Indonesia Raya dan Ketokohan

Pada 9 Maret 1903, Wage Rudolf Supratman lahir di negeri masih terjajah. Sekian ahli sejarah mencatat penggubah lagu Indonesia Raya itu dilahirkan di Purworejo, sebelum menjalani hari-hari menjadi remaja dan dewasa di pelbagai kota: Surabaya, Makassar, Bandung, dan Jakarta. Warisan bersejarah berupa lagu kebangsaan menempatkan WR Supratman menjadi tokoh besar di imajinasi nasionalisme dan arus pergerakan politik kaum muda masa 1920-an.

Penghormatan diberikan pada komponis sering dirundung nelangsa. Pada 2013, tanggal kelahiran WR Supratman dipilih untuk peringatan Hari Musik Nasional. Pengesahan melalui Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2013. Tahun demi tahun, kita mulai memiliki peringatan Hari Musik Nasional dengan pelbagai ungkapan dan tema. Pada 2019, kita agak berantakan dalam ikhtiar mengenang WR Supratman dan mengartikan Hari Musik Nasional. Pada awal tahun, anjuran melantunkan Indonesia Raya di gedung bioskop sebelum pemutaran film menjadi polemik sengit. Rencana peraturan itu terbatalkan atau dibahas ulang. Polemik membara pun muncul gara-gara RUU Permusikan.

Kita belum ingin larut di polemik-polemik. Penghormatan pada WR Supratman lebih bermakna ketimbang kita tergesa ribut dan terjebak di hari-hari politik. Pada Hari Musik Nasional kita mengandaikan jutaan orang seantero Indonesia dan berada di pelbagai negara melantunkan Indonesia Raya. Ikhtiar kolosal mengingat sejarah Indonesia, menghormati tokoh, dan berharapan Indonesia tak semrawut menjelang hari berdemokrasi, 17 April 2019. Lagu itu terlaris sepanjang masa di Indonesia. Lagu terpilih dalam mengungkapkan ide-imajinasi Indonesia, dilantunkan sejak masa 1920-an.

Ketokohan WR Supratman mulai tampak pada Kongres Pemuda I (2916) dan Kongres Pemuda II (1928). Semula, ia berperan sebagai jurnalis untuk menulis berita-berita mengenai gairah kaum muda membesarkan nasionalisme. Sejak peristiwa sejarah 1926, ia sudah berkeinginan menggubah lagu memuliakan Indonesia. Ia sempat membahas keinginan itu bersama M Tabrani, pemimpin di Kongres Pemuda I. Keinginan mewujud di Kongres Pemuda II (1928) meski ada hambatan dan pembatasan. Alunan biola diperdengarkan mengesahkan gubahan lagu Indonesia Raya, belum diperkenankan menggunakan lirik.

Alunan biola diperdengarkan mengesahkan gubahan lagu Indonesia Raya, belum diperkenankan menggunakan lirik.

Kita mengenang adegan puitis setelah pembacaan Sumpah Pemuda (1928). Adegan dibahasakan oleh B Sularto di buku berjudul Sejarah Lagu Kebangsaan Indonesia Raya (1993): “Tangan kanan memegang alat penggesek biola. Tangan kiri mengepit biola. Ia berdiri tegak di antara tempat duduk para pengurus panitia kongres dengan tempat duduk para hadirin. Ratusan pasang mata menatap ke arahnya. Ia terlebih dahulu membungkukkan badan, memberi hormat. Kemudian Wage Rudolf Supratman mengalunkan irama lagu Indonesia dengan permainan biola yang merdu sekali. Selama beberapa menit, semua orang terdiam. Mereka terpukau….”  Sejarah lagu berlanjut dengan peran Soekarno dan para tokoh bangsa untuk menjadikan Indonesia Raya adalah lagu kebangsaan.

