Kebungson dan Leran, Gresik: Tempat Imajinatif bagi Penyair Penghayat Makam

Kita mengetahui bahwa Qabil telah membunuh Habil. Peristiwa penting itu kita kenal sebagai pembunuhan pertama dalam sejarah umat manusia. Qabil yang merasa bersalah jadi kebingungan harus melakukan apa terhadap jenazah Habil. Atas izin Tuhan, Qabil melihat bagaimana burung gagak mengubur burung gagak lain yang telah mati. Akhirnya Qabil menguburkan jenazah Habil setelah meniru apa yang dilakukan burung gagak tersebut, seperti termaktub di buku Bey Arifin, Rangkaian Cerita dalam Al-Quran (2019).

Sementara jika kita merujuk Setia Sopandi di buku Sejarah Arsitektur Sebuah Pengantar (2013), kita akan tahu bahwa: “Salah satu bentuk arsitektur yang paling purba adalah gundukan. Gundukan merupakan prinsip konstruksi bangunan paling sederhana yang dapat dibuat…”. Prinsip konstruksi bangunan yang bisa kita ketahui dalam membuat gundukan, yaitu: aktivitas menggali serta menumpuk material tertentu. Pada paragraf yang lain, Setia Sopandi menulis bahwa manusia membuat gundukan sebagai kuburan (makam). Di bawah ini saya mengutip utuh tulisan Setia Sopandi dari paragraf itu:

Manusia membuat gundukan-gundukan sebagai kubur. Masyarakat asli Amerika Utara tercatat telah membuat gundukan-gundukan tanah mulai dari 3000 SM hingga abad ke-16 yang diperkirakan untuk keperluan pemakaman sekaligus ritual. Dinasti Qin di Cina juga tercatat membangun maosoleum kaisar pertama Cina berbentuk gundukan tanah raksasa yang dilengkapi lebih dari 700.000 prajurit patung terakota di Mount Li, sekitar Xi’an, pada periode 300-200 SM. Kompleks ini begitu luas sehingga dipercaya merupakan sebuah replika kekaisaran Qin Shi Huang yang akan menemani sang kaisar di alam kematian.

Dari uraian di atas, kita dapat memetik hikmah bahwa umat manusia wajib memperlakukan jenazah sesamanya secara layak dan hormat, seperti menguburnya. Makna kuburan bisa kita anggap lebih luas selain sebagai tempat peristirahatan terakhir. Di tangan para penyair, kuburan boleh jadi adalah tempat imajinasi bekerja untuk menghayati kebesaran, kemuliaan, kebaikan, hingga keluhuran dari para pendahulu.

Salah satu penyair yang menghayati kuburan adalah Binhad Nurrohmat. Kita dapat menengok salah satu buku puisi karya Binhad Nurrohmat sebagai hasil penghayatannya itu: Nisan Annemarie (2020). Sisi menarik yang bisa kita telisik ternyata Binhad Nurrohmat menghayati kuburan (makam) dari pelbagai tempat. Dan barangkali pelbagai literatur, termasuk dua kuburan (makam) di kota saya, Gresik.

Dua Puisi

Gresik sebagai kota santri pun tidak lepas dari salah satu tempat penghayatan Binhad Nurrohmat sehingga tercipta dua puisi: Pusara Putih Nyai Ageng Pinatih dan Nisan Fatimah di Leran. Di buku puisi Nisan Annemarie, dua puisi tersebut diletakkan Binhad Nurrohmat di sub bab Liang Mendiang, bersanding dengan puisi Pulang dari Kuburan Abdurrahman, Wajah Teduh Kiai Amin Sepuh, hingga Pagar Jeruji Kuburan Kiai Asyari.

Saya menilai dalam penghayatan Binhad Nurrohmat justru lebih asyik masuk ke ruang ibu ketika dirinya berada di Gresik. Penilaian ini berdasarkan Binhad Nurrohmat tidak menulis puisi makam para wali lelaki (Malik Ibrahim dan Sunan Giri). Justru Binhad Nurrohmat memilih makam dua perempuan hebat Gresik (Nyai Ageng Pinatih dan Fatimah binti Maimun).

