Menu

Travelogue di Nusantara: Menggurit Sejarah, Menggubah Sastra

Pada tahun 2016 saya dipercaya menjadi salah seorang juri lomba cipta sastra “Sail Puisi Cimanuk” yang diadakan oleh Dewan Kesenian Indramayu. Karena tema lomba merujuk sebuah tempat, yakni Kabupaten Indramayu, khususnya yang berhubungan dengan Sungai Cimanuk, maka panitia lomba merasa perlu membuat semacam pengantar Historiografi. Di situ diuraikan kesejarahan Indramayu (Dermayon) sebagai bandar besar pada abad ke-14, bersama Banten dan Sunda Kelapa. Sungai Cimanuk (Chemano) menjadi tempat berlabuh kapal-kapal segala bangsa.

Dari mana panitia lomba mendapatkan informasi tentang itu? Tidak lain dari catatan seorang pengelana Portugis, Tome Pires. Sepanjang 1512-1515, Pires berkelana di Nusantara dan menulis kisah perjalanannya dalam buku fenomenal, Suma Oriental. Cimanuk ada ditulis di situ:

[…] Cimanuk sebuah kota yang besar dan bagus. Tuan-tuan kepala pelabuhan ini merupakan orang-orang yang sangat penting. Masing-masing ditakuti dan sangat dihormati oleh penduduk. Mereka pemburu tangguh yang melewatkan sebagian waktu mereka untuk bersenang-senang, dan memiliki kuda-kuda yang dihiasi dengan bagus. Mereka bersaing dengan orang Jawa, begitu pula sebaliknya. Mereka bilang, orang Sunda lebih gagah perkasa. […]

Demikian secuplik catatan Pires yang diterakan panitia. Perihal Cimanuk, saking lebarnya sungai yang berhulu di Gunung Papandayan itu, Pires menganggapnya sebagai laut atau selat yang memisahkan “Pulau” Sunda dan Jawa. Dua wilayah yang digambarkannya saling bersaing, namun bisa menjalin hubungan dagang dengan baik. Pengelana Portugis lainnya, Joao de Barros juga menuliskan perjalanannya dalam buku Da Asia, Dacada IV (1615). Pires dan Barros merupakan dua pengelana yang menulis catatan perjalanan pada era rempah-rempah dan bertahtanya kolonialisme di Nusantara.

Jauh sebelum zaman rempah dan kolonial, kita mendapat informasi masa lalu berkat catatan perjalanan seorang biksu Budha dari Cina, I Tsing. Ia menuju India menyusuri Jalur Sutra—sebuah jalur yang banyak muncul dalam catatan para musafir—lalu “terdampar” di Palembang (671 masehi).  Pada kedatangannya yang kedua, I Tsing menetap satu tahun di Palembang (685-695 masehi). Ia mencatat kebesaran Kemaharajaan Sriwijaya dan kehidupan masyarakat Melayu di Jambi.

Catatan perjalanan (travelogue), menurut Gusti Asnan (2014), merupakan tradisi yang sudah lama berkembang di kalangan masyarakat Eropa, Cina dan Arab, meskipun publikasinya baru marak dilakukan pertengahan abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20. Dalam makalah di Borobudur Writers and Cultural Festival itu (kemudian dimuat dalam buku Arus Balik: Memori Rempah dan Bahari Nusantara), Asnan menyebut travelogue bisa dibuat oleh individu namun ada juga bersifat kolektif, misalnya ekspedisi wilayah yang direstui raja-raja, bahkan bisa berupa laporan bersama armada niaga.

Laporan pelayaran Cheng Ho, Colombus, Marcopolo atau Vasca Da Gama termasuk dalam catatan kolektif. Sedangkan perjalanan Tome Pires dan Parada Harahap—dua orang travelogues yang menjadi fokus bahasan Asnan—merupakan catatan individu. Baik catatan kolektif maupun individu, dengan kelebihan dan kekurangannya, sama-sama penting sebagai bahan referensi historiografi suatu bangsa atau kawasan. Karena itu tak heran, kesejarahan Indonesia banyak digali dari catatan perjalanan musafir Cina, Arab dan Eropa seperti dilakukan Anthony Reid. (Dan dalam bentuk lain, dapat dirujuk untuk keperluan praktis dalam kerja literasi sebagaimana dilakukan Panitia “Sail Puisi Cimanuk” di atas).

Travelogue… Baik catatan kolektif maupun individu, dengan kelebihan dan kekurangannya, sama-sama penting sebagai bahan referensi historiografi suatu bangsa atau kawasan. Karena itu tak heran, kesejarahan Indonesia banyak digali dari catatan perjalanan musafir Cina, Arab dan Eropa seperti dilakukan Anthony Reid.

Buku The Suma Oriental of Tome Pires (1944) yang dieditori Armando Cortesao—juga memuat tulisan Fransisco Rodrigues; tak hanya tentang Nusantara, juga Mesir, India dan Cina—jelas menyumbang historiografi itu, misalnya tentang kehidupan bahari Sumatera, sistem pemerintahan dengan kerajaan dan kedatuan, hidup-matinya kota-kota pelabuhan, dinamika sosial kemasyarakatan, dan seterusnya (Asnan, 2014).

Status dan latar belakang seorang pejalan dapat memberi garansi kelengkapan sebuah travelogue. Perjalanan yang didanai raja, sultan atau komisi dagang bisa mengumpulkan lebih banyak data dan keluasan daya jelajah. Meski begitu, pada perjalanan individual data bisa juga didapatkan secara leluasa, bebas dan personal tanpa ikatan dinas, sehingga tidak mengurangi keunggulannya, terutama untuk data pingggiran (non-mainstream). Pires sendiri adalah juru tulis utama Portugis untuk kawasan Malaka dan Tanah Jawa sekaligus duta Portugis untuk Cina. Ia juga pernah menjadi penyuplai candu dan obat-obatan untuk Portugis di India. Karena itu data dan pengamatannya sangat luas, meskipun posisinya sebagai “orang dalam” memiliki bias, penilaian yang subjektif, penuh prasangka, kesalahan nama dan hal-hal sejenis yang disebut Asnan sebagai kelemahan travelogue.

Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Letnan Hindia-Belanda berkebangsaan Inggris menulis The History of Java (1817), kitab babon yang memuat segala hal tentang Jawa, mulai adat istiadat, hal-ihwal kebudayaan, manusia, keadaan alam dan geografis, agama dan kepercayaan. Raffles ditugaskan ke Jawa pada tahun 1811 ketika Kerajaan Inggris mengambil alih wilayah jajahan Kerajaan Belanda di Nusantara. Tahun 1818 Raffles dipindahkan ke Bengkulu dan bertugas sampai tahun 1824 dari mana ia pernah melakukan perjalanan ke pedalaman Minangkabau dan mencatatkannya dalam laporan dan surat-surat.

Dalam jelajahnya ia mencatat persinggahannya di Simawang dekat Danau Singkarak, perjumpaannya dengan kota-kota di pedalaman Minangkabau hingga ketercengangannya menemukan istana Pagaruyung yang sudah habis dibakar Tuanku Lintau pada awal Perang Padri. Raffles sempat memperhatikan sawah yang pengairannya baik di Pauh dan hamparan sawah seluas mata memandang di Selayo, Solok, yang kini disebut menghasilkan salah satu beras terenak di Nusantara, “beras Solok” (Wenri Wanhar, JPPN, 2016).