Situasi kolonialisme belum memberi sejumput girang pada sang komponis. Pada masa 1930-an, WR Supratman diterpa nelangsa, dari tahun ke tahun. Ia pun menderita sakit parah. “Nasibe Supratman dek semana memelas banget. Wis ora nduwe pegawejan, awake lelaranen, tur sadjak masjarakat kaja-kaja wis lali marang djenenge,” tulis Soebagijo IN di buku berjudul Wage Rudolf Supratman (1952). Politik nasionalisme sering digencet penguasa kolonial. Kehidupan WR Supratman di kancah pers, musik, sastra, dan asmara sering tak untung. Ia menanggungkan derita panjang meski semakin memiliki pergaulan bersama kaum nasionalis, terutama jalinan persahabatan dengan Soetomo selama tinggal di Surabaya. Derita berujung kematian pada 17 Agustus 1938. Ia berpamit sebelum Indonesia merdeka dan Indonesia Raya selalu dilantunkan di peringatan hari-hari bersejarah di Indonesia, sejak 1945.

Soekarno tentu menjadi tokoh terpenting dalam perubahan dan penetapan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan. Soekarno peka musik dan lirik bersastra. Pada masa-masa berbeda, lagu itu mengisahkan Indonesia tapi jarang memunculkan biografi si penggubah. Jumlah buku mengenai WR Supratman masih terbatas, jarang diceritakan para guru di sekolah atau beredar di kalangan seniman dan kaum politik. Lagu semakin tenar tapi WR Supratman sering cuma terkenang melalui foto atau gambar dipasang di dinding kelas dan masuk di buku album pahlawan Indonesia.

Nasibe Supratman dek semana memelas banget. Wis ora nduwe pegawejan, awake lelaranen, tur sadjak masjarakat kaja-kaja wis lali marang djenenge

Pada 1983, kita mulai diajak mengenang WR Supratman dengan novel. Umar Nur Zain menulis novel berjudul Namaku Wage. Pengarang mengumumkan itu novel, bukan biografi. Imajinasi turut di pengisahan mengacu ke keterbatasan data-data sejarah. Di awal penulisan, Umar Nur Zain sudah kebingungan dan resah: “Cukup sulit mendapatkan riwayat hidup Wage Rudolf Supratman karena berbagai kelangkaan literatur mengenai dirinya. Juga muncul berbagai macam versi mengenai dirinya. Misalnya, diperdebatkan di mana Wage sebenarnya dilahirkan, apakah ia mempunyai istri yang sah, berapa saudaranya, dan sebagainya.” Persembahan novel dimaksudkan mengenalkan penggubah Indonesia Raya meski segala informasi belum bisa dipastikan kebenaran dan kesalahan.

Novel itu sengaja mendapat stempel dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan agar beredar ke perpustakaan umum dan sekolah seantero Indonesia. Para murid, guru, mahasiswa, dan pembaca umum diinginkan khatam Namaku Wage, menambahi pengenalan dan penghormatan pada WR Supratman. Penggubah lagu kebangsaan sering menderita ketimbang mendapat keberlimpahan harta, pujian, dan penghargaan. Lagu Indonesia Raya itu puncak dari kesadaran nasionalisme dan kesanggupan mengabaikan nasib diri demi Indonesia.

Kita semakin diajak mengenali WR Supratman di novel terbaru gubahan Yudhi Herwibowo berjudul Sang Penggesek Biola (2018). Penulisan novel memiliki data atau referensi melimpah ketimbang di masa penulisan Namaku Wage. Novel terbit setelah orang-orang diajak membuat peringatan rutin Hari Musik Indonesia mengacu ke tanggal kelahiran WR Supratman, sejak 2013. Yudhi Herwibowo perlu memunculkan adegan Soekarno dalam peringatan hari lahir Indonesia Raya pada 28 Oktober 1953. Lagu itu warisan terbesar WR Supratman. Soekarno berseru: “… Indonesia Raya ini menjadi lagu kebangsaan, sampai akhir zaman pula. Jangan ada sesuatu golongan memilih lagu baru, setialah kepada Indonesia Raya, setialah kepada Pancasila.” Begitu.

 

Bandung Mawardi

Kuncen Bilik Literasi

 


 

 

 

 

Bandung Mawardi
Kuncen Bilik Literasi, Solo. Ia rutin menulis esai-esai kebudayaan yang sering menghiasi di berbagai surat kabar. Beberapa buku yang telah diterbitkannya antara lain: Ralat: Sastra Bergelimang Makna (2017), Pemetik Cerita (2017), dan Sepah Sahaja (2018).