Menu
Foto keluarga Ki Ageng Suryomentaram

Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian I

Tulisan Marcel Bonneff ini versi aslinya berbahasa Prancis: “Ki Ageng Suryomentaram, Prince et Philosophe Javanais,” dimuat pertama kali di Archipel 16 (1978), hal. 175–203. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Susan Crossley, “Ki Ageng Suryomentaraman, Javanese Prince and Philoshoper,” dimuat di Indonesia 57 (April 1994).

Afthonul Afif, Peneliti Kawruh <a href=

Jiwa" width="150" height="150" /> Afthonul Afif, Peneliti Kawruh Jiwa

Versi bahasa Indonesia tulisan ini diterjemahkan oleh Afthonul Afif dari versi Inggrisnya atas izin Marcel Bonneff. Tulisan ini juga menjadi apendiks dalam buku Matahari dari Mataram, karya Afthonul Afif dan kawan-kawan. Afthonul Afif adalah seorang peneliti Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram. Dua bukunya tentang Ki Ageng Suryomentaram yaitu: Matahari dari Mataram; Menyelami Spiritualitas Jawa Rasional Ki Ageng Suryomentaram (2012) dan Ilmu Bahagia menurut Ki Ageng Suryomentaram (2012). Ia juga aktif menulis tema psikologi kebahagiaan di berbagai media massa.


ecintaan terhadap permenungan filosofis dan religius dalam Kebudayaan Jawa dapat dilihat dengan jelas dalam berbagai kelompok, perkumpulan, dan gerakan-gerakan yang secara umum memiliki tujuan bersama, yaitu ingin mewujudkan pemenuhan spiritual tertentu. Namun yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa generalisasi yang berlebihan terhadap ajaran kelompok-kelompok tersebut hanya akan berujung pada risiko, yaitu terdistorsinya hakikat “spiritualitas Jawa” itu sendiri. Dengan demikian, beragam bentuk gagasan dan doktrin yang terdapat di dalamnya harus tetap dilihat dalam konteks keragamannya masing-masing.1 Tulisan ini akan membahas filsafat—atau disebut dengan “Ilmu Jiwa” (science of psyche)—dari seorang “pembangkang”, Ki Ageng Suryomentaram, dan akan menunjukkan bahwa, meski gagasan Ki Ageng Suryomentaram itu bersifat orisinal, namun ketika diletakkan dalam konteks sosialnya hal itu tetap dapat dilihat sebagai ekspresi dari mentalitas tertentu.

 

Warisan Suryomentaram

Salah seorang teman dekat Ki Ageng Suryomentaram (KAS) menceritakan bagaimana dia pernah mengusulkan kepada KAS tentang pentingnya memiliki tulisan-tulisan beliau dalam bahasa Indonesia (versi aslinya dalam bahasa Jawa) atau bahkan dalam bahasa asing, sehingga pemikiran-pemikiran filosofisnya kemungkinan akan mendapatkan pengakuan yang lebih pantas. Percakapan ini berlangsung singkat sebelum KAS meninggal dunia di salah satu rumah sakit di Yogyakarta. Sang Filsuf bereaksi keras. Apakah ada kondisi kecukupan bagi seseorang untuk mencari pengakuan publik? Untuk meyakinkan temannya itu, sang Filsuf melanjutkan pertanyaannya, bukankah mereka yang mengelilinginya (para pengikut) sekadar ingin meninggikan harga diri dan reputasi mereka? Demikian tanggapan sederhana yang disampaikan oleh KAS dengan penuh keyakinan—sebuah gaya kepemimpinan tanpa pamrih yang telah dia tunjukkan lebih dari tiga puluh tahun lamanya.2

