Tradisi pesantren sebetulnya terkait erat dengan wayang. Sejak adanya tradisi pesantren di Nusantara, wayang mulai menjadi bagian dari kehidupan santri. Di dalam Serat Walisana ada disebutkan para wali bermusyawarah di Pesantren Giri untuk merumuskan berbagai hal terkait dakwah Islam sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan masyarakat, termasuk bagaimana menggunakan wayang sebagai pemersatu masyarakat dari berbagai latar sosial dan keyakinan. Meski sebelumnya kemungkinan wayang digunakan sebagai alat pemanggil arwah, pada masa Walisanga fungsi wayang dikembangkan, dari semata ritual menjadi media edukasi masyarakat untuk menemukan jatidiri kemanusiaannya. Walisanga memodifikasi berbagai aspek-aspeknya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, menjadi sistem pagelaran yang mengajak penontonnya bercermin untuk mengenal hakikat diri dan kenyataan hidupnya. Di dalam pagelaran wayang kulit purwa, yang digelar adalah wewayanganipun ngagesang (bayang-bayang dari totalitas kehidupan). Memahami bagaimana pagelaran wayang bekerja sebagai “universitas kehidupan” yang menghibur dan membebaskan, berarti memahami salah satu aspek penting dari metode dakwah di dalam sejarah Islam di Nusantara. Dengan demikian, memahami wayang juga akan memperkokoh basis Islam Nusantara yang saat ini tengah menjadi isu penting bagi Nahdlatul Ulama.
Saat ini, para kiai dan santri milenial perlu mengenali kembali tradisi wayang. Kendala bahasa tidak dapat dijadikan alasan dalam memahami makna pagelaran wayang. Meski wayang menggunakan bahasa Jawa yang sulit dipahami remaja, ungkapan-ungkapan wayang masih dapat dipahami melalui ekspresi lakon, alur cerita, dan teks pembanding seperti komik wayang. Wayang bisa menjadi alat introspeksi diri. Tokoh-tokoh dari lakon wayang merupakan refleksi atas pergulatan unsur-unsur di dalam diri manusia. Menonton wayang itu menjadi alat memahami jalan kerohanian diri sendiri, karena tiap manusia memiliki seribu satu cara dan jalan menuju Tuhan. Anak-anak muda tidak boleh terlena dengan tradisi di luar dirinya. Sebab perilaku itu bisa membuat kita tidak adil terhadap tradisi sendiri, menjadi sebuah pengingkaran. Itulah yang mengakibatkan krisis jati diri. Maka para kiai dan kalangan pesantren perlu kembali mengakrabkan diri dengan wayang yang menjadi bagian penting dalam sejarah dan proses dakwah Islam di Indonesia. Kehadiran kiai dan pesantren diharapkan dapat mengembalikan pertunjukan wayang sebagai media dakwah, tidak hanya sebagai tontonan yang penuh gebyar namun membuat lengah secara rohani.
Wayang merupakan khazanah pengetahuan pesantren. Di dalamnya terdapat struktur ajaran dan kerohanian Islam yang total: syariat, tarekat, hakikat dan makrifat. Dan melalui wayang inilah Walisanga membangun dan menanamkan dasar-dasar ajaran Islam yang membuat kalangan pribumi alih-alih alergi dan phobi terhadap agama ini, melainkan bisa langsung merasakan manisnya substansi ajarannya di dalam nguwongke wong, memanusiakan manusia.
Para wali melakukan reformasi dan transformasi wayang menjadi lebih dinamis dan edukatif. Fungsi pertunjukannya yang bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain, menjadi media yang tepat untuk menyebarkan Islam ke berbagai pelosok. Melalui wayang, ajaran Islam yang dibawa langsung dari Arab maupun melalui para pendakwah yang berasal dari Persia, India, Cina dan sebagainya, dipadukan dengan berbagai unsur lokal maupun singular dari kenusantaraan kita, dipribumisasikan sedemikian rupa sehingga melahirkan komunitas Islam dari kalangan pribumi secara masif.
