“Yang fana adalah waktu. Kita Abadi:”
(Sapardi Djoko Damono, “Yang Fana adalah Waktu”)
THE Photograph (2007)[1]adalah film yang menghidupkan fotografi. Tetapi tidak seperti A Great Day in Harlem (1994)—film dokumenter Jean Bach yang berangkat dari foto jepretan Art Kane pada musim panas 1958 di Harlem, New York; film berdurasi 103 menit ini hanyalah menciptakan (baca: mereka) karya-karya fotografinya sendiri demi kebutuhan sinematografi yang seyogianya merupakan kelanjutan dari seni fotografi.
Adegannya dibuka dengan terpentangnya pintu sebuah rumah besar Hoakiau[2], menampakkan tembok kusam di sisi dalamnya yang dipenuhi oleh gantungan foto-foto hitam-putih terpigura yang tak kalah kusam: menguning dan penuh bercak.
Dan seiring terbukanya pintu, kamera pun bergerak perlahan mendekati dinding penuh foto itu, lalu mendadak berganti jadi close-up shot yang terfokus pada potret seorang lelaki Tionghoa sedang duduk di samping kamera besar berkaki tiga. Sebuah foto yang telah dimakan usia sebagaimana terlihat bukan hanya dari kondisi fisiknya saja, tetapi juga dari pigura yang membingkainya dan tulisan hànyŭ merah di atas kacanya yang buram berdebu.
Nama hànyŭ maupun alfabet latin (dalam ejaan Hokkien) lelaki dalam potret itu sudah (nyaris) tak terbaca, begitu pula dengan tahun masa hidupnya yang tercantum di bawah nama. Tetapi pada foto-foto berikutnya yang tertangkapoleh pergerakan kamera, nama dan angka yang tertera di atas potret sosok-sosok lelaki lain dengan pose serupa masihlah terbaca cukup jelas: 陳添來 – Tan Tham Lay[3] – 1895-1957 dan 陳連輝 – Tan Lian Hoei[4] – 1914-1965.
Jelas, ketiga sosok lelaki dalam foto-foto tua itu tak lain merupakan buyut, kakek, dan ayah dari karakter utama film ini yang diperankan oleh aktor Tionghoa Singapura Lim Kay Tong (林祺堂)[5], yakni 陳漢裕 – Tan Han Xi[6]/ Johan Tanujaya – 1956-[…]. Nama tokoh utama tersebut—dengan jenis huruf hànyŭ dan alfabet latin, juga warna yang sama—tampak tertulis pula di atas kaca pigura kosong yang perlahan digantungnya sendiri di sisi potret buyut-kakek-ayahnya setelah ia mencopot dua lembar dari sekian banyak foto tua hitam-putih ukuran 4R yang digantung dengan jepitan kayu di tembok.
Dalam gaze shot ini, kamera membidik secara dekat wajahnya yang dipantulkan kaca pigura kosong itu: wajah tua seorang lelaki Tionghoa dari golongan menengah ke bawah yang terlihat sudah lelah oleh kegetiran hidup, di mana sepasang matanya tengah menatap wajahnya sendiri di permukaan kaca dengan tatapan sayu. Momen screenplay opening ini juga disertai oleh monolog voice over suara Shanty yang memerankan tokoh Sita, seorang perempuan Jawa dari desa yang berprofesi sebagai penyanyi di bar karaoke dan sesekali sebagai pekerja seks komersial:
“Pada saat kita merenungkan masa lalu, akan ada saat-saat yang mengubah kita, diri kita, hidup kita, agar dapat melangkah lebih pasti ke depan. Ini sebuah cerita tentang seorang manusia yang telah menyentuh hidup ini, menyentuh saya.”
Dari monolog voice over itulah kita segera sadar bahwa Sita sesungguhnya adalah character-narrator dalam film ini, sehingga dengan demikian The Photograph boleh dibilang film dengan cerita berfokal internal yang—dalam kajian sastra—dikategorikan sebagai homodiegetic, di mana narator adalah seorang tokoh sentral yang berada dalam cerita.[7]
Adegan pembuka masih berlanjut dengan bidikan kamerayang berpindah ke frame tangan Johan Tan yang sedang membersihkan meja dari botol-botol obat dan membereskan kertas-kertas berserakan yang di antaranya bertuliskan “Asisten fotografi dicari dengan cepat”. Lalu segera bertukar dengan adegannya sedang memegang dupa dan menyusul sang tokoh utama diperlihatkan membuka sebuah peti kayu di bawah meja sembahyang, yang di dalamnya berisi lensa kamera tua, bungkusan kain, setelan jas terlipat rapi, dan sebuah kotak besi terkunci.
Dalam kotak besi terkunci yang dibukanya inilah kita kemudian menemukan foto-foto tua. Tiga lembar di antaranya dikeluarkan Johan untuk diletakkan di altar sembahyang keluarganya, yaitu foto rel kereta api, pemandangan pelabuhan, dan sebuah kamera tua tegak di samping kursi kosong dalam studio—yang mana ternyata juga tertempel di sisi pigura kosong yang baru digantung.