Sekarang, lima belas tahun sejak kematiannya (merujuk pada akhir 1970-an), masih banyak orang yang mengenalnya. Sebagian di antaranya adalah mereka yang melanjutkan untuk menganggap dirinya sebagai Pelajar Kawruh Jiwa,3 para pengikut “Ilmu Jiwa”, sebutan yang oleh KAS sendiri tak henti-hentinya dia sematkan untuk ajaran-ajarannya, dari satu pertemuan ke pertemuan berikutnya. Definisi tersebut telah tercatat dalam banyak tulisan pendek, yang kadang-kadang masih dapat ditemukan di rak-rak buku di rumah-rumah orang kebanyakan dan di toko-toko buku bekas. Belakangan (merujuk pada tahun 1978) Yayasan Idayu memprakarsai penerbitan tulisan-tulisan tersebut dalam bahasa Indonesia, sehingga pembaca secara luas (terutama mereka yang bukan penutur bahasa Jawa) memiliki akses terhadap gagasan-gagasan sang Filsuf. Editor buku tersebut membandingkan gagasan KAS dengan gagasan para filsuf besar dunia, seperti Socrates, Zarathustra, dan Khrisnamurti. Namun untuk mengenalkan dimensi internasional karya KAS tersebut, bagaimanapun juga, tidak harus dengan menyembunyikan fakta bahwa penerbitan ini bersumber dari naskah aslinya (yang berbahasa Jawa), sehingga pesan utama dari karya tersebut tetap dapat dipahami, yakni hendak menampilkan wawasan tentang eksistensi (manusia) yang diilhami oleh tradisi Jawa (Javanism). Anak tertua sang Filsuf, Dr. Grangsang Suryomentaram, memutuskan untuk melanjutkan memimpin gerakan Kawruh Jiwa (atau Kawruh Beja, “Ilmu Kebahagiaan”) dengan didasari oleh alasan-alasan di atas, meski alasan utamanya adalah untuk menjaga ingatan masyarakat tentang peninggalan (pemikiran) ayahnya. Akhir-akhir ini (merujuk pada tahun 1978-an—penerj.) sejumlah artikel yang ditulis olehnya dan oleh teman-teman ayahnya di masa-masa akhir hidup KAS yang mengisahkan hidup dan karya beliau telah diterbitkan oleh penerbit. Namun dalam tulisan-tulisan ini, peringatan KAS tentang bahaya dari “hagiografi” nampaknya belum sepenuhnya dipahami.4 Untuk mengingat kembali gagasan-gagasan filosofis KAS, dicantumkan pula tulisan-tulisan yang merujuk pada peran penting KAS sebagai seorang nasionalis, disebutkan secara jelas keterlibatannya dalam Paguyuban Selasa Kliwon—sebuah perkumpulan patriotik yang kemudian menginspirasi lahirnya gerakan pendidikan Taman Siswa—begitu juga perannya sebagai pendiri PETA dan ceramah-ceramahnya dalam mendukung nasionalisme seperti yang dia sampaikan setelah kemerdekaan RI. Ketertarikan baru terhadap sosok ini, yang telah melalui sejarah masa kini (merujuk pada paruh pertama abad ke-20—penerj.) tanpa pernah menampilkan diri di baris terdepan panggung politik, nampaknya mengisyaratkan bahwa dia memiliki pengaruh moral yang patut diperhitungkan.5

Kekecewaan Sang Pangeran

Dalam upaya untuk menampilkan riwayat hidup KAS serta menjelaskan perannya secara bersamaan, seseorang akan dihadapkan pada keterbatasan dan ketidakjelasan sumber informasinya, sebab cerita kehidupannya sering kali ditampilkan dengan penuh kiasan-kiasan.6 Lahir pada 20 Mei 1892 di Keraton Yogyakarta, KAS adalah anak ke-55 dari total 79 anak Sultan Hamengku Buwono VII. Ibunya, B.R.A. Retnomandoyo, adalah istri dari golongan kedua (garwo ampéyan) Sultan, anak perempuan Patih Danurejo VI. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Sekolah Keraton Srimenganti, dia kemudian mengikuti ujian untuk Klein Ambtenaar (pegawai sipil junior), yang kemudian mengantarkannya menjadi tenaga administratif di Residen Yogyakarta—untuk mengisi posisi tersebut dia harus belajar bahasa Belanda selama dua tahun. Dia juga belajar bahasa Arab untuk kelas pelajaran agamanya, dan kemudian bahasa Inggris untuk menutupi kekurangan dalam pendidikan formalnya. Dia menunjukkan hasrat belajar yang sungguh luar biasa.

Pada usia 18 tahun dia diangkat menjadi seorang pangeran, sehingga kemudian mengubah namanya dari Bendoro Raden Mas Kudiarmaji menjadi Bendara Pengéran Harya Suryomentaram.

Hanya sedikit sumber yang diketahui tentang masa-masa awal kehidupannya. Suatu hari dia menceritakan betapa dirinya terperangah menyaksikan lewat jendela kereta api jenis pekerjaan yang dapat menyebabkan sakit punggung yang dilakukan oleh para petani sewaktu dia akan menghadiri upacara perkawinan di Keraton Surakarta. Sementara orang lain mengalami penderitaan yang begitu berat, dia dan orang-orang sepertinya malah menikmati kemewahan hidup tanpa perlu bersusah-payah mendapatkannya karena telah membawa keistimewaan-keistimewaan tertentu semenjak lahir. Akan tetapi, sebagaimana diungkapkan Prawirowiworo, teman terdekat sang Pangeran, apakah para petani tersebut tidak lebih bahagia ketimbang sang Pangeran, yang hanya bisa meratapi dirinya sendiri ketimbang mengasihani mereka, karena setidaknya para petani tersebut sudah merasa puas dengan sawah yang mereka miliki. Prawirowiworo (meninggal pada 1960) adalah teman karib sang Pangeran, teman tertua dan terdekat yang dia miliki. Keduanya merupakan saudara sepupu, tetapi status Prawirowiworo jauh lebih rendah dibanding dirinya. Dia hanyalah abdi dalem yang dipekerjakan sebagai pelayan di istana Sultan.

