DONASI

Berlayar dari Hulu, Melebur di Samudera: Mempertemukan Spiritualitas Jawa dan Bugis

1 Saya hanyalah pengulangan dari suatu masa sejak orang-orang Sulawesi mulai mengenal laut, kapal dan jarak. Sekian orang telah beranjak dari masa lalu masing-masing, berbekal...

ESAI | THURSDAY, 2 APRIL 2020 | 17:32 WIB

1

Saya hanyalah pengulangan dari suatu masa sejak orang-orang Sulawesi mulai mengenal laut, kapal dan jarak. Sekian orang telah beranjak dari masa lalu masing-masing, berbekal kapal dan harapan, menuju pulau-pulau yang dijangkau oleh  ketidakpastian.

Di kapal itu, Phinisi, pada sisinya terukir pepatah Makassar, Kualleangi tallanga natowalia: sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai. Hanya kalimat itu yang menjadi bekal kami; bekal Karaeng Pattingalloang mengunjungi pulau-pulau dan kembali setelah menguasai lebih dari 40 bahasa; Syaikh Yusuf Makassar yang berlabuh di Banten, memperistri sang ratu, lalu menjadi ulama serta pejuang di tempat itu.

Sejenak kita beralih dari nama-nama perantau yang diharumkan laut. Kualleangi tallanga natowalia, secara leksikal, memiliki arti “lebih kupilih tenggelam (di lautan) daripada harus kembali lagi (ke daratan).” Sungguh, peribahasa ini tidak mencerminkan tekad dan harapan yang kuat. Ia merupakan bahasa lain dari kekecewaan terhadap tanah sendiri.

Peribahasa ini, yang mulai dikenal semenjak abad XVII, adalah ucapan perpisahan dari orang-orang Bugis-Makassar yang tidak setuju dengan Perjanjian Bongaya antara Gowa dan Belanda. Namun, tentu dengan pertimbangan yang matang, Sultan Hasanuddin, sebagai raja Gowa ketika itu, tetap menandatanganinya. Sementara, orang-orang yang tidak setuju dengannya, memilih untuk berlayar, mencari pemimpin baru yang lebih mereka percaya.

Maka tersebutlah Karaeng Galesong dan Daeng Naba. Karaeng Galesong berlabuh di Madura, bersekutu dengan Trunojoyo, menikahi adiknya, dan kelak menjadi salah satu sekutu utama Trunojoyo dalam pemberontakan terhadap Amangkurat I. Sementara Daeng Naba berlabuh di pulau Jawa, lalu ikut menjaga kesultanan Mataram di bawah komando Amangkurat I. Kelak, Daeng Naba menjadi salah satu brigade dalam pasukan Mataram, yang diistilahkan sebagai Brigada Daengan.

Keduanya berperang mewakili kubu masing-masing.

2

Dalam kesempatan yang baik ini, tentu saya tidak hendak melakukan reinterpretasi ulang terhadap sejarah orang-orang terdahulu. Bagaimana pun, mereka memiliki pandangan dan motif tersendiri untuk sampai di seberang, dan dengan alasan tertentu, mereka menjalani hidupnya masing-masing.

Sebagai pengulangan dari sejarah agung dan memilukan itu, izinkan saya memulai kisah ini dari suatu petang di Bulan Ramadan, di dalam masjid, di salah satu pondok pesantren kecil di daerah Kulonprogo. Di tengah-tengah santri yang berpakaian serba putih, diiringi salawat nabi yang dilantunkan serempak; seorang santri berkeliling membawa dupa, sementara seorang lagi menaburkan kemenyan ke pada setiap orang yang ada di dalam masjid.

Bagi masyarakat Islam Jawa, sepertinya pengalaman itu sudah lumrah. Namun, bagi saya, peristiwa itu merupakan kali pertama saya melihat asap dupa dan bau kemenyan menyeruak di dalam masjid. Memang tak ada yang spesial. Tapi, saat itu juga, hawa dingin tiba-tiba merambat dari bawah dan seakan-akan menyatu di dalam jantung. Saya merasa sesak. Ketika itu, saya sama sekali tidak memikirkan hal lain, kecuali bahwa pengalaman itu akan berpengaruh besar dan mengubah pandangan saya tentang spiritualitas diri sendiri.

