka untuk menganalisis sesuatu. Ketika dihadapkan pada satu persoalan seperti Covid-19, sudut pandang yang dikampanyekan itu rontok, dengan atau tanpa disadari oleh manusia yang melontarkan komentar/pernyataan itu sendiri.

Bahwa meskipun secara retoris manusia selalu dikatakan sebagai bagian dari ekologi, manusia selalu dikatakan sebaiknya jangan melihat semuanya berpusat di manusia (antroposentris), pada kenyataannya semuanya itu cenderung menjadi seruan-seruan di atas kertas…

Selain karena susah menerima non-manusia sebagai aktor pembeda, saya melihat sudut pandang seperti yang muncul dalam pertanyaan/komentar tersebut berasal dari satu sistem pemikiran yang dalam tradisi Marxis disebut sebagai proses produksi nilai-lebih dalam pabrik. Saya akan membuka lapisan ini.

Marx (terutama dalam Capital I) merumuskan proses produksi nilai-lebih dalam pabrik melalui suatu rumus K = k + V. Saya sebut ini sebagai rumus I. K di sini mengacu pada total kapital yang dimiliki oleh seorang kapitalis ketika memulai usahanya dalam pabrik; k adalah kapital konstan yang menyimbolkan alat-alat produksi seperti mesin-mesin dan bahan mentah; dan V adalah kapital variabel yang merupakan elemen dari kerja Buruh.

Kapital disebut kapital karena kemampuannya berkembang (valorisasi kapital). Proses penganakan kapital dalam produksi mengubah formula di atas menjadi K’ = k + V + N. Saya sebut ini sebagai rumus II. Dimana K’ adalah total kapital setelah proses produksi dimana di dalamnya terdapat nilai-lebih. K’ lebih besar dari K. Itulah sebabnya disebut bahwa kapital mengalami valorisasi atau penganakan. Berikutnya adalah k, kapital konstan, dengan komposisi seperti yang dipaparkan di atas. V adalah waktu kerja buruh yang dibayar oleh kapitalis. N adalah nilai-lebih yang dieksploitasi oleh oleh kapitalis melalui waktu kerja-lebih buruh. N menjadi selisih antara K’ dengan K.

Yang dimaksud waktu kerja-lebih buruh dapat saya pahami sebagai berikut. Untuk hidup, misalnya, pada dasarnya seorang buruh hanya perlu bekerja katakanlah 6 jam dalam sehari. Pada kenyataannya, misalnya, dia bekerja selama 8 jam. Yang dibayar di pabrik adalah waktu-kerjanya yang 6 jam. Ini disebut kerja-perlu. Sementara sisanya yang 2 jam lagi adalah kerja-lebih. Kapitalis, salah satunya, mengambil/mengeksploitasi keuntungan dari kerja-lebih 2 jam yang tidak berbayar, dan ini yang membentuk nilai-lebih (N).

Untuk hidup, misalnya, pada dasarnya seorang buruh hanya perlu bekerja katakanlah 6 jam dalam sehari. Pada kenyataannya, misalnya, dia bekerja selama 8 jam.

Dari penjelasan itu, maka segera terlihat bahwa dalam rumus II, nilai-lebih (N) dieksploitasi oleh kapitalis dari waktu kerja-lebih buruh. Dengan demikian, dapatlah disebutkan bahwa dalam rumus II, buruh memiliki peran sentral memproduksi nilai-lebih dalam proses penganakan kapital.

Lantas, dimana peran non-buruh dalam proses produksi nilai-lebih? Dalam rumus II seperti di atas, non-buruh ada di k, kapital konstan, tapi tidak terlihat berperan sebanyak buruh dalam memproduksi nilai-lebih. Atau dengan kata lain, dapat saya sebutkan bahwa rumus II adalah suatu proses produksi nilai-lebih yang sangat berpusat pada buruh. Orang menyebutnya labour-centred. Nilai-lebih dilihat datang dari eksploitasi terhadap buruh. Saya menyebut konsepsi kapitalisme seperti ini sebagai “konsepsi kapitalisme model tunggal”.

Saya menduga bahwa komentar/pertanyaan terhadap tulisan bertajuk “Revolusi Covid-19” di atas, mereka sadari atau tidak, bersumber dari, atau setidaknya ada hubungannya dengan, pemahaman yang berakar pada rumus I dan II tentang proses valoriasi kapital di dalam pabrik.

Rumus II di atas pula, saya duga berdasarkan hasil bacaan saya terhadap banyak buku David Harvey, yang menjadi akar tulisan-tulisannya, sehingga dia, seperti yang saya kritik dalam tulisan “Revolusi Covid-19”melihat revolusi masih akan datang. Sementara saya, dalam tulisan itu melihat revolusi sedang berlangsung, yang saya sebut dengan “Revolusi Covid-19”. Dengan kata lain, bagi David karena konsepsi kapitalismenya adalah “model tunggal” dimana peran buruh vital, elemen revolusioner terutama adalah buruh.

Meski dalam beberapa kesempatan David menulis tentang kota dan urbanisasi dan melihat kota sebagai situs perlawanan anti-kapitalisme masa kini, saya tidak melihatnya secara rigid menjelaskan, atau melahirkan suatu rumusan, tentang bagaimana produksi nilai-lebih di kota atau dalam proses urbanisasi sebagai varian spesifik dalam moda produksi kapitalisme, berbeda dengan produksi nilai-lebih di dalam pabrik. Dengan kata lain, teori produksi nilai-lebih yang dibayangkan oleh David ketika ia menulis tentang kota, kemungkinan besar adalah teori produksi nilai-lebih dalam pabrik. Sehingga, karena elemen revolusioner dalam teori produksi nilai-lebih dalam pabrik adalah buruh, maka, meskipun sudah mengidentifikasi kota dan proses urbanisasi sebagai situs anti-kapitalisme masa kini, saya sedikit berani “berspekulasi” bahwa isi kepala David tentang produksi nilai-lebih adalah rumusan produksi nilai-lebih di dalam pabrik. Ini yang saya lihat, salah satunya, membuat dia susah untuk menafsirkan bahwa non-Marxis macam SARS-CoV-2 juga punya revolusi.

Lantas sistem produksi nilai-lebih seperti apa yang saya bayangkan ketika mengatakan bahwa non-buruh juga dapat melakukan revolusi?

Dalam hal ini saya banyak membaca buku dan artikel-artikel Jason W. Moore, dimana dia mengembangkan apa yang saya sebut sebagai “kapitalisme model ganda”. Di dalam tulisan bertajuk “Krisis, Ketidakadilan, dan Keadilan Sosial-Ekologis” di majalah PRISMA yang terbit pada tahun 2019, saya sudah menguraikan (menjelaskan, menotasikan, dan menggunakannya sampai keluar nilai moneter) rumusan-rumusan Jason W. Moore dalam bagaimana saya menganalisis krisis air di Yogyakarta. Jadi, apabila ada keingintahuan lebih lanjut dari pembaca tentang detil-detil seperti sumber pustaka, saya sarankan untuk membuka tulisan itu.

Dalam tulisan itu, saya berusaha menunjukkan bahwa non-buruh juga memiliki agensi/materialitas, sama dengan buruh. Sehingga, saya menyebut krisis air di Yogyakarta sebagai krisis sosial-ekologis. Yang membentuk krisis bukan hanya aktivitas manusia, dalam hal ini buruh, seperti yang banyak disampaikan dalam teks soal krisis kapitalisme. Konsepsi-konsepsi krisis dalam kapitalisme biasanya membayangkan suatu produksi komoditas (barang jualan) yang berkelebihan. Sehingga dia disebut krisis “overproduction”. Karena akibat dari produksi yang berlebihan adalah juga PHK, maka semakin banyak terjadi pengangguran buruh. Sehingga krisis model ini sering juga disebut sebagai krisis “pengangguran”. Di dalam pemodelan krisis seperti ini, buruh memegang peran penting sebagai agen yang bekerja memproduksi komoditas. Saya melihat ini sebagai elemen “manusia” atau “sosial” di dalam krisis kapitalisme.

Dalam model krisis sosial-ekologis, saya melihat non-manusia juga berperan penting. Misalnya dalam krisis air di Yogyakarta seperti yang saya jelaskan dalam tulisan di PRISMA itu, saya melihat pasokan air dari aquifer (batuan sarang) yang kalah banyak dari tingkat ekstraksi air tanah oleh manusia. Kekurangan pasokan ini adalah sumbangan dari non-manusia terhadap krisis yang timbul. Jadi, krisis dalam kapitalisme juga dapat terjadi karena kekurangan pasokan (“underproduction”). Ini yang saya maksud sebagai dimensi “ekologi” dalam krisis kapitalisme. Penting disampaikan, saya tidak melihat manusia terpisah dari ekologi. Yang saya maksud “ekologi” dalam konteks ini adalah non-manusia. Sehingga, elemen manusia + elemen non-manusia, sosio + ekologi, membentuk krisis sosial-ekologis.

Penting disampaikan, saya tidak melihat manusia terpisah dari ekologi. Yang saya maksud “ekologi” dalam konteks ini adalah non-manusia. Sehingga, elemen manusia + elemen non-manusia, sosio + ekologi, membentuk krisis sosial-ekologis.

Model konsepsi kapitalisme yang dapat melihat peran non-buruh, atau lebih umum, non-manusia, seperti ini adalah “kapitalisme model ganda”. Kapitalisme model ganda membayangkan bahwa produksi nilai-lebih bukan hanya berpusat pada eksploitasi terhadap waktu kerja-lebih buruh, namun juga apropriasi terhadap non-buruh. Jadi, “ganda” yang dimaksud di sini adalah proses apropriasi dan eksploitasi.