Buku The History of Java sendiri tidak murni sebagai catatan perjalanan (travelogue) namun tetap memuat unsur-unsur kepejalanan. Pertama, perjalanan Raffles sendiri secara langsung ke berbagai pelosok di Jawa, seperti Prambanan atau Borobudur, dan kedua,  menyiratkan perjalanan pihak kedua atau ketiga yang bisa kita sebut sebagai perantara. Perantara ini jelas melakukan perjalanan langsung, kemudian memasok data kepada Raffles yang kemudian menuliskannya. Laporan dari ahli dan pihak partikelir yang membantunya itu, digabung dengan perjalanan dan pengamatannya sendiri. Maka The History of Java menurut saya tetap dapat dipandang sebagai buah travelogue, di samping juga memenuhi unsur genre kepenulisan yang lain, katakanlah takstonomi atau etnografi.

Raffles konon terpacu menulis bukunya setelah membaca History of Sumatera (1783) karya William Marsden. Sama seperti Raffles, Marsden juga tidak benar-benar melakukan travelling ke pedalaman dan pantai barat secara lengkap-menyeluruh, apalagi ke Nassau (Kepulauan Pagai) dan pulau-pulau lain di lepas pantai Sumatera. Selain “hanya” mengadakan perjalanan keliling Bengkulu dan sempat ke Sumateras Weskuts (Sumatera Barat), sebagian besar bahan-bahannya ia dapat melalui sosok perantara. Sebagai sekretaris EIC (kumpeni dagang Inggris) di Bengkulu, ia sering bertemu orang dari berbagai pelosok Sumatera di Benteng Marlborough, dan dari sana ia menggali fakta dan cerita. Maka jadilah buku monumental yang meski tak bisa sepenuhnya dianggap jenis travelogue, namun nuansa travelogue tak dapat diabaikan.

Oleh karena itu, melihat travelogue (di) Nusantara pada masa-masa awal berkembangnya tradisi kepenulisan genre ini, tidak bisa secara murni berdasarkan perjalanan an sich. Sebab kerja kepenulisan biasanya bersanding dengan kerja-kerja observasi, administrasi, ekspedisi bahkan peperangan dan penaklukan. Travelogue mesti dilihat secara luas, baik cara ia menyusup ke dalam berbagai jenis tulisan (jurnalistik, sastra, laporan penelitian, bahkan biografi/otobiografi), maupun sebaliknya, cara ia merespon berbagai jenis bidang (sejarah, kebudayaan, seni, ekologi, etnografis, spritualitas, hingga administrasi pemerintahan). Buku Miguel Coverrubias Island of Bali (1922), surat-surat Rabindranath Tagore dalam perjalanannya ke Bali (1927) dan buku Revolusi di Nusa Damai karya Ketut Tantri menunjukkan hal tersebut.

Sementara itu, antropologi termasuk dunia yang banyak menyumbangkan catatan bernuansa travelogue. Hal yang paling terkenal adalah pengalaman tinggal dan perjalanan Reimar Schefold di pedalaman Siberut, Mentawai. Schefold merupakan antropolog kelahiran Basel, Swiss dan menjadi guru besar Antropologi Budaya Indonesia di Universitas Leiden. Bukunya, Aku dan Orang Sakuddei (2014, edisi pertama berbahasa Belanda terbit 2012) merekam kehidupan masyarakat Siberut dengan cermat, akrab dan menegangkan; perjalanan menembus hutan, sungai dan laut, berupacara dan tinggal di uma, berinteraksi dengan sikerey, dan seterusnya lengkap terdedah.

Begitu pula pengalaman Elio Modigliani, antropolog Italia, di Pulau Nias. Meski pengalaman tersebut ditulis ulang oleh orang lain, yakni Vanni Puccioni, nuansa perjalanan dalam era 1886 tersebut tidaklah hilang. Vanni sangat piawai bercerita dalam buku Tanah Para Pendekar (2016, edisi pertama berbahasa Italia terbit tahun 2013), sehingga sosok Elio Modigliani yang berkelana jauh dimasa silam di Nias Selatan terasa hadir kembali.

Tentu saja sebuah travelogue sangat mungkin memaksimalkan penggaliannya atas sumber-sumber terpercaya (tokoh atau referensial), baik primer maupun sekunder. Toh situasi dan konteks zaman ketika seseorang melakukan itu sudah mendekati atau bahkan melebihi sebuah perjalanan yang tidak semudah waktu sekarang. Marsden menulis Sumatera dari Bengkulu, dan bayangkanlah, betapa dari London untuk sampai ke Bengkulu pada tahun 1774 itu menyiratkan medan perjalanan yang niscaya merepresentasikan tempat lain yang dibayangkan. Persentuhannya dengan berbagai pihak di Bengkulu, itu riil membawa cerita perjalanan dari pelosok-pelosok tanah Sumatera yang jauh.

Bisa pula berlaku hal sebaliknya. Seorang pejalan menjelajah langsung berbagai tempat, namun tidak menuliskan catatannya secara langsung. Ada perantara orang lain juga saat menuliskan. Apa yang dilakukan Vanni atas Elio merupakan sebuah kemungkinan yang bisa dikembangkan. Antara perjalanan dan catatannya berjarak jauh (perjalanan Elio tahun 1886, dan tulisan Vanni tahun 2013), namun berkat referensi dan catatan berserak si pejalan (dalam arti belum dirangkai dalam narasi), jarak itu bisa disambungkan. Hal yang sama tersua dalam buku Kisah Perjalanan Magellaan ke Pulau-Pulau Rempah karya Louise Andrews Kent (tahun tak terlacak) yang diterjemahkan Alibasah Moeis. Kent mengisahkan pelayaran Ferdinand Magellaan berkeliling dunia mencari pulau rempah-rempah, Maluku, bersama kawan-kawannya yang kemudian juga dikenal sebagai begawan perjalanan seperti Pigafetta dan Vasco da Gamma.

Sementara itu, Ibnu Batutah, pengelana asal Maroko punya teknik sedikit berbeda. Meski sama-sama dituliskan orang lain, namun ia terlibat aktif mendiktekan dan memeriksa catatannya itu. Sebagaimana kita tahu, pengelanaan Batutah ke timur pada abad ke-14 mencapai Maladewa dan Samudera Pasai. Selain Afrika, Turki dan Kremia di Rusia, Batutah juga tiba di Tabriz, “pintu gerbang Cina”, tapi ia berbalik ke Mekkah untuk naik haji yang kedua kali. Barulah dalam perjalanan berikutnya Batutah sampai ke Cina dengan terlebih dulu singgah di ujung barat Sumatera, diterima Sultan Pasai.