Memperkenalkan kembali wayang bisa dimulai oleh kiai dan santri yang ikut duduk menyimak pagelaran wayang semalam suntuk, meskipun belum sepenuhnya paham. Setidaknya menjadi simbol dan pesan pengayoman kepada masyarakat bahwa wayang adalah bagian dari tradisi Islam Nusantara. Kalau para kiai ikut menonton, tentu secara langsung maupun tidak langung akan terjadi interaksi yang dinamis antar berbagai komponen pagelaran wayang, dalang, wiyaga, pesinden dan penonton. Sinden mungkin akan menjadi lebih sopan dalam berpenampilan dan dalang juga mungkin di dalam membawakan lakon akan terdorong untuk belajar kembali lebih intens tentang makna lakon kaitannya dengan spiritualitas Islam. Sebaliknya, para kiai mungkin juga akan belajar tentang aspirasi kehidupan yang lebih luas dari berbagai kalangan yang lebih terbuka. Saya sangat mengapresiasi beberapa pesantren yang mulai mengajak kembali para santri untuk mempelajari hakikat pagelaran wayang ini.
Tiga Faktor
Ada tiga faktor yang membuat pesantren terkesan selama ini seolah-olah menjauh dari warisan budaya para wali ini. Pertama, keterputusan. Sebelum penjajah Eropa datang, antara kraton dan pesantren itu satu kesatuan. Kraton didirikan untuk menyebarkan agama yang berbasis budaya. Para pangeran belajar kepada para kiai di berbagai pesantren. Namun, ketika kolonial masuk mengintervensi kraton-kraton nusantara, melalui proses devide et impera dengan strategi antara lain memisahkan budaya Jawa dengan keislaman, antara kraton dan pesantren mulai menjauh, hingga kemudian kraton dikendalikan oleh kolonial sehingga keduanya tidak menjadi satu kesatuan lagi dan terciptalah semacam dualisme: santri – abangan. Dalam hal ini, wayang dianggap sebagai budaya abangan yang tidak pantas ditonton oleh kaum santri di pesantren.
Keterasingan antara kiai dan pesantren dengan wayang, dimulai dari keterputusan dan keterbelahan jiwa di dalam sejarah Islam ini. Hal ini semakin mendalam terutama sejak merosotnya kesultanan Mataram sebagai pusat penyebaran budaya Islam, dan kemudian terbukanya terusan Suez pada tahun 1869 M, menjadikan arus pembelajaran keislaman yang datang dari Tanah Arab berlangsung semakin masif. Para santri mulai mempelajari Islam langsung dari khazanah dunia Arab dan melupakan berbagai media dakwah dan budaya pembelajaran dari para penyebar Islam masa awal, abad XV-an.
Kedua, dan ini merupakan kelanjutan dari yang pertama, adalah terjadinya secara umum proses pembelokan orientasi para dalang. Banyak dalang yang terputus pengetahuannya dari sistem pengetahuan keislaman dan intensitas perkembangan spiritualnya pun memudar karena tercerabut dari akar. Dalang pada gilirannya menempatkan diri semata-mata sebagai artis hiburan dan menjalani kehidupan yang bebas. Pagelaran wayang pun mengalami “demoralisasi” ketika lakon dan gaya yang ditampilkan lebih menonjolkan aspek hiburan yang sensasional, pada saat yang bersamaan dengan memudarnya pula tingkat apresiasi terhadapnya sebagai acuan pengetahuan spiritual yang berbasis pada ilmu keagamaan.
Ketiga, puncak dari kedua faktor di atas adalah kelahiran sistem politik liberal pada era pasca-kemerdekaan di dalam negara kita, Republik Indonesia. Sistem politik ini ditandai dengan lahir dan berkembangnya beragam partai politik berdasarkan aliran, yang saling bersaing melalui pemilu untuk memperebutkan posisi sebagai pemimpin pemerintahan. Pembelahan jiwa bangsa di atas semakin parah ketika menemukan wadah (perangkap) institusionalnya di dalam partai-partai politik aliran ini, yang garis besarnya terepresentasikan dalam 4 partai pemenang pemilu tahun 1955, yaitu PNI, Masyumi, NU dan PKI. Masyumi dan NU merepresentasikan pembelahan lebih lanjut kaum santri menjadi modernis – tradisionalis, sementara PNI dan PKI merepresentasikan pembelahan lebih lanjut kaum abangan menjadi nasionalis – komunis. Wayang dan banyak kesenian tradisional lain yang sudah telanjur dikonotasikan sebagai kesenian abangan, bukan santri, semakin terperangkap di dalam keterasingannya ketika dijadikan alat kampanye sarana mobilisasi massa oleh partai-partai abangan seperti PNI dan PKI. Sebaliknya partai-partai santri seperti Masyumi dan NU untuk mengimbanginya banyak mengeksploitasi simbol-simbol keislaman yang cenderung berbahasa Arab atau bahkan merujuk langsung kepada Al-Qur’an dan Hadis, sebagai sarana penambang suara massa. Klimaks dari persaingan politik ini, sebagaimana telah diketahui bersama, adalah tragedi kemanusiaan bangsa kita dengan meletusnya peristiwa 1965 yang sangat traumatik itu.
