Pawon: Ruang Kultural dan Spiritual Perempuan Jawa

Kawasan Borobudur bisa dikatakan masih asri dalam hal tradisi masyarakatnya. Tradisi daur hidup seperti peringatan kelahiran hingga kematian, ataupun tradisi daur bulan seperti peringatan Suran, Saparan, Syawal, dan Besar masih banyak dijumpai di berbagai desa. Selain itu desa-desa juga seringkali memiliki agenda bersama lainnya yang melibatkan masyarakat secara menyeluruh baik itu level dusun maupun desa. Agenda-agenda tersebut misalnya acara keagamaan seperti haul, mujahadah, khotmil qur’an dan lain sebagainya. Peringatan daur hidup, daur bulan maupun peringatan insidental personal maupun kelompok adalah ruang-ruang kultural yang sudah ada sejak zaman nenek moyang. Dan pada setiap hajatan yang ada, para perempuan saling berkumpul di pawon, bergotong royong sejak hajatan di gelar hingga kelar.

Kegiatan memasak bersama dalam setiap hajatan mereka sebut dengan istilah rewang. Mereka umumnya tidak dibayar sesuai dengan jam kerja, dan sebagai gantinya si pemilik hajat akan melakukan rewang kepada mereka yang ikut membantu menyiapkan segala kebutuhan hajat terutama yang berkaitan dengan makanan. Dengan kata lain, mereka terikat pada pola balas budi, sebuah karakteristik masyarakat komunal yang juga umum terjadi di wilayah Jawa lainnya. Selain menjadi hutang budi, pemilik hajat juga biasanya memberikan beberapa materi berbahan mentah seperti beras, sayuran dan lain sebagainya. Pada hajatan yang digelar masyarakat terutama hajatan individual, kaum perempuan memegang peranan penting dalam mengatur seluruh keperluan hajatan. Namun demikian tidak berarti bahwa pihak laki-laki tidak memiliki peran, namun dalam kaitannya dengan urusan pawon, kaum perempuan adalah kunci. Hal yang sama juga terjadi pada peringatan-peringatan daur bulan, kaum perempuan memegang peranan kunci untuk menyukseskan acara terutama dalam kaitannya dengan persiapan makanan. Tetapi karena sifatnya kolektif, maka masing-masing individu memiliki tanggung jawab yang sama sesuai dengan porsi kemampuan masing-masing.

@doc.dit.KMA&EKsotika Desa/Yogasusila/2022

Tradisi rewang misalnya ditemukan di Desa Kenalan. Si penyelenggara hajatan atau yang bertanggung jawab akan mengundang warga khususnya tetangga kanan kiri untuk datang membantu menyiapkan acara dengan cara lisan. Di Desa Kenalan undangan untuk rewang disebut sebagai atur-atur. Namun berbeda halnya dengan acara kematian, tetangga atau warga umumnya tidak perlu diaturi karena mereka sudah langsung sigap datang ke tempat yang terkena musibah. Setelah hajatan selesai, penanggung jawab hajatan biasanya memberikan bingkisan kepada tetangga atau warga yang diatur-aturi sebagai bentuk terimakasih telah membantu mensukseskan acaranya. Ungkapan terimakasih disini tidak saja merujuk pada tenaga yang telah dikeluarkan oleh tetangganya, namun juga kerelaannya meluangkan waktu untuk membantu meski tidak di bayar.

Dari tradisi rewang ini kita bisa memahami bahwa masyarakat Borobudur umumnya, baik yang terletak di pucuk Menoreh ataupun di pinggiran Candi Borobudur, masih sangat kental dengan semangat gotong royong dalam berkehidupan. Tradisi ini juga mengajarkan bahwa pada hakikatnya manusia tidak bisa hidup sendiri dan selalu membutuhkan orang lain. Tradisi rewang ini barangkali nampak sekadar masak-memasak di pawon, namun jika kita telisik lebih jauh, tradisi rewang tidak sesederhana memasak bersama. Hal tersebut disampaikan oleh salah seorang warga Desa Kenalan, Ibu Hartini “yo pancen koyone mung masak, tapi po iyo nek okeh, masak dewe isoh mateng kabeh (Iya memang kelihatannya hanya memasak, tetapi apa iya kalau memasak dalam jumlah banyak, masak sendiri bisa matang semua?) tuturnya dalam suatu kesempatan rewang-rewang.