Uniknya, kisah perjalanan Batutah merupakan hasil penceritaan ulang yang didiktekan kepada Ibnu Juzay, juru tulis Sultan Maroko. Juzay mencatat dalam bentuk rihlah (kisah perjalanan, salah satu genre sastra Arab) dan menjadi buku yang diakui sebagai catatan perjalanan dunia paling lengkap dari abad ke-14: Tuhfat al-Nuzzhar fi Gharaib al-Amshar wa Ajaib al-Asfar (Persembahan Seorang Pengamat tentang Kota-Kota Asing dan Perjalanan yang Mengagumkan). Sebagian buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Yayasan Obor.

Berdasarkan penelusuran di atas, sekali lagi perlu disadari bahwa travelogue (di) Nusantara, terutama pada masa-masa awal, secara teknis boleh dikatakan bukan genre yang murni. Akan tetapi secara “ruh”, perjalanan—dalam pengertian luas—tetap sebagai kunci. Dalam hal ini, judul buku Karl May, Dan Damai di Bumi, bisa saja kita elaborasi menjadi, “dan tak ada yang murni di bumi”!

… sekali lagi perlu disadari bahwa travelogue (di) Nusantara, terutama pada masa-masa awal, secara teknis boleh dikatakan bukan genre yang murni. Akan tetapi secara “ruh”, perjalanan—dalam pengertian luas—tetap sebagai kunci.

Tuapejat Pulau Pagai pada masa kolonial disebut Nassau (dokumen penulis)

Memburu Jejak Wallace di Buru   

Dalam ilmu pengetahuan modern dikenal “Garis Wallacea” yang membagi Nusantara dalam dua bagian, Timur dan Barat, berdasarkan ragam flora dan faunanya. Adalah Alferd Russel Wallace, si empunya garis imajiner itu, yang menerakan garis klasifikasi pada peta Nusantara, hal yang menggerakkan Charles Darwin beberapa waktu kemudian, melakukan perjalanan ke Galapagos hingga menelorkan teori evolusi yang kontraversial itu. Wallace sendiri melakukan observasi naturalistiknya didorong oleh gairah perlawatan yang tertuang dalam catatan perjalanan Ferdinand Magellan (1521). Magellan, pelaut Spanyol, berkeliling dunia dengan kapal Victoria bersama Figafeta, petualang Italia yang kelak menerbitkan catatannya sendiri. Perjalanan Wallace pun kemudian menghasilkan buku yang kaya dan memikat, The Malay Archipelego (1869) atau Kepulauan Nusantara: Sebuah Kisah Perjalanan, Kajian Manusia dan Alam (edisi Bahasa Indonesia, Komunitas Bambu, 2009).

Wallace berlayar dari barat ke timur, dari Sumatera, Jawa, Bali dan Lombok. Di Lombok ia masuk melalui pelabuhan Ampenan yang waktu itu termasuk jalur wajib yang disinggahi kapal-kapal dari barat ke timur atau sebaliknya. Di Lombok, Wallace menemukan raja yang sedang melakukan cacah jiwa untuk pengobatan wabah. Waktu itu pelabuhan sangat ramai dan Ampenan merupakan pusat perdagangan Lombok di bawah Kerajaan Karangasem. Sekarang kita tahu, Ampenan tinggal sebagai kota tua di sudut Mataram, NTB. Ketika saya datang, tak ada jejak Wallace tertinggal, kecuali catatannya tentang Lombok yang penuh kesan.

Lebih ke timur, salah satu tempat yang pernah menjadi lokasi observasi Wallace adalah Kayeli di Pulau Buru—saya juga pernah datang ke tempat itu. Saya datang ke Kayeli sebulan lebih awal daripada Alferd Russel Wallace. Jangan terkejut. Sang Naturalis Inggris itu datang bulan Mei, menjelajah hingga lembah Waeapo, dan menetap di Kayeli sampai Juni 1819. Saya datang minggu pertama bulan April 2018, mendaki hingga ke Gunung Botak, dan tinggal sampai akhir bulan di Namlea, seberang Kayeli.

Sebelum diterjang banjir dan ditinggalkan, Kayeli cukup membuat penjelajah seperti Wallace takjub. “Bouru (maksudnya Cajeli, Kajeli, atau Kayeli) memiliki sebuah benteng kecil yang tertata sangat rapi, dikelilingi oleh lapangan rumput dan jalan-jalan yang bagus,” tulisnya dalam The Malay Archipelego.

Keberadaan Wallace di Buru dapat merepresentasikan cara ia menuliskan perburuannya akan serangga, dedaunan dan bunga liar, di pulau terbesar Maluku itu, atau cara ia menuliskan banyak hal di Nusantara, sebab memang catatannya merupakan “sebuah kisah perjalanan, kajian manusia dan alam”.

Keberadaan Wallace di Buru dapat merepresentasikan cara ia menuliskan perburuannya akan serangga, dedaunan dan bunga liar, di pulau terbesar Maluku itu, atau cara ia menuliskan banyak hal di Nusantara, sebab memang catatannya merupakan “sebuah kisah perjalanan, kajian manusia dan alam”.

Ketika Wallace memulai perburuan serangga dan pengamatan unggasnya, Raja Kayeli tidak cukup hanya mengutus orang suruhan sebagai pendamping, namun raja sendirilah yang mendampingi si Inggris secara langsung. Menurut saya ini “bernuansa politis”, bagaimana seorang raja ingin menunjukkan wilayah kekuasaannya kepada seorang asing yang sedang berburu ragam kumbang, burung dan kupu-kupu, sekaligus “diplomatis”; bagaimana seorang raja bisa memberi rasa aman bagi orang jauh.

Raja Cajeli menawarkan diri untuk menemani saya karena kampung itu berada di bawah kekuasannya. Maka kami berangkat pada dinihari dengan sebuah perahu panjang berawak delapan pendayung. Setelah berperahu selama dua jam, kami memasuki sungai yang arusnya sangat kuat. Lebar sungai itu kira-kira 100 yard dan bagian tepinya ditumbuhi rumput tinggi, terkadang oleh semak-semak dan pohon-pohon palem. […..] (2009: 284)

Sungai yang dimaksud Wallace saya duga ialah Sungai Waeapo, sungai terbesar di Pulau Buru yang membelah lembah Waeapo yang subur. Pada tahun 60-an, ribuan tahanan politik pernah dibantarkan di lembah ini, dan kesuburannya kemudian terbukti dengan keberhasilan para tapol membukanya sebagai lahan sawah terluas di Maluku, yang kelak diwariskan kepada orang-orang trans. Hal yang tentu saja tak terbayangkan oleh Wallace.

Bagi Wallace, keadaan Kayeli jauh lebih bagus daripada Delli [sic]—mungkin maksudnya Dili di Pulau Timor—yang dipimpin “Yang Mulia Gubernur” serta memiliki garnisun lengkap dengan letnan, kapten dan mayor. Padahal Bouru dengan Cajeli sebagai pusat pemerintahan “terlalu miskin untuk memiliki seorang asisten residen sekalipun”. Karena itulah, Kayeli hanya memiliki seorang opziener alias pengawas, putra asli Amboyna (Ambon), dengan garnisun berkekuatan 12 orang serdadu Jawa dan seorang ajudan sebagai komandan.