Dan lakon itu sendiri adalah peristiwa-peristiwa yang di alami oleh diri kita, sebagai sebuah ketentuan Tuhan Yang Maha Misteri. Sehingga, di dalam totalitas tontonan itu, kita sebetulnya sedang menyaksikan “lakon” kita sendiri sebagai instropeksi, dan di atas semua itu, Tuhan sedang menyaksikan tindakan kita, karena DIA-lah hakekatnya yang sedang “menanggap” lakon-lakon kehidupan ini.
Demikianlah, trauma peritiwa 1965 sebagai klimaks dari persaingan politik dalam sistem demokrasi liberal ini, sepertinya menjadi semacam kunci yang menutup rapat kesadaran kaum santri terhadap wayang kulit dan juga kesenian tradisi lokal lainnya, dan bahkan cenderung mengeluarkannya dari tradisi Islam. Tragis, produk kesenian karya para wali ini dianggap bukan bagian dari Islam, dan pada titik tertentu diharamkan. Maka kemudian seni di lingkungan pesantren mengalami masa kegersangannya, hingga kini seolah hanya mengenal hadrah dan kasidah sebagai seni yang bisa disebut sebagai “Islami”. Dan pada saat yang sama, dimensi “unthinkable” dari wayang semakin lebar menganga.
Banyak pihak turut memprihatinkan hal ini. Diperlukan upaya-upaya lintas disiplin dan sektoral yang berkesinambungan untuk mendekatkan kembali kesenian wayang kulit ini dari akar sejarah, tradisi, dan keilmuannya. Secara tidak langsung upaya-upaya ini juga akan menyumbang bagi ikhtiar mengutuhkan kembali keterbelahan jiwa bangsa ini. Tentu saja hal ini mesti dilakukan dengan terlebih dahulu menyadari, mengurai, dan mengatasi halangan-halangan yang ditimbulkan oleh ketiga faktor di atas. Kalau efek dari ketiga faktor di atas tidak dihilangkan, maka hubungan antara budaya lokal dan khazanah Islam yang menjadi akar tradisi dan keilmuannya, akan benar-benar terputus. Akibatnya telah dan akan terus muncul generasi yang ahistoris, kehilangan jati diri, lebih berakar ke luar dibandingkan kepada sejarah, tradisi, dan budaya sendiri. Dalam era globalisasi dewasa ini yang semakin massif dan mengasingkan, jiwa-jiwa terbelah dari generasi bangsa yang tercerabut dari akar tradisinya sendiri ini akan menimbulkan fenomena-fenomena perilaku yang tidak mendukung bagi cita-cita kita menjadi bangsa yang berkepribadian, maju, dan berdaulat.
11 Malam 11 Lakon 11 Dalang
Pada 2011, saya bersama teman-teman Lesbumi dan berbagai komunitas budaya di Yogyakarta, menginiasiasi Pagelaran Wayang Kulit menampilkan Lakon-lakon Ajaran Sunan Kalijaga selama 11 Malam dengan 11 Lakon dan 11 Dalang sebagai bagian dari rangkaian agenda Peringatan 500 tahun Sunan Kalijaga (Memetri Luhuring Laku Sunan Kali) yang berlangsung pada tanggal 15 – 30 Juli. Kegiatan tersebut mengambil tema: “Meneguhkan Jatidiri Bangsa dan Hikmah Bhineka Tunggal Ika”. Pagelaran ini adalah bagian dari upaya untuk menghayati fungsi pagelaran wayang sebagai media edukasi, mengenali, merekonstruksi dan menyelami ajaran-ajaran mulia para leluhur. Pagelaran juga dimaksudkan menjadi ruang publik masyarakat lintas agama, suku, kelas dan golongan, di mana mereka tidak hanya hadir sebagai penonton, tetapi juga berinteraksi satu sama lain sambil berintrospeksi, serta kembali belajar tentang sejarah, tradisi, dan filosofi peninggalan para leluhur sendiri.