Tentu saja dalam momen ini kita belumlah memahami apa makna ketiga lembar foto itu bagi Johan yang memandangnya dengan nanar disertai gumam “saya akan mulai mati hari ini”. Namun dari perlakuan tokoh terhadap ketiga lembar foto, toh dengan gamblang kita dapat menduga bahwa obyek-obyek foto tersebut memang bukan sembarangan obyek, tetapi merupakan sesuatu yang amat bernilai bagi sang tokoh. Foto-foto Johan itu pun serta merta mengingatkan saya pada obsesi tokoh Antonio Paraggi memotret ketidakhadiran Bice sang kekasih yang pergi meninggalkannya dalam cerpen “Petualangan Seorang Fotografer” karya Italo Calvino, dengan obyek-obyek foto berupa asbak penuh puntung, tempat tidur berantakan, noda lembab di dinding, atau sudut ruangan yang sama sekali kosong.[8]
Berharganya foto-foto tua Johan beserta semua benda yang tersimpan dalam peti kayunya di bawah altar sembahyang itu, tampak semakin terang ketika pada satu adegan di pertengahan film, Johan dengan tegas melarang Sita yang hendak mengepel lantai menyentuh peti tersebut. Bahkan saking pentingnya ketiga lembar foto itu, dapat dikatakan bahwa jalan cerita film besutan Nan Achnas ini tak lain adalah sebuah perjalanan untuk menyibak rahasia hidup sang tokoh utama yang direpresentasikan oleh karya fotografi.
Dengan demikian The Photograph bukan saja dimulai dengan memperkenalkan kita kepada sang protagonis, tetapi juga pada hal-hal krusial yang langsung menukik ke jantung konflik cerita film—yang pada awalnya secara sepintas barangkali tampak sederhana, remeh, dan berpotensi luput dari konsentrasi kita tetapi sebenarnya begitu konkret sebagai obyek-obyek yang dibebani makna. Termasuk juga di sini potret-potret diri Sita dan putrinya, Yani, yang berulangkali diperlihatkan kepada kita sejak adegan perempuan itu mengemas barang untuk pindah dari rumah Rossi (Indy Barends) ke Roemah Photo Tan.
Karena itu tak bisa tidak, film ini menuntut kejelian mata penonton untuk menangkap berbagai detail kecil pada properti, seakan-akan memang tak ada bagian yang tidak berarti atau diletakkan sekadar untuk memenuhi setting. Dan keseriusan menangkap detail ini bukan hanya terkait dengan perihal foto atau yang berhubungan dengannya, melainkan juga menyangkut lanskap interior dan eksterior, bahkan seluruh mise-en-scene yang didominasi oleh cahaya redup dan warna suram untuk mendeksripsikan kemurungan hidup tokoh-tokohnya.
Perhatikan saja keadaan ruang depan Roemah Photo Tan[9] yang ditempati oleh seorang tukang wayang potehi (poo tay hie) bernama Tho Teng Be dan tukang servis jam “Eka Jaya Watch” saat Sita pertama kali tiba contohnya. Di antara orang-orang sedang membaca koran dan seorang nenek bersembahyang di depan altar, jika teliti kita bisa melihat adanya gambar Dewa Kwan Kong[10] yang menghitam di tembok pertanda tuanya gambar tersebut. Studio milik Johan juga di-set secara saksama sehingga memperlihatkan sebuah model studio foto yang barangkali telah menjadi memori kolektif orang Indonesia hingga tahun 90an dengan ragam lukisan pemandangan sebagai background-nya.
Begitu pula kondisi kamar loteng Sita yang begitu jorok dengan sampah kertas dan kantong plastik berserakan secara alami, atau betapa kotor berdebunya kain latar studio berupa lukisan Tembok Besar China yang dibersihkan oleh Johan dan Sita, dan terutama bekas-bekas gantungan pigura foto pada tembok di tepi jalan tempat Johan saban pagi mangkal sebagai tukang foto; di mana bekas-bekas itu bukan saja mengesankan suatu hal yang telah berlangsung lama, namun juga dapat dipergunakan untuk mengulang rutinitas serupa setiap saat ketika setiap pigura mesti digantungkan kembali pada tempatnya sediakala—layaknya momen-momen hidup yang seakan dapat diulang pada saat kita memandang sebuah foto.
***
“FOTOGRAFI adalah cara memenjarakan realitas. Seseorang tak dapat memiliki realitas, seseorang dapat memiliki gambar—seseorang tidak dapat memiliki masa kini tetapi seseorang dapat memiliki masa lalu,”[11] demikian tulis Susan Sontag dalam bukunya On Photograph (1977).
Selama sekian dasawarsa setelah Joseph Nicepore Niepce berhasil memproyeksikan Point de vue du Gras pada 1816 yang dianggap sebagai karya fotografi pertama berupa gambaran kabur atap-atap rumah pada sebuah lempengan campuran timah yang dipekakan,[12] manusia mengira bahwa mereka telah melangkah lebih jauh dari seni lukis realis dalam usaha untuk mengawetkan momen. Sejak itulah teknologi kamera terus mengalami perkembangan dari masa ke masa hingga yang kita kenal sekarang. Namun apakah waktu memang sungguh-sungguh dapat dikerangkeng dalam selembar potret? Apakah manusia, benda-benda, dan peristiwa yang berhasrat kekal seyogianya bisa dibekukan dalam proses kiamiwi di kamar gelap atau cetak digital?