Waktu pertama datang (Wallace menyebutnya “pendaratan di Kajeli”), ia dijemput seorang petugas dengan perahu ke tengah teluk setelah nakhoda menembakkan senjata ke udara untuk memberitahu kedatangannya, dan kapal sendiri hanya berdiam di tengah tanpa membuang sauh, untuk akhirnya bertolak lagi. Wallace bersama paket dan barang kiriman diangkut dengan perahu ke darat, dan segera ia menjumpai Kayeli sebagai kota kecil yang tertata.

Di samping itu, ia juga mencatat:

Di kampung ini, pohon buah-buahan tumbuh lebat di antara rumah-rumah. Akibatnya, sinar matahari dan udara segar tidak dapat masuk ke dalam rumah. Rasanya sangat sejuk pada musim kemarau, tetapi lembab dan pengab pada musim hujan. (ibid, 2009).

Aktivitasnya mengumpulkan serangga ia tuliskan sebagai berikut:

Namun, tidak banyak serangga yang berhasil dikumpulkan. Saya hanya menemukan kumbang jenis Longicorn dan Buprestide, juga beberapa sepesies kumbang Amboyna. […] Selama dua bulan berada di Bouru, saya hanya mengumpulkan 210 jenis kumbang. […] Salah satu serangga terindah yang saya temukan di Bouru adalah cerambyx dengan warna coklat tua dan antena yang sangat panjang. (2009: 286).

Setelah menulis panjang lebar tentang ketakjubannya menemui hal-hal baru di Buru, ia pun menulis tentang persentuhan orang Alfuru dengan barang baru yang ia bawa:

Hampir semua penduduk Bouru belum pernah melihat peniti. Yang pernah melihatnya dengan bangga akan memberitahu teman-temannya mengenai keistimewaan dan kegunaan barang Eropa yang aneh tersebut—sebuah jarum dengan kepala, tapi tanpa mata! […] Saya sring melihat mereka memungut potongan-potongan kertas yang saya buang, lalu menyimpannya dengan hati-hati dalam kotak sirih mereka. […] (ibid, 287).

Cukup banyak hal-hal penting dituliskan Wallace dalam bukunya, sekalipun itu aktivitas dan suasana sehari-hari. Karena ditulis dengan detail, jujur dan polos—termasuk tanpa basa-basi menyatakan ketidaksenangan—maka keadaan Pulau Buru awal abad ke-19 bisa dirujuk dari sini. Sayang sekali saya tidak menemukan semacam tugu penghormatan atas jejak Wallace di Buru. Umumnya monumen dan tugu di Buru berhubungan dengan pengabdian heroik para prajurit, mayor dan jendral yang menjadi pengawal setia para tapol.

Sayang sekali saya tidak menemukan semacam tugu penghormatan atas jejak Wallace di Buru. Umumnya monumen dan tugu di Buru berhubungan dengan pengabdian heroik para prajurit, mayor dan jendral yang menjadi pengawal setia para tapol.

Pelabuhan Pulau Buru (dokumen penulis)

Perjalanan Jurnalistik yang Menggelitik dan yang Heroik

Selain perjalanan Tome Pires era klasik, Gusti Asnan juga merujuk perjalanan jurnalistik yang dilakukan Parada Harahap. Parada merupakan seorang wartawan yang naluri jurnalistiknya terlatih mendalami hal-hal kecil yang terluputkan. Itulah sebabnya catatan perjalanan Parada dianggap sangat detail dan kritis, misalnya tentang dunia bahari Sumatera; perkapalan, perlakuan terhadap penumpang, rute, dan nasib kota pelabuhan setelah pelayaran berpindah jalur. Hal-hal ini menjadi rujukan para sejarawan untuk menuliskan perkembangan suatu kawasan, termasuk Gusti Asnan sendiri yang menulis buku Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera (2007).

Jika Parada Harahap menceritakan perjalanannya di dalam negeri, maka Adinegoro (Djamaludin Datuk Maradjo Sutan) menceritakan lawatannya ke Eropa tahun 1926-1929 dalam buku Melawat ke Barat (1930)—yang dianggap sebagai tonggak perjalanan jurnalistik Tanah Air; meski apa yang disebut “tanah air” waktu itu belum lagi lahir. Pasca dibukanya Terusan Suez (1869), perjalanan laut antar benua menjadi lebih singkat dan kapal laut juga secara teratur menghubungkan dunia timur dan barat. Adinogoro yang berangkat dengan kapal “Tambora”, tidak hanya menceritakan pengalamannya selama di Jerman, Belgia, Prancis atau Italia, tetapi sejak ia bertolak dari Tanjungpriok, Selat Bangka, Singapura, Belawan sampai Sabang. Hal ini memperkuat spirit travelogues yang diembannya. Sekaligus menunjukkan bahwa travelogues di Nusantara tak hanya tentang Nusantara, namun juga tentang orang Nusantara yang terpercik hasrat yang sama dan menulis tentang negeri seberang dengan mata Nusantara.

Muhammad Radjab dalam Catatan Perjalanan di Sumatera (terbit pertama kali 1949) menuliskan pengalamannya selama menyusuri pulau yang juga punya nama Pulau Perca, Pulau Emas dan Andalas itu; mulai dari Kutaraja (Aceh) sampai Teluk Betung (Lampung). Waktu itu ia wartawan Kantor Berita Antara. Bersama Suwardi Tasrif (Harian Berita Indonesia) dan Rinto Alwi (Harian Merdeka), Radjab diundang menyertai kunjungan kerja Kementerian Penerangan RI yang menterinya tidak lain wartawan kawakan, Parada Harahap. Radjab terutama berhasil merekam situasi daerah pasca agresi pertama Belanda, 1947, baik kondisi yang memprihatinkan maupun semangat rakyat untuk bangkit mempertahankan kemerdekaan. Tak ketinggalan adat-istiadat, watak dan budaya setempat.

Setelah kunjungan kerja sang menteri selesai, Radjab tetap tinggal dan memutuskan menyusuri Sumatera sendirian. Namun agresi polisional Belanda yang kedua membuatnya batal berkunjung ke sejumlah daerah yang direncanakan, seperti Sungai Dareh dan Sijunjuang, bahkan ia terkepung selama enam bulan di Bukittinggi. Selama “terkurung” di kota ini, ia mengaku tersiksa lahir batin karena hawa dingin. Tapi saya duga ia lebih tersiksa secara batin.

Keadaan dan posisinya terasa dramatik; berada di kampung sendiri, tapi berjarak—dan mesti membuat jarak—sebab ia orang yang sedang berkunjung. Radjab sendiri lahir di kampung Sumpur, tepi Danau Singkarak. Jaraknya hanya sepelemparan batu dari Bukittinggi,“kota kultural urang awak” yang dalam kisaran tahun itu kemudian didapuk jadi Ibukota Darurat Republik. Sebagai “orang yang berkunjung” ia harus menjaga jarak supaya tetap “terkurung di luar” demi menjaga sikap kritis dan keras kepalanya. Apalagi gaya penulisan Radjab bukan jenis mengharu-biru, melainkan melantak-mempiuh bagai limbubu, menghantam tiap situasi buruk yang ia jumpai, meski jelas bukan hantam-kromo.