Saya meyakini bahwa perjalanan hidup beranjak dari satu peristiwa spiritual ke peristiwa spiritual yang lain. Seperti penanda waktu, ia merupakan semacam tongkat estafet yang memberikan makna pada masing-masing jalan yang telah dan akan saya lalui.

Spiritualitas sama sekali tidak terikat dengan agama apapun. Ia merupakan perwujudan dari cita-cita dan pandangan hakiki manusia tentang dirinya dan hubungannya dengan dunia, antara Tuhan dan alam. Spiritualitas, menurut beberapa ahli, bisa dikatakan lebih purba dari agama itu sendiri. Agama, bagi mereka, adalah salah satu bentuk pengejawantahan bentuk spiritualitas.

Pengalaman spiritual bisa muncul kapan dan di mana saja. Ia tidak terikat ruang dan waktu. Sebab yang paling menentukan adalah kesiapan diri sendiri untuk menerima pengalaman itu.

Pengalaman spiritual bisa muncul kapan dan di mana saja. Ia tidak terikat ruang dan waktu. Sebab yang paling menentukan adalah kesiapan diri sendiri untuk menerima pengalaman itu. Layaknya seseorang yang mendaki gunung, ia akan sampai ke puncak ketika ia memiliki cukup bekal, baik fisik maupun makanan.

Dalam pandangan Wolfgang Iser, ahli hermeneutika kenamaan, kesiapan itu berarti pertemuan dua entitas yang memiliki derajat yang sama. Antara diri dan alam, atau antara diri dan Tuhan, keduanya memiliki derajat yang sama ketika itu. Sang diri membawa bekal pengalaman dan segala yang berasal dari masa lalu dan pengharapannya, sementara Tuhan atau alam menawarkan pengharapan dan pandangan yang sesuai dengan manusia. Tuhan dan alam seketika itu menjadi cermin yang memantulkan sang diri. Dan pada saat itu, sang diri menganggap sedang berhadapan dengan bentuk idealnya sendiri.

Bentuk ideal itulah yang saya temukan ketika melihat dupa, kemenyan, kekhusyukan, dan masjid di suatu tempat terpencil di Kulonprogo. Entah bagaimana, meski saya dibesarkan tanpa asap dupa dan kemenyan, tapi ternyata bentuk ideal dari spiritualitas saya menjelma demikian. Dengan latar adat yang berbeda, sebagai seorang Sulawesi, saya ternyata menemukan salah satu bentuk ideal saya lewat kemenyan dan dupa, yang saya temui di Jawa.

3

Berbekal pendapat Wolfgang Iser di atas, saya mencoba untuk menyelami titik temu pengharapan saya sebagai seseorang yang berlatar adat Bugis, dan bentuk ideal yang saya temukan lewat kemenyan dan dupa dalam adat Jawa. Tentu terdapat pertemuan antara orang yang berdiri di depan cermin dengan pantulannya yang ada di dalam cermin. Tentu terdapat pertemuan di balik sang diri dengan apa yang berada di balik dupa dan kemenyan.

Pandangan spiritual Bugis (begitu juga dengan Makassar, Mandar dan Toraja) tertuang sempurna dalam Aksara Lontara. Sebagai aksara, Lontara tidak hanya berfungsi sebagai  sarana untuk menuliskan bahasa. Tapi, lewat aksara pula pandangan hidup diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Bagi masyarakat Bugis, konsep ketuhanan diwakili oleh huruf /sa/. Dari segi bentuk, huruf ini menyerupai segi empat belah ketupat, dengan mempertemukan empat garis. Pertemuan itu berada di bagian atas, di bagian kanan dan kiri, serta bagian bawah.

Segi empat belah ketupat dalam bahasa Bugis berarti Sulapa’ Eppa’ Walla Suji. Sulapa’ Eppa’ berarti empat sisi; Wala Suji berasal dar kata walayang yang berarti pemisah, pagar, penjaga, sementara suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual. Huruf /sa/, yang diartikan Sulapa’ Eppa’ Walla Suji, selalu disimbolkan dengan empat buah bambu yang bertemu membentuk segi empat yang menyerupai ketupat.