Di satu sisi ada seorang pangeran yang berkelimpahan kehormatan dan kekayaan, sementara di sisi lain ada abdi dalem yang menerima gaji begitu rendah, yang baru saja mengajukan diri untuk dibebaskan dari tugas-tugasnya. Kedua laki-laki itu sedang dirundung ketidakpuasan hidup karena sampai sekarang mereka merasa belum pernah “bertemu dengan orang” (saprana-saprene aku kok durung tau pethuk wong); sang Pangeran hanya tahu tentang tuan-tuannya dan kekecewaan-kekecewaan mereka. Hidup yang terkungkung itulah yang dia rasakan sebagai penyebab utama mengapa dia merasakan ketidakpuasan hidup. Untuk mengatasi kondisi tersebut, dia kemudian sering pergi meninggalkan keraton untuk mengembara mengunjungi sejumlah tempat yang dia yakini dapat membawa keberuntungan (seperti Goa Langse atau Goa Cermin, Pantai Parangtritis, dan makam-makam keramat). Prawiro, yang tugas-tugasnya telah banyak berkurang, juga mengawali pengembaraan serupa. Mereka berdua kemudian saling berbagi cerita satu sama lain tentang pengalaman-pengalaman menarik yang mereka peroleh. Kadang-kadang mereka menenggelamkan diri dalam doa-doa, dan di lain waktu mereka mengunjungi para pemimpin agama untuk membicarakan dan belajar tentang hal-hal yang terkait dengan hakikat agama dan (pengalaman) mistik.

Pengawal sang Pangeran menjadi khawatir, sebab sang Pangeran mulai meyakini bahwa kepemilikan materi dapat menjadi penghambat untuk mencapai kebahagiaan. Dia kemudian memberikan cuma-cuma semua kekayaan pribadinya. Salah seorang pangeran yang paling kaya di Yogyakarta tiba-tiba memberikan mobilnya kepada sopirnya dan memberikan kudanya kepada tukang kudanya. … Selanjutnya, suatu hari dia meninggalkan keraton. Dengan mengenakan pakaian layaknya seorang pedagang dan menggunakan nama Notodongso, dia pergi ke Cilacap untuk berjualan batik. Ayahnya, Sultan Hamengku Buwono VII, mengutus orang untuk mencarinya. Para utusan itu kemudian menemukan sang Pangeran di daerah Kroya dan berhasil membujuknya untuk kembali ke keraton.

Peristiwa-peristiwa tersebut terjadi ketika sang Pangeran menginjak usia 20 tahun, menjelang tahun 1920, tahun ketika Residen Jonquiere mengirim surat resmi kepada Gubernur Jenderal bersamaan dengan sebuah salinan untuk Suryomentaram agar dia segera mengumumkan gelar pangerannya. Namun dia meminta ayahnya untuk membatalkan pengangkatan tersebut, meski oleh sang ayah permintaan tersebut ditolak, seperti permintaan sebelumnya ketika dia ingin menunaikan ibadah haji ke Mekkah.7 Di tahun-tahun itu, sebagaimana dituturkan oleh penulis biografinya, Suryomentaram benar-benar sedang dirundung kebingungan: beberapa bulan dia terlihat di rumah kakeknya, Patih Danurejo, yang baru saja diberhentikan dari tugas-tugasnya, sementara ibunya juga diceraikan oleh Hamengku Buwono VII, dan akhirnya peristiwa yang paling menggetarkan adalah ketika istrinya meninggal dunia tepat setelah melahirkan anak laki-laki mereka.