Yang dilakukan dalam membangun konsepsi “kapitalisme model ganda” adalah “membuka” kapital konstan sehingga elemen-elemennya terlihat menjadi lebih eksplisit. Saya memformulasikannya sebagai K’ = Mu + Ba + P + V + N. Saya sebut ini rumus III. K’ dalam rumus III ini adalah total kapital setelah valorisasi. Mu adalah elemen-elemen murah yang diapropriasi oleh kapitalisme. Dapat kita masukkan ke dalam Mu adalah calon buruh, bahan mentah, bahan makanan, dan energi murah. Semuanya disebut murah karena kapitalis tidak melakukan investasi untuk memproduksi mereka untuk siap diapropriasi. Jadi murah di sini adalah murah bagi kapitalis. Saya ambil contoh, buruh.

Katakanlah seorang buruh bekerja di satu pabrik pada usia 18 tahun. Kapitalis pemilik pabrik merekrutnya, mempekerjakannya, dan kemudian membayar gajinya. Pertanyaannya, siapa yang menanggung semua biaya, merawat, dan membesarkan buruh hingga berusia 18 tahun, atau hingga siap untuk bekerja di pabrik? Jawabanya adalah: orang tua atau keluarga si buruh. Intinya, kemungkinan besar bukan kapitalis. Kapitalis tidak mengeluarkan apa-apa selama 18 tahun hingga buruh dapat dipekerjakan. Inilah sebabnya, calon buruh yang sudah siap bekerja di pabrik ini disebut “buruh murah.”

Katakanlah seorang buruh bekerja di satu pabrik pada usia 18 tahun. Kapitalis pemilik pabrik merekrutnya, mempekerjakannya, dan kemudian membayar gajinya. Pertanyaannya, siapa yang menanggung semua biaya, merawat, dan membesarkan buruh hingga berusia 18 tahun, atau hingga siap untuk bekerja di pabrik?

Hal yang sama terjadi terhadap bahan mentah, bahan makanan, dan energi murah. Saya ambil satu contoh lagi, misalnya energi minyak bumi. Kapitalis minyak bumi tidak ikut berinvestasi dalam menciptakan minyak bumi melalui proses geologis selama jutaan tahun. Bumi yang melakukannya. Kapitalis hanya datang dan mengambil begitu saja (mengapropriasi) minyak dari dalam Bumi. Ba dalam rumus III di atas adalah biaya untuk mengambil begitu saja (biaya apropriasi). Selanjutnya P adalah peralatan untuk produksi. V dan N masing-masing adalah kapital variabel dan nilai-ebih, sama seperti dalam rumus II.

Jadi, dengan membuka kapital konstan, sekarang kita dapat melihat bahwa sumber nilai-lebih ada dua yaitu apropriasi non-buruh dan eksploitasi buruh – “kapitalisme model ganda”.

Konsepsi kapitalisme model ganda memungkinkan percakapan yang lebih sambung dengan isu-isu yang selama ini berada di luar kapitalisme model tunggal, seperti isu lingkungan, feminisme, dan “sektor informal perkotaan”. Isu lingkungan, seperti perhitungan atas kerja Bumi menghasilkan minyak bumi dan juga dampak lingkungan yang muncul karena pengambilan minyak bumi, tidak ada dalam neraca perhitungan produksi nilai-lebih kapitalisme model tunggal. Demikian juga segala kerja merawat dalam diskursus feminisme. Atau juga “sektor informal perkotaan”. “Sektor informal perkotaan” diletakkan dalam tanda kutip karena ini adalah bahasa kekuasaan dan sampai sekarang saya belum menemukan istilah yang lebih fungsional. Dia disebut “informal,” sependek bacaan saya, karena tidak memiliki izin dari otoritas dan tidak membayar pajak. Logika “informalitas” kekuasaan, dengan demikian, ujungnya adalah “formalisasi” lewat izin dan kemudian pembayaran pajak. “Sektor informal perkotaan” tidak ada dalam neraca produksi nilai-lebih kapitalisme model tunggal, tapi diakui berperan penting menopang sektor formal yang tercatat dalam neraca ekonomi kapitalisme. Di kota macam Jakarta misalnya, sektor informal perkotaan menyediakan makanan yang relatif murah. Banyak pekerja kantoran yang disebut sebagai sektor formal membeli makanan di warung sektor informal.

“Sektor informal perkotaan” tidak ada dalam neraca produksi nilai-lebih kapitalisme model tunggal, tapi diakui berperan penting menopang sektor formal yang tercatat dalam neraca ekonomi kapitalisme.

Sekarang bagaimana kapitalisme model ganda dapat menjelaskan Revolusi Covid-19? Revolusi adalah suatu perubahan sosial-ekologis. Dalam kasus Covid-19, perubahan itu sangat dahsyat. Tanpa saya sampaikan di sinipun tentang perubahan-perubahan itu, saya percaya pembaca sudah paham maksud saya. Yang melakukan revolusi, dalam hemat saya, adalah orang atau elemen yang berada dalam suatu sistem, tapi tidak diuntungkan dari, atau malah justru dirugikan oleh, beroperasinya sistem tersebut.

Sehingga, sangat dapat dipahami, dalam kapitalisme model tunggal, karena yang dianggap berperan besar dalam produksi nilai-lebih adalah buruh, maka yang dibayangkan sebagai elan revolusioner adalah buruh. Sebagai elemen yang tidak diuntungkan dari, atau malah dirugikan oleh, beroperasinya sistem kapitalisme, maka, demikian jalan pemikiran ini bergulir, buruh menghendaki perubahan. Buruh menghendaki revolusi.

Sebagai elemen yang tidak diuntungkan dari, atau malah dirugikan oleh, beroperasinya sistem kapitalisme, maka, demikian jalan pemikiran ini bergulir, buruh menghendaki perubahan. Buruh menghendaki revolusi.

Dalam kapitalisme model ganda, buruh bukan satu-satunya aktor yang berperan dalam produksi nilai-lebih, ada juga non-buruh yang hadir dalam berbagai bentuk “murah” seperti calon  buruh, bahan mentah, bahan pangan, dan energi itu tadilah. Karena mereka ini dalam rumusan dilihat ikut berkontribusi dalam produksi nilai-lebih, maka konsekuensinya mereka juga harus dihitung sebagai agen perubahan. Jadi, memasukkan/menghitung peran mereka dalam rumusan produksi nilai-lebih, pada dasarnya adalah langkah untuk lebih mempertimbangkan mereka sebagai agen yang dapat menciptakan pembeda.

SARS-CoV-2, seperti yang disebutkan di banyak publikasi, secara umum dapat dijelaskan sebagai virus yang bertransmisi ke manusia. Logikanya sederhana. Operasi kapitalisme telah membabat hutan, mengurug laut, menimbun rawa-rawa, menghambat aliran sungai, mencemari udara, dan lain-lain. Intinya, mendegradasi lingkungan. Degradasi lingkungan telah menyebabkan habitat patogen (virus, bakteri, dan mikro-organisme penyebab penyakit) mengalami degradasi. Mereka harus mencari habitat yang baru. Dan manusia adalah target empuk bagi mereka.

Di titik ini, SARS-CoV-2 dapat dilihat sebagai elemen yang berada dalam sistem kapitalisme, namun dia tidak diuntungkan dari, atau justru dirugikan oleh, beroperasinya kapitalisme. Kerugian baginya adalah degradasi terhadap habitatnya. Maka, sangat rasional kemudian kalau kita melihatnya menginginkan perubahan, atau yang dalam hal ini saya sebut sebagai revolusi.

Maka, sangat rasional kemudian kalau kita melihatnya menginginkan perubahan, atau yang dalam hal ini saya sebut sebagai revolusi.

Akhirul kalam, dengan mendudukkannya dalam teori produksi nilai-lebih, saya berharap tulisan ini dapat membuat lebih jelas tentang kapitalisme model tunggal dan ganda, bagaimana perbedaan di antara keduanya berkonsekuensi terhadap cara kita memahami dunia, misalnya dalam hal ini adalah memahami/menjelaskan Covid-19, dan tentu saja mungkin akan membantu kita untuk merumuskan dunia seperti apa yang kita inginkan sejak sekarang ke depan.

Diponegoro yang bernama kecil Bendoro Raden Mas Mustahar lahir di lingkungan kerajaan Keraton Yogyakarta pada tanggal 11 November 1785 M dan kelahirannya saat menjelang fajar. Masyarakat Jawa menyakini ketika seorang yang lahir pada saat menjelang fajar, dia akan menjadi sosok pemimpin yang adil. Dalam tarih Jawa, hari kelahiran calon pemimpin Perang Jawa itu sangat bertuah karena jatuh dalam bulan Jawa Sura, bulan pertama dalam tahun Jawa, ketika secara pandangan tradisional Jawa kerajaan baru didirikan dan gelombang sejarah baru mulai (Carrey, 2012:81)

Bahkan dalam tahun Arab sang pangeran lahir tepat pada 1200 H yang syarat mengandung makna. Hal tersebut dalam beberapa versi ramalan yang lebih bernuansa Islam sebagai tahun ketika Ratu Adil Jawa akan muncul. Ketika menelisik ke sejarah Jawa Kuno, ramalan itu juga bisa dikaitkan dengan raja Kediri abad ke-XII yakni Prabu Joyoboyo.

Diponegoro yang lahir dari pasangan Hamengkubuwono II dan Raden Ayu Mangkorowati sebagai garwo padmi sekaligus Ratu Kedaton yang berdarah biru Madura, dan yang menonjol di lingkaran keraton karena kesalehannya sebagai seorang muslimah. Ayahnya, sebagai seorang pangeran, dikenal sebagai seorang penulis dan seorang sejarawan amatir yang sedang menanjak. Tidak jelas seberapa besar pengaruh sang ayah Diponegoro kepada pangeran, karena sejak usia tujuh tahun Diponegoro pindah dari lingkungan keraton bersama nenek buyutnya di perumahan yang dibangunnya di Tegalrejo (Ricklefs, 2005:177).

