Karomah Wali Soker
ke teluk itu tuan, aku berziarah. aku mencari jalan masuk ke ruang terbuka bagi mereka yang melepas aura, aurat yang tertutup.
ke peluk itu tuan. konon, tuan mencocok bakau di parak payau. dimana kelak jasad tuan ditanam menghadap ke ladang garam.
sirah itu tuan. kitab ajar yang tuan tenun dari gelombang pantai, sayang dentumnya tak pernah kami dengar, lantaran pasang di pesisir telah surut sesurut-surutnya.
tapi telah datang legiun dari tanah jawi memugar kabar, bahwa kubur di lepas pantai itu rumah tuan. tanah tuan. ladang tuan. dimana, di tangan tuan, berkat izin Allah berkarung-karung biras berubah menjadi beras.
Lombok, 2020
JOGJA SEPERTI SAJAK TANPA SUARA
:Untuk M. Bahrul Afif
apalah arti sajakku, jika jalan-jalan dan gang-gang sempit di sudut kota ini tak membuatmu merasa dekat dengan rumah.
apalah arti puisi ini, jika ikan-ikan merah di keramba, sepanjang lorong menuju tempat mengaji kawi, tak membantumu lebih dekat dengan martabat tujuh.
gemuruh kereta dan suara-suara riuh kian hari kian akrab. apabila tiba waktunya memekik, langit dan bumi seperti hendak mau runtuh. lalu apalah arti tanah kalijaga yang subur dengan huruf-huruf ini, afif.
bahrul. kau jauh. teramat jauh dari cerita nujum bintang, pelaut mandar. dan nasib seperti tertukar kota dan kata. seperti bayi yang terperangkap dalam rimba. dan kau berharap induk rusa mengasuhnya.
seperti kalijaga yang menjaga janji di sungai kudsi sampai merambat akar-akar hidup di tubuhnya yang beku. seperti seorang lelaki yang berdiam diri dalam rahim batu. dan hanya batu, makhluk paling tabah yang tak menolak dikoyak suwung.
bahrul, jogja seperti sajak tanpa suara. di sini kau membenci rasa sakit namun diam-diam kau mencintai bunga-bunga.
Jogja, 2018
Modern Bird
:untuk Phalonk, pelukis Modern Bird
“burung-burung terpaksa berevolusi,” katamu dalam sunyi
dahulu burung-burung berlindung pada rimbun dedaunan
kini kota berlindung pada kata-kata yang dirampas rumahnya
burung-burung tak lagi bersajak dan bersiul
tentang kisah mereka mengasuh anak-anak cinta
burung-burung telah bermigrasi menembus
trapisium, limas dan kubus, lindap atap kota
dan kita jadi banyak tahu tentang angin surga yang tak perlu
siang jadi malam, malam jadi siang
kita adalah orang-orang kalah, phalonk
arus di muara sungai yang tak mungkin kembali ke hulu
kita lukis kekalahan ini di kanvas yang lebih nyaring dari sunyi
“siang jadi malam dan malam semakin suram, phalonk.”
Jogja, 2018
Gambus Api Edi Susanto
di jogja yang mujarad, kau mainkan gambus
seperti para penyamun di tanah hulubalang
ah edi, lombok yang kukenal hanya punya
ratapan gogo rancah. padang lamun dan
patung cicak
hanya decak
kau yakin, musiklah jawaban
keterasingan yang selalu mengancammu
maka gubahlah syair yang meratap-ratap
mendayu-dayu, merayu-rayu mirip musik pesisir
seolah engkau akan dihakimi seribu tahun lagi
biar terbakar masa lalumu di ladang fosfor,
kembang kertas, musim panas di perairan diam
ah edi, malam seperti abadi
denyar ini terasa semakin menjadi
maka benamkanlah jiwamu
pada bayangan tarian perut, gadis api
dengan gambus tanpa dawai di dadamu
di antara lilin sunyi dan alunan seruling jayengrana yang ilusi
Jogja, 2018
Mindu
di situs kijang. geliat tanah liat
bersumbu serbuk matahari
anak-anak batu
menghelat upacara mindu
aku ingin pulang ke rumah ibu
ke tanah umbi bakar tempat dongeng berakar
di tastura, di pekarangan tandus pala ladang
kita melingkari unggun semenjana
kita menunggu pagi hangus
sambil membagi cerita yang lahir dari ujung jemari
sambil bertukar himbau, bertukar khayal
tak ada buah sorga seumur jagung
maka kita kirim doa-doa dosa
kepada ular putih di kayangan tatas
menjatuhkan hujan bengkoang
apel dan persik
tak ada taifun menghalau puisi
maka ceritakanlah dongeng empuk
dan dingin pati kembang komak
yang disekam bara jerami-kedelai
di situs pala tanam, tak ada gunung mineral
di tugu tastura, aku ingin pulang
Lombok, 2017
Martini dan Pohon Asam
martini gadis kecil siang hari
martini di bawah pohon kemarau
menghirup teduh nafas kebun
yang betapa entah mustikanya
ia menunggu abu-abu keberuntungan runtuh
sembari mengalun dendang menjangan
sebab martini percaya: tak ada buah yang manis
jika tak ada pohon yang getir
maka bermekaranlah: galih dongeng cupak gurantang
angin alus dan timun emas
di sela ia, menjelang kerling penghabisan
tak ada cemburu yang dihidu
sehimpun asam bergalur jenjang dalam wadah kecil
memulaskan martini pulang ke gubuk senja
sebagai burung paling burung
Lombok, 2016