Karakter tulisan Radjab sarkas, jika bukan kritis, sinis jika bukan mengejek. Karakter itu mengingatkan saya pada tulisan Navis atau Abrar Yusra. Mereka memang generasi yang mencoba mengambil-alih spirit “cimeeh” ala Minang—lebih dari sekedar cemohoan; tapi perpaduan kecerdikan dan kecerdasan, ketangkasan menyemprotkan isi dan “sampiran”. Karena itu cimeeh, jika saudara tak gampang beriba hati, lebih terasa sebagai tamparan pembangkit semangat (baca: pembangkit batang tarandam), kecuali jika saudara lemah hati bisa ambyar dan berniat bunuh diri.

Adapun kecintaan Radjab pada kemajuan teknologi dan fajar modernitas, dapat dibandingkan dengan pandangan STA dan Pramoedya Ananta Toer. Ia menghajar watak-watak fasis para pemuda yang terbakar heroisme kemerdekaan, dan jauh-jauh hari ia ingatkan bahaya pungli dan korupsi—saat republik baru seumur sawi. Tak ketinggalan satu hal kecil tapi masih jadi penyakit sampai kini: kebersihan toilet. Sebagaimana ia tulis di Tarutung, 16 Juli:

Selama Republik berdiri, di setiap kota yang saya kunjungi di seluruh Jawa dan Sumatera, sedikit sekali saya lihat kantor yang bersih, teratur dan rapi. Baik kantor pembesar maupun kantor biasa saja. Bila kita memasuki kantor itu kita mendapat kesan bahwa kerapian tidak sama sekali. Halaman kantornya tidak dibersihkan, kapur dindingnya coreng-coreng dan berlumut, kursi dan meja di dalamnya tidak teratur sepantas mungkin hingga tidak sedap mata melihatnya. (………) Bila kita pergi ke kamar kecil dan kakus, jijik dan hendak muntah kita melihat kotoran yang tidak diluangkan. Mereka yang bekerja di kantor itu tidak punya ingatan hendak menyuruh bersihkan dua tempat yang sebentar-sebentar dikunjunginya. (2018: 93).

Sebagaimana Adinegoro, Radjab mencatat sejak mula perjalanannya saat kapal bertolak di Priok (14 Juni 1947), sampai di Selat Bangka dan Selat Malaka. Karena rute kapal harus lebih dulu ke Singapura dan Penang, maka tak terelakkan ia juga mencatat keadaan di dua pulau negeri jiran itu, hal yang menerbitkan tanya pada diri Farida Indriastuti, wartawan yang menulis riwayat Radjab dalam buku cetakan ketiga (Balai Pustaka, September 2018),”Mengapa judulnya Catatan di Sumatera? Bukankah ia juga menulis Penang dan Singapura?”

Saya tidak bisa menjelaskan hal ini, kecuali menganggapnya sebagai adat yang detail dari seorang Radjab sehingga ia tak perlu mengindahkan batas-batas administratif. Ia fokus pada kesatuan geografis, di mana Singapura dan Penang memang satu kawasan dengan pantai timur Sumatera atau Selat Malaka. Sejurus dengan itu saya sendiri menyimpan pertanyaan mengapa buku yang ditulis Marsden maupun Raffles harus memakai kata “History”, History Sumatera atau The History of Java? Jika itu catatan ekspedisi, tentu saja apa yang tercatat tidak otomatis menjadi sejarah atau merupakan hal-ihwal sejarah, sekalipun mereka juga merujuk khazanah dan unsur sejarah. Sementara ini saya menganggap hal tersebut lebih menyiratkan cara kerja orientalis dengan klaim-klaimnya, sekaligus menunjukkan superioritas puak kolonial.

Situasi “terkurung” Radjab, si wartawan rantau itu di Bukittinggi, mengingatkan kita pada wartawan rantauan lain dari Sumatera: Sitor Situmorang. Meskipun tidak menuliskan situasi perjalanannya dalam semacam travelogue, namun dalam buku otobiografinya, Seorang Sastrawan 45 Penyair Danau Toba (Sinar Harapan, 1981: 169), saya merasakan nuansa kental travelogue. Di sini kita tersadarkan dua hal, pertama, travelogue bisa muncul menguatkan jenis tulisan apapun, lebih dari sekedar “suplemen”, seperti otobiografi atau biografi. Kedua, travelogue bukan hanya berisi hal-hal indah, juga hal-hal pahit, mendebarkan dan mencekam—anda sudah tahu.

Pada masa agresi Belanda ke Ibukota Yogyakarta, Sitor Situmorang merupakan koresponden surat kabar Waspada yang terbit di Medan. Dalam situasi sulit, Sitor bermaksud ke Jakarta, namun “terkurung” di Gombong. Ketika itu Gombong menjadi garis demarkasi Republik Indonesia-Belanda berdasarkan Perjanjian Renville (1948). Di barat Sungai Kemit adalah wilayah Belanda, bagian timur wilayah RI yang hanya “setelapak tangan”, dari Bagelan hingga Madiun, dan “sejengkal” dari sana, terletak Yogya (150 km ke timur) sebagai kantong perjuangan. Garis demarkasi itu dikenal sebagai Garis Van Mook atau Garis Status Quo yang situasinya seperti Tembok Berlin pada masa Perang Dingin.

Sitor harus melewati pos perlintasan Sungai Kemit yang dijaga ketat. Tak semua orang diizinkan lewat, sebagian menyusup, tertangkap atau tertembak. Sitor menggambarkan perasaannya ketika melalui malam yang sepi di Gombong. Debur ombak pantai selatan terdengar di kejauhan, menyusup ke ruang tidurnya di losmen. Bahkan penyair yang wafat di Apeldoorn Belanda itu mengaku ditimpa perasaan getir, seolah hidup tanpa kepastian dan tanpa tujuan yang terang.

“Sembari termangu menikmati suara laut itu, saya mendadak diliputi rasa tak berada di mana-mana”, tulis Sitor sebelum akhirnya ia kembali ke Yogya karena “paspor” wartawannya ditolak tentara Belanda. Selanjutnya, Sitor menulis:

[….] Sesampai di Gombong hati saya makin kecut membayangkan kesulitan menerobos penjagaan pihak Belanda di seberang kali. Saya memutuskan menginap dulu di sebuah losmen dan tidak segera ikut rombongan-rombongan kecil yang dengan bantuan penunjuk jalan akan menyeberang. [….] Gombong, dekat garis pertempuran, bertambah sepi, bersuasana desa seakan-akan tak dilanda perubahan yang dibawa oleh kejadian. Terbayang anak-anak Siliwangi dengan topi-topi pandan barunya dalam khayal menyusup ke seberang kali dimalam gelap…

Selanjutnya, catatan (perjalanan) jurnalistik bisa dilihat dari laporan Gerson Poyk di Harian Sinar Harapan. Catatan ini juga sudah dibukukan dalam Keliling Indonesia dari Era Bung Karno sampai SBY: Catatan Perjalanan Wartawan Nekad (2011), sebagaimana Rosihan Anwar yang menerbitkan Perkisahan Nusa (1986). Tak kalah menarik adalah catatan “Dari Pelosok Indonesia” Seno Gumira Ajidarma yang dimuat berseri di majalah Intisari sepanjang tahun 2000-an. Setahu saya tulisan ini belum diterbitkan menjadi buku.

