Menu

Ngilmu: Gerak Ontologis Sangkan-Paran

Sun…akarya tembang suluk

Liring suluk ika

Sesinden ing para wali

Aja kemba lestarining Sangkan Paran

(“Suluk Sontrang”, Pucung, Pada ke-1)

 

Saya mungkin adalah seseorang yang kelewat intim mendalami filsafat, bahkan terhitung begitu emosional. Sehingga dalam takaran tertentu, apa yang tidak memenuhi atau malah tidak menjawab secara memuaskan pertanyaan-pertanyaan intim yang berkecamuk dalam diri dengan sendirinya akan saya sisihkan dan tangguhkan. Termasuk salah satunya unggunan pengetahuan filsafat, tepatnya fisafat Barat yang dulu saya geluti selama tujuh tahun di Filsafat UGM. Bahkan malah sempat meluber terus hingga beberapa tahun setelah lulus kuliah. Apa yang kurang dari apa yang saya pelajari selama kuliah yakni saya merasa tak terlalu mengerti “filsafat” atau setidaknya “pemikiran filosofis” masyarakat saya sendiri—dalam pengertian sebagai pandangan dunia plus bangun paradigma, kategori, maupun titik tekan yang ingin disodorkan. Akhirnya belokan pengetahun—sebut saja begitu—harus segera saya lakukan. Dan tentu ini belum sepenuhnya dalam keadaan mantap. Namun, ia bisa menjadi awal yang membahagiakan.

Ngilmu seperti yang tertulis pada judul materi paper ini adalah salah satu uji coba untuk sebuah eksplorasi menggali khasanah filsafat masyarakat sendiri. Dan saya tak berpretensi untuk berhasil secara memuaskan membangun arsitektur kerangka dasarnya dalam satu kesatuan bangun utuh filsafat (sayangnya saya masih menggunakan istilah yang ingin saya hindari ini) yang darinya saya berharap bisa menunjukkan ke-khasan bangun pandangan dunia konsepnya khususnya dalam tradisi Jawa, dan oleh karenanya ingin saya beberkan pada kesempatan kali ini. Dengan usaha ini kita akan sedikit bisa mengerti, atau setidaknya bisa merasakan, bahwa konsep ngilmu dalam tradisi Jawa punya bangun filosofis yang khas atau berbeda, atau setidaknya ia muncul dari suatu pandangan dunia masyarakat tertentu yang oleh karenanya harus dijelaskan menurut kriteria pandangan dunia yang dihayati—sifatnya bisa parsial sekaligus universal pada saat bersamaan. Dan dari skema tersebut bisa terdeteksi bangun-susunnya, yang melaluinya akan terlihat eksplisitasinya akan sebuah “filsafat” atau setidaknya “pandangan filosofis” yang berbeda, yang oleh karenanya harus dijelaskan secara berbeda dari saudaranya yang bernama “filsafat Barat”.

Dalam membahas konsep ngilmu, saya akan bertolak dari “Serat Wedhtama” dimana salah satu kutipan serat ini begitu terkenal terutama terkait bait “ngilmu iku kelakune kanthi laku”, plus beberapa tambahan penjelasan serat, wirid, maupun suluk—seperti dikenal dalam perbendaharan genre sastra Jawa—untuk mengukuhkan dan menguatkan apa yang saya sodorkan maupun kerangkakan. Saya juga akan menunjukkan bahwa ngilmu—sebagaimana kata ini diserap dari bahasa Arab bahkan bahasa Al-Qur’an—sebenarnya masih dipahami dalam kerangka pandangan dunia tersebut, tepatnya tasawuf, setidaknya seperti tereksplisitkan dalam teks-teks seratnya. Namun, sayangnya belakangan hari para sarjana Barat juga orang Indonesia berpendidikan berusaha sekuat tenaga untuk menempatkan ngilmu di luar dari kerangka bingkai pandangan dunia tersebut, dimana peran Islam yang saat serat itu ditulis sudah menjadi penyangga—meminjam bahasa Ricklefs—“penyatu identitas ke-Jawaan”. Dan dari situ kita bisa melihat, bagaimana ia berbeda secara spesifik dengan unsur-unsur bangun pemikiran filsafat Barat—karena masih menempatkan pandangan dunia agama tertentu sebagai sebuah aksioma dalam merumuskan maupun suatu usaha mengeksplisitasi gagasannya, bahkan laku, mistik, maupun filosofisnya.

Sangkan Paraning Dumadi

Gagasan mendasar pemaknaan tentang keberadaan hidup Jawa sebenarnya mengumpul dalam sebuah ungkapan terkenal ihwal “sangkan praning dumadi”. Sebuah ungkapan yang ingin mengingatkan keberadaan ontis manusia serta tujuan teleologis akhinya selama ia hidup atau ber-“ada” di dunia ini. Bahwa keber-‘ada’-an manusia atau yang maujud ini (secara harafiah bermakna yang di-‘ada’-kan atau yang di-‘jadi’-kan/dumadi dari asal kata dadi) hanyalah bersifat sementara. Urip mung mampir ngombe. Begitu kata orang Jawa. Keberadaannya hanya menjalankan titah dari yang Maha-Kuasa dan oleh karenanya ia sebagai yang di-ada-kan harus pertama kali menyadari dari mana ia berasal (sangkan: sangka ngendi) dan kemana tujuan hidup akhir berakhir (paran; parane ngendi); Asal dan tujuan kembali manusia (sangkan paraning dumadi), yang hal ini selaras dengan konsep mendasar Islam Innalillahi wa inna ilaihi rajiun (kita dari-Nya akan/sedang kembali menuju Nya).

Gambar 1 : Laku Sangkan Paran

Jadi dalam kerangka keber-ada-an hidup manusia Jawa ia sedang dalam sebuah “perjalanan” besar dari Allah menuju Allah, alias sebuah gerak dari yang di-ada-kan (dumadi/maujud) menuju yang Ada atau yang mengadakan (dadi/wujud). Yakni sebuah perjalanan manusia dari sejak ia berada dalam kandungan menuju kematian, atau perjalanan dari-Nya menuju-Nya. Dan oleh para wali tanah Jawi dulu “perjalanan” besar ini—yang dalam bahasa Jawanya sepadan dengan kata laku, mlaku, lelaku, lelakon yang artinya secara harafiah memang berarti “berjalan” atau “perjalanan”—sering diterjemahkan dalam sebuah neologi (istilah baru) yang dintrodusir para wali bernama “suluk” yang juga dalam bahasa Islam—merupakan istilah kunci dalam tasawuf—juga secara harafiah berarti “berjalan” atau “perjalanan”. Namun harus diingat perjalanan hidup atau lelakon hidup manusia tersebut, layaknya sebuah drama seperti dipentaskan dalam pewayangan (yang biasanya mementaskan sebuah lakon tertentu), berada dalam spectrum jasadi mapun ruhani, awalnya dari-Nya dan akhirnya menuju-Nya. Dalam bahasa suwargi Damardjati Supajar, perjalanan atau lakon hidup atau suluk manusia tadi berada dalam bingkai lahir-bathin dan awal-akhir—ingat seluruh 4 kata ini berasal dari bahasa Arab. Alias perjalanan manusia ini bukan melulu perjalanan ragawi dan intelektual semata, melainkan sebuah perjalanan ruh (baca: bathin) yang sedang ingin menuju kembali pada-Nya.