Nirwan Ahmad Arsuka dalam sebuah esainya tentang fotografi pernah mengingatkan kita akan sifat waktu ini dengan mencontohkan mitologi Batara Kala sang penimpa bala dan Dewa Kronos yang selalu menelan apa saja yang dilahirkannya. Menurut Arsuka, ada tiga aspek fisis waktu yang tercerap indra manusia. Pertama, waktu selalu mengalir, tak terbendung. Kedua, waktu hanya bergerak asimetris, selalu mengarah ke depan. Dan ketiga, aliran waktu akhirnya menelan dan menghancurkan apa saja yang ditempuhnya.[13] Karena itu pula dalam sejarah kita kenal mumi yang tersimpan dalam piramida penuh labirin yang dibuat untuk menahan dan menyesatkan instruksi waktu yang tak kenal ampun. Juga para prajurit terakota yang dibangun untuk menjaga makam Shih Huangdi, setelah sang kaisar sia-sia melawan usia dengan ramuan herbal dan alkimia.
Kekuatan teknologi kamera adalah kemampuannya yang seolah mampu menghentikan waktu. Dalam citra yang diabadikan oleh kamera, waktu seperti tampak membeku untuk selama-lamanya, juga apa pun yang berada di dalamnya: diri kita, pakaian yang kita kenakan, ruangan, dan cahaya ketika itu.
Sehingga—mengutip Arsuka—terhamparlah kenyataan obyektif yang bisa menyedot. Seakan aliran waktu yang selalu asimestris, bergerak ke depan itu, dapat ditaklukkan oleh kamera. Pada selembar foto, waktu seakan bergerak mundur ke masa silam tatkala kita melihatnya pada masa kini seraya membalik sekaligus mempertegas hukum kausalitas. Kemampuan mengendalikan arah dan kecepatan gerak waktu—mempercepat atau memperlambatnya—adalah penaklukan kedua kamera atas waktu.[14] Dengan begitu, realitas dalam fotografi pun bisa diandaikan sebagai “sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi”.[15] Dalam waktu yang fana, dalam temporalitas, realitas senantiasa berubah. Karena itu memotret adalah upaya untuk mengabadikan kenyataan yang selalu saja retak akibat kefanaan sang waktu. Seperti diungkapkan Seno Gumira Ajidarma:
Setiap kali kita memandang sebuah foto, tentu momen dalam foto itu telah menjadi masa lalu. Namun sebuah foto selalu kontemporer, selalu berada di masa kini, karena sebuah foto berada dalam kekinian pemandangnya. Yang retak itu kita bikin abadi. Keabadian itu bukan suatu kebekuan, melainkan fiksasi, kehidupan itu tidak ke mana-mana, selalu terhidupkan kembali oleh pemandangan kepada citra foto tersebut. [16]
Sebab itu pula, apa yang terekam hanyalah separuh ilusi. Waktu, kita tahu, tidaklah pernah sungguh-sungguh dibekukan dalam sebuah foto tetapi hanya tampak seperti itu. Sebab pada dasarnya citra fotografis adalah irisan tipis dari realitas yang begitu besar dan kompleks. Selembar foto mungkin saja menjadi representasi realitas, namun sebagai citra ia tetaplah bukan realitas itu sendiri.
Maka fotografi, kata Seno lagi, adalah kalacitra, gambaran waktu. Sebuah foto hanya berusaha menangkap waktu, mencoba membekukan dan mengekalkannya, namun yang tertangkap hanyalah citra dari sebuah pemandangan di depan kamera. Waktu (yang sesungguhnya) selalu berada di luar foto-foto itu. Bahkan foto-foto tak lain hanyalah prasangka naif dalam ketidakberdayaan kita menghadapi laju waktu yang merusak dan terus meninggalkan manusia, benda-benda, dan peristiwa.
Oleh sebab itu fotografi juga cenderung terancam oleh keterbatasan informasi, tak mampu memberikan informasi memadai atas apa yang terjadi sebelum dan sesudah pemotretan. Bahkan tak jarang, menyuguhkan informasi menyesatkan.
Menurut Roland Barthes: Citra fotografi pada dasarnya adalah analogon sempurna dari kenyataan, a message without a code yang secara literal memustahilkan deskripsi, tapi secara paradoksal menjadi dasar dari pembentukan pesan mengandung kode yang pembacaannya sangat tergantung pada sejarah dan pengetahuan orang yang memandangnya.[17] Itulah kenapa makna sebuah foto ditentukan oleh pemandangnya, ketika disebut bahwa bagi orang lain foto-foto itu tak berjiwa.[18]
Tak heran apabila ketiga lembar foto Johan dalam film The Photograph tidaklah dipahami Sita dan orang lain yang tak memahami konteks sejarahnya; tak berarti apa-apa selain hanya menerbitkan penasaran. Mereka hanyalah bermakna sebagai “salinan realitas” bagi diri Johan pribadi sebagai pemilik sekaligus pemotretnya. Di sinilah letak sakralitas foto lama itu.
