DONASI

Mengapa Mereka Marah | Abdurrahman Wahid

Seorang kawan menanyakan, mengapa banyak pemuka masyarakat Islam marah kalau mendengar sebutan "kaum fundamentalis", atau tersinggung kalau ada orang membicarakan "issue negara Islam". Pertanyaan yang...

LEMBAR | WEDNESDAY, 1 MAY 2019 | 19:41 WIB

Seorang kawan menanyakan, mengapa banyak pemuka masyarakat Islam Marah kalau mendengar sebutan “kaum fundamentalis”, atau tersinggung kalau ada orang membicarakan “issue negara Islam”.

Pertanyaan yang patut direnungkan, karena ia menunjuk pada perkembangan sangat kompleks dalam kehidupan bermasyarakat kaum muslimin. Juga bersangkutan dengan kemelut identitas kultural muslimin di seluruh dunia, tidak hanya di negeri kita.

Pertanyaan kompleks sudah tentu tidak dapat dijawab sederhana. Membutuhkan renungan yang dalam, juga tidak kurang keberanian moral untuk melihat masalahnya dengan jernih. Dengan tidak hanyut oleh luapan marah, atau ketakutan yang disembunyikan rapat-rapat di balik kebanggaan akan perasaan kebanggaan kesejarahan diri sendiri, atau kegairahan menudingkan jari terhadap kesalahan “pihak lain” dalam percaturan politik, kultural, dan keagamaan yang dihadapi.

Juga memerlukan kesanggupan untuk menelusuri mana wilayah kehidupan yang hakikatnya menjadi “agenda pemikiran” kaum muslimin, dan membedakannya dari agenda semu yang kini dijajakan sebagai pertanda kebangunan kembali Islam.

Tulisan Abdurrahman Wahid di Majalah Tempo cetak, side effects of methandienone 29 Juni 1981

 

Pengagungan Diri

Kaum muslimin di mana-mana terbagi dalam dua kelompok utama: mereka yang mengidealisir Islam sebagai alternatif satu-satunya terhadap segala macam isme dan ideologi; dan mereka yang menerima dunia ini “secara apa adanya”.

Pihak pertama menganggap Islam telah memiliki kelengkapan cukup untuk menjawab masalah-masalah utama ummat manusia. Tinggal dilaksanakan ajarannya secara tuntas, tak perlu lagi menimba dari yang lain. Karenanya, kalau dianggap perlu ada dialog dengan keyakinan, isme atau ideologi lain haruslah ia diselenggarakan dalam rangka menunjukkan kelebihan Islam.

Seonggok “pembuktian” diajukan umumnya dengan mengemukakan jawaban idealistas yang pernah dirumuskan Islam. Sudah tentu jawaban itu dilandaskan pada pengandaian serba idealistis pula: “kalau saja ummat manusia mau mengikuti ajaran Islam (padahal kenyataannya tidak), jika para pemimpin menggunakan moralitas Islam (padahal hanya satu dua orang saja yang mampu)”, dan seterusnya.

Postulat-postulat formal Islam diajukan sebagai jawaban terhadap kemelut kehidupan masa modern, ayat-ayat Qur’an dan hadist Nabi sebagai tolok ukur lahiriyah satu-satunya bagi “kadar keislaman” segala sesuatu yang dikerjakan.

Postulat-postulat formal Islam diajukan sebagai jawaban terhadap kemelut kehidupan masa modern, ayat-ayat Qur’an dan hadist Nabi sebagai tolok ukur lahiriyah satu-satunya bagi “kadar keislaman” segala sesuatu yang dikerjakan.

Tak heran kalau sikap kritis terhadap keadaan sendiri tidak dapat dikembangkan sepenuhnya—terhalang oleh “sudah sempurnanya” Islam sendiri. Lalu menjadi wajar juga kecenderungan untuk hanya mampu mengagungkan diri sendiri yang memandang remeh perkembangan. Perkembangan apa pun di luar keasyikan kita dengan kehebatan Islam lalu tak memiliki nilai yang tinggi.

