Menu

 Mengenang Lurah Ahmad Zen

Sejarah lokal memberikan kesempatan seseorang untuk mengenal lebih baik lingkungan tempat tinggalnya, dan pada akhirnya akan menumbuhkan rasa bangga terhadap dirinya.

(Mudiyah Winarti, 2017)

****

 Sejarah lokal memiliki arti yang begitu penting bagi komunitas masyarakat yang tinggal di wilayah geografis tertentu. Terutama para sosok yang telah berjuang dalam membangun peradaban zaman. Sejarah lokal memiliki keterkaitan dan keterikatan dengan sejarah nasional, meskipun tidak semua sejarah lokal menjadi bagian dari sejarah nasional, karena dalam sejarah lokal juga melekat aspek sosio-kultural yang bersifat otonom. Acap kali hal-hal yang ada di tingkat nasional baru dapat dipahami dengan melihat apa yang terjadi di tingkat lokal, karena hal-hal di tingkat nasional yang lebih luas biasanya hanya memberikan gambaran dari pola-pola serta masalah-masalah umum, sedangkan situasi yang lebih konkrit dan mendetail baru dapat diketahui melalui sejarah lokal.

Menyitir pendapat Muhammad Alif Ichsan (2022), bahwa sejarah nasional teramat sempit untuk menampung tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa historis. Peristiwa-peristiwa penting di masa lalu sangatlah banyak, dan sejarah sebagai penjelasan atau narasi historiografi tak terlalu lega untuk dapat menampung seluruh nama-nama. Pada akhirnya, nama-nama tersebut seringkali teralineasi di antara nama-nama besar serta kehilangan jejaknya oleh masyarakat sendiri. Harus ada upaya yang sungguh-sungguh agar sosok nama-nama kecil (lokal) memiliki ruang di dalam historiografi, agar napas keteladanan mereka terus hidup melalmpaui waktu. Solusi atas keruwetan tersebut yakni pengeksplorasian terhadap sejarah lokal yang digaungkan melalui penulisan dan pengajaran.

Menukil Murdiyah Winarti (2017) dalam esainya: Sejarah Lokal di Indonesia: Harapan dan Tantangan, bahwa: sejarah lokal jauh lebih mudah menularkan nilai-nilai kepada masyarakat, sebab kedekatannya dengan lingkungan di mana masyarakat itu menetap. Penyertaan nama-nama sosok di dalam historiografi lokal sebagai memori masyarakat, sering terpahat dalam sebuah nama jalan. Sungguh pun begitu, ia kerap kali teralienasi dari memori masyarakat dan hilang.  Hal ini terjadi karena narasi sejarah lokal itu disampaikan dalam turun-temurun melalui tutur lisan. Agus Ali Imron Al Akhyar di bukunya bertajuk Membingkai Tradisi Tutur Lisan di Daerah Tulungagung (2021) memberi penjelasan lebih lanjut mengenai pentingnya mengamati kemudian mempelajari sejarah lokal.

Pernyataan Agus Ali Imron Al-Akhyar menuntun saya untuk mengeksplorasi tokoh lokal yang berada di desa saya, yang namanya terpahat pada sebuah ruas jalan di Desa Pasir Kidul, Kecamatan Purwokerto Barat, Kabupaten Banyumas, bernama “Ahmad Zen”. Hubungan apakah yang terjalin antara seseorang dengan sebuah jalan? Dengan segala kesungguhan, saya mencoba memahaminya, dan tahu bahwa jalinan itu menjangkau ruang memori kolektif masyarakat yang dalam terpendam. Menyadari itu, saya memakai istilah ndudhuk, ndhudhah, dan gugah untuk mengail sejarah sosok Achmad Zein. Nduduk adalah langkah awal dalam mendedah informasi kepada siapa dan saja perihal tokoh. Kemudian, ia perlu dikolaborasikan dengan ndhudhah, yakni kajian pustaka. Kedua langkah ini lamat-lamat akan memicu munculnya perasaan gugah atau tergugah, lantas menarasikannya sesuai data-data yang diperoleh, dipilah, dan teranalisis.

