Datang sepucuk undangan dari Komunitas Azan, secarik ajakan untuk bertukar pikiran. Berharap akan muncul percakapan terumuskannya agenda di bidang kebudayaan Sunda. Mungkin ini bagian dari niat baik teman-teman yang berangkat dari pesantren, untuk turut serta dalam mengolah Sunda. Dan karena itu, kiranya dipandang perlu untuk mengidentifikasi gejala-gejala penting yang muncul dalam kebudayaan Sunda dewasa ini.
Di balik undangan itu, tersirat sebentuk wawasan atau kesadaran yang memahami kebudayaan sebagai kata kerja. Kebudayaan tidak dipahami sebagai kata benda; sesuatu yang ajeg, beku, dan sudah jadi. Sebaliknya, dengan memahami kebudayaan sebagai kata kerja, muncul kesadaran untuk menekankan kreatifitas, olah pikir dan rasa. Ignas Kleden menyebutnya sebagai “daya cipta”[1], yaitu sesuatu yang terus berproses, dan tak kunjung usai. Dengan demikian, kebudayaan dipahami sebagai kelangsungan serangkaian kerja budaya. Dan agenda yang hendak dirumuskan, tentu berarti agenda kerja budaya. Katakanlah, sejenis tekad dan semangat untuk menggerakan pacul.
(saya teringat kepada Caraka yang menggambarkan cerpen “Pacul”. Disitu ia menggambarkan pacul yang terbengkalai di bilik gubuk petani, diam tak tersapa, ketika para pemuda desa tersedot ke kota. Pacul yang tak lagi digerakkan itu seperti tanda kematian sesusun budaya, yakni budaya petani. Pacul, bagi saya, adalah simbol dari kerja.)
Dalam kerangka kerja budaya, minat, motivasi, dan semangat untuk mengolah kebudayaan, tentu tidak berhenti pada pergumulan nilai-nilai dan pergulatan ide-ide. Dalam kerangka kerja budaya nilai-nilai dan ide-ide yang abstrak, yang menggantung di langit jauh dan tinggi, hendak diturunkan, diaplikasikan, dipraktikan, dan diuji dalam laku konkret sehari-hari. Nilai-nilai dan ide-ide dilangsungkan seiring berjalan dengan pergulatan praksis di tataran konkret. Keduanya tidak perlu dipisah-pisahkan. Berfikir dan bertindak satu jua adanya.
Pandangan demikian kiranya dapat pula ditemukan sehubungan dengan laku keagamaan. Agama mungkin semacam “langit suci” (sacred canopy) seperti dibilang Peter L. Berger. Sejenis tudung pelindung, pemberi teduh bagi diri manusia yang rapuh. Dari ketinggian itu, terpancar isyarat-isyarat langit yang dapat ditafsirkan manusia, untuk menjadikan hidupnya teratur dan sarat akan makna. Namun sayangnya, manusia hidup di bumi jauh dari langit, dan berkubang dalam penderitaan. Sementara itu, wahyu serta isyarat Tuhan diterima dan ditafsirkan dalam bahasa manusia yang terbatas, ringkih, dan tidak bersih. Manusia hidup dalam sebuah dunia yang tidak sepenuhnya teratur, malah seringkali tidak dimengerti. Tangan manusia, yang bisa bergerak setelah datangnya isyarat Tuhan itu, adalah tangan yang berlumpur. Tangan yang kotor dan fana, yang mewujudkan kesalehan seringkali mesti bersentuhan dengan sejumlah besar kesalahan.
Dari ketinggian itu, terpancar isyarat-isyarat langit yang dapat ditafsirkan manusia, untuk menjadikan hidupnya teratur dan sarat akan makna. Namun sayangnya, manusia hidup di bumi jauh dari langit, dan berkubang dalam penderitaan. Sementara itu, wahyu serta isyarat Tuhan diterima dan ditafsirkan dalam bahasa manusia yang terbatas, ringkih, dan tidak bersih.