Dalam tradisi Tionghoa, foto sebagai representasi (sebelum foto ada, digunakan lukisan atau nama) memang sudah menjadi hal umum. Foto-foto itu—sebagaimana yang juga diperlihatkan dalam The Photograph (berupa foto anak-istri dan orang tua Johan)—lazim diletakkan di altar sembahyang sebagai pengganti orang-orang yang sudah mati.
Ya, foto menjadi sakral lantaran konteks waktu bukan karena mengulur usia manusia, meskipun cuma seakan-seakan atau secara ilusif. Lantaran kemampuannya mengada dalam waktu. [19]
***
SITA dan Johan adalah dua orang berbeda generasi, berbeda etnis, dan berbeda jenis kelamin yang dipersatukan oleh nasib: kegetiran hidup yang muram.
Pada Sita, kegetiran itu berupa kemiskinan. Sebagai seorang single mom yang mesti meninggalkan desanya untuk bekerja jadi penyanyi karaoke dan pekerja seks di kota, ia bukan hanya mesti menghidupi anaknya tetapi juga mencari biaya pengobatan untuk neneknya yang sakit. Karena itu cita-citanya adalah bisa membawa anak dan neneknya hidup bersamanya. Namun itu sungguh tak mudah lantaran ia juga terjerat hutang pada seorang germo bernama Suroso (Lukman Sardi) yang dulu membawanya ke kota, yang setiap saat mengancamnya akan membeberkan kepada anak dan neneknya serta orang-orang desa apa pekerjaannya di kota:
Sita sendiri selalu mengaku kepada nenek dan anaknya, juga Pak Rohim tetangganya yang menjadi tempat ia menelepon Yani, bahwa dirinya punya “pekerjaan baik-baik” di kota sebagai buruh di pabrik garmen. Karena itu secara rutin ia pun mengirimkan foto-foto dirinya dalam pose ceria mengenakan pakaian-pakaian modis yang dipinjamnya dari Rossi yang berprofesi sebagai penjahit. Semua foto itu, termasuk yang sejak awal diperlihatkan kepada kita, merupakan foto-foto yang dijepret di Roemah Photo Tan (tempat ia mengenal Johan). Ya, sampai di sinilah kita jadi tahu betapa pentingnya foto-foto itu bagi diri Sita. Sebab lewat foto-foto itulah ia seakan bisa menampilkan “dirinya yang lain” yang ia ingin orang lain lihat, terutama anaknya.
Tetapi tidaklah dalam semua foto ia ternyata sanggup “berakting” ceria. Pada selembar dari dua potretnya yang dicuci oleh Johan suatu kali tampaklah wajah aslinya yang sedih dan murung dengan mata sembab. Toh, seperti kata Johan, itulah salah satu esensi fotografi: “Foto bisa jujur, bisa menipu. Terserah mau pajang yang mana, dan yang mana yang mau disimpan.” Sehingga dalam hal ini kita pun kembali mempertanyakan apakah potret benar-benar dapat diterima sebagai representasi realitas atau seyogianya ia hanya sebuah salinan palsu?
Tetapi kejujuran wajahnya yang terekam kamera Johan itulah yang kemudian membuat Sita mencoba menanggalkan topeng yang selama ini ia kenakan (demi melindungi nama baik diri dan keluarganya) dengan mengaku di depan cermin: “Namaku Sariah, bukan Sita.” Bahkan pada akhir film, akhirnya ia membakar semua “potret bertopeng keceriaan”-nya itu bersama foto-foto tua Johan yang sudah meninggal.
Johan sendiri memiliki kegetiran hidup yang berbeda, sebagaimana yang terungkap lapis demi lapis sepanjang alur film ini. Sebelum kenal lebih dekat dengan Johan, Sita seperti Rossi dan orang-orang lain, hanya memandangnya sebagai lelaki tua aneh yang cuma bicara seperlunya, tak mau bertatapan, dan setiap pagi melakukan rutinitas membakar dupa dengan sesajen buah-buahan di atas rel kereta. Selain suka mengintip aktivitas Johan membuka peti besarnya saban malam dari celah papan kamar lotengnya, Sita juga beberapa kali tanpa segan memakan apel sesajen lelaki itu.
Barulah setelah pada suatu hari fotografer itu menyelamatkannya dari tangan Suroso yang membuat hubungan mereka jadi lebih dekat oleh rasa empati masing-masing, perlahan Sita mulai mengenal sosok Johan lebih jauh dan berusaha memahami lelaki tua itu. Sampai akhirnya sedikit demi sedikit ia pun mengetahui rahasia hidup Johan dan apa makna ketiga lembar foto di altar sembahyang yang tersangkut erat pada masa silam si tukang foto.
Perbedaan antara Sita dan Johan yang cukup kentara adalah apabila Johan seolah terperangkap dalam foto-foto masa silam; foto-foto Sita adalah masa depan lebih baik, sekali pun itu masih berupa harapan temporary yang diwujudkan secara manipulatif lewat pose dibuat-buat. Dan hal ini dengan tegas pernah dinyatakan Sita di hadapan Johan yang sedang membakar dupa untuk arwah anak-istrinya: “Aku melihat ke depan, Pak. Bukan ke masa lalu seperti Bapak. Aku mesti jaga nenekku, mesti jaga anakku. Yang hidup yang penting, Pak. Bukan yang mati.”