Saya menilai dalam penghayatan Binhad Nurrohmat justru lebih asyik masuk ke ruang ibu ketika dirinya berada di Gresik

Dalam tulisan ini, saya akan mengulas puisi Pusara Putih Nyai Ageng Pinatih dan Nisan Fatimah di Leran. Bukan mengesampingkan puisi-puisi Binhad Nurrohmat yang lain di buku puisi Nisan Annemarie. Saya ingin masuk ke dua puisi tersebut dengan membandingkan tempat dan literatur. Apalagi tempat dan literatur dalam dua puisi tersebut lebih dekat dengan saya dalam segi kunjungan dan pembacaan.

Nyai Ageng Pinatih

Sekitar akhir tahun 2018, malam, saya diajak kolega untuk pergi, katanya mau bertemu Binhad Nurrohmat yang sedang berkunjung di Gresik. Seingat saya, kami pergi setelah kolega ikut lomba pingpong antar desa. Tempat pertemuan kami dengan Binhad Nurrohmat ternyata berada di Makam Nyai Ageng Pinatih di Kebungson.

Di sana sedang ada diskusi yang membahas sejarah dan budaya. Binhad Nurrohmat menjadi salah satu panelis. Pertemuan kami dengan Binhad Nurrohmat begitu singkat. Kami pulang sebelum diskusi selesai. Saya lupa apa saja pembahasan dalam diskusi. Saya cuma mengingat kata “kuburan” yang sering dilontarkan Binhad Nurrohmat.

Pada awal 2022, saya membeli buku puisi Nisan Annemarie di Jalan Semarang, Surabaya. Salah satu puisi di buku Nisan Annemarie adalah Pusara Putih Nyai Ageng Pinatih. Puisi itu mengingatkan pertemuan kami dengan Binhad Nurrohmat. Puisi itu membahas ketokohan Nyai Ageng Pinatih. Sepertinya, selain tempat berdiskusi, Binhad Nurrohmat benar-benar menghayati Makam Nyai Ageng Pinatih sehingga menghasilkan puisi.

Puisi Pusara Putih Nyai Ageng Pinatih berbentuk rata kanan dan berjenis kuatrin (empat untai). Berisi lima bait dengan pola rima /a-b-a-b/, kecuali bait keempat berpola bebas. Meski pola rima menyerupai pantun, tapi saya menilai Binhad Nurrohmat tidak menulis pantun karena tidak ada sampiran. Saya malah menemukan tanda titik (.) pada setiap baris kedua dan keempat sehingga menyimpulkan Binhad Nurrohmat menulis satu kalimat jadi dua bait atau satu bait memiliki dua kalimat.

Berikut saya kutipkan utuh puisi Pusara Putih Nyai Ageng Pinatih, yaitu:

Pusara Putih Nyai Ageng Pinatih

Sebujur kubur wanita dari penjuru utara

seputih kelopak wangi pada pelipis pagi.

Syahbandar ayu terbaring tanpa bahtera

di ujung waktu berlabuh diri tanpa pergi.

Pelaut mabuk mungkin bergunjing tawa

kepada kelembutan di pelabuhan besar.

Armada perompak pergi dari Laut Jawa

dengan raut kecewa mengembang layar.

Giri kecil di Gresik terlelap di pangkuan

tak lupa pelupuk sipit sejak awal hayat.

Kisah melarut dalam darah dan ingatan

mengendap pada lubuk hari yang lewat.

Ikan di luar kenangan terjaring nelayan

menggelepar seliar nasib yang terjerat.

Jawa ditinggalkan kapal-kapal dagang

dan pesisir dihuni dermaga yang pucat.

Perempuan dari utara lelap di selatan

tak lagi menatap lautan dan bersiasat.

Gelombang merengkuh pasir di tepian

dan waktu melayarkan perahu riwayat.

Pada puisi Pusara Putih Nyai Ageng Pinatih, saya langsung teringat Nyai Ageng Pinatih, seorang syahbandar, ibu asuh, sekaligus guru bagi Sunan Giri. Binhad Nurrohmat menulis satu bait pembuka: //Sebujur kubur wanita dari penjuru utara/ seputih kelopak wangi pada pelipis pagi./ Syahbandar ayu terbaring tanpa bahtera/ di ujung waktu berlabuh diri tanpa pergi…//. Satu bait pembuka ini secara tersurat menggambarkan suasana Makam Nyai Ageng Pinatih lewat frasa kubur wanita, syahbandar ayu, dan waktu berlabuh.

