Author Archives: Lamuh Syamsuar
Dewasa ini, banyak masyarakat yang salah kaprah dalam hal menilai eksistensi tradisi-tradisi kebudayaan yang masih bertahan. Kalau dicermati, penilaian itu umumnya bersifat sangat parsial, tidak dilandasi argumentasi yang cukup baik. Wajar saja, karena penilaian itu umumnya berasal dari komitas di luar komunitas pendukung tradisi budaya tersebut. Lalu bagaimana mungkin, mereka yang berada di luar bisa lebih memahami tradisi yang tidak pernah mereka lakukan?
Satu kali saya berksempatan mengikuti acara nyiwak (baca: tradisi tahlilan kematian di malam ke-9) di Dusun Bangket Tengak, Desa Puyung, Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah.
Dari awal sampai akhir acara, semua berjalan seperti biasa. Hingga selang 10-15 menit, setelah jamaah tahlilan, bubar. Dua lelaki dewasa menggotong (memindahkan) kayu batangan ke halaman depan rumah, ke sekitar tempat kami melaksanakan zikiran, sebelumnya. Sepertinya, kayu tersebut merupakan kayu bekas tiang rumah yang sudah tidak terpakai lagi. Panjangnya kira-kira 2,5 meter.
Tidak lama setelah kayu itu di letakkan memubujur, kemudian datang beberapa orang dewasa, laki-laki maupun perempuan, mengelilingi kayu tersebut. Masing-masing dari mereka, membawa tongkat (kayu lain dengan ukuran lebih kecil), yang akan mereka pergunakan untuk memukul kayu batangan itu.
Beberapa saat kemudian mereka mulai mukul-memukul kayu itu. Layaknya seperti penabuh genderang atau kentungan secara bersamaan, mereka terlihat berusaha saling mengimbangi atau mengatur ritme ketukan agar menghasilkan bunyi yang harmonis.
Kegiatan itu mereka namai ngerantok. Ini adalah kali pertama bagi saya menyaksikan langsung tradisi ngerantok. Karena sebelumnya, saya hanya mendengar cerita tentang keberadaanya dari orang lain saja.
Terdesak oleh keiginan untuk mengetahui lebih jauh, di sela-sela menikmati bunyi-bunyian kayu yang dipukul, saya menyempatkan diri mengajukan beberapa pertanyaan mendasar kepada tokoh masyarakat setempat yang kebetulan duduk di samping saya. Adalah Haji Bahtiar, tokoh masyarakat berusia 50-an tahun yang bersedia menceritakannya kepada saya.
Menurut keterangannya, tradisi ngerantok untuk pertamakalinya diperkenalkan oleh De Side Wali (sebutan penghormatan atas keutamaan Waliyullah) yang datang menyebarkan Islam ke Pulau Lombok. Dan seperti pada umumnya di tempat lain, De Side Wali memanfaatkan pendekatan kultural sebagai medium penyampaian dakwahnya.
Hingga saat ini ngerantok masih dijalankan oleh komunitas kecil, masyarakat Suku Sasak di wilayah Sukarara atau Kecamatan Jonggat saja. Ngerantok hanya diselenggarakan manakala ada warga masyarakat setempat yang meninggal. Tepatnya di malam ke-9 atau malam terakhir usai acara tahlilan di rumah duka. Ngerantok diselenggarakan berkali-kali dengan durasi yang disesuaikan. Batas waktu pelaksanaannya hingga menjelang pagi hari.
Seperti pesan kematian, makna esensial dari tradisi ngerantok yang diperkenalkan oleh De Side Wali memiliki tujuan didaktis, untuk mengingatkan masyarakat yang masih hidup, dengan cara mengilustrasikan kembali asal usul, arah dan tujuan hidup manusia di dunia ini.
Namun, tradisi yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya ini, dalam tiga atau empat dasawarsa terakhir, tata pelaksnaanya telah mengalami evolusi yang cukup “radikal”.
Jika pada mulanya tradisi ngerantok yang diajarkan oleh De Side Wali, berupa aktivitas menumbuk beras, menggunakan alu dan lesung (alat penumbuk padi). Maka dewasa ini tradisi ngerantok hanya cukup diwakili dengan memukul-mukul kayu batangan saja, seperti yang saya saksikan.
Menurut keterangan Haji Bahtiar, metamorfosis ini merupakan salah satu bentuk atau upaya masyarakat pendukung tradisi ngerantok mempertahankan warisan De Side Wali yang bernilai luhur agar tidak punah seperti di tempat-tempat lain.
Di sisi lain, perubahan ini merupakan pengembangan yang diupayakan oleh masyarakat pendukung tradisi keagamaan atas pergeseran zaman, yang secara tidak langsung menuntut mereka meninggalkan tatanan sosial, berbasis kebudayaan.
Dengan kata lain, hal ini semacam bentuk adaptasi baru dari konversi besar-besaran yang memaksa mereka meninggakan alat-alat produksi konvensional, penunjang aktivitas keseharian mereka yang harus digantikan dengan mesin modern berteknologi mutakhir.