Laku keagamaan sepertinya mesti bergolak dari apa yang berlangsung di bumi itu sendiri, dari gejolak hidup sehari-hari, dan bukan dari pancaran isyarat langit. Bertolak dari dari konteks, dan bukan dari teks.[2] Wahyu Tuhan, sabda nabi, dan petuah aulia, mesti dipergunakan dengan persoalan-persoalan konkret yang dihadapi manusia di muka bumi, yang menjadi titik tolak dari setiap kerja. Ada kalanya isyarat-isyarat ilahiah itu ditafsirkan kembali sejalan dengan tantangan persoalan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Laku keagamaan dengan demikian, diartikan sebagai kerja untuk menangani berbagai masalah sosial. Kesalehan tidak sebatas dihayati isyarat-isyarat langit, melainkan juga mencakup berbagai tindakan untuk menangani ragam persoalan di muka bumi.
Laku keagamaan dilangsungkan di berbagai wilayah budaya. Dan budaya Sunda adalah salah satu diantara wilayah-wilayah itu. Budaya Sunda adalah sehamparan lahan tempat kesalehan dapat diwujudkan. Dalam hal ini, jargon klise “Islam Sunda, Sunda Islam” mungkin dapat diberi pengertian baru, diredefinikan, dan ditafsrikan kembali—tanpa mengurangi rasa hormat kepada almarhum H. Endang Saefuddin Anshari, dari siapa konon jargon itu tercetus. Kata “itu” mungkin dapat dipupus: “Islam Sunda, Sunda Islam”. Dengan begitu ungkapan itu tak perlu lagi dikonotasikan pada semacam kotak tertutup yang mengucilkan keyakinan lain dari sesama orang Sunda. Sebab, kita tahu, Sunda itu tak cuma satu. Ungkapan itu hanya mengacu pada kesadaran bahwa nilai-nilai agama bisa bersenyawa dengan kreatifitas budaya agama tertentu. Ringkasnya, kesundaan dan keislaman tidak mengikis keberagaman, tidak memupus warna-warni pelangi.
Dengan itu, saya telah berupaya mengemukakan dasar-dasar pandangan saya mengenai kebudayaan, agama, dan relasi antara budaya Sunda dan agama Islam. Sesusun pikiran yang kiranya penting dikemukakan sebelum kita mengidentifikasi gejala-gejala kebudayaan Sunda, khususnya yang bersentuhan dengan nilai-nilai Islam.
Budaya Sunda adalah sehamparan lahan tempat kesalehan dapat diwujudkan. Dalam hal ini, jargon klise “Islam Sunda, Sunda Islam” mungkin dapat diberi pengertian baru, diredefinikan, dan ditafsrikan kembali—tanpa mengurangi rasa hormat kepada almarhum H. Endang Saefuddin Anshari, dari siapa konon jargon itu tercetus.
***
Jikalau memperhatikan relasi antara Sunda dan Islam, kita bisa melihat dua gejala yang penting dan menarik. Disatu pihak, warga budaya Sunda yang memeluk Islam tampaknya tidak mengalami hambatan apa-apa, untuk meresapkan nilai hidup sehari-hari. Namun di pihak lain, untuk melakukan percobaan-percobaan guna mengaktualisasikan nilai-nilai keislaman dalam kerangka perubahan sosial-politik warga budaya Sunda, seperti mengalami kegamangan yang menggelisahkan.
Baik, kita amati satu demi satu. Sehubungan dengan gejala yang disebutkan lebih dulu, kita dapat memperhatikan majalah Mangle. Majalah berbahasa Sunda ini terbit sejak 1950-an. Saban pekan, selama puluhan tahun, majalah yang dirintis oleh mendiang R.H Oeton Mochtar itu menyediakan ruang sepanjang dua halaman, untuk menyajikan tuntunan kesalehan menurut Islam. Rubriknya bernama “Munara Cahya” (Menara Cahaya). Biasanya, yang ditulis di ruangan itu adalah petuah tentang banyak yang patut diperhatikan untuk menjadi pribadi muslim yang baik. Misalnya, dalam artikel “Perkara Anu Ngaruksak Iman” (Hal-ihwal yang Merusak Keimanan) yang ditulis oleh Arif Nur Hakim (Mangle No. 1847, 31 Januari-6 Februari 2002), sidang pembaca dikasih tuntunan untuk tidak berzinah, tidak mengumbar fitnah, dan tidak berbuat syirik.