Dalam mengail sejarah sosok Ahmad Zen, saya dibantu seseorang yang dianggap tahu sejarah dan seluk-beluk sosok Ahmad Zen. Seseorang itu bernama Pak Maksum, laki-laki 70-an tahun, berpeci dan berbaju koko. Ia merupakan kerabat dekat ayah saya, karena itu saya sudah mengenalnya lama. Maka berceritalah Pak Maksum. Menurutnya, Ahmad Zen lahir pada tanggal 10 Mei 1906 di Desa Pasir Kidul, Kecamatan Purwokerto Barat, Kabupaten Banyumas. Ayahnya merupakan orang Martapura, Banjarmasin, bernama H. Amin, sedangkan ibunya bernama Siti Maryam. Orang tua Ahmad Zen merupakan orang reijius, oleh karenanya, ia banyak berguru dari langgar ke langgar. Sedari kecil hingga dewasa, ia habiskan untuk berguru (mengaji) pada para kiai di kampungnya. Dalam momentum suasana tanah air yang dalam cengkraman penjajah, ia turut memanggul senjata dengan bergabung di  Laskar Hizbullah. Merujuk buku Saifuddin Zuhri  yang berjudul “Guruku Orang-Orang Dari Pesantren” (1974) dijelaskan bahwa, “Laskar Hizbullah didirikan pada tanggal 4 Desember 1944”. Pendirian Hizbullah memiliki tujuan untuk mendidik para pemuda Islam dalam kemiliteran dengan dilandasi semangat Nasionalisme dan Islamisme.

Merujuk buku Saifuddin Zuhri  yang berjudul “Guruku Orang-Orang Dari Pesantren” (1974) dijelaskan bahwa, “Laskar Hizbullah didirikan pada tanggal 4 Desember 1944”. Pendirian Hizbullah memiliki tujuan untuk mendidik para pemuda Islam dalam kemiliteran dengan dilandasi semangat Nasionalisme dan Islamisme.

Ahmad Zen hidup di tengah kekalutan perang ekspansi kolonial Belanda. Pencandraan kekalutan perang dapat dirupa sebagaimana dalam esai Abdul Aziz Rasyid “Setelah Perang Tak Ada Lagi” (2020: 124): “Segala hal menyangkut perang mengakibatkan kerugian humanitas tiada tara. Nyawa-nyawa manusia melayang sejauh jangkauan senjata, langkah gontai para pengungsi mencari suaka menjadi dampak tak terelakkan. Tatapan nanar, terlantar di ujung pendiritaan, air mata, memperlihatkan nestapa manusia kehilangan rasa aman”. Pun hingga mencapai tahap keadaan bangsa Indonesia sudah merdeka, tetapi bangsa Indonesia belum berdaulat. Bangsa Indonesia masih dibaluti cengkraman ekspansi penjajah.

Merujuk Tesaurus Bahasa Indonesia Eko Endarmoko, kemerdekaan bersinonim dengan independensi; kebebasan, kedaulatan, kemandirian dan otonomi (2006: 413). Dalam upaya mencapai negara merdeka-berdaulat, sepanjang April 1946 hingga November 1947, diadakan serangkaian perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Tapi tak berselang lama, Belanda melakukan tipu muslihat melalui agresi militer dan aksi polisional, atau yang disebut agresi militer Belanda 1 (21 Juli-5 Agustus 1947). Berbagai daerah mengalami pengusikan agresi militer Belanda, tak terkecuali daerah Banyumas. Hal itu sebagaimana pengisahan dalam buku Banyumas Membara: Era Tahun 1945-1950 (2003:57) bahwa, pada tanggal 4 Agustus 1947 pasukan Belanda telah menduduki Banyumas dan Purwokerto. Mereka melakukan genosida “pembersihan” pada pribumi yang diindikasi sebagai pejuang tanah air.

Sekitar tahun 1947, Ahmad Zen pernah menjabat RECOMBA (Regerings Commissie Voor Bestuurs Aangelegenheden) jabatan setingkat lurah di Desa Pasir Kidul, Purwokerto Barat, Banyumas, di masa penjajahan Belanda. Pada situasi itu, Ahmad Zen memilih berjuang alih-alih ia menjadi recomba (lurah). Ia tak kuasa menyaksikan kebengisan dan kebiadaban pasukan Belanda. Pilihan hati Ahmad Zen untuk berperang senada dengan “Merdeka atau Mati!”. Bak pepatah lawas, “lebih baik berputih tulang daripada hidup berputih mata”. Keberanian serta vitalitas Achmad Zein serupa puisi Chairil Anwar yang bilang “Aku ini binatang jalang…Biar peluru menembus kulitku..Aku tetap meradang, menerjang….” 