Untuk mengafirmasi kata laku atau lakon merupakan padanan atas kata suluk, dulu para Wali Tanah Jawi menggunakan kata suluk untuk menamai sebuah genre tembang Jawa (terutama sekar alit) bernama macapat. Seperti diceritakan Nancy K. Florida dalam “Writing Traditions in Colonial Java: The Question of Islam” (Michigan Press: 1997)—seorang antropolog yang berjasa besar memfilmkan dan mengkatalogisasi seluruh isi tiga naskah Jawa Keraton Solo, Mangkunegaran, dan Radya Pustaka di tahun 1980an—terdapat setidaknya dua genre dalam kesusateraan Jawa, yakni yang pertama berebentuk (1) puisi-tembang bernama genre “suluk” (macapat), sedangkan (2) yang kedua berbentuk prosa atau eksposisi teoritis disebut “wirid” (ini juga istilah penting dalam tasawuf). Itu dicontohkan beberapa karya misalnya, “Suluk Sontrang”, “Suluk lonthang”, “Wirid Hidayatjati”, dll

Penamaaan suluk (perjalanan) sebagai genre tembang macapat yang merupakan genre utama untuk menulis kesusateraan serat maupun babad di Jawa terkonfirmasi dari makna seperti penamamaan yang sering kita kenal dalam tembang macapat, yakni dari Maskumambang (dalam kandungan), Mijil (lahir), Sinom (anak muda), Kinanthi (ditemani perkembangan ilmu dan moralnya), Asmaradana (asmara), Gambuh (menikah), Dandhanggula (mengalami pasang-surut, jatuh-bangun kehidupan), Durma (mendermakan diri kepada masyarakat), Pangkur (mundur dan mengambil jarak atas gemerlap dunia), Megat-ruh (terlepasnya ruh kita, alias wafat), dan terkahir Pucung (jasad kita dibungkus kain kafan). Yakni sebuah perjalanan (suluk) kehidupan manusia dari semenjak dalam kandungan hingga menuju kematian saat jasadnya di-pucung, dikafani. Sebuah lelaku atau suluk menjalani sangkan paraning dumadi-nya.

Maka tak ganjil jika saat dalam pementasan pewayangan kulit purwa, saat sang dalang seolah sedang meliukkan suaranya layaknya seorang yang sedang menembang juga dinamai “suluk” (tembang), sepadan dengan penamaan genre kesusateraan tembang bernama tembang macapat (suluk) yang dibedakan dengan genre prosa yang disebut wirid. Hal ini sekaligus membantah pengasalan salah seorang javanolog Theodore Pigeaud dalam “Javansche Volsvertoningen” (Volkslectur Batavia: 1938, 56),  yang mengasalkan kata suluk dari istilah “uluk” atau “muluk” yang berarti suara meninggi. Karena dalam sebuah perjalanan besar tersebut manusia harus mengawasi unsur (nafsu) yang empat dalam dirinya (macapat/membaca empat) agar ia lolos dari jebakan dunia dalam rangka perjalanan hidupnya menuju kembali pada-Nya. Yakni agar diri sejatinya menjadi sumbu pusat (pancer) yang menjadi kendali dalam mengantur laku perjalanannya (sedulur papat, lima pancer). Atau dalam kalimat lain, ia bisa mendirikan dan menunggalkan (sifat/asma) Tuhan dalam dirinya. Yakni sebuah lelakon besar menyadari sangkan paraning dumadi-nya dan bisa menjemput keutuhan maupun kesempurnaan kemanusiaannya dan siap kembali secara mulus pada-Nya saat mati (kasidan Jati).

Hal ini dibenarkan bait-bait yang saya kutip di awal paragraph seperti tertera dalam “Suluk Sontrang”, Pucung, Pada pertama (Simuh; 1889), yang terjemahananya;

“Sun… akarya Tembang Suluk

Liring suluk ika

Sesindhen ing para wali

Aja kemba lestarining sangkan-paran”

Saya… mengarang tembang suluk

Maksud suluk itu

(Adalah) nyayiannya para wali

Jangan ragu meneguhkan sangkan-paran

 

Oleh karenanya tembang-tembang Macapat (sekar alit) sering diatribusikan kepengaranganya bahkan kepada para wali tanah Jawi, misalnya durma dikarang oleh Sunan Bonang, Dhandhanggula dikarang oleh Sunan Kalijaga, Mijil dan Megatruh dikarang oleh Sunan Giri-Prapen, Maskumambang oleh sunan Majagung, dst. Karena jika kita mau jujur memeriksa, sebenarnya memang tak ada genre macapat (sebagai sebuah tembang) di Jaman Majapahit—setidaknya secara defenitif, meski mungkin prototype sudah ada. Model kesusasteraan di Jaman Majapahit hanya mengenal setidaknya dua genre yakni genre Kakawin dan genre Kidung (juga ada satu lagi kesusasteraan Parwa) yang oleh Javanolog macam Zoetmulder dipandang sebagai sebuah genre sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa-kawi yang berbeda dari bahasa Jawa modern di masa para wali tanah Jawi hingga Mataram, yang metrum tembangnya mengikuti rima suara panjang-pendek Sansekerta (India), alias berbeda dengan metrum macapat yang kita kenal hari ini. Ia, serat, suluk, wirid, dan babad—kesemuanya ditulis dalam format tembang-puisi macapat, kecuali tentu wirid—sebenarnya jika kita jujur adalah merupakan produk di masa Jawa Islam. Dan bahkan diyakni sebagai hasil Ijtihad kebudayaan para wali Tanah Jawi, termasuk di dalamnya wayang.