Tradisi rewang ini barangkali nampak sekadar masak-memasak di pawon, namun jika kita telisik lebih jauh, tradisi rewang tidak sesederhana memasak bersama. Hal tersebut disampaikan oleh salah seorang warga Desa Kenalan, Ibu Hartini “yo pancen koyone mung masak, tapi po iyo nek okeh, masak dewe isoh mateng kabeh (Iya memang kelihatannya hanya memasak, tetapi apa iya kalau memasak dalam jumlah banyak, masak sendiri bisa matang semua?) tuturnya dalam suatu kesempatan rewang-rewang.

Tidak jauh dari Desa Kenalan, tradisi rewang juga terjadi di Dusun paling atas dari Desa Majaksingi yakni Dusun Kerug Batur pada saat mereka menyiapkan peringatan nyadran di Bulan Ruwah. Pada bulan tersebut warga Kerug Batur melakukan beberapa upacara tradisi seperti berseh makam dan kenduri. Meskipun masyarakat Kerug Batur terbagi menjadi dua keyakinan, namun komunikasi mereka sangat cair. Kenduri sendiri dilakukan dengan dua cara peribadatan yakni doa dengan cara Islam dan cara Katolik dengan dipimpin oleh tokoh agama masing-masing. Komunikasi yang sangat cair antar warga yang berbeda keyakinan tidak saja terjadi pada level peribadatan, namun juga pada level pengolahan makanan di pawon. Para perempuan ini mengolah makanan sembari bercerita, mendiskusikan banyak hal, dan sisanya mereka lakukan untuk bercanda. Bu Sisil misalnya, ia datang ke rumah Bu Win yang saat itu menjadi tempat diselenggarakannya hajatan untuk rewang. Sebagai pemeluk agama Katolik, ia menyandang simbol salib di kalung yang ia pakai. Namun bagi orang baru yang melihat cara dia berkomunikasi dan tidak memperhatikan simbol agama yang kenakan, tentu tidak akan menyangka bahwa ia Katolik. Pasalnya, dalam bercandanya ia selalu mengucapkan kalimat-kalimat islam seperti alhamdulillah, Ya Allah, dan kalimat-kalimat bernafaskan Islam. Bukti cairnya komunikasi di antara mereka adalah tidak adanya warga yang merasa terganggu dengan apa yang dilakukan Bu Sisil, dan mereka melanjutkan percandaan mereka dengan hal-hal lainnya. Rumah Bu Win saat itu penuh oleh warga yang ikut membantu persiapan kenduri tingkat dusun. Para perempuan di pawon menyiapkan hal-hal yang berkaitan dengan makanan, sementara para pria membantunya dengan menyiapkan hal lain seperti menyembelih kambing dan ayam yang juga didoakan dengan dua agama.

 Sebagaimana yang terjadi di Dusun Kerug Batur, di daerah semi urban Wanurejo, pawon juga menjadi ruang kultural strategis, menjadi ruang perjumpaan antara yang domestik dan publik. Beragam hajatan yang digelar, baik hajatan berskala kecil seperti peringatan daur hidup, maupun hajatan dalam skala yang lebih luas seperti peringatan saparan misalnya, masing-masing warga Wanurejo yang terlibat saling bergotong royong menyukseskan acara dengan pembagian peran masing-masing. Para perempuan kemudian mendapatkan perannya untuk berada di pawon. Pada skala hajatan terkecil seperti syukuran biasa atau peringatan daur hidup, tradisi rewang atau rewangan masih bisa dijumpai.  Tradisi rewang yakni agenda memasak secara bersama-sama untuk memenuhi kebutuhan hajatan. Warga yang memiliki hajat biasanya terlebih dahulu menginformasikan kepada tetangganya, meminta mereka untuk terlibat di pawon. Dalam pelaksanaannya, peran perempuan sangat mendominasi dan peran laki-laki sangat minim. Hal tersebut tidak menjadi indikator relasi superioritas laki-laki, namun sebaliknya adanya dominasi ini memberikan gambaran mengenai sistem pembagian peran. Hal tersebut dikarenakan kaum laki-laki memiliki peran lain seperti pendirian tenda hajatan, perlengkapan rumah, dan pekerjaan lain yang berkaitan dengan hajatan. Pembagian peran tersebut menjadi dasar bagi sebagian pihak untuk menstigma perempuan Jawa sekadar menjadi wong mburi atau konco wingking, padahal yang terjadi, pawon yang dalam arsitektur Jawa terletak di samping atau di belakang (wingking/mburi) memiliki fungsi vital dalam sebuah perhelatan hajatan. 