Sayangnya, “moderentitas” yang konon menjanjikan efisiensi dan efektivitas seluruh aspek kehidupan masyarakat tradisional ini kurang inklusif. Mesin-mesin itu, tidak mampu menyelamatkan vitalitas kearifan lokal yang menjadi sendi-sendi kehidupan masyarakat tradisional sepenuhnya.
Oleh karenanya, tidak heran jika manifestasi dari tradisi ngerantok dewasa ini, yang dilaksanakan dengan cara memukul kayu batangan, sepintas nampak tidak memiliki pertalian dengan prakti tradisi ngerantok di zaman De Side Wali yang menggunakan alat penumbuk padi.
Kata Haji Bahtiar, ngerantok zaman dahulu dan zaman sekarang, pada prinsipnya hanya dihubungkan dengan penanda berupa “bunyi-bunyian”. Bunyi memukul kayu batangan diasumsikan ekuivalen dengan bunyi menumbuk beras menggunakan alat konvensional dalam tradisi ngerantok di era sebelumnya.
Makna filosofis Tradisi Ngerantok.
Erni Budiwanti, Peneliti LIPI yang consern mengkaji budaya Suku Sasak menilai bahwa, gerak ontologis yang dipahami oleh masyarakat Suku Sasak, cenderung mengacu pada konsep kosmologi atau pokok ajaran yang diterima dari De Side Wali, berupa konsep “oposisi biner” atau dua entitas yang berlawanan namun berpasangan satu sama lainnya (AICIS: 2013).
Paling mudah, ilustrasi konsep oposisi biner ini dapat dicermati dari dua jenis bubur yang populer di kalangan masyarakat tradisonal Suku Sasak, yakni bubur putih dan bubur merah. Dimana “bubur putih” diasumsikan sebagai representasi dari sperma laki-laki, sedangkan “bubur merah” adalah representasi darah haid perempuan (menstrual blood). Putih dan merah dalam konteks ini mengilustrasikan konsep oposisi biner, yang semakna dengan istilah: lahiriah-batiniah (raga-jiwa), Adam-Hawa, awal-akhir, kelahiran dan kematian.
Dalam tradisi ngerantok yang lebih awal, baik alat maupun bahan yang dipergunakan mengandung makna filosofis yang linier dengan konsep oposisi biner tersebut.
Seperti keterangan Haji Bahtiar, tradisi ngerantok memiliki pesan untuk masyarakat Suku Sasak yang masih hidup, agar senantiasa mengingat asal usul kejadian, arah dan tujuan hidup mereka di tengah-tengah musibah, kematian.
Karena dengan demikian, masyarakat yang benar-benar menghayati pesan terpenting dari penyelenggaraan tradisi ngerantok akan selalu ingat kodratnya sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang lemah. Dan sudah sepatutnya manusia yang lahir dari jalan “Rahman dan Rahim Tuhan”, maka lewat jalan itulah ia pantas kembali.
Kiranya poin ini, layak disejajarkan dengan konsep Sangken Paraning Dumadi dalam Tradisi Jawa. Atau Innalillahi Wainna Ilaihirojiun dalam Ajaran Islam.
Di kalangan masyarakat Suku Sasak, ajaran tentang asal usul manusia, secara simplisitis dapat diilustrasikan lewat peristiwa penumbukan beras dengan alat konvensional.
Sederhananya, “lesung” dan “alu” menyimbolkan kelamin laki-laki dan perempuan. Sedang prinsip kerja dari menumbuk beras menjadi tepung adalah simbol dari persenggamaan yang menghasilkan sperma laki-laki. Kemudian “tepung” yang dihasilkan ini nantinya dimaknai sebagai simbol, bahan baku untuk membuat bubur putih dan bubur merah.
Seperti yang telah saya singgung sebelumnya, “bubur putih” dan “bubur merah” merupakan pengandaian untuk jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang sejajar maknanya dengan konsep oposisi biner “kelahiran” dan “kamtian”.
Begitu sederhananya konsep kosmologi, oposisi biner yang terkandung dalam tradisi ngerantok, sehingga membuka peluang untuk perumpamaan “alu” sebagai simbol kelamin laki-laki dan “lesung” sebagai simbol kelamin perempuan ini. Ditafsirkan, oleh kalangan akademisi, sejajar maknanya dengan istilah “lingga” dan “yoni” dalam tradisi Singkretisme Hindu-Budha.
Saya pribadi tidak akan mempersoalkan atau melakukan penyangkalan terhadap anggapan tersebut. Hanya saja saya menilai bahwa pokok-pokok ajaran agama memang cenderung bersifat universal. Sehingga ada banyak entitas yang berpasang-pasangan, bisa dijadikan sebagai rujukan untuk “konsep oposisi biner” ini. Walaupun, seumpama, permisalan itu tidak datang dari ajaran agama tertentu. Seperti, keris dan warangka, misalnya.
Bagi saya cukuplah tradisi keagamaan, warisan De Side Wali ini sebagai bukti (kontribusi) Agama Islam dengan nilai universal yang dibawanya, dapat dengan mudah menyatu bersama tradisi Suku Sasak yang bersifat partikular.