Pada 1921 Sultan Hamengku Buwono VII turun tahta dan penerusnya, Hamengku Buwono VIII, mengizinkan Suryomentaram untuk meninggalkan istana. Sang Pangeran menolak menerima tunjangan hidup yang ditawarkan oleh Belanda dan malah menerima tunjangan pensiun yang jumlahnya jauh lebih kecil yang diberikan oleh keraton kepadanya. Dengan hanya memiliki sedikit kekayaan, dia lantas meninggalkan keraton dan memilih tinggal di Desa Bringin, dekat Salatiga, di mana dia kemudian membeli tanah. Dia memulai hidup sebagai seorang petani, seperti (umumnya) para penduduk asli yang dia lihat sedang bekerja di sawah mereka. Pada 1925 dia menikah lagi dan reputasinya mulai tumbuh. Ki Gedhe (atau Ageng) Bringin8 adalah pribadi yang eksentrik. Beberapa orang memercayainya sebagai dukun dan mereka datang kepadanya untuk meminta nasihat atau bantuan. Telah lama dia menanggalkan jubah kebesarannya dan memilih menggunakan celana pendek dan sabuk kulit yang umum dipakai oleh petani waktu itu. Dia bepergian dengan telanjang kaki dan di lehernya melingkar sepotong kain batik dengan motif parang rusak barong, motif yang juga masih dipakai oleh para penguasa atau bangsawan. Bahasa tubuhnya mengindikasikan ketidakpuasan tertentu; mirip dengan semangat yang ditunjukkan Suwardi Suryaningrat di tahun-tahun awal ketika dia dan pembantunya juga mengenakan jenis kain yang sama ketika pergi ke kota.9 Suryomentaram lagi-lagi dipandang sebagai sosok yang telah memicu penasaran orang lain karena baju yang dia pakai dan perilaku aneh yang dia tunjukkan ketika mengunjungi makam ayahnya di Imogiri (1931). Sewaktu acara berlangsung, mantan anggota keluarga dan juga teman-temannya menduga bahwa dia gila; mereka kemudian menyingkir darinya, tetapi Suryomentaram malah menakut-nakuti mereka.

Suatu hari, dengan memakai celana pendek dan telanjang kaki, ketika dia hendak naik ke dalam bus, dia (tiba-tiba) dimintai tolong (oleh penumpang lain) karena dianggap sebagai seorang kuli panggul: seorang penumpang memberikan kopernya kepada Suryomentaram, lalu Suryomentaram mengambilnya dan dengan hati-hati membawakan koper itu…. Itulah awal pencariannya atas rasa takut terhadap hal-hal yang (dianggap) memalukan dari seorang pengembara yang jujur. Begitulah Suryomentaram, atau begitulah kisah-kisah yang diceritakan orang tentangnya:10 sosok laki-laki yang lebih perhatian kepada orang lain dibanding kepada dirinya sendiri. Dia senantiasa memiliki kesadaran tentang dirinya, bahwa dia dapat melihat tindakannya yang memalukan itu dari ketidaknyamanan orang lain.

Namun pada kenyataannya, Ki Ageng tidak pernah putus asa dalam mencari sosok ‘Manusia’ yang sejati. Suatu malam pada 1927 dia membangunkan istrinya dan berkata, “Aku telah menemukan apa yang aku cari… adalah Suryomentaram yang kecewa; dia adalah seorang pangeran yang kecewa, pedagang yang tidak pernah puas, dan petani yang selalu kecewa; dia adalah sumber dari ketidakpuasan (tukang ora puas). Namun dia telah ketahuan (konangan). Mulai sekarang, aku akan selalu menemukan orang yang memakai nama Suryomentaram.” Jika keterangan Dr. Grangsang dipercaya, hal inilah yang kurang lebih Ki Ageng katakan kepada istrinya yang tertidur di sampingnya. KAS telah menemukan sumber-sumber masalahnya: kebingungan antara diri yang aktif dan diri yang pasif. Dalam diri yang pasif inilah seseorang menjadi mampu, dengan sekian risiko, mengakui dan merawat sesuatu dalam dirinya sendiri sehingga dapat mengatasi cobaan-cobaan atau godaan-godaan yang bersumber dari kehidupan sehari-hari, dan dapat meraih “kebahagiaan sejati”. “Apa yang telah aku cari, dan gagal aku temukan, adalah konsep tentang orang (gagasan wong) yang hanya eksis dalam angan-anganku.”11 Ilmu Kebahagiaan (Kawruh Beja) telah lahir. KAS kemudian menceritakan kepada sahabatnya, Ki Prawiro, orang pertama yang menerima kebenaran tersebut, dan kemudian diikuti oleh para pengikut lainnya, yang dari waktu ke waktu jumlahnya semakin bertambah.

Ki Ageng segera bergabung sebagai tenaga sukarela, namun pemerintah militer dengan cepat mengambil alih perekrutan dan pelatihan serdadu yang kemudian melahirkan apa yang kita kenal sebagai PETA (Pembela Tanah Air).

