DONASI

Menafsir Semesta Diri Melalui Rubaiyat Maulana Rumi

Mereguk puisi-puisi Jalaluddin Rumi (1207-1273) bak menyirami belenggu diri dengan anggur ruhani. Melalui kelembutan batin yang terpercik pada setiap puisi yang ditulisnya, Rumi menyihir selubung-selubung...

LEMBAR | SUNDAY, 29 OCTOBER 2023 | 14:14 WIB

Mereguk puisi-puisi Jalaluddin Rumi (1207-1273) bak menyirami belenggu diri dengan anggur ruhani. Melalui kelembutan batin yang terpercik pada setiap puisi yang ditulisnya, Rumi menyihir selubung-selubung diri yang menghalangi manusia menemukan dimensi terdalamnya. Anggur-anggur puisi itu memabukkan hingga diri terlupakan dan tenggelam di sana.

Membaca dan menyelami Rubaiyat adalah mengintip diri melalui teropong kecil dari sudut yang seolah tidak tampak (tetapi ada), lalu menelanjanginya. Teropong itu serupa akal. Sudut yang seolah tidak tampak itu, ialah jiwa yang penuh debu dan batu-batu. Jiwa dalam diri yang terbelenggu oleh jasmani renta harus ditanggalkan sebelum tenggelam dalam di sana: di dasar palung Cinta.

Usaha mengintip diri, bagi Rumi sama dengan mencari rasa jati agar layak tenggelam ke Samudra cinta. Ini juga berarti menyusuri ketenangan jiwa sejati, yang menurut Rumi, tersusun dari cahaya (Rumi, 2017). Jiwa yang bersemayam dalam diri harus diteropong melalui kacamata hati yang suci, hingga diri (baca: jasmani) terlupakan dan tidak tersisa lagi keinginan-keinginan duniawi. Mengosongkan pikiran-pikiran dari suara-suara parau kenikmatan sesaat hingga cahaya jiwa menyala.

(Bait ke-15)

Selama beberapa waktu

kupilih diriku sebagai pemamah.

Kudengarkan namaku,

tapi tak bisa kulihat diriku.

Aku sibuk dengan diriku,

tapi aku tak berhak terhadap diriku.

Ketika aku keluar dari diriku,

justru kutemukan diriku

(hlm. 36)

Rumi mengajak kita untuk keluar dari diri renta menuju diri abadi. Diri yang renta (jasad) merindukan–sebuah kerinduan primordial, sumber kita sendiri—kematian agar terbuka diri sejati, yakni diri yang tersusun dari cahaya itu. Bagi pecinta, kematian jasad sesungguhnya hanya menjadi awal “kehidupan”. Tidak heran, kematian bagi Rumi adalah pernikahan. Di hari itu, Rumi bak seorang pengantin yang mendambakan malam pertama (penyatuan) dengan Yang Dicintainya.

Rumi mengajak kita untuk keluar dari diri renta menuju diri abadi. Diri yang renta (jasad) merindukan–sebuah kerinduan primordial, sumber kita sendiri—kematian agar terbuka diri sejati, yakni diri yang tersusun dari cahaya itu.

Dari ke hari ke hari, sufi sejati menyiapkan kematiannya. Dan, “kematian terburuk”, kata Rumi, “adalah tanpa cinta.” “Manusia yang jauh dari jerat cinta,” lanjutnya, “adalah burung tanpa sayap”. Seorang sufi sebenarnya bukan merindukan kematian belaka, melainkan ia mengidealkan esensi tunggal yang mutlak dan terdapat panggilan dirinya untuk selalu menuju ke arah sana (Bagir, 2021).

Para sufi tak akan puas dengan hanya melihat dunia yang memiliki batas. Sufi sejati akan terus mencari kenyataan Tak Terbatas yang penampakannya mampu memerdekakan dari ikatan-ikatan terbatas. Ia tidak puas sebagai makhluk di bumi yang serupa debu, ia ingin lepas dari ruang dan waktu menuju esensi sejati yang Mahaterang serupa matahari.

 (Bait ke-27)

Aku setitik debu,

dan perjumpaan denganmu

adalah matahari.

Aku sakit dirundung gundah

dan kau adalah sumber obatku

(hlm. 27)

Matahari dalam syair di atas membawa kita pada ingatan tentang sang guru sejati, Syam-i (matahari) Tabrizi. Ia adalah seorang guru ruhani dari penyair sufi terbesar dalam bahasa Persia, Jalaluddin Rumi, juga baginya adalah alamat nama-nama dan sifat-sifat Tuhan yang sempurna (insan al-kamil) atau manusia universal. Esensi tunggal Tuhan membuat-Nya memiliki sifat universalitas. Begitu juga yang ada pada manusia sempurna. Rumi terinspirasi sang guru, menerobos sekat-sekat identitas atau bungkus-bungkus yang melekat dalam setiap diri makhluk di dunia menuju universalitas Cinta: suatu yang Tak Terbatas.

Nama Syams-I Tabrizi sendiri sangat simbolik. Rumi sering menggunakan simbolisme nama itu dalam sajak-sajak sebagai gambaran agung sang guru maupun kebenaran Ilahi itu sendiri. Ia secara tidak langsung juga membicarakan persatuan batin antara sang guru dengan Tuhan.  Guru mampu memberikan pengaruhnya yang langgeng terhadap murid. Guru ruhani ini dalam bahasa Rumi dilukiskan sebagai pengendara langit: datang dan pergi, tetapi debu yang ia tinggalkan tetap ada (Nasr, 2020).