Barangkali hal ini juga sejalan seperti yang telah disinggung oleh Gus Dur, bahwa ajaran “Ma Lima” yang berkembang di kalangan, kelompok Islam “abangan” Jawa, kemudian dijalankan juga oleh kelompok Islam di lingkungan pesantren. Bukan dengan alasan agama tetapi sangat mungkin karena alasan budaya, misalnya ketaatan kepada kiai atau orang tua. (Abdurrahman Wahid, 109:2001). Wallahualam.
Satu istilah yang terbayang, jika orang-orang menyinggung perihal tradisi pernikahan Suku Sasak adalah “budaya mencuri calon pengantin perempuan”. Sebagai orang Sasak saya tidak akan mengelak term yang sudah jamak di kalangan masyarakat umum itu. Tapi penekanan saya bukan pada makna harfiah dari istilah yang kontradiktif tersebut. Melainkan mencoba memaparkan secara utuh adat penikahan Suku Sasak, sehingga istilah kunci itu, bisa diterima sebagai suatu kewajaran dalam arti positif.
Secara umum, masyarakat Suku Sasak yang mayoritas beragama Islam memandang bahwa prihal jodoh, rizki dan kematian adalah tiga perkara yang menjadi Hak Tuhan. Oleh karenanya masyarakat Suku Sasak menilai kurang baik, jika ada yang mengintervensi tiga ketetapan Tuhan tersebut.
Untuk urusan jodoh, sudah menjadi rahasia umum bahwa ada tradisi yang dengan terpaksa saya sebutkan di sini yakni tradisi “mencuri” atau “menculik” mempelai perempuan sebagai langkah pertamanya.
Alasan sadar saya menghindari sekuat tenaga kosa kata yang bermasalah itu karena makna konotatif maupun makna donotatifnya sudah terlanjur diasosiasikan “negatif” oleh orang yang belum memahami konteksnya.
Saya akan berusaha keluar dari jebakan istilah yang kontradiktif itu, demi menjelaskan bagaimana sesungguhnya esensi dari seluruh rangkaian panjang, tradisi pernikahan Suku Sasak dihayati sepenuhnya sebagai upaya menjaga prinsip kerukunan hidup bersama yang berlandaskan nilai-nilai luhur, di satu sisi. Dan pengejawantahan inklusifitas ajaran Islam, di sisi lain.
Meski demikian, apa yang saya coba ungkapkan ini, tidak lantas menjadi standarisasi yang rigid. Karena kenyataannya, ada tahapan-tahapan yang dilaksakan dengan cara berbeda juga. Saya hanya akan berbagi pemahaman tentang tradisi pernikahan Suku Sasak, berdasarkan apa yang pernah saya sasksikan secara langsung.
Rangkaian Acara Adat, Pernikahan Suku Sasak
Seperti yang telah saya singgung sebelumnya bahwa langkah pertama dari pernikahan Suku Sasak adalah “menculik” calon pengantin perempuan. Di Lombok sendri acara menculik itu lebih populer dengan istilah Merangkat.
Dalam batasan-batasan tertentu, perbedaan cara pandang dalam menilai norma etis masing-masing suku bangsa di Indonesia membuat istilah “menculik” atau “mencuri” bagi masyarakat Suku Sasak tidak melulu ditafsirkan dengan tindakan negatif.

Ilustrasi Merangkat: Genpi.id
Bagi masyarakat Suku Sasak, menikah dengan cara menculik pengantin perempuan adalah sebuah simbol keberanian, kesungguhan dan kematangan berpikir calon pengantin laki-laki, termasuk dalam hal menjemput untung jodohnya sendiri. Ia juga dinilai sudah melakukan tindakan yang benar, karena tidak meminta calon istri kepada orang tuanya secara langsung atau dengan kata lain tidak mengasumsikan jiwa manusia (calon pengantin perempuan) sebagai barang seperti umumnya transaksi jual beli saja.
Selanjutnya tindakan menculik ini nantinya berimplikasi pada seluruh rangkaian acara pernikahan adat Suku Sasak yang ditanggung oleh pihak laki-laki. Sebab, dalam konteks ini pihak laki-laki menjadi pihak yang dinilai “bersalah” atau bertanggung jawab karena telah mengambil anak gadis, dari tangan orang tuanya.
Setelah merangkat, acara selanjutnya adalah Sejati-Selabar. Sejati Selabar merupakan satu rangkaian acara adat yang makna esensinya adalah mengabarkan kepada keluarga dan khalayak di desa asal (domisili) mempelai perempuan bahwa pada malam hari ia telah pergi, diambil kawin oleh mempelai laki-laki.
Sedangkan secara spesifik Sejati, sejatinya bermakna memberikan kabar kepada masyarakat desa, asal pengantin perempuan melalui pemerintahan desa di kantor desa. Dan Selabar bermakna memberi kabar kepada pihak keluarga mempelai perempuan melalui Kepala Dusun atau keliang, selaku pihak yang bertanggung jawab kepada seluruh warga di lingkungannya.