Sebagai sang Pangeran kecil, Diponegoro menjadi cucu kesayangan Sultan Pertama yakni Sultan Mangkubumi. Waktu dalam gendongan sang kakek, Diponegoro sudah diramalkan bahwa esok ia akan mendatangkan kehancuran yang lebih hebat buat Belanda daripada Sultan sendiri sewaktu Perang Giyanti (1746-1755 M), tapi bahwa hasilnya hanya Yang Maha Kuasa yang tahu. Sedangkan kita ketahui bahwa neneknya lah yang berpengaruh begitu besar dalam diri sang pangeran.

Waktu dalam gendongan sang kakek, Diponegoro sudah diramalkan bahwa esok ia akan mendatangkan kehancuran yang lebih hebat buat Belanda daripada Sultan sendiri sewaktu Perang Giyanti (1746-1755 M)

Ramalan itu memberi wawasan mengenai betapa pentingnya ketokohan Sultan Mangkubumi yang karismatik itu pada diri Diponegoro, dan bagaimana teladan hidup Mangkubumi mengilhami para anggota keluarga yang dekat dengan Diponegoro sewaktu Perang Jawa (1825-1830 M) berlangsung. Ramalan Sultan pertama itu juga dapat dikaitakan dengan ramalan lain, yang konon dibuat oleh raja Mataram abad ke-VII yakni Sultan Agung (1613-1646 M). Ramalan itu menyatakan bahwa setelah wafatnya Sultan Agung, Belanda akan berkuasa selama 300 tahun dan meski diantara ketururnan raja Mataram akan bangkit melawan, akhirnya ia bisa ditakhlukan.

Tampaknya hampir pasti bahwa Diponegoro menganggap dirinyalah yang diramalkan oleh Sultan Agung tersebut. Dengan demikian ia meletakkan kekalahannya atas Belanda pada Perang Jawa sebagai ramalan yang diucapkan oleh sang Sultan Mataram itu. Ramalan-ramalan itu akan diperkuat dengan suara gaib yang ia terima sebelum pecahnya Perang Jawa ketika ia menginjak usia dua puluh satu tahun tatkala ia sedang tidur di Parangkusumo Pantai Selatan yang berbunyi “Engkau sendiri hanya sarana, namun tidak lama, untuk disejajarkan dengan leluhur”.

Ramalan Wali Wudhar

Setelah sang pangeran mengetahaui ramalan-ramalan yang telah dilukiskan oleh dua pendahulu wangsa Mataram tersebut dan diperkuat dengan suara gaib yang ia terima di Parangkusumo. Maka sang pangeran melanjutkan pertapaannya guna memantapkan dirinya untuk mewujudkan ramalan-ramalan yang sudah ada. Pertapaanya ini ia lakukan selama menjelang Perang Jawa berlansung di sepanjang jalur Pantai Selatan yang dianggap sebagai tempat-tempat keramat oleh wangsa Mataram.

Salah satu pertapaannya ia lakukan sewaktu bulan suci Ramadhan yang pada suatu malam salah satu malam bulan suci itu, ia dijemput oleh seorang yang mengenakan pakaian haji dan peristiwa itu sendiri terjadi pada malam 21 bulan Puasa, yang dinamai malam slikur. Malam slikur dirayakan secara istimewa di Jawa, karena malam slikur erat kaitannya malam Laila al-kadar, malam kemuliaan tatkala kitab suci diturunkan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad.

Ketika kita melihat mimpi yang didapati oleh Diponegoro dalam pertapaanya yang lain yakni pada 16 Mei 1825 dalam mimpinya ia dijemput oleh delapan wali wudhar, nabi-nabi yang mengemban dua tugas dari Allah yakni berupa keadilan duniawi dan pelaksanaan kewajiban rohani (Carrey, 2012:669). Mimpi ini juga terjadi pada tanggal 27 Ramadhan atau malam al-Kadar. Mimpi-mimpi yang didapat oleh Diponegoro terjadi pada saat bulan yang disucikan oleh ummat muslim. Bulan di mana kita disuruh menahan hawa nafsu dan lebih banyak mengingat sang pencipta.

Setelah Pengeran kembali ke Tegalrejo seusai bertapa selama bulan puasa di Selarong, ia melukiskan bagaimana ibu tirinya, Ratu Ageng, bermimpi yang sama sebanyak tiga kali. Dalam mimpinya, ia mendengar satu suara yang mengatakan kepadanya: “Ratu Ageng Ratu Kencaneki/ temokeno lawan wali ika/ wudhar lor kulo wismane/ yen tan kelakon iku/ pasti rusak ing Tanah Jawi/ sun pundhut nyawanira” (BD, II:317). Artinya: “Ratu Ageng, Ratu Kencono/ harus kawin dengan seorang Wali Wudhar/ yang bermukim disebelah barat laut/ Jika hal ini tidak terlaksana/ pastilah Jawa akan dihancurkan/ dan aku akan mecabut nyawamu”(BD, II:317)

setelah Ratu Ageng mendapati mimpi ini sebanyak tiga kali, Ratu Ageng langsung ketakutan dan merasa hidupnya betul-betul dalam bahaya. Ratu Ageng kemudian meminta Pangeran Mangkubumi untuk datang dan membahas masalah tersebut. Dalam pembahasaannya mereka berdua sepakat bahwa tempat yang dituju dalam mimpi tersebut adalah wilayah Tegalrejo yakni tanah pertanian Dipenogoro yang terletak ke arah tersebut.

Setelah Mangkubumi dan Ratu Ageng menceritakan mimpinya kepada Pangeran, sang Pangeran menganggap mimpi-mimpi tersebut hanya “cobaan” (kados jajal), tapi jika terbukti benar sebagai peringatan, maka jika dapat mimpi yang sama lagi Ratu Ageng harus mengatakan keapda suara itu agar menyampaikan langsung kepadanya. Namun demikian, hati sang Pangeran gusar dan ia bertanya kepada pamannya tentang arti wali wudhar. Mangkubumi menjawab itu berarti rasul Islam yang telah gagal menunaikan tugas sebagai wali.

Mendegar hal itu, Pangeran semakin gelisah, karena malu di hadapan Allah. Kemudian ia pulang ke Tegalrejo, tapi karena hati sedang gusar ia tidak singgah ke rumah melainkan ke tempatnya menyepi di Selorejo di mana ia tinggal seorang diri selama tiga hari. Sahabatnya Kiai Rahmanudin, bekas penghulu Yogya memperhatikan bahawa sang Pangeran tidak muncul di serambi masjid seperti biasanya untuk mengkaji al-Quran bersama dia seperti biasa dan pahamlah dia bawah sang Pangeran sedang gelisah.

Sebagai sahabat dekatnya Kiai Rahmanudin tau di mana sang Pangeran berada. Setelah mereka berdua bertemu kemudian Diponegoro menceritakan apa yang telah terjadi kepada sahabatnya tersebut. Setelah sang Kiai mendengarkan ceritanya, ia mengatakan bahwa arti wali wudhar justru sebaliknya. Wali wudhar adalah seorang wali yang mempunyai dua jabatan yaitu Yang Maha Kuasa telah menganugerahkan kekuasaaan melaksanakan keadilan duniawi dan juga menjalankan tugas-tugas rohani.

Wali wudhar adalah seorang wali yang mempunyai dua jabatan yaitu Yang Maha Kuasa telah menganugerahkan kekuasaaan melaksanakan keadilan duniawi dan juga menjalankan tugas-tugas rohani.

Jelaslah apa yang dipahami oleh Kiai Rahmadunin dengan istilah wali wudhar di sini adalah nabi bukannya wali dalam pengertian yang lazim yaitu sahabat-sahabat Allah atau orang-orang suci yang terdapat dalam ajaran sufi yang oleh orang ortodoks diterima dengan rasa enggan. Kiai tersebut melanjutkan penjelasannya bahwa di antara 124.000 nabi, hanya ada enam yang layak disebut sebagai wali wudhar yakni Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad, yang terakhir ini adalah nabi besar yang akhir (nabi pungkasan).

Kemudian Rahmanudin menambahkan, ada dua dari Jawa Sunan Giri dan Sultan Agung dengan menyatakan bahwa dua tokoh ini mengemban dua jabatan yang merupakan ciri seorang wali wudhar dan juga karena dikasihi oleh Allah. Sedangkan Pangeran sendiri mungkin yang kesembilan tapi hanya Allah yang tahu apa gerangan tujuannya, ucap Kiai Rahmanudin. Demikianlah Diponegoro tampaknya menerima penjelasan Kiai tersebut dan menghubungkannya dengan amanat yang diberikan oleh Ratu Adil di mana ia diminta memadukan tanggung jawab duniawi dan rohani dalam memerintah Jawa.

Gagasan mengenai wali wudhar yang kesembilan akan jauh lebih jelas tatkala ketika sang Pangeran mengalami penampakan yang terakhir sebelum Perang Jawa. Kejadian itu bertempat di Selorejo dan delapan wali wudhar tampak olehnya pada suatau mimpi. Salah satu dari mereka berkata: “heh Ngabdulkamid sira/ aranira mengka denparingi/ iya marang Rabilngalimina/ Jeng Sultan Ngabdulchamide/ Erucakra Sayidu/ pan Panatagama ing Jawi/ Kalipah Rasulaloh/ samta sira iku/ risampun ical kang suara”(BD, II:326)

Artinya: “Hai, Kamu, Ngabdulkamid/ kamu telah dianugerahi gelar/ oleh Yang Maha Kuasa/ Sultan Ngabdulkamid/ Erucokro Sayyidin/ Panatagama di Jawa/ Kalifah Rasullulah/ Diberkatilah kamu!/ sesudahnya suara itu menghilang” ( BD, II:326)

Dengan mimpi ini menegaskan bahwa sang Pangeran menjadi wali wudhar yang kesembilan dengan gelar “Sultan Ngabdulkamid Erucokro Sayyidin Panatagama Khalifah Rasullah”. Pada kesempatan lain nampaknya Pangeran telah menukar gelar-gelar ini dengan yang lain seperti Kabirulmukminin, Hamengkubowono (gelar sultan Yogya) dan Senopati Ingalogo Sabilullah ing Tanah jawi (Carey, 2012:683). Dua gelar tersebut terakhir ini memakai kata-kata yang digunakan dalam gelar resmi raja-raja Yogyakarta.