Pada pencapaiannya yang lebih jauh, tuntunan kesalehan pribadi serupa itu mewujud dalam renungan-renungan yang telah bertendensi sufistik. Mendiang H. Hasan Mustafa, yang telah mewariskan begitu banyak dangding beserta kontroversi yang mengiringinya, jelas menduduki tempat terkemuka dalam hal ini. Korespodensi Penghulu Mustafa dengan seorang kyai telah dibukukan dengan judul Bale Bandung. Karya-karyanya terlengkap terdapat dalam Haji Hasan Mustafa jeung Karya-karyana (Haji Hasan Mustafa dan Karya-karyanya) yang disunting oleh Ajip Rosidi. Kini namanya dilekatkan pada seruas jalan di Bandung, juga pada satu-dua komunitas penghayat filsafat dan renungan kebatiniahan. Musatafa, katakanlah, telah menjadi semacam ikon dari sufisme Sunda.
Tendensi sufistik juga terasa dalam percikan permenungan Enas Mabarti. Haji Enas adalah pengarang Sunda yang berdomisili di Garut, sarjana lulusan Universitas Gadjah Mada, dan belajar di pesantren. Ia suka menggubah puisi dan cerita pendek. Pada 1970-an, secara kontinyu dia mengumumkan renungan-renungannya di majalah Mangle di bawah tajuk “Gunem Rencep Sidem”. Dari tajuknya saja kita sudah dapat merasakan orientasinya: menukik ke dalam diri, ke palung batin hidup pribadi.
Penuntun kesalehan pribadi mutakhir sekarang ini siapa lagi kalau bukan Abdullah Gymnastiar, alias Aa Gym. Wajahnya belakangan sering menolok di layar televisi, dan wawancaranya pernah dimuat di tabloid hiburan. Dia tak cuma fasih mengutip Qur’an dan hadits, melainkan juga cukup merdu menirukan penyanyi pop Alda di hadapan jemaahnya. Dia telah menjadi salah satu ikon kontemporer dari keislaman masyarakat kota. Dia memang tidak menulis dalam bahasa Sunda, tapi sebagai pemuka agama yang beretnis Sunda dan membangun basis di Bandung, ajarannya boleh melekat di Jawa Barat. Koran Pikiran Rakyat bahkan menyediakan rubrik khusus buatnya seminggu sekali. Dialah orangnya yang mencetuskan apa yang disebut “manajemen qalbu” (MQ): semacam pragmatisme religius yang juga bertitik tolak dan bertitik tuju di dalam diri pribadi.
Peresapan nilai-nilai Islam dalam hidup pribadi juga terasa di wilayah sastra. Publik sastra Sunda jelas mengenal Rahmatullah Ading Affandie, yang mengarang koleksi anekdot Dongeng Enteng ti Pasasntren (Cerita Ringan dari Pesantren), juga Usep Romli HM, yang mengarang koleksi cerpen Ceurik Santri (Tangisan Santri), dan Jiad Ajengan (Doa Pemuka Agama). Kedua pengarang ini sama-sama berangkat dari pesantren, dan latar belakang pesantren kelihatannya cukup mempengaruhi karya-karya mereka. Haji Usep bahkan sering bepergian ke Jazirah Arab. Dalam cerita “Jiad Ajengan”, Haji Usep, meski secara berlebihan hingga kurang meyakinkan, menekankan betapa pentingnya doa seorang pemuka agama: orang yang sakit payah bisa sembuh begitu saja setelah didoakan oleh seorang pemuka agama. Dalam hal ini Haji Usep dan Aa Gym sama saja, sebab kekuatan doa pulalah, salah satu hal yang begitu ditekankan dalam program MQ. Dan doa, kita tahu, adalah pernyataan paling lemah dari iman.