Tata cara pelaksanaan selabar sama persis dengan cara Besejati hanya saja Selabar dilangsungkan di rumah Kepala Dusun atau Keliang tempat mempelai perempuan tercatat sebagai warganya. Kemudian Kepala Dusun lah yang nantinya meneruskan kabar tersebut kepada pihak keluarga mempelai perempuan.
Selang beberapa hari setelah Besejati-Selabar dilangsungkan. Acara selanjutnya Nuntut Wali, yakni diutusnya beberapa orang-orang kepercayaan dari pihak laki-laki untuk meminta kesediaan pihak keluarga pengantin perempuan sebagai wali dalam acara akad nikah.
Setelah acara akad nikah dilaksanakan, acara berlanjut ke acara negosiasi terkait tata cara atau kelayakan melangsungkan upacara adat, acara tersebut biasanya populer dengan istilah “rebak pucuk, bait janji dan nunas panutan”. Caranya, pihak mempelai laki-laki mengutus beberapa orang-orang kepercayaannya untuk membicarakan tentang pelaksanaan upacara inti yakni Sorong Serah Aji Krame. Tak jarang proses negosiasi ini berlangsung alot, karena sulitnya kata sepakat antar kedua belah pihak.
Masuk ke acara inti yakni, upacara Sorong Serah Aji Krame. Sorong Serah Aji Krame bermakna sebagai simbol serah terima pengantin untuk mengarungi rumah tangga baru. Pihak keluarga perempuan asumsikan sebagai pihak yang melepas atau menyerahkan dan pihak laki-laki sebagai penerimanya.
Upacara puncak sidang “krame adat” perkawinan bangsa sasak atau Sorong Serah Aji Krama ini menjadi penting maknanya, karena upacara yang dihadiri oleh para sesepuh, para pengelingsir, kepala desa, kepala dusun (keliang) dari kedua belah pihak, dane-dane (tamu undangan) atau masyarakat umum merupakan momen yang paling baik untuk menegaskan bahwa secara adat kedua mempelai, dinyatakan secara syah menjadi pasangan suami istri. Bersamaan dengan itu, pengantin telah dianggap siap hidup bermasyarakat dengan status barunya.
Berikut perlengkapan, isi “kotak” yang dipertunjukkan di dalam upacara Sorong Serah Aji Krame sebagai simbol adat: Nampak Lemah bermakna “nyata” dan “tanah” yang disimbolkan dengan sejumlah barang berharga umumnya berupa uang. Sebagai simbol harkat dan martabat yang dimiliki manusia. Olen-olen berupa benang yang sudah menjadi kain, melambangkan kelahiran manusia tidak bisa terlepas dari kepeng dan benang.
Kemudian ada Sesirah Aji yang menjadi simbol inti kehidupan di atas dunia ini berupa: Bokor sebagai perlambang sebuah bumi atau dunia. Kain Putih sebagai perlambang kesucian. Kain Hitam sebagai perlambang adat. Benang Katak sebagai perlambang pengkiat agama dan adat agar dapat menjadi satu kesatuan. Artinya bahwa agama dan adat sudah ada pada satu wadah yaitu dunia sehingga harus berjalan beriringan.
Terakhir ada Salin Dede yang bermakna pergantian tanggung jawab asuh anak dan kesiapan menjalani kehidupan baru sebagai sebuah keluarga. Salin Dede ini dilambangkan dengan beberapa macam benda yaitu : Ceraken, kotak tempat bumbu-bumbu, Tepak atau wadah memandikan bayi, Periuk dari tanah liat, Suluh bambu untuk meniup perapian, Sabuk Anteng, Lempot Pumbak (kain gendongan anak), Piring kecil atau tempat makan bayi, Gadang, Pamungkas Wacana atau Pemegat, Pemongkol atau Tedung Arat berupa sejumlah uang yang diserahkan kepada kepala dusun asal pengantin wanita, Kebo Turu dilambangkan dengan keris dan warangkanya, dimana keris sebagai simbol lelaki dan warangka merupakan simbol untuk perempuan, Gaman Desa atau Pembukaq Jebak, zaman dahulu berupa tumbak dan senjata tajam lainny. Namun karena sekarang benda-benda itu sudah langka maka tombak atau senjata tajam itu diganti dengan sejumlah uang yang telah ditetapkan di desa setempat dan terakhir alat-alat sebagai simbol untuk Babat Alas.
Apabila seluruh rangkaian acara sudah dilaksakan maka ada satu acara lagi yakni Mbales Ones Nae yakni sebuah acara silaturrahmi pihak kelurga terdekat pengantin laki-laki ke rumah orang tua pengantin perempuan, tujuannya beramah-tamah sebagai sebuah hubungan kekerabatan baru. Mbales Ones Nae juga dijadikan sebagai ajang untuk saling memaafkan oleh kedua belah pihak, jika dalam setiap rangkaian acara pernikahan yang sudah dilalui terbersit kesalahan dan ketersinggungan masing-masing pihak.