Sosoknya akan selalu diliputi misteri. Abadi. Tapi ajarannya –yang lebih menekankan pada suara hati dibanding praktik-praktik fikih– diam-diam banyak dihayati. Ceritanya, berpuluh-puluh cerita, menetes dari bibir orang-orang yang mencintai.

Orang-orang Lemahabang.

Seh Lemahabang bisa mati. Terbunuh. Tapi tidak untuk ajaran rahasia, manunggaling kawula gusti, Tuhan telah menyatu dalam diri kita, yang diwariskannya itu. Benar-benar merembes dan membekas dalam hati.

Meski dipanggil seratus orang wali, aku tak mau datang, aku bukan abdi mereka, aku tak diperintah mereka. Wali dengan aku sama –daging berujud bangkai. Sebentar busuk jadi tanah. Aku tak bisa didesak oleh santri yang bodoh dan senang menipu orang, oleh mereka yang mengaku dekat dengan Tuhan, dan tak tahu citra diri sendiri adalah bangkai. Mereka yang berkeliaran mengumbar ilmu kepada setiap orang yang suka ditipu. Mereka yang menyuruh orang untuk sembahyang di Masjid Demak, yang mereka sebut rumah Allah. Itu bohong belaka. Aku dulu ikut salat di sana, aku amat menyesal. Tapi itu kulakukan karena belum menyadari hakikat diri. Sekarang dapat kukatakan…

Kawula dan gusti sudah ada dalam diriku, siang dan malam tak bisa memisahkanku dari mereka. Tapi hanya saat ini nama kawula-gusti berlaku, selagi aku mati. Nanti, bila aku hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya hidupku, ketenteraman langgeng dalam Ada sendiri. Di sana tak dikenal kematian dan perasaan sedih. Yang ada hanya kenikmatan kekal abadi. Itulah mengapa aku sekarang merasa menderita, sebab berada di alam kematian (dunia ini) dekat surga-neraka.

Hai Pangeran Bayat, bila kau belum mengerti kebenaran dari kata-kataku, bisa dikatakan kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini (dunia) memang banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Kau tak lihat itu hanya akibat pancaindera?

Itu hanya impian, dan sama sekali tak mengandung kebenaran, sebentar lenyap. Gila saja orang yang terikat padanya, tak seperti Syekh Siti Jenar. Aku tak tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yang kuusahakan ialah kembali kepada kehidupan.

Itu yang diucapkan Seh Lemahabang kepada Pangeran Tembayat –murid Sunan Kalijaga. Sebelum ia disidang dan Sunan Kudus memenggal kepalanya. Empat paragraf panjang itu, yang dinukil dari Serat Siti Jenar yang diterbitkan Tan Khoen Swie dan diulang-ulang di banyak buku setelahnya, untuk menyebut beberapa, Abdul Munir Mulkhan, Intisari Ajaran Syekh Siti Jenar (2015), Bambang Marhiyanto, Siti Jenar Menggugat (2000), Abu Fajar Al-Qalami, Legenda Siti Jenar (2005), Nizzatul Haq, Cerita Mistik Dibalik Kisah Syekh Siti Jenar (2007), Rahimsyah, Siti Jenar: Cikal Bakal Faham Kejawen (2006), bisa jadi puncak kefasihan dan perdebatan Islam Abangan dalam tradisi Jawa.

Tuhan dalam diri

Hidup bermula dari sepi

Kematian datang di tengah suara ramai

 

Itukah yang hendak ditunjukkan Lemahabang? Ya. Satu dari sekian banyak wali yang menolak pusat dan penyatuan kekuasaan itu ingin agar orang percaya Yang Ilahi telah bermukim dalam diri. Bukannya di langit tinggi.”Di mana Tuhan jika tidak di dalam diri,” kata Lemahabang. “Kelilingilah dunia, terbanglah hingga langit lapis ketujuh, kamu tetap tidak akan menemukan Tuhan.”

Belum cukup. Kita dapati ucap Lemahabang lainnya yang disebut wejangan sasahidan.

Saya inilah sebenar-benarnya Allah

Allah adalah badan saya

Rasul itu rahasia saya

Muhammad itu cahaya saya

Saya tak kenal maut

Saya tak mengenal lupa, dan kekal selamanya

Saya mengetahui segala gerak-gerik dan tingkah laku makhluk-Nya

Saya tak pernah salah, Maha Melihat dan Maha Memutuskan

Saya yang meliputi seluruh alam semesta

Seh Lemahabang inilah Allah sesungguhnya

 

Para wali marah. Menganggap omongan itu kebrutalan, sesat. Dan Lemahabang didakwa membahayakan rakyat. Ia harus dihukum atas sikapnya. Seperti kemudian kita temukan dalam ucapan Sunan Bonang. “Bagaimana caranya dan apa yang harus aku lakukan untuk mengakhiri hidupmu?” Sunan Giri bahkan mengecam Lemahabang dengan alasan “berani membuka ilmu rahasia dengan tak sepantasnya, diberikan pada tiap orang.” Giri pantas khawatir karena Lemahabang mengajarkan paham itu tanpa ditutup-tutupi kepada murid-muridnya yang tersebar di banyak tempat. “Islam dibangun atas dasar syariat,” ujar Sunan Kudus. “Kita tak bisa menjalankan perintah ibadah tanpa melalui tingkatan syariat.”

Sunan Kudus ingin agar Lemahabang akhirnya menuruti ucapannya, kembali dari jalannya yang menyimpang. Ia tak ingin ajaran Lemahabang berkembang. Sebab itu bisa meracuni iman yang baru saja terbentuk di masyarakat –di saat itu para wali sedang giatnya menanamkan keyakinan monoteisme dari keyakinan sebelumnya, politeisme-pantheisme.

Dalam kisahnya yang paling tersebar luas, Lemahabang diceritakan, ia tidak menganggap penting segala tertib, ia mencibir syariat. Baginya: syahadat, salat, zakat, puasa dan haji itu hal-hal yang tak perlu. Omong kosong itu. Hanya orang bodoh yang percaya, karena terus berharap surga dari sana. Tak ada guna lagi salat kita. Itu hanya basa-basi belaka. Suatu kesia-siaan. Hidup kita tak dihabiskan demi itu.Banyak orang tampak khusyuk salatnya, bibirnya terus berucap doa. Tapi hatinya tetap saja memikirkan dunia. Ia membuat tamsil untuk iman yang lembek seperti itu “Islamnya ibarat kelapa, dan hanya makan serabutnya. Padahal yang nikmat adalah buah dan airnya.”

Ia membuat tamsil untuk iman yang lembek seperti itu “Islamnya ibarat kelapa, dan hanya makan serabutnya. Padahal yang nikmat adalah buah dan airnya.”

Bagi Lemahabang, itulah awal kemerosotan. Untuk apa salat jika perangainya tetap buruk, masih suka mencuri. Untuk apa bibir lelah berdoa, jika masih menyimpan dengki. Kadang masih suka berharap imbalan.

Tuduhan itu amat telak. Lemahabang seperti ingin menegaskan kepada orang yang merasa dirinya suci bahwa inti kebahagiaan ditemukan dalam sikap menyerah secara mutlak. Bukan sekian ibadah yang membikin muak. Dan yang lebih merisaukan ialah kecamannya kepada konsep Tuhan yang berjarak. Bagi Lemahabang, Tuhan tak lagi dipandang sebagai Dia yang terlampau jauh, tak terhampiri, melainkan Dia yang tak berjarak.

Bagaimana kita harus menafsirkan ucapan itu? Agak sulit dan membingungkan memang. Di dalam banyak penuturan kisahnya, ia bukan semata-mata ingin menyingkap Tuhan. Ia, dengan mengaku dirinya Allah, ingin mengutuk mereka yang bertugas menjaga kemurnian Islam. Ia menolak sikap pura-pura.

Wali pembangkang yang utama. Kata Nancy K. Florida dalam disertasinya Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang (1995) ketika menyoal Lemahabang. Dua puluh lima tahun sesudah buku itu ditulis, Lemahabang masih dianggap “orang yang mau bebas dari segala” tokoh oposisi terhadap hegemoni kekuasaan rohani para wali.

Tak mustahil, apa yang sebenarnya terjadi lebih dari 500 tahun lalu itu pertarungan dalam memperebutkan hegemoni antara Lemahabang dan kelompok wali. Masing-masing ingin membangun imperiumnya sendiri. Satu, ingin meneguhkan batas. Lainnya, mau bebas. Ia coba menghilangkan sekat-sekat yang membelenggu diri. Tak peduli titah raja dan perintah nabi.

Untuk sikapnya itu, ia sadar betapa jauhnya ia dari yang diimpi-impikan semua orang bagi dirinya: wali suci di tanah Jawa. “Kelaparan, sakit telah saya alami sambil mencari nafkah, meskipun Tuhan ada, ia tak dapat saya mintai apa-apa…”

Karena sikapnya itulah ia hendak dibungkam dan dilupakan. Tapi, tak semua orang seperti Sunan Kudus –yang mengumpat Lemahabang sebagai “sesat” dengan alasan yang sering dipakai “mengaku Tuhan”.

Rasanya aneh sekali, sampai sekarang riwayat Lemahabang masih hidup di tengah-tengah orang Jawa. Orang-orang Lemahabang. Ia berada antara dongeng dan sejarah, antara gelap dan terang. Jelaslah, betapa besar pengaruh dari ide-idenya, bila “bahaya panteisme (lewat ajaran Lemahabang) amat dekat bahkan sudah masuk ke dalam benteng monoteisme yang dijaga demikianketat.” Kata penulis buku Manunggaling Kawula Gusti. P.J. Zoetmulder.

Begitulah sejarah mencatat: ia kontroversial dan misterius. Ceritanya bertumpuk-tumpuk antara legenda dan mitos. Dan punya banyak versi.