Nah, penamaaan suluk—yang secara harafiah berarti “perjalanan”—sebagai sebuah genre tembang Macapat adalah merupakan gambar yang disodorkan ihwal perjalanan sangkan-paraning dumadi manusia semenjak ia dalam kandungan hingga ia akhirnya dibalut kain kaffan, persis seperti penamaan dalam nama sekar dalam tembang Macapat. Namun, karena perjalanan itu begitu genting, penuh dengan jebakan jala-indera gemerlap dunia, ia harus diusahakan secara lahir-bathin, jasadiah maupun ruhaniyah. Maka tak aneh misalnya kita mengenal tradisi “selamatan bayi” (baca: SalamahIslam) dilakukan sejak dini oleh masyarakat Jawa dari mulai sepasaran kelahiran hingga mitoni (tujuh bulan) atau sering disebut “tingkeban”. Tingkeban berarti perkembangan janin bayi dianggap sudah titi-jangkep, dimana secara jasadi, ruh telah bersarang dalam diri bayi, alias sudah lengkap (titi dan jangkep) disebut sebagai manusia—persis seperti digambarkan dalam “Serat Wirid Hidayat Jati” (Ronggawarsita) ihwal perjalanan ruh di bulan ketujuh sesuai konsep martabat tujuh-nya Ibn Arabi. Dalam perjalanan ruh pada janin tersebut harus dibarengi dengan doa dan selamatan. Ini juga berlaku saat manusia meninggal, alias saat perjalanan ruh berpulang kehadirat-Nya dimana Ia juga harus diiringi oleh “doa” dan “slametan” sesuai gambaran perjalanan ruh dalam skema martabat tujuh seperti dijelaskan Ronggawarsita dalam Wirid.

Gambar 2 : Manifestasi Konsep Sangkan Paran dalam Tembang Macapat (Sekar Alit)

Selain itu, sebenarnya penamaan sekar macapat bisa juga kita rangkai dalam pembacaan serupa. Disebut macapat karena dalam perjalanan sangkan-paran-nya, manusia harus dengan sungguh memperhatikan unsur empat atau “membaca empat” (maca papat) nafsu dalam diri ruhaniyahnya (lawamah/hitam, supiyah/kuning, amarah/merah, mutmainah/putih) atau sering disimbolisasikan dengan sedulur papat lima pancer yang dalam perkembangan umur manusia memiliki gradasi tantangan, jebakan, dan penangannnya secara lebih khusus. Saat masih muda misalnya (sinom), karena nafsunya yang masih menggelegak dalam usaha mengenali atau sedang mengeksplorasi kelebihannya sebagai manusia (jalan marga utama), ia seharusnya ditemani (kinanthi) perkembangan moral-spiritualnya dengan disiplin yang lebih bernuansa “hitam-putih” (syariat), agar ia tak kebablasan hingga justru menjerumuskannya pada jalan menyimpang yang merusak eksplorasi kelebihan (kemanusiaan)-nya.

Juga misalnya saat nikah (gambuh). Nikah adalah pranata sosial yang paling kuat sebagai kawah candradimuka yang memaksa seseorang untuk menundukkan ego dan diri rendah-nya, karena ia akan diuji untuk suatu tanggungjawab lebih dalam usaha mencari penghidupan dalam sebuah relasi masyarakat serta telah mengalami jatuh bangunnya proses tersebut (dhandhanggula) yang memang menuntut sikap kedewasaan tertentu. Oleh karenanya, jika ia lolos dalam olah penundukan diri ini ia akan “bisa” mendermakan baktinya (durma) kepada sesama karena telah lepas dan mengatasi pamrih diri dan egotisme diri rendahnya.

Makanya terdapat konsep penting dalam idiom Jawa untuk menggambarkan perjalanan penundukan nafsu empat sesuai tahapannnya, seperti (1) nanding sarira (membandingkan kelebihannya dengan yang lain) saat remaja, (2) ngukur sarira (mengukur batas capaian kelebihan serta kekuarangannya dengan yang lain) saat muda-menjelang dewasa, yang akan mengantarkannya pada kondisi (3) tepa sarira atau tepa selira, yakni bisa menakar atau menerapakan ukuran orang lain pada diri kita sendiri alias bisa mengambil sudut mental kebenaran atau perasaan orang lain (kedewasaan), tidak egois dan kekanak-kanakan. Oleh karenanya kedewasaan berarti seseorang telah mengatasi dan menundukkan pamrih diri dan nafsu egotismenya. Dengan capaian penundukan “diri rendah” tersebut dengan sendirinya akan mengantarkan seseorang mengenali dirinya pada tahap (4) mulat sarira hingga mawas dhiri. Orang yang telah bisa mengenali dirinya ia akan mengenal tuhannya. Man Arafa nafsahu ngarafa robbahu (ma’rifat; ngilmu makripat).

Gambar 3 : Olah Budhi

Karena penundukan diri tersebut merupakan bagian jenjang laku jasadi-ruhaniyah, maka orang Jawa mendisiplinkan laku penundukan ego tersebut (suluk/macapat) setidaknya dalam tiga hal; (1) yakni melalui disiplin strata bahasa berjenjang meninggi (bahasa ngoko-madya-krama-inggil) yang membuatnya sanggup menempatkan dirinya dalam skema andhap-asor (tidak menggunakan karma inggil untuk dirinya sendiri/ merendahkan diri sendiri), juga disiplin gerak tubuh yang telah diatur dalam tata-krama dan unggah-ungguh (menunduk jika melewati orang tua, dll), juga (2) menajamkan atau tepatnya “menghaluskan rasa” melalui olah-seni dalam wujud gamelan, tari, dll agar bisa menundukkan karsa-tubuh dan gejolak rasa yang tak terkendali menuju tercapainya rasa halus, hingga (3) melalui jalan tapa, laku-prihatin, puasa, riyalat, mengurangi makan-tidur-seks, mutih, kungkum, tarak-brata, lelana, dll. Oleh karenanya dalam pengertian poin ketiga ini kata “laku” atau “lelaku” (spiritual) sering dilekatkan—persis seperti arti sepesifik kata suluk dalam istilah Tarekat. Karena ia sedang menunjuk usaha penundukan nafsu empat dan egotisme diri rendahnya dalam sebuah perjalanan panjang sangkan paran agar mulus menjalani lelakon hidup. Urip mung saderma nglakoni.

Sejauh pengalaman saya membaca serat, suluk, babad, dan wirid dalam khasanah kesusateraan Jawa, saya menemukan bahwa seluruh ajaran pengetahuan dan ilmu Jawa berpusar pada pengetahuan ihwal mengenal akan diri sendiri, alias laku diri, yang sering dibahasakan secara berbeda seperti mawas dhiri, mulat sarira, hingga pangawikan pribadi. Yakni sebuah usaha untuk mengenali dirinya sendiri dalam skema sangkan paran—tentu dengan cara menundukkan nafsu empat dalam dirinya (macapat), sehingga ia bisa mengutuhkan kedirian kemanusiaanya agarnya ia ketemu dengan diri sejatinya (jati diri). Agar ia bisa mengutuhkan atau menyempurnakan kemanusiaannya (janma utama atau insan kamil).