Tetapi apakah hidup Johan memang hanya melulu tertoleh ke masa lalu? Ketiga lembar foto di atas altar memang mengisyaratkan demikian: sebuah sakralitas masa silam pada potongan-potongan kertas yang menguning secara emosional. Namun sebagaimana Sita, kita akhirnya tahu betapa keramatnya ketiga lembar foto itu untuk Johan, yang mengikat hidupnya penuh seluruh dalam aktivitas penghidupannya sebagai fotografer, tanpa ia berdaya menolak. Dalam perkara inilah, Johan seolah tak kunjung beranjak, tak mampu beranjak, bahkan tak ingin beranjak dari masa lalu yang tercetak di atas foto. Usianya kian menua, masa berganti, tetapi waktu tetap saja (seakan) membeku dalam momen-momen tertentu yang terus menghantuinya dengan rasa bersalah: “Saya tidak pernah melakukan apa pun dalam hidup saya yang berarti.”
Sehingga di sini—di luar tuntutan tradisi China untuk mengenang mereka yang sudah tak ada—kata Seno, “yang sakral bukan cuma potret saja, tetapi juga yang lama”.[20]
Meskipun orang-orang seperti Rossi sedikit-banyak sebetulnya sudah tahu peristiwa seperti apa yang dialami Johan sehingga ia dianggap aneh, tetapi semua itu barulah benar-benar terungkap pada penghujung film ketika lelaki tua itu akhirnya berkenan membagi “duka abadinya” kepada Sita dengan menunjukkan seluruh isi peti kayunya yang penuh rahasia: Istri dan anak laki-lakinya mati tertabrak kereta api pada hari ketika ia memutuskan untuk menolak meneruskan profesi fotografer yang turun-temurun dalam keluarganya demi mewujudkan cita-citanya bepergian jauh, kembali ke China. Sebuah cita-cita yang kandas baginya bukan saja karena sebagai generasi keempat dari keluarga tukang foto ia telah berjanji untuk menjadi seorang penerus, namun tampaknya juga karena sebagai seorang lelaki Tionghoa ia memikul kewajiban untuk melanjutkan xing (marga) keluarganya dengan menikah.
Karena itu foto rel tempat anak-istrinya mati tertabrak (atau menabrakan diri pada) kereta api yang ditumpanginya menuju pelabuhan pun berlaku seperti mesin waktu bagi Johan: kapan saja ia memandang foto itu, ia seperti kembali ke momen paling menyakitkan dalam hidupnya. Walaupun bukan hanya foto itu saja yang dimiliki oleh Johan, tetapi juga foto-foto lainnya yang lebih mengiriskan dan mengerikan—yang selama ini tersimpan rapat dalam kotak besi terkunci dalam peti kayunya—yakni foto-foto potongan tubuh anak-istrinya.
Saya yang memotret ini. Saya ada, pada hari itu. Pagi itu, saya beri tahu Selly saya akan meninggalkan mereka. Saya benci semua dalam hidup saya. Saya benci menjadi penerus warisan keluarga. Benci menjadi orang yang menurut. Dan saya katakan ke Selly kalau saya tidak cinta dia. Saya tidak pernah cinta dia. Saya katakan semuanya pada hari itu.
Sejak tragedi itulah ia tak pernah lagi naik kereta api, tak pernah pergi ke pelabuhan yang ia rindukan; yang mestinya menjadi tempat ia bertolak meninggalkan semua hal yang tak ia sukai pada masa muda. Setidaknya sampai suatu hari ketika Sita bersedia menemaninya naik kereta pergi ke pelabuhan untuk terakhir kali dalam hidupnya.
Di sinilah kemudian terungkap makna foto kedua: pemandangan pelabuhan tempat di mana “Kapal-kapal dari China ada di sini. Saya ingat saya hampir jatuh waktu turun”, sebuah foto yang menjadi muasal kegetiran hidupnya, membuat ia merasa menjadi lelaki durhaka yang lalai pada tanggungjawab terhadap keluarga. Dan dalam foto pelabuhan ini seakan-akan tersimpanlah masa depan yang telah lama menjadi masa silam: sebuah past future continuous.
Namun foto ketiga (kamera yang tegak di sisi kursi kosong dalam studio) semestinya merupakan hal dari masa silam yang belum selesai. Karena hingga menjelang akhir hayatnya (yang telah sakit-sakitan), Johan belum juga berhasil mendapatkan pengganti untuk meneruskan profesi warisan keluarganya. Kendati ia telah menyebarkan dan menempel selebaran di mana-mana, tetapi yang datang melamar jadi fotografer magang hanyalah orang-orang tak berkompeten yang bahkan tidak paham cara memotret. Bahkan satu-satunya orang (pecatan tentara) yang akhirnya ia terima, ternyata memiliki kelainan mata.