Nampaknya relevan sekarang untuk mempertimbangkan aspek-aspek karier KAS dalam kegiatan politik. Namun untuk melakukannya, kita terlebih dulu perlu menengok kembali ke tahun-tahun 1921–1922. Pada waktu itu dia adalah pemimpin Paguyuban Selasa Kliwon, perkumpulan yang mengambil nama dari hari di mana pertemuan mereka diselenggarakan. Sudah umum diketahui bahwa kelompok ini merupakan penggagas berdirinya Gerakan Taman Siswa.12 Terdapat sembilan priyayi (dalam perkumpulan tersebut), masing-masing di antara mereka yang mesti disebut adalah Suwardi (Ki Hajar Dewantoro), Prawirowiworo, B.R.M. Subono (saudara termuda KAS), dan Pronowidigdo. Beberapa di antara mereka, seperti Ki Hajar atau Pronowidigdo,13 kemudian memiliki kesempatan untuk mengumumkan nasionalisme mereka, misalnya melalui partisipasi mereka dalam Budi Utomo. Meski paguyuban tersebut berjalan di jalur “masyarakat kebatinan”,14 namun tujuan mereka secara jelas sudah terdefinisikan, yakni pembebasan, dalam pengertian memenangkan kemerdekaan RI. Namun pada tahun 1922, kelompok ini dibubarkan setelah dicapai kesepakatan bahwa pembebasan (yang sesungguhnya) baru dapat diraih melalui pengembangan di berbagai aspek pendidikan dan menumbuhkan kesadaran nasional di kalangan orang-orang Indonesia. Menyelenggarakan pendidikan formal merupakan salah satu yang terpenting. Ki Hajar Dewantoro kemudian mendirikan Taman Siswa dan menyelenggarakan pengajaran untuk pertama kalinya pada 3 Juli 1922. Namun, perhatian Taman Siswa lebih ditujukan kepada generasi muda. Sementara KAS sendiri kemudian mendapat bagian untuk melakukan bimbingan dan pembinaan kepada orang-orang dewasa.

Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 1930, KAS bersama sejumlah temannya mendirikan Pakempalan Kawula Ngajogjakarto yang diketuai oleh Pangeran Suryodiningrat. Perkumpulan ini merupakan sebuah gerakan yang kepentingan sosial dan kemanusiaannya lebih besar ketimbang tujuan-tujuan politiknya. Perkumpulan ini, yang dikomandoi oleh Pangeran Suryodiningrat dan sejumlah priyayi terpelajar, setelah mendapat restu dari Hamengku Buwono VIII, merumuskan sebuah tujuan untuk meningkatkan standar hidup para petani yang bekerja untuk kesultanan. Hingga pecah Perang Pasifik, PKN dan sejumlah organisasi yang lahir saat itu—yang juga melakukan pendampingan untuk menciptakan otonomi dan demokratisasi pada administrasi kesultanan—mengambil inisiatif-inisiatif yang sangat populer waktu itu dengan membela kepentingan para petani miskin di berbagai tingkatannya,15 misalnya dengan mendirikan koperasi-koperasi pertanian dan pabrik-pabrik lurik, mengusulkan perubahan sistem perpajakan, dan mengurangi angka buta huruf. Pada 1931, PKN bergabung dengan organisasi-organisasi seperti PPPPA dan PPII untuk melawan praktik-praktik kekerasan dan perdagangan perempuan dan anak-anak. Pada 1932 bersama sejumlah kelompok, seperti Budi Utomo, Taman Siswa, dan Muhammadiyah, PKN memprotes kebijakan Wilde Scholen Ordonnantie.16 Pada pertemuan yang diadakan tahun 1932, Ki Hajar Dewantoro melontarkan gagasannya tentang pendidikan dan Ki Ageng menyampaikan prinsip-prinsip “Ilmu Kebahagiaan”, ajaran yang memberi penekanan pada fakta bahwa semua manusia pada dasarnya mencari kesejahteraan psikologis yang sama, di mana dampak dari pengalaman tersebut kemudian akan membuat mereka mampu melihat semua orang dalam kedudukan yang sama.

Ketika Jepang terlibat dalam perang KAS dan 13 nasionalis, yang kemudian dikenal dengan Manggala 13,17 merencanakan tindakan-tindakan tertentu andaikata pecah pertempuran antara Belanda dan Jepang (Pembebas Asia) di bumi Indonesia. Tetapi ternyata Jepang dengan mudah menaklukkan Jawa tanpa perlawanan berarti dari pihak Belanda. Pendudukan Jepang ini menarik perhatian KAS dan memengaruhi aktivitas-aktivitas (politik) KAS, yang kemudian berujung pada kecurigaan Belanda terhadapnya. Perwakilan Jepang segera menemuinya melalui Asano (anggota Dinas Rahasia) dan KAS menyampaikan ucapan terima kasih karena tentara Jepang telah membebaskan rakyat Indonesia dari kolonialisme Belanda. KAS kemudian mengusulkan agar dia dan teman-temannya diberi pelatihan militer yang memadai sebagai bekal untuk berperang bersama Jepang. KAS juga merumuskan prinsip-prinsip ilmu perang yang kemudian dia sebut sebagai “Jimat Perang”, sebuah keberanian kemiliteran atau tidak dimilikinya rasa takut untuk menghadapi kematian dalam peperangan. Dia diundang ke Jakarta untuk berbicara di radio dan diberi kewenangan untuk menyelenggarakan pertemuan serta menyebarkan gagasannya tersebut. Melalui bantuan Mr. Sudjono, pada 1943 di Jakarta dia bertemu dengan para nasionalis yang dipercaya oleh Jepang, yakni Soekarno, Hatta, K.H. Mas Mansur, dan Ki Hajar Dewantoro, yang juga dikenal sebagai “Empat Serangkai”. Dalam pertemuan tersebut KAS menganjurkan Soekarno untuk mengadopsi gagasan Jimat Perangnya itu, dan dalam berbagai kesempatan mereka (para pemimpin nasionalis itu) bersedia mempopulerkannya.