Ngilmu Iku…

Saya akan mulai mengutip bait Wedhatama yang begitu popular dalam tradisi Jawa, tentu dengan versi yang agak lengkap, terutama pada bait (pada) pertama tembang Pucung (3),

“Ngilmu iku

Kelakone kanthi Laku

Lekase lawan kas

Tegese kas nyantosani

Setya budya pengakese dur angkara”

Ilmu itu

Tercapainya dengan cara laku (olah diri)

Permulaannya dengan sungguh-sungguh

Maksudnya sungguh2 mengukuhkan tekad (utk)

Setia (terus-menerus) mengolah-budi (dalam) memberantas angkara-murka (sumber keburukan)

~~~

“Angkara gung

Neng Angga anggung

Gumulung

Gegolonganira, triloka leker kongsi

Yen den umbar ambabar dadi rubeda”

(Yakni) Angkara besar

Yang bertempat dalam diri (badan), yang selalu

Bergulung-gulung

Yang jenis-jenisnya menjangkau/menempati tiga dunia dalam diri (tempat representasi nafsu berpusar)

Karena jika dibiarkan merebak menjadi bahaya

 

Ilmu itu tercapainya dengan laku. Apa makna laku di sini? Ada banyak sekali buku dan sarjana mengartikan laku di atas sebagai “perbuatan” atau bahkan “praktik” dalam pengertian umum. Namun ini hanya setengah benar, karena ia tak mewakili penjelasan teks Wedhatama secara utuh. Padahal banyak sekali acuan kata laku yang sebenarnya telah disediakan dalam keseluruhan teks, dimana pengarang Wedhatama telah memberi kerangka acuan makna yang menyebar dalam teks sebagaimana kata laku bisa ditemukan di sekujur teks.

Sebut saja misalnya di awal pupuh Sinom sebelum pupuh Pucung pada bait “ngilmu iku” disebutkan:

“Nulada laku tama

Tumrap wong tanah Jawi

Wong Agung ing Ngeksi ganda

Panembahan Senapati”

Meneladani laku utama

Untuk masyarakat Jawa

Orang besar dari Mataram

Panembahan Senapati (pendiri Mataram)

 

Eksplisit di bait tadi, sang pengarang menyebut acuan kata laku yang seharusnya menjadi acuan mengartikan kata laku. Yakni sebuah usaha meneladani laku utama dari seorang raja pendiri mataram, Panembahan Senapati. Apa yang dimaksud kata laku (utama)? Penjelasan ini ada pada bait setelahnya,

“Kepati amarsudi                                           

Sudane hawa lan nepsu                               

Pinesu Tapa-brata                                       

Tanapi siang ratri                                        

Memangun Karyenak Tyas ing Sasama”     

Berusaha keras melatih

Menguranggi hawa-nafsu

Mengusahakan laku tapa-brata (prihatin)

Serta di siang hari maupun malam hari (selalu)

Menciptakan rasa enak di hati sesama

 

Laku seperti sudah saya jelaskan di awal-awal halaman, berkait dengan olah-diri untuk menundukkan nafsu lewat jalan tapa-brata, tafakkur, prihatin, mengurangi hawa nafsu, hingga selalu berusaha menciptkan rasa enak di hati sesama. Sebuah laku atau riyalat ruhaniah untuk menundukkan ego diri. Seperti dicontohkan Senapati, di saat sepi berkelana tanpa bekal apa-apa sebagai laku prihatin/tafakkur (kala kalaning ngasepi, lelana teki-teki) untuk menyelusuri batas terdalam kehendak diri (nggayuh geyonganin kayun), yakni dalam rangka mencapai hati-pikiran yang “hening” (kayungyun eninging tyas), senantiasa laku-prihatin, teguh mengurangi makan dan tidur (sanityasa pinrihatin, puguh cegah dhahar lawan nendra). Setiap keluar dari rumah, berkelana ke tempat sepi agar ia tahu kejelasan kehendaknya (mrih pana pranaweng kapti), untuk mencapai puncak kelembutan hati (tis-tising tyas marsudi), agar menjadi ahli mengolah budi bersih (mardawaning budya tulus), mengusahakan keutamaan hati (mesu reh kasudarman), dll. Dikarenakan laku keras tadi, yakni saat di pinggir samudera, seperti dikisahkan pada sosok Senapati, ia kejatuhan anugerah ilham lembut dari Tuhan (Sruning brata ketaman wahyu dyatmika).

Malah yang lebih eksplisit, makna kata laku sebenarnya sudah disebut dan dijelaskan secara gamblang dalam bentuk tahapan, atau tingkat-tingkat berjenjang menaik seperti tercantum dalam skema Serat Wedhatama, yakni dari (1) Sembah Raga (disebut sebagai permulaan laku atau amagang laku), (2) Sembah Cipta/Kalbu (juga disebut laku lanjutan/uga ingaran laku), (3) Sembah Jiwa (yang disebut sebagai puncak tertinggi laku/pepunthoning laku), dan terkahir (4) Sembah Rasa (pada titik ini tidak ada laku karena tidak ada lagi petunjuk/ dadine wis tanpa tuduh, kecuali hanya berpandu pada tekad kuat/ mung kalawan kasing batos).

Hal ini semakin menguatkan dan mengafirmasi tesis awal saya bahwa kata laku juga bermakna persis dengan kata suluk. Karena jika melihat tahapan yang telah disebut di atas, hanyalah merupakan bahasa orang Jawa untuk mengajarkan tahapan suluk dalam tasawuf berjenjang empat, yakni (1) syari’at atau sembah raga, (2) tarekat atau sembah cipta/ kalbu, (3) hakikat sebagai sembah jiwa, (4) ma’rifat atau sembah rasa. Nanti kita akan melihat bahwa setiap kriteria untuk menunjukkan setiap karakter tahapan laku dalam jenjang ini memiliki kriteria seperti dipahami dalam jenjang suluk dalam tradisi tasawuf. Plus beberapa kata dan kalimat yang menguatkannya. Yang saya ingin tunjukkan, Wedhatama tidak ingin sedang keluar dari bingkai Islam.

Gambar 4 : Amemasah Mesu Budhi (Sembah Raga, Cipta, Jiwa, Rasa)

