Perkenalan dengan buku ini dimulai ketika kira-kira awal April 2022, salah seorang staff pengelola penerbit Buku Langgar menawarkan terbitan buku barunya. Ketertarikan saya muncul bukan karena judul bukunya. Terus terang saya tidak mengenal tokoh Ki Slamet Gundono. Saya justru tertarik setelah membaca tulisan di belakang sampul buku yang menceritakan Yusuf Efendi, sang penulis, yang merasa “laku” penulisan buku ini sebagai bagian dari upayanya untuk kembali ke habitat orang Jawa yang beragama Islam.
Pemicu atau “hidayah” yang menggerakkan Yusuf Efendi untuk menelusuri dan menekuni habitat Jawa adalah ketika pertama kali mendengarkan album Julung Sungsang karya Ki Slamet Gundono di tahun 2014. Sejak itu, Yusuf Efendi mulai menyusun kerangka tulisan tentang Ki Slamet Gundono. Fase ini diyakini oleh Yusuf Efendi sudah sesuai dan pas dengan umur yang seharusnya sudah menep (mengendap) umurnya secara spiritual.
Begitupun juga Ki Slamet Gundono. Buku Bocah Cilik Nggambar Jagad menceritakan kisah perjalanan Ki Slamet Gundono sebagai dalang, seniman, dan budayawan Jawa. Perjalanan yang berliku-liku, jatuh bangun dalam pencarian jati diri dan sudah tentu banyak melewati persimpangan jalan, baik kehidupan rumah tangga dan proses kreatif karya tradisi Jawa.
Saya sendiri membayangkan bagaimana pergolakan Ki Slamet Gundono membawa konsep wayang tradisional (Dunia Timur) ke dalam dunia kontemporer (Dunia Barat) saat itu pasti sangat berat. Ki Slamet Gundono melakukan upaya radikal dalam perannya sebagai Dalang. Memodifikasi wayang sekaligus melakukan harmonisasi agar khalayak masyarakat bisa menyerap (secara instan) nilai-nilai luhur sebuah pagelaran wayang. Dapat dibayangkan berapa banyak nilai-nilai wayang yang akan tereduksi.
Yusuf Efendi dan Ki Slamet Gundono mungkin bukan satu-satunya orang yang sedang mencari jati diri dan berkeinginan kembali ke habitatnya. Jauh sebelum Indonesia lahir, para leluhur kita pun sudah mengalaminya dan memberi pedoman bagi pemegang tradisi untuk mengarungi era Modern. Saya teringat dalam Buku (biografi) Tahta Untuk Rakyat : Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, Gusti Raden Mas Dorojatun menyampaikan sikapnya dalam pidato Jumenengan Sultan HB IX pada hari Senin Pon, 18 Maret 1940 jam 11 pagi :
[original Bahasa Belanda] : Dat de taak die op mij rust, moeilijk en zwaar is, daar ben ik mij tenvolle van bewust, vooral waar het hier gaat de Westerse en de Oosterse geest tot elkaar te brengen, deze beide tot een harmonische samenwerking te doen overgaan zonder de laatste haar karakter doen verliezen. Al heb ik een uitgesproken Westerse opvoeding gehad, toch ben en blijf ik in de allereerste plaats Javaan. Zo zal de adat, zo deze niet remmend werkt op de ontwikkeling, een voorname plaats blijven innemen in de traditierijke Keraton. Moge ik eindigen met de belofte dat ik de belangen van Land en Volk zal behartigen naar mijn beste weten en kunnen.
[terjemahan] : Saya sepenuhnya menyadari bahwa tugas yang ada pada saya adalah sulit dan berat, terutama karena ini menyangkut mempertemukan jiwa Barat dan Timur, untuk membawa mereka berdua ke dalam kerjasama yang harmonis tanpa harus kehilangan kepribadiannya. Meskipun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, namun pertama-tama saya adalah orang Jawa dan tetap menjadi orang Jawa. Maka selama tak menghambat kemajuan, adat akan tetap menduduki tempat yang utama dalam Keraton yang kaya akan tradisi ini.
Izinkan saya mengakhiri pidato saya ini dengan berjanji, semoga saya dapat bekerja untuk memenuhi kepentingan Nusa dan Bangsa sebatas pengetahuan dan kemampuan yang ada pada saya.
Kembali ke dalam tema resensi, di dalam buku ini Yusuf Efendi mengemas secara baik babad–krononologis sekaligus mengkombinasikan strategi pendekatan penulisan dengan metoda Etnografi, yaitu pendekatan kondisi sosial masyarakat pada saat Ki Slamet Gundono hidup. Semacam usaha interpolasi dan ekstrapolasi untuk mengisi kekosongan informasi sisi kehidupan Ki Slamet Gundono.
Hal lain yang menarik bagi pembaca yang belum mengenal Kosmologi Jawa, Yusuf Efendi mencoba menguraikan konsep lebih mendalam mengenai tembang (sekar), beberapa tradisi Jawa dan juga penjelasan istilah Jawa dalam bentuk catatan-catatan kaki (footnote), sehingga sangat bagus dan membantu memahami alam kapujanggan Jawi.
Buku Bocah Cilik Nggambar Jagad ditutup dengan Bab Sekar. Sekar dalam bahasa Jawa artinya bunga atau kembang. Namun Sekar juga bisa berarti sebagai tembang (dasanama). Ki Slamet Gundono semasa hidupnya banyak menulis banya tembang dengan berbagai tema spiritual, kemanusiaan, cinta kepada orang tua, dan sebagainya. Beragamnya tema itu juga mencerminkan proses pencarian jati dirinya.
Akhirul kalam, buku ini sangat baik dan bagus untuk dibaca karena kaya akan informasi mengenai bagaimana Yusuf Efendi membaca Jawa dengan kacamata orang Jawa (etnografi) dan bagaimana jatuh bangunnya Ki Slamet Gundono tetap selalu konsisten berkarya sebagai seniman atau budayawan Jawa.
Cirendeu, Selasa Kliwon, 24 Mei 2022
Judul : Bocah Cilik Nggambar Jagad, Catatan Etnografis Biografi Ki Slamet Gundono Penulis : Yusuf Efendi Penerbit : Buku Langgar Tebal Buku : xx+360 Ukuran Buku : 13x20 cm Cetakan : Cetakan Pertama, Maret 2022 Harga : Rp.120.000
Leave a Reply