Namun Jepang belum yakin dengan kemampuan rakyat Indonesia dalam membentuk semacam kesatuan militer—penolakan resmi disampaikan langsung oleh Gubernur Militer Jepang untuk Yogyakarta, Kolonel Yamanuchi, terhadap permintaan KAS dan kawan-kawannya untuk membentuk kesatuan tersebut. Dalam situasi seperti ini, Asano kemudian bersedia membantu, namun KAS dan kawan-kawan harus membuat permohonan kepada Kaisar Jepang, baru kemudian Asano sendiri yang akan menyampaikan secara langsung permohonan tersebut kepada sang Kaisar. KAS kemudian mengajak delapan kawannya (Ki Suwarjono, Ki Sakirdanarli, Ki Atmosutidjo, Ki Pronowidigdo, Ki Prawirowiworo, Ki Darmosugito, Ki Asrar Wiryowinoto, dan Ki Atmokusumo (disebut dengan “Manggala Sembilan”—penerj.) untuk membuat petisi yang ditandatangani dengan darah mereka. Di luar dugaan mereka, otoritas Jepang di Tokyo segera menyetujui permohonan tersebut. Ki Ageng segera bergabung sebagai tenaga sukarela, namun pemerintah militer dengan cepat mengambil alih perekrutan dan pelatihan serdadu yang kemudian melahirkan apa yang kita kenal sebagai PETA (Pembela Tanah Air).

Versi tentang asal-usul berdirinya PETA ini (sebuah organisasi yang telah memainkan peran penting dalam perjuangan mencapai kemerdekaan RI dan merupakan tulang punggung bagi terbentuknya Tentara Nasional Indonesia) disampaikan oleh Dr. Grangsang.18 Pendapat senada juga disampaikan oleh Ki Prono dan Ki Asrar Wiryowinoto, dua orang yang juga menandatangani petisi.19 Namun, sekalipun konsep tentang Jimat Perang itu pada kenyataannya diinspirasi oleh KAS, masih sering muncul keraguan tentang pengaruhnya terhadap peristiwa-peristiwa penting di negeri ini dan peran petisi tersebut; di berbagai kesempatan kesimpulan ini disampaikan oleh S. Wirjosoedojo—salah seorang teman lama KAS—yang mempertanyakan versi ini karena dia tidak dapat memperoleh konfirmasi langsung dari Hatta tentang apakah pertemuan antara KAS dengan empat sekawan itu20  memang benar-benar pernah terjadi. Kebenaran informasi tersebut masih menjadi tanda tanya meski sudah banyak tulisan tentang persoalan ini, baik yang ditulis oleh sejarawan maupun orang yang menyaksikannya langsung; salah satunya adalah kesaksian yang disampaikan oleh Gatot Mangkupraja, tokoh yang juga sering disebut sebagai penggagas berdirinya organisasi tersebut.21 Namun seperti apa kebenarannya, hal ini masih menimbulkan perdebatan terbuka.

Meskipun informasi yang disampaikan oleh Dr. Grangsang tersebut masih bisa diperdebatkan, namun tetap penting kiranya melihat peran dan sosok KAS dalam perjuangan meraih kemerdekaan RI dan sebagai seorang nasionalis yang gigih. Salah satu informasi yang telah umum diketahui adalah keikutsertaannya dalam sebuah kesatuan pasukan yang bernama “Kesatuan Rakyat Jelata” dalam pertempuran melawan Belanda di dekat Yogyakarta selama periode 1947–1949.

Untuk mencapai kedamaian, KAS meninggalkan rumah dan sawahnya di Bringin dan memutuskan kembali lagi ke Yogyakarta, tempat di mana dia kemudian mengabdikan hidup sepenuhnya untuk mengembangkan ajaran-ajaran filosofisnya hingga kematian menjemputnya pada usia ke-70. Melalui sebuah telegram, Presiden Soekarno mengirim ucapan belasungkawa, dan atas nama negara memberikan penghargaan yang setulus-tulusnya untuk semua jasa Ki Ageng semasa hidupnya.22

Bersambung…

Baca juga:

Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian II

Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892-1962) Bagian III

Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian IV – Habis


Sumber foto: Foto keluarga Ki Ageng Suryomentaram, Falsafah Hidup Bahagia Wejangan Ki Ageng Suyomentaram, 2017.