Pagelaran wayang dibuka dengan lakon “Lahire Bathara Kala” oleh dalang Ki Cermo Suteja. Disambung “Jumenengan Yudhistira” oleh Ki Mas Lurah Simun Cermo Joyo. Lalu lakon “Kumbayana” oleh Ki Mas Lurah Cermo Subronto. Lakon “Kartapiyoga Maling (Semar mBarang Jantur)” oleh Ki Hadi Sutikno. “Mustakaweni” oleh Ki Suwondo Timbul Hadiprayitno. “Dewa Ruci” oleh Ki Mas Lurah Cermo Radyo Harsono. “Wahyu Makutarama” oleh Ki Edi Suwondo Gito Gati. “Gandawardaya” oleh Ki Sudiyono. “Semar Minto Bagus” oleh Ki Gunawan. “Pandu Swarga” oleh Ki Sutarko Hadiwacono. Dan ditutup dengan lakon”Pandawa Moksa” oleh dalang Ki Seno Nugroho.
Kalau kita cermati, deretan kisah wayang yang digelar selama 11 malam di atas, membentuk semacam serial yang menggambarkan siklus kehidupan, perjalanan manusia semenjak dari lahir, tumbuh berkembang, dewasa, hingga meninggal dunia. Di dalam masing-masing fase itu, kita diingatkan kepada tantangan-tantangan dan hambatan-hambatan yang bersifat jasmani dan rohani, yang mengiringi dan mengintai pertumbuhan kesadaran dan spiritual jiwa kita di dalam menggapai kesempurnaan, menumbuhkan kedewasaan, mematangkan integritas dan mengukuhkan jati dirinya.
Lakon “Lahire Bathara Kala” mengingatkan kita bahwa pada setiap kelahiran bayi yang sudah sewajarnya disambut dengan kegembiraan, namun mestilah dibarengi dengan kewaspadaan akan bahaya yang selalu mengintai dari Sang Kala. Lakon “Jumenengan Yudhistira” memberikan kita kunci penting bagi pertumbuhan orientasi dan kesempurnaan kemanusiaan kita, yaitu tentang potensi dari kejernihan yang dihirup oleh nafas kita yang mesti terus dilatih, dipupuk dan dikuatkan dengan laku syukur dan ingat kepada Sang Pencipta. Lakon “Kumbayana” atau “Durna Kajarwa” mengingatkan kita tentang bahaya dari hawa nafsu di dalam diri kita yang selalu berupaya menggagalkan dan menjerumuskan orientasi kemanusiaan kita ke dalam perilaku yang hina. Lakon “Semar mBarang Jantur” mengingatkan akan bahaya kesombongan dari pengetahuan dan pentingnya menggunakan rasa yang halus di dalam melihat fakta-fakta kehidupan. Demikian seterusnya hingga lakon “Dewa Ruci” yang merupakan puncak kedewasaan dan kematangan kesadaran seseorang, setelah melalui perjuangan berat menaklukan angkara, kemanjaan, dan kecengengan pribadi yang berakar dari hawa nafsu, menemukan pengetahuan sejati yang bersumber dari kedalaman diri yang murni. “Wahyu Makutarama” mengajarkan kepada kita tentang kebijaksanaan untuk menyatukan diri dengan unsur-unsur alam semesta, hingga akhirnya dalam lakon “Pandawa Mokswa” kita diajarkan tentang bagaimana meniti akhir kehidupan kita, memperoleh kematian yang baik (husnul khatimah).
Di dalam kelir, antara dalang, wayang dan lakon, dengan iringan gending yang menghanyutkan, telah terjalin satu kesatuan yang tak terpisahkan, menjadi sebuah “gambar hidup” dan pada gilirannya secara lebih mendalam dan sayup-sayup menghadirkan ke dalam kesadaran penonton yang jeli, suatu “gambaran kehidupan”.
Lalu dua tahun kemudian, 30 September-10 Oktober 2013 kami menggelar acara serupa, menampilkan lakon-lakon yang menggambarkan pengetahuan tentang hakikat dan proses terbentuknya suatu tatanan kehidupan, dan bagaimana kita mesti menempatkan diri dan berpartisipasi di dalam menjaga dan mengarahkannya agar terbentuk relasi-relasi yang berkeseimbangan dan mensejahterakan. Baik itu relasi-relasi di dalam lingkungan geografis, ekologis, tata diri dan sosial hingga terbentuknya tatanan pemerintahan (ketatanegaraan) yang mampu untuk melindungi, menyeimbangkan dan mengarahkan. Pagelaran dibuka oleh Dalang Ki Suhar Cermo Djiwandono dengan kisah Makukuhan (Dumadine Gunung-gunung). Malam kedua hingga malam keempat, menampilkan dalang Ki Suwaji, Ki Sumono, dan Ki Suharno dengan lakon Watu Gunung (Dumadine Wuku, Dina), Romo Tundung, dan Senggono Duto. Malam kelima hingga malam ketujuh, menampilkan Ki Utoro Wijoyanto, Ki Sugeng Cermo Handoko, dan Ki Bambang Wiji Nugraha dengan kisah Lahire Sekutrem (Dumadine Gaman), Abiyoso Lahir, dan Sentanu Banjut. Malam kedelapan hingga malam kesepuluh, menampilkan Ki Sri Mulyono, Ki Wisnu Gito Saputra, dan Ki Danang Purbo Wibowo dengan lakon Gondomono Luweng, Lenga Tala, dan Bedahe Dworowati. Dan pada malam terakhir, menampilkan dengan Ki Udreka dengan kisah Jumenengan Parikesit.