Kalau perkembangan di luar tidak dapat diabaikan, dicarikanlah alasan untuk menghindarkan pemikiran mendalam atasnya : “ini buah pemikiran komunistis, itu ide sekular” dan seterusnya. Semakin besar kenyataan di luar menghadang ufuk pandangan kita, semakin hebat upaya melarikan diri dari perwujudan konkretnya.

Kalau diajukan pemikiran untuk mencari jawaban yang konkret (bukan hanya idealistis) dengan jalan menghadapkan ajaran Islam pada kerangka berpikir baru yang bersumber pada isme, keyakinan, dan ideologi lain, maka cap kemurtadan, kekafiran, dan (lagi-lagi) sekuler dipakaikan pada usul itu sendiri.

 

Mental Benteng

Timbullah kemudian apa yamg dinamai oleh para pengamat sebagai “mental benteng”. Islam harus dipagari rapat-rapat dari kemungkinan penyusupan gagasan yang akan merusak kemurniannya. Tanpa disadari mental seperti ini justru merupakan pengakuan terselubung akan kelemahan Islam. Bukankah ketertutupan hanya akan membuktikan ketidakmampuan melestarikan keberadaan diri dalam keterbukaan? Bukankah isolasi justru menjadi petunjuk kelemahan dalam pergaulan?

Kalau kepada sikap jiwa seperti itu diajukan tuduhan oleh pihak luar akan adanya fundamentalisme atau tentang masih adanya pemikiran mendirikan “negara Islam” jelas rasa marah yang muncul sebagai reaksi. Bukankah karena ketakutannya terhadap “pengaruh negatif” luar, lalu ia curiga terhadap semua pendapat “orang luar” tentang dirinya? Bukankah kepekaan adalah hasil dari sikap mengunci pintu seperti ini?

Padahal penamaan sebagai Islam fundamentalis tidak ditujukan kepada semua kaum muslimin yang mengidealisir Islam dan menempatkannya sebagai alternatif tunggal bagi semua isme, keyakinan, dan ideologi yang ada. Cukup besar jumlah idealis muslimin yang mampu menerima kehadiran isme-isme lain dan melihat peranan agama mereka dalam fungsi mengarahkan isme-isme itu bagi kehidupan hakiki ummat manusia, entah nasionalisme, sosialisme, dan seterusnya.

Banyak sekali idealis muslimin yang melihat ideologi formal negara sebagai pengatur pergerakan politik, sedang Islam difungsikan terutama dalam pergaulan sosio-kultural. Jelas tidak semua kaum idealis muslimin fundamentalis. Kalau demikian mengapa hampir semua “idealis muslim” marah terhadap istilah di atas atau terhadap anggapan masih adanya aspirasi mendirikan “negara Islam” dan sebagainya.

Jelas tidak semua kaum idealis muslimin fundamentalis.

Karena mengurung diri dalam benteng mental yang mereka dirikan, semua penamaan “dari luar” lalu dianggap mengenai semua warga benteng, sebagai tuduhan serampangan dan prasangka buruk terhadap semua muslimin idealis yang berada dalam benteng. Simplifikasi permasalahan adalah metode pemikiran mereka, sehingga pemberian nama apa pun yang dirasakan tidak simpatik dianggap ancaman.

Memang jauh implikasinya bagi masa depan perkembangan Islam. Tapi sebenarnya kita tidak usah pesimistis dengan sikap jiwa seperti itu. Mengapa? Karena itu akan berkurang dengan sendirinya, kalau proses pendewasaan telah mempengaruhi cara berpikir.

Ini hukum alam. Berlaku untuk kaum muslimin maupun bukan.

Abdurrahman Wahid


M Miftachul Munif

* ) Diketik ulang oleh M Miftachul Munif dari Majalah TEMPO cetak, 29 Juni 1981.

449

Abdurrahman Wahid

Ulama sekaligus Intelektual Muslim Indonesia, pernah menjabat sebagai Presiden Indonesia ke 4 masa periode 20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001.

Comments are closed.