Catatan Kaki:

1. Dalam kajian ini, Archipel 4 (1972) telah memuat sebuah studi tentang Gerakan Pangestu (Pangestu Movement) yang ditulis oleh Indrakusuma.

2. S. Wirjosedojo, “Sapa kang ngedegake PETA?” dalam Mekar Sari 19: 17 (1 November 1975), hal. 13–14.

3. Kata-kata atau kutipan dalam tulisan ini menggunakan bentuk baru dalam sistem ejaan, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa penggunaan huruf ganda dh dan th merujuk pada penggunaan lama. Meski begitu, untuk nama-nama dan judul-judul buku tertentu masih menggunakan sistem ejaan lama. Hanya dalam konteks penyebutan nama KAS, penulis menggunakan sistem ejaan baru, yaitu Suryomentaram, dari Soerjomentaram dalam ejaan lamanya.

4. Sumber-sumber untuk tulisan ini dibuat ketika peristiwa-peristiwa yang dijelaskannya tengah terjadi. Karya lengkap KAS dapat ditemukan di akhir tulisan ini.

5. Sebagai contoh B. R. O. G. Anderson dalam sebuah studinya yang begitu detil tentang peristiwa-peristiwa politik pada periode 1945–1946, yang mengambil latar di sebagian besar wilayah Yogyakarta, sama sekali tidak menyebut Suryomentaram (Ithaca: Cornell University Press, 1972).

6. Sebagian dapat dilihat dalam tulisan Dr. Grangsang Suryomentaram yang dimuat di sebuah surat kabar Jakarta, Berita Buana, “Riwayat Singkat Ki Ageng Suryomentaram” (24 dan 25 Juli 1975) dan “Rahasia di Balik Pembentukan Tentara Pembela Tanah Air (PETA)” (19 Juli 1975); karya-karya Ki Atmosutidjo, Gandulan kangge kontja-kontja peladjar Kawruh-djiwa; tulisan Kiai Pronowidigdo, “Riwajatipun Kawruh Djiwa,” dimuat di Buku Peringatan…. (cf. bibliografi). Ada juga sebuah biografi yang ditulis oleh Ki Djojodinomo, tetapi belum digunakan dalam tulisan ini. M. Agus Suwito dan Dr. Grangsang Suryomentaram dengan ramah mengizinkan penulis menggunakan sejumlah dokumen, untuk itu terima kasih kepada Dr. Grangsang dan Ki Haditomo atas informasi yang mereka berikan kepada penulis (wawancara Mei 1975).

7. Dokumen tertanggal 21 Agustus dan surat KAS 14 Agustus 1921 (Mailrapport No. 948 Geheim/1920; verbaal date 6-1-21, No. 18). Dalam suratnya, Residen menyebut bahwa KAS menolak pengangkatannya sebagai pangeran. Penulis juga berhutang kepada Mr. Kenji Tsuchiya yang membuat dokumen tersebut tersedia baginya. Dokumen ini juga relevan dengan penelitian Mr. Tsuchiya tentang sejarah gerakan Taman Siswa; lihat: “The Taman Siswa Movement: Its Early Years and Javanese Background,” dalam Journal of Southeast Asian Studies 6: 2 (1975), hal. 164–77.

8. Suryomentaram bermakna “Matahari dari Mataram”. Ki adalah istilah yang digunakan untuk menyebut laki-laki yang sudah tua dari kelas pekerja/bawah dan juga atas kebijaksanaan yang dimiliknya (nyi digunakan untuk perempuan; seperti kiai dan nyi, dua kata yang memiliki konotasi Islam). Gedhe atau Ageng bermakna “Besar”. Beberapa orang (nyata atau legenda) dalam sejarah Jawa memiliki sebutan serupa: Ki Ageng Sela, Ki Ageng Pamenahan, dan lain-lain.

9. Cf. Pranata, Ki Hajar Dewantara Perintis Perdjuangan Kemerdekaan Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1959), hal. 36.

10. Wawancara dengan Ki Haditomo.

11. Cf. tulisan Grangsang S. dan Ki Atmosutidjo.

12. Pada titik ini, lihat: Suratman, “Masalah Kelahiran Taman Siswa,” dalam Pusara 25: 1–2 (1964); Kenji Tsuchiya, “The Taman Siswa Movement,” hal. 166–177.