Sebelum lakon-lakon wayang itu digelar, kami melakoni Lampah Ratri Merti Luhuring Laku Sunan Kali, yakni perjalanan malam demi menjaga dan memaknai tindakan luhur Sunan Kalijaga. Laku ini semacam napak tilas perjalanan Sunan Kalijaga dari Demak menuju ke arah Selatan, untuk mencari dan menentukan lokasi pendirian kerajaan Mataram Islam, demi mempertahankan dan mengembangkan budaya bangsa sebagai pusat peradaban, yang waktu itu secara internal sedang rapuh karena proses disintegrasi pasca-runtuhnya imperium Majapahit akibat perang saudara yang berkepanjangan dan semakin terancam dengan kedatangan bangsa Portugis yang menandai awal era kolonial. Perjalanan tersebut mengandung tiga makna, yakni tafa’ul (napak tilas), tafakkur (berpikir), dan tadzakkur (berdzikir). Kami mengambil air dari situs Sendang Banyu Urip, tempat Sunan Kalijaga pernah membersihkan, menginisiasi dan menempa wali-wali muda sebagai generasi yang melanjutkan tugas Walisanga. Selama berjalan peserta dituntut untuk diam, sambil membawa air sendang dalam kendi yang secara simbolik menggambarkan pengetahuan sejati yang bersumber dari kedalaman diri serta kemanunggalan dengan empat unsur alam yang terdapat di dalam tubuh manusia, yaitu tanah, air, api, dan udara.
Hidup manusia ditunjang empat unsur itu, tapi sering kali lupa. Lampah Ratri bertujuan untuk mengingat dan memikirkan hal itu, sembari berdzikir kepada Allah. Karena kebahagiaan dan kesejahteraan hidup manusia juga ada dalam kesatuan dan keseimbangan empat unsur tersebut. Selama dalam perjalanan, peserta belajar dan menghayati lagi tentang hablun minallah (hubungan dengan Allah), hablun minannas (hubungan sesama manusia), dan hablun minal alam (hubungan dengan alam).
Perjalanan napak tilas tersebut sekaligus untuk mengingat kembali peran Sunan Kalijaga dalam proses pendirian Kerajaan Mataram Islam. Dalam Babad Matawis dipaparkan bagaimana Sunan Kalijaga membekali Sutawijaya (Panembahan Senapati) dengan sejumlah nasehat yang kelak menjadi dasar kepemimpinannya. Sunan Kalijaga adalah sosok yang menjaga proses krusial transisi kerajaan-kerajaan Nusantara seperti Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram (Islam) sehingga tidak berlangsung secara destruktif. Beliau adalah tokoh lintas generasi dan arsitek budaya Islam Jawa, guru ruhani para raja sekaligus pelindung dan pembimbing keberagamaan kawulo cilik, di hampir semua aspek kehidupan, dan penanda puncak dari semuanya itu tergambar dalam kolaborasi harmonis beragam seni dan kisah di dalam pagelaran wayang kulit. Maka sudah sepatutnya sebagai bangsa yang kaya akan budaya lokal, tidak melupakan hubungan dinamis antara agama dan budaya seperti yang dicontohkan Sunan Kalijaga dalam menyampaikan syiar Islam.
Nasehat Kepemimpinan Sunan Kalijaga
Sebelum mendirikan Kerajaan Mataram, Sutawijaya mendapatkan nasehat dari Sunan Kalijaga. Sebagaimana dipaparkan oleh peneliti sastra Jawa dari UGM Ratna Sakti Mulya, nasehat itu terdapat dalam Babad Matawis. Nasehat atau piwulang Sunan Kalijaga itu meliputi tiga hal.