Dooor…Dooor..Dooor! Terdengar letupan senapan disusul suara tubuh ambrol. Tubuh sawo matang itu terkapar di tanah. Badannya masih memakai seragam recomba, sedang tangannya tengah memegang erat bambu runcing. Tembakan dari serdadu Belanda, berkumis melintang, dengan mata menyala bagai anjing neraka, telah menghentikan detak jantungnya. Sungguh pun peristiwa ini hanya berupa sejarah lisan, namun menurut sejarawan Kuntowijoyo sebagaimana dalam artikelnya Sejarah Lisan Sebagai Pewarisan Nilai, Pengalaman, dan Kebijakan (2019), mengatakan begini: sejarah lisan sama nilainya dengan dokumen. Dan yang tak kalah penting juga sejarah lisan dapat mengungkapkan nilai-nilai kemanusiaan. Kuntowijoyo mencontohkan nilai-nilai kemanusiaan adalah seperti janda-janda pahlawan yang gugur, prajurit yang ditawan pemberontak, dan mata- mata pasukan yang ditugaskan mencari informasi tentang kekuatan lawan.

Nilai kemanusiaan yang begitu kentara dalam sejarah lisan Ahmad Zen yakni “kerelaan untuk mati”. Ia seolah memandang kematian sebagai suatu peristiwa yang berwarna indah. Kematian semacam ini dapat kita jumpai pada narasi cerpen Budi Darma yang berjudul “Secarik Surat”. Dalam cerpen tersebut mengisahkan: seorang prajurit yang berpangkat paling rendah suatu ketika mengajukan diri untuk melaksanakan tugasnya sebagai kurir dalam pertempuran. Tak lupa Budi Darma menceritakan gambaran peperangan mulai dari ledakan demi ledakan yang menyemburkan api dan melesat-melesat di atas prajurit muda. Tampaknya Budi Darma hendak menunjukan sisi “indah sebuah peperangan”. Prajurit muda itu tewas ketika situasi pasukan saling tembak-menembak dan prajurit saat itu tak berbekal senjata api, hanya berbekal sebilah pisau.

Kisah Ahmad Zen serta prajurit dalam cerpen “Secarik Surat” menahbiskan bahwa sejarah bukan hanya ihwal peristiwa besar dan orang besar. Teori sejarah semacam itu pernah didengungkan oleh Thomas Carlyle berupa “The Great Man”. Teori tersebut kemudian mendapat interupsi dari Karl Max yang menurutnya hanya akan membuat sejarah sangat miskin. Oleh karena itu, penulisan sejarah harus menyangkut peristiwa biasa, orang biasa, dan pengalaman biasa. Bahkan, menurut Kuntowijoyo, sejarah dapat menulis riwayat pedagang yang kena gusur. Ini tidak akan bertabrakan dengan “life story” dari antropologi atau sosiologi, sebab sejarah musti menceritakan “perubahan” yakni sebelum kejadian, pada saat kejadiaan, dan sesudah kejadian. Adapun keteledanan tokoh, menurut sejarawan Kuntowijoyo jika menggunakan teori Thomas Carlyle “ The Great Man”, maka orang biasa tak akan masuk. Oleh karenanya, partisipasi dalam peristiwa bersejarah harus dianggap cukup. Dengan cara itu sejarah dana keteladanan akan bersifat demokratis.

isah Ahmad Zen serta prajurit dalam cerpen “Secarik Surat” menahbiskan bahwa sejarah bukan hanya ihwal peristiwa besar dan orang besar. Teori sejarah semacam itu pernah didengungkan oleh Thomas Carlyle berupa “The Great Man”. Teori tersebut kemudian mendapat interupsi dari Karl Max yang menurutnya hanya akan membuat sejarah sangat miskin. Oleh karena itu, penulisan sejarah harus menyangkut peristiwa biasa, orang biasa, dan pengalaman biasa. Bahkan, menurut Kuntowijoyo, sejarah dapat menulis riwayat pedagang yang kena gusur. I