Dari seluruh rangkaian upacara adat pernikahan suku sasak ini. Saya menangkap dua poin yang paling esensial. Dimana perumusan atau tatacara pelaksanaan adat istiadat selalu disandarkan pada nilai-nilai universal ajaran Islam. Artinya secara tidak langsung masyarakat suku sasak telah menyadari betul bahwa agama dan adat istiadat sebagai dua tuntunan hidup yang berbeda (tapi tidak bertentangan) memiliki visi-misi yang sama yakni menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.
Sebagai turunan dari poin pertama, saya kira masyarakat Suku Sasak sangat bertanggung jawaaba dan amat menghargai kedudukan perempuan. Seperti yang telah saya singgung bahwa, idealnya acara adat pernikahan itu ditanggung seluruhnya oleh pihak laki-laki. Karena, secara simbolis pihak laki-laki dianggap “bersalah”.
Meski demikian tidak berati pihak perempuan nantinya semena-mena menagih biaya gawai pernikahan kepada pihak laki-laki. Pertimbangan kesiapan dan kesanggupan pihak laki-laki itulah yang lebih utama.
Akhirnya saya sampaikan bahwa apa yang saya ungkapkan dalam kesempatan ini tidak lain merupakan salah satu tata cara pernikahan yang berlaku di Pulau Lombok sebagai alternatif.
Adapun realitanya, sebagai akibat kontak budaya dengan pihak luar, pernikahan dengan cara atau budaya hibrid juga sudah sering diaplikasikan di Lombok. Dan tidak sedikit juga masyarakat Suku Sasak yang mengadopsi penuh tata cara pernikahan dari daerah luar, seperti prosesi lamaran dan atau penyelenggaraan pesta pernikahan.
***
Saya kira, spirit yang lebih awal berkembang setelah Islam masuk ke Nusantara adalah spirit tauhid, mengingat pokok-pokok tauhid sedemikian rupa telah melebur menjadi satu dengan hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat Nusantara yang memiliki karakter religius. Tidak terkecuali di aras seni dan budaya, seperti misalnya pokok-pokok ajaran tauhid dalam dunia pewayangan.
Seperti yang telah dipahami pada umumnya, wayang merupakan sebuah entitas seni yang sudah tidak bisa direduksi maknanya sebagai entitas budaya semata, karena unsur-unsur di dalamnya sangat kompleks. Mengingat dalam perjalanannya, wayang telah dipengaruhi oleh berbagai macam ideologi maupun keyaknian luar yang masuk ke Nusantara. Gerak evolusi teologis dalam wayang sudah berlangsung sejak lama, sebab wayang sudah menyertai perjalanan hidup masyarakat Nusantara, terutama masyarakat Jawa, berabad-abad lamanya.
Sebelum Islam masuk ke Nusantara, eksistensi wayang yang bercorak Hindu-Budha telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Wayang pada zaman itu berfungsi sebagai media peribadatan, transmisi pemahaman religius dan ekspresi seni budaya yang sangat digemari.
Dihadapkan dengan realitas seperti ini, para Wali selaku juru dakwah yang memilih pendekatan kultural, mengawalai syiarnya dengan mendekonstruksi bangunan ontologis atau peran penting (kedudukan) dewa dalam dunia pewayangan.
Caranya, dewa-dewa yang sudah ada, tidak dihilangkan eksistensinya. Tetapi peran dan posisi dewa-dewa tersebut dilemahkan sampai pada tingkat yang sejajar dengan makhluk. Hingga pada level epistemologi, masyarakat penikmat wayang tidak lagi menganggap dewa sebagai representasi Tuhan, melainkan hanya sebagai ilustrasi dari manifestasi sifat ke-Esa-an Tuhan.
Pada dasarnya Islam atau agama Semit lainnya sangat anti terhadap pemberhalaan materi. Setiap perwujudan atau tindakan manusia haruslah terbebas dari konsep pemujaan terhadap selain Allah. Sebab, setiap proyeksi tujuan hidup manusia (dalam ajaran Islam) haruslah mengarah kepada jalan pulang ke arah fitrahnya, yakni Tuhan. Kira-kira hal ini, senafas dengan konsep “sangkan paraning dumadi” dalam filsafat Jawa.
Gerakan penolakan terhadap penyembahan berhala di Abad Pertengahan ini, lebih populer dengan istilah Ikonoklasme, suatu gerakan penghancuran dan penolakan terhadap pemujaan berhala. Gerakan ini mendapat legitimasi dari kaum rohaniawan di Gereja-gereja Timur (Bizantium) untuk memerangi pengaruh paganisme di Eropa (Martin Suryajaya, 2016:136).
Barang tentu esensi gerakan Ikonoklasme itu sangat dipahami dengan baik oleh para Wali yang menyebarkan Islam di Tanah Jawa. Walaupun, besar kemungkinan pemahaman para Wali tentang hal tersebut, sama sekali tidak ada hubungannya dengan gerakan Ikonoklasme yang berkembang di Barat pada abad pertengahan itu.