Begitulah sejarah mencatat: ia kontroversial dan misterius. Ceritanya bertumpuk-tumpuk antara legenda dan mitos. Dan punya banyak versi.

Gunung Jati, Cirebon –tempat leluhur saya. Sosok Lemahabang banyak dibicarakan. Orang percaya asal-usulnya dari sana, Desa Lemahabang, 15 kilometer arah timur Lemahwungkuk –yang dahulu menjadi pusat Kraton Kasepuhan.

Dalam naskah Tan Khoen Swie, dalam bait-bait Asmarandana yang terjemahannya sebagai berikut, di sana disebutkan:

Besarlah perguruan Sunan Giri (Giri Gajah)

Dicintai para ulama

Adalah seorang muridnya

Dari negeri Siti Jenar

Bernama San Ngali Ansar

Terkenal di tempat tinggalnya (Cirebon Girang)

Dipanggil Syekh Lemahabang

 

Juga banyak pengikutnya yang meyakini: Lemahabang meregang nyawanya di ujung keris Sunan Gunung Jati yang ditikamkan Sunan Kudus di pelataran Masjid Sang Cipta Rasa di tahun 1506. Ia, yang tak pernah mengaku diri sebagai sufi yang terbenam dalam cinta akan Tuhan, kemudian dimakamkan di Kemlaten, Anggaraksa, sekarang dikenal dengan nama Kanggraksan. Versi lain –tulisan Abdul Munir Mulkhan– menyebut Lemahabang mangkat di padepokannya Krendhasawa, Mantingan, Jepara, dengan cara menghela nafas sendiri. Para pengikutnya di Cigugur, Kuningan, yakin bahwa makamnya tak pernah ada sebab tubuhnya “moksa” usai dihukum mati. Saudara saya, yang sekarang menjaga makam Sunan Gunung Jati, membuat pengakuan bahwa kubur Lemahabang atau Syekh Abdul Jalil bin Syekh Datul Sholeh persis di samping pusara Syekh Datul Kahfi di bukit Amparan Jati.

Barangkali menjadi tak penting letak kubur, tempat para wali mengeksekusi, dan asal-usul dari wali kutub itu. Meskipun di musala makam Lemahabang di Kemlaten tertulis asal-usul sang tokoh. Karena orang akan berdebat tak habis-habisnya.Sebab sosoknya sudah banyak bercampur dengan legenda dan dongeng. Dalam satu catatan ia dianggap bersekutu dengan setan karena bisa malih rupa menjadi cacing, kodok, dan burung.

Lepas dari semua kontroversi. Ia adalah manusia yang melihat diri sendiri sebagai makhluk merdeka dan tak kenal tingkatan antara kawula dan gusti.

Kemlaten. 30 menit dari rumah. Siang itu, di sela rimbun pohonan, antara ratusan makam sekelilingnya, cungkup makam Lemahabang –dalam kepustakaan Jawa, ia lebih sering disebut Siti Jenar, ada pendapat itu nama aslinya, banyak pula yang menampik itu sekadar julukan– tampak kecil sederhana, seorang tengah tirakat. Sudah lewat 20 hari. Ia bukan pengikut tarekat Akmaliyah. Iwak teluh sirah sanunggal. Ia hanya menyukai hal-hal gaib, datang dengan maksud khusus.

Menutup kekosongan itu. “Aku ingin tahu kebenaran,” katanya. “Syahadat, salat, puasa, dan zakatku belum cukup sebagai Muslim.”[]

“Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikit pun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa yang saya pahami,” tulis Kartini.

Salah satu murid Mbah Kyai Sholeh Darat yang terkenal, tetapi bukan dari kalangan ulama adalah Raden Ajeng Kartini. Karena RA Kartini inilah Mbah Sholeh Darat menjadi pelopor penerjemahan Al-Qur’an ke Bahasa Jawa. Menurut catatan cucu Kyai Sholeh Darat (Hj. Fadhilah Sholeh), RA Kartini pernah punya pengalaman tidak menyenangkan saat mempelajari Islam. Guru ngajinya memarahinya karena dia bertanya tentang arti sebuah ayat Qur’an.

Biografi

Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI. Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristrikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.

Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.

Surat Curhat Galau

Dalam suratnya kepada Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899, RA Kartini menulis;

“Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?

Alquran terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca.

Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya.

Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?

RA Kartini melanjutkan curhat-nya, tapi kali ini dalam surat bertanggal 15 Agustus 1902 yang dikirim ke Ny. Abendanon.

Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Alquran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya.

Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kita ini teralu suci, sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya.

Bertemu Kyai Sholeh Darat

Kalau membaca surat Surat Kartini yang diterbitkan oleh Abendanon dari Belanda, terkesan RA Kartini sudah jadi sekuler dan penganut feminisme. Namun kisah berikut ini semoga bisa memberi informasi baru mengenai apresiasi Kartini pada Islam dan Ilmu Tasawuf.

Mengapa? Karena dalam surat surat RA Kartini yang notabene sudah diedit dan dalam pengawasan Abendanon yang notabene merupakan aparat pemerintah kolonial Belanda plus orientalis itu, dalam surat surat Kartini beliau sama sekali tidak menceritakan pertemuannya dengan Kyai Sholeh bin Umar dari Darat, Semarang — lebih dikenal dengan sebutan Kyai Sholeh Darat. Alhamdullilah, Ibu Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat, tergerak menuliskan kisah ini.

Takdir, menurut Ny Fadihila Sholeh, mempertemukan Kartini dengan Kyai Sholej Darat. Pertemuan terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga pamannya. Saat itu yang membawanya adalah Sosrokartono, Kakak kandungnya.

Kemudian ketika berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak, RA Kartini menyempatkan diri mengikuti pengajian yang diberikan oleh Mbah Sholeh Darat. Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir Surat al-Fatihah. RA Kartini menjadi amat tertarik dengan Mbah Sholeh Darat.

Kyai Sholeh Darat memberikan ceramah tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini tertegun. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok Kyai Sholeh Darat, dan telinganya menangkap kata demi kata yang disampaikan sang penceramah.

Ini bisa dipahami karena selama ini Kartini hanya tahu membaca Al Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu.

Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh Darat. Sang paman tak bisa mengelak, karena Kartini merengek-rengek seperti anak kecil. Berikut dialog Kartini-Kyai Sholeh.

“Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?” Kartini membuka dialog.

Kyai Sholeh tertegun, tapi tak lama. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh balik bertanya.

“Kyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al-Fatihah, surat pertama dan induk Al-Quran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini.

Kyai Sholeh tertegun. Sang guru seolah tak punya kata untuk menyela. Kartini melanjutkan; “Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”

Dialog berhenti sampai di situ. Ny. Fadhila menulis Kyai Sholeh tak bisa berkata apa-apa kecuali subhanallah. Kartini telah menggugah kesadaran Kyai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar; menerjemahkan Alquran ke dalam Bahasa Jawa.

Habis Gelap Terbitlah Terang

Dalam pertemuan itu RA Kartini meminta agar Qur’an diterjemahkan karena menurutnya tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya. Tetapi pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan al-Qur’an. Mbah Sholeh Darat melanggar larangan ini, Beliau menerjemahkan Qur’an dengan ditulis dalam huruf “arab gundul” (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah.

Kitab tafsir dan terjemahan Qur’an ini diberi nama Kitab Faidhur-Rohman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Kitab ini pula yang dihadiahkannya kepada R.A. Kartini pada saat dia menikah dengan R.M. Joyodiningrat, seorang Bupati Rembang. Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan:

“Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.”

{inilah dasar dari buku “Habis gelap terbitlah terang” bukan dari sekumpulan surat menyurat beliau,.. sejarah telah di simpangkan, (penulis red)}.

Melalui terjemahan Mbah Sholeh Darat itulah RA Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya yaitu:

Orang-orang beriman dibimbing Alloh dari gelap menuju terang cahaya (Q.S. Al-Baqoroh: 257).

Dalam banyak suratnya kepada Abendanon, Kartini banyak mengulang kata “Dari gelap menuju cahaya” yang ditulisnya dalam bahasa Belanda: “Door Duisternis Toot Licht.” Oleh Armijn Pane ungkapan ini diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang,” yang menjadi judul untuk buku kumpulan surat-menyuratnya.

Surat yang diterjemahkan Kyai Sholeh adalah Al-Fatihah sampai Surat Ibrahim. Kartini mempelajarinya secara serius, hampir di setiap waktu luangnya. Namun sayangnya penerjemahan Kitab Faidhur-Rohman ini tidak selesai karena Mbah Kyai Sholeh Darat keburu wafat.

Kyai Sholeh membawa Kartini ke perjalanan transformasi spiritual. Pandangan Kartini tentang Barat (baca: Eropa) berubah. Perhatikan surat Kartini bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny. Abendanon.

Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban.

Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan.

Dalam suratnya kepada Ny. Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis;

Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai.

Lalu dalam surat ke Ny. Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis;

“Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.”

 

Sumber tulisan:

Aguk Irawan MN, “Kartini Kisah yang Tersembunyi,” Penerbit Javanica, Jakarta, 2014.

Tulisan ini merupakan hasil pengamatan saya terhadap sikap salah satu kelompok Tarekat yang cukup mainstream di Indonesia dalam rangka merespon Wabah yang terjadi di berbagai belahan dunia khususnya Indonesia. Saya sebut merespon karena kelompok ini telah mengambil sikap terlebih dahulu -menurut catatan saya- sejak awal Januari sebelum pemerintah Indonesia. Wabah yang dimaksudkan adalah Covid-19 atau yang lebih dikenal masyarakat luas sebagai Corona.