Pembagian peran tersebut menjadi dasar bagi sebagian pihak untuk menstigma perempuan Jawa sekadar menjadi wong mburi atau konco wingking, padahal yang terjadi, pawon yang dalam arsitektur Jawa terletak di samping atau di belakang (wingking/mburi) memiliki fungsi vital dalam sebuah perhelatan hajatan. 

“Lha nek gawean ngene iki sing ngayahi wong lanang yo cetho ora dadi” (Kalau pekerjaan seperti ini yang mengeksekusi adalah kaum laki-laki ya tentu gak bakal jadi), celoteh Mbak Mita yang disambut gelak ibu-ibu seisi dapur saat mereka menyiapkan makanan sodaqohan pada April 2022 lalu. Interaksi para ibu-ibu saat rewang sangat cair sekaligus hangat. Pawon kemudian menjadi ruang kultural bagi para perempuan untuk saling memupuk kekeluargaan, kekompakan, dan rasa memiliki satu sama lain. Meskipun di dalam kelompok ibu-ibu ini pasti ada yang lebih dituakan, solidaritas antar ibu-ibu telah terbangun secara organik melalui interaksi-interaksi humanis non-struktural. Pun tidak ada pemisahan antara yang sudah dianggap jago dan belum terlalu bisa memasak, bahkan pawon dan tradisi rewang ini menjadi tempat dan sekaligus media pembelajaran bagi siapa saja yang menginginkannya.

 Apa yang terjadi di Dusun Kerug Batur Desa Majaksingi, Desa Kenalan, dan Desa Wanurejo menjadi bukti bahwa pawon yang seringkali dianggap sebagai ruang yang mengungkung perempuan, justru menjadi ruang kultural yang sangat strategis. Fungsi pawon yang pada mulanya memiliki fungsi pokok sebagai ruang untuk mengolah makanan, kemudian menjelma menjadi ruang untuk konsolidasi, menciptakan kesepakatan bersama, menjadi ruang edukasi, serta menguatkan solidaritas antara warga satu dan yang lain. Dalam ruang yang disebut pawon, tercipta saling keterhubungan antar subjek.

Selain itu, pawon yang dianggap sebagai ranah domestik yang mengukung perempuan, rupanya merupakan salah satu ruang paling urgent dalam rangka kontrol sosial, konsolidasi, maupun rekontekstualisasi tradisi.

Selain itu, pawon yang dianggap sebagai ranah domestik yang mengukung perempuan, rupanya merupakan salah satu ruang paling urgent dalam rangka kontrol sosial, konsolidasi, maupun rekontekstualisasi tradisi. Dalam tradisi Jawa, pawon bisa dikatakan menjadi ruang domestik sekaligus publik, karena pada dasarnya masyarakat Jawa tidak membagi keduanya menjadi sebuah dikotomi yang berlawanan, namun yang publik dan yang domestik bertemu dalam sebuah ruang yang bernama pawon. Karena itu, perempuan pada dasarnya adalah penentu yang menjadi kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Pendefinisian, penentuan dan pelabelan atas sesuatu seringkali ditentukan di pawon, dalam selimut tradisi yang disebut rewang.


Disclaimer: Penulis terlibat dalam program pengembangan wisata budaya spiritual di Kawasan Borobudur, yang didanai oleh Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Kemendikbud Ristek tahun 2022.

Editor. Moh Hagie

Chusnul C
Chusnul C., adalah alumni CRCS UGM. Menyukai isu yang berkaitan dengan budaya, agama, lingkungan, tourism, jurnalisme, dan pop culture. Bisa dikunjungi di akun Instagram @ichuslucky.