Apabila foto pertama Johan merupakan foto menangkap kematian (dan membalsemnya), foto ketiga ini seolah-olah hendak menunda kematian. Yang sekilas-pintas mirip dengan apa yang hendak diutarakan oleh Goenawan Mohamad lewat puisi “Buat H.J. dan PG”, yakni tatkala sebuah foto lama diajukan seorang lelaki tua kepada malaikat maut (yang hanya tertawa) untuk menunda ajalnya lantaran anaknya akan tiba terlambat dari rumahnya yang jauh. Sebuah foto yang demikian sakral karena di sanalah berada “tempat yang kita kenal” dengan “saat-saat yang tak pernah baka”. Namun kita pun mafhum bahwa tak seorang pun bisa menunda kedatangan malaikat maut. Dalam kuasa waktu, kematian adalah sebuah keniscayaan.
Terungkap juga di sini ternyata Johan tak memiliki selembar pun potret dirinya sendiri. Sebab dalam keyakinan dan tradisi keluarganya turun-temurun, hanyalah seorang fotografer pengganti yang boleh memotret dirinya. Syarat lainnya, pengganti itu haruslah laki-laki. Karena itu, walaupun Sita tampak tertarik pada dunia fotografi, ia tetap saja tak diijinkan Johan untuk menjepret dirinya (karena bisa sial) dan menyentuh kameranya. Hal ini berarti Johan akan mati sebagai lelaki gagal yang tak mampu memenuhi janji bahkan sumpahnya kepada leluhurnya untuk menemukan penerus profesi keluarga. Profesi yang dulu ia tolak sehingga mendatangkan kesialan berupa kematian tragis anak-istrinya. Dan ini merupakan kegagalan keduanya (yang bakal mengakibatkan arwahnya kelak tak akan bertemu dengan keluarganya di akhirat) setelah ia gagal memenuhi janjinya untuk menjadi anak yang baik, suami yang baik, dan ayah yang baik. Itu sebabnya Johan merasa “Belum siap untuk pergi. Belum selesai tugas-tugas saya. Belum sekarang.”
The Photograph bukanlah kisah atau kajian yang “menggugat fotografi” seperti cerpen Italo Calvino “Petualangan Seorang Fotografer” dan buku On Photograph karya Susan Sontag, maupun film yang mempertanyakannya seperti Blow-Up (1966) karya Michelangelo Antonioni yang sempat dibicarakan Seno. Namun demikian kita pun seakan menemukan adanya semacam keserupaan yang tak sama antara Johan dan karakter Antonio Paraggi. Di mana keduanya adalah orang yang berkonfrontasi dengan fotografi.
Hanya saja, jika Antonio yang bukan seorang fotografer memotret sembari terus-menerus meralat kesimpulannya perihal fotografi demi membangun polemik “antifotografi”-nya, Johan adalah orang yang menjalani profesi itu dalam keterpaksaan dan penyesalan. Tetapi begitu, toh keduanya tampak begitu sungguh-sungguh melakoninya. Hal ini terlihat misalnya dari rasa penasaran Sita setiapkali Johan mengambil foto para pelanggan yang tak cukup hanya dengan sekali jepret saja tetapi mesti berkali-kali agar menghasilkan foto terbaik, meskipun hal itu terkesan memboroskan negatif film. Sementara Antonio akhirnya menyadari bahwa memotret yang ia tinggalkan adalah jalan sesungguhnya yang secara tidak jelas telah dicarinya selama ini.
***
“APA yang mendorong kalian untuk memotong kontinum aktif hari ini menjadi bagian-bagian temporal, ketebalan dari satu detik?” tanya Antonio Paraggi dalam ceramahnya tentang fotografi kepada Bice dan Lydia yang memintanya menjepret adegan mereka sedang bermain bola di pantai. “Dengan melemparkan bola itu ke sana-kemari, kalian hidup saat ini, tetapi ketika pandangan pada bingkai disisipkan di antara tindakan kalian, bukan lagi kesenangan dalam permainan bola itu yang memotivasi kalian, melainkan keinginan untuk melihat diri kalian lagi di waktu mendatang, keinginan untuk menemukan kembali diri kalian dua puluh tahun kemudian,”[21] begitulah ia menarik analisa yang menegaskan kembali temporalitas foto sebagai representasi realitas termaknakan.
Sebuah foto tak ada untuk dan demi momen yang direkamnya saja, tetapi kepada siapa pun yang akan memandangnya di masa depan. Memotret itu mengambil dan menciptakan kembali sebuah dunia, yang hanya dimungkinkan oleh temporalitasnya, sebuah foto ada lantaran waktu membuatnya terus-menerus ada.[22] Apa yang direpresentasikan sebuah foto hanya pernah ada, tetapi tak akan pernah selesai digambarkan seperti apa.[23]
Pada Johan, masa lalu yang tragis seolah-olah terbekukan dalam foto rel kereta yang menelan nyawa anak-istrinya. Namun bukan foto itu saja yang menjadi representasi rasa sakit dan penyesalan kekalnya yang ia jadikan sebagai pengingat kesalahan dirinya yang tak termaafkan, melainkan juga foto pelabuhan yang mewakili cita-citanya yang tak pernah terwujudkan dan foto kamera dengan kursi kosong yang mewakili pengharapannya untuk menebus dosa pada leluhur. Ketiga foto itu tak bisa dipisahkan, tetapi membentuk semacam kausalitas berkesinambungan secara bolak-balik: tanpa foto pelabuhan tak bakal ada foto rel kematian, dan tanpa janji kepada luluhur (foto kamera dengan kursi kosong) maka tak perlu ada foto pelabuhan idaman dan foto rel tragedi.
