Kemana Arah Seni Rupa Kita Kini Berjalan?

Kita tahu, terdapat suatu wawasan, bahkan mungkin suatu gagasan telah diciptakan dalam wacana sejarah perkembangan seni rupa di Indonesia. Jika kita lihat fenomena lika-liku perjalanannya yang dinamis selama ini. Dimulai sejak deklarasi avant-gardis Sudjojono dan kawan-kawan yang menggugat dan menentang “Mooi-Indie” sebagai seni rupa penjajahan kolonialisme. Seiring dengan era kebangkitan nasional, mereka meyakini seni rupa adalah alat (baca: media) atau senjata perjuangan untuk melawan penjajahan, demi kemerdekaan.

Bagi mereka, Mooi-Indie hanya banyak melukiskan tanah jajahan nan indah. Tentang sawah dengan padi menguning di bawah pemandangan gunung yang kebiruan. Sehingga pantas saja dan wajar jika para seniman Mooi-Indie kebanyakan adalah pendatang dari negeri Belanda yang ingin melihat tanah jajahan selaku turis.

Seiring dan searah dengan kebangkitan nasional. Di mana mulai merebaknya partai-partai berdiri. Sudjojono dan kawan-kawan mendirikan organisasi PERSAGI pada tahun 1937. Dengan tokoh-tokoh anggota lainnya antara lain seperti Agus Djaja, Setijoso, Suromo, Abdul Salam dan Emiria Sunassa.

Mereka tahu, sebelum abad ke-20, kepeloporan Raden Saleh (1814-1880) sudah dengan berani mulai merintis perjuangan ke arah kemerdekaan. Dapat ditandai dengan dua karyanya yang masyur “Penangkapan Pahlawan Diponegoro” dan ” Pertarungan Banteng melawan Harimau”. Meski masih tertindih dan dinaungi dalam bayangan alam penjajahan kolonialisme yang bercokol selama tiga setengah abad tapi ruh perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan telah mulai merasuk dalam khasanah seni rupa Indonesia pada masa itu.

Hingga setelah kemenangan revolusi kemerdekaan Agustus 1945. Sebagai buah hasil perjuangan PERSAGI, gaung kebangkitan dalam seni rupa kita semakin merebak. Kian bertambah kokoh, setelah diperkuat oleh hadirnya tokoh-tokoh seniman pejuang lain seperti Affandi, Hendra Gunawan, Sudarso, Dullah, Trubus, Surono, Harjadi, Soedibio, Otto Djaja, Rusli dan banyak lagi.

Mereka punya andil dalam peran memenangkan Revolusi Agustus 1945. Dapat dibuktikan semisal antara lain dengan karya lukisan Sudjojono “Sekko, Pemuda Gerilya”, “Penganten Revolusi” Hendra Gunawan, “Mengatur siasat” Affandi dan “Kekejaman Serdadu Kolonialis Belanda” Dullah.

Apakah mereka membuahkan deklarasi perjuangan seni rupa setelah berada di era kemerdekaan? Ketika semangat euforia kemenangan revolusi tengah menyala-nyala di dada juang mereka ?

**

Nah, karena beriringan dengan masa awal bergolaknya Perang Dingin, setelah Perang Dunia Ke-II (1939-1945) usai. Pertarungan sistem ideologi dan politik global dunia antara blok kapitalisme yang diwakili terutama oleh Amerika dan Inggeris melawan blok Sosialisme yang dipelopori oleh Uni Sovyet dan RRT.

Maka yang menonjol ketika itu adalah pertarungan dua ideologi yang dibawa oleh negara-negara yang terlibat dalam Perang Dingin. Pengaruhnya juga terjadi pada lini kebudayaan di negeri kita. Dampaknya adalah dikotomi pertentangan dan pergumulan antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) versus Manifes Kebudayaan (Manikebu).

Jika secara garis besar dan spesifik, Lekra digambarkan mengusung seni untuk rakyat” dan “politik sebagai panglima”, yang ejawantahnya di bidang seni rupa akhirnya melahirkan aliran “realisme” dengan maksud agar mudah dicerna dan dimengerti oleh rakyat.