Jika kita sebelumnya membaca laku (olah diri) dalam kerangka membaca nafsu empat (macapat), maka pembacaan 4 tahapan laku juga bisa terkerangkai dalam tahapan ini. Karena ia bertujuan untuk mengolah unsur diri yang berjumlah empat sebagai fakultas diri yang dilekati oleh empat nafsu yang telah disebut di awal, yakni raga, cipta, jiwa, dan rasa. Ini juga mengafirmasi kesejajaran konsep laku dalam pengertiannya sebagai usaha untuk mengolah empat unsur diri, agar empat unsur itu manunggal dalam diri, sehingga akan mencipta kualitas manusia utama (jalma utama atau insan kamil). Dan yang lebih ditekankan bahkan dalam olah diri atau laku dalam tradisi Jawa selalu berkait tujuan “dunia” ini (dalam pengertian mempercantik dunia), seperti tercantum gelar kalifatullah raja Jawa Islam. Para raja Jawa menjalankan laku dan tarak-brata untuk menjadi sumbu dunia/ mangkurat/pakubuwana/hamengkubumi, agar bisa menebar kebaikan dunia, setidaknya di tingkat normatifnya.

Oleh karenanya kualitas dari olah laku spiritual Jawa pertama bertujuan untuk menegakkan unsur kemanusiaan, alias untuk kepentingan dunia ini, dan bukan merupakan usaha eskapisme murni. Meski harus kita akui, karena tujuan ini, konsep ini juga mengilhami praktik “menyimpang” tanda kutip jika digeret oleh praktik massal orang awam. Segera kita akan menuju empat tahapan olah diri ini yang disebut oleh Wedhatama sebagai laku mengolah budhi (amasah mesu budi), yang sungguh selaras dengan defenisi “budaya”, jika ia diartikan sebagai “mendayakan budi” (budi daya/budhya). Kata “budaya” dalam pengertian mendayakan cipta, karsa, rasa, manusia (meski hanya tinggal tiga unsur, tidak ada jiwa) sebenarnya juga masih merupakan bagian dari definisi laku atau suluk. Namun visi Jawa lama masih menyangkutkan olah tersebut dalam skema sangkan-paran kembali menuju-Nya.

Laku Raga

Apa wujud laku olah diri dalam rangka sangkan paran kembali pada tuhan tersebut? Yakni (1) sembah raga, yakni sebentuk usaha mendisiplinkan raga kita, beserta dorongan kehendak-kehendak yang muncul alias karsa dari sifat alamiah raga itu. Alias dorongan nafsu alamiah seperti dimiliki oleh hewan. Tanpa kedisiplinan ragawi, kemantapan ruhani sulit dicapai. Oleh karenanya Wedhatama menekankan bahwa cara ampuh untuk menundukkan dorongan dan tubuh wadag ini yakni dengan displin berulang yang telah tertentu waktunya(wantu wataking wewaton). Bahkan teks ini menekankan disiplin lima waktu dalam sehari dalam waktu sholat (kang wus lumrah limang wektu), dan cara bersucinya melalui air-wudhu (sesucine asarana saking warih). Hal ini sekaligus mengafirmasi bahwa tahapan awal laku (amagang laku) dimaksudkan dalam pengertian syariat, atau tahapan awal suluk. Dalam pemahaman ini syariat adalah bagian awal tahapan laku mengolah diri kemanusiaan kita (lire sarengat iku kena uga ingaranan laku).

Laku ragawi ini serta dorongan karsa yang muncul darinya harus ditundukkan dalam sebuah disiplin yang ajeg dan telaten (dingin ajeg kapindhone ataberi). Agar orang tidak terjerumus dalam praktik merugikan orang lain seperti mencuri, merendahkan orang lain, dan berzina, orang tidak perlu menunggu kesadaran akan bahaya dan dampak dari perilaku yang muncul. Melainkan Ia harus dicegah oleh aturan “hitam-putih” bernama syariat. Juga seperti sesuai gerakan sholat, olah-disiplin-raga ini bisa membuat raga menjadi lebih sehat (nyenyeger badan mrih kaot), yakni dengan gerakan dalam sholat yang dijalankan membuat aliran darah menjadi lancar yang memicu jernihnya hati kita (tumrah ing rah memarah antenging ati), dan oleh karenanya bisa menghilangkan keruwetan pikiran (antengin ati nunungku angruwat ruweding batos).

Laku Cipta/Kalbu

Laku menundukkan diri pada wilayah cipta, pada hakikatnya, adalah menajamkan cipta/akalnya agar tetesan pengetahuan menujunya (patitis tetesing kawruh). Alias menjernihkan pikiran dari godaan hawa nafsu, keinginan yang telah disusun secara lebih kompleks oleh pikiran dan imajinasi, yang membuatnya tidak bersifat obyektif dalam menilai kenyataan yang diselimuti keinginan, pamrih, dan nafsu-nafsu subyektifnya. Oleh karenanya cara bersuci pada tahap laku ini adalah bukan dengan menggunakan air-wudhu (sesucine tanpa banyu), melainkan melalui usaha mengurangi atau meredam godaan gejolak nafsu yang menggelegak (mung nyunyuda mring hardening kalbu). Hal itu harus dilakukan dengan menata pikiran dari godaan-godaan nafsu secara teliti, hati-hati (pambukane tata titi ngati-ati), ajeg, telaten, dengan cara pembiasaan (atetep telaten atul), dengan bantuan jangkar bernama waspada (tuladan marang maspaos).

Kewaspadaan terhadap nafsu-keinginan-pamrih yang bisa mengganggu jernihnya akal dalam menilai baik dan buruk tidak hanya akan mengantarkan seseorang akan kenyataan obyektif apa adanya, melainkan juga akan meningkat pada “kesejatian penglihatan” (mring jatining pandulu) yang tindak perbuatannya akan menapaki tangga jalan bertahap bertingkat kenyataan/maqam (panduk ing ndon dedalan setuhu).  Kata jalan (dedalan) mengingatkan saya pada tahapan tarekat (yang secara berarti berarti jalan) yang ingin dimaksudkan pada tahap olah diri ini. Makanya dalam tradisi awal memasuki tarekat, orang diminta untuk menjalankan amalan khusus dari mulai berpuasa, amalan khusus, sholat malam, zikir, dll yakni dengan kadar lebih dari orang kebanyakan, agar ia lebih terlatih menekan godaan nafsu, pamrih yang dapat menggagu penilaian akal sehatnya sebagai pandu menilai baik-buruk.

Bahkan Jika amaliah khusus dilakukan secara lurus (lamun lugu legutane reh maligi), biasanya ia akan mendengar suara-suara sayup-sayup seolah dari kejauhan (lageane tumaluwung), sebagai tanda terbukanya tingkatan alam (kenyataan) lain di atas pengenalan cipta seperti wadagnya (wenganing alam kinaot). Godaan menundukkan pamrih, ego, nafsu di level cipta atau kalbu ini lebih kompleks karena keinginan alamiah itu telah ditempeli gagasan yang membuatnya susah dikenali, sehingga ia tak mudah lagi untuk ditundukkan. Makanya ia diminta dengan kewaspadaan melalui amalan khusus, yang membuatnya tidak menyerah dalam olah laku penundukan ini (den awas den emut mring pamurung lelakon).

