Bagaimana ketika cerita tentang ninja yang sempat membawa teror dan ketakutan itu muncul lagi di hari ini. Bukan melalui cerita lisan yang dulu sering kita dengar, atau ulasan curasel media sosial, atau bahkan video dokumenter yang tersedia di ponsel kalian. Namun Ninja dengan segenap cerita gelapnya itu, dihadirkan kembali dalam seni pertunjukan kontemporer, teater.
Seni pertunjukan atau bentuk seni lainnya barangkali memang medium untuk menyampaikan pesan. Namun pesan yang seperti apa, yang sering kali menjadi pertanyaan. Tak jarang, pesan itu hanya berupa letupan bahkan hanya buih dari realitas yang tidak beraturan. Bagaimanapun itu pesan tetaplah pesan, di mana di balik setiap pesan pasti ada makna yang tersimpan. Dalam konteks inilah kerja-kerja artististik diperlukan untuk membongkar makna yang mungkin disembunyikan di balik tragedi dan peristiwa.
Kisah ninja yang meretas panjang di ingatan banyak orang di daerah Tapal Kuda Jawa Timur mungkin salah satu objek yang perlu dibongkar. Sebuah tragedi pembunuhan “dukun santet” yang menyelinap di balik topeng ninja. Yang sialnya hari ini tak banyak orang sadar bahwa ninja dengan segala tragedi di belakangnya adalah pola. Di mana pola yang diciptakan sewaktu-waktu bisa terulang.
Dari hal itulah pertunjukan yang digawangi oleh Rokateater, di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, Kasihan, Bantul (19/07/2005), menjadi relevan untuk diceritakan. Melalui medium pertunjukan dengan pilihan dramaturgi, yang ingin saya sebut seperti esai sejarah, kisah itu direka ulang. Shohifur Ridho’i sutradara pada malam itu berupaya mendekonstruksi cerita yang mungkin hinggap di kepalanya. Sebagai orang yang tumbuh besar di Madura, yang tak asing dengan kisah ninja dan kisah pilunya itu, ia tampak ingin bersuara dengan lantang. Bahwa ninja adalah jelmaan dari otoritas yang gemar menciptakan ketakutan.
Meminjam ingatan seorang anak generasi milenial. Enam aktor muda dihadirkan di atas panggung. Bentuk artistik dengan layar tonil Ludruk Jawa Timuran dengan berbagai gambar yang silih berganti, kisah di atas panggung itu dijahit dengan lincah oleh sang sutradara. Pilihan artistik semacam itu menunjukan, bahwa pertunjukan ini tidak ingin melepas akarnya. Bagaimana seni tradisi dengan sentuhan estetika vernakular menjadi identitas di mana cerita itu mereka artikulasikan. Bentuk pengeras suara TOA dengan suara yang khas menjadi menarik ketika dihadirkan. Medium yang sempat menjadi primadona di era 90-an itu, tampak menjadi instrumen penting untuk mengarahkan adegan pertunjukan.
Saat Ninja Masuk di Kampungnya
Adegan pertama, para aktor tampak sibuk dengan perabotan rumah tangga. Mereka hilir mudik. Sebuah gambaran kehidupan yang biasa bagi orang Madura. Namun dentuman teror itu datang. Lampu sorot panggung tampak redup. Para aktor terdiam, mereka bergegas menyelinap dalam kebingungan. Lalu kabar dari Toa itu datang. Ternyata ninja telah mengepung kampung mereka. Kabar itu disebarluaskan. Dan salah satu aktor berdiri di depan menceritakan; ketika ninja datang di kampungnya, ia masih di perut ibunya.
Teror memang selalu berkorelasi dengan trauma. Keduanya seperti sulit dipisahkan. Bahkan ketika teror diciptakan tujuan utamanya adalah menitipkan trauma untuk siapapun yang mengalami atau sekadar mendengar ceritanya. Pada anak-anak cerita ninja hampir seperti fiksi. Mereka tentu tidak mengalaminya. Namun ketika tokoh ninja direka ulang di setiap obrolan sudut rumahnya, mereka menjadi penasaran pada siapa sosok ninja itu. Alih-alih melupakan peristiwa berdarah itu. Mereka generasi transisi milenium 2000-an, justru merasa penting untuk lebih tahu banyak apa yang sebenarnya terjadi pada masa kelam itu. Pada sebuah masa di mana gejolak sosial politik Indonesia lagi panas-panasnya, bukan tidak mungkin kondisi panas itu dapat terulang kembali. Dan melalui gagasan itulah, patahan-patahan kisah dalam panggung itu ramu.
Bahkan ketika teror diciptakan tujuan utamanya adalah menitipkan trauma untuk siapapun yang mengalami atau sekadar mendengar ceritanya. Pada anak-anak cerita ninja hampir seperti fiksi. Mereka tentu tidak mengalaminya. Namun ketika tokoh ninja direka ulang di setiap obrolan sudut rumahnya, mereka menjadi penasaran pada siapa sosok ninja itu.
Pada bagian ini, seorang aktor masih setia dengan gaya monolog untuk menceritakan masa kecilnya. Gaya bahasanya yang runtut, lebih mirip seperti umpatan berdialek sastra memaksa saya atau mungkin penonton lainnya untuk konsentrasi memperhatikan setiap larik kalimat yang diucapkan. Kata, “maksudnya” sering kali terselip pada setiap kalimat yang diucapkan sang aktor. Mungkin itu upaya untuk mempertebal tujuan agar pesan lebih mudah diterima penonton, tetapi apapun maksudnya, hal itu cukup memberi sentuhan yang berbeda kalau tidak malah mengganjal di telinga.
Dari ninja yang membawa teror menuju ninja yang muncul di televisinya. Tahun 90-an televisi masih barang langka di rumah-rumah warga. Tidak setiap keluarga memilikinya, biasanya dalam satu kampung hanya ada satu atau dua orang memiliki barang tersebut. Biasanya hanya Pegawai Negeri Sipil (PNS) orang yang mampu membeli barang semacam itu. Kalian tahu, zaman itu cita-cita tertinggi orang tua di kampung adalah menjadikan anaknya berseragam coklat tua. Aktor dalam pertunjukan itu masih bercerita. Ia mengenal ninja yang berbeda dari televisi tetangganya yang menjadi PNS di kampungnya. Dalam cerita, PNS dari Jawa itu, memiliki anak. Saat ia berusia tujuh tahun itulah ia menjadi teman anak PNS tersebut. Persinggungan semacam itu memungkin orang Madura terbiasa berdialog dengan bahasa Indonesia. Dari persahabatan itu juga, ia mengenal serial film kartun Ninja Hattori yang selalu muncul di hari Minggu.
Perwujudan ninja dalam serial film “Ninja Hattori” yang populer di layar TV pada waktu itu memang berbeda dengan cerita ninja mereka kenal di kampungnya. Ninja Hattori adalah sosok kecil memakai kostum berwarna biru, dengan karakter suka menolong, cerdik, dan lucu. Hal itu tampak kontras dengan karakter ninja yang anak-anak tahu di zaman itu. Bahwa ninja adalah penculik dan pembunuh guru ngaji dan para dukun santet di kampung-kampung daerah Tapal Kuda. Itulah cerita lain yang terpaksa mereka terima.
Dalam hal ini, tampak praktik artikulasi dilakukan Ridho’i untuk membongkar relasi kuasa yang terekam dalam fenomena budaya pada waktu itu. Ia mencoba berspekulasi untuk menghubungkan dua hal yang mungkin secara faktual tidak berkorelasi; antara cerita ninja yang menebar teror itu dengan film kartun Ninja Hattori. Namun di sisi yang lain, hal itu menunjukan kejelian Ridho’i dalam memotret fenomena budaya yang tidak bisa dilepaskan dengan kondisi sosial politik yang mengitarinya. Karena dengan nada curiga adanya film Ninja Hattori yang menghiasi layar tv adalah strategi budaya untuk mengaburkan makna dari ninja yang menebar ketakutan tersebut.
Dalam hal ini, tampak praktik artikulasi dilakukan Ridho’i untuk membongkar relasi kuasa yang terekam dalam fenomena budaya pada waktu itu. Ia mencoba berspekulasi untuk menghubungkan dua hal yang mungkin secara faktual tidak berkorelasi; antara cerita ninja yang menebar teror itu dengan film kartun Ninja Hattori.
Barangkali pertunjukan ini memang ditujukan untuk melihat sisi paling privat dari peristiwa besar yang terjadi pada waktu itu. Sehingga simbol-simbol ringan seperti peralatan rumah tangga menjadi medium artistik untuk menunjukan bahwa cerita-cerita teror itu terekam dalam setiap sudut paling personal orang-orang di sana. Anak-anak yang bercerita, menunjukan kepolosan narasi sejarah yang mereka terima melalui bangku sekolah yang tidak benar-benar mampu menjawab siapa ninja sesungguhnya. Dari sisi gelap sejarah itulah, pertunjukan ini disusun. Dari pertanyaan-pertanyaan yang dilemparkan oleh para aktor, penonton seperti diajak untuk menjawab bersama. Siapakah sebenarnya ninja yang pernah mengitari masa kecilmu itu?
Laporan-Laporan di Balik Operasi Berdarah
Tahun 1998 bulan Februari, pembunuhan seorang yang diduga “dukun santet” di Banyuwangi terjadi. Hampir 100 orang lebih korban terbunuh. Peristiwa itu kemudian menyebar luas sampai Situbondo, Pasuruan, Malang hingga Pulau Madura. Peristiwa itu dalam catatan Komnas HAM mencapai korban hingga 160-an orang. Tidak ada keterangan resmi dari negara siapa pelakunya. Namun masyarakat mengenal “ninja” lah yang menjadi dalang utama.
Istilah ninja muncul ketika pola pembunuhan yang terjadi hampir sama. Mereka menutup kepala, menggunakan senjata tajam seperti samurai dan mereka bergerak cepat, lincah, dan dalam beberapa kejadian mereka bisa menghilang. Tidak hanya itu, mereka juga meninggalkan jejak dengan tanda silang menggunakan senjata tajam di rumah para korban. Namun, tidak ada kepastian benarkah pelakunya adalah para ninja yang sering kita lihat di layar tv dari negeri samurai itu. Karena ninja sebenarnya adalah bahasa yang disematkan oleh masyarakat untuk mengidentifikasi para pelaku. Dalam suatu kejadian ada salah satu pelaku pembunuhan itu tertangkap, ketika dimasukan ke dalam sel saat mau diintrogasi pelaku itu menghilang. Mungkin karena itulah nama ninja disematkan kepada pelaku.
Kemudian para korban dilabeli “dukun santet”. Entah dari mana label itu muncul. Padahal faktanya dari pengakuan keluarga korban, Edy Sumardi (52) anak seorang korban dalam liputan BBC (22, Mei, 2023), menceritakan bahwa ayahnya adalah orang biasa, bahkan ayahnya adalah orang yang sering berangkat ke masjid dan taat beragama. Maka ketika ayahnya dikatakan sebagai dukun santet, ia tidak terima, karena faktanya tidak begitu. Lambatnya penangan dari pihak keamanan, membuat masyarakat mengambil inisiatif untuk berjaga dan mengambil tindakan ekstrem sendiri. Bahkan beberapa kejadian, ada ODGJ yang tak lepas dari amukan massa. Mereka terbakar amarah, membabat orang-orang yang mencurigakan di kampungnya.
Tidak hanya orang yang dilabeli dukun santet, para guru ngaji dan kiai kemudian juga banyak menjadi korban. Konflik horizontal kemudian terjadi di antara masyarakat. Mereka terbelah, saling curiga satu dengan lainnya. Wacana siapa dalang pembunuhan menjadi liar di tengah masyarakat. Identitas di antara keduanya mengental, benturan di antara kaum santri dan abangan terulang. Lagi-lagi sebuah pola lama terjadi, seperti membangkitkan luka lama yang lama tersimpan, konflik di antara mereka seperti diharapkan oleh pihak yang punya kepentingan. Kalian mesti ingat bagaimana peristiwa 65 yang menjatuhkan ribuah orang terbunuh itu. Tampaknya pola itu direplikasi kembali dalam peristiwa ninja untuk menciptakan kerusuhan yang akhirnya sulit dikendalikan.
