Istana Prawoto dalam Serat Centhini

Salah satu sumber lama yang menceritakan dengan cukup detail keberadaan Istana Prawoto, istana kesultanan Demak Bintara adalah Serat Centhini. Naskah yang ditulis pada tahun 1814 Masehi ini mengisahkan pengembaraan seorang spiritualis bernama Jayengresmi (Syeh Amongraga) dengan ditemani dua murid (santri) setianya, Gathak dan Gathuk.

Raden Jayengresmi Mengunjungi Istana Prawoto

Tokoh bernama Jayengresmi tidak lain adalah putra dari Sunan Giri Parapen, cucu dari Sunan Giri Kedaton, buyut dari Sunan Giri sepuh (Prabu Setmata), dan canggah dari Maulana Ishak.

Raden Jayengresmi melakukan perjalanan spiritual, mendatangi tempat-tempat keramat, menemui para bijak bestari, para resi, dan para sepuh-waskita. Bekas istana Majapahit di Trowulan menjadi titik permulaan, kemudian ke candi Brawu, diterukan ke candi Bajangratu, dilanjutkan ke candi Panataran di Blitar, arca Ki Gaprang di Gaprang, gong Kiai Pradah di hutan Lodhaya, dan ketemu Ki Carita di Pakel.

Perjalanan selanjutnya menuju mata air Sumberbekti di Tuban, berikutnya ke sendang Sugihwaras di hutan Bago di Bojonegara, tulang-tulang besar di gunung Phandan, gunung Gambiralaya, ketemu Ki Pandang di Phandangan, sumber api alam di Dhander, sumber minyak tanah di Dandhangngilo, ketemu Ki Jatipitutur di Kesanga, sumber air asin di Kuwu, ketemu Kiai Pariwara di Sela, melihat semburan bara api (Merapen) di Gubug dan bertemu dengan Dathuk Bhani.

Akhirnya Jayengresmi sampai di bekas istana Prawoto di Prawoto (sekarang di Pati, Jawa Tengah). Di Prawoto Jayengresmi dan kedua santrinya bertemu dengan Kiai Darmajati, tokoh sepuh di Prawoto kala itu.

Gambar: Letak Istana Prawoto

Dari istana Prawoto perjalanan dilanjutkan menuju Masjid Agung Demak, terus ke Jepara, ke gunung Muria ziarah ke makam Sunan Muria ketemu Buyut Sidhasedya, ketemu Wasi Kawiswara di Panegaran (Pekalongan), ke gunung Slamet ketemu Syeh Sekardelima, kemudian ke gunung Siwal ketemu Wasi Narwita.

Perjalanan dilanjutkan menuju ke gunung Ciremai ketemu Resi Singunkara, terus ke gunung Tampomas ketemu Syeh Trenggana, ke gunung Mandhalawangi ketemu Ajar Suganda, ke Bogor ketemu Ki Wargapati, lalu membangun pertapaan di gunung Salak. Di penghujung cerita Jayengresmi diangkat anak oleh Ki Ageng Karang atau Syeh Ibrahim lalu dibawa ke Gunung Karang, Pandeglang, Banten.

Ketika sampai di Prawoto Jayengresmi melihat istana Prawoto yang masih berdiri kokoh, lengkap dengan sarana bangunan pendukung lainnya. Jayengresmi mengetahui seluk-beluk bekas tempat terpenting pada masa kesultanan Demak itu setelah bertemu dan mendapat penjelasan Ki Darmajati. Sebagai seorang yang dituakan di Prawoto kala itu, Darmajati bertugas menjaga daerah Prawoto dan semua peninggalan penting di dalamnya.

Kiai Darmajati Menerangkan Detail Istana Prawoto

Syahdan, begitu memasuki wilayah Prawoto Jayengresmi kagum melihat bangunan megah. Dari kejauhan, bangunan yang menyerupai rumah besar itu sudah bisa dilihat. Di sendang Beji (mata air; sungai) Jayengresmi bertemu dengan seorang tua, tokoh di daerah setempat. Setelah berkenalan, Jayengresmi menjadi tahu bahwa orang di depannya adalah Darmajati, Kiai Lurah Prawoto.