Nama yang juga penting dicatat sehubungan peresapan nilai-nilai Islam ke dalam budaya Sunda adalah H. Muhammad Kasim. Menguasai beberapa bahasa asing, Haji Kasim adalah penerjemah dari juru tafsir yang tekun, yang telah menghasilkan puluhan jilid tafsir Al-Quram dalam bahasa Sunda, Ayat-Ayat Suci Lenyepaneun (Ayat-Ayat Suci Sumber Renungan). Dalam buku itu, dia tak Cuma menerjemahkan ayat-ayat dari Al-Quran, melainkan juga membentang konteks, menerangkan maksud, dan mendorong aktualisasinya.
Hingga batas tertentu, buku itu dapat dilihat sebagai contoh persenyawaan nilai-nilai Islam dengan rasa Sunda. Dan kosa kata “lenyepaneun” yang dilekatkan pada judul buku itu terasa menyiratkan tuntunan untuk melakukan semacam laku reflektif manakala menghadapi isyarat-isyarat Tuhan, mungkin semacam “gunem rencep sidem”-nya Enas Mabarti. Dan tatkala pada tahun 2000, H. Muhammad Kasim dikasih Hadiah Rancage atas jasa-jasanya. Kita dapat memandang peristiwa itu, sebagai semacam pengakuan dari masyarakat Sunda atas kerja keras untuk mengakrabkan nilai-nilai keislaman, dengan etika pribadi warga budaya Sunda.
Kini mari kita perhatikan gejala kedua. Salah satu rujukan historis terpenting, sehubungan dengan percobaan untuk mengaktualisasikan prinsip-prinsip Islam dalam kerangka perubahan sosial-politik di Tatar Sunda, tiada lain lagi dari gerakan Darul Islam (DI) di bawah pimpinan mendiang Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo. Memang, gerakan politik bersenjata DI tidak cuma melekat di Jawa Barat, melainkan juga di Jawa tengah pimpinan Abdul Fatah, di Sulawesi Selatan pimpinan Kahar Muzakar, di Kalimantan Selatan dan tentu saja di Aceh.
Salah satu rujukan historis terpenting, sehubungan dengan percobaan untuk mengaktualisasikan prinsip-prinsip Islam dalam kerangka perubahan sosial-politik di Tatar Sunda, tiada lain lagi dari gerakan Darul Islam (DI) di bawah pimpinan mendiang Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo.
Namun Jawa Barat bagi gerilyawan DI, seperti ditilik oleh C. Van Dijk, merupakan semacam “bumi kelahiran”[3]. Di Jawa Baratlah spirit DI tercetus, dan dari Jawa Barat pula, pemberontakan mereka menyebar ke wilayah-wilayah lain Indonesia. Durasinya cukup lama, hampir 13 tahun atau lebih dari satu dasawarsa, dari akhir 1940-an hingga awal 1960-an. Kerusuhan yang ditimbulkannya, bagi Holk K. Dengel, telah mengakibatkan kerusakan berat pada pembangunan Jawa Barat dengan jumlah korban penduduk yang terbunuh, luka, dan yang diculik menurut pihak resmi Agustus 1962 mencapai 22.895 jiwa[4]
Tidak mengherankan kalau DI sepertinya telah membebaskan jejak sendiri, yang kelihatannya kelam, dalam memori kolektif masyarakat Jawa Barat, teristimewa warga budaya Sunda: kampung-kampung yang terbakar dan penduduk desa yang bergelimpangan atau lintang pukang mengungsi ke kota-kota. Apalagi bagi warga budaya Sunda dari kalangan non-Islam, semisal dari kalangan penghayat kesundaan yang berserikat dalam lembaga Perjalanan yang dirintis oleh mendiang Mei Kartawinata. Mengenang DI bagi mereka, tampaknya berarti mengenang saudara-saudara mereka yang menemui akhir keji.