Menurut Mattulada, segi empat belah ketupat ditafsirkan sebagai model dari kosmos. Model kosmos dihubungkan dengan adanya empat sarwa alam, yaitu: udara, air, api, dan tanah, yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Keempat unsur ini adalah empat jenis sifat yang dimiliki oleh “manusia yang berbicara”.

Dengan pandangan ini, masyarakat Bugis memandang dunia sebagai sebuah kesempurnaan. Kesempurnaan yang dimaksud meliputi empat persegi penjuru mata angin, yaitu utara, selatan, barat dan timur. Secara makro, alam semesta adalah satu kesatuan yang tertuang dalam sebuah simbol aksara Bugis-Makassar, yaitu /sa/ yang berarti seuwwa, artinya tunggal atau esa. Begitu pula secara mikro, manusia adalah sebuah kesatuan yang diwujudkan dalam Sulapa’ Eppa’. Berawal dari mulut manusia segala sesuatu berawal dari bunyi yang menjadi  kata, dari kata menjadi perbuatan, dan perbuatan mewujudkan jati diri manusia.

Huruf /sa/ di atas juga melambangkan “empat unsur alam” yang menjadi sifat manusia, yakni air, api, tanah dan angin. Keempat unsur alam ini bertalian dengan warna, yaitu kuning, putih, merah dan hitam. Lebih jauh, simbol /sa/ di atas melambangkan “empat sisi tubuh manusia”. Paling atas adalah kepala, sisi kiri dan kanan adalah kedua tangan, dan paling bawah adalah kaki. Orang Bugis mengidealisasikan manusia Sulapa’ Eppa’, manusia yang menjaga prinisp keseimbangan atas-bawah (keadilan) dan kiri-kanan (kesetaraan). Dengan alam, mengemban tanggung jawab untuk merawat. Dengan demikian, konsep  Sulapa’ Eppa’ (juga dilafalkan Sulapa’ Appa’) dalam dunia ini, dipakai sebagai acuan untuk mengukur tingkat kesempurnaan yang dimiliki seseorang. Kesempurnaan yang dimaksud itu adalah kabaraniang (keberanian), akkarungeng (kebangsawanan),asugireng (kekayaan), dan akkessingeng (ketampanan/kecantikan).

Arsitektur rumah adat Bugis juga mengadopsi falsafah Sulapa’ Eppa’ di mana hal itu merupakan penerjemahan terhadap lapisan konsep kosmologi. Dari konsep ini, mengilhami bentuk struktur rumah yang senantiasa mengikuti model makrokosmos, yang secara konseptual harus mengikuti model persegi empat. Kemudian model rumah ini mengikuti pula struktur makrokosmos yang terdiri atas tiga tingkatan dunia, yakni: bagian atas (rakkeang), bagian tengah (alle bola), dan bagian bawah (awa bola). Arsitektur rumah adat Bugis terbagi atas bagian paling tinggi yang disebut coppo’ bola, diasosiakan sebagai arasy (Alam Lauh Mahfud). Lapisan bawahnya adalah lapisan sakral. Lapisan yang merupakan penggambaran alam bagi makluk Tuhan yang suci. Lapisan tersebut pada rumah Bugis disebut Rakkeang. Rakkeang, dulunya, di rumah kuno orang Bugis merupakan tempat penyimpanan padi. Padi, dalam mitologi manusia Bugis, dipandang sebagai penjelmaan dari Dewi Sangiang Seri. Selanjutnya adalah lapisan alam manusia, dan yang paling bawah adalah lapisan alam lingkungan dan makhluk lainnya.

Konsep tersebut, membawa pada satu kesimpulan, bahwa, dalam segi apapun, manusia Bugis terus berada dalam kesadaran akan posisinya antara Tuhan, Manusia dan Alam. Maka tidak heran, bukan hanya dalam konsep arsitektur rumah, bahkan dalam percakapan sehari-hari, yang sering kita sebut peribahasa, tertuang pula ide tentang itu.