Serat Centhini mengisahkan:

“Kèndêl dènnira umatur, praptane Ki Darmajati, nyakêti lênggahnya radian, saha aturira aris, dhuh risang nêmbe kawuryan, kula anggèr nilakrami. Pundi pinangka sang bagus, sintên sinambating wangi, rahadyan arum ngandika, kula aran Jayèngrêsmi, santri nagri Surapringga, saking umiyat Marapi. Paman punapi pilingguh, lan sintên ingkang wawangi, Darmajati nama kula, lurahing Prawata ngriki”.

Setelah tuan rumah dan tamu saling memperkenalkan diri, Kiai Darmajati mengajak para tamunya mampir ke rumah. “Bila tidak terburu-buru, mampirlah ke gubukku, Angger,” kata Darmajati mengajak tamunya dengan ramah. Dalam hati Jayengresmi merasa senang karena mendapat tawaran untuk singgah setelah sehari di perjalanan.

Jayengresmi menerima tawaran Darmajati. Setelah berjalan beberapa langkah menuju ke kediaman Darmajati, dia bertanya: “Itukah rumah Paman? Bangunan megah dan besar, ada pintu gerbangnya pula”.

Baca juga: Sunan Kalijaga, Tembang, Wayang, dan Waringin Sungsang

“O, bukan. Itu adalah Istana Prawoto, istana para sultan kerajaan Demak di masa lalu,” jawab Kiai Darmajati meluruskan ketidak-tahuan tamunya.

Rupanya Jayengresmi mengira, kediaman seorang lurah di Prawoto begitu mewah dan megah. Sampai-sampai terdapat pintu gerbang besar yang terbuat dari batu putih.

Sesampainya di depan bangunan megah yang lebih tepat disebut sebagai istana, Darmajati kemudian menceritakan dengan detail nama dan kegunaan yang sebenarnya dari peninggalan itu. Lebih detail Serat Centhini menceritakan:

“Lah punika wujuding kang puri, ing Dêmak sang katong, dados kalih jêng sultan kithane, bilih rêndhêng linggar dhatêng ngriki, wit Dêmak nagari, kalêban we jawuh. Yèn katiga wangsul mring nagari, nuntên kang ngadhaton, Susuhunan Prawata namine, akatêlah tumêkèng samangkin, karane kang ardi, Prawata puniku.”

Penggalan berita dalam Serat Centhini di atas menggambarkan keberadaan istana Prawoto, yaitu istana sultan Demak di Prawoto. Tidak hanya menegaskan adanya bangunan istana, Serat Centhini juga merekam keindahan panorama di sekeliling komplek istana.

Istana Prawoto, Selat Muria, dan Mata air Pemandian Raja

Istana Prawoto digambarkan dalam Serat Centhini menghadap ke selat Muria (di sebelah utaranya). Ketika Jayengresmi berkesempatan mengunjungi istana Prawoto, selat Muria itu telah beralih-rupa menjadi hamparan rawa-rawa seluas samudera. Bila malam purnama tiba, sinar bulan jatuh hingga ke dasar rawa mengenai segala jenis binatang air di dalamnya, menjadikan air rawa yang tenang memancarkan cahaya penuh warna.

Serat Centhini menceritakan:

“Ascaryambêg rahadèn ningali, ingkang têmbing êlor, rawa wiyar ngandhaping parêdèn, lir samodra sinaba ing pêksi, pêl-opêl lan mliwis, blêkok cangak kuntul. Bangothonthong pêcuk cabak trinil, rang-urangan abyor, andon mangsan mina myang urange, panjrah kadi sêkar tinon asri, wus slêsih ningali, rahadyan tumurun”.