Praktik itu sebenarnya sudah lama dilakukan sejak zaman kolonial, pemisahan antara agama dan budaya merupakan strategi untuk menggembosi perlawanan rakyat pada waktu itu. Dengan berbagai pendekatan klasterisasi yang dilakukan para orientalis berhasil membuat kedua identitas itu semakin mengental. Hingga kita mengenal golongan abangan-putihan (santri). Berbagai penelitian dilakukan untuk menjarakkan kedua identitas itu. Hingga puncaknya penelitian Clifford Geertz yang mengkategorikan masyarakat jawa menjadi tiga bagian. Santri, abangan, dan priyayi. Berdasarkan pemilahan itulah negara dengan alat kekuasaanya membuat segregasi sosial untuk melakukan taktik pecah belah untuk melemahkan kekuatan masyarakat sipil.
Akibat pembunuhan berantai tersebut, kondisi sosial di daerah Tapal Kuda menjadi mencekam. Menurut tim pencari fakta dari NU Banyuwangi dalam laporan yang diterbitkan LAKPESDAM PBNU menyebutkan peristiwa tersebut tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial politik nasional pada saat itu. Masa transisi yang bergejolak, di tengah kencangnya tuntutan turunnya Soeharto sebagai Presiden RI yang sudah 32 tahun. Negara seperti bersiasat agar kekuasaan Soeharto tetap bisa dipertahankan. Maka banyak kerusuhan terjadi, seperti di Bondowoso dan Tasikmalaya yang notabennya menjadi basis terkuat NU sebagai barisan politik Islam tradisional di bawah komando KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang waktu itu menjadi lawan terkuat Soeharto.
Gus Dur yang waktu itu menjadi ketua PBNU memang menjadi aktor politik penting dan menjadi lawan politik utama Orde baru pada saat itu. Di tengah represi dan intimidasi yang dilakukan oleh negara dengan berbagai kerusuhan di pusat-pusat kekuatan politik NU pada waktu itu. Maka Gus Dur mengambil langkah berani untuk mengacaukan perhatian lawan politiknya menggelontorkan isu adanya operasi “Naga Hijau”. Bahwa dalang dari beberapa kerusuhan dan penculikan yang terjadi di Jawa Timur dan Jawa Barat tersebut dilakukan secara sistematis dan terorganisir di bawah komando ABRI berinisial ES (nama yang diidentifikasi sebagai Edi Sudrajat panglima ABRI pada waktu itu). Langkah itu cukup efektif untuk meredam dan menghindari benturan di kalangan masyarakat, karena mereka tahu siapa dalang di balik peristiwa berdarah itu.
Maka Gus Dur mengambil langkah berani untuk mengacaukan perhatian lawan politiknya menggelontorkan isu adanya operasi “Naga Hijau”. Bahwa dalang dari beberapa kerusuhan dan penculikan yang terjadi di Jawa Timur dan Jawa Barat tersebut dilakukan secara sistematis dan terorganisir di bawah komando ABRI berinisial ES (nama yang diidentifikasi sebagai Edi Sudrajat panglima ABRI pada waktu itu).
Semua ulasan fakta tragedi yang disebutkan di atas terekam baik dalam sekuel adegan yang berjudul laporan-laporan dalam pertunjukan. Walaupun tidak dijelaskan detail, namun praktik repertoar yang dijalankan dengan membaca laporan penelitian itu cukup membuat penonton paham konteks peristiwa yang menjadi objek dari pertunjukan. Sehingga saat kamu memperhatikan dengan sungguh-sungguh kepalamu akan penuh.
Tiga Babak Terakhir dan Upaya Mencari Jalan Ninja
Sejarah memang milik penguasa, begitu diktum yang sering kita dengar. Sehingga tampak sulit kita berharap kisah ninja dapat tercatat dalam dokumen sejarah yang diterbitkan oleh kementerian pendidikan apalagi kementerian kebudayaan. Justru kabarnya kementerian yang baru dibentuk itu, akan merevisi sejarah yang selama ini remang-remang kita kenal itu. Yang lebih menghebohkan lagi, sang menteri akan menghapuskan cerita gelap kerusuhan 98 yang mana kisah ninja ada di dalamnya. Entahlah kita memang tidak bisa berharap kepada negara untuk mendapat sejarah versi kita.
Maka kerja kesenian tampaknya jalan lain yang mesti ditempuh untuk mengartikulasikan sejarah kita sendiri. Karena kerja kesenian memungkinkan untuk memuat narasi-narasi yang terpinggirkan dan teks akademik yang biasanya bias kepentingan. Melalui kerja kesenian kita bisa membongkar sekat-sekat yang diciptakan oleh sejarah sekaligus membuka fragmen-fragmen ingatan untuk dibincangkan. Kemudian bentuk artistik yang direncanakan dengan matang dapat menjadi pesan bahwa kejadian kelam tidak untuk diulang. Begitulah pesan yang saya tangkap ketika pertunjukan memasuki babak ketiga.
Bagian terakhir dari pertunjukan ini tampaknya ingin mempertegas posisi strategis kesenian dalam upaya meretas peristiwa kelam yang selama ini ditutup-tutupi. Hal ini terlihat jelas dari sekuel cerita di beberapa adegan pada tiga babak terakhir ini. Lagi-lagi, meminjam suara aktor yang lahir pasca kerusuhan yang mengakibatkan ketakutan kolektif itu. Aktor itu mencoba membagikan pengetahuannya tentang ninja dari pazel sejarah yang selama ini ia cari tahu. Mulai sekuel cerita anime Ninja Hattori hingga game Basara di PS2 dan pelajaran IPS di waktu SMP. Disebutkan juga bahwa Ninja Hattori Hanzo adalah abdi dari daimyo Tokugawa Ieyasu yang nantinya akan mengakhiri Era Sengoku dengan mengalahkan Keshogunan Toyotomi Hideyoshi. Sebuah cerita peralihan kekuasaan Jepang di Era Sengoku (1467-1603). Kekuasaan Tokugawa bertahan selama dua setengah abad, hingga nantinya dilengserkan oleh Restorasi Meiji tahun 1868.
Menariknya praktik spekulatif dilakukan lagi dalam sekuel ini. Dalam narasinya ia mencoba menyandingkan peristiwa Restorasi Meiji 1868 itu dengan apa yang terjadi di Indonesia dengan Reformasi 1998. Mereka mengibaratkan Tokugawa Ieyasu sebagai Soeharto, maka kejatuhan rezim tersebut membuka jalan untuk restrukturisasi kekuasaan di masa itu. Dari perbandingan spekulatif tersebut, dalam pertunjukan diungkapkan bahwa mereka mulai paham kenapa ninja muncul ditengah gejolak reformasi 1998. Karena ninja menjadi intrumen “ketakutan” yang dirancang agar masyarakat tetap tunduk meskipun sang shogun telah dilengserkan.
Dari perbandingan spekulatif tersebut, dalam pertunjukan diungkapkan bahwa mereka mulai paham kenapa ninja muncul ditengah gejolak reformasi 1998. Karena ninja menjadi intrumen “ketakutan” yang dirancang agar masyarakat tetap tunduk meskipun sang shogun telah dilengserkan.
Sebagai penikmat sejarah saya tentu ragu dengan argumen yang dilontarkan yang cenderung otak-atik itu. Namun dalam pertunjukan dijelaskan bahwa inspirasi itu didasari oleh pengalaman Indonesia ketika dijajah pemerintah Jepang. Ketika negeri Tirai Bambu itu masuk Indonesia tahun 1942, mereka memang membawa janji kemerdekaan. Maka dibentuklah badan persiapan kemerdekaan dengan nama Jepang yang tentu tidak asing ditelinga kita Dokuritsu Junbi Cosakai dan Inkai. Bahkan untuk menyongsong peristiwa penting itu para pimpinan politik kita juga diinkubasi melalui Dai Nippon. Tidak hanya itu cikal bakal tentara nasional juga disiapkan melalui PETA (Pembela “sukarela” Tanah Air). Nama seperti Soekarno, Soedirman, Soeharto hingga Ahmad Yani adalah didikan PETA. Setelah kemerdekaan dominasi lulusan PETA semakin menguat dengan dipilihnya Soedirman sebagai Panglima Besar. Kita tahu pasca kemerdekaan juga militer nasional kita terbagi menjadi dua blok besar antara PETA dan KNIL yang warisan Belanda itu. Mereka bersaing hingga akhirnya Soeharto menjadi penguasa selanjutnya. Sebenarnya dalam pertunjukan masih banyak ulasan tentang bagaimana ideologi Jepang meresap dalam sistem militer Indonesia. Tetapi tampaknya saya cukupkan di sini saja.
Tetapi yang jelas, melalui narasi yang berlarat-larat itu kita menjadi tahu korelasi kenapa istilah ninja dengan segenap resonansi peristiwa di belakangnya dapat kita lihat dengan cara yang berbeda melalui pertunjukan ini. Suguhan data-data yang dibaca bak laporan penelitian seperti membawa penonton dicekoki materi kuliah sejarah 6 SKS sekaligus. Kepala terasa penuh dan hebatnya saya cukup menikmatinya. Ketertarikan pada sejarah mungkin membuat saya bertahan untuk saksama memperhatikan setiap repertoar yang sedang dibacakan. Tetapi saya tidak bisa membayangkan jika ada penonton yang mengharapkan hal lain seperti apa yang dipaparkan dalam pertunjukan.
Lalu kehadiran tarian jamet yang cukup tiba-tiba di sela-sela laporan yang padat dibayangkan bisa memberi ruang jeda. Tarian yang lagi booming di media sosial yang menjadi identitas baru anak Muda Madura itu terasa seperti pelarian dari kegetiran peristiwa yang sedang dibacakan. Sekilas kehadiran tarian itu terkesan seperti dipaksakan. Apalagi kehadiran dua penari aslinya seperti tidak nyambung dari 6 aktor yang sudah ada sebelumnya. Tetapi apapun itu, kehadiran tarian Jamet ini telah menunjukan bagaimana generasi Madura hari ini telah berbeda dengan generasi sebelumnya. Bahwa di tengah tarian ada tubuh yang merekam peristiwa kelam di masa sebelumnya.
Akhirnya, pertunjukan ini telah berhasil membongkar sejarah yang selama ini jarang dibicarakan. “Curriculum Vitae” sebagai judul pertunjukan, yang membuat saya bertanya sebelumnya, tentang apa hubunganya dengan peristiwa ninja akhirnya terjawab juga. Bahwa identitas personal tidak lain adalah upaya negara untuk mengontrol rakyatnya. Dalam kasus ninja di Tapal Kuda, identitas itu justru digunakan oleh “negara” untuk membasmi lawan politiknya. Selain itu pertunjukan ini seperti memberi warning kepada kita semua; bahwa teror dan ketakutan adalah instrumen paling efektif untuk mengatur rakyat. Karena politik ketakutan mampu menjangkau ruang-ruang paling privat dalam diri kita. Melalui hal ini rakyat dididik untuk tunduk dan bungkam karena mereka selalu dalam pengawasan. Dari hal ini kita bisa belajar, bahwa pola ini selalu digunakan oleh elit militer kita sekalipun Soeharto telah lama tiada. Namun mantan menantunya sekarang berkuasa. Apakah pola ini akan digunakan juga. Wallahualam bishowab.
Selama bertahun-tahun, beredar sebuah narasi yang diyakini sebagai asal-usul Perdikan Desa Sewulan. Cerita yang diwariskan secara lisan ini menyebut bahwa tanah perdikan diberikan oleh Pakubuwono II sebagai bentuk balas jasa atas partisipasi Raden Mas Bagus Harun yang ikut nderekne, atau mengantarkan Pakubuwono II menuju Kartasura. Bahkan, menurut versi yang beredar, ia bersama santri Tegalsari juga turut membantu mengusir gerombolan Sunan Kuning dari Istana Kartasura. Cerita tutur ini kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan—mulai dari naskah stensil lokal, buku sejarah populer, hingga karya ilmiah berupa skripsi. Salah satu yang meyakini cerita itu adalah saya sendiri, hingga saya menulis buku Babad Sewulan: Jejak dan Ajaran Bagus Harun pada tahun 2021 lalu.