Laku Jiwa

Laku olah diri Jiwa oleh Wedhatama disebut sebagai tahapan akhir dari laku (ing arananan pepunthoning laku), yakni sebuah laku yang berkaitan dengan dunia batin (kelakuwan kang tumrap kang bangsa batin). Dalam olah diri ini ia harus bisa menjelmakan yang maha suksma dalam diri setiap detik harinya (mring hyang suksma sukmanen seari-ari). Dalam bahasa yang lebih profan ia diminta untuk terus me-reorientasikan tujuan hidupnya kepada tuhan dalam rangka perjalanan sangkan-paran menuju-Nya; bahwa dunia ini sementara, bahwa dunia ini bukan tujuan, dll. Oleh karenanya cara bersuci dalam olah ini yakni dengan cara awas dan juga ingat (sucine lan awas emut). Alias dalam bahasa kita adalah “zikir”, mengorientasikan seluruh tindakan dalam kehidupan ini hanya pada-Nya yang akan memberi arah tujuan akhir yang jelas (paran).

Dengan tahapan berjenjang olah diri yang menempati puncak laku ini ia akan bisa mengggulung setiap nafsu dan dorongan alamiahnya, juga keinginan nafsu yang telah disofistifikasi oleh gagasan, pikiran, dan angan-angan (pamrih diri, egotism, diri rendah, godaan setan) yang sifatnya bisa lebih kompleks. Dalam bahasa Wedhatama, pada tahap ini, orang telah bisa mengarah, meringkas atau meringkus, menali, dan merangkul “tiga jagad” (triloka) yang secara simbolis merupakan tempat tiga golongan nafsu tersebut bersemayam (ngangkah ngukud ngiket ngruket triloka kakukud).

Oleh orang Jawa, tiga jagad (triloka) itu sering dinamai (1) baitul makmur (guruloka) yang berada di kepala, yang melecut sifat ingin menang sendiri, ingin mewah, ingin menonjol, sombong, dll (2) baitul mukarram (endraloka) yang bersemayam dalam dada/hati yang melecut sifat dengki, marah, iri, dan yang terakhir (3) baitul mukaddas (janaloka) yang bersemayam dalam kemaluan yang memunculkan rasa sahwat, tertarik wanita, dll. Ketika tiga golongan nafsu ini diitundukkan Jiwanya akan bersih dari kemelekatannya pada dunia. Alias jiwanya telah lurus menghadap-Nya (rasakna kang tuwajuh). Ia akan bisa merasakan alam hakikat (senyatane iku kanyatan kaki). Yakni tenggelam dalam alam yang menghanyutkan juga melingkungi (keleme mawi limut), dan mendapat ilham/hidayah dari dalam alam tersebut (kalamatan jroning alam kanyut). Diri yang telah menundukkan seluruh golongan nafsu dalam tubuhnya akan mendapat secercah cahaya yang menghidupkan dan menerangi budi dan akhlak-nya (ana sejatining urub, urub pengarep uriping budi), sebuah terang semburat yang menerangi (sumirat sirat narawung), layaknya bintang yang bersinar (kang pindha kartika byor).

Laku Rasa

Laku tahap terakhir sebenarnya bukan lagi merupakan laku. Karena tidak lagi ada petunjuk (dadine wis tanpa tuduh), kecuali hanya bekal tekad batin atau keadaan batin yang khusus (mung kalawan kasing batos). Ia yang telah melewati tahapan laku dirinya, Ia berharap akan mendapatkan kerelaan dan rahmat Allah (wus kakenan nugrahaning Hyang widhi), seperti halnya keadaannya sendiri yang telah menerima, pasrah, dan hanya percaya pada pedoman aliran gerak takdir (amung kandel kumandel marang takdir), karena diri rendahnya benar-benar terkendali. Penglihatan batinnya telah menyibak tabir hijab (pambukaning warana, ingkang buka ing kijabullah), dimana ia telah merasakan (rasa jati) dan sampai pada saripati kehidupan ini (sembah rasa karasa wosing dumadi). Dan pengetahuannya, oleh karenanya, ia simpan rapat di dasar hatinya (sinimpen telenging kalbu), sehingga “rasa sejati” akan menyusup ke dalam dirinya (sumusuping rasa jati) yang akan menjadi pandu dalam menjalani hidup.

Inilah yang disebut dalam baris puisi Wedhatama pada baris sebelum kalimat “ngilmu iku kelakone kanthi laku” sebagai “ilmu makripat”, atau dalam bahasa verbatim serat ini “sudah bersemayam penglihatannya pada ma’rifat (wus manggon pamucunge mring makripat). Ia tak lagi ragu ketunggalan sifat-sifat dan asma Allah yang telah bersemanyam dalam diri/tauhid wujud (tan samar roro-roroning atunggil). Secara tersirat usaha laku untuk mengedalikan empat unsur dalam diri (raga, cipta, jiwa, rasa), dalam bahasa lain, adalah usaha untuk “mensyahadatkan raga”, pikiran, jiwa, dan rasa kita. Makanya tak aneh jika untuk menyebut empat laku tersebut pengarang Wedhatama menyebut dengan istilah “sembah”.

Jadi “Ilmu iku kelakone kanthi laku” bermakna ilmu (sejati) itu tercapainya melalui olah diri yang dengan sungguh-sungguh dan tekad yang kuat mengolah suluruh bagian dari diri untuk memberantas segala angkara murka atau nafsu yang bersemayam dalam diri kita, yang merupakan sumber kejahatan dan keburukan di dunia ini. Olah diri tersebut dilakukan dalam sebuah tahapan laku berjenjang-menaik mengolah unsur empat dalam diri kita, layaknya sebuah tahapan suluk dalam empat tahapan dalam tradisi tasawuf, yakni (1) laku raga, syariat, (2) laku cipta, tarekat, (3) laku jiwa, hakikat, dan (3) laku rasa, ma’rifat,  yang oleh bahasa verbal Wedhatama ke-empatnya dinamakan “sembah”. Artinya setiap usaha mengolah diri tiap bagian unsur dalam diri dimaknai bukan semata profan untuk memaksimalkan potensi kedirian manusia, melainkan ia ditempatkan pada garis kontinum “perjalanan besar” sangkan-paran hidup ini yang pada akhirnya akan kembali pada-Nya.