Fahmi dan Zaky (bukan nama sebenarnya) adalah diantara pengikut tarekat Syadziliyyah yang berjejaring hingga K.H. Abdul Jalil bin KH. Mustaqim Tulungagung Jawa Timur. Silsilah ini saya sebut sebagai Syadziliyyah “Jaringan Tulungagung” mengingat perkembangan tarekat ini amat pesat oleh KH. Abdul Jalil dengan pusatnya di pesantren PETA (Pesulukan Thoriqot Agung)/ Sultan Agung ’74 Tulungagung. Sepeninggal KH. Abdul Jalil kepemimpinan pesantren diberikan kepada KH. Sholahuddin atau yang lebih dikenal dengan Gus Saladdin. Selain pengasuh pesantren PETA, praktis Gus Saladdin menggantikan ayahnya sebagai mursyid Syadziliyyah.

Sejak merebaknya virus Covid-19 (Corona) Fahmi dan Zaky telah menerima instruksi semacam ritual tolak bala’ dari salah seorang mursyidnya di Tulungagung.

Sejak merebaknya virus Covid-19 (Corona) Fahmi dan Zaky telah menerima instruksi semacam ritual tolak bala’ dari salah seorang mursyidnya di Tulungagung. Pada akhir bulan Desember seluruh jama’ah Syadziliyyah jaringan Tulungagung diperintahkan untuk meminum air degan (kelapa muda).  Sebelumnya telah diperintahkan untuk membuat sayur daun ketela. Instruksi tersebut tersebut berlanjut hingga awal Januari agar jamaah membuat Jenang Sumsum. Perintah ini tidak berhenti, ketika virus tersebut mulai masuk ke Indonesia awal Februari, jama’ah diminta untuk membuat sabuk dari kain hijau yang tengahnya diberi janur kuning. Teranyar bentuk ikhtiar yang disyaratkan oleh mursyid adalah menggunakan gelang dari janur yang telah direbus di pergelangan tangan kiri selama 6 bulan dan makan jenang sumsum di kasih sedikit janur setiap seminggu sekali, disamping sabuknya tetap dipakai.

Bahkan lebih jauh, dalam rangka menghindari penularan virus secara kelembagaan Sultan Agung ‘74 telah meliburkan segenap agenda yang sifatnya mengumpulkan masa seperti rutinan Kliwonan dan Khususiyyah Mingguan. Maklumat lain adalah tidak diperkenankan membicarakan tentang Covid-19 atau virus Corona per tanggal 20 Maret. Tujuannya adalah agar tidak menimbulkan kegaduhan dan simpang siur informasi. Hal terkait virus tersebut agar dijelaskan oleh orang yang ahli dalam hal ini adalah tenaga medis. Ketika artikel ini saya revisi pada minggu pertama bulan April ada perintah baru yaitu mblonyohi (mengolesi) pusar dengan kunyit.

Tentu saja berbagai macam instruksi tersebut menggerakan para jama’ah Syadziliyah jalur Tulungagung untuk ngestuaken dawuh mursyid (menjalankan perintah pembimbing). Para  pengikut tarekat secara berkala mempersiapkan ubo rampe yang diperintahkan guru baik secara individual maupun komunal. Dari berbagai grup Whatsapp atau Facebook misalnya, mereka mem-posting persiapan Janur yang dijemur, gelang Janur, atau menjahit kain hijau. Bahkan beberapa juga membagikan secara gratis kepada sesama pengikut Syadziliyyah yang tidak membuat sendiri. Instruksi ini amat masif dijalankan dari hulu hingga hilir jaringan. Meski ada beberapa orang karena keterbatasan tidak mengenakan hal tersebut. Tetapi jama’ah yang fanatik dan meyakini wushul-nya mursyid melakukan semua instruksi tersebut.

Sekalipun sama-sama Syadziliyah, yang penulis amati instruksi semacam ini tidak muncul dari tarekat Syadziliyah jaringan Watucongol Muntilan, Somalangu Kebumen, atau Cidahu Banten. Masing-masing jaringan Syadziliyah ini sebenarnya memiliki mursyid yang tidak kalah tersohor. Bila dibandingkan dengan jalur Tulungagung bahkan bisa jadi lebih terkenal. Hal tersebut mengingat tokoh mursyid atau pengasuh pesantrennya masuk dalam jajaran ulama yang dikenal secara nasional. Namun strukturisasi jamaah yang rapi menjadikan pengikut jaringan Tulungagung bisa dibilang lebih banyak daripada yang lain.

Tentang bentuk instruksi tersebut memang tidak muncul secara langsung dari induk ajaran Syadziliyah (baca: Abu Hasan As-Syadzili) sendiri. Ini lebih dari bentuk “kreatifitas” mursyid pribadi atas kedekatannya kepada Allah hingga memperoleh petunjuk langsung. Tentu saja sangat memungkinkan terjadi perbedaan sikap antara satu mursyid dengan yang lainnya. Kalau diperhatikan dengan seksama bahan-bahan yang dianjurkan dalam isyarat tersebut sudah sangat Jawa, semisal: degan, jenang sumsum, janur kuning dan kunyit. Tentu saja komposisi ini bukan hal yang lumrah digunakan di Maroko, asal Syekh Abu Hasan As-Syadzili.

Kalau diperhatikan dengan seksama bahan-bahan yang dianjurkan dalam isyarat tersebut sudah sangat Jawa, semisal: degan, jenang sumsum, janur kuning dan kunyit. Tentu saja komposisi ini bukan hal yang lumrah digunakan di Maroko, asal Syekh Abu Hasan As-Syadzili.

Belajar dari Kasus di Bantul

Malam itu hari rabu, minggu ketiga setelah Majelis Ulama Indonesia mengumumkan bolehnya -bahkan cenderung melarang- untuk tidak melakukan sembahyang Jumat. Alasannya jelas, untuk memperlambat penyebaran wabah Corona. Takmir masjid Al-Islam sedang melakukan rapat untuk menentukan apakah tetap mengadakan shalat Jumat atau tidak. Tentu saja nama masjid tersebut bukan sebenarnya, bahwa itu berada di sebuah dusun di Bantul adalah benar.

Termasuk hadir dalam rapat tersebut adalah Fahmi, praktis karena beliau adalah salah satu kordinator divisi dalam ketakmiran. Mawardi, salah seorang takmir mengawali rapat tersebut dengan memberikan gambaran tentang wabah, sikap MUI, NU dan Muhammadiyah yang meliburkan sementara aktivitas Shalat Jumat. Chamid salah seorang pengurus yang tingkat pemahamannya lebih awam lebih memilih untuk libur jumatan dengan pertimbangan keselamatan. Tetapi soal usia dan pengaruh tentu saja Chamid jauh di bawah Fahmi dan Mawardi sehingga berakhir pada kalimat “saya ngikut saja”. Mawardi adalah alumni pesantren di Bantul sekaligus menjadi pengajar untuk saat ini. Ia menguatkan pemaparannya dengan hadis yang dikutip dari beberapa kitab hadis dan fikih. Baginya instruksi 3 lembaga tersebut adalah final demi kemaslahatan. Tugas ketakmiran adalah menjelaskan kepada jamaah masjid agar tidak muncul persepsi dilarang “Jumatan” terlebih kepada orang-orang sepuh yang telah menganggap ibadah mutlak. “Kita tidak boleh kehilangan keimanan” Fahmi mengawali pendapatnya. “Saya memang tidak mengerti soal dalil-mendalil, tapi saya yakin bahwa kita Jum’atan itu tidak apa-apa. Toh semua sudah digariskan oleh Allah, kenapa harus takut pada Corona!”, semakin mantap Fahmi berargumen. Fahmi sendiri, selain seorang pengikut tarekat Syadziliyyah ia adalah alumni pesantren PETA. Suatu ketika ia pernah bercerita kepada penulis bahwa ia pernah amat dekat dengan Kyai Jalil, bahkan pernah mengikuti beliau untuk laku ritual. Baginya kalau Kyai memerintahkan jalan ya jalan, kalau puasa maka ia akan puasa, tanpa sedikitpun bertanya alasan.

Saya memang tidak mengerti soal dalil-mendalil, tapi saya yakin bahwa kita Jum’atan itu tidak apa-apa. Toh semua sudah digariskan oleh Allah, kenapa harus takut pada Corona!

Busyro sebagai ketua takmir nampaknya semakin kebingunan untuk mengambil sikap. Dua kubu saling berseberangan ini nampaknya memiliki keyakinan masing-masing. Ketokohan keduanya masing-masing bisa menjadi kekuatan sekaligus kelemahan ketakmiran. Sekalipun Fahmi tidak memberikan alasannya, kecuali masalah keimanan. Sikap Busyro sebenarnya jelas, memilih pendapat Mawardi. Selain lebih masuk akal untuk kemaslahatan juga dia adalah ketua salah satu organisasi keagamaan di kampung. Meski nampak mengambang rapat malam itu memutuskan jumatan untuk sementara libur.

Meski keputusan takmir meliburkan Jumatan, Fahmi tetap berangkat ke masjid jumat itu. Chamid yang masih kerabat bercerita kalau lik-nya saat itu berkalung Janur. Ia tidak tahu alasannya dan tidak berani bertanya. Maka Jum’at hari itu digelar dengan 2 baris jamaah saja. Terutama orang tua yang pikirannya hanya ibadah. Menurut pengakuan salah seorang jamaah ada sekitar 20 orang. Meskipun bisa jadi jumlah tersebut terlalu dilebihkan berdasarkan pengamatan salah seorang warga.

Berbeda dengan Zaky yang menjadi Kyai Masjid sekaligus tokoh sentral. Di masjidnya yang kurang lebih berjarak 10 km dari dusun di desa Fahmi jama’ah Jumatan masih seperti biasanya. Masjid dan serambi penuh dengan jamaah, sekalipun tidak menerima jama’ah dari luar kampung. Beberapa warga sekitar masjid adalah pengikut tarekat sehingga tidak ada kontroversi soal jum’atan. Penerimaan ini sekaligus juga kesepahaman soal instruksi mursyid tentang beberapa hal yang dipersiapkan untuk menghadapi wabah. Namun demikian Zaky masih memberi batas-batas antara jamaah tarekat dan jamaah masjid, sehingga ia tidak mengumumkan hal terkait tarekat pada jamaah masjid.