Meski kisah tersebut telah mengakar kuat dalam ingatan kolektif masyarakat di sana—dan pernah pula saya yakini secara pribadi—keraguan mulai muncul saat saya menelusuri sumber-sumber sejarah yang lebih awal dan mendalam. Pengalaman itu membuka mata saya bahwa apa yang kita anggap sebagai kebenaran sejarah kadang perlu diuji kembali. Kita sering merasa sudah mengerti segalanya tentang tempat asal kita—dalam hal ini Sewulan, sebuah desa yang selama ini dibanggakan lewat berbagai cerita heroiknya, termasuk kisah tentang Ki Ageng Basyariyah yang diwariskan turun-temurun. Tapi bagaimana jika sebagian dari yang kita yakini itu tak sepenuhnya benar? Bagaimana jika sumber-sumber sejarah primer justru menyimpan cerita yang sedikit berbeda, dan Sewulan ternyata menyimpan jejak sejarah yang lebih dalam daripada yang selama ini diketahui?
Pertanyaan itu membawa saya pada salah satu fragmen sejarah yang kerap luput dari perhatian: kisah perlawanan Pangeran Mangkubumi terhadap kakaknya sendiri, Sunan Pakubuwono II. Perlawanan ini memaksanya menjadi pelarian berbulan-bulan di pedalaman Monconegoro Timur, termasuk wilayah Sukowati dan Madiun. Sejumlah sumber, baik naskah babad maupun catatan kolonial abad ke-18, menyebut bahwa Mangkubumi sempat bergerak di kawasan timur Mataram—dari Grobogan, Ngawi, hingga Madiun—untuk mencari dukungan dan menyusun kekuatan. Jejak peristiwa ini memperlihatkan bagaimana sejarah lokal seperti Sewulan selalu terselip di antara narasi besar yang selama ini dianggap sebagai kebenaran tunggal.
Dalam masa pelariannya, Sewulan menjadi tempat penting yang kerap terlupakan. Di sana, Mangkubumi berguru kepada seorang ulama kharismatik bernama Kyai Muhammad Santri. Tak banyak catatan sejarah tentang Kyai Muhammad Santri ini, namun menurut sumber lokal, ia pernah menjabat sebagai Tumenggung Alap-alap. Ia mendalami ajaran-ajaran agama: memahami makna puasa sebagai laku pengendalian diri, memperdalam ilmu tauhid dan adab, serta merenungi keutamaan malam Lailatul Qadar. Salah satu pengalaman spiritual yang paling membekas adalah saat Mangkubumi menjalani ibadah secara khusyuk pada sepuluh malam terakhir Ramadhan, khususnya malam-malam ganjil seperti malam selikur, malam telu likur, malam selawe, malam pitu likur, dan malam songo likur. Dalam suasana sunyi pesantren dan kesederhanaan Desa Sewulan, ia menemukan ketenangan yang tak ia dapatkan di istana yang penuh gejolak—ketenangan yang kemudian membentuk dasar batin seorang raja.
Akhirnya, pengembaraan panjang itu mencapai puncaknya ketika pada tahun 1755, melalui Perjanjian Giyanti, Pangeran Mangkubumi diakui sebagai raja dan mendirikan Kesultanan Yogyakarta dengan gelar Hamengkubuwono I. Menariknya, yang membedakan Mangkubumi dari penguasa lain bukan saja kemenangan politik yang diraihnya, melainkan pengalaman spiritual yang ia dapat di Sewulan kemudian ia bawa dalam memimpin Kesultanan Yogyakarta. Pengalaman spiritual selama di Sewulan tidak berlalu begitu saja; nilai-nilai yang ia serap selama nyantri pada masa perlawanan menjiwai langkah-langkahnya dalam membentuk karakter Kesultanan Yogyakarta yang berakar pada budaya Jawa dan berjiwa Islam.
Salah satu warisan rohani yang dibawanya ke dalam keraton adalah tradisi maleman—malam-malam menjelang Lailatul Qadar yang diisi dengan doa, tirakat, dan laku batin. Tradisi ini berakar dari pengalaman nyantri di Sewulan, lalu dihidupkan dalam lingkungan keraton sebagai bentuk penguatan spiritual menjelang hari penyucian diri. Lambat laun, praktik ini menyebar ke masyarakat luas di wilayah Kesultanan Yogyakarta, menjadi bagian dari kebudayaan Islam-Jawa yang sarat makna. Maleman bukan sekadar ritual malam ganjil, tetapi penanda bahwa kekuasaan pun membutuhkan keheningan dan ketundukan kepada Allah Sang Maha Kuasa.
Tradisi ini berakar dari pengalaman nyantri di Sewulan, lalu dihidupkan dalam lingkungan keraton sebagai bentuk penguatan spiritual menjelang hari penyucian diri. Lambat laun, praktik ini menyebar ke masyarakat luas di wilayah Kesultanan Yogyakarta, menjadi bagian dari kebudayaan Islam-Jawa yang sarat makna.
Oleh karena Mangkubumi merasa bahwa ia mendapatkan kekayaan spiritual dari gurunya, maka sebagai bentuk penghormatan dan rasa terima kasih kepada Kyai Muhammad Santri, Sultan Hamengkubuwono I menghadiahkan tanah perdikan Sewulan—wilayah yang dibebaskan dari kewajiban pajak dan diberi hak otonom untuk mengembangkan pendidikan dan kehidupan keagamaan. Dengan itu, Sewulan diabadikan bukan hanya sebagai tempat persinggahan seorang pangeran yang terusir, melainkan sebagai pusat ilmu dan kebudayaan Islam yang diwariskan hingga generasi kini—sebuah pengingat bahwa sejarah besar sering berakar dari tempat-tempat yang tak dikenal.
Ironisnya, tradisi spiritual yang baik itu kini perlahan mulai memudar di wilayah Yogyakarta—tergerus zaman, ditinggalkan generasi muda, dan hanya bertahan di beberapa lingkungan tertentu. Jejak yang dulu begitu kuat kini nyaris menjadi kenangan. Namun di tempat asalnya, di Sewulan, tradisi maleman atau tirakat sewu wulan yang kini menyebar di seluruh penjuru Jawa, masih dijalankan dengan semarak hingga kini.
Sanggar Lentera—sebuah komunitas perupa asal Gresik yang berdiri sejak tahun 1980—menyelenggarakan pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi di Gedung DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kabupaten Gresik pada 14-16 Mei 2025. Tajuk Lentera Bersinar Lagi mengesankan kehadiran kembali Sanggar Lentera yang lama tidak berpameran sejak terakhir kali menyelenggarakan Pameran Lukisan 3 Kota (Yogyakarta, Gresik, dan Surabaya) pada tahun 1994.
Para anggota Sanggar Lentera yang memamerkan lukisannya, yaitu: Kris Adji AW, M. Syarifuddin, Achmad Feri, M. Mas’udi Khoiri, Yayak Achmad Hidayat, Achmad Safi’i, Didik Hadi, Erfi Sulistyanto, Achmad Husaeni, dan Riyanto.
Meski tiga puluh satu tahun (dari tahun 1994 hingga tahun 2025) tidak menyelenggarakan pameran, para anggota Sanggar Lentera tetap eksis bekarya atas nama sendiri atau bergabung dengan komunitas lain. Akhirnya, tahun 2025, para anggota—setelah “bertualang”—kembali ke Sanggar Lentera lewat pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi.
Begitulah, aku membaca perihal para anggota Sanggar Lentera dalam tulisan Kris Adji AW dalam katalog Lentera Bersinar Lagi. Begini nukilan tulisannya: “Jika Sanggar Lentera pada tahun 2025 ini kembali mewarnai dunia seni rupa di Indonesia, sesungguhnya ini hanya atas nama komunitas saja. Toh selama ini para pribadinya tak pernah berhenti bekarya dan berpameran di pelbagai kota Indonesia. Bahkan bermukim di kota-kota luar Gresik”.
Keterangan: Suasana pembukaan pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi di gedung DPRD Kabupaten Gresik. Sumber: Dok. Aji (2025)
Pilihan Sanggar Lentera menyelenggarakan pameran lukisan di gedung DPRD Kabupaten Gresik bikin aku merasa ganjil. Maksud rasa ganjil bukan hal negatif. Tapi, rasa ganjil tersebab kewajaranku pada tempat pameran lukisan—khususnya di Kabupaten Gresik—yang terbiasa diselenggarakan di kafe, mall, gedung serba guna milik perusahaan, atau gedung serba guna milik pemerintah daerah. Rasa ganjil memperluas pengetahuanku, bahwa penyelenggaraan pameran lukisan tidak membatasi tempat di mana saja, termasuk gedung DPRD Kabupaten Gresik sebagai ruang alternatif bagi seniman untuk berekspresi.
Lewat tulisan Muhammad Syahrul Munir (Ketua DPRD Kabupaten Gresik) dalam katalog Lentera Bersinar Lagi, aku mengetahui alasan Sanggar Lentera menyelenggarakan pameran lukisan di gedung DPRD Kabupaten Gresik. Begini nukilan tulisannya: “Gedung DPRD sebagai rumah rakyat sudah sepatutnya menjadi ruang ekspresi dan dialog bagi semua elemen masyarakat, termasuk para seniman. Inilah bentuk keterbukaan kami dalam mendukung pengembangan kesenian dan kebudayaan lokal secara inklusif dan berkelanjutan. Lebih dari itu, kami juga mengajak seluruh elemen masyarakat, khususnya komunitas seni dan budaya, untuk terus mengawal dan memberi masukan terhadap kebijakan daerah, terutama dalam implementasi Peraturan Daerah no. 9 tahun 2019 tentang Pemajuan Kebudayaan Daerah….”
Pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi tidak menampilkan tema khusus. Aku menikmati lukisan yang menampilkan interaksi antar manusia. Atau, aku menikmati lukisan yang menampilkan permainan unsur rupa (titik, garis, bidang, hingga warna) yang menghasilkan emosi. Atau, aku menikmati kecenderungan figur hewan (ayam jago, merpati, bebek, ikan tawar, ikan laut, penyu, kuda, dan naga) pada lukisan yang dipamerkan, seperti: Kris Adji AW (Jago 1 dan Jago 2), M. Syarifuddin (Harmoni Air dan Ksatria dan 9 Naga), Achmad Safi’I (Keluarga Kecil Bahagia dan Berangkat Lelang), hingga Erfi Sulistyanto (Momong dan Dunia Bawah Air).
Pengalaman Berkunjung
Gedung DPRD Kabupaten Gresik (selanjutnya aku tulis: rumah rakyat) adalah bangunan berarsitektur kolonial Belanda. Cirinya: beberapa pilar lingkaran di serambi, dinding bangunan yang tebal, serta desain yang simetri. Rumah rakyat tidak terlalu antik, justru megah. Kemegahannya terlihat pada penggunaan panel kayu dan cermin untuk menutup dinding, serta penggunaan bahan marmer untuk lantai. Lain itu, pada serambi dan lorong di rumah rakyat, terpajang potret-potret yang menghiasi dinding. Potret-potret itu berfungsi menambah suasana, serta mengingat sejarah rumah rakyat.
Di rumah rakyat, pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi menggunakan serambi dan lorong. Sebagai tempat berpameran, para anggota Sanggar Lentera tidak menstrerilkan potret-potret itu dari dua ruang tersebut (serambi dan lorong). Ketidaksterilan dari potret-potret itu berakibat dua ruang tersebut mengalami polusi visual. Maksud polusi visual adalah wilayah yang tercemar oleh benda yang tidak diinginkan dan mengganggu keindahan selama berlangsungnya pameran. Secara tidak sadar, selama berlangsungnya pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi, potret-potret itu menjadi polusi visual.
Barangkali para anggota Sanggar Lentera tidak menstrerilkan potret-potret itu karena menggunakan alat penyanggah. Memang alat penyanggah menjadi solusi terbaik untuk mengganti pemajangan lukisan-lukisan pada dinding di dua ruang tersebut. Tapi, polusi visual menimbulkan masalah. Sebab, potret-potret itu—mau tidak mau—ikut terlibat sebagai bagian pameran. Jadi, di dua ruang tersebut, potret-potret itu sama nilainya dengan lukisan-lukisan itu. Bagi pengunjung yang sedang menikmati pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi, keberadaan potret-potret itu dapat mengecohkan pandangan.