Tahapan laku atau olah diri ini dijalankan dengan cara (1) mendisplinkan dorongan nafsu-nafsu tubuh jasmani (raga/karsa) melalui disiplin dan aturan syariat, (2) menajamkan pikiran/cipta dengan cara waspada atas keinginan egotis pikiran, pamrih subyektif yang bisa mengganggu kejernihan pikiran kita dalam mengenali kenyataan secara jujur agar dapat memilah kebenaran dan kebatilan (3) selalu mengembalikan orientasi jiwa kita pada tujuan hidup akhir kepada-Nya dengan cara mengingat-Nya, yang dengan itu (4) rasa (sejati) akan bisa menjadi pandu dalam menjalani tugas mulia kita di dunia yang akan dipertanggungjawabkannya saat ia kembali pada-Nya.

Ngilmu, Janma Utama

Dapat kita simpulkan bahwa seluruh rangkaian penjelasan Ilmu melalui jalan laku diri, seperti digariskan Wedhatama adalah dalam rangka untuk mengutuhkan kedirian kemanusiaannya (mengkono Janma Utama). Dengan bahasa lain ilmu dicapai untuk mengubah kedirian manusia menjadi mahluk yang berbudi utama, atau meghasilkan manusia dengan moralitas utuhnya. Hal ini persis dengan tujuan keseluruhan Wedhatama ditulis (jinenjer ing wedhatama), yakni agar tak kurang cadangan “air Ngilmu” yang digunakan untuk mengolah budi (mrih tan kemba kembenganing pambudi), juga agar berhasilnya hingga titik terdasar suatu perbuatan yang didasarkan ilmu luhur (mrih kertarta pakartining ngilmu luhung). Caranya adalah mengenali diri sendiri, atau dalam bahasa Serat ini “tenggelam dalam membaca ayat diri” (manganyut ayat winasis), hingga titik terdalam hakikat diri (wasana wosing jiwangga) yang menghantarkannya pada rasa sejati (ma’rifat).

Gambar 5 : Hakikat Ngilmu (Janma Utama)

Sungguh sayang jika sudah berumur tua tapi tak mengenali “rasa” (tan mikani rasa), sungguh akan membuatnya “sepi”, “hambar”,  persis seperti ampas tak kentara (yekti sepi asepa lir sepah samun). Karena makna tua berarti berarti telah diam hawa nafsunya, dan telah menunggalkan tauhid-wujud (lire sepuh sepi hawa awas roroning atunggil), yang dengan bekal itu ia bisa disebut sebagai manusia yang telah waspada pertanda samar dalam hidup (wus waspadeng semu), bahkan telah sanggup menunggalkan pertanda samar (pasemon) tersebut dalam diri dan tindakannya (wis bisa nuksmeng pasang semu), dalam rangka menangkap pasemon agung dari kegaiban Tuhan yang maha suci (pasamoaning hebing kang maha suci) yang telah tergelar dalam ayat diri dan semesta. Seorang manusia yang telah menangkap dan melihat alam diri dan semesta sebagai semata manifestasi wujud Allah yang tergelar (wujudulloh sumrambah ngalam sakalir/tajalliyat).

Makanya, pencapaian ilmu seseorang pasti diikuti oleh perubahan kualitas moral-spiritual dan kedewasaan seseorang. Orang Jawa punya ungkapan spesifik dalam menyebut keadaan seseorang yang belum memenuhi tuntutan moral Jawa yakni dengan istilah “durung Jawa” (belum Jawa), yang sering dialamatkan pada tingkah laku anak-anak (belum dewasa). Jadi ilmu pasti menyeret seseorang—dalam frame pengertian usaha mengolah diri kemanusiaanya—pada tingkat kedewasaaan moral-spiritual bahkan material yang sering disebut telah menjadi orang (dadi wong).

Makanya seluruh parameter untuk menandai kualitas manusia pandai maupun bodoh dalam Wedhatama selalu terkait dengan moral, juga ruhaniyah, dan bukan dalam kepandaian kognitif semata. Kualitas dan ciri orang bodoh misalnya ditandai oleh Wedhatama dengan ciri dan sifat seperti tak mau dianggap bodoh (lumuh ingaran balilu), jika berbicara tanpa dipikir (nora nganggo peparah lamun angling), tidak mau direndahkan dan inginnya selalu unggul (lumuh asor kudu unggul), sombong, dan sering sesumbar (semengah, sesongaran). Ciri kebodohan ini biasanya menyebabkan nalarnya tak berkembang dan acak-acakkan (nora mulur nalare ting saluwir). Metafornya seperti “gua gelap sepi diterjang angin yang mengeluarkan suara mendengung dengan erangan-erangan tanpa henti” (kadi gua kang sirung, sinerang maruta, gumarenggeng nggereng anggung gumrunggung)

Begitu juga saat mencirikan orang yang telah mencapai ilmu yang sejati yang telah meresap dalam hati, Wedhatama menyebut dengan kualitas moral seperti selalu waspada dalam sebuah pertemuan terhadap perkataan dan gelagat yang samar (waspadeng semu) dengan berusaha berbicara dan bertindak dengan cara menyamarkan atau menyembunyikan dalam sebuah tanggap-ucapan manis (sinamun in samudana, sesadon ing adu manis), dan berusaha menanggapi perkataan orang bodoh dengan cara mengalah dan menutupi kedunguan lawan bicaranya (si wasis waskhita ngalah, ngalingi marang si pingging). Orang seperti ini justeru akan gembira jika dianggap bodoh (bungah ingaranan cubluk), malah senang hatinya jika dihina (sukeng tyas yen denina), tidak seperti si dungu yang selalu “mendengung” ingin diagung-agungkan dipuji setiap hari (nora kaya si punggung anggung gumurunggung ugungan sedina-dina).

Oleh karenanya kualitas moral (akhlak) ini dalam bingkai sangkan-paran sebenarnya merupakan saripati puncak dari tujuan agama, persis seperti digariskan Islam. Karena agama dalam bahasa Wedhatama harus bisa mengangkat kemuliaan manusia dalam usaha mempercantik baju akhlaknya (agama ageming aji). Ia harus bisa mengantarkan manusia menuju inti-saripati akhlak (mring atining tata-krama) yang merupakan pakaian Agama suci ini, Islam (gon-anggon agama suci).