Maka Manifes Kebudayaan (Manikebu) membawakan  seni untuk kemanusiaan dengan paham “Humanisme Universil”. Di bidang seni rupa lebih menonjolkan kebebasan berkarya, yang ternyata banyak didominasi oleh aliran “seni abstrak”.

Dengan demikian, bagaimanapun para senimannya terseleksi oleh kristalisasi dan konsolidasi pemahaman keberpihakan masing-masing. Tidak lepas dari pengaruh pertentangan politik dan ideologi global Perang Dingin. Misalkan kecenderungan per-zona wilayah lingkungan yang berkembang, jelas dalam hal ini relatif saling berbeda.

Di Yogya, seni rupa realisme lebih banyak dikembangkan oleh para seniman pejuang. Yang kemudian  setelah berdirinya ASRI tahun 1950, ajaran realisme mereka lebih mendominasi dikalangan anak didiknya. Ketimbang ragam aliran-aliran dekadensi lainnya dari pengaruh Barat, mengalir melalui Sticusa, akibat hasil kompromi dari perundingan Indonesia-Belanda lewat Konferensi Meja Bundar tahun 1949.

Selain ASRI yang berdiri tahun 1950. Di sini, merebak sanggar-sanggar, wadah komunitas bagi para seniman berkumpul secara guyub. Di samping sebagai bengkel kerja berkarya, sanggar menjadi tempat berdiskusi dan lain-lain, juga sekaligus buat tempat tinggal mereka.

Misalkan Seniman Indonesia Muda (SIM), Pelukis Indonesia (PI), tak ketinggalan Pelukis Rakyat –yang merupakan sanggar yang paling menonjol kala itu. Kemudian menyusul sanggar kumpulan para mahasiswa ASRI, seperti Sanggar Bambu dan Sanggar Bumi Tarung (SBT). Serta banyak lagi sanggar gurem lainnya yang menjamur.

Jika dikaitkan dengan suatu kelahiran atau semacam suatu deklarasi. Maka lampu sorot harus diarahkan pada tokoh pendiri utama dan pimpinan SBT: Amrus Natalsya, yang  menyatakan secara vokal di tahun 1960-an, bahwa SBT adalah sanggar Lekra yang berjuang untuk ikut serta berperan aktif demi memenangkan Revolusi Agustus 1945. Membela soko guru revolusi.

Mereka punya wawasan dan gagasan aliran seni realisme dari metode kreasi “1-5-1” yang pada intinya merupakan pembeda dari “realisme sosialis” Uni Sovyet dan RRT serta pembeda dari “realisme sosial” yang dibawakan oleh para seniman senior sebelumnya, sejak masa PERSAGI.

Begitu pula fenomena perkembangan yang terjadi di ITB seni rupa di Bandung. Beda lagi gaya dan daya penampilannya. Termasuk atmosfer langgam pergaulan hidup para senimannya yang cendrung lebih modern dalam tataran perorangan individu masing-masing. Karena peran Ries Mulder sebagai pelopor yang merintis seni rupa modern di ITB seni rupa Bandung. Maka alur pengaruh modernisme Barat Ries Mulder yang meadopsi gaya ala kubisme Picasso begitu dominan getarannya di sini. Semula terkaca pada kebanyakan karya tokoh-tokoh seniman pelukisnya seperti Ahmad Sadali, Boet Mochtar, Mochtar Apin, Srihadi, Popo Iskandar, Barli, Sunaryo dan AD Pirous. Walaupun dalam prosesnya mereka kemudian relatif menemu gaya individu masing-masing yang kembali mengakar.

**

Pada masa itu, di sekitar tahun 1960-an, tatkala berada dibawah pemerintahan “demokrasi terpimpin” Presiden Soekarno yang progresif revolusioner.

Tataran kredo “kepribadian nasional” di bidang kebudayaan begitu peka (sensitif) untuk bereaksi secara vokal, sehingga segala kegiatan yang berbau dan bernuansa Barat, mudah menjadi sasaran serangan kritik.