Maka, dengan nada optimistis, masyarakat Bugis akan berlayar ke mana saja, berteman dengan harapan-harapan, sebab bagi mereka, Tuhan tak akan berada jauh, begitu pula takdir.

Taroi telleng linoe, tellaing pesonaku ri masagalae: Walau dunia tenggelam, tak akan berubah keyakinanku pada Tuhan. Atau misalnya, Dek nalabu essoe ri tenngana bitarae: Tak akan tenggelam matahari di tengah langit. Jika dimaknai, seseorang tidak perlu untuk was-was terhadap segala sesuatu, sebab dunia ini berjalan dengan ketetapannya sendiri. Maka, dengan nada optimistis, masyarakat Bugis akan berlayar ke mana saja, berteman dengan harapan-harapan, sebab bagi mereka, Tuhan tak akan berada jauh, begitu pula takdir.

Sementara, kesadaran masyarakat Bugis akan konsep kosmos tercermin dalam peribahasa berikut: Tellu riala sappo: tauwe ri dewatae, siri  ri watakkaleta, nenniya siri ri padatta rupa tau: Hanya tiga yang dijadikan pagar: rasa takut kepada Tuhan,  rasa malu  pada diri sendiri, dan rasa malu kepada sesama manusia.

4

Kebudayaan Jawa yang begitu luas, tidak mungkin saya paparkan dengan kapasitas saya yang baru intens selama beberapa waktu belakangan ini. Bahkan Clifford Geertz, perlu waktu sekian tahun untuk merampungkan tesisnya tentang Islam Jawa. Itu pun, hingga hari ini masih menjadi kontroversi.

Untuk memasuki sebuah titik aman, saya hanya akan mengetengahkan suatu konsep yang, entah kenapa, bagi saya, sangat mirip dengan Sulapa’ Eppa’ orang-orang Bugis. Namun, bagi Jawa, konsep itu tidak hanya bersumber dari aksara, tapi juga penanggalan.

Sadulur Papat Kalima Pancer. Pengertian asalnya adalah penyelarasan antara jagad kecil (manusia-mikrokosmos) dengan jagad besar Alam Semesta (makrokosmos). Saudara yang empat yang ada di jagad besar itu adalah empat kiblat yang ada yaitu timur, selatan, barat dan utara. Ditambah saudara pancer yaitu tengah di mana diri manusia itu berada.

Sedangkan empat saudara yang berkaitan dengan jagad kecil (manusia) adalah apa-apa yang mengiringi kelahirannya. Mereka itu adalah kakang kawah (air ketuban), adi ari-ari (plasenta), getih (darah) dan puser (tali plasenta). Sedangkan yang kelima pancernya adalah diri manusianya itu sendiri.

Dari pengertian asal ini kemudian berkembang dan selain sebagai empat kiblat juga kemudian dimaknai sebagai unsur alam yang menjadi pembentuk jasad manusia. Empat anasir ini adalah bumi/tanah, air, api dan angin. Sedang yang kelima pancer adalah diri manusia itu sendiri.

Lima tempat itu adalah juga tempat lima pasaran, maka persamaan tempat pasaran dan empat unsur dan kelimanya pusat itu adalah sebagai berikut: Pasaran Legi bertempat di timur, satu tempat dengan unsur udara, memancarkan sinar (aura) putih. Pasaran Paing bertempat di selatan, salah satu tempat dengan unsur Api, memancarkan sinar merah. Pasaran Pon bertempat di barat, satu tempat dengan unsur air, memancarakan sinar kuning. Pasaran Wage bertempat di utara, satu tempat dengan unsur tanah, memancarkan sinar hitam. Kelima di pusat atau di tengah, adalah tempat Sukma atau Jiwa, memancarkan sinar manca warna (bermacam-macam).