Aku turut terpapar polusi visual pada pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi. Paparan polusi visual bikin mataku lebih dulu mengarah ke potret-potret itu daripada lukisan-lukisan itu. Meski begitu, berkat terpapar polusi visual, pada sebuah momen di serambi, aku tidak sengaja mendapatkan pengalaman baru, yaitu: dua potret yang ada dan dua lukisan yang dipajang saling berikatan. Aku tersadar tidak perlu membedakan potret-potret itu dengan lukisan-lukisan itu. Aku harus menganggap polusi visual tidak ada di dua ruang tersebut. Biarkan segala visual saling menyempal dan menyempil di mataku.
Serambi
Di serambi bagian kanan atas dinding, aku memandang potret Giri Kedaton Gresik dan potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik. Dua potret tersebut merupakan karya Syafiq Noer, juga termasuk potret-potret yang tidak disterilkan para anggota Sanggar Lentera. Pada potret Giri Kedaton Gresik, aku mengenal situs bersejarah yang berkaitan dengan kerajaan Islam dan pesantren di Gresik. Aku pernah beberapa kali ke sana (Giri Kedaton) bersama kawan. Sedangkan, pada potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik, aku mengetahui rekaman tempat di Kelurahan Lumpur. Aku mengetahui karena pernah tinggal di Kelurahan Lumpur pada masa kecil.
Di depan bawah potret Giri Kedaton Gresik dan potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik, berdiri dua alat penyanggah yang masing-masingnya memajang lukisan Ksatria dan 9 Naga karya Muhammad Syarifuddin dan lukisan Keluarga Kecil Bahagia karya Achmad Safi’i. Aku memandang dua lukisan tersebut. Lalu, aku tidak sengaja membagi pandangan terhadap dua lukisan dan dua potret tersebut. Lama-kelamaan, aku merasa dua potret dan dua lukisan tersebut saling berikatan. Benang merah ikatan itu hanyalah citra yang aku rasakan, seperti semangat perjuangan (potret Giri Kedaton Gresik terikat lukisan Ksatria dan 9 Naga) serta ingatan asal mula (potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik terikat lukisan Keluarga Kecil Bahagia).
Keterangan: potret Giri Kedaton Gresik dan potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik (dinding atas); lukisan Ksatria dan 9 Naga, dan lukisan Keluarga Kecil Bahagia (depan bawah) di serambi.Sumber: Dok. Aji (2025)
Pada lukisan Ksatria dan 9 Naga, aku lebih memperhatikan figur laki-laki berpakaian putih dan hijau, dengan tangan kanan mengangkat keris dan tangan kiri memegang tali kekang, sedang menunggangi kuda putih. Aku meyakini bahwa figur laki-laki yang berpakaian putih dan hijau adalah ksatria. Lalu, kuda yang mengangkat sepasang kaki depannya—meminjam simbol patung kuda—menandakan ksatria telah gugur di medan perang. Aku bertanya sendiri: “Medan perang macam apa yang membuat ksatria gugur?”
Kalau menengok di bawah kuda adalah kepulauan Indonesia, aku mengimajinasikan medan perang berada di daerah Giri (Gresik). Kemunculan imajinasiku perihal daerah Giri akibat memandang potret Giri Kedaton Gresik. Juga, kecocokan imajinasiku terhadap ciri berpakaian ksatria yang begitu mirip dengan model seorang tokoh di poster Walisongo. Setelah memandang lukisan Ksatria dan 9 Naga, aku turut mengimajinasikan apa yang tampak pada potret Giri Kedaton Gresik sebagai situs medan perang.
Lalu, siapa musuhnya? Bisa sembilan naga—atau aku menganggap naga berkepala sembilan—yang mengitari ksatria. Aku beranggapan naga berkepala sembilan karena semua figur naga pada lukisan Ksatria dan 9 Naga tidak utuh memperlihatkan badannya. Jadi, aku menunjuk Hydra (naga berkepala banyak dalam mitologi Yunani) daripada Shenlong (dewa naga dalam mitologi Cina). Apalagi Hydra sangat destruktif karena memiliki racun yang mematikan. Sedangkan Shenlong berkemampuan mengontrol alam.
Meski masing-masing kepala naga terlihat garang dan hidup (tidak sekarat), aku menangkap suasana kemenangan. Tangkapan itu merupakan hasil tafsir bebas terhadap gambaran sinar matahari—membuat awan di sekelilingnya berkilauan—di bagian atas lukisan Ksatria dan 9 Naga. Padahal ksatria telah gugur di medan perang. Tersisa kepala-kepala Hydra yang mengeliling kepulauan Indonesia. Atau, aku menduga, Hydra masih harus hidup agar selalu memunculkan ksatria-ksatria baru meski gugur melulu.
Keterangan: lukisan Ksatria dan 9 Naga (kiri) dan potret Giri Kedaton Gresik (kanan).Sumber: Dok. Aji (2025)
Pada lukisan Keluarga Kecil Bahagia, aku memperhatikan figur tiga makhluk yang hidup pada tiga dunia. Pertama, dunia laut dengan makhluk ikan, penyu, dan koral. Kedua, dunia darat dengan makhluk tiga manusia (sepasang suami dan istri yang menggendong anak). Ketiga, dunia langit dengan makhluk tiga merpati. Entah kenapa figur tiga makhluk yang hidup pada tiga dunia selaras dengan penampakan potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik, yaitu: langit, laut, dan sepasang nelayan.
Citra yang aku tangkap pada lukisan Keluarga Kecil Bahagia sangat religius, sangat tegak lurus di jalan Tuhan. Sebab, suami dan anak mengenakan peci dan istri mengenakan jilbab. Pakaian mereka (suami, ibu, dan anak) sangat sopan. Kemudian aku tersadar bahwa kaki anak berbentuk ekor ikan. Akhirnya, aku menduga anak yang digendong ibu bukanlah anak sebenarnya. Tapi, anak dalam pengertian harapan bagi suami dan istri. Harapan itu diperkuat oleh tiga merpati di atas mereka (suami dan istri) yang bisa menyimbolkan kesetiaan dan cinta.
Jadi, tafsir bebasku terhadap lukisan Keluarga Kecil Bahagia adalah kesabaran suami dan istri untuk mendapatkan anak. Aku menganggap suami dan istri begitu sabar, tanpa pernah goyah dan tetap enggan bersedih. Padahal suami dan istri berada di dasar laut. Atau, jangan-jangan, suami dan istri telah aman karena tirai misteri terbuka di kedalaman laut. Sebab itu, suami dan istri dikelilingi ikan, penyu, dan koral. Apalagi makhluk laut itu (ikan, penyu, dan koral) mengilaukan warnanya masing-masing.
Pada bagian atas lukisan Keluarga Kecil Bahagia, tampak pantulan cahaya di permukaan air. Aku menganggap pantulan cahaya di permukaan air adalah simbol perlindungan Tuhan. Simbol itu makin membulat setelah aku menelisik detail pandangan suami ke arah wajah ibu, lalu pandangan ibu mengarah ke arah wajah anak. Sedangkan anak membalas pandangan ke arah wajah ibu. Detail tersebut menyiratkan hubungan kasih sayang. Dan, aku menyukai mereka yang sama-sama tersenyum.
Keterangan: lukisan Keluarga Kecil Bahagia (kiri) dan potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik (kanan).Sumber: Dok. Aji (2025)
Setelah lukisan Keluarga Kecil Bahagia, aku kembali memandang potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik. Tiba-tiba aku mengingat masa kecil di dekat tempat yang direkam. Waktu itu, siang di tepi pantai. Aku, sepupu, dan paman sama-sama duduk menghadap laut. Beberapa menit kemudian, paman mengeluarkan gunting kuku, lalu satu per satu memotong kuku jariku dan kuku jari sepupu. Pada bakda asar, kami (aku, sepupu, dan paman) sudah berada di teras rumah emak (ibunya ibuku).
Lalu, aku kembali lagi ke lukisan Keluarga Kecil Bahagia setelah memandang potret Dermaga Nelayan Masyarakat Lumpur-Gresik. Memang ingatan masa kecilku sangat berbeda dengan apa yang tampak pada lukisan Keluarga Kecil Bahagia. Sebab, ingatan masa kecilku tetaplah sebatas masa lalu, sedangkan ayah dan ibu (figur dalam lukisan Keluarga Kecil Bahagia) mengharapkan anak dengan penuh kebahagiaan. Meski begitu, muncul sedikit kesamaannya, yaitu: kehangatan yang memendar di keluarga.
Lorong
Di lorong, potret-potret yang tidak disterilkan oleh para anggota Sanggar Lentera adalah potret-potret Ketua DPRD Kabupaten Gresik dari pelbagai periode. Potret-potret itu (potret-potret Ketua DPRD Kabupaten Gresik) dipajang di dinding bagian atas (warna dasar putih). Barangkali, potret-potret itu memang sengaja dipajang di lorong. Sebab, lorong menghubungkan ke ruang Ketua DPRD Kabupaten Gresik, beberapa Ruang Wakil Ketua DPRD Kabupaten Gresik, resepsionis, hingga ruang rapat.
Masing-masing alat penyanggah telah memajang lukisan-lukisan karya para anggota Sanggar Lentera di depan dinding lorong. Ketika masuk di lorong, aku menganggap pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi tidak hanya lukisan-lukisan itu, juga termasuk potret-potret itu. Jadi, secara tidak langsung, aku menikmati pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi dengan dua cara pandang: pertama, pandangan sejajar ke arah lukisan-lukisan itu; kedua, pandangan mendongak ke potret-potret itu.
Keterangan: Suasana pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi pada lorong di gedung DPRD Kabupaten Gresik.Sumber: Dok. Aji (2025)
Potret-potret itu memiliki nama masing-masing. Sayang, ukuran tulisan yang kecil dan pemajangan potret-potret itu terlalu tinggi membuat pandanganku kesusahan untuk membaca namanya. Jadi, aku lebih fokus memandang setiap wajah pada potret-potret itu. Aku sempat berpikir di ruang lorong, betapa banyak jumlah potret itu, yang bisa sebagai penanda betapa panjang jalan tugas DPRD Kabupaten Gresik. Apalagi tugas DPRD Kabupaten Gresik begitu penting, yaitu: legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Aku merasa aneh, setelah memandang potret-potret itu, lalu berpindah pandangan ke beberapa lukisan yang menarasikan profesi. Keanehan akibat tercipta jarak ketika aku melakukan dua cara pandang terhadap lukisan-lukisan itu dan potret-potret itu. Jadi, potret-potret itu seolah tinggal di langit, sedangkan lukisan-lukisan itu seolah tinggal di bumi. Aku mengimajinasikan bahwa potret-potret itu menerima suara yang diterbangkan dari bumi. Tapi, aku tidak yakin apakah potret-potret itu mengenal siapa pemilik wajah yang menerbangkan suara.
Karena langit terlalu tinggi, potret-potret itu harus menengok ke bawah bumi. Kalau sudah menengok, potret-potret itu dapat mengenal dua perempuan sedang bekerja. Perempuan pertama, duduk menggarap songkok. Perempuan kedua, berkeliling membopong bakul rujak di kepalanya. Dan, dua perempuan itu diabadikan di lukisan Kampung Songkok Kemuteran karya Didik S. Hadi (perempuan pertama) dan lukisan Bok Tingen (Jual Rujak Keliling) karya Achmad Husaeni (perempuan kedua).
Berikutnya, dari bumi, potret-potret itu dapat mengetahui keberkahan ikan bandeng. Keberkahan ikan bandeng yang menggerakkan orang-orang untuk bertambak. Hasil tambak itu pun menjadi perayaan orang-orang untuk melelang ikan bandeng terbesar setiap akhir bulan Ramadan. Pada hari raya Idul Fitri, orang-orang memakan olahan ikan bandeng. Keberkahan ikan bandeng diabadikan di lukisan Teko Buri (Usai Kerja Mirik Tambak) karya Achmad Husaeni dan lukisan Berangkat Lelang karya Achmad Safi’i.