Memahami Nalar Kelompok Tarekat

Sebagaimana telah kami tuliskan pada artikel sebelumnya bahwa kelompok tarekat merupakan salah satu bagian komunitas yang amat unik, solid dan berkekuatan. Kekuaatan pada kelompok ini bisa dimaknai secara ideologi dengan kuatnya keyakinan kegamaan dengan basis tasawuf yang acapkali berhadapan dengan cara pandang kelompok legal formal syariat yang mengacu pada fikih murni (tasawuf vis a vis fiqih); atau kekuatan dalam makna yang sebenarnya yaitu sebagai sebuah gerakan masa. Untuk contoh yang pertama seperti kasus pada Fahmi. Sedangkan untuk contoh kedua adalah sebagaimana Zaky dengan mudah menggerakkan jamaahnya untuk tetap bertahan mengadakan Jumatan.

Kelompok tarekat itu memiliki alur logika tersendiri yang bisa jadi dipandang aneh atau nyleneh oleh masyarakat di luar kelompoknya, terlebih orang umum yang sama sekali tidak mengerti tareka

Kelompok tarekat itu memiliki alur logika tersendiri yang bisa jadi dipandang aneh atau nyleneh oleh masyarakat di luar kelompoknya, terlebih orang umum yang sama sekali tidak mengerti tarekat. Ketidakpahaman ini acapkali menimbulkan sikap kecurigaan atau kesan negatif terhadap kelompok tarekat. Garis tindakan kelompok tarekat tidak didasarkan arahan (fatwa) ulama secara umum. Mereka digerakkan oleh instruksi yang diberikan oleh mursyid sebagai pimpinan tertinggi kelompok ini. Mempertanyakan perintah mursyid adalah suatu pantangan, mengingat sifat ketundukan murid (orang yang mengikuti) kepada mursyid (orang yang menunjukkan) bersifat mutlak. Sikap Fahmi yang tidak menjelaskan alasannya mengapa ia menggunakan Janur, atau asumsi bahwa dirinya telah kebal penyakit tentu saja tidak dapat dilepaskan. Ia hanya tunduk pada mursyid tanpa perlu merasa mengeluarkan dalil agama.

Sebagai catatan penting, bahwa pengetahuan kelompok sufistik diproduksi dari proses irfani. Yakni sebuah pengetahuan yang diterima melalui mata batin dalam bentuk -yang saya sebut dengan- al-isyarah as-sirriyyah (isyarat yang rahasia), sebuah bisikan ilahiyyah yang adakalanya diterima melalui proses khalwat (menyendiri), berziarah ke makam orang shalih, i’tikaf di masjid atau muncul secara tiba-tiba begitu saja. Sehingga tidak mengherankan kalau tindakan yang diperintahkan itu terkadang semacam tidak logis, aneh atau kehilangan konteksnya. Untuk memperoleh pengetahuan yang didasarkan pada intuisi ini tidak semua guru tarekat mendapatkannya. Hanya orang-orang yang telah wushul saja yang medapatkan pengetahuan ini.

Memang logika pengetahuan tersebut tidak jarang terjadi benturan antara nalar kaum fiqih (baca: fuqaha’) dengan kelompok sufistik (Bayani vis a vis ‘Irfani); kelompok sufi dengan filosof (Irfani vis a vis Burhani) dan filosof melawan sufi (Burhani vis a vis ‘Irfani).  Formulasi nalar ini termanifestasikan dalam tiga bentuk penalaran: (1) Bayani, adalah sistem strukturalitas epistemologi yang muncul dalam bidang filologi, ushul fiqih, teologi dan balaghah difungsikan untuk menafsirkan teks-teks keagamaan dengan model analogi (qiyas) dengan tendensi kembali pada teks sebagai sandaran. Mengenai hal ini setiap fan ilmu memilih menggunakan istilah mereka sendiri agar terlihat lebih mandiri. Ahli hukum dan ahli nahwu menyebutnya istilah Qiyas. Ahli balaghah menamainya al-Tasybih. Ahli teologi menyebutnya al-Istidlal bi al-Syahid (far’) ‘ala al-Ghaib (asl); (2) ‘Irfani adalah sistem epistemologi gnostik yang yang melekat dalam sufisme, Syi’ah dan Isma’iliyyah. Nalar ini merupakan interpretasi esoterik terhadap teks-teks keagamaan dan filsafat iluminasi yang didasarkan pada metode penyingkapan intuitif mistik (al-Kasyf) atau ilham yang terpengaruhi oleh filsafat Hermetisme; (3) Burhani adalah model epistemologi demonstratif berdasarkan nalar observatoris-rasionalis-empiris (al-Istintaj al-‘Aqli) secara umum digunakan oleh filosof.

Bagi penulis, al-isyarah al-sirriyyah yang diperoleh oleh mursyid sejajar dengan syatahat para sufi. Produksi pengetahuan ini adalah manifestasi dari bahasa al-Quran “hudan lil muttaqin” (petunjuk bagi kaum yang bertaqwa). Signifikansi makna “hudan” itu sendiri relatif, antara hudan-nya ahli tasawuf, hudan-nya ahli fiqh, serta hudan-nya seorang sastrawan maupun hudan-nya seorang saintis. Degan, sayur ketela, sabuk hijau, Janur dan sederet lainnya tentu saja diperoleh melalui al-isyarah al-sirriyyah yang tidak memerlukan penjelasan.

Signifikansi makna “hudan” itu sendiri relatif, antara hudan-nya ahli tasawuf, hudan-nya ahli fiqh, serta hudan-nya seorang sastrawan maupun hudan-nya seorang saintis. Degan, sayur ketela, sabuk hijau, Janur dan sederet lainnya tentu saja diperoleh melalui al-isyarah al-sirriyyah yang tidak memerlukan penjelasan.

Di sisi lain ada hal yang secara sosial tidak boleh dilewatkan, popularitas sebuah tarekat seringkali dikarenakan intuisi kosmik guru tarekat. Yang dalam ranah lebih luas menjelma menjadi kontestasi kelompok tarekat, sekalipun terkadang beraliran sama. Munculnya Babad Kedung Kebo selain sebagai Pledoi Cokronegoro 1 atas sikapnya yang lebih membela Belanda juga sebagai penegasan asumsi bahwa spiritualitasnya lebih matang daripada Diponegoro. Sebagaimana belakangan diketahui bahwa Cokronegoro 1 dan Diponegoro adalah sama-sama pengikut tarekat Shattariyah dari jalur Kyai Taftazani Mlangi. Bentuk pencarian petunjuk Diponegoro melalui Joyomustopo di Pajimatan Imogiri yang menghasilkan “perang darah” serta kegagalan pencarian Kembang Wijoyokusumo oleh Kiai Janodin, Abu Kasan dan Kyai Mufid di Pulau Nusakambangan sebenarnya suatu al-isyarat al-sirriyah yang amat jelas. Andaikan Diponegoro tetap memberontak melawan Belanda konsekuensinya adalah timbulnya banyak korban dan mempertegas bahwa ia bukan Ratu Adil yang dimaksud dalam ramalan Jayabaya, Raja Kediri. Dalam perspektif Cokronegoro 1 Diponegoro sedang dilanda kesombongan (takabbur). Pernyataan ini tidak dimaksudkan untuk memihak antara Diponegoro atau Cokronegoro 1, hanya saja untuk mempertegas bahwasannya terdapat ruang kontestasi secara sosial antara satu kelompok tarekat dengan tarekat lainnya.

Walhasil, mari kita hilangkan sikap kecurigaan pada kelompok tarekat, terlebih memandangnya sebagai kelompok yang irrasional. Sembari kita mengikuti perkembangan instruksi dari mursyid tarekat Syadziliyyah dalam menyikapi wabah sebagai bentuk ikhtiar. Kita juga bisa mengamati perkembangan popularitas dan bargaining kelompok tarekat ini dibandingkan kelompok tarekat lain yang hari ini tidak semasif ini arahan mursyidnya. Mursyid yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah Ibu Nyai Umi Zahra, istri dari Almarhum KH. Abdul Jalil. Semoga beliau senantiasa diberi kesehatan dan umur panjang.

*Wushul secara sederhana berarti pencapaian seorang salik terhadap maqam ma’rifat billah (mendapat petunjuk dari Allah)

Bantul, 07 April 2020 pukul 01.53 WIB.

 

Gelang janur.

Sabuk hijau dari kain di dalamnya ada janur.

 

Sumber Bacaan:

https://langgar.co/jejaring-tarekat-abdusshomad-al-palimbani/

Peter Carey, Babad Kedung-Kebo dan Historiografi Perang Jawa, 2017.

Martin Van Bruineseen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat.

Al-Jabiri.Muhammad Abid, Bunyah al-‘Aql ‘Arabi, 1990.

 

 

Satu istilah yang terbayang, jika orang-orang menyinggung perihal tradisi pernikahan Suku Sasak adalah “budaya mencuri calon pengantin perempuan”. Sebagai orang Sasak saya tidak akan mengelak term yang sudah jamak di kalangan masyarakat umum itu. Tapi penekanan saya bukan pada makna harfiah dari istilah yang kontradiktif tersebut. Melainkan mencoba memaparkan secara utuh adat penikahan Suku Sasak, sehingga istilah kunci itu, bisa diterima sebagai suatu kewajaran dalam arti positif.

Secara umum, masyarakat Suku Sasak yang mayoritas beragama Islam memandang bahwa prihal jodoh, rizki dan kematian adalah tiga perkara yang menjadi Hak Tuhan.  Oleh karenanya masyarakat Suku Sasak menilai kurang baik, jika ada yang mengintervensi tiga ketetapan Tuhan tersebut.

Untuk urusan jodoh, sudah menjadi rahasia umum bahwa ada tradisi yang dengan terpaksa saya sebutkan di sini yakni tradisi “mencuri” atau “menculik” mempelai  perempuan sebagai langkah pertamanya.