Kita (yang menonton film ini) tahu bahwa pada suatu malam menjelang detik-detik penghabisan hidupnya, Johan yang akhirnya menyerah pada kegagalannya menemukan seorang lelaki penerus profesi keluarganya itu pun mengenakan setelan jas terbaiknya yang selama ini tersimpan dalam peti dan meminta Sita untuk memotretnya. Apakah dengan demikian berarti ia akhirnya merestui Sita sebagai penggantinya?
Sayangnya, sebelum Sita berhasil menarik tuas kamera tuanya, Johan sudah keburu menghembuskan nafas terakhirnya di kursi. Sehingga jika buyut-kakek-ayahnya dijepret oleh para penerus masing-masing dengan penuh kebanggaan di samping kamera, satu-satunya potret diri Johan tak lain adalah sebuah post mortem photography. Meskipun Sita juga memotret dirinya bersama mayat lelaki yang abu jenazahnya kemudian ia tebarkan ke laut itu sambil menangis.
Foto terbingkai dalam pigura bertuliskan nama Johan yang bertahun-tahun tergantung kosong di Roemah Photo Tan inilah yang ditampakkan kepada kita sebagai penutup film disertai bergantinya suara narator dari Sita ke Yani (yang tak pernah hadir secara langsung dalam film): “Saya Yani, dan ini cerita ibu saya. Potret ini membawa Ibu dan saya untuk terus menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya. Kehidupan yang tertangkap pada dinding-dinding kenangan.”
***
SAYA kira The Photograph bukan hanya film terbaik Indonesia tentang fotografi, yang mencoba mengantar kita untuk memahami kompleksitas manusia dalam memaknai eksistensinya dalam waktu, tetapi juga salah satu film terbaik dalam upaya memahami Tionghoa—khususnya Hoakiau di Indonesia. Setidaknya film ini memang dibuat dengan pengetahuan tentang Tionghoa (identitas dan nama-nama, detail budaya-tradisi, sejarah, serta bahasa-aksara) yang jauh lebih memadai. Bukan dengan pandangan stereotipterhadapnya seperti yang kerap kita temukan dalam segelintir film Indonesia.
Karena itu di luar perkara keampuhan akting dan jam terbang Lim Kay Tong, pilihan untuk memasang aktor Tionghoa-Singapura yang berdarah Tionghoa asli, besar dalam komunitas Tionghoa, dan tak fasih berbahasa Indonesia seperti segelintir kaum Hoakiau Indonesia di daerah tertentu[24] ini sebagai pemeran Johan Tanujaya, saya rasa juga merupakan sebuah pilihan yang tepat demi mendapatkan potret yang lebih utuh dan realis.
Kekurangan film ini menurut saya adalah ia tidak berusaha menggunakan narasi sosial-politik untuk membangun latarnya. Padahal peristiwa kembalinya ratusan ribu Hoakiau dari berbagai daerah di Indonesia ke China Daratan pada tahun 1960-an akibat pemberlakuan PP 10/1959[25] misalnya, bisa saja menjadi latar yang kuat untuk menopang alasan logis Johan muda ingin kembali ke China. Bukan hanya sekadar hasrat seorang muda hendak memberontak terhadap kewajibannya menjadi penerus warisan keluarga yang tampak rada remeh. PP 10/1959 adalah sebuah potret diskriminasi rasial terhadap Tionghoa di Indonesia yang tak boleh kita lupakan begitu saja untuk merajut masa depan Indonesia.[]
.
[1] Film ini saya tonton ulang melalui platform Netflix pada Agustus 2024; ditonton pertama kali 6 Juni 2008 di Kompleks Sarkema, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta dalam bedah film “The Photograph” oleh Aparatur Temu Wicara KMSI 2008.
[2] Hoakiau (Mandarin: Huaqiao) artinya Tionghoa Perantauan (Overseas Chinese). Istilah ini awalnya dipakai untuk merujuk semua orang Tionghoa (apa pun warga negaranya; totok, keturunan, maupun peranakan) yang bermukim di luar China Daratan, Taiwan, Hongkong, dan Makau. Namun pada penggunaan belakangan, ia lebih dimaknai sebagai orang Tionghoa totok (kelahiran Mainland) yang tinggal di luar negeri saja.
[3] Dalam ejaan Mandarin dibaca Chen Tian Lai.
[4] Mandarin: Chen Lian Hui.
[5] Mandarin: Lin Qi Tang.
[6] Mandarin: Chen Han Yu.
[7] Lihat Gerard Genette, Narrative Discourse: An Essay in Method, trans. Jane E. Lewin (New York: Cornell University Press, 1980).
[8] Italo Calvino, Gli Amori Difficuli (Kecamuk Cinta), terj. Intan Fitriana Suwandi (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), 77.