Imajinasiku sebatas imajinasi. Sehingga potret-potret itu yang ditempatkan di atas dinding dan lukisan-lukisan itu yang ditempatkan di bawah bukanlah persoalan keberjarakan antara lembaga pemerintah (tidak hanya DPRD Kabupaten Gresik) dengan masyarakat. Toh, lembaga pemerintah memiliki peran penting dalam menyelenggarakan pemerintahan, menjalankan kebijakan publik, serta mencapai tujuan negara. Juga, lewat masyarakat pula, terlahir para pemimpin untuk mengisi lembaga pemerintah.
Keterangan: Lima lukisan yang aku pandang di lorong.Sumber: Dok. Aji (2025)
Terakhir, aku memandang lukisan Damar Kurung 4.0 karya Yayak Achmad Hidayat. Aku menangkap figur orang-orang: melambaikan tangan, menyapa, duduk, naik vespa, naik skuter, berkumpul, hingga berbicara. Aku merasakan keguyuban. Seperti keguyuban para anggota Sanggar Lentera setelah lama tidak pameran bersama, keguyuban para pengunjung yang menikmati pameran lukisan Lentera Bersinar Lagi, serta keguyuban rumah rakyat sebagai ruang alternatif bagi seniman untuk berekspresi. (*)
Secara khusus saya tidak pernah diajar oleh guru yang kami banggakan itu, Prof. Dr. Kuntowijoyo, MA. Mulanya, saya mengenalnya secara lamat-lamat sewaktu Aliyah dulu melalui bukunya, Identitas Politik Umat Islam. Sebagai mahasiswa Sejarah ndadakan, karena sebelumnya saya menekuni pelajaran-pelajaran agama langsung dalam bahasa arabnya, nama Kuntowijoyo lebih saya kenal sebagai budayawan, tepatnya pemikir Islam dan sastrawan ketimbang sejarawan.
Tanggal 19 September 2000, sembilan hari setelah saya masuk ke kampus Sastra Universitas Gadjah Mada, saya menghadiahi diri dengan buku beliau berjudul Khotbah di atas Bukit. Tokoh Barman dan Popi, mewakili dua dunia yang sangat berbeda pada awalnya, menginspirasi saya menulis semacam cerpen yang dimaksudkan sebagai surat lamaran menjadi anggota redaksi Balairung. Sayangnya, saya tidak diterima oleh lembaga tersebut. Entah alasan apa. Barman dengan realitas kotanya bagi saya adalah masa lalu, seperti halnya yang saya bayangkan dengan masa Aliyah saya, dan pengembaraan bersama Popi menuju puncak bukit dengan lilitan birahinya adalah for the college soul.
Lantas “perkenalan” saya dengan beliau semakin intens, baik secara literer berhadapan dengan teks-teks beliau, maupun kenal dalam ruang-ruang pergunjingan, antara mitos dan pencitraan, di pembicaraan-pembicaraan ringan mahasiswa. Kadangkala membahas tulisan beliau, mengkroscekkan cerita tentang AOI di novel Lingkar Tanah Lingkar Air-nya Ahmad Tohari dengan tulisan beliau di Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi, dan menggunjingkan bahwa konon Pak Kunto sakit gara-gara diracun oleh Amerika setelah kunjungan beliau ke luar negeri. Yang terakhir ini, tidak bisa dipercaya kebenarannya.
Pada semester 1 saya dibekali matakuliah Pengantar Ilmu Sejarah. Pengetahuan ini yang segera saya rasakan membedakan antara sejarah di sekolah dengan sejarah di kuliahan. Buku beliau Pengantar Ilmu Sejarah terbitan Bentang Yogyakarta itulah yang kami pelajari. Pada gilirannya, buku ini tidak saja menemani saya pada semester itu saja, namun semester-semester berikutnya sampai ketika saya menyusun skripsi, meski saya tidak menggunakannya sebaga referensi, namun satu bukunya yang lain yakni Metodologi Sejarah. (Saya jadi teringat, bahwa Prof. Dr. Bambang Purwanto sewaktu mengajar matakuliah Seminar Sejarah selalu menekankan untuk tidak malu membaca buku pengantar ilmu sejarah tersebut. Bahkan ia mengaku sampai 3 kali membacanya sewaktu menulis disertasi—mungkin saya yang lupa, apakah benar disertasi. Sebab buku tersebut baru diterbitkan pada tahun 1995).
Praktis, sampai dengan semester 5 saya tidak berkesempatan diajar oleh Pak Kunto. Pada semester 6, jurusan Sejarah menawarkan matakuliah Kapita Selekta Sejarah Sosial Politik yang dikoordinatori oleh beliau. Saya segera mengambilnya, berharap setidaknya sekali pertemuan saya bisa diajar oleh beliau. Namun, lagi-lagi beliau berhalangan. Sebab kesehatannya sangat tidak memungkinkan untuk mengajar. Saya mendengar bahwa beliau secara rutin berobat pada hari rabu, hari—seperti yang pernah saya pelajari dari ta’limul muta’allim—adalah hari baik untuk memulai kegiatan belajar-mengajar. Meski demikian, beliau sangat serius membuat silabus matakuliah tersebut, menunjukkan buku-buku referensi, memberi saran-saran praktis, dan kesediaan untuk melakukan komunikasi melalui surat-menyurat tentang perkuliahan itu. Meski sangat singkat, saya merasa tidak kehilangan “rasa tulisan” yang khas beliau itu. Yakni suatu tulisan yang direktif, memberi pemetaan, namun sangat hati-hati.
Setelah membaca silabus itu, pada pertemuan kedua saya masih berharap beliau bisa mengajar. Saya telah mempersiapkan sekitar lima pertanyaan yang berhubungan dengan sejarah sosial, tepatnya sejarah “orang kecil”, dan prosophography. Seperti yang diumumkan bahwa beliau berusaha menerima pertanyaan-pertanyaan mahasiswa pada hari Sabtu, dan jawabannya sudah akan tersedia pada hari Sabtu berikutnya yang akan diantar oleh istrinya ke jurusan Sejarah. Namun itulah, hanya menjadi saksi dari niat baik Pak Kunto. Meski sangat antusias, kami sadar bahwa beliau dalam keadaan sakit dan tidak mungkin dibebani dengan pertanyaan-pertanyaan yang barangkali jawabannya sudah bisa ditemukan di buku-buku beliau. Matakuliah itu dalam prakteknya tidak berjalan sama sekali. Sampai dengan ujian akhir, kami tidak mendapatkan kejelasan apakah matakuliah tersebut dianggap ada, artinya diujikan, ataukah tidak. Sampai saat ini, di final transkripsi nilai saya, matakuliah tersebut masih terpampang tanpa ada nilai!
**********
Tepatnya kapan kami tidak ingat pasti. Yang jelas terjadi pada bulan-bulan awal tahun 2004. Saya, Anna Mariana (2000), Uji Nugroho dan Husni Thamrin (2001), dan Mohammad (2003) sowan ke rumah Prof. Dr. Kuntowijoyo MA. Selain untuk mengurus peluncuran buku beliau yang berjudul Raja, Priyayi, dan Kawula, niat utama kami adalah bersilaturrahmi. Pada pagi harinya Husni telah menelpon Bu Susilaningsih untuk memohon izin kedatangan kami. Ba’da Isya kami menuju rumah beliau, pelan-pelan menelusuri jalan Lingkar Utara, untuk menemukan papan nama bertuliskan Apotik di dekat UPN Veteran. Rumah beliau di samping toko obat itu.
Di depan rumah, kami dibukakan pintu oleh anak beliau yang alumni Fakultas Teknik. Kami dipersilahkan masuk oleh Bu Susilaningsih, dan kemudian menyusul Pak Kunto yang dipapah oleh istrinya itu. Kami berempat memperkenalkan diri dan sekadar berbasa-basi. Pembicaraan lantas berkisar tentang beliau semasa mahasiswa, beberapa kawan beliau, Prof. Dr. Djoko Suryo salah satunya, dan lain-lain.
Kami sebagaimana layaknya seorang anak didik, berkeluh kesah tentang dunia perkuliahan. Beliau menimpali bahwa kondisinya sangat jauh lebih baik dibanding dahulu, masa beliau. Saya juga sempat curhat kepada beliau; bahwa di tengah jalan saat mengerjakan skripsi, timbul krisis eksistensi menyangkut studi sejarah (capturing the past, apa yang sedang ditangkap?), dan—seperti umumnya—masa depan lulusan Sejarah. Dalam puncak krisis terbersit pikiran untuk mutung, tidak melanjutkan kuliah.
Pak Kunto lebih tertarik memberi komentar (tepatnya menasehati) untuk persoalan pertama. Sambil bercerita (meski suaranya seperti tertelan kembali, beliau memaksakan untuk berbicara sendiri, tidak melalui penjelasan istrinya) beliau menasehati; bahwa mereka berdua (Pak Kunto dan istrinya) dulu mempunyai seorang kawan yang sangat idealis, tidak setuju dengan sistem-sistem yang ada, dan akhirnya memutuskan diri untuk tidak lulus. Kawannya yang sangat pintar itu bernama Taufik Rahzen. Kebetulan saya pernah mendengar dan membaca nama itu sebagai moderator dalam acara “Pram dan Kita” di UC Universitas Gadjah Mada pada 14-02-2003, dan di buku Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia karya Claire Holt, sebagai editor buku tersebut. Saya mencoba mengingat-ingat wajahnya pada acara yang saya ikuti itu. Tidak berhasil.
Namun bukan itu yang penting. Pak Kunto ingin menunjukkan bahwa kawannya itu sempat lama kesulitan mencari tempat. Meski pintar dan banyak pergaulan, kesempatan untuk mendapatkan peluang yang lebih baik sering terganjal karena persoalan kesarjanaan. “Tapi sekarang dia sudah mapan”, demikian jelas beliau.
Pak Kunto lebih lanjut menasehati kami: “Bagaimanapun dan apapun hasilnya, baik atau buruk, kalian harus lulus”. Kalian harus lulus. Ini yang masih terngingang di telinga saya. Apapun hasilnya, saya harus lulus.
Tidak terasa bagi kami bahwa pembicaraan telah berlangsung sekitar satu setengah jam. Sebelumnya, berkali-kali istrinya mengingatkan Pak Kunto untuk istirahat. “Bapak kalau mau istirahat”, “belum, belum”, tahan beliau sambil geleng-geleng kepala. Kami yakin bahwa Pak Kunto adalah orang yang tidak enakan, untuk segera masuk kamar meninggalkan kami yang waktu itu jarum jam belum menunjuk angka 9. Dan sebaliknya, kami agak keras kepala untuk cepat-cepat mohon diri. Bukan karena apa-apa, kami masih ingin berbincang lebih lama. Untunglah, masih setengah gelas teh di atas meja. Segera kami menghabiskannya untuk memberi tanda kekalahan, dan akhirnya kami segera undur diri.
Mengenai bukunya yang diterbitkan penerbit Ombak itu, beliau menyerahkan royaltinya kepada BKMS (Badan Keluarga Mahasiswa Sejarah). Kami kaget karena beliau masih ingat BKMS. Kami, di BKMS, bukan lagi “adik angkatan” yang sedang mendapat sumbangan dari “kakak angkatan” yang jaraknya kurang lebih 35 tahun itu. Tetapi kami adalah mahasiswa-mahasiswa beliau (yang konon mewakili BKMS), mahasiswa-mahasiswa yang tidak dikenal dan mengenal baik beliau. Barangkali, selain untuk masa depannya, sumbangan itu lebih untuk masa lalunya, demikian pikir kami. Oleh penerbit Ombak, BKMS diberi royalti beliau dalam bentuk buku cetakan yang harus dijual sendiri.
Kami merasa mendapat tiga karunia sekaligus; bisa bertemu dan berbincang dengan beliau, mendapat pengetahuan baru dengan terbitnya buku tersebut, dan mendapat royalti yang seharusnya beliau terima. Oleh kawan Husni dan Uji Nugroho, buku-buku tersebut digunakan untuk mengongkosi sebagian biaya perjalanan ke Medan dalam pertemuan Munas IKAHIMSI (Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah se-Indonesia) di Universitas Sumatera Utara.