Sekitar tahun 1963, dalam seminar seni rupa di Pekan Kesenian Mahasiswa (PKM) di Denpasar, Amrus Natalsya mengatakan menolak dengan keras “westernisme” dalam pembentukan seni rupa Indonesia. Semacam suatu polemik kemudian terjadi, di mana pelukis Oesman Effendi di Jakarta pernah menyatakan : “Tak ada seni rupa Indonesia, yang ada semua berasal dari Barat”.

Uniknya, segaris dengan pendapat Amrus yang ingin Indonesia berpijak di atas kaki sendiri dengan jati diri (identitas)nya. Pelukis Gregorius Sidharta yang saat itu menjadi dosen ITB, menulis surat kepada kawannya, berkata : “saya ingin mencari dan menemukan nilai-nilai Indonesia”.

Jadi Amrus dan G. Sidharta sebenarnya berupaya membentuk karakteristik ciri khas karya seninya yang bernuansa ke-Indonesia-an. Dengan menggali unsur-unsur tradisional yang berurat dan berakar lama di kehidupan rakyat Indonesia. Terutama yang banyak terdapat dalam ragam hias, ornamen, dan totem-totem patung primitif.

Puncaknya, dampak dari perubahan total ini kemudian terjadi setelah pergolakan peristiwa “G30S 1965”. Lekra lengser tergusur rezim otoriter Orde Baru yang berkuasa. Sedangkan “Manikebu” yang dikatakan orang telah menikmati kebebasannya sendiri tanpa saingan, nasib keberadaannya pun semakin kurang jelas dan tak menentu, dibenamkan oleh hiruk pikuk kekuasaan Orde Baru yang kian otoriter. Mereka juga akhirnya menjadi korban penindasan rezim.

Pertanda yang menyolok dari perkembangan senirupa dibawah sistem kekuasaan rezim Orba adalah mulai tumbuh menjamur galeri-galeri dan art-shop. Tentu saja pameran-pameran senirupa yang bernuansa komersial akhirnya merebak melalui peran “kurator” ring satu rezim, selaku pihak yang dominan menentukan pilihan secara selektif. Para kolektor yang dekat dengan pemimpin saat itu pun semakin merajalela, seiring dengan adanya Balai lelang dan Biennale yang sering diselenggarakan.

Gejala ini dimungkinkan dengan melonjaknya situasi ekonomi Orba. Oleh dibukanya kran bantuan ekonomi asing yang mengandalkan utang melalui dana monoter dunia seperti Bank Dunia, IGGI, IMF dan lain-lain, disamping investasi modal asing kian terbuka lebih menganga.

**

Namun secara politik, ketika sistem kekuasaan Orba semakin otoriter, tentu kian lama menimbulkan tantangan  reaksi dan protes perlawanan dari massa rakyat. Terutama di sekitar tahun 1974, peristiwa Malari akhirnya meledak. Hal ini merupakan awal kebangkitan dari kepeloporan gerakan mahasiswa yang berdemonstrasi menentang rezim penguasa yang otoriter. Apalagi ketika rezim penguasa semakin represif memberlakukan “depolitisasi” di kampus-kampus. Maka di bidang gerakan mahasiswa seni rupapun terjadi dinamika perlawanan. Dengan mengusung prinsip wacana dan wawasan yang tak lepas mengacu kepada lahirnya berbagai deklarasi perjuangan.

Dengan cerdas taktik perjuangan mahasiswa seni rupa dalam perlawanan pun dimulai. Mereka melakukan kritik sosial dan protes terhadap penguasa melalui berbagai trik dan manuver seni.

Misalkan mereka yang menghimpun diri lewat “Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB)” dengan para tokohnya antara lain Hardi, FX Harsono, Bonyong Munnie Ardhie dan Ris Purwana. Melakukan protes terhadap petinggi birokrat institusi mereka sendiri. Lahirlah karya-karya eksperimen yang lebih bernilai pembaruan. Seperti mengingatkan apa yang dicapai pada gerakan pembaruan seni rupa di Amerika dan Eropa tahun 1960-an. Dengan lahirnya aliran-aliran seni rupa baru seperti Dadaisme, Pop-art, dan Surealisme.