Mengingat konsep tauhid dalam Islam cenderung lebih dekat dengan konsep tauhid yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim, sehingga tak heran jika dalam perjalanannya mensyiarkan Islam dengan medium wayang, para wali, sama sekali tidak pernah menggambarkan zat Tuhan atau barangkali mengidentikkannya dengan dewa.
Seumpama hendak mengaktualisasikan eksistensi tuhan dalam wayang, maka para wali lebih cenderung memilih, mendeskripsikan sifat dan keagungan-Nya yang mengarah pada pentauhidan ketimbang melukiskan zat-Nya.
Misalnya, ilustrasi keagungan sifat-sifat Tuhan dalam wayang hanya disimbolkan dengan istilah-istilah seperti, Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Tunggal, dan Gusti Kang Murbeng Dumadi kurang lebih maknanya sejajar dengan: Yang Maha Kuasa, Yang Maha Esa dan Tuhan Penguasa Kehidupan. Sedang untuk perbuatan Tuhan, dilambangkan dengan aktivitas Trimurti: Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa (Sunyoto, 2012: 364).
Hal tersebut mengindikasikan bahwa ada perubahan mendasar dalam konsep teologi wayang pada masa Islam dengan konsep teologi wayang pada masa sebelumnya. Di mana, jika eksistensi Dewa sebelumnya dianggap sebagai Tuhan, maka keberadaan Dewa dalam wayang masa Islam tidak lagi dianggap sebagai Tuhan. Melainkan menjadi, semacam narasi pengantar, pengenalan kepada Allah, Tuhan yang Maha Tunggal.
Dari uraian di atas, setidaknya ada tiga perubahan mendasar dalam ontologi wayang setelah berasimilasi dengan ajaran Islam. Pertama, dewa bukanlah Tuhan. Kedua, kekuatan sosok dewa bukanlah kekuatan bawaan karena kuasanya sendiri, melainkan karena Tuhan yang berkehendak menganugerahinya kekuatan. Ketiga, yang paling mencolok, posisi dewa telah diredusir sedemikan rupa hingga menjadi makhluk ciptaan Tuhan atau barangkali sejajar dengan manusia.
Konsep Teologi dalam Wayang Menak
Serat Menak merupakan kitab hikayat gubahan pujangga Jawa dari epos besar yang berasal dari negeri Persia. Bangsa Melayu menerjemahkannya menjadi “Hikayat Amir Hamzah” dan nantinya Serat Menak dijadikan sebagai “kitab induk” atau pakem untuk cerita pementasan Wayang Menak.
Sekilas tipologi Wayang Menak dengan Wayang Purwa sangat jauh berbeda dalam hal konsep teologi. Jika Wayang Purwa eksistensi dewa masih dipertahankan, walaupun perannya sudah jauh berbeda dengan wayang pra-Islam, maka unsur-unsur dewa itu sama sekali tidak muncul dalam khazanah cerita Wayang Menak.
Meski kedua wayang tersebut sama-sama berkarakter surealis dalam konteks narasi mistis atau kekuatan supranatural yang dibangun di dalam pakemnya. Akan tetapi tokoh-tokoh dalam Wayang Menak memperoleh anugrah kesaktian atau “kekuatan” tidak melalui, perantara dewa, seperti konsep titisan (reinkarnasi) Dewa dalam cerita Wayang Purwa.
Seperti yang dikisahkan dalam episode pertama Wayang Menak. Wayang Menak dimulai dari cerita yang termuat dalam Menak Sarehas. Dalam Menak Sarehas dikisahkan, orang yang paling sakti mandraguna adalah sosok Patih Betaljemur. Yang nantinya menjadi guru Raden Jayengrana. Kesaktian yang diperoleh oleh Betaljemur merupakan warisan dari ayahnya Baktijemal berupa Kitab Adamakna. Kitab Adamakna didapatkan oleh Baktijemal dari ayahnya, Lukmanulhakim.
Siapa Lukmanulhakim? Lukmanulhakim adalah putra Nimdahu, juru masak kerajaan Medayin. Lukmanulhakim memperoleh kesaktian, kebijaksanaan dan kemampuan menghidupkan orang mati, setelah ia menyantap apem dari bahan kulit kayu pemberian Nabi Kilir kepada Raden Sarehas, Raja Medayin.
Konon, saat Raden Sarehas pulang dari pertapaannya, Raden membawa kulit kayu pemberian Nabi Kilir. Raden Sarehas memerintahkan Nimdahu, mengolah kulit kayu tersebut menjadi kue apem. Sayangnya ketika kue apem itu sudah matang, kue yang mengandung hasiat kesaktian tersebut dilahap oleh Lukmanulhakim. Maka jadilah yang memiliki kesaktian itu Lukmanulhakim bukan Raden Sarehas.
Wayang Menak sederhananya mengisahkan tentang petualangan Amir Hamzah yang lebih populer dengan nama Raden Jayangrana yang melakukan serangkaian penakhlukan ke kerajaan-kerajaan lain (kerajaan non-Islam) dengan misi meyebarkan ajaran Islam. Islam dengan syariat pra-Muhammad.