[9] Rumah besar yang dihadirkan sebagai Roemah Photo Tan dalam film ini tampak memiliki corak interior cukup khas, baik dari tata letak ruangan, bentuk dan ornamen jendela, altar sembahyang keluarga, maupun keberadaan bagian rumah yang bolong di tengah atau yang dalam bahasa Hakka lazim disebut tian-chiang (harfiah: Sumur Langit). Rumah-rumah Tionghoa seperti ini—baik beton, setengah beton, maupun rumah papan—masih cukup banyak bertebaran di Bangka-Belitung dan Kalimantan Barat, umumnya dengan asistektur campuran China dan Belanda-Hindia.
[10] Selain Dewi Kwan Im, Dewa Kwan Kong merupakan dewa China yang paling banyak dipuja oleh kaum Tionghoa di Nusantara (Indonesia, Malaysia, Singapura).
[11] Susan Sontag, On Photograph (New York: RosettaBooks LLC, 2005), 127-128.
[12] Lihat https://id.m.wikipedia.org/wiki/kamera, diakses 03/09/2024.
[13] Nirwan Ahmad Arsuka, “Susan Sontag, dll.: Citra—Waktu” dalam https;//arsuka.wordpress.com/2008/09/25/sontag-citrawaktu/, diakses 03/09/2024. Esai ini juga dapat ditemukan dalam buku kumpulan esai Nirwan Ahmad Arsuka, Semesta Manusia (Yogyakarta: Ombak, 2018)
[14] Ibid.
[15] Dipetik dari puisi Goenawan Mohamad, “Kwatrin tentang Sebuah Poci”. Lihat Goenawan Mohamad, Asmaradana (Jakarta: Grasindo, 1992), 51. Puisi ini juga dikutip dan diinterpretasi oleh Seno Gumira Ajidarma pada esainya “Kalacitra” dalam JB Kristanto dan Nirwan Ahmad Arsuka (ed.), Bentara – Esei-esei 2002 (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), 201.
[16] JB Kristanto dan Nirwan Ahmad Arsuka (ed.), 201.
[17] Seperti yang dikutip Nirwan Ahmad Arsuka dalam “Susan Sontag, dll.: Citra—Waktu”. Periksa Roland Barthes, “The Photographic Message” dalam Image Music Text, terj. Stephen Heath (New York: Hill and Wang, 1977), 8-9.
[18] JB Kristanto dan Nirwan Ahmad Arsuka, 211.
[19] Ibid, 207.
[20] Ibid.
[21] Italo Calvino, Gli Amori Difficuli (Kecamuk Cinta), 69.
[22] Seno Gumira Ajidarma, 202.
[23] Ibid, 207.
[24] Sampai kini masih terdapat orang Tionghoa di Bangka-Belitung yang tidak fasih berbicara dalam bahasa Indonesia. Beberapa anggota keluarga besar penulis esai ini contohnya.
[25] PP 10/1959 adalah sebuah peraturan berisi larangan bagi orang-orang asing untuk berdagang eceran di luar ibukota tingkat I dan tingkat II, yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1960. Akibat PP ini, puluhan ribu orang Tionghoa dipaksa meninggalkan tempat usaha dan kediamannya. Meskipun isi peraturan ini hanya melarang mereka “berdagang eceran” di luar ibukota provinsi dan kabupaten, tetapi dalam pelaksanaannya di lapangan oleh militer, mereka dipaksa meninggalkan kediaman. Termasuk orang-orang Tionghoa bukan pedagang dan yang telah tercatat sebagai WNI. Tindakan paling brutal terjadi di Jawa Barat di bawah pimpinan Kolonel Kosasih. Tentara melemparkan ratusan keluarga Tionghoa ke atas truk dan membawa mereka ke kamp. Di Cimahi, Juli 1960, seorang perempuan Tionghoa mati tertembak ketika ia bersama keluarganya mencoba bertahan, tidak mau meninggalkan rumah. Apa yang dilakukan Kosasih begitu provokatifnya sehingga Kedutaan Besar RRC di Jakarta menentangnya dengan meminta agar orang-orang Tionghoa tunduk kepada komando kedutaan dan tetap tinggal di rumah sampai mereka menemukan solusi. Selain menyampaikan protes melalui Duta Besar Huang Chen, pada 10 Desember 1959 Radio Peking kemudian mengumumkan seruan kepada Hoakiau yang memilih kewarganegaraan RRC untuk “kembali ke kehangatan Ibu Pertiwi” (Guiguo). Mereka yang tertarik kepada seruan tersebut segera didaftarkan oleh Kedubes RRC. Selain mengirimkan kapal Guanghua, Peking juga menyewa beberapa kapal perusahaan Belanda seperti Tjiwangi, Tjiluwah, dan Tjitjalengka untuk mengangkut para Hoakiau yang hendak kembali ke China. Pada awalnya bukan hanya mereka yang menjadi korban PP saja yang tertarik untuk pulang ke China, tetapi juga banyak pemuda dan pelajar menyambut seruan Radio Peking ini dengan gembira dan penuh semangat. Tercatat kurang-lebih 130.000-an Hoakiau meninggalkan Indonesia untuk bermukim kembali di China Daratan, termasuk mereka yang mengenakan kebaya encim. (dari berbagai sumber). Perihal PP 10/1959 ini antara lain bisa dibaca dalam Benny G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik (Jakarta: TransMedia, 2008), 811-815.