Dari ajaran Sadulur Papat, Kalima Pancer dapat diketahui betapa pentingnya Pasaran Kliwon yang tempatnya ditengah atau pusat (sentrum) tengah atau pusat itu tempat jiwa atau sukma yang memancarkan daya–perbawa atau pengaruh kepada “Sadulur Papat atau Empat Saudara (unsur) sekelahiran. Satu peredaran “ Keblat papat kalima pancer “ itu dimulai dari timur berjalan sesuai dengan perputaran jam dan berakhir di tengah (pusat).

Secara sederhana, dapat kita pahami, adanya kesamaan antara Sulapa’ Eppa’ dengan Sadulur Papat, dengan aplikasinya masing-masing. Jika Bugis lebih banyak memakainya dalam arsitektur rumah, maka Jawa juga memakainya dalam system penanggalan.

Jawa mengenal sang diri sebagai pusat dari empat hal yang ada di sekelilingnya. Semuanya menyatu di dalam diri. Sehingga, berbeda dengan masyarakat Bugis, di dalam masyarakat Jawa, kewaspadaan diri sendiri pun mengambil tempat yang strategis.

Namun, yang membedakan, tentu Kalima Pancer, sang pusat. Jawa mengenal sang diri sebagai pusat dari empat hal yang ada di sekelilingnya. Semuanya menyatu di dalam diri. Sehingga, berbeda dengan masyarakat Bugis, di dalam masyarakat Jawa, kewaspadaan diri sendiri pun mengambil tempat yang strategis.

Lihatlah dalam peribahasa berikut: Eling sangkan paraning dumadi: ingatlah asal dan tujuan hidup. Atau, Bener luput, ala becik, begja cilaka, hamung saking badan priyangga: benar salah, baik buruk, beruntung celaka, berasal dari badan sendiri.

Sehingga, untuk mengartikan peribahasa Gusti ora sare, saya lebih suka menganalogikannya, bahwa Tuhan layaknya darah yang terus mengalir di dalam nadi. Ia tak pernah berhenti untuk mengalir. Sekali ia berhenti, maka kehidupan seseorang pun akan berakhir.

5

Suatu identitas tidak akan pernah berlaku jika orang yang berada di sekitar kita juga memiliki identitas yang sama. Saya tentu tidak akan memperkenalkan diri sebagai warga Indonesia jika saya masih berada di Indonesia. Namun, ketika berada di luar negeri, barulah saya akan memperkenalkan diri sebagai orang Indonesia. Hal ini berlaku pula dalam konteks yang lebih sempit. Saya akan mengaku sebagai masyarakat Sulawesi ketika berada di pulau lain.

Namun, hal ini bukan berarti seseorang tidak pernah menjalani hidupnya sesuai adat yang mengitari kesehariannya. Disebabkan oleh indentitas itu sendiri yang menubuh, menjadi tarikan nafasnya setiap waktu, dan lebih dekat dari bayangannya sendiri; karena tak ada jarak antara dirinya dan adat yang melingkupi, sehingga tak ada identifikasi atas identitas tersebut.

Ketika memasuki dan bergaul dengan orang-orang dengan adat yang berbeda, pada saat itulah seseorang mulai bercermn. Sebagaimana dalam konsep psikoanalisa Slavoj Zizek, dengan hadirnya orang lain, seseorang akan kembali mempertanyakan dirinya sendiri.

Dalam proses itulah, seseorang mencari persamaan dan perbedaan dengan orang lain. Ia akan mengidentifikasi dirinya lewat persamaan dan perbedaan itu. Seperti di sebuah masjid kecil di salah satu daerah di Kulonprogo itu, proses yang sedang berlaku dalam diri saya sendiri adalah pengidentifikasian Spiritualitas Bugis yang diwakili oleh sang diri, dengan spiritualitas Jawa yang diwakili oleh kemenyan dan asap dupa, orang-orang yang berpakaian serba putih, serta salawat nabi yang mengalun menjadi satu kesatuan.

Layaknya air tawar yang mengalir dari sungai, ketika telah mencapai samudera, semuanya akan menjadi asin, menjadi sama. Tentu, dengan keikhlasan, meleburkan diri masing-masing.

 

926

Muhammad Aswar

Muhammad Aswar, menulis puisi dan esai, editor dan penerjemah freelance.

Comments are closed.