Melalui berbagai manuver dan deklarasi yang mereka lakukan, antara lain di samping GSRB, pernyatan “Desember Hitam”, “Kepribadian Apa?” dan tajuk “Nusantara-Nusantara”. Gerakan mereka akhirnya meluas melalui penyelenggaraan pameran Gerakan Seni Rupa Baru di TIM tahun 1975 yang diikuti pula oleh para seniman dari Bandung dan Jakarta.

Begitu pula seperti para pelukis muda “surealisme Yogya”, yang terdiri antara lain Ivan Sagito, Dede Eri Supria, Agus Kamal, Effendi, dan Lucia Hartini. Karya-karya mereka melontarkan kritik-sosial, melalui sentuhan permainan “absurditas” yang menyelubungi gaya “si uper-realis”  mereka yang intens.

Kemudian tampil seorang radikal dan militan, bernama Semsar Siahaan, dengan manifes deklarasinya “seniku, seni pembebasan”. Pelukis muda yang pernah mengikuti pendidikan selama setahun di San Francisco Art Institute ini. Ketika kuliah di ITB seni rupa Bandung, sempat bikin heboh dengan membakar patung “Irian dan Torso” karya dosennya Sunaryo, sebagai pernyataan protes terhadap apa yang dianggapnya sebagai suatu eksploitasi atas eksotisme patung asmat rakyat Papua.

Semsar bersama komunitas para perupa muda yang tergabung dalam “Taring Padi” mengusung semangat perjuangan dari apa yang telah ditempuh para pendahulunya. Seperti pengalaman gerakan seni rupa Sanggar Bumi Tarung (SBT) di tahun 1960-an.

Pasca Reformasi 1998 telah bertambah tumbuh merebak komunitas seni rupa progresif lainnya, Seperti antara lain Jaringan Kesenian Rakyat (Jaker), Jaringan Kerja Budaya (JKB), Sebumi,  dan Galeri Rupa Lentera di Atas Bukit.

Taring Padi, uniknya selain menonjolkan kebersamaan dalam komunitasnya. Nama perorangan mereka jarang ditampilkan. Tapi disamping Semsar, bisa kita sebut nama-nama mereka. Antara lain Mulyono, Yustoni Voluntero, Surya Wiryawan, Yohanes Adrianus Iswinarto dan Ibob Su su. Mereka lebih suka berpameran di lingkungan kaum tani di pedesaan. Tema-tema perjuangan yang penuh perlawanan atas ketidakadilan dan penindasan menjadi ciri khas dan karateristik karya-karya mereka.

**

Nah, hingga di sini secara garis besar, kita dapat menandai dari kilas balik dinamika perkembangan sejarah seni rupa kita. Buat kita baca secara kritis dan obyektif.

Bahwa di antara situasi gejolak dikotomi pertentangan politik hingga kepada masa rehat dalam status-quo sekalipun. Relatif tetap hidup semangat mempertahankan harga dan jati diri (identitas) bangsa. Rasa nasionalisme cinta tanah air, tegak berdiri diatas dua kaki, dengan jiwa kepribadian kita sendiri.

Seperti apa yang telah dan pernah dirintis oleh kepeloporan Raden Saleh dan Soedjojono dan kawan-kawan, sejak sekitar seabad yang lalu. Berlanjut di era ketika Amrus Natalsya dan G. Sidharta yang kita anggap mewakili zamannya. Hingga di era globalisasi sekarang ini.

Saat salah seorang pelukis kontemporer Edopop terinspirasi untuk tetap mengatakan kepeduliannya kepada bahasa seni rupa yang berlatar belakang lingkungan dan budaya sendiri. Kita tahu dihadapan kita, kini terpampang tanda tanya besar, “quo-vadis senirupa kita”. Mau kemana arah senirupa kita kini berjalan!?

Ketika negeri-negeri yang sedang berkembang merupakan nasion-nasion terpinggirkan dalam persaingan global.Tinggal layaknya “bebek lumpuh (lame-duck)” yang siap pakai sebagai sasaran empuk buat diubah alias disunglap menjadi negara-negara “boneka” satelit mereka. Bayangkan jika kita menjadi sebuah negara duplikat asing, tanpa jati diri (identitas) bangsa berjiwa kepribadian sendiri?

