DONASI

Javanologi: Perihal Historiografi dan Kanonisasi

Mohammad Ali, seorang mantan kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan pengajar sejarah di Universitas Padjadjaran pernah mengutarakan pikirannya menyangkut penulisan sejarah dengan judul Beberapa...

LEMBAR | MONDAY, 17 JULY 2023 | 18:39 WIB

Mohammad Ali, seorang mantan kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan pengajar sejarah di Universitas Padjadjaran pernah mengutarakan pikirannya menyangkut penulisan sejarah dengan judul Beberapa Masalah Tentang Historiografi Indonesia. Tulisan tersebut menjadi tema pembuka dalam buku kumpulan tulisan ahli filologi dan sejarawan lainnya yang diprakarsai oleh Soedjatmoko tahun 1962 berjudul Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar. Dalam catatan pentingnya, Mohammad Ali mencoba menafsir ulang apa yang dimaksud dengan historiografi dalam penulisan sejarah. Ia mempersoalkan apakah objek cerita sejarah itu tetap sama sepanjang masa sehingga tidak perlu diperbaharui, atau justru objek cerita sejarah dapat berubah sehingga perlu dikoreksi dan diperbaharui. Dari pertanyaan tersebut maka muncul pengertian baru untuk memahami sejarah sebagai sebuah construct of ideas, dan ilmu-ilmu sosial lain seperti sosiologi, antropologi, filologi menjadi ilmu bantu untuk mengetahui secara utuh (objektif) dari bangunan ide (construct of ideas) tersebut. Maka lazimnya dalam metodologi sejarah, digunakan istilah rekonstruksi sebagai teori pertama untuk menulis. Terminologi rekonstruksi bertumpu pada soal penafsiran, yaitu tulisan-tulisan yang telah ada harus diperbaharui dan dilakukan penulisan kembali. Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimanakah seseorang atau sebuah bangsa menuliskan sejarahnya?

Tradisi historiografi Eropa modern terbentuk oleh tradisi ilmiah yang menyandarkan sumber sejarah pada fakta-fakta empirik. Hasil-hasil penelitian arkeologi, epigrafi, filologi, dan sejenisnya dikumpulkan guna mencari keutuhan untuk kemudian ditulis menjadi narasi besar sejarah. Dengan demikian, penulisan sejarah berkutat pada data faktual di zamannya dan membentuk corak tersendiri bagi tujuan serta fungsi dari sejarah itu. Sedangkan, tradisi historiografi Indonesia tidak terlalu menitik beratkan pada ihwal data-data empirik sebagaimana ilmuwan dan sejarawan-sejarawan Eropa, karena fungsi dan tujuannya memang berbeda. Historiografi tradisional yang banyak termaktub dalam babad dan serat-serat, lebih menitik beratkan pada visi dari sejarah untuk menggurat yang menjelang. Karenanya penulisan sejarah tidak disibukkan dan terjebak pada data faktual, sehingga fungsi sejarah akan sendirinya berorientasi pada penyingkapan masa depan sebagai realitas faktual.

Javanologi dan Proyek Historiografi Modern

Javanologi merupakan sebuah lembaga yang terbentuk dan implikasi langsung dari kekalahan pasukan Diponegoro dalam perang Jawa (1925-1930). Pemerintah kolonial Belanda yang berkuasa penuh, memiliki kepentingan agar ekspansi kekuasaannