- Guruné
“Wong lor yang ke situ juga banyak lho,” kata si bakul manuk seperti coba mengingatkanku.
Meski beliau sudah lama pensiun, tetangga masih memanggilnya guruné. Saya akui, memang, jika ada perlu, saya menyempatkan ke rumah beliau. Lain waktu, setelah menerima kunjungan beliau, biasanya saya jadi sungkan.Beberapa hari kemudian, saya pun, sebisa mungkin, membalas kunjungannya. Di mana kelirunya, jika beliau sudi membukakan pintu rumahnya? Apa bedanya saya dengan tamu-tamu yang meminta beliau membantu menyelesaikan kerumitan yang mereka sendiri merasa buntu? Samalah! Asal ngobrol dengan beliau, tak jarang hal-hal yang meragukan, saya mintakan pendapatnya. Soal pencahayaan, saat dulu belajar fotografi, misalnya. “Masé jadi tahu kan, di situ rokok dan korek apinya masih?” Katanya setelah menyalakan lampu yang beliau matikan. Saya mengangguk. “Sekarang rokok dan korek api, bedanya di mana?” Tahu saya kebingungan, beliau meneruskan, “cahaya sifatnya ya menerangi seperti tadi. Asal waras, kamera tidak akan keliru! Tinggal dibikin art apa yang bukan?” Suatu kali, saat ‘harta amanah’ jadi pembicaraan orang ramai, beliau juga tak mau ketinggalan. Tapi saya tak minat. Seperti yang sudah-sudah, jika tahu saya seperti itu, beliau pun memuji-muji almarhum Bapak saya. Memang saya rasakan, kejujurannya. Tapi sebelum terlalu jauh, saya memotongnya dengan pertanyaan yang sekiranya membuat beliau merasa tetap penting di mata saya. Misalnya, soal mesin pemotong kayu hasil rancangan sendiri. “Mudah diatur kok. Tinggal pada mau pakai tidak? Beberapa sudah saya beri penjelasan cara penggunaannya, bahkan saya siap memodali. Tapi orang sini pada malu belajar. Tak perlu besar-besar untungnya, maksimal 10 persenlah.” Begitulah guruné! Apapun pertanyaannya akan dijawab dengan semangat berbagi. Rupanya beliau sudah lama sadar, jika sementara orang menganggapnya dukun. “Mau dibilang apa terserah. Enak kan?” Tegasnya suatu kali, saat menikmati kopi, di bawah emperan pet shop saya. “Kemarin, oh lusa, ada yang diantar saudaranya. Nyluntrut, seperti bukan manusia lagi. Orang Kedawung kerjanya di Bekasi. Saya bilang, tak perlu takut. Kalau anda merasa bisa kena, baru merasa saja, sudah kalah duluan. Berangkatnya kapan? Besok? Berangkat saja. Mulai sekarang niatkan untuk selalu berbagi dengan anak buah. Anda kan dipercaya bos untuk pegang proyek-proyeknya. Jelas gajinya paling besar. Wajahnya langsung cerah. Bisa tersenyum. Lalu saya ajak salaman.” Lebih lusa lagi katanya malah ada yang mengajak debat. Dengar cerita guruné, sebenarnya saya juga tidak sreg dengan pendapatnya. Tapi begitu beliau bilang, “namanya juga tafsir, ngga bisa tunggal,” keinginan saya untuk mendebat pun luluh. “Qur’an itu apa sih? Masé biasa nulis puisi kan juga pakai balaghah!” Belum rapet saya menyimpan heran, beliau pun cerita bagaimana saat masih remaja di daerah wétan, tahun 60-an, sering kumpul-kumpul dengan penulis. Saya tak terbersit untuk tanya, malah katanya, sambil menyebut nama-nama, “Lekra sama Manikebu apa bedanya? Lah saya kan orang gerakan, bagaimana lupa dengan watak-watak mereka?” Yang bikin saya penasaran, novel yang katanya beliau tulis pada tahun-tahun itu, masih tersimpan rapih. Bersama mesin ketiknya.
- 2. Sifat Kertas Ini
Sifat kertas ini nanti kau dapat lihat. Tinggal seperti apa cairan yang akan diserap. Ingat, kita tidak sedang menghadang. Hati-hati. Lucu, kan? Bantu orang yang diserang, kita sendiri kena. Kalau memungkinkan, arah serangan kita belokkan. Jangan sampai, kita malah jadi lawan! Biar sifatnya tak menghadang, tinta pena yang kita goreskan jangan biarkan menjelma tembok.Cemplungkan segera kertas ke dalam minyak. Pakai klenthik bagus.Camkan! Tak perlulah serangan kita balikkan. Tak guna! Dia juga punya tanggungan keluarga. Lagi pula. Kalau yang kita kembalikan gagal, dan dia tahu, selamanya dia dendam ke kita. Kalau yang diincar kita, selesai! Bagaimana kalau justru anak istri kita? Itu yang guru saya di Sumpiuh selalu wanti-wanti. Begitu jauhnya hingga berpikir begitu, dari mana lagi kalau bukan dari lereng Slamet, guru beliau. Lalu yang lereng Slamet konon dari Pacitan. Yang di Pacitan dapatnya malah di Selok, kidhul situ. Kidhul dapat dari mana, seperti bintang terhalang awan. Terpenting jika pokoknya sudah diraih, kita cekeli. Kenceng.Sendiri nanti kau bisa mengembangkan. Setahu saya, kebanyakan guru begitu. sekilas-sekilas. Jika sudah dapat dipercaya, kita pun dilepas. Tapi saya yakin, meski sudah jalan sendiri, beliau tetap mendampingi. Camkan, jalan yang akan kau tempuh nanti, ada sisi menyenangkannya, juga menyakitkannya!
- 3. Bujangan Belakang Warung Rames Nini Jajem
“Itu anak, sekarang apa doyan minum? Gendut banget,” sela Kaki Darman saat ada yang ngrasani bujangan belakang warung rames nini Jajem itu.
“Nggak minum ya kurang cairanlah,” timpal saya.
Boleh dibilang, ke mana-mana tak pernah meninggalkan topi lakennya. Dari jauh orang pun akan dengan mudah mengenali bujangan belakang warung rames nini Jajem ini. Begitu juga dengan saya. Pas berangkat kerja, kadang saya melihatnya masih termangu di kiri jalan yang dilewati mobil saya. Seringnya dekat masjid Besar. (Saya dengar dari beberapa temannya, sudah lama kalau pulangnya kemalaman, tidurnya di masjid itu) Sedang baliknya, kadang di seberang terminal Adipala, atau sudut pertigaan Cantelan. Sekilas seperti sudah lama menunggu bis ke arah Kroya. Suatu kali, pas berangkat apa balik kerja saya lupa, tiba-tiba saya ingin menghampirinya. O iya, pas pulang kerja. Begitu saya klakson, wajahnya langsung berbinar. Lalu bersama kurungan burung yang telah kosong memasuki mobil saya. Sejak itu, hampir 2 kali dalam seminggu kami semobil. Mungkin dia sengaja menunggu. Tapi meski semobil, kami jarang ngobrol. Kalau kasih jawaban seperlunya. Mungkin bagaimana mendapatkan untung yang berkah terus berkecamuk dalam pikirannya. Tapi bujangan belakang warung rames nini Jajemini bukannya jadi kurus. Malahan sebaliknya. Setelah pensiun, saya pun tak pernah lagi semobil dengannya. Pernah, pas dia jalan lewat depan rumah, saya sapa sekedarnya. Ketemu di warung rames saya suka sarapan di situ, sambil mengamati tubuh saya yang baginya mungkin telah banyak berubah, dia tanya kesehatan saya. Lagi, pas dia dari arah barat lewat depan rumah, saya tanya dari mana, katanya dari rumah Kang As. “Mampir,” teriak saya dari pintu pet shop. Entah kenapa pagi hingga siang itu, kami bisa ngobrol lama. Sepertinya dia sudah lama ingin menumpahkan isi hatinya di dekat saya. Terlebih dengan suka saya menanggapinya. Ngrokoknya kebat, tapi tidak ngopi. “Pet shop situ juga makin laris,” katanya dengan tangan menunjuk ke arah tenggara, setelah saya menjawab pertanyaannya perihal usaha saya yang baru beberapa bulan buka. “Pelan-pelan saja,” katanya seperti menasehati.“Kalau pembelinyalangsung ramai, orang malah curiga, pakai apa? Langsung pembelinya pada mundur,” ujarnya penuh percaya diri. “Saya malah pingin pakai,” tanggap saya sekedar supaya dia lebih banyak menumpahkan apa yang ada dalam pikirannya, perihal pakai memakai itu. “Huss, jangan! Kalau yang kena kita sendiri tak apa. Kalau anak istri gimana?” Meski saya antara percaya dan tidak percaya, bulu kuduk saya meremang. “Orang lain juga bisa dipakai lho,” sambungnya seperti bukan dari pikirannya. “Saya pernah mau digitukan. Tak perlu saya sebutkan orang dan tempat jualannya. Kalau mampir di kiosnya, saya selalu dibelikan rames, pulang disangoni buat ngebis. Siapa yang tidak seneng. Tapi lama-lama dia kurang ajar!” Saya kembali memandang mimiknya. “Kok, bisa tahu?” Tanya saya. “Perut ini rasanya ada yang membelit kenceng. Napas memberat. Jelas ular, itu. Saya bisa tahu kemana carinya dia!” Masih antara percaya tidak percaya, pujian saya pun mrucut, “hebat, sampéyan hari ini masih seger waras!” Apa katanya? “Orang kan tergantung sehari-harinya. Lah saya tiap hari bersih-bersih mesjid tanpa bayaran sepeserpun, kenapa harus takut? Yang tiap hari bareng saya di mesjid tentunya akan tahu. Tak terima saya diperlakukan begitu, mereka ngajak yang nunggu mesjid di Cirebon, Kesugihan, Pekuncen lor ndalan. Juga langgar depan orang tua njenengan situ! Tidak hanya puluhan, ribuan!” Tapi yang ini saya musti percaya penuh. Apa katanya, “belum lama juga ada yang minta dibantu. Sekarang saya sering ke kiosnya. Malah minta, besok, pas hari raya saya main ke rumahnya. Anaknya yang kerja di Tangerang katanya mudik. Mungkin mau dikenalkan ya?” “Siapa tahu jodoh,” kata saya pendek. Dan sampai hari ini, dia masih membujang.
- 4. Rumah Sang Sufi
Pulang dari kondhangan,melihat rumahnya tampak bersih dengan terang lampu menjangkau hingga sudut-sudut kebun, di depan warung mepet batas kebun rumahnya, sepeda motor saya hentikan. Sementara istri saya menunggui motor yang mesinnya belum dimatikan, saya menemui beberapa orang di situ.
“Maaf, mas Agus apa ada? Itu kok kayak ada orangnya?” Tanya saya dengan berdiri.
“O, sekarang dipakai buat rumah yatim piatu,mbah!” Sahut ibu yang sibuk menggoreng – dari aromanya, kalau bukan mendoan ya tahu brontak untuk dijual –
“Sekarang ikut saudaranya di Bogor. Sudah lama sakit!”Susul si rambut gondrong sambil menatap layar hp-nya.
Kabar yang saya terima sekitar 3 tahun lalu, juga seperti itu : sakit, lalu dirawat saudaranya di Prembun. Sekarang di Bogor, di sana memang ada adik perempuannya, janda yang kawin lagi, konon, dengan pejabat pusat. Sekali waktu, saat saya bersepeda motor lewat depan rumahnya, kadang mengamati. Sekilas terasnya tampak kumuh. Ditumbuhi rumput liar, halaman dan kebunnya nyaris tak bisa dibedakan lagi. Sangat disayangkan, rumah sebesar itu tak digunakan untuk tinggal. Terlebih dibeli dari hasil jerih payah Sang Sufi sendiri saat kerja sebagai operator radio taksi di Jakarta. Sebelum kenal Sang Sufi sebenarnya saya sudah tahu, ada rumah di situ. Atap gentingnya ambruk dan dinding-dindingnya hitam, tapi saya belum tahu kalau itu milik Sang Sufi. Kenapa rumahnya seperti itu, saat masih ngontrak Sang Sufi pernah cerita, “saya lagi ngga di sini. Pulang-pulang sudah begitu. Kata mereka rombongan berjubah yang mencurigakan. Dikejar masuk ke rumah saya. Digedor-gedor pintunya ndak dibuka, padahal memang saya kunci. Tapi ya begitu, orang banyak, saya ya tak bisa berkutik. Padahal di dalam tidak ditemukan apa-apa. Perabotan gosong semua!” Beruntung sebelum kontrakannya habis, saudara-saudaranya membantu memperbaiki rumah itu. Mungkin berkah sakitnya Sang Ibu. Bagaimana tidak, sudah 3 tahun lebih Sang Sufi sendirian merawat ibunya yang lumpuh, tapi mungkin sudah kesepakatan, saudara-saudaranya di luar kota membantu kebutuhan-kebutuhan ibu-anak itu. Untuk sang ibu, Sang Sufi kadang sampai buat ramuan sendiri. Katanya, sepulang dari Jakarta karena tak kuat menghadapi tekanan lingkungan kerja, di sela membantu ibunya jualan rames, sering membaca buku-buku tinggalan almarhum ayahnya. Lalu buka praktek pengobatan di Kemranjen. “Laris banget,” katanya dengan wajah seperti menarawang ke hari-hari silam. “Namanya juga bersaing, nggak tahu siapa yang mempengaruhi lingkungan situ. Saya tak paham dalil-dalil, lebih baik mengalahlah!” Pernah, saya mengeluhkan sakit di pergelangan tangan, dengan suka Sang Sufi menuliskan resepnya. “Tumbuhan di sekitar kita sebenarnya bisa buat obat lho. Cuma ketika disebutkan namanya, ujudnya banyak yang tidak tahu. Begitu nemu, owalah, di sini glepang namanya. Banyakan begitu!” Beberapa teman yang suka dengan pengobatan model begitu pernah saya ajak ke situ. Selang beberapa hari dari sana, di antara mereka ada yang ketemu saya. “Gimana, ada perkembangan?” Tanya saya. Tanggapan yang saya terima justru, “temanmu gila apa yah?” Saya yang melihat diri Sang Sufi tak ada yang ganjil, kaget juga. “Masa di atas kutub selatan ada bulan kembar?” Lanjut teman saya. Saya cuma mbatin, “goblok, seniman kok ndak paham hal-hal yang bersifat imajinatif!” Saat itu kesadaran seperti itu, tentu belum lama saya miliki. Yang pernah teman alami, juga pernah saya alami. Bagaimana mungkin bisa mendengar panggilan Sang Ibu dari tempat yang jaraknya berpuluh kilometer dari rumah Sang Sufi. Saat itu katanya masih dalam perjalanan ke tempat gurunya di kawasan pegunungan Banjarnegara. Padahal tinggal satu dua tanjakan lagi, tapi katanya ibu lebih utama. Begitu balik arah, dalam perjalanan ngebut menurun, katanya ada yang mengejarnya : sementara petir menyambari kanan kirinya, puluhan sosok seperti Bima dalam wayang wong, seenaknya melangkahi pohon. “Ternyata ibu kritis!”. Mungkin karena peristiwa itu sudah berlalu cukup lama, bukan cerita penuh kesedihan yang muncul. Kalau boleh menyebutnya : petualangan! “Berarti benar ya, cerita Bimo Lukar?” Simpulnya seperti minta persetujuan. Tapi saya tetap diam. Di rumah, menjelang tidur terbayang bagaimana Bima menyurukkan kontolnya, hingga Serayu menjadi berkah bagi sekitar hingga hari ini. “Kok masih ada yang percaya ya?” Percaya tidak percaya, perlahan saya coba memahami segala kegelisahanya seperti ketika Sang Sufi ke rumah saya untuk pertama kalinya di suatu sore. Pertanyaan yang kadang saya lontarkan kepada orang yang belum pernah bertamu, sore itu juga saya lempar kepada Sang Sufi, “bisa sampai sini dari siapa?” Jawabannya tak mengagetkan : dari Ansor. Ansor adalah teman yang suka ‘melempar tanggungjawab’ ke orang, terutama saya, jika ada yang mengajak ngobrol sastra. Seperti antar teman saja, kami langsung cair. “Karya-karya bapak sudah saya baca, dapat dari mas Taqin,” akunya. Mas Taqin adalah pedagang buku, yang suka ngliping karya-karya penulis sini (juga suka memamnggil Kang Agus dengan Agus Sufi, saya lebih sreg Sang Sufi). Saya belum cerita banyak soal puisi, tiba-tiba saya disodori sejilid foto kopian. Katanya mau dicetak buat oleh-oleh para peziarah makam Syeikh Baribin di Sikanco. Seting covernya, saya hapal, siapa lagi kalau bukan sentuhan mas Taqin. Dia berharap saya bisa mengeditnya. Saya pun mulai mengunjungi kontrakannya. Di sanalah saya mendapatkan ‘sebagian’. ‘Sebagian’ lagi di rumah barunya. Misalnya tentang orang yang sudah meninggal. “Einstein ya tetap menyelesaikan tugas penelitiannya. Rendra itu cepat. Langsung kerja!” Untung saya bisa menahan tawa, sehingga tidak melukai perasaannya. “Ilmu mereka berputar-putar mencari wadah yang kokoh. Makanya orang dulu suka riyalat.” Satu hal yang membuat saya menunggu, katanya lewat mimpi, gurunya telah memilihkan jodoh untuknya. Kapan nikahnya? Lainnya biarlah menjadi hutang saya. “Maafkan saya, kang Agus. Perjalanan panjang Sang Syeikh karyamu sudah saya baca berulang-ulang, tapi tak mampu memenuhi permintaanmu agar menjadi lebih baik. Jika adik perempuanmu berlangganan koran-koran Jakarta, bacalah! Mungkin kau menemukan puisi-puisi baru saya, sungguh karyamu telah menginspirasi!”
- Portofolio
Selang beberapa minggu mulai pensiun, rencana ‘edan’-nya kumat lagi. Malam-malam sebelum saya tidur, telepon genggam saya bergetar. Coba kalau dengar nasehat teman istri saya ke saya, secara face to face, mungkin bisa berkecak mencak-mencak macam memarahi peserta diklat yang telat. “Sekarang tinggal ngadem, pak. Sampun, jangan banyak mikir!” Kata teman istri saya. Mungkin karena ‘nasehat teman istri saya’ yang menyampaikan saya, dan tidak secara face to fece,Camat Wijo dengan renyah bilang, “lah, yang pegang administrasinya nanti kan njenengan. Ahlinya!” Tak saya pungkiri, waktu sekantor dengan saya, Camat Wijo memang suka ngajak ngobrol, terutama soal karier pegawai. Dan urusan menentukan ukuran keberhasilan pegawai yang mudah dipahami serta merancang format laporan, untuk bahan-bahan paparannya dia selalu ke saya. Lain soal kalau urusan memotivasi pegawai, dia sangat menikmatinya sesuai tugasnya. Tentu saya bisa menikmati tugas. Apalagi Camat Wijo bisa menjadi sejawat yang kuat memegang kata-kata, tapi juga lentur. Mungkin pengalaman lapangannya telah mengakar. Sampai karena ‘saking lamanya’ menjadi Camat, meski sudah mutasi ke tingkat Kabupaten, pegawai ‘sekabupaten’ masih suka memanggilnya Camat Wijo. Lalu kini bagaimana? Yang muncul di kepala saya, justru orang-orang seperti guruné, Kang Agus lalu bujangan belakang warung rames nini Jajem itu. Sebenarnya masih ada lagi. Kalau menjadi pengajar, bagaimana orang-orang seperti itu kober menyusun laporan, sementara jaman menuntut tidak cukup cangkem. Musti diikuti bukti fisik. Pengobatan ya ada panduannya, ada obatnya, ada video praktek dan testimoni pasien. Kan gampang menilainya. “Wis, pokoknya saya percaya. Bupati saja sudah setuju. Urusan ijin-ijin sudah ada yang nangani!” Gimana mau ngadem?
Kroya, 2022
Leave a Reply