Pertama, bekal hidup agar selamat lahir batinnya, yang dimetaforakan dengan pertumbuhan pohon Wijayamulya yang apabila ditanam dengan rasa kasih, diperlakukan sesuai tatanan yang berlaku, disiram dengan air supaya segar, maka pohon Wijayamulya akan tumbuh subur, berdaun, dan berbunga yang segar dan indah.
Dalam proses pembelajaran, ketika sedang melaksanakan pembelajaran tidak boleh keras kepala dan tidak membuat tatanan sendiri, melainkan harus dipenuhi dengan kasih sayang, kemauan, mantap hati, dan bersungguh-sungguh. Selain itu, perlu juga menyadari bahwa segala pengetahuan bermuara pada Allah, Tuhan Sang Maha Bijaksana.
Kelir adalah sasmita dari jagat yang kelihatan, wayang-wayang yang ditancapkan di kiri dan kanan menggambarkan golongan makhluk-makhluk Tuhan. Batang pisang ialah bumi. Blencong adalah lampu kehidupan. Gamelan ialah keserasian antara peristiwa-peristiwa. Siapakah dalang? Dalang adalah ruh yang “ditanggap” Tuhan untuk menggerakkan sebuah lakon kehidupan. Wayang-wayang adalah unsur-unsur di dalam tubuh (diri) kita.
Kedua, watak utama sebagai petinggi. Sunan Kalijaga memberikan nasehat bahwa watak utama seorang pemimpin adalah mengayomi dan menciptakan suasana nyaman bagi warganya. Selain itu, hendaknya para Petinggi membangun langgar asri dengan persediaan air yang melimpah, menyantuni fakir miskin dan orang terlantar, para yatim piatu serta pendeta. Jujur dan malu kepada Tuhan dan sesama juga merupakan watak yang harus dimiliki para petinggi. Hal tersebut disampaikan Sunan Kalijaga kepada Sutawijaya, dengan harapan agar nasehat itu kelak disampaikan kepada para Petinggi Mataram.
Ketiga, mewujudkan kerajaan yang ideal. Nasehat kali ini dibingkai dalam sebuah cerita seorang Wiku di Gunung Rasa Mulya, kepada Raden Sujanadi dan kedua adiknya yang akan segera menjadi raja.
Wiku menyampaikan, bahwa jika kelak menjadi raja, maka pekerjakanlah orang yang baik, seperti yang dimetaforakan dengan empat hal, yakni wanita, keris, intan, dan burung. Wanita melambangkan bahwa ia harus bertutur halus, sareh, dan tertib dalam bersikap. Keris, harus tajam pikirannya dan ahli berperang. Intan, ia harus memiliki hati dan pikiran yang bening. Sedangkan burung, memiliki makna mengetahui hal yang tersamar, yang baik dan yang buruk.
Namun selain menjalankan empat hal tersebut, seorang raja juga harus hati-hati karena ada empat pantangan yang harus dihindari. Pertama, bersenang-senang, berjudi hingga menghabiskan harta benda. Kedua, gemar bercinta atau main perempuan sehingga lalai pada tugas dan kewajibannya. Ketiga, suka berotak kosong, yakni sering menghabiskan waktu hanya untuk makan dan minum, tidak mau belajar atau membaca. Keempat, melupakan asal mula dan menganggap kedudukannya sebagai raja adalah berkat kehebatan dirinya sendiri.
Nasehat atau piwulang itulah yang dilaksanakan dan dipegang teguh oleh Sutawijaya selama memimpin kerajaan Mataram, sekaligus diwariskannya kepada para pemimpin setelahnya. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika Kerajaan Mataram dapat bertahan sampai 500 tahun, berkat ajaran dari Sunan Kalijaga.
Mengenal (kembali) Wayang
Sebagaimana telah diuraikan dalam paragraf-paragraf awal. Pakeliran wayang kulit purwa diciptakan melalui kreatifitas para Wali. Tidak dari ruang kosong, melainkan ditransformasikan dari berbagai bentuk yang pernah ada sebelumnya, diiringi dengan berbagai gending gamelan, dihidupkan dengan kisah-kisah yang dirangkai, diadaptasi dan direka ulang dari berbagai sumber yang sudah dikenal maupun misterius, sehingga membentuk “sejarah” yang dihayati bersama dan menjadi konteks bagi proses pembentukan subyek-subyek kemanusiaan yang sedang diupayakan.