Baris “Sebujur kubur wanita dari penjuru utara” dapat kita maknai tentang biografi Nyai Ageng Pinatih yang berasal dari Champa yang akhir hayatnya bermakam di Kebungson, Gresik. Frasa “syahbandar ayu” secara tersurat menggambarkan pekerjaan Nyai Ageng Pinatih sebagai syahbandar, istri dari patih Syekh Abdullah.

Binhad Nurrohmat yang menggambarkan ketokohan Nyai Ageng Pinatih sebagai syahbandar, pada bait berikutnya, menjelaskan bagaimana syahbandar harus menyelesaikan perkara di pelabuhan. Binhad Nurrohmat menulis pada satu bait kedua: //Pelaut mabuk mungkin bergunjing tawa/ kepada kelembutan di pelabuhan besar./ Armada perompak pergi dari Laut Jawa/ dengan raut kecewa mengembang layar…//.

Jika kita menengok tulisan Soebali di buku Grissee Tempo Doeloe (2004) maka tugas syahbandar adalah menyelesaikan tiga perkara: pertama, mengurusi dan mengawasi administrasi perdagangan dan wilayah; kedua, syahbandar harus menengahi perselisihan antara saudagar dan nakhoda kapal yang berlabuh di wilayah kekuasaannya; ketiga, syahbandar memberi petunjuk dan nasihat tentang cara-cara berdagang setempat, menaksir barang, dan menetapkan bea cukai untuk penguasa setempat.

Nyai Ageng Pinatih adalah ibu asuh bagi Joko Samudra, nama kecil Sunan Giri. Latar belakang kenapa Nyai Ageng Pinatih memberi nama Joko Samudra. Syahdan, Nyai Ageng Pinatih menemukan jabang bayi laki-laki dalam peti kayu yang terapung-apung di laut, lalu dia menolong jabang bayi laki-laki itu, dia mengangkatnya sebagai anak sendiri, dan dia menamainya Joko Samudra.

Latar belakang nama Joko samudra tidak masuk dalam puisi Pusara Putih Nyai Ageng Pinatih. Barangkali Binhad Nurrohmat lebih ingin ringkas menyajikan hubungan Nyai Ageng Pinatih dengan Sunan Giri. Sehingga kita dapat membaca tentang Nyai Ageng Pinatih ketika merawat Sunan Giri sejak kecil, masa akhir sebagai syahbandar, dan meninggalnya.

Binhad Nurrohmat pun menulis: //Giri kecil di Gresik terlelap di pangkuan/ tak lupa pelupuk sipit sejak awal hayat…//; //Ikan di luar kenangan terjaring nelayan/ menggelar seliar nasib yang terjerat./ Jawa ditinggalkan kapal-kapal dagang/ dan pesisir dihuni dermaga pucat…//; dan //Perempuan dari utara lelap di selatan/ tak lagi menatap lautan dan bersiasat…//.

Fatimah binti Maimun

Setelah Makam Nyai Ageng Pinatih, saya menduga Binhad Nurrohmat juga pergi ke Makam Fatimah binti Maimun di Leran, Gresik. Dugaan saya berdasarkan penemuan puisi Nisan Fatimah di Leran di buku puisi Nisan Annemarie. Memang beberapa buku tentang sejarah Gresik lebih sering membahas keberadaan Makam Fatimah binti Maimun, terutama nisannya yang memiliki tulisan (batu bertulis) yang kini tersimpan di Museum Trowulan, Mojokerto.

Memang beberapa buku tentang sejarah Gresik lebih sering membahas keberadaan Makam Fatimah binti Maimun, terutama nisannya yang memiliki tulisan (batu bertulis) yang kini tersimpan di Museum Trowulan, Mojokerto.

Pada puisi Nisan Fatimah di Leran berbentuk rata kanan dan kuatrin (empat untai), berisi dua bait, dengan satu bait berpola rima /a-b-a-b/, dan satu bait lainnya berpola bebas. Sama dengan Puisi Pusara Putih Nyai Ageng Pinatih, saya menilai Binhad Nurrohmat tidak menulis pantun karena tidak ada sampiran. Saya masih menemukan tanda titik (.) pada setiap baris kedua dan keempat sehingga menyimpulkan Binhad Nurrohmat menulis satu kalimat jadi dua bait atau satu bait memiliki dua kalimat.

Berikut saya kutipkan utuh puisi Nisan Fatimah di Leran, yaitu:

Nisan Fatimah di Leran

Asap dupa berkepulan di akar pohon besar

saat tapak perempuan menjamah dermaga.

Dari daratan bergurun berlayar berita besar

bagi dunia yang asing dan sesak batu arca.

Usia merapat ke ujung takdir di Pulau Jawa

dan berjaga setonggak nisan berhuruf Arab.

Pasir di pantai seperti mata waktu tak buta

lembut dan basah menatap riwayat senyap.

Kalau boleh membayangkan bagaimana Binhad Nurrohmat menulis Puisi Nisan Fatimah di Leran, ketika di Makam Fatimah binti Maimun, ia menghayati suasana dan mengamati bangunan makam. Lalu pada hari kemudian ia berkunjung ke Museum Trowulan untuk menghayati tulisan di nisan Fatimah binti Maimun. Bayangan saya ini terjadi karena ada baris: bagi dunia yang asing dan sesak batu arca.

Baris bagi dunia yang asing dan sesak batu arca seolah mengasosiasikan pada tulisan di nisan Fatimah binti Maimun. M. Yamin pernah mengatakan tulisan di nisan Fatimah binti Maimun yang berhuruf dan berbahasa Arab, secara tarikh dianggap sebagai tulisan yang tertua di Asia Tenggara. Di bawah ini, saya mengutip utuh tulisan di nisan Fatimah binti Maimun yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh M. Yamin (masih ejaan Soewandi), sebagai berikut:

Atas nama Tuhan Allah Yang Maha – Penjajang dan Maha Pemurah.

Tiap-tiap makhluk jang hidup diatas bumi ini adalah bersifat fana. Tetapi wadjah Tuhanmu jang bersemarak dan gemilang itu tetap kekal adanja.

Inilah kuburan wanita jang menjadi kurban sahid, bernama Fatimah binti Maimun, putera Hiba’tullah, jang berpulang pada hari Djum’at ketika tujuh…… sudah berlewat dalam bulan Radjab dan pada tahun 495, jang mendjadi kemurahan Tuhan Allah jang Maha Tinggi, beserta Rasulnja jang Mulia.

Bisa jadi baris: bagi dunia yang asing dan sesak batu arca merujuk tulisan di nisan Fatimah binti Maimun yang berisi kabar seorang wanita yang menjadi “korban syahid”. Sampai saat ini, makam Fatimah binti Maimun dianggap sebagai tanda penyiaran awal agama Islam di Indonesia. Penyiaran yang juga dapat diimajinasikan sebagai: Pasir di pantai seperti mata waktu tak buta, lembut dan basah menatap riwayat…


Daftar Bacaan

Bey Arifin (2019), Rangkaian Cerita dalam Al-Quran, Bandung: PT Alma’arif

Binhad Nurrohmat (2020), Nisan Annemarie, Yogyakarta: Diva Press

Setia Sopandi (2013), Sejarah Arsitektur Sebuah Pengantar, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Dukut Iman Widodo dkk (2004), Grissee Tempo Doeloe, Gresik: Pemerintah Kabupaten Gresik

Tim Penyusun Buku Sejarah Harijadi Kota Gresik (1991), Kota Gresik Sebuah Perspektif Sejarah dan Harijadi, Gresik: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Gresik

Aji Ramadhan
Aji Ramadhan lahir di Gresik, Jawa Timur, 22 Februari 1994. Tinggal dan bekerja di Gresik. Lulusan Desain Interior di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Puisinya termuat di Koran Tempo, Kompas, Bali Post, Suara Merdeka, majalah Kalimas, dan portal Buruan.Co. Buku puisi tunggalnya adalah Sang Perajut Sayap (Muhipress, 2011) dan Sepatu Kundang (Buku Bianglala, 2012). Sejak akhir 2021, dia mengasuh rubrik Sastra di portal Gresiksatu.com.