Gambar: Segara Supitan yang Memisahkan Prawoto dengan Pegunungan Muria

Sementara di sebelah selatan istana Prawoto barisan pegunungan kapur (kendeng) memanjang ke timur sampai di wilayah Tuban. Di belakang bangunan istana (di sebelah selatan) terdapat hamparan tanah (semacam alun-alun) dan di sana masih tedapat dua pohon beringin yang berdiri berjajar.

Di sebelah timur laut dari bangunan istana, berjarak sekitar dua ratus lima puluh meter, di sana terdapat mata air alami bernama sendang Beji. Di sebelah barat sendang Beji berjarak tujuh ratusan meter, di sana juga terdapat mata air atau kolam pemandian bernama sendang Geruda atau Garuda.

Diterangkan, sendang Geruda merupakan tempat pemandian sang sultan Demak, termasuk juga sultan Hadi Mukmin. Ketika istana telah dikosongkan sang empunya, kolam pemandiannya menjadi tempat yang dikeramatkan.

Baca juga: Ejawantah Santri sebagai Identitas Nasional

Ketika Jayengresmi dan dua orang santrinya melihat-lihat tempat-tempat penting di sekitar istana Prawoto, kolam pemandian Geruda dihuni hewan bulus yang keramat. Seekor bulus besar menjadi raja bagi bulus-bulus lainnya. Ukuran kepala raja bulus itu disebutkan sebesar genuk (gentong kecil yang biasanya berfungi untuk menyimpan beras). Itu baru kepalanya, badannya tentu lebih lebar lagi.

Selain sendang Beji dan Geruda, Serat Centhini juga menyebut sendang Jibing sebagai tempat pemandian para putrid an kerabat raja. Diterangkan dalam Serat Centhini:

“Amangilèn mring pinggiring rawi, anon sumbêr ayom, binalumbang binatur pinggire, sela pêthak kukubuk pasagi, sajroning botrawi, ingkang pojok catur. Pinasangan sela gilang langking, winangun ambanon, botên kaclop we têbah kaote, jroning blumbang bulus agêng alit, samya bêlang putih, ngambang tata turut. Isthanira nambramèng kang prapti, Gathak Gathuk gawok, kathik bulus samono akèhe, gêdhe cilik padha bêlang putih, iku kang nglurahi, êndhase sak gênuk. Darmajati aturira aris, punika sang anom, wasta Grudha tilas siramane, sultan adi ing Dêmak nagari, sela-gilang langking, palênggahanipun. Miwah sabên wêdal anèng ngriki, nadyan shalat Lohor, datan bêntèr kayoman êronne, gayam nyamplung karèbèt waringin, sabên (ng)Garakasih, Jumngah malêmipun. Kathah ingkang tirakat mariki, dupa sêkar konyoh, nèng ngandhape kakajêngan (ng)gene, mangga radyan mariksa ing bèji, wastanipun Jibing, pasiramanipun. Para arum kang samya umiring, ing jêng sang akatong, wus dumugi ing Jibing têpine, gasik rêsik ayom silir-silir, ri-wusnya udani, Darmajati matur”. [Serat Centhini]

Tidak hanya itu, dari atas pepohonan terdengar kicauan burung-burung sehingga seperti alunan musik alam. Perpaduan antara bangunan gedung-gedung megah dengan pernak-pernik alam di sekitar, menjadikan istana Prawoto sebagai tempat tinggal raja yang lebih dari nyaman dan tiada duanya. Pantaslah para sultan memilih tempat itu sebagai tempat tinggal dan pusat pemerintahan (jumeneng nata).

Dari paragraf-paragraf di atas bisa dipahami, bahwa istana Prawoto, istana para sultan Demak di Prawoto adalah benar adanya (fakta). Berita keberadaannya diabadikan dalam babad dan serat, legenda dan dongengnya terus hidup dalam ingatan masyarakat Prawoto, dan bukti faktualnya masih bisa dijumpai sampai hari ini. Wallahu a’lam.

***

 

Ali Romdhoni
Penulis buku Istana Prawoto: Jejak Pusat Kesultanan Demak. Dosen Universitas Wahid Hasyim Semarang. Email: ali_romdhoni@yahoo.com