Pak Kunto, yang sekilas saya kenal dan tentu saja tidak mengenal saya itu kini telah tiada. Pak Kunto, yang setiap kali kami mahasiswa sejarah keluar kota selalu ada yang menanyakan kabarnya itu, kini telah pergi. Pergi, untuk perjalanan yang lebih jauh. Pak Kunto, yang pernah saya sesalkan dalam melakukan periodisasi kesadaran keagamaan umat; dari periode mitos, periode ideologi, dan terakhir periode ilmu itu kini telah secara ikhlas masuk pada periode yang diinginkannya.
Saya pernah menganggap bahwa periodisasi itu bias modernisme Pak Kunto, atau bahkan secara naif saya menyangka itu bias muhammadiyah Pak Kunto. Kini beliau memasuki alam yang tidak mengenal Muhammadiyah-NU, mitos, ideologi, ataukah ilmu. Yang ada adalah alam keabadian. Dan bagi saya, yang abadi adalah pahala yang beliau dapatkan dari ilmu yang beliau amalkan.
Selamat jalan Pak Kunto…
Klebengan, 23 Februari 2005 (beberapa jam sepulang dari takziah meninggalnya beliau)
*Tulisan ini pernah dimuat pada laman Facebook Ahmad Nashih Luthfi pada 20 Juli 2011
Awal tahun 2025, Rick Steves, presenter acara-acara wisata dari Amerika merilis sebuah buku bertajuk On the Hippie Trail: Istanbul to Kathmandu and the Making of a Travel Writer [1]. Saya sempat membaca buku itu secara cepat, meski baru di bab pengantarnya saja di google book secara gratisan. Secara garis besar buku ini berisi kisah perjalanannya sewaktu masih muda, saat ia masih menjadi seorang penganut hippie[s]. Hippies adalah semacam gerakan kontra budaya di tahun 1960-1970an yang menyuarakan anjuran perdamaian, anti perang, dan kebebasan. Gerakan semacam ini menjamur di Eropa dan Amerika kala itu. Uniknya para penganjurnya kebanyakan merupakan anak-anak dari pensiunan tantara yang terlibat perang.
Komunitas hippies menyuarakan kritiknya terhadap operasi-operasi militer negara-negara adikuasa seperti Amerika, Rusia dan anggota-anggota NATO dengan cara traveling keliling dunia dengan bus sekolah (Thomas Bus) atau minibus Volkswagen yang dicorat-coret dengan graffiti bertemakan bunga dan alam. Selain menyuarakan aspirasi perdamaian, perjalanan yang dilakukan para hippies ini juga mereka maknai sebagai pencarian spiritualnya, sebab banyak hippies yang tertarik dengan ajaran hindhu, buddha, dan sufism (Islam). Mereka tertarik dengan praktik meditasi atau yoga dari agama-agama tersebut yang secara gamblang, jelas, benar-benar menawarkan makna kedamaian hidup yang tidak dimiliki negara-negara barat.
Selain menyuarakan aspirasi perdamaian, perjalanan yang dilakukan para hippies ini juga mereka maknai sebagai pencarian spiritualnya, sebab banyak hippies yang tertarik dengan ajaran hindhu, buddha, dan sufism (Islam).
Di Eropa titik awal perjalanan komunitas hippies ini dimulai dari Berlin di Jerman dan Amsterdan di Belanda, sementara di Amerika hijrah rombongan hippies biasanya ini dimulai dari San Fransisco dan New York. Sementara kota-kota yang menjadi tujuan para peziarah hippies ini adalah kota-kota yang memiliki akar spiritual yang kuat di ketiga agama ini, yakni Kathmandu (Nepal), Lahore (Pakistan), Varanasi/Delhi (India), dan destinasi akhirnya biasanya adalah Pantai Malabar di Selatan India. Kadang para peziarah ini ada yang mengambil perjalanan lanjutan hingga ke Chiang Mai (Thailand) bahkan Bali (Indonesia). Masifnya perjalanan para peziarah hippies di tahun 1960-1970an ke kota-kota suci di Asia kemudian membuat kota-kota di kawasan timur dunia ini terkenal dengan julukan Hippie Trail atau Jalur Hippie.
Tidak main-main dampaknya, gelombang gerakan ke timur ala hippies ini bahkan mampu menyeret nama-nama besar, salah satunya adalah The Beatles yang memulai perjalanan ke India di tahun 1968, bahkan George Harrison sang gitaris pun sempat dibuat terpukau oleh permainan gitar Ravi Shankar. Ada juga Steve Jobs sang pendiri Apple, yang mendapat ijazah spiritual dari Neem Karoli baba atau Maharaj-Ji. Selain itu, konon katanya orang-orang yang terlibat dalam perjalanan hippies di tahun 60-70an inilah yang kemudian kini seringkali disebut sebagai bule pelopor, yang membuka destinasi wisata di Nepal, India, Thailand, dan Indonesia (Bali).
Inspirasi Gerakan Hippies
Kembali ke buku Rick Steves, dalam buku tersebut ia berkisah tentang perjalanan “hijrah”nya melintasi Hippie Trail dari Istanbul (Turki) ke Kathmandu (Nepal) melintasi 6 negara yakni Turki, Iran, Afganistan, Pakistan, India dan Nepal. Saat memulai perjalanan ziarahnya ke timur, ia berusia 23 tahun, dan ia mengaku terinspirasi melakukan perjalanan tersebut dari Islam. Islam, menurut Rick Steves, dalam salah satu rukunnya menyarankan pemeluknya dari berbagai belahan dunia untuk menunaikan Haji sekali seumur hidup, yaitu melakukan perjalanan ke rumah Allah di kota suci Mekah, guna napak-tilas nabi-nabi terdahulu dalam menegakkan keimanannya. Sekali seumur hidup.
Melakukan perjalanan menjadi term kunci yang diletakkan Muhammad SAW dalam ajarannya, Islam. Bahkan saking utamanya makna perjalanan dalam ajaran Islam, Muhammad SAW pun memberikan umatnya teladan dengan melakukan perjalanan dari Mekah ke Madinah yang ia sebut Hijrah. Tak hanya itu ia pun menempatkan waktu pertama dimulainya perjalanan tersebut sebagai awal dimulainya perhitungan dalam kalender Hijriah.
Dalam ajaran Islam, haji dan hijrah tak semata hanya menjadi sebuah perjalanan traveling belaka, ia seharusnya menjadi perjalanan spiritual, perjalanan keimanan, perjalanan untuk mencari Allah, Tuhan-nya.
Di titik ini, Rick Steves dan para peziarah hippies terinspirasi dari Islam. Di level eksoteris (lahiriyah) memang benar perjalanan kaum hippies ke kota-kota di Timur jauh menjadi sebuah perjalanan pembuktian untuk melawan narasi negatif dari Barat, yang ditanamkan oleh orang tua-orang tua mereka, tentang kebengisan bangsa Timur, ketidak-beradaban orang-orang Timur yang layak untuk dibumi hanguskan, dibunuh, dan diperangi. Di sini dengan mereka melakukan perjalanan ke timur, mereka ingin membuktikan bahwa propaganda yang itu tidak benar, bohong, dan hanya dibuat-buat.
Dan, benar saja, tak hanya sisi kemanusiaan yang para peziarah hippies ini dapat dalam perjalanannya ke timur, banyak diantara mereka yang juga mendapatkan pencerahan spiritual. Tak hanya manusia yang mereka temui, ndilalah-nya mereka juga ketemu Tuhan pada level Esoteris (batiniyah)-nya.
Perjalanan Agung
Setelah mengulik beberapa video bedah buku Rick Steves di Youtube, saya kemudian teringat film lawas dari Perancis tentang Haji, yaitu Le Grand Voyage (2004). Film ini mengisahkan seorang pemuda keturunan Perancis-Maroko bernama Reda yang dimintai oleh ayahnya untuk mengantar sang ayah menunaikan ibadah haji. Mereka berangkat dari Perancis ke Arab Saudi tidak naik pesawat, melainkan dengan mengendarai mobil. Melintasi jarak 5.000 km lebih, melewati sembilan negara yakni Perancis, Itali, Slovenia, Kroasia, Serbia, Bulgaria, Turki, Yordania hingga akhirnya sampai ke Arab Saudi.
Dikisahkan selama perjalanan itu, mobilnya sempat di tumpangi orang asing, ayahnya sempat masuk rumah sakit karena kedinginan, ditahan diperbatasan karena visanya bermasalah, hingga uang sakunya sempat dicuri orang yang menjadi barengannya. Pokoknya banyak hal yang terjadi selama perjalanan itu. Hingga akhirnya ketika mereka memasuki perbatasan antara Yordania dan Arab Saudi, mereka bisa tenang karena ternyata banyak rombongan yang sama dengan mereka, pergi haji dengan menggunakan mobil. Setelah bergabung dengan beberapa rombongan kafilah yang juga ingin berhaji, beberapa orang dari rombongan sempat kagum saat mendengar kisah perjalanan Reda dan ayahnya yang menempuh jarak 5.000 km hanya demi berhaji.
Ada satu penjelasan menarik dari film lawas ini, saat adegan ayah Reda menerangkan padanya alasan mengapa ia memilih berhaji dengan mengendari mobil. Kurang lebih apa yang ayah Reda jelaskan adalah perihal esensi dari ibadah haji yang kini sudah banyak mengalami pergeseran, seiring dengan perkembangan teknologi transportasi. Dulu orang berhaji bisa memakan waktu berbulan-bulan lamanya, selama perjalanan itu mereka bertemu orang-orang baru, lingkungan baru, dan masalah-masalah baru, yang besar kemungkinan bisa menggoyahkan niat dan perhitungannya untuk sampai ke Mekah di bulan Dzulhidjah. Sebelum akhirnya bertamu ke rumah Allah, ujian jarak ratusan atau bahkan hingga ribuan kilometer akan menempa hatinya para peziarah haji terlebih dulu.
Namun kini semuanya bisa diselesaikan dalam hitungan jam, dengan naik pesawat para rombongan haji pun dapat langsung menuju ke kota Mekah dengan cepat, praktis, dan efisien. Namun disitulah letak masalahnya menurut ayah Reda, kini haji yang menjadi rukun terakhir dalam ajaran Islam telah menjadi semacam kegiatan wisata rohani semata, yang menekankan pada aspek tujuan, hanya sekedar sampai ke tanah suci semata. Menegasikan aspek transformasi keimanan yang di masa lalu terwadahi dalam ujian yang dinamakan “perjalanan”. Pesan ini cukup jelas ditekankan oleh tokoh ayah Reda dalam film Le Grand Voyage bahwa baginya perjalanan agung haji merupakan sebuah ritual transformasi keimanan yang harus ditempuh dengan melakukan perjalanan, setiap kesulitan yang dihadapi dan orang-orang baru yang ditemui sepanjang perjalanan adalah ujian keimanan yang menyati dalam ibadah haji ini.
Namun kini semuanya bisa diselesaikan dalam hitungan jam, dengan naik pesawat para rombongan haji pun dapat langsung menuju ke kota Mekah dengan cepat, praktis, dan efisien. Namun disitulah letak masalahnya menurut ayah Reda, kini haji yang menjadi rukun terakhir dalam ajaran Islam telah menjadi semacam kegiatan wisata rohani semata, yang menekankan pada aspek tujuan, hanya sekedar sampai ke tanah suci semata.
Pada titik ini, saya merasa ada satu benang merah antara gerakan perjalanan hippies dengan ibadah haji yang dikatakan sebagai ibadah penyempurna dalam rukun Islam, di mana dua-duanya sama-sama memaknai perjalanannya sebagai transformasi spiritual.
Pertanyaan sekarang, bagaimana kita selaku umat muslim hari ini memaknai perjalanan agung (red: Haji) dalam diri kita, yang kini telah disimplifikasi oleh pemerintah dengan sistem kredit ONH yang harus dibayar tiap tahun?
—
[1] Steves, R. (2025). On the hippie trail: Istanbul to Kathmandu and the making of a travel writer. Avalon Travel.
Waktu itu siang hari yang biasa. Cuaca di luar menembus minus belasan derajat. Duduk di pojok kerja apartemen kami, angan saya tiba-tiba dibawa melesat kepada rangkaian benang merah perjalanan saya dan Mas J. Memang, musim dingin dan lamunan adalah pasangan yang abadi.