Mereka, hingga kini, masih menyimpan foto-foto yang menggambarkan bahwa tragedi itu menaruh kesedihan yang ditimbulkan di dalam hati. Mungkin karena hal-hal seperti itulah, nama S.M Kartosuwiyo—tidak seperti nama H. Hasan Mustapa yang dekat dengan Snouck Hurgronje sang konseptor di balik penumpasan gerakan pemberontakan rakyat Aceh itu, misalnya, tidak sampai dilekatkan [ada jalan manapun di Bandung. Orang banyak seakan bimbang mengingat namanya.
Kenangan pahit itu samar-samar terbayang pula dalam novel Lembur Singkur (Dusun Terpencil) karya Abdullah Mustapa, juga dalam novelnya yang muncul kemudian, Cihaliwung Nunjang Ngidul (Cihaliwung Membujur ke Selatan). Kenangan serupa juga membayang dalam beberapa cerpen dalam beberapa cerpen dalam antologi Kandjutkundang suntingan Ajip Rosidi dan Rusman Sutiasumarga. Dalam karangan Abdullah, latar belakang sejarah yang ditandai dengan pemberontakan DI telah mengakibatkan imajinasi tentang Lembur Singkur yang aman tentram tak kurang sandang serta pangan, yang seringkali diidealisasikan oleh orang Sunda itu, menjadi tidak realistis. Sebab, di mata Abdullah, lembur singkur yang historis–berbeda dengan lembur singkur yang imajiner—adalah sebuah kawasan yang sering tidak aman, di mana kekacauan politik mendapatkan arenanya yang paling genting.[5]
Begitu pula di mata Ramadhan KH, dalam buku puisinya yang terkenal, Priangan Si Jelita, Tatar Sunda yang pernah digemparkan oleh pemberontakan DI itu tak ubahnya dengan “Si Jelita” yang direnggut kesuciannya. Penyair Ramadhan KH, di hadapan kenyataan historis seperti itu, sebagaimana yang terasa dalam Priangan Si Jelita, seakan hanya bisa bersedih, menaruh rasa sakit dan prihatin di sanubari. Sedangkan novelis Abdullah Mustapa, sebagaimana yang terasa dalam novel Cihaliwung Nunjang Ngidul, sepertinya mencoba menanggapi kenyataan historis seperti itu dengan mengidealisasikan semacam pragmatisme Islam yang digambarkan lewat sosok seorang tua yang rajin berniaga, naik haji, mencoba hidup secara baik-baik di tengah masyarakat dan tetap bimbang untuk menyatukan dirinya dengan sebuah proyek politik, sekalipun proyek politik itu mengatasnamakan Islam.[6]
Demikianlah. Sementara dalam lingkup hidup pribadi persenyawaan prinsip-prinsp Islam dengan nilai-nilai budaya Sunda kelihatannya tak menemui rintangan berarti, tidak demikian halnya dalam lingkup sosial politik. Pada tataran sosial politik, eksperimen untuk mengaktualisasikan prinsip-prinsip Islam diatas ranah budaya Sunda tampaknya masih harus berhadapan dengan memori kolektif tentang gerakan Islam yang pernah menggemparkan Tatar Sunda. Saya kira, inilah salah satu bahan pemikiran bagi teman-teman yang berangkat dari pesantren dan berniat turut mengelola Sunda.
[1] Lihat Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, (Jakarta, LP3ES, 1987), Hal. 155-184.
[2] Lihat Farid Esack, Al-qur’an, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas (Bandung: Mizan, 2000).
[3] Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995) hal, 59.
[4] Holk H. Degel, Darul Islam dan Kartosuwiryo (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1985).
[5] Lihat Hawe Setiawan, Lembur Singkur, Hate Leutik jeung Pangalaman Pulitik, Pengantar untuk novel Lembur Singkur, (Bandung, Kiblat Buku Utama, 2001). Hlm. 5-16.
[6] Lihat Hawe Setiawan, Pndangan Politik Santri dalam Sastra Sunda: Catatan Atas Novel Cihaliwung Nunjang Ngidul karya Abdullah Mustapa, dalam jurnal Dangiang, No. 1/1999, hal 75-94.
Esai ini pernah dimuat dalam kumpulan esai “Tanah dan Air Sunda” diterbitkan oleh Api Kecil.*