Kisah Ahmad Zen dan prajurit dalam cerpen “Secarik Surat” memiliki sebuah pesan keteladanan “kerelaan untuk mati”.  Seperti dalam pendapat Seneca yang berbunyi, “dying  well means dying willingly” (mati dengan baik berarti mati dengan rela) (Epistle 61). Mula-mula, secara spontan, kita sebagai manusia memiliki ketakutan terhadap kematian. Wajar saja, setiap manusia memiliki insting untuk bertahan hidup, sehingga kematian dianggap sebagai ancaman yang harus dihindari. Akan tetapi, Seneca memiliki anjuran yang lain, yaitu, “a whole lifetime is needed to learn how to live, and—perhaps you’ll find this more surprising— a whole lifetime is ‘needed to learn how to die.” (seumur hidup diperlukan untuk mempelajari hidup, danmungkin kamu akan menganggap hal ini mengejutkanseumur hidup diperlukan untuk mempelajari cara untuk mati)  (On the Shortness of Life 7.3). Bagi Seneca, kematian justru harus dipelajari semasa kita hidup. Di samping itu, cara seperti itu membuat manusia tidak terjebak pada pandangan spontan tentang kematian.

Ritual penghayatan kematian itu tidak hanya membubuhkan makna yang berbeda mengenai kematian, melainkan juga pada kehidupan. Jika dianalogikan, hal tersebut sama seperti saat kita menyantap jeruk. Kita perlu mengupas kulitnya dan baru buahnya bisa kita makan. Hasilnya, kita dapat menikmati kesegaran buah jeruk dengan mencapai intinya (buahnya). Sama seperti kematian, citra buruknya dikupas guna mendapatkan makna sesungguhnya dari kematian. Jika memakai anjuran dari Seneca,  “strive for virtue” (berjuang untuk kebajikan). Seneca menganjurkan hal yang serupa, yaitu mengajak kita untuk melihat makna dibalik citra buruk kematian.

Senada dengan Seneca, Adonis seorang penyair Arab memberi amtsal bahwa kematian adalah sebagai jalan menuju rahasia-rahasia ilahi dan mengarah pada kesatuan dengan al-Haqq. Agar menyatu dengan ­al-Haqq, seseorang harus mematikan ke-aku-annya. Itulah yang dalam tasawuf disebut momen keterpisahan manusia dengan ke-aku-nnya (al-Farq) menuju momen pertemuan dengan al-Haqq (al-Jam’). Ketika momen pertemuan tersebut telah terjadi, tidak ada lagi yang plural, yang ada hanya yang tunggal (al-Haqq).

Rahasia-Rahasia

dengan kematian, kita akan mendekapnya
sebagai petualang, sebagai zahid
kematian membawa kita pada rahasia atas segala rahasianya
menetapkan yang tunggal dari kita yang plural

Seorang lurah semacam Ahmad Zen yang telah saya ceritakan di tengah esai ini, seakan teraleniasi perannya dalam gejolak sejarah kemerdekaan. Padahal seorang lurah semacam Ahmad Zein dan orang-orang kecil turut menjadi penentu dalam perang merebut kemerdakaan Indonesia di lini pedesaan. Dalam keunikannya perannya yang membaktikan diri menjadi lurah (recomba), ia dapat mewujudkan kecintaanya terhadap tanah air dengan turut serta berperang menumpas penjajah. Peran dan keikutsertaan sosok semacam Ahmad Zen dan orang-orang kecil dalam merebut kemerdekaan Indonesia sangatlah berarti. Jika meminjam istilah dari sejarawan Sartono Kartodirjo, mereka adalah “sekrup-sekrup kecil” yakni, seperti: petani, nelayan, pedagang, buruh, sopir, prajurit, pelajar dan seterusnya yang bahu membahu, menyatu membentuk bangun kebangsaan yang besar dan bergerak bersama. Seandainya di antara sekrup itu hilang, maka pasti ada yang rumpang, goyah, dan punya celah untuk runtuh.

Oleh karena itu, semua sekrup mesti terisi sepenuh-penuh hati sebagai jalan pengabdian pada perjuangan kemerdekaan. Tapi kini memori tentang sekrup-sekrup kecil itu teralienasi oleh “sekrup besar” (sosok besar). Hal ini meguatkan bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya masih cukup “berjarak” dengan pengalaman historis di sekitarnya. Akar masalah tersebut bersumber dari adanya jarak yang dirasakan antara masyarakat dengan sejarah. Masyarakat kita selalu dicekoki untuk belajar, menghapal, mengingat hingga mengapresiasi “sosok besar” yang sebenarnya jauh dari lingkungannya. Dan pada akhirnya, melupakan “sekrup-sekrup kecil”.

0
333
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.