Alasan sadar saya menghindari sekuat tenaga kosa kata yang bermasalah itu karena makna konotatif maupun makna donotatifnya sudah terlanjur diasosiasikan “negatif” oleh orang yang belum memahami konteksnya.

Saya akan berusaha keluar dari jebakan istilah yang kontradiktif itu, demi menjelaskan bagaimana sesungguhnya esensi dari seluruh rangkaian panjang, tradisi pernikahan Suku Sasak dihayati sepenuhnya sebagai upaya menjaga prinsip kerukunan hidup bersama yang berlandaskan nilai-nilai luhur, di satu sisi. Dan pengejawantahan inklusifitas ajaran Islam, di sisi lain.

Meski demikian, apa yang saya coba ungkapkan ini,  tidak lantas menjadi standarisasi yang rigid. Karena kenyataannya, ada tahapan-tahapan yang dilaksakan dengan cara berbeda juga. Saya hanya akan berbagi pemahaman tentang tradisi pernikahan Suku Sasak,  berdasarkan apa yang pernah saya sasksikan secara langsung.

Rangkaian Acara Adat, Pernikahan Suku Sasak

Seperti yang telah saya singgung sebelumnya bahwa langkah pertama dari pernikahan Suku Sasak adalah “menculik” calon pengantin perempuan. Di Lombok sendri acara menculik itu lebih populer dengan istilah Merangkat.

Dalam batasan-batasan tertentu, perbedaan cara pandang dalam menilai norma etis masing-masing suku bangsa di Indonesia membuat istilah “menculik” atau “mencuri” bagi masyarakat Suku Sasak tidak melulu ditafsirkan dengan tindakan negatif.

Tradisi Adat Pernikahan Suku Sasak

Ilustrasi Merangkat: Genpi.id

Bagi masyarakat Suku Sasak, menikah dengan cara menculik pengantin perempuan adalah sebuah simbol keberanian, kesungguhan dan kematangan berpikir calon pengantin laki-laki, termasuk dalam hal menjemput untung jodohnya sendiri. Ia juga dinilai sudah melakukan tindakan yang benar, karena tidak meminta calon istri kepada orang tuanya secara langsung atau dengan kata lain tidak mengasumsikan jiwa manusia (calon pengantin perempuan) sebagai barang seperti umumnya transaksi jual beli saja.

Selanjutnya tindakan menculik ini nantinya berimplikasi pada seluruh rangkaian acara pernikahan adat Suku Sasak yang ditanggung oleh pihak laki-laki. Sebab, dalam konteks ini pihak laki-laki menjadi pihak yang dinilai “bersalah” atau bertanggung jawab karena telah mengambil anak gadis, dari tangan orang tuanya.

Setelah merangkat, acara selanjutnya adalah Sejati-Selabar. Sejati Selabar merupakan satu rangkaian acara adat yang makna esensinya adalah mengabarkan kepada keluarga dan khalayak di desa asal (domisili) mempelai perempuan bahwa pada malam hari ia telah pergi, diambil kawin oleh mempelai laki-laki.

Sedangkan secara spesifik Sejati, sejatinya bermakna memberikan kabar kepada masyarakat desa, asal pengantin perempuan melalui pemerintahan desa di kantor desa. Dan Selabar bermakna memberi kabar kepada pihak keluarga mempelai perempuan melalui Kepala Dusun atau keliang, selaku  pihak yang bertanggung jawab kepada seluruh warga di lingkungannya.

Tata cara pelaksanaan selabar sama persis dengan cara Besejati hanya saja Selabar dilangsungkan di rumah Kepala Dusun atau Keliang tempat mempelai perempuan tercatat sebagai warganya. Kemudian Kepala Dusun lah yang nantinya meneruskan kabar tersebut kepada pihak keluarga mempelai perempuan.

Selang beberapa hari setelah Besejati-Selabar dilangsungkan. Acara selanjutnya Nuntut Wali, yakni diutusnya beberapa orang-orang kepercayaan dari pihak laki-laki untuk meminta kesediaan pihak keluarga pengantin perempuan sebagai wali dalam acara akad nikah.

Setelah acara akad nikah dilaksanakan, acara berlanjut ke acara negosiasi terkait tata cara atau kelayakan melangsungkan upacara adat, acara tersebut biasanya populer dengan istilah “rebak pucuk, bait janji dan nunas panutan”. Caranya, pihak mempelai laki-laki mengutus beberapa orang-orang kepercayaannya untuk membicarakan tentang pelaksanaan upacara inti yakni Sorong Serah Aji Krame. Tak jarang proses negosiasi ini berlangsung alot, karena sulitnya kata sepakat antar kedua belah pihak.

Masuk ke acara inti yakni, upacara Sorong Serah Aji Krame. Sorong Serah Aji Krame bermakna sebagai simbol serah terima pengantin untuk mengarungi rumah tangga baru. Pihak keluarga perempuan asumsikan sebagai pihak yang melepas atau menyerahkan dan pihak laki-laki sebagai penerimanya.

Upacara puncak sidang “krame adat” perkawinan bangsa sasak atau Sorong Serah Aji Krama ini menjadi penting maknanya, karena upacara yang dihadiri oleh para sesepuh, para pengelingsir, kepala desa, kepala dusun (keliang) dari kedua belah pihak, dane-dane (tamu undangan) atau masyarakat umum merupakan momen yang paling baik untuk menegaskan bahwa secara adat kedua mempelai, dinyatakan secara syah menjadi pasangan suami istri. Bersamaan dengan itu, pengantin telah dianggap siap hidup bermasyarakat dengan status barunya.

Berikut perlengkapan, isi “kotak” yang dipertunjukkan di dalam upacara Sorong Serah Aji Krame sebagai simbol adat: Nampak Lemah bermakna “nyata” dan “tanah” yang disimbolkan dengan sejumlah barang berharga umumnya berupa uang. Sebagai simbol harkat dan martabat yang dimiliki manusia. Olen-olen berupa benang yang sudah menjadi kain, melambangkan kelahiran manusia tidak bisa terlepas dari kepeng dan benang.

Kemudian ada Sesirah Aji yang menjadi simbol inti kehidupan di atas dunia ini berupa: Bokor  sebagai perlambang sebuah bumi atau dunia. Kain Putih sebagai perlambang kesucian. Kain Hitam sebagai perlambang adat. Benang Katak sebagai perlambang pengkiat agama dan adat agar dapat menjadi satu kesatuan. Artinya bahwa agama dan adat sudah ada pada satu wadah yaitu dunia sehingga harus berjalan beriringan.

Terakhir ada Salin Dede yang bermakna pergantian tanggung jawab asuh anak dan kesiapan menjalani kehidupan baru sebagai sebuah keluarga. Salin Dede ini dilambangkan dengan beberapa macam benda yaitu : Ceraken, kotak tempat bumbu-bumbu, Tepak atau wadah memandikan bayi, Periuk dari tanah liat,  Suluh bambu untuk meniup perapian, Sabuk Anteng, Lempot Pumbak (kain gendongan anak), Piring kecil atau tempat makan bayi, Gadang, Pamungkas Wacana atau Pemegat, Pemongkol atau Tedung Arat berupa sejumlah uang yang diserahkan kepada kepala dusun asal pengantin wanita, Kebo Turu dilambangkan dengan keris dan warangkanya, dimana keris sebagai simbol lelaki dan warangka merupakan simbol untuk perempuan, Gaman Desa atau Pembukaq Jebak, zaman dahulu berupa tumbak dan senjata tajam lainny. Namun karena sekarang benda-benda itu sudah langka maka tombak atau senjata tajam itu diganti dengan sejumlah uang yang telah ditetapkan di desa setempat dan terakhir alat-alat sebagai simbol untuk Babat Alas.

Apabila seluruh rangkaian acara sudah dilaksakan maka ada satu acara lagi yakni Mbales Ones Nae yakni sebuah acara silaturrahmi pihak kelurga terdekat pengantin laki-laki ke rumah orang tua pengantin perempuan, tujuannya beramah-tamah sebagai sebuah hubungan kekerabatan baru. Mbales Ones Nae juga dijadikan sebagai ajang untuk saling memaafkan oleh kedua belah pihak, jika dalam setiap rangkaian acara pernikahan yang sudah dilalui terbersit kesalahan dan ketersinggungan masing-masing pihak.

Dari seluruh rangkaian upacara adat pernikahan suku sasak ini. Saya menangkap dua poin yang paling esensial. Dimana perumusan atau tatacara pelaksanaan adat istiadat selalu disandarkan pada nilai-nilai universal ajaran Islam. Artinya secara tidak langsung masyarakat suku sasak telah menyadari betul bahwa agama dan adat istiadat sebagai dua tuntunan hidup yang berbeda (tapi tidak bertentangan) memiliki visi-misi yang sama yakni menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.

Sebagai turunan dari poin pertama, saya kira masyarakat Suku Sasak sangat bertanggung jawaaba dan amat menghargai kedudukan perempuan. Seperti yang telah saya singgung bahwa, idealnya acara adat pernikahan itu ditanggung seluruhnya oleh pihak laki-laki. Karena, secara simbolis pihak laki-laki dianggap “bersalah”.

Meski demikian tidak berati pihak perempuan nantinya semena-mena menagih biaya gawai pernikahan kepada pihak laki-laki. Pertimbangan kesiapan dan kesanggupan pihak laki-laki itulah yang lebih utama.

Akhirnya saya sampaikan bahwa apa yang saya ungkapkan dalam kesempatan ini tidak lain merupakan salah satu tata cara pernikahan yang berlaku di Pulau Lombok sebagai alternatif.

Adapun realitanya, sebagai akibat kontak budaya dengan pihak luar, pernikahan dengan cara atau budaya hibrid juga sudah sering diaplikasikan di Lombok. Dan tidak sedikit juga masyarakat Suku Sasak yang mengadopsi penuh tata cara pernikahan dari daerah luar, seperti prosesi lamaran dan atau penyelenggaraan pesta pernikahan.

***