Benteng Marlborough (dokumen penulis)

 Sastra Perjalanan”, Genre atau Tema?

Sementara itu, bagi sebagian sastrawan, perjalanan ke suatu tempat bisa memberinya stimulan penciptaan. Perjalanan tidak saja membuatnya merasakan langsung “rasa air dan bau tanah”, namun juga membuka kemungkinan tak terduga. Karena itu, dari khazanah sastra dunia kita menemukan banyak karya yang bertolak dari sebuah perlawatan. Atau karya sastra yang memiliki tema dan nuansa perjalanan, meski tentu sebagai karya sastra, yang harus bertaruh dengan konvensinya sendiri, penyajiannya tidak terlalu terbuka sebagaimana dalam “konvensi” catatan perjalanan (travelogue).

… Perjalanan tidak saja membuatnya (sastrawan-red) merasakan langsung “rasa air dan bau tanah”, namun juga membuka kemungkinan tak terduga. Karena itu, dari khazanah sastra dunia kita menemukan banyak karya yang bertolak dari sebuah perlawatan.

Dan Damai di Bumi, Karl May, merupakan kisah perjalanan ke berbagai kawasan di dunia, memadukan petualangan, karakter dan plot cerita yang mengasyikkan. Begitu pula Petualangan Don Quixote Miguel de Carvantes yang ceritanya sama mendebarkan dengan asal-usul naskahnya yang konon merupakan karya seorang Arab, Cid Hamet!

Petualangan Tom Sawyer yang haru dan menegangkan di Sungai Mississipi karya Mark Twain, kental unsur petualangan yang identik dengan perjalanan. Sebagian besar novel Amien Maalouf seperti Samarkand atau The Leon African, jelas mengandalkan rangkaian “peta perjalanan” berlatar sejarah. Tokoh utamanya membawa kita menjelajah kawasan tak bertara Timur Tengah dan abad-abad lewat. Ernest Hemingway banyak menulis karyanya di perjalanan, misalnya Lelaki Tua dan Laut  lahir di Kuba.

Margurite Yourcenar menulis Cerita-Cerita Timur, khazanah cerita oriental yang ia kumpulkan selama lawatannya ke Asia. Novel Gunung Jiwa karya Gao Xiangjain, pemenang Nobel 2000, merefleksikan perjalanannya ke pedalaman Cina mencari “gunung jiwa simbolik”, senada dengan Perjalanan ke Timur dan Sidharta Herman Hesse, pemenang Nobel 1946.

Sementara itu, novel Salju karya pemenang Nobel 2006, Orhan Pamuk, menjalin plotnya yang rapat dari perjalanan tokoh penyair Ka ke kota Kars yang merana dalam timbunan salju beku. Di sanalah ia bertemu dengan tokoh-tokoh pelbagai latar belakang yang merepresentasikan historiografi Turki yang panjang. Perjalananlah yang membuka keseluruhan simpul novel menawan sekaligus mencekam ini.

Di dalam negeri tak kalah banyak karya sastra bertolak dari perjalanan. Paling awal bisa dirujuk Syair Perjalanan Abdul Kadir Munsyi ke Mekkah dan  “Syair Haji” karya Syekh Daud dari Sunur, Pariaman. Tentu sebagai sebuah karya sastra, perjalanan diolah sedemikian rupa sehingga tidak tersaji seperti laporan atau catatan perjalanan yang biasa. Seorang sastrawan mungkin akan mengambil suatu tempat sebagai latar, sudut menarik sebagai perspektif, orang yang ditemui sebagai tokoh yang diciptakan kembali, berbagai hal menarik yang ditemui sebagai plot, termasuk gayanya bercerita.

Dalam kesusateraan modern Indonesia, sastra perjalanan lumayan dapat tempat. Cerpen-cerpen Triyanto Triwikromo misalnya, banyak lahir berkat stimulan perjalanan, terutama ketika ia ke luar negeri, misalnya “Lumpur Kuala Lumpur” (Malaysia) dan “Mata Sunyi Perempuan Takroni” (Madinah). Seno Gumira Ajidarma menulis cerpen (di) perjalanan, seperti “Tempat Terindah untuk Mati” (Nepal), “Monotogari” (Jepang) dan “Ketika Gong Ditabuh” (Kalteng). Bre Redana dalam kumpulan Urban Sensastion menulis cerita tentang penari gandrung Banyuwangi dan gadis Bali yang kental nuansa perjalanannya. Ketika Kongres Cerpen II/2002 di Negara, Bali, sejumlah cerpenis pulang membawa oleh-oleh berupa cerpen berlatar Loloan, tanah diaspora di kota Negara, setelah mereka diajak berkeliling ke sana.

Ada pula  jenis perjalanan dengan cara menetap cukup lama (meski ini bisa diperdebatkan) misalnya studi di luar negeri, residensi atau tuntutan pekerjaan. Orang-Orang Bloomington Budi Darma, bagaimanapun lahir ketika pengarangnya menetap di Bloomington untuk studi doktoral, namun nuansa pengamatan seorang pejalan tak dapat dinafikan. Begitu pula Impian Amerika Kuntowojoyo lahir ketika ia studi di Amerika. Kumpulan puisi Buku Harian Subagio Sastrowardoyo lahir saat ia mengajar di Eropa, cerpen Salju di Paris Sitor lahir di Prancis, dan seterusnya.

Bangunan sepanjang Jalan Pabean Ampenan (dokumen penulis)

Spirit Puisi Perjalanan

Dalam puisi, aroma perjalanan lebih kental lagi. Ini dapat diketahui, baik karena secara langsung menceritakan tempat yang dikunjungi, maupun secara tersirat memungut satu simbol pada sebuah tempat, atau dari data teknis semisal catatan titimangsa di bawah puisi. Berdasarkan itulah kita dengan mudah menerka puisi “Dari Besakih” Sanento Yuliman sebagai respon puitik atas kunjungannya ke Pura Besakih di Bali.

Begitu pula puisi “Ubud” dan “Pantai Utara” Isma Sawitri, “Ngarai Sianok” Warih Wisatsana, “Sungai Musi” atau “Moskow” Rendra, “Sungai Mississipi” Frans Nadjira “Sungai Kahayan” Ahmad Nurullah, “Columbia” Tardji, “Di Banjar Tunjuk” Sapardi, “Dalam Gereja Munster” Afrizal Malna, “Fantasia Gunung Tangkuban Perahu” Micky Hidayat, “Tanjung Tangis” dan “Lamahala” Riki Dhamparan Putra, “Pesisir Selatan” dan “Wonosari” Nur Wahida Idris, dan seterusnya. Ini tidak terhitung sajak Sitor Situmorang yang banyak lahir di berbagai tempat yang ia singgahi.

Ada pula buku puisi yang seluruhnya bertolak dari perjalanan. Di Atas Umbria Acep Zamzam Noor merupakan sajak-sajak perjalanan di dalam dan luar negeri, terutama Italia dan Bali. D. Zawawi Imron bahkan punya tiga buku puisi perjalanan ke tiga tempat, yakni Berlayar di Pamor Badik (kemudian terbit ulang menjadi Mata Badik, Mata Puisi) yang memuat sajak-sajak kunjungannya ke Sulawesi Selatan; Refrein di Sudut Dam buah kunjungannya ke Belanda dan Mengaji Bukit, Mengeja Danau hasil kunjungannya ke Sumatera Barat.

