Pohon Diri
Pada malam itu aku melihat orang-orang berlomba
meninggikan pohon di hadapan anak-anak
pada lembar-lembar sepi
secara halus membunuh tubuh sendiri
mati dikutuk mimpi setiap hari.
Pohon itu dikuliti separuh batang
telanjang pada bagian pangkal
seksinya membuat aku hanyut dan kesal
ungkapan-ungkapan tak berbekal.
tajam menikam Selain tersiksa, pohon-pohon itu menjerit
suaranya cukup memukau dan menggelikan
telinga pada kata-kata
dan malam itu aku hanya menumpang teduh.
SDN 153, 02- April-2019
Pohon Politik
Bergantung di tepian jalan raya
pohon itu dihiasi kata-kata
gambar-gambar yang hendak berkuasa:
“Kami pun mengatakan itu pohon politik
tak bersuara dan mati.”
Hampir setiap senja
jantung jadi kecut, berdegup
takut pada keinginan
sebab, jelmaannya adalah angka-angka:
“Satu! Dua! Satu! Dua!”
Kini hanya menfitnah
dari angka-angka yang bergayut
di atas pohon politik.
Ruang Sunyi-2020
Pohon Tua di Tepian Sungai
“Wahai angin, berapa lama engkau meniup?”
Aku senantiasa condong dan patah
tak sempat menulis sejarah
sepanjang sungai
Ingin sekali mengadu waktu
tentang pedagang yang menempuh jalan buntu.
Mereka tak menimbulkan kerisauan,
atau pun kemarahan pa.njang
Aku hanya sebatang pohon tua di tepian
melihat beribu kisah
mengalir di aliran dan menahan badai.
Kekuatan sebagai pohon tua,
menjatuhkan peradaban, zaman ke zaman
meninggalkannya pada terminal
membunuh anak-anak
mengeluarkan asap dan banjir.
Tahukah, sungai itu menampung sampah?
2021
Pohon Sejarah
Delapan belas dua puluh empat, sejarah yang pedih menuju waktu.
Inggris mendatangkan pilu. Moyang meraung dari alunkan gelombang jajahan.
Kekuasaan tunak, di bawah pohon sejarah yang panjang.
Pohon yang dimiliki Bugis. Bernaung tuan muda mengurai sejarah pada tiga anak, yang sedang menaggung luka-luka.
Suaranya jadi peluru, menembak ke telinga.
Menancap pancang pada ingatan di ujung barat, sebelum keris bertuah itu sampai untuk menikam.
Tak ada waktu mengusap airmata. Sebab, sejarah telah dilupakan, lalu jadi belukar.
Melilit benak dan mata anak-anak.
Mei 2021
Pohon Nafsu
Pohon nafsu kian tegak terpacak
membirahi tanah-tanah jadikan bunga
berharap iman kokoh pada batang hidup
yang sebentar lagi redup.
Nafsu mondar mandir dalam pikiran
tak setia pada kesusahan orang miskin
tumbuh di tengah-tengah
menggoncang periuk-periuk di dapur.
Padahal baru saja besar dan tumbuh
membiak di tepi-tepi laut
laut adalah kuala. sungai panjang
Ombak kebahagiaan meninggalkan iman
di tempat.
“Pohon nafsu penuh kedukaan.”
2021
Pohon Iman
Ia hidup oleh Tuhan
zat yang abadi tempat pohon iman
tak pernah tumbang dan kekal.
Pohon itu semakin tua tak renta
hidayah turun di tubuh bagai airmata dari langit
burung-burung berteduh di bawahnya
berzikir dengan alam.
Pohon iman tetap kokoh
bisik aku padanya :
“Maafkan aku Tuhan
sering berpaling.”
2021
Selamat Jalan Aki
Kami menangis tenang dalam angin
Yassin kami bacakan
bermalam-malam.
Aku lambat melihat,
memuntahkan kekesalan di laut
dari nasib.
Doadoa di sisinya,
sebagaimana darah yang beku
mata pejam dan kendur.
Ia telah pergi selama-lamanya
pesan begitu mendalam
gugur bagai air mata.
Hingga ziarah
melihat ketenangan pada hari Jumat
zaman pun berganti baru
kami tinggal, Aki.
Penyalai, 2021
Memori Kehidupan
Kehilangan bentuk dalam telaga api
ujung rambut sampai kaki terbakar
bulu-bulu yang lain jadi abu
airmata membanjiri tubuh
tenggelam dalam kekesalan.
Di jembatan ia berbunyi:
“Aku terlalu lalai Tuhan.”
Yang mendekat,
menghukum segala perbuatan
pisau senantiasa tajam mengiris diri sendiri
sebagai tanda akhir dari kehidupan.
Tumbuhkan memori,
kita telah lupa pada jebakan
menyimpan kekeringan di bulatan kepala.
Pekanbaru, 2021
Awe-Inspiring Sculptures by Daniel Popper