Pola pengisahan pada umumnya, setiapkali pasukan Raden Jayengrana berhasil mengalahkan musuhnya, hal yang pertama dituntut kepada lawannya yang sudah kalah itu adalah kesediannya menerima agama Islam, sebagai ganti agama atau kepercayan sebelumnya. Jika musuh bersedia ia akan diampuni, sebaliknya jika tidak bersedia maka ia segera dibunuh.
Selain misi penakhlukan dan penyebaran Islam itu, konflik berkepanjangan yang dihadapi oleh Raden Jayengrana adalah pertentangannya dengan mertuanya sendiri yakni Prabu Nusirwan dari negeri Madayin, Ayah kandung Dewi Ratna Muninggar (istri Raden Jayengrana) yang tidak mau tunduk dan tidak bersedia mengikuti agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad.
Ajaran atau konsep tauhid di dalam Wayang Menak tidak digambrakan secara eksplisit di dalam 24 seri lakonnya. Hanya saja konsep teologi itu disampaikan lewat adegan atau peristiwa-peristiwa tertentu yang mengarah pada konsep ajaran dalam tauhid. Dan lebih cenderung mengarah pada konsep tauhid yang dibawa oleh Nabi Ibrahim.
Salah satu adegan yang barangkali dapat memberikan gambaran tentang konsep, teologi dalam Serat Menak, tertuang dalam Menak Sulub. Misalnya, ketika Putri Sajarah Banun, penghuni Pulau Sulub, sebuah pulau di tengah Sungai Nil, Mesir. bermimpi didatangi Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim memberi petunjuk kepada Sajarah Banun bahwa kelak ia akan berjodoh dengan Raden Maktal (Pengikut Raden Jayengrana). Setelah petunjuk itu, kemudian Nabi Ibrahim menuntun Sajarah Banun menerima Islam atau syariat yang dibawanya.
Dalam batasan tertentu, Islam bermakna penyerahan mutlak kepada kehendak Tuhan seru sekalian alam. Dan Agama Islam dimulai sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad SAW sebagai nabi yang terakhir. Yang berbeda hanya syariatnya, sedang isinya sama. Sama-sama mengandung ajaran Tauhid (Pandam Guritno, 1987). Maka dalam kesempatan ini, rasanya tidaklah berlebihan jika saya menilai bahwa wayang yang berkembang setelah ajaran Islam masuk ke Nusantara sebagai Wayang Tauhid. Wayang yang penuh dengan spirit tauhid. Wallahuallam.
Di masa-masa awal saya duduk di bangku sekolah dasar, saya sedikit heran oleh salah seorang teman kelas saya bernama Martinjun. Saya heran, mengapa namanya sedemikian berbeda dengan nama teman-teman pada umumnya. Belakangan saya menemukan lebih banyak lagi nama-nama unik semacam itu. Sebut saja seperti Sirtupilaili, Repatmaja, Umar Maya, Kelasuara, Taptanus, Sentanus dan nama-nama unik lainnya.
Tidak berhenti sampai di sana, dalam beberapa kesempatan, jika masyarakat ingin mengungkapkan ketampanan atau kecantikan seseorang, maka mereka dengan segera merujuk nama sosok “Jayengrana” jika orang yang dimaksud itu laki-laki dan “Dewi Rengganis” jika ia perempuan.
Awalnya, minimnya narasi-narasi kebudayaan adiluhung seperti khazanah Wayang Menak di lingkungan saya, membuat saya tidak terlalu mempersoalkan nama-nama yang saya anggap di luar kebiasaan itu. Meskipun saya tidak percaya pada sesuatu yang berangkat dari ruang kosong. Barulah belakangan ini saya mulai memikirkan nama-nama itu, setelah saya memberi perhatian terhadap anasir-anasir tentang dunia pewayangan.
Eksistensi Wayang Kulit Menak di Lombok
Tradisi atau kebudayaan yang berkembang di pulau Lombok, pulau yang dihuni oleh mayoritas Suku Sasak ini, merupakan kebudayaan yang terbentuk dari perpaduan budaya Jawa dan Bali.
Sederhananya hal ini dapat dibuktikan dari bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakat dalam berkomunikasi, yakni Bahasa Sasak. Di dalam Bahasa Sasak, kita bisa mendapati istilah yang identik atau yang berlaku di daerah Bali dan Jawa. Demikian halnya dengan tradisi sastra dan atau seni pertunjukan wayang kulit.
Bedanya, jika kecenderungan Jawa dan Bali memainkan Wayang Purwa yang masih dipengaruhi oleh anasir-anasir dari epos besar Ramayana dan Mahabarata. Maka wayang Sasak lebih cenderung memainkan wayang yang seluruhnya di ambil dari Serat Menak.
Serat Menak merupakan naskah gubahan Para Sunan atau penyebar Islam, di masa-masa awal Islam masuk ke Nusantara. Dimana isi Serat Menak sepenuhnya mengadopsi Hikayat Amir Hamzah, dari Persia.