Perjalanan tidak selalu jauh sebagaimana ditunjukkan Iwan Konawe, penyair Kendari yang menerbitkan buku puisi Ritus Konawe. Buku ini memuat sajak-sajak perjalanannya keliling bumi anoa, Sulawesi Tenggara, tempat ia tinggal. Begitu pula Buwun, buku puisi Mardi Luhung tentang perjalanannya ke Pulau Bawean, yang terletak di lepas pantai Gresik, tempat mukimnya.

Para penyair Bali bahkan memiliki tradisi cukup unik, yakni merespon berbagai tempat yang ada di sekitar Bali dalam perjalanan singkat yang dilakukan ke sejumlah titik seperti Candidasa, Tanah Lot, Kuta, Sanur, Kintamani, Pelabuhan Buleleng, Nusa Dua, Sungai Ijogading,  dan seterusnya. Berani bertaruh, hampir semua penyair Bali memiliki lebih selusin puisi tentang destinasi yang ada di Pulau Dewata!

Belakangan ada program residensi Kemendikbud dan Pusat Bahasa, baik dengan mengirim sastrawan ke luar negeri maupun ke sejumlah daerah di tanah air. Selain berupa catatan perjalanan (pihak Pusat Bahasa menyebut jurnalisme sastrawi), program itu juga melahirkan karya sastra, misalnya puisi-puisi Wayan Jengki Sunarta selama residensi ke Sabang atau puisi Kurnia Effendi ke Belanda.

Mutu sajak-sajak perjalanan tidak kalah bagus, meskipun juga ada yang tidak terlalu kuat. Tergantung cara mengolah, memang. Yang bagus tentu tidak hanya menampilkan yang fisik, yang terlihat secara wadag, namun juga memuat spirit, gagasan dan nilai-nilai pergulatan suatu tempat. Dalam sebuah diskusi di Kedai Kebun Yogyakarta sekitar tahun 1999, Dr. Faruk mendedah amatannya tentang sajak perjalanan Acep. Draf diskusi tersebut kemudian dijadikan Catatan Penutup buku puisi Acep Zamzam Noor, Di Atas Umbria. Dr. Faruk antara lain menulis demikian:

Puisi-puisi dalam kumpulan ini bercerita tentang pengembaraan ke berbagai wilayah baru yang tidak dikenal, yang tidak umum, yang unik, yang dapat membangkitkan birahi untuk sebuah persetubuhan sebagai pengalaman. Ada banyak kota, ada banyak bukit, gunung dan hutan-hutan, ada banyak bangunan masjid dan gereja. Tapi, alangkah sulitnya menemukan kekhasan pada setiap daerah pengembaraan itu. Semuanya seakan sama, menyuarakan diri sang pengembara sendiri yang tak pernah berubah: sendiri, sepi, terpencil, dibakar oleh api rindu dendam pada sesuatu yang ada di luarnya. Bila demikian halnya, pengembaraan itu menjadi sia-sia. Sang pengembara pada hakikatnya tidak pernah keluar dari apa yang sudah dikenalnya, yang akrab denganya, yang sudah menjadi rutin. Ia tak melihat, mendengar, menyentuh, mengalami apapun selain dirinya sendiri. (2001: 79)

Strategi literer bisa digunakan dalam mencipta karya perjalanan, memadukannya dengan imajinasi serta mengaduknya dengan referensi. Pola ini dengan bagus dapat dilihat dalam buku Tempat-Tempat Imajiner Michael Pearson yang merupakan perpaduan imajinasi, referensi dan perjalanan langsung. Atau Kota-Kota Imajiner Italo Calvino yang mengeksplorasi petualangan Marcopolo. Begitu pula Jalan Raya Pos Pramoedya Ananta Toer merupakan perpaduan pengalaman, imajinasi dan referensinya atas jalan Anyer-Panarukan.

Meskipun imajinasi, referensi dan strategi literer lainnya dibutuhkan dalam proses kreatif karya perjalanan, syarat utama mesti terpenuhi: perjalanan itu sendiri!

Meskipun imajinasi, referensi dan strategi literer lainnya dibutuhkan dalam proses kreatif karya perjalanan, syarat utama mesti terpenuhi: perjalanan itu sendiri! Terlepas apakah direncanakan sejak awal untuk dituliskan, atau muncul dorongan dan gagasan kemudian, tidak masalah. Tentu Anda akan kembali teringat apa yang saya sebutkan di bagian awal tulisan ini bahwa travelogue atau travel writer bisa saja ditulis tanpa melakukan perjalanan sepenuhnya. Contohnya Williem Marsden yang menulis Sumatera dari Bengkulu. Jangan keliru. Marsden melakukan perjalanan sangat jauh, dalam masa di mana bumi belum “dilipat”, dari London ke pantai barat Sumatera, dan itu merepresentasikan perjalanan yang menghabiskan waktu di laut, jadwal kapal yang tak segera dapat, dan kapal itu sendiri yang masih tergantung pada cuaca. Adapun sisi perjalanan yang lain ia pungut dari perjalanan orang-orang yang datang berurusan ke Benteng Marlborough, Bengkulu, di mana pertemuan “orang asing” dan “pribumi” berlangsung setelah ruang dan waktu susah-payah ditundukkan.

Berdasarkan inilah—kecuali puisi Joseph Conrad tentang bajak laut di Nusantara, sebagaimana dirujuk Andrian B. Lapian (2009)—sajak epik Os Lusiadas (1572) karya Luiz de Camoens tentang emas Gunung Ophir di Sumatera, puisi J.J. Sluerhoeff tentang Tanjungpriok, atau puisi sejumlah penyair Eropa tentang Bantam (Banten), belum berani saya sebut sebagai sastra perjalanan karena sependek ini, saya belum dapat membuktikan apakah mereka pernah ke tempat yang dituliskan itu, dan mengambil bahan lain secara referensial. Apa yang saya lakukan ini lebih kurang sama dengan pandangan sebagian orang yang menganggap Dan Damai di Bumi tak semua bagiannya dapat dianggap sebagai kisah perjalanan karena ada tempat yang sebenarnya belum pernah Karl May singgahi.

Sebaliknya, saya juga belum bisa mengatakan puisi-puisi Rimbaud memiliki korelasi dengan perjalanannya ke Padang dan Semarang, sebagaimana Neruda yang lama tinggal di Batavia, karena belum ditemukan puisi mereka menyinggung kota dimaksud, baik langsung maupun tersirat.

Perayaan dan Renungan untuk tak Sia-sia

Travelogue atau yang sekarang lebih populer disebut travel writers, memiliki varian yang kaya. Selain perjalanan jurnalistik, juga bisa berupa catatan harian di suatu lokasi, catatan pada minat utama (misalnya tentang kuliner atau destinasi wisata), catatan observasi, catatan ziarah, korespondensi (surat-menyurat) atau mengolahnya dalam bentuk karya sastra. Gaya dan penyajiannya beragam pula, mulai gaya popular, konvensional maupun berbentuk feature, esei-foto atau observasi.