Sebuah kebetulan yang pas, pikir saya. Bulan Januari ini adalah ulang tahun pernikahan kami yang ke-13. Karenanya, berbekal niat syukuran dan selametan,* bolehlah saya tuliskan lamunan yang telah berhasil membuat hati saya hangat sekaligus takjub, takjub bukan kepada kami tetapi kepada kurikulum serta metode tarbiyah-nya Rabb yang selalu seksama dan penuh kejutan itu. Siapa tahu, pembaca jadi ikut tergerak untuk menyibak benang merah dalam hidup masing-masing.
Renungan 13 tahun pernikahan ini mengundang kesadaran, bahwa ada setidaknya tiga hal yang telah menyatukan jalan takdir saya dan Mas J: Jombang, Cak Nun (Jogja) dan Cak Nur (Chicago). Irisan ini telah menyeret kami ke dalam pencarian, permenungan, dan penemuan atas jawaban-jawaban yang selama ini kami cari–sebuah proses panjang yang akan terus berputar.
Demikianlah cerita kami, tentu saja dari sudut pandang saya:
1. Jombang
Kami bertemu di Ponpes Darul Ulum Jombang pada tahun 2001. Mas J adalah kakak kelas dua tingkat di SMA DU 2 Unggulan. Pertemuan pertama adalah ketika Masa Orientasi Siswa (MOS). Saya siswa baru, Mas J panitianya (OSIS). Melihatnya dari jauh, Allah titipkan kesan di hati saya: “Kok ada laki-laki yang tenang dan damai begini, ya”. Haha. Saya sendiri heran. Pasalnya, perawakan Mas J kala itu sebenarnya tidak menarik-menarik amat. Kesan itu saya pendam sendiri, tidak saya ungkapkan kepada siapapun, mungkin karena memang tidak saya anggap penting. Saya juga tidak membangun hubungan, bahkan pertemanan sekalipun, dengan Mas J. Saya bahkan tak ingat pernah bertegur sapa dengannya. Selepas lulus sekolah, kami menjalani hidup masing-masing. Dalam rentang waktu sampai dipertemukan lagi, ada dua momen saya mengingatnya: “Sekarang, dia menjadi sosok yang seperti apa, ya?” begitu tutur batin saya. Sekitar sepuluh tahun pasca pertemuan pertama itu, seorang teman mengenalkan kami. Kami bertemu. Dan seperti ditarik oleh jalan takdir yang tak kuasa kami bendung, kami menikah pada Januari 2012.
Jombang adalah kota di mana saya dan Mas J dipertemukan. Ia adalah juga kota asal Cak Nun (CN, Emha Ainun Nadjib) dan Cak Nur (Nurcholish Madjid). Ponpes Darul Ulum adalah tempat di mana kami berjumpa pertama kali. Di situ pula lah, Cak Nur pernah mondok.
2. Cak Nun (Jogja)
Anugerah paling tak terduga dalam rumah tangga kami melibatkan CN.
Tahun 2015, tahun ke-4 pernikahan kami, saya diterima sebagai dosen di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Mas J akan harus pindah ke kota baru. Terus terang saya dirundung gelisah: Ia nanti akan bekerja apa? Siapa temannya? Mas J berencana akan membangun usaha entah apa. “Dipikir nanti”, katanya. Waktu itu, saya sedang S-2 yang kedua di Hartford Seminary, Amerika Serikat. Mas J menemani saya sejak tahun kedua (Januari 2014), meskipun ia harus tinggal dan bekerja di Philadelphia untuk mencukupi kebutuhan kami karena beasiswa saya yang kecil (diperkecil lagi jumlahnya karena perubahan kurs USD dari IDR 9,600 ke sekitar IDR 12,000), juga untuk membayar hutang dari usaha sebelumnya yang harus gulung tikar.
Pada September tahun 2015 itu, ketika saya sudah kembali ke Jogja, Masjid komunitas Indonesia di Philadelphia (al-Falah) membuat acara penggalangan dana. Setahunan sebelumnya, Mas J sempat melontarkan ide untuk mendatangkan CN ke Masjid al-Falah. Ketika rencana fundraising ini kemudian muncul pada musim panas tahun 2015, ide lama itu menemukan wadahnya. Takmir sepakat mengundang CN dan Mbak Via (MV) untuk membersamai acara tersebut. Mas J dan beberapa teman diberi tugas mengawal CN dan MV selama di sana.
(Pertemuan pertama Mas J dengan CN dan KiaiKanjeng (CNKK) terjadi pada tahun 1996, ketika ia mondok dan bersekolah di MTs PPMI Assalam Solo. Itu membawanya sesekali ikut pengajian Padhangbulan di Menturo ketika kemudian mondok di Jombang (1999-2002).Pada masa awal pernikahan yang saat itu cukup menantang bagi kami, utamanya pada tahun 2014–awal Mas J di AS, Mas J juga mengikuti pengajian Maiyah lewat YouTube sebagai zawiyah yang menguatkan batinnya. Maiyah sendiri bukan hal yang asing buat saya. Ketika kuliah di Jogja sejak tahun 2004, saya beberapa kali datang ke Mocopat Syafaat atau Maiyahan bersama teman-teman).
Selama mengikuti kegiatan CN dan MV di Philadelphia ini, Mas J juga terhubung dengan Cak Zakki, adik CN sekaligus pimpinan Progress, manajemennya CNKK. Mas J bertugas sebagai penyuplai lokal untuk berita di CakNun.com. Menurut ceritanya, saat itu, CN memang sempat bertanya ia akan pulang ke mana dan kapan. Ketika dijawab akan tinggal di Jogja dan pulang sebulanan lagi, CN hanya pesan, “Nanti kabari Zakki ya kalau mau pulang”.
Mas J benar-benar mengabari Cak Zakki, mengikuti pesan CN. Pada sebuah malam di penghujung Oktober 2015, Mas J mendarat di Bandara Adisucipto. Pukul 07.00 WIB besok paginya, CN dan MV menjemput kami untuk sarapan soto di Kadipiro, lalu mengajak kami ke Rumah Maiyah yang lokasinya tak jauh untuk bertemu dengan beberapa tim Progress. Setelah beberapa waktu, ketika kami berbincang di Perpus EAN, Cak Nun bertanya kepada kami, terutama meminta izin kepada saya sebagai istri Mas J: “Kalau misalnya Jamal saya minta bantu Progress bagaimana?”
Yā Allāh yā Rabbī yā Karīm, belum lama lalu, kami, lebih tepatnya saya (hehe), khawatir Mas J akan bekerja apa dan berteman dengan siapa di Jogja. Ternyata, Allah bukan hanya mengirimkan pekerjaan, tetapi juga saudara dan komunitas. Berkegiatan di Progress ini tanpa diangan, direncanakan, apalagi diminta. Istilahnya, it was not even in our wildest dream. Baru belakangan kami tahu, CN dan tim Progress memang sedang mempertimbangkan kebutuhan tambahan personel waktu itu. Alḥamdulillāh. Ini adalah ketidakterdugaan yang kami rasakan paling ajaib dalam sejarah rumah tangga kami, sekaligus menjadi pembuka kehidupan kami berdua di Jogja setelah lebih dari tiga tahun masing-masing tinggal di kota atau negara yang berbeda. Seiring perjalanan waktu, kami pun menyadari bahwa ini ternyata menjadi wasilah bagi banyak hal baik yang terjadi dalam hidup kami.
Dari keterlibatan Mas J di Maiyah, saya mengenal konsep tadabbur yang sering di-wedar-kanCN. (Mulai tahun 2016 sampai 2018, hampir setiap hari CN menulis esai yang diterbitkan dengan tajuk “Daur” dalam CakNun.com, kemudian dicetak menjadi tujuh jilid buku. Banyak esai dalam Daur ini membahas tadabbur. Atau, mungkin lebih tepatnya, Daur secara keseluruhan adalah tadabbur CN atas al-Qur’an). Tak lama setelah Mas J bercerita tentang praktik tadabbur di Maiyah, pada akhir tahun 2016, ada call for papers untuk sebuah antologi buku yang “kebetulan” saya baca dari sebuah mailing list. Waktu itu, editornya membutuhkan satu naskah tambahan tentang bagaimana al-Qur’an hidup dalam komunitas Sufi. Abstrak yang saya kirimkan tentang tadabbur dan Maiyah diterima. Tulisan sederhana itu telah terbit dalam buku Communities of the Qur’an (2019). Tulisan yang serupa juga telah membawa saya ke Universitas Leiden, Belanda (2017).
Secara natural, menulis proposal atau rencana disertasi tentang tadabbur dan Maiyah menjadi satu-satunya ide paling mungkin yang saya punya dalam masa persiapan studi doktoral (2017-2018). Proposal itu, bersama catatan dalam biodata bahwa saya akan menerbitkan tulisan di sebuah antologi buku dan punya pengalaman akademik internasional, menjadi lantaran diterimanya saya di Freie University Berlin dan oleh satu professor di sebuah kampus lain di Jerman. Proposal itu juga menjadi wasilah diterimanya saya di empat kampus di AS, hingga akhirnya berlabuh di Universitas Chicago (2019) setelah memperhatikan pertimbangan Mas J dan ibu. Selanjutnya, kuliah di Universitas Chicago menjadi wasilah petualangan kami berdua ke berbagai belahan dunia di atas peta maupun ke dalam diri.
Sebenarnya, sejak awal ada rasa kurang mantap dengan rencana menulis tentang Maiyah ini. Perjalanan studi juga mengarahkan bahwa yang lebih urgen saat ini adalah melakukan kajian tekstual. Pada akhirnya, disertasi saya memang bukan tentang Maiyah, meski masih membahas konsep yang direncanakan, tadabbur. Belakangan saya sadari, jangan-jangan, sebenarnya ini bukan persoalan kemantapan atau urgensi, melainkan bahwa maqām saya saat ini disuruh meresapi Maiyah sebagai sebuah “tradisi” dulu.
Memang, terutama setahunan terakhir, saya mulai menyadari resonansi gagasan/laku CN dengan yang saya pelajari lewat wasilah perjalanan di Universitas Chicago. Pertemuan dengan Mas Irfan Afifi di Chicago dan Ann Arbor pada Maret 2024 lalu yang memantik kesadaran ini,** dengan bulan Januari ini sebagai momen pembulatannya ketika saya tiba-tiba tergerak untuk mengkhatamkan Daur. Misalnya, CN sangat jernih dan peka dalam melihat pergeseran, kondisi dan kerusakan khas yang dibawa dunia modern. Tanpa bacaan ndakik-ndakik, berbekal pandangan dunia yang melanjutkan warisan dari leluhur kita,CN adalah figur sangat langka di tanah air yang konsisten tidak nggumun (terkagum) dengan konsep-konsep modern seperti HAM, demokrasi, negara, kemajuan, modernisme, pembangunan, ketertinggalan, globalisasi, hak, kebebasan, kesetaraan, humanisme, religion, sekularisme, pluralisme, liberalisme, fundamentalisme, moderasi, radikalisme, terorisme dll. CN justru mengajak untuk menggali, mendudukkan dan mempertanyakan semua itu. Ini bukan berarti CN sama sekali anti perubahan; musik Gamelan KiaiKanjeng itu apa kalau bukan sebentuk adaptasi terhadap perubahan! CN hanya sadar dan paham adanya penjajahan lewat kata di dunia kita hari ini, penjajahan yang kebanyakan manusia tidak menyadarinya. Karenanya, CN mendorong jamaah Maiyah untuk mendayagunakan potensi akal dan rohani mereka untuk secara jernih memahami lapisan-lapisan persoalan hari ini yang sangat kompleks. Sekali lagi, jangkar ajaran CN jelas:tasawuf atau apalah itu namanya, sekumpulan ilmu peninggalan mbah-mbah kita. Dalam kelindan kompleksitas persoalan hari ini yang jelas di luar kuasa manusia untuk mengatasinya, dan manusia memang tidak semestinya punya nafsu merasa bisa mengubah zaman, CN mengajarkan bagaimana menyikapinya, bagaimana menjadi manusia yang berdaulat, untuk ndepe-ndepe, mendekat kepada Allah memohon Dia mengguyurkan pemahaman, kasih-sayang, dan keselamatan-Nya. Ini jangan dipahami sebagai gerak lari dari kenyataan, tetapi sebagai gerak berkesadaran. Masih banyak yang bisa diceritakan di sini, tapi dicukupkan dulu.