Jika kita kini berada dalam sikon dan konstelasi yang kian rawan (untuk tidak dikatakan parah) seperti dalam istilah yang sering digambarkan oleh para seniman kontemporer itu sendiri. Negeri yang penuh dengan carut marut, imbas “Art-Word” yang multi dimensi.

Sinar harapan seperti yang pernah dibayangkan dan diimpikan oleh para seniman senior “old-master” seperti yang terurai tersebut di atas menjadi tak berarti lagi. Maka sudah barang tentu harapan semacam itu. Semakin redup memudar ditelan masa.

Berdasarkan kedudukan kita sebagai negara berkembang di tengah era globalisasi sekarang ini. Jelas betapa sulit menggambarkan “romantisme kehendak” atau hasrat keinginan kita untuk kesana lagi.

Seperti mencari jarum dibawah tumpukan jerami, jalan perjuangan yang harus kita tempuh hari ini, untuk menegakkan jati diri (identitas) kita yang tampil beda, di tengah kesetaraan khalayak dunia.

**

Tapi biar bagaimanapun, jiwa dan semangat nasionalisme cinta tanah air (patriotisme) wajib dibangkitkan dengan penuh percaya diri.

Pesatnya kemajuan tehnologi yang membadai di era globalisasi merupakan tantangan berat yang harus kita lawan. Derasnya arus globalisasi memang semakin menggerus orisinalitas kemanusiaan dan mutu nilai-nilai kemurnian kearifan lokal yang telah kita miliki. Namun, itulah tantangan kita hari ini.

Sebagai contoh kecil yang sederhana. Dalam bidang senirupa penggunaan proyektor dan digital printing sebagai alat kemudahan berkarya, kini kian merebak. Sehingga sentuhan ketrampilan dan kepiawaian jari tangan seniman selaku bakat alam, seakan perannya tak begitu berarti dan berfungsi lagi.

Kemudian contoh kasus lain: secara ekonomis, memang benar jika harga karya lukisan seorang pelukis muda kontemporer Nyoman Masriadi melejit di balai lelang dunia, hasil karya permainan para pialang seni (baca: broker). Tentu hal itu membuat jurang kesenjangan semakin dalam, bila dibandingkan dengan harga karya lukisan para seniman gurem pegiat sosial. Itulah dampak gesekan persaingan sistem kapitalisme yang merasuk keranah karya seni rupa kita.

Tentu banyak lagi kendala yang terjadi dalam permasalah seni rupa kita yang menjadi tantangan untuk kita melakukan pilihan terbaik kedepannya. Kearah mana senirupa kita berjalan.

**

Kita tidak harus putus harapan. Kita masih memiliki modal tradisi baik, yang masih mumpuni untuk kita andalkan kedepan.Termasuk pesan dari pengalaman para sesepuh seni rupa kita dalam sejarah yang menghendaki kejayaan seni rupa kita tetap menampilkan ke-Indonesia-an yang bermartabat.

Jika kita tarik proyeksi garis perkembangan seni rupa yang sedang berjalan. Jelas, tidak lepas dari layar kaca petunjuk yang mencerminkan situasi dan kondisi global. Budaya dan seni, khususnya seni rupa, merupakan salah satu wahana media yang reflektif. Mencerminkan keberadaan lingkungan hidup dunia kita yang sebenarnya. Bahkan seorang seniman pemikir besar dunia dari Rusia, pernah mengatakan “seni adalah kaca pembesar dari tantangan zamannya.” Sehingga antara kenyataan dan harapan keberadaan (eksistensi) seni rupa kita akan selalu ada sinergi dan kontradiksi yang mutlak dalam kesatuannya.

Jalan terang selalu masih terbuka dalam celah masa status-quo yang terisi oleh keramahan waktu ini. Demi rasa lega, tenang dan santai selama dalam penantian, kreativitas kerja dalam berkarya di seni rupa jangan sampai tenggelam. Karena perjuangan tak pernah henti…..

***

Misbach Thamrin
Pelukis, Jurusan seni rupa: seni lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia - ASRI Yogyakarta. Sekarang tinggal di Banjarmasin.