13. Ki Pronowidigdo (Prono) meninggal dunia di Yogyakarta pada usia 96 tahun (lihat Mekar Sari 1, 1976). Seorang guru terlatih dan nasionalis yang gigih, dia adalah salah seorang di antara anggota Budi Utomo dan juru bicaranya di Yogyakarta sekitar 1920-an. Dia secara dekat dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan KAS dan Ki Hajar Dewantoro; dia juga adalah salah seorang pendiri Taman Siswa; sampai akhir hidupnya dia adalah sosok penasihat yang begitu dihormati. Perlu juga disebut bahwa Ki Prawirowiworo merupakan anggota dari panitia pembentukan Taman Siswa.

14. Kebatinan dapat diterjemahkan sebagai “kehidupan spiritual”. Banyak masyarakat dan kelompok kebatinan yang eksis di Jawa dengan anggota yang dianggap memiliki pengetahuan tentang “diri sejati”, elemen mendasar dalam pencarian terhadap yang Absolut. Secara umum, gagasan filosofisnya dipinjam dari sejumlah prinsip dari agama-agama India dan atau mistisisme Islam, yang sering diekspresikan dalam istilah-istilah yang bersifat esoteris. Aspek praktisnya meliputi meditasi dan latihan-latihan kontemplatif, bahkan asketisme. Tetapi, konsep kebatinan (atau Kejawen sebagaimana disebut dalam bahasa Jawa) mungkin merujuk pada berbagai pendekatan, beberapa di antaranya mengklaim bersifat ilmiah. Namun umumnya setiap pendekatan kebatinan tersebut menekankan pada konsep utama yang sama, yakni tentang keutuhan psikologis.

15. Pada 1938 PKN memiliki anggota 253.218 (30.471 adalah perempuan), hampir semua anggotanya adalah petani (90%). Organisasi lainnya adalah Pakempalan Kawula Surakarta (berdiri 1932), Pakempalan Kawula Mangkunegaran (1933), dan Pakempalan Kawula Pakualaman; lihat Ensiklopedi Indonesia, hal. 926–27.

16. Sebuah keputusan pemerintah kolonial yang memperkuat kontrol terhadap sekolah-sekolah lokal dan membatasi jumlahnya. Untuk melihat aktivitas PKN, lihat buku yang diterbitkan untuk merayakan delapan tahun kelahirannya (satu windu): Boekoe Pengetan Windon Pakempalan Kawoela Ngayoegyakarta (PKN), 1930–1938, (ed. PKN: 1938), 103 halaman. Selama pendudukan Jepang dan setelah kemerdekaan, pendiri organisasi ini, Pangeran Suryodiningrat, muncul sebagai seorang guru spiritual yang sangat disegani di mana setiap pertemuan yang diselenggarakannya selalu diikuti oleh pengikut dalam jumlah besar. Namun PKN kembali menjadi sebuah kekuatan politik pada 1951, menjelma menjadi Partai Gerinda, yang menurut Selosoemardjan (1955) adalah partai yang “mengikuti jalan mistisisme, yaitu kesatuan antara manusia dan Tuhan, yang menjelma di dunia ini dalam bentuk kesatuan antara kawula dengan Raja, yang dalam konteks Gerinda adalah kesatuan antara anggota partai dengan presiden partai.” Social Changes in Jogjakarta (Ithaca: Cornell University Press, 1962), hal. 188–89.

17. Manggala adalah doa di permulaan sebuah syair. Kata ini juga memiliki konotasi “garda depan”. Di antara 13 anggotanya, menarik untuk disebut kembali sosok Ki Hajar, Ki Prono, dan Suryodiningrat, bersama dengan Radjiman Wediyodiningrat, Sutopo Wonoboyo (salah seorang pendiri Taman Siswa), dan lain-lain (Berita Buana, 25 Juli 1975).

18. Berita Buana, 19 Juli 1975.

19. “Sapa kang ngedegake PETA?” dalam Mekar Sari 19: 15 (1 Oktober 1975).

20. Wirjosoedojo, “Sapa kang ngedegake PETA?” dalam Mekar Sari 19: 17 (1 November 1975).

21. Lihat: Nugroho Notosusanto, The Peta-Army in Indonesia, 1943–1945 (Departemen Pertahanan dan Keamanan, Centre for the Armed Forced History, 1971), 23 halaman; Raden Gatot Mangkupradja, “The Peta and My Relationship with the Japanese: A Correction of Soekarno’s Autobiography,” dalam Indonesia 5 (April 1968). Menarik juga untuk dicatat bahwa Gatot (meninggal pada 1968) mengklaim telah diminta untuk membubuhkan tanda tangan darah juga.

22. Lihat: Kus Sudyarsana, “Kawruh Bedja,” dalam Mekar Sari 6: 3 (1 April 1962). KAS dikebumikan di samping makam ibunya di pemakaman trah Nitinegaran, di Kanggotan (sekitar 7 km ke arah selatan dari Yogyakarta, dekat dengan Kerto, kota kuno yang menjadi ibu kota kerajaan di era Sultan Agung).

0
2602
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.