Proses pendidikan saya di UChicago, baik di dalam maupun di luar kelas, seakan menjadi rangkaian kurikulum yang menyiapkan saya memasuki dan ikut merasakan jagad kegelisahan dan penghayatan CN ini. Saya belajar dua jalur sanad keilmuan di sini, yang ini bukan semata rencana atau pilihan saya, tetapi gambar yang terlihat sesuai dengan bagaimana saya telah diperjalankan sejauh ini.Pertama, Asadian framework (Talal Asad) sebagaimana diriwayatkan oleh guru-guru saya Hussein Ali Agrama–murid langsung Asad, Alireza Doostdar dan Elham Mireshghi. Kedua, tasawuf sebagaimana diajarkan dan dihidupi oleh guru saya Yousef Casewit. Dua jalur ini, ketika dipersatukan, rasanya berirama dengan apa yang saya pahami tentang CN di atas. Saya tidak berpretensi untuk mengatakan bahwa saya telah tuntas belajar. Justru sebaliknya, saya merasa baru memulai perjalanan. Ini hanya untuk menggambarkan bagaimana saya di sini dididik sehingga pelan-pelan mengembangkan rasa dan gelombang untuk bisa menerima, meresapi, mengolah dan mengelaborasi apa yang diajarkan CN dalam melihat dan menyikapi kondisi hari ini. What he has to say makes sense. Ilustrasi mudahnya, buku Daur CN terasa seperti padatan, yang lebih utuh dan indah, dari kegelisahan sekaligus jawaban yang terbentuk selama saya di sini.
Tiba-tiba, dalam lamat-lamat lamunan saya siang itu, saya dibuat ingat pesan CN ketika kami sowan pamit lima setengahan tahun yang lalu, yang kira-kira isinya begini: “Sampean tidak harus menjadi Cak Nur, Buya Syafi’i, atau Amien Rais, Mbak. Sampean temukan jalan sampean sendiri”. Bagaimana kalau ternyata jalan yang saya temukan itu, pada akhirnya, adalah jalan yang selama ini Jenengan ajarkan, CN?
Hati saya luruh seketika ketika sampai kepada kesadaran terakhir ini. Dalam perencanaan saya yang terbaik sekalipun, tak mungkin saya mampu membuat skenario bahwa Mas J akan bertemu dengan CN di Philadelphia tahun 2015, dan bahwa pertemuan itu akan turut menarik saya ke dalam pusaran permenungan intelektual dan spiritual yang ujungnya sejauh ini mengarah kepada ajaran dan laku hidup CN itu sendiri. Lucunya–Tuhan memang suka ngajak bercanda, Dia harus memperjalankan saya jauh-jauh ke Chicago hanya untuk menemukan, kemudian menyadari, jalan itu. Mungkin supaya saya mengalami “proses otentik” saya sendiri.
3. Cak Nur (Chicago)
Menjadi mahasiswa S-1 dan S-2 di IAIN/UIN Sunan Kalijaga tahun 2004–2011, mustahil saya tidak mengenal Cak Nur atau Nurcholish Madjid. Karya-karya Cak Nur ada dalam rak buku saya, bukan hanya sebagai pajangan tetapi juga saya baca sebagian. Ketika S-1, saya bahkan tergabung dalam JARIK (Jaringan Islam Kampus), “sebuah komunitas muda Islam progresif yang konsen mengusung ide-ide liberalisme, sekularisme dan pluralisme demi mewujudkan masyarakat sejahtera, berkeadilan dan berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan”. Jaringan ini diasuh oleh LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat) dan banyak mengusung ide-ide Cak Nur. Pada tahun terakhir S-1, saya bersama teman menerjemahkan salah satu buku Abdullah Saeed, yang metode tafsir kontekstualnya dipengaruhi oleh Fazlur Rahman, guru Cak Nur di UChicago dulu. Saeed juga menulis artikel membahas metode tafsirnya Cak Nur sebagai muridnya Rahman. Sejalan dengan aura zaman itu, saya memegangi dan menyuarakan ide Islam progresif, pembaharuan Islam, atau penafsiran ulang tradisi Islam. Kuliah di Hartford lah awal mula perjalanan saya untuk merenungi ulang posisi saya sebelumnya, hingga pelan-pelan menjadi lebih matang ketika di UChicago, kampusnya Cak Nur, juga saya. (Dalam hemat saya saat ini, ketimbang memperbarui atau apalagi mendekonstruksi tradisi, yang lebih mendesak hari ini adalah memugar memori kita atas tradisi itu sendiri, yang mana kerja ini perlu dibarengi dengan interogasi asumsi-asumsi modern dalam diri kita yang, sering tanpa disadari, telah memengaruhi atau melahirkan bias tertentu dalam pembacaan kita atas tradisi tersebut juga atas diri kita sendiri.)
Cak Nur tidak hanya pernah hidup dalam diri saya, tetapi juga Mas J. Selepas SMA, ia sebenarnya diterima di Jurusan Kedokteran Hewan UNAIR tetapi tidak ditindaklanjuti karena sebuah alasan yang unik. Mas J memilih kuliah di UIN Syarif Hidayatullah, mengambil Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, salah satunya karena ingin mengikuti jejak Cak Nur. Ketika di Ponpes Darul Ulum, ia memang pernah bertemu Cak Nur yang kala itu diundang sebagai alumni untuk mengisi ceramah dalam peringatan Lustrum SMA kami. Ia juga mengaku pernah membaca tulisan Cak Nur ketika MTs, meskipun tak paham. Setahun kuliah di jurusan ini, Mas J tak betah. Haha. Ia pindah ke Jurusan Ilmu Perpustakaan karena ingin bisa ke luar negeri. Ceritanya, salah satu dosennya adalah lulusan University of Illinois Urbana-Champaign (UIUC), yang kadang juga bercerita tentang pelesir akademiknya ke luar negeri, Belanda misalnya. Mas J hanya membayangkan seru bisa ke AS dan Eropa, meskipun tidak spesifik untuk tujuan kuliah.
Ndilalah kersaningalah, kok ya diizinkan terjadi. Selain sudah pernah ke Eropa, Mas J benar-benar tinggal di Chicago, hanya dua jam dari lokasi kampus dosennya. Kota ini, tentu saja, adalah tempat Cak Nur kuliah dulu. Di kampus yang sama, saya sekarang dididik dan bertemu dengan guru-guru yang tanpa mereka sadari telah menuntun saya untuk “pulang” itu. Cak Nun sendiri pernah menjejakkan kakinya di kota ini, ketika ia mengikuti The International Writing Programdi Universitas Iowa pada tahun 1981, tahun di mana Cak Nur sedang menempuh studi doktoralnya. Cerita tentang kota ini juga ditemukan dalam beberapa esai CN.
Kalau kata Mas J, yang kuliah itu bukan hanya saya, dia juga. Kami memang punya banyak kegelisahan dan pertanyaan (hidup) yang senada—Mas J diwarnai oleh CN, dan saya oleh Asad dan pemahaman saya yang masih terlampau tipis atas tradisi tasawuf. Karenanya, dalam selipan obrolan tak penting laiknya suami-istri yang lebih panjang, kami sering tukar pikiran. Saya mendengarkan refleksi dan pandangan Mas J. Demikian halnya, Mas J mendengarkan cerita saya pasca kuliah, baca, atau ketika ada permenungan tertentu. Hingga baru beberapa waktu ini, ia berujar: “Jangan-jangan bahwa obrolan kita terasa menyokong satu sama lain itu ya karena ada kesenandungan frekuensi antara renungan CN dan Asad?” Saya amini penakaran Mas J ini, terutama bahwa menurut pengalaman saya sendiri, memahami proyeknya Asad membantu menghadirkan getaran yang lebih dalam dan konkret atas rasa njarem yang pernah disampaikan CN.Kok bisa demikian, ya karena rasa njarem ini juga menyebar halus dalam tulisan-tulisan Asad, seperti juga terasa dalam perbincangan ketika saya dan dua teman sowan kepadanya pada Desember 2024 lalu. Asad menyediakan framework yang membantu saya melihat kondisi dunia modern dengan lebih apa adanya, menyelidiki asumsi-asumsinya, juga merunut cerita yang mengantarkan kita sampai di titik ini. CN mendedahkan kondisi dunia modern ini, ditambah mengajarkan kearifan dan kebijaksanaan, ḥikmah. Satu paragraf ini adalah urusan yang perlu bertahun, kalau tidak berdekade, untuk bisa kami hayati dan uraikan.
Inilah kelindan ketiga dari jalan takdir saya dan Mas J. Memori kami tentang Cak Nur digariskan menjadi sepasang sayap yang membawa kami terbang ke Chicago, menapaktilasi bukan hanya perjalanan Cak Nur tetapi juga Cak Nun. Di kota ini, kami bertumbuh bersama dan memulai perjalanan pengenalan diri, sebuah perjalanan yang kami harapkan hanya usai ketika hayat tak lagi dikandung badan.
Lamunan panjang ini telah berhasil membawa kehangatan pada bulan Januari Chicago yang sangat dingin. Jombang, Cak Nun (Jogja) dan Cak Nur (Chicago): demikianlah Allah izinkan jalan takdir saya dan Mas J beririsan. (Selamat ulang tahun pernikahan, suamiku). Alḥamdulillāh ʿalā kulli ḥāl. Segala puji bagi-Nya dalam segala keadaan. Semoga Allah luaskan rahmat, ridla, dan ampunan-Nya. Āmīn.[]
____________________________________________
–Tulisan ini adalah kado ulang tahun pernikahan dari saya untuk Mas J, yang kalau kata ibu saya, saya telah menitipkan bahkan nyawa saya kepadanya.
*Saya membagi versi pendek dari renungan ini kepada Mas Irfan, yang lalu mendorong saya untuk memanjangkan dan menerbitkannya di Langgar.co. Terima kasih, Mas. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada yang berkenan membaca. Semoga ada hal baik yang bisa diambil dari renungan pribadi ini.
**Selanjutnya, bolehlah saya tambahkan catatan di sini, sehingga benang merahnya semakin utuh, tentang cerita di balik pertemuan saya dengan Mas Irfan tahun 2024 lalu, pertemuan yang bagi saya membuka beberapa kesadaran baru, satu halnya telah saya catatkan di atas. Benang merah yang akan saya ceritakan ini baru saya sadari ketika bertemu Verena Meyer di waktu yang sama. Tahun 2018, Verena–saat itu mahasiswa doktoral di Universitas Columbia, dan kini dosen di Universitas Leiden–mengontak saya, meminta bantuan dalam risetnya di Jogja. (Jangankan pembaca, saya sendiri heran mengapa, dari sekian banyak manusia di UIN Sunan Kalijaga, Verena mengontak saya. Saat itu kami belum mengenal satu sama lain) Saya menyambungkan Verena dengan beberapa orang termasuk dengan Mas Nur Khalik Ridwan. Mas Khalik menyambungkan Verena dengan Mas Irfan. Lewat Verena, Mas Irfan mendapatkan beberapa artikel Bu Nancy Florida yang dicarinya–terjemahnya telah terbit (2020). Verena juga menyambungkan Mas Irfan dengan Bu Nancy. Lantaran ketersambungan itu–dan hanya mereka yang tahu kesyukuran saling menemukan satu sama lain–Bu Nancy mengundang Mas Irfan untuk hadir dan menjadi salah satu presenter dalam acara syukuran pensiunnya di Ann Arbor, Michigan, acara yang juga dihadiri oleh Verena. Dalam kunjungan inilah, saya dan Mas J bertemu dengan Mas Irfan secara intens untuk pertama kalinya di Chicago–menginap di apartemen kami–dan di Ann Arbor. Pertemuan itu–yang, sebagaimana segala hal yang lain, terjadi dalam waktu yang tepat tidak lebih lambat ataupun lebih cepat–melahirkan obrolan-obrolan yang menjadi wasilah terbukanya pemahaman dan kesadaran baru bagi saya. Demikianlah, Allah gerakkan hati Verena pada tahun 2018 itu untuk terlahirnya rangkain pertemuan yang menumbuhkan manusia-manusia di dalamnya.