Puisi-puisi dalam Rubaiyat adalah ekspresi jalan keruhanian Maulana Rumi yang penuh oleh cinta, hingga tak ada makanan ruhani selain cinta. Akar-akar jiwa dibebaskan dari dunia jasmani ke arah ia yang tertawan dan meleburnya ke dalam Tuhan. Jiwa bagi Rumi diimajinasikan sebagai mempelai Ruh—dengan “R” besar—dan masuk ke dalam persatuan dengannya. Dengan begitu esoteris, Rumi membayangkan si “aku” sebelum mati ketika berjumpa dengan sang “Aku”. Si “Aku”—dengan “A” besar—ini adalah diri yang dikuasai kesadaran total akan kekasihnya.

Puisi-puisi dalam Rubaiyat adalah ekspresi jalan keruhanian Maulana Rumi yang penuh oleh cinta, hingga tak ada makanan ruhani selain cinta. Akar-akar jiwa dibebaskan dari dunia jasmani ke arah ia yang tertawan dan meleburnya ke dalam Tuhan.

 (Bait ke-1)

Dalam hatiku ada bara api

yang menyala

dari keindahan Kekasih.

Wahai dukacita,

jika kau punya nyali

datanglah kemari

(Hlm. 9)

Rumi mabuk berat. Dirinya tidak ada artinya lagi karena telah dipersembahkan kepada-Nya—bahkan sebelum “hari pernikahan”. Dukacita yang dianggap berbahaya dengan gagah ditantang olehnya. Ia telah terbang atau barangkali melesat kepada yang diseru, kekasihnya itu.

Dari Universalitas Cinta Rumi hingga Gerak Ontologi Diri Sejati

“Cinta adalah rasa yang melampaui batas. Maka dikatakan bahwa Cinta adalah Sifat Sejati Tuhan. Cinta jadi sifat hamba hanya sebagai turunan dari itu” (Matsnawi, Maulana Rumi)

Bagi Rumi cinta adalah nafas, dan puisi sebagai bahasa yang tertatih-tatih menerjemahkan maknanya. Ketika berupaya menerjemahkan cinta, Rumi akan terjatuh pada keputusasaan, “Mana mungkin mengukur samudra (cinta-Mu) dengan piring.” Sebab, kata Rumi, “Cinta itu tanpa batas sehingga ia tidak bisa dibatasi dengan definisi” (Bagir, 2021).

Ketidakmampuan manusia mendefinisikan cinta disebabkan karena ia sangat universal. Sesuatu yang universal tidak terhenti pada simpang-simpang pemahaman makna yang mendangkalkan kedalaman dan keluasannya. Sufi besar abad 12 dari Persia, Ibn ‘Arabi, mengatakan hal senada dengan Rumi: “Cinta tak mengenal definisi. Ia yang mendefinisikan cinta berarti tak mengenalnya. Cinta adalah minum tanpa hilang haus.”

Ketidakmampuan manusia mendefinisikan cinta disebabkan karena ia sangat universal. Sesuatu yang universal tidak terhenti pada simpang-simpang pemahaman makna yang mendangkalkan kedalaman dan keluasannya.

Meskipun cinta gagal didefinisikan, tetapi ia mampu membuka refleksi yang mendalam dan meruntuhkan diri negatif menjadi positif, diri yang tanpa daya menjadi berdaya, yang tiada menjadi Ada. Cinta yang meng-ada dalam diri setiap manusia pada dasarnya bersumber dari sang Maha-Cinta, yaitu Tuhan. Ia menciptakan manusia untuk mengabarkan kekuasaan-Nya, sebagaimana tertera di lubuk hati para ahli Makrifat. Eksistensi cinta ini hanya hadir bagi manusia yang berusaha mengenal hakikat diri hingga mengenal hakikat-Nya.

Cinta di tahap para ahli makrifat mampu menerobos dinding perbedaan atribut, sekat ruang dan waktu, hingga hanya tersisa kebesaran-Nya. Karena cinta berasal dari Tuhan dan manusia diciptakan sebagai makhluk-Nya paling sempurna, maka ia selalu terdorong (atau berpotensi?) untuk melampaui batas-batas jasmani menuju diri sejati: ruh sejati.    

Diri sejati yang bermuara dari kesucian ruh, selalu menangkap pendar-pendar cahaya cinta. Ruh adalah suatu alam yang tidak terukur besarnya. Ia adalah keseluruhan semesta, karena ia adalah salinan darinya. Segala hal yang ada di dalam semesta terjumpai di dalam ruh. Karena kenyataan inilah, siapa yang menguasai ruhnya pasti menguasai semesta (Nasr, 2020).

Ruh sejati atau diri sejati tidak secara positif menghendaki cinta. Sebab, seluruh kehendak mengandaikan kekurangan—sebuah kebutuhan—dan dikondisikan oleh perubahan dalam wujud yang dikehendaki. Kehendak adalah gerak materi: diri sejati tidak menghendaki apa pun. Karenanya, gerak ontologis dari diri sejati menyaksikan cintanya dalam kontemplasi yang tidak terdistribusikan oleh keinginan apa pun selain ketulusan (welas asih). Dengan begitu, diri sejati telah menerima pancaran sifat-sifat Tuhan di mana keber-Ada-annya secara ontologis menguar cinta yang universal.

Editor: Mohammad Hagie

Referensi:

Bagir, H. (2021). Mereguk Cinta Rumi: Serpihan-Serpihan Puisi Pelembut Jiwa. Jakarta: Mizan.

Nasr, S. H. (2020). Tasawuf Dulu dan Sekarang. Bantul: IRCiSoD.

Rumi, J. (2017). Rubaiyat: Senandung Cinta. Yogyakarta: Diva Press.

1932

Muhammad Faizul Kamal

Mahasiswa Aqidah & Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga. Tertarik pada sufisme, filsafat, kuburan, sastra, bulu tangkis, dan sepak bola.

Comments are closed.