Bismillahir-rahmanir-rahim.
Sengaja saya tuliskan basmalah. Supaya berkahnya merembesi setiap yang tertuang dalam tulisan ini. Juga supaya landasan penjelasan di dalam tulisan ini, dipahami sebagai berangkat dari nafas rahman-rahim tersebut.
Dua tahunan lalu, oleh paman saya diberi anakan kucing (kitten). Usut dan selidik, kitten tersebut dimaksudkan sebagai teman bermain anak saya yang saat itu hampir berusia setahun. Saya merawat si kucing itu dengan perasaan rawan dan rentan. Karena belum pernah punya pengalaman ngopeni kucing, secara intensif. Pelan-pelan rasa sayang hadir. Ia—sesuai kesepakatan kami namai Popon—jadi kucing kesayangan kami. Tiap ada kucing liar bertandang, mengganggu Popon, kukejar si liaran itu dengan semangat berperang—melawan musuh keluarga.
Tanpa pengetahuan memadai tentang perkucingan, bisa dibilang, walaupun tercurahi kasih sayang, perawatan yang diterima Popon seadanya. Lazimnya, secara berdawam, kucing-kucing keluarga dipotong kuku-kukunya, dikandangkan, disiapkan tempat berak-kencing (pup dan pip), dicek kondisi kesehatannya, diasupi vitamin dan antibiotik dan obat-obat yang menunjang tumbuh kembang ideal, dan… semua tak kulakukan.
Saya punya alasan sendiri. Potong kuku si kucing, bagi saya justru membatasi gerak alami dan mengurangi kecakapannya membela diri ketika datang ancaman kucing liar; Mengkandangkan si kucing, tak ubahnya merangket kebebasannya. Dan alasan-alasan lain yang sebenarnya tabu bagi para pencinta kucing.
Karena tidur di luar rumah, semakin besar ia mulai doyan dolan. Lebih-lebih saat usianya masuk siklus birahi, ia sering tak tidur di rumah. Menunggui, sekaligus ikut menginap di tempat cewek yang dikejarnya. Keseringan tak pulang, ia punya tabiat baru, makan sembarangan, tak lagi jinak, tahu caranya memberontak. Kasih sayang saya, juga keluarga, semakin hari semakin berkurang. Si kucing sering kami abaikan. Padahal ini pantangan besar bagi pemilik kucing, setidaknya minimal sekali dalam sehari kucing harus diberi belaian tanda sayang dan diajak bermain, supaya kucing tidak merasa terabaikan hingga akhirnya stress dan depresi—begitu menurut kitab perawatan para pencinta kucing.
Bersamaan dengan berkurangnya intensitas kasih sayang pada Popon, ada anakan kucing, entah dari mana, mengeong di dekat rumah. Ternyata kucing kecil itu masih sangat kecil. Belum saatnya disapih dari ibunya. Hampir pasti, dan akhirnya memang terkonfirmasi, bahwa kucing itu anak buangan. Ibunya mati keracunan—atau mungkin kalaparan. Kucing itu berwarna oranye. Ia masih belum bisa makan sendiri, tubuhnya sangat kurus, matanya belekan, dan mencret. Sempurna sudah derajatnya sebagai mustadhafin. Saya kasihan, lalu saya rawat.
Dengan ketelatenan, si oranye ini akhirnya tumbuh sehat. Ia sempat cacingan, saya belikan dan suapi obat cacing. Saya belikan makanan basah, karena ia belum bisa mengunyah makanan kering. Seiring waktu, saya lebih sayang dengan si oranye. Si kucing mbarep masih sering pulang kalau lapar, namun seperti kami yang sudah cuek padanya, ia pun persis sama—sak karepe dewe.
Sejak memiliki pengalaman mengasuh kucing, saya jadi memiliki kepekaan untuk memperhatikan dan dalam porsi tertentu memikirkan bagaimana nasib kucing-kucing selain kucing keluarga kami. Misalnya, saat sedang jajan lalu mendekat kucing liar, muncul rasa kasihan, dan memikirkan apakah ia sudah makan atau belum, sehat badannya atau tidak, dan seterusnya. Juga, satu pertanyaan yang kerap muncul, mengapa kucing kampung atau kucing domestik tak lebih disayangi daripada kucing ras? Sederhananya, dari satu pengalaman merasakan tumbuhnya kasih sayang pada kucing tertentu, menumbuhkan potensi menyayangi kucing secara umum.
Batas(an) Alam(i)
Pada lafal basmalah, tersurat dua asma Allah: Rahman dan Rahim. Dalam terjemah paling populer, rahman diartikan sebagai kasih, dan rahim diartikan sayang. Lantas terbaca, “yang Maha Pengasih dan Penyayang” sebagai terjemahan Ar-Rahman dan Ar-Rahim pada basmalah. Pengartian seperti ini tentu sulit dipahami, karena kasih dan sayang sering dipertukar-gunakan dengan maksud yang sama. Bahkan dimajemukkan menjadi kata yang sering kita ulang-ulang: “kasih sayang”. Bagi saya, pemaknaan sejenis ini belum (cukup) memadai.
Ada satu pemaknaan yang menurut saya lebih memadai, yakni makna tradisional pesantren. Dalam makna yang biasa dibabar di pesantren, rahman diartikan, kang maha welas asih ing dalem dunya lan akhirat. Sedang rahim dimaknai, kang maha welas asih ing dalem akhirat blaka. Artinya Allah sebagai Ar-Rahman, memiliki sifat penyayang secara umum, merata, tanpa pilih-pilih—semua disayangi. Sedangkan, Allah sebagai Ar-Rahim, memiliki sifat penyayang khusus, hanya berlaku pada hambanya yang berbakti dan taat kepada garis aturan-Nya, sehingga pada akhirnya mereka diberi balasan surga—hanya berlaku di akhirat.
Bagaimana dengan manusia, yang sepertinya lema “kasih sayang” adalah lema terlampau kerap disebut? Kerapnya kata kasih sayang disebut, menjadikan orang sudah merasa memahami maknanya begitu saja. Kasih sayang juga disepadankan dengan “cinta” dalam tingkat kepopulerannya.
Walaupun manusia—dalam hal ini umat Islam—kerap melafalkan bismillahi ar-rahmani ar-rahimi, namun hal ini belum bisa dianggap bahwa pemahaman tiap penggal katanya sudah selesai. Ar-Rahman, sebagaimana merujuk makna pesantren, sebagai kasih sayang universal, dan Ar-Rahim sebagai kasih sayang spesifik dalam level praktik hanya privilese Allah belaka. Tidak ada manusia yang akan mampu memanifestasikan keduanya secara beriringan, berpadu padan.
Alasan pertama, manusia lahir dari rahim (ibu atau perempuan). Rahim sendiri merupakan kata serapan yang bisa langsung telan dari—itu tadi—Ar-Rahim yang bahasa Arab. Mengapa kandungan ibu disebut rahim, bukannya rahman? Bagi saya, sudah jelas, bahwa seorang perempuan adalah manifestasi paling nyata dari “kasih sayang spesifik” berlevel radikal. Artinya, kehidupan manusia terlahir dari kekapan rahim, bukan rahman. Maka, tidak ada kemusykilan lagi, ketika dunia yang berisi manusia, manusia, dan manusia yang saling bersulang hubungan, banyak terjadi benturan kepentingan, karena masing-masing membawa panji kasih sayangnya sendiri yang terbatas, sempit bahkan eksklusif.
Alasan kedua, manusia bukan tuhan. Dan oleh sebab itu, ia tidak mungkin mampu menyayangi semua yang ada selain dirinya sendiri dan orang-orang yang berada di lingkarannya sendiri. Kasih sayang tuhan bersifat alami, karena Dia adalah pencipta, sumber segala ada. Sebagaimana seorang ibu atau bapak yang tetap menyayangi anak-anaknya walaupun nakal dan membangkang, tuhan—dalam penalaran paling kasar—tak ubahnya bapa-biyung itu tadi.
Jadi walaupun cinta dan kasih sayang adalah kata yang kerap diucapkan dan disampaikan, tetap saja kedua kata ini adalah bahasa yang paling sering dipunggungi maknanya. Pegalaman saya saat memperlakukan kucing tetangga, lebih-lebih kucing liar, dibanding kucing saya sendiri, adalah bagian dari memunggungi kasih sayang tersebut. Kalau mau lebih konkrit, anak. Apakah ada yang berani berikrar lebih memilih anak orang lain daripada anaknya sendiri? Atau yang lebih ringan bobotnya: saudara, teman, kenalan. Apakah orang yang kita kenal akan kita perlakukan sama ketika misalnya mau meminjam uang? Secara alami kasih sayang manusia terbatas dan pilih-pilih.
Mengetahui Batasan, Baru Berpikir Melampauinya
Keterbatasan manusia, baik oleh dirinya sendiri maupun lingkungan bukanlah terali kebebasan, melainkan potensi bertumbuh. Saat seseorang berjalan, harus ada titik pijak dan titik mula. Kehadiran yang tiba-tiba ‘ada dari tiada’ adalah mustahil. Dan pada manusia—katakanlah saya—untuk merengkuh pencapaian tertinggi dalam hidup, butuh langkah awal yang nampaknya sepele. Langkah itu adalah mengenali diri sendiri, dan orang-orang di sekitar saya, baru maju atau meluas ke mana saja, serambatan dengan mekarnya (resonansi) langkah saya.
Unen-unen “tak kenal maka tak sayang” sebenarnya adalah idiom yang menjebak. Idiom itu meloncati setidaknya satu proses gerak, yakni pengetahuan. Bagi saya, tahapan lazimnya adalah kenal, mengetahui, baru bisa menyayangi.
Maka, kembali, menilik kisah perasaan saya terhadap kucing, dimulai dari kucing yang saya kenali dulu. Saya tahu ia butuh makan sekian kali untuk sehat, kadang butuh diobati ketika terkena jamur atau cacingan, serta untuk dapat mendapatkan kepaduan rasa sayang saya butuh mencurahkan dan membuktikan rasa sayang saya lebih dulu, dan seterusnya. Dari satu kucing yang benar-benar saya kenali, saya memiliki pengetahuan tentang kucing tersebut. Dari pengetahuan itu, saya baru bisa mengatakan “saya menyayanginya”.
Karena saya lahir dari rahim ibu saya, orang pertama yang harusnya saya kenali adalah ibu. Ketika perkenalan itu intensif, saya memiliki pengetahuan memadai tentang ibu saya, dan akhirnya saya menyayanginya. Ini logika dari sudut perasaan anak. Logika orang tua berbeda. Kalau orang tua, ia terkondisikan untuk menyayangi terlebih dahulu. Karena bagi ibu, khususnya, anak adalah satu-satunya orang yang ia tahu tak akan bisa hidup tanpa kasih sayangnya. Inilah alasan mengapa kasih sayang anak dan ibu tidak akan pernah setara. Sampai kapan pun.
Jadi, istilah ‘pilih kasih’ atau memilih untuk lebih menyayangi siapa daripada siapa (yang lain) bersifat alami, dan memang hal ini merupakan langkah pertama yang harus dilalui sebelum menapak kasih sayang lebih luas.
Pernyataan ini sesuai dengan karakter alam—perhatikan kasih sayang induk hewan terhadap anaknya. Bolehlah kembali kita ambil contoh kucing. Andai induk kucing seketika meninggalkan anaknya, tanpa disusui dan dijaga pertumbuhannya, anakan kucing secara alami pasti mati. Mencintai, menyayangi yang terdekat adalah alami.
Perihal kasih sayang, kita tidak bisa terus-terusan membicarakan kucing. Karena seperti kita ketahui, bahwa manusia memiliki potensi dan variabel perubahan yang khas, nyaris tak terbatas. Kucing dibatasi oleh insting, begitu pun dengan hewan lain. Begitu pun dengan—maaf—manusia yang tidak mencoba melampaui naluri bawaannya sebagai makhluk daging.
Dulu, tak ada yang dapat memprediksi secara rinci, hadirnya internet, atau listrik yang lebih dulu, mengubah pola hidup manusia sedemikian rupa. Namun perubahan pola hidup itu terus terkait dengan naluri dan kebutuhan bawaan (basic needs) awal. Pola makan dan variasi lauk, tidak mengubah fakta naluriah bahwa manusia butuh makan. Pola komunikasi dan ekspresi cinta yang taksa, tidak mengubah fakta bahwa manusia butuh bersenggama. Pola beragama dan memaknai hidup yang terhampar, tidak mengubah fakta bahwa manusia butuh bahagia dan menghindari gelisah.
Jadi bila ada sinisme terhadap orang yang belum bisa atau tak mau menyayangi selain orang-orang di lingkar terdekatnya, justru sinisme itu sendiri merupakan pemunggungan terhadap fitrah dirinya. Pembahasan akan berbeda, ketika menyoal dorongan untuk melampaui batasan umum. Mereka, yang ingin merobohkan batas kedagingan—kualitas hewan—adalah pionir kemanusiaan.
Segara dan Lambang Jiwa Pencinta
Setelah memahami karakter bawaan sendiri—yang cenderung pilih kasih—lalu melampauinya, orang tersebut latas dijuluki ‘adimanusia’ atau manusia suci, atau manusia setengah dewa. Dalam alam spritual Islam, orang-orang suci tersebut dikenal sebagai para nabi dan wali. Walaupun ada sebagian kalangan Islam yang menolak kewalian, saya justru sebaliknya. Saya pikir, relevansi, sekaligus faktualisasi nilai kenabian, baru bisa dipahami melalui kajian tentang kewalian. Dan, di sini, saya memang sedang ingin menegaskan bahwa penanda utama dari seorang wali adalah kasih sayangnya yang nyaris tanpa pilih kasih. Saya tidak mungkin menanggalkan kata “nyaris” karena faktanya mereka masih manusia. Dan manusia menangung paradoks berkah dan kutukan sekaligus, yakni batasan hasrat dan ketubuhan. Dalam penjelasan kasuistik saya telah membahasnya pada tulisan saya tentang Mbah Mutamakkin.
Para wali ini, dalam perkara kasih sayang, sering dipercaya memiliki ati seng nyegara, atau hati yang menyamudera. Mereka terus membaktikan diri demi keberlangsungan semesta raya melalui ekspresi kasih sayang tanpa henti. Kasih sayang mereka mendahului segala kualitas apa pun. Nama-nama masyhur semisal Ibn ‘Arabi, Rumi, Rabi’ah Al-Adawiyah, menyenandungkan kasih sayang rahmani (universal) itu melaui syair-syair dan aforisma. Dan tentu saja, Kanjeng Nabi Muhammad adalah puncak dari manifestasi kasih sayang di level makhluk.
Kembali lagi, ketika kasih sayang rahmani sudah mampu dikekap, yang khusus tidak perlu dibahas lagi. Artinya, mereka, para wali, terus menjaga berdetaknya eksistensi kasih sayang rahmani bersamaan dengan kasih sayang rahimi yang sebelumnya sudah terlampaui jauh-jauh hari.
Seorang sufi penyair berkata:
Akankah engkau menganggapnya aneh
Jika Hafidz berkata,
“Aku sedang jatuh cinta pada setiap gereja
Dan masjid
Dan biara
Dan tempat suci lain
Karena aku tahu di sanalah
Orang menyebut beragam nama
Tuhan Yang Esa.” (Daniel Ladinsky, 2004: 37)
Ada cerita menarik, namun tidak untuk ditiru secara gegabah. Seorang teman, berkisah tentang aksinya. Ia datang ke makam satu wali. Ia datang bukan untuk berziarah, mengirim doa dan penghormatan sebagaimana lazimnya peziarah. Ia datang untuk “mengumpat” shahibul makam tersebut.
Apa tidak takut kualat? Justru salah satu penanda benar wali atau tidak—ghalibnya—tidak akan semudah itu memberikan tulah hanya karena sumpah serapah yang ditujukan kepadanya. Ketika ada kasus celaan, cibiran, hinaan, dibalas serupa, biasanya kedua belah pihak masih di taraf yang sama. Kanjeng Nabi, telah berulang-ulang kali meneladankan hal itu. Dan, para wali yang tak bukan merupakan penerus keruhanian Nabi, tentu akan sealami mungkin berlaku serupa. Kasih sayang mereka melebihi dan menelan ego pribadi sendiri.
Benar. Kejadian ini tidak mengada-ada. Si pengumpat masih hidup, sehat, dan bahkan sepertinya sedang mendaftarkan diri sebagai wali juga. Atau, mungkin sudah resmi menjadi wali. Entahlah, jelas saya tidak tahu.