Pada umumnya Wayang Menak, berkembang di daerah pesisir maupun di pedalaman Nusantara. Seperti di wilayah Sumatra, Sulawesi, di sebagian wilayah Jawa Barat seperti Sunda. Tidak terkecuali di Pulau Lombok.
Konon Wayang Menak diperkenalkan ke daerah Lombok, menggantikan Wayang Purwa semenjak “Rupa Candra Sasi Nabi” yang dalam Canda Sangkala berarti tahun 1111 Hijriah. Adapun jika dikonversi ke penanggalan Masehi mendekati tahun 1669 Masehi. Tahun ditulisnya serat menak oleh Yasadipura.
Menurut Kun Zahrun Istiani, Staf pengajar Jurusan Sastra Indonesia di UGM. Jika karya sastra pra-Islam lebih cenderung bersifat ekslusif atau hanya bisa dinikmati oleh kalangan istana saja. Maka Wayang Menak lebih cenderung bersifat inklusif dan universal. Karena Wayang Menak, telah disesuaikan pengemasannya dengan tradisi-budaya setempat, tanpa mengurangi spirit kemanusiaan dan pesan ketauhidan yang ditawarinya. Sehingga tak heran jika Wayang Menak bisa diterima dengan mudah dan meluas oleh hampir semua lapisan masyarakat.
Wayang Menak sendiri mengisahkan kisah hidup seorang raja dari Negeri Mekah yang sudah memeluk agama Islam yang nantinya menaklukkan banyak kerajaan-kerajaan lain sembari mendakwahkan Islam. Raja tersebut bernama Raden Jayengrana yang tidak lain adalah Amir Hamzah, paman Nabi Muhammad S.A.W, putra ke-12 dari Abdul Muthalib.
Raden Jayengrana sangat dihormati dan disayangi oleh rakyat, serta disegani oleh lawan maupun kawan, karena memiliki sifat welas asih dan kemampuan atau kesaktian luar biasa hingga dalam beberapa kesempatan Jayengrana mendapat berbagai julukan antara lain Amirul Mukminin (yang berarti pemimpin orang-orang mukminin), Wong Agung Menak (yang berarti sosok yang agung), Jayangpulagon (yang berarti kesatria yang selalu memenangkan peperangan), Jayengsatru (yang berarti sosok yang selalu bisa mengalahkan musuh-musuhnya), dan banyak lagi julukan lainnya.
Dikisahkan juga bahwa Jayengrana memiliki banyak istri. Kecenderungan istri-istri yang dinikahi oleh Jayengrana merupakan putri raja dari kerajaan yang ditaklukkannya. Sebut saja semisal Munigarim, istri pertamanya yang merupakan putri kedua dari Prabu Nursiwan dari Kerajaan Medayin. Dan nantinya Wong Agung Menak menikahi Marpinjun yang tidak lain adalah adik Munigarim. Marpinjun sendiri dinikahi Jayangrana setelah Munigarim meninggal.
Kemudian Sirtupilaili merupakan putri dari Pandita Sirtu Alam yang dinikahi oleh Raden Jayengrana. Sedang Kelaswara adalah istri Jayengrana yang merupakan putri dari Prabu Kelan Jali, Raja Kerajaan Kelan. Dan dari perkawinan ini nanti lahir seorang putra bernama Repatmaja. Repatmaja yang nantinya menikahi Dewi Rengganis, seorang putri raja yang terkenal dengan kecantikan dan kesaktiannya. Konon, kesaktian Dewi Rengganis diperolehnya setelah ia diasuh dan dibesarkan oleh jin dari kerajaan gunung, kerajaan Dewi Anjani pada masa kecilnya.
Sedang Umar Maya adalah nama tokoh putra Tembi Jumaril dari Talkandangan. Ibunya bernama Siti Mahya, saudara tertua Abdul Mutalib (ayah Jayengrana). Jadi, Umar Maya adalah Paman Jayangrana. Umar Maya merupakan tokoh protagonis yang selalu menyertai Jayangrana. Intensitas kehadarian Umar Maya menyertai Jayangrana melebihi dua tokoh kembar Taptanus dan Santanus, keponakan Raja Adis dari Negeri Yunani. Umar Maya memiliki kesaktian dan keahlian seperti: bisa terbang, bisa mengobati berbagai macam penyakit, bisa menghilang dan mampu menulis di atas lempeng baja dengan jemarinya.
Saya sungguh kagum dengan masyarakat Suku Sasak yang sangat lekat dan mencintai dunia pewayangan. Bagaimana tidak, mereka mengaktualisasikan kecintaan mereka kepada wayang lewat pemberian nama keturunan atau buah hati mereka dengan nama-nama tokoh pewayangan Menak. Walaupun nama-nama itu sangat terkesan sederhana, kolot atau dianggap tidak islami. Namun, jika ditelisik lebih dalam, justru nama-nama yang seperti itu malah menunjukkan suatu spirit keislaman. Islam yang sudah mendarah daging dalam sejarah masyarakat Suku Sasak.