H.O.K. Tanzil merupakan seorang pejalan yang melakukan perjalanan terencana ke berbagai negara serta dalam negeri. Ia menuliskan pengalamannya di majalah Intisari. Tulisan tersebut kemudian dikumpulkan ke dalam sejumlah buku yang sangat menarik dan informatif. Pada tahun 1982, catatan perjalanan tersebut terbit sekaligus dalam tiga buku, Catatan Perjalanan dalam Negeri, Catatan Perjalanan Asia & Afrika dan Catatan Perjalanan Pasifik, Australia, Amerika Latin.

Tanzil menyopir sendiri kendaraan VW kodoknya, sekalipun ia tidak berbakat montir sama sekali sehingga sering memunculkan rasa miris sekaligus lucu jika kendaraan itu bermasalah di jalan. Di Panama misalnya, roda kendaraan itu rusak di tengah hujan badai, dan ia mencoba  mencongkel  (untuk membukanya) dengan sendok! Tanzil mengajak istrinya yang terkesan pasif dalam perjalanan, namun omelan dan pertengkaran kecil menghidupkan suasana dalam catatan. Tanzil cermat mencatat data dan angka, mulai luas wilayah, garis lintang suatu daerah, jumlah penduduk, bahkan jumlah kamar hotel yang ia masuki, termasuk harga-harga barang yang ia beli. Ketimbang sebagai data matematis yang teknis, angka-angka itu lebih terasa empiris dan estetis sebab disajikan apa adanya dan dalam bahasa bersahaja. Tak kalah menarik, Tanzil mendonasikan semua honorarium dari Intisari untuk panti-panti sosial yang administrasinya langsung diurus majalah bersangkutan.

Tak jarang perjalanan mewarnai gagasan dan spritual sebagaimana tampak dalam buku Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran. Pengalamannya ketika berkunjung ke Amerika mewarnai catatannya dalam buku itu. Para penulis yang naik haji melahirkan buku antara lain Orang Jawa Naik Haji (Danarto), Aku Datang Memenuhi PanggilanMu, Ya Allah (Hendra Esmara), Orang Batak Naik Haji (Aritonang) atau Haji Backpekcer Aguk Irawan MN.

Generasi travel writers  terus lahir, bahkan semakin subur, seiring banyaknya media yang menampung tulisan tentang perjalanan.

Generasi travel writers  terus lahir, bahkan semakin subur, seiring banyaknya media yang menampung tulisan tentang perjalanan. Majalah, surat kabar, dan media online memiliki rubrik dan segmen pembaca fanatik untuk perjalanan. Maka deretan penulis catatan perjalanan lahir di tanah air, mulai generasi Maria Hartiningsih di Kompas, Eugline Paulina dan Yatie Asfan Lubis yang banyak menuliskan laporannya di majalah wanita, Gola Gong yang menerbitkan catatan keliling Asia di majalah remaja, sampai Fatris M. Faiz yang banyak menulis untuk Destin Asia, sebagian diterbitkan dalam buku Merobek Sumatera, Kabar dari Timur dan Lara Tawa Nusantara.

Syafrizaldi menulis perjalanannya di The Jakarta Post, Koran Tempo dan National Geography, Faustinus Hadi, Anton Kurnia, Tary Lestari, Ardi Winangun dan Febriyanti (untuk menyebut beberapa nama) menulis di Koran Tempo, Republika dan media lain. Buku perjalanan juga diminati, sehingga seringkali terbit berseri. Untuk menyebut beberapa ada seri Lorong-Lorong Dunia karya Sigit Susanto, seri The Naked Travelling Trinity dan seri perjalanan Asia Tengah Agustinus Wibowo. Afifah Ahmad menerbitkan The Road To Persia (2013), catatan kunjungannya ke pelosok Iran. Tidak kalah menarik adalah M. Faizi, seorang kyai muda dari tlatah Annuqayah, Sumenep, menulis catatan perjalanan sembari menunaikan hobinya naik bis. Faizi memang dikenal sebagai sesepuh “Bismania” (komunitas pecinta bis).

Moda dan pola perjalanan juga beragam, mulai transportasi konvensional dan pola backpacker, juga sepeda motor, sepeda dayung, bahkan jalan kaki atau perahu ekspedisi. Ahmad Yunus, misalnya, bersama Farid Gaban keliling Indonesia naik motor. Hasilnya sebuah buku yang menarik dan gokil: Meraba Indonesia-Ekspedisi “Gila” Keliling Nusantara (2011).

Upaya-upaya kreatif-kolektif juga tumbuh dalam dunia traveling. Di media sosial grup-grup traveling banyak peminat di mana anggotanya saling berbagi informasi, saling bantu saat berkunjung ke suatu tempat dan “jumpa darat”. Ada pula upaya partikelir seperti dilakukan Fatris bersama M. Fadli membuat proyek The Banda Journal, tempat mereka meng-up date segala hal tentang Banda dan mendokumentasikannya.

Syafrizaldi membuat “proyek keluarga” melibatkan anak-istrinya dalam perjalanan ke sejumlah titik, seperti ke Gunung Kerinci, Komunitas Anak Dalam dan Suaka Alam Rimbo Baling. Puthut Ea dkk mengadakan “Ekspedisi Cengkeh” dengan merancang perjalanan ke pusat-pusat cengkeh Nusantara, lalu menuliskannya dalam buku yang representatif. Ini belum tercatat dunia pertelevisian dan film dokumenter yang mengangkat perjalanan sebagai garapan.

Dari sini kita tahu bahwa potensi, khazanah  dan peluang perjalanan dalam dunia literasi sangat menantang. Sejarahnya pun merentang panjang sejak era rempah-rempah di Nusantara, bangkitnya kesadaran berbangsa, dan masa awal kemerdekaan. Ini semua merupakan modal dalam menempatkan travelogue sebagai genre yang mandiri, tapi sekaligus membuka kemungkinan dieksplorasi genre lain. Begitu pula sebaliknya, travelogues bisa memperkaya diri dengan mengeksplorasi khazanah sastra, jurnalistik, atau antropologi dalam teks yang dianggitnya. Persandingan kedua hal ini setidaknya membuka dua alur “ideal” dunia travelling: menggurat sejarah, menggubah sastra.

Untuk melihat tantangan sekaligus peluang travelogue, saya ingin merujuk kembali uraian Faruk dalam buku Acep, meski itu dituliskannya dalam konteks puisi, tapi dapat kita pinjam untuk mewakili perjalanan dalam arti luas. Ketua Program Studi Magister Budaya UGM yang pernah memasukkan travel writers dalam materi studinya itu, berkata demikian:

Masih terbuka peluang bagi puisi-puisi (baca: travelogues–RTB) yang akan datang. Salah satunya adalah meninggalkan dirinya sendiri, si pengembara, dan masuk lebih dalam ke wilayah kehidupan yang ada di luar dirinya. Pada saat itulah pengembaraan sungguh tak sia-sia. (2001: 80)

 

(Esei ini ditulis ulang  dari draf sarasehan “Sastra (dan) Perjalanan” di aula Perpusda Kalimantan Selatan, Banjarmasin, diadakan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kalsel, 2018).

 

 

 

0
940
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.