Menyimak cerita musykil semacam itu, saya lantas menodong penjelasan. Alhasil, apa yang disampaikan, saya pikir, malah lebih geblek lagi.
Kata si pengumpat,
“Lha, dekne ngetok terus nak ngipi e”
(Lha, dia terus-terusan muncul dalam mimpi saya)
“Memberi petunjuk ini-itu, jangan begini-begitu”
“Tak pisuhi”
(Maka dia saya umpat)
“Memangnya kalau kamu wali, sudah hebat, jalan hidupmu dan jalan hidupku berbeda!”
“Ojo ngetok-ngetok meneh!”
(Jangan muncul-muncul lagi!)
Geblek ura ngunu kui? Di saat kebanyakan orang bertirakat ini, puasa itu, mengupayakan syarat begini-begitu supaya dapat sekedar berjumpa dengan sosok yang dipercaya sebagai wali, ini malah ada yang sudah ditemui dan dituturi, malah misuh. Tidak masuk akal. Setidaknya bagi akal awam, seperti saya, yang tidak punya bakat jadi wali.
Usut dan selidik, ternyata alasan dari kegeblekan itu, karena ia melihat pentingnya meniti jalan suluk sendiri, yang khas, sesuai dengan kondisi kehidupan seseorang. Baginya, tidak mungkin menapak jalan suluk dengan menilas (salin-tempel) jalan orang lain. Itu semua kalau mengingini perengkuhan pencapaian yang minimalnya sama. Kalau pun akhirnya bisa wushul (sampai pada apa yang dituju), pengorbanan yang harus dibayar akan terlalu mahal. Misal, morat-maritnya ekonomi, terkucil dari masyarakat, sakit-sakitan, bertapa di belantara meninggalkan keluarga dan seterusnya.
Walaupun sebenarnya tidak ada yang ‘terlalu mahal’ untuk sebuah pencapaian besar, namun tetap saja lebih elok jika semua hal berselaras—alon-alon waton kelakon. Bagi seorang teman, yang sepertinya serius mendaftar wali itu, suluk adalah ketaatan dan penerimaan seseorang terhadap fitrah hidupnya yang khas. Sekali lagi, benar-benar khas dirinya sendiri.
Kehati-hatian langkah dengan menyusur tilas laku hidup seorang tokoh adalah baik. Namun, tanpa keberanian menapak jalan sendiri, hanya akan melahirkan pesuluk-pesuluk yang gemar bersolek menggunakan ragam atribut kesalehan ‘orang lain’. Menabali diri dengan jereng-renteng artifisial yang di banyak kesempatan menjadi kurang praktis—ribet—secara ruhaniah. Semoga saya dijauhkan dari aneka macam sangka buruk, kepada orang-orang baik.
Salah satu penanda penting dari suluk kewalian terletak pada rasa cinta atau welas asih atau sih yang membuncah dan senantiasa konstan. Tanpa cinta, tidak akan pernah ada yang namanya suluk. Karena dasar dari suluk adalah cinta kepada Allah, berikut segala manifestasi-Nya di dunia ini. Dalam khazanah ungkap sederhana, rasa cinta ini ditandai dengan hati yang menyamudera (nyegara) terhadap keliyanan yang taksa kondisi (konteks). Artinya, ia menerima seluruh makhluk tanpa pilih-kasih, sebagaimana samudera, yang khususnya akhir-akhir ini, sampah pun diterima.
Namun, bersamaan dengan itu ada fakta alami yang sering terlewati atau tidak diperhatikan.
Yakni, wujud (keberadaan) manusia di dunia ini berfitrah terbatas.
Baik dalam kapasitasnya sebagai seorang pencinta atau dalam hal apapun, manusia terbatasi oleh kemanusiaannya sendiri.
Jadi, seluas dan sedalam apapun segara sih dalam diri manusia, pada satu ambang waktu akan mengalami kasatan sih atau surut kasih sayang. Dan ini alami.
Alhamdulillah.[]
Sumber kutipan:
Daniel Ladinsky. 2004. Hafidz: “Aku Mendengar Tuhan Tertawa”, Surabaya: Risalah Gusti.
Ilustrasi : Indonesia Tempo Doeloe Lukisan Josias Cornelis Rappard (1824-1898)
Leave a Reply