Kenapa saya menyebut Islam bukan yang lain? Karena petunjuk di sekujur teks Wedhatama memang membenarkannya. Itu ditandai dengan ungkapan rendah hati penulis yang menceritakan pengalaman saat muda yang sempat mencicipi dan terserap dalam dalam mengaji agama (duk maksih taruna, sedhela wus nglakoni aberap maring agama), yaitu belajar pada hukum syariat yang diajarkan para haji (maguru anggering kaji). Dan bahkan sang pengarang merasa tak pantas—sebagai ungkapan rendah hati dan status sosial sebagai anak raja yang digariskan melalui trah kesatria—untuk menjadi seorang penghulu masjid ahli agama yang secara umum waktu itu dipilih berdasar garis keturunan dan trah (tuwin ketib suragama pan ingsun nora winaris).

Malah, selain petunjuk kerangka syariat, hakikat, tarekat, ma’rifat yang ingin ditekankan dalam laku Islam sebagai penanda bingkai agama yang ingin ditunjuk, saya melihat kritik yang dilayangkan Wedhatama juga masih dalam bingkai agama tersebut. Misalnya ia mengkritik perilaku orang Islam yang terbelit dan melulu berpusar pada formalitas syari’at (anggung anggubel sarengat), tanpa memahami hakikat syariat sebagai penyaring tindak buruk (saringane tan den wruhi). Wedhatama bahkan menyebut lebih khusus empat dasar Islam sunni (ahlussunnah wal jamaah) sebagai pandu dalam melayangkan kritiknya, yakni (1) Qur’an/dalil (2) Hadis/dalil, (3) Ijma’, dan (4) Qiyas (sarengat, dalil dalaning ijmak, kiyase nora mikani). Empat dasar Islam ini jika tak dijadikan pandu dan tak dikenali secara utuh, akan menyebabkan, seperti dicontohkan serat ini, yakni saat membaca khutbah jum’at dimanis-maniskan, tapi dengan nada mengumandang, dan intonasinya seperti berperang (kalamun maca kutbah, lelagone dandanggendis, swara arum ngumandang cengkok palaran).

Serat ini juga mengkritik kecenderungan sebagian “santri dul” (terutama di daerah selatan sepanjang pesisir Pacitan) yang sering memperlakukan pengetahuan agama sebagai ajang bahan unjuk-wicara dan perbantahan (anggere pada nyalemong); syariat dicampur aduk dengan laku batin yang justru membuat bingung, ingin cepat-cepat tahu, seolah anugerah “cahaya tuhan” sudah ia dapatkan (kesusu arsa wruh cahyaning Hyang kinira den karuh) yakni tanpa melakukan olah tahapan yang telah dijelaskan di muka. Bahkan ada yang memahami agama pada level permukaan, alias keluar dari bingkai pembentukan akhlak, alias dengan memaknai dasar Islam yang berhenti hanya sebatas lafal (amaknani rapal), yakni seperti dicontohkan Wedhatama seperti kelakuan seorang sayid keluaran Mesir (kaya sayid weton mesir) yang seringkali meremehkan kemampuan (beragama) manusia lain (pedhak-pendhak angendhak gunaning janma). Persis seperti anak muda yang tidak ada hentinya dalam kesenangannya berbicara kesana-kemari (nora uwus, kareme anguwus-uwus), padahal intinya tidak ada (owose tan ana), seperti Buto—representasi tokoh pewayangan yang belum menundukkan diri rendahnya—yang sedang naik darah senang menganiaya (kaya buto, buteng betah nganiyaya).

Oleh karenanya Wedhatama ditulis untuk tujuan menghindar dari jebakan memahami pemahaman agama yang tidak mengantarkannya pada budi luhur seperti dicontohkan dalam kritik yang dilayangkan serat ini. Bahkan dalam skema empat tahapan laku untuk menundukkan golongan nafsu yang bersemayam dalam tubuh sebagai syarat mencapai ilmu (sejati), sang pengarang telah bisa mendeteksi dampaknya. Orang yang mengolah ilmu dengan tidak menautkan pada penundukan nafsu diri, dengan sendirinya akan terjerembab pada semata pengetahuan superfisial belaka. Ilmu yang dihasilkan hanya ada dalam ujaran dan diskursus (kawruhe mung ana wuwus), bahkan perkatannya ditinggi-tinggikan dan bahkan nyrempet-nyrempet barang-barang gaib (wuwuse gumaib-gaib), seolah-olah omongan tinggi seperti para wali (muluk ujare kaya wali), padahal dibantah sedikit melotot matanya, alisnya mengkerut alias marah (kasliring tithik, mencereng alise gathik). Malah, pengetahuannya ia salah-gunakan untuk tujuan pamrih kepemilikan harta-benda (dadi kawruhe kinarya ngupaya kasil lan melik). Itulah yang disebut serat ini sebagai “ulama telur” (pandhita antiga), luarnya seolah putih bersih padahal di dalamnya kuning.

Akhirnya, saya harus katakan, Ngilmu dalam tradisi Jawa pada prinsip dasarnya adalah laku untuk menyempurnakan diri untuk keutuhan kemanusiaanya sebagai penuntun menjalani “perjalanan besar” (laku/suluk) hidup sangkan-paran kita yang pada akhirnya akan kembali pada-Nya. Dari olah kemanusiaan ini, dimana diri rendah telah berhasil ia tundukkan, kualitas kemanusiaannya menjadi utuh. Dan laku ilmu tersebut akan menuntun manusia pada kualitas akhlak utama, yang tidak saja akan “menciptakan rasa enak terhadap hati sesama” (memangun karyenak tyasing sesama), melainkan juga ikut “mempercantik semesta” (memangun hayuning bawana), alias memberi rahmat bagi alam semesta apapun bentuk, warna, dan agamanya.

Yakni sebuah ilmu yang akan bisa memberi obor yang akan mengantarkan kedekatan kita alias “obor-kedekatan” pada Allah (kang minangka colok celaking Hyang widhi). Dimana ibarat perjalanan seseorang dalam menapaki jalan yang sangat berbahaya, Ia mendapat pandu obor yang menerangi jalannya agar tak tersesat dalam perjalanan kembali pada-Nya (yeku dalaning kasidan), alias lolos secara mulus dalam perjalanan pulang, wafat (kasidan jati).  Ngilmu yang akan mengubah wujud alamiah kehewanan diri manusia (dumadi) menjadi manusia utuh yang bergerak secara wujud kembali pada wujud hakiki (dumadi-dadi/maujud-wujud). Singkat kata, Ngilmu adalah gerakan ontologis manusia menuju “perjalanan” pulang dalam garis sangkan-paran kembali pada sang pemilik wujud (Allah). Hu Allah.

 

Irfan Afifi (pejalan)

Cepokojajar, Senin 18 Februari 2019.

 

0
1440
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.