Banyak diskusi tentang kesejarahan wayang ini. Di kalangan akademisi Barat terdapat perbedaan pendapat tentang asal-usul wayang. Prof. Poensen, menyatakan teori bahwa pertunjukan wayang mula-mula lahir di Jawa dengan bantuan dan bimbingan orang Hindu. Teori Poensen ini didukung pula oleh pendapat Prof. Vert yang menganggap bahwa Wayang dan Gamelan sangat dipengaruhi oleh peradaban yang lebih tinggi, yaitu Hindu. Namun teori ini disanggah oleh Prof. Niemann yang mengatakan tidak mungkin wayang berasal dari Hindu. Hal ini dikuatkan oleh Dr. Brandes yang mengemukakan beberapa kenyataan bahwa orang Hindu mempunyai teater yang sama sekali berbeda dengan teater Jawa dan hampir seluruh istilah teknis yang terdapat dalam wayang adalah khas Jawa, bukan Sanskerta. Berdasarkan kenyataan-kenyataan di atas, Brandes dan diperkuat oleh telaah Hazeu, berpendapat bahwa pertunjukan wayang tidak mungkin diambil dari Hindu.
Lebih jauh, seorang Indonesianis asal Belanda, Th.G. Pigeaud dalam Javaansche volkvertoningen. Bijdrage tot de beschrijving van land en volk (1938) menegaskan bahwa dugaan pertunjukan boneka wayang sebagai permainan yang terpisah sudah ada sejak dulu dan kemudian diisi dengan mistik Islam adalah tidak benar, karena semua orang tahu bahwa berita-berita mengenai wali-wali penyebar Islam, mereka itulah yang memberi peranan penting pada tujuan pertunjukan wayang dalam bentuknya yang sekarang. Itu berarti, pertunjukan wayang purwa adalah benar-benar hasil kreasi para Walisanga terutama Sunan Kalijaga dalam mereformasi secara menyeluruh seni pertunjukan wayang.
Namun, banyak yang meragukan hal-ihwal di atas, walaupun mereka juga tidak bisa menjawab ketika ditanya balik: “Kalau bukan oleh para Wali, lalu oleh siapa wayang diciptakan?”. Mereka umumnya menyadari bahwa Pakeliran Wayang Kulit dengan segala unsur pertunjukannya sebagaimana dikenal sekarang ini belum ada pada zaman Majapahit. Jadi, tidak mungkin muncul diciptakan dalam zaman Hindu-Budha, apalagi melihat boneka-boneka wayangnya yang terbuat dari kulit kerbau atau sapi yang terlarang untuk disembelih kultur Hindu. Namun di sisi lain, mereka menganggap kisah Ramayana-Mahabharata diambil dari kitab suci agama Hindu, sehingga mereka tidak habis pikir bertanya-tanya: “Bagaimana mungkin Dakwah Islam dengan menggunakan Kitab Suci Hindu?” dan “Bagaimana pula para pendeta Hindu rela melihat Kitab Sucinya dijadikan bahan untuk Dakwah Islam?”.
Ngaji Wayang
Orang-orang tua dahulu menyebut pagelaran wayang kulit antara lain dengan sebutan pasugatan, yang berasal dari kata sugata, artinya guru. Jadi, mendatangi pasugatan wayang kulit berarti menghadiri suatu perguruan, yang tidak hanya menunjuk kepada tempat melainkan juga proses dan peristiwa berguru. Dalam hal ini, siapakah yang menjadi guru, di mana dan nilai-nilai apa yang diajarkannya? Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa dalanglah yang menjadi guru, dan yang diajarkannya adalah lakon (cerita, kisah) yang dimainkan di dalam kelir (layar, tirai). Oleh karena itu, dalang sering disebut sebagai orang yang ngudal piwulang (menyampaikan dan menguraikan ajaran).
Gambar: Ilustrasi Jantung dan Wahdatul Wujud (Oleh: Rahmat Affandi)
Menarik diperhatikan bahwa di dalam pakeliran, ajaran diuraikan dan sekaligus tersembunyi di dalam gelaring cariyos (rangkaian cerita). Oleh karena itu, seorang dalang dituntut kemampuannya untuk menemukan dan memahami inti ajaran di dalam suatu lakon dan dengan pemahamannya itu dia mengembangkan sanggit (kreatifitas pertunjukan) sehingga dapat diterima oleh penanggap dan para penontonnya dengan memuaskan. Di awal dan akhir pagelaran wayang, seringkali seorang dalang memainkan golek (boneka) di dalam kelir, sebuah ungkapan simbolik golekana (carilah), yang merupakan pesan kepada para penonton untuk mencari dan terus menggali makna-makna yang tersembunyi di dalam lakon yang sedang dan telah dimainkan.
Demikianlah, oleh para dalang yang piawai, cerita-cerita di dalam lakon dan wayang-wayangnya begitu hidup dan kuat membawa para penontonnya hanyut di dalam kisah yang dimainkan. Di dalam kelir, antara dalang, wayang dan lakon, dengan iringan gending yang menghanyutkan, telah terjalin satu kesatuan yang tak terpisahkan, menjadi sebuah “gambar hidup” dan pada gilirannya secara lebih mendalam dan sayup-sayup menghadirkan ke dalam kesadaran penonton yang jeli, suatu “gambaran kehidupan”. Para bijak telah menyampaikan, bahwa keseluruhan unsur di dalam pagelaran wayang kulit itu adalah sasmita (lambang) yang menunjuk kepada keberadaan Tuhan. Lebih jelas lagi, bagaimana Tuhan bertindak, mencipta, dan mengatur alam semesta ini di belakang layar kehidupan.
Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi di dalam Kitab Futuhat Makkiyah telah menyampaikan: “Barangsiapa ingin tahu arti sejati, bahwa Tuhanlah yang berkarya di belakang layar alam ciptaan, hendaknya ia memandang pertunjukan bayangan (khayal) dan bayangan-bayangan (suwar) yang ditampilkan pada layar, lalu memperhatikan siapakah yang berbicara dalam bayangan-bayangan itu, menurut hemat anak-anak kecil yang duduk agak jauh dari layar yang dibentangkan antara mereka dan para boneka. Demikian juga bentuk-bentuk dunia ini: kebanyakan orang masih seperti anak-anak. Di sini kita dapat belajar, dari mana asalnya peristiwa-peristiwa yang dibeberkan (di layar). Anak-anak kecil tertawa dan merasa gembira, orang-orang dungu memandang hal-hal itu sebagai banyolan dan senda gurau, tetapi orang-orang bijak berfikir dan mengetahui, bahwa itu semua oleh Tuhan hanya diatur sebagai suatu perumpamaan, agar manusia tahu, bahwa hubungan antara dunia ini dan Tuhannya seperti antara boneka dan dalangnya, lagipula bahwa layar itu merupakan tirai al-kadar (takdir) yang tak dapat disingkirkan oleh siapa pun.” Sebelum Syekh Ibnu Arabi, Imam Junaid (al-Baghdadi) sudah mengatakan, “supaya hamba di hadapan Tuhan bersikap sebagai sebuah boneka (sabah).”
Di dalam pagelaran wayang kulit purwa, yang digelar adalah wewayanganipun ngagesang (bayang-bayang dari totalitas kehidupan).
Demikianlah, dapat kita pahami, kelir adalah sasmita dari jagat yang kelihatan, wayang-wayang yang ditancapkan di kiri dan kanan menggambarkan golongan makhluk-makhluk Tuhan. Batang pisang ialah bumi. Blencong adalah lampu kehidupan. Gamelan ialah keserasian antara peristiwa-peristiwa. Siapakah dalang? Dalang adalah ruh yang “ditanggap” Tuhan untuk menggerakkan sebuah lakon kehidupan. Wayang-wayang adalah unsur-unsur di dalam tubuh (diri) kita. Dan lakon itu sendiri adalah peristiwa-peristiwa yang di alami oleh diri kita, sebagai sebuah ketentuan Tuhan Yang Maha Misteri. Sehingga, di dalam totalitas tontonan itu, kita sebetulnya sedang menyaksikan “lakon” kita sendiri sebagai instropeksi, dan di atas semua itu, Tuhan sedang menyaksikan tindakan kita, karena DIA-lah hakekatnya yang sedang “menanggap” lakon-lakon kehidupan ini.
Pada titik inilah, pagelaran wayang menjadi suatu peristiwa “ngaji” yang sangat bermartabat, berbudaya dan bernilai seni tinggi. Oleh para guru di dalam masyarakat Jawa, ngaji dijabarkan sebagai sebuah ungkapan dari “ngangsu kaweruh marang Kang Sawiji” (menggali pengetahuan menuju ke Yang Satu).
Wallahu A’lam bis Showab
(Bersambung ke bagian kedua)
(Artikel ini diolah dari wawancara, beberapa artikel dalam nu.or.id, dan artikel dalam katalog Matja, Seni Wali-wali Nusantara, Katalog Pameran Senirupa Muktamar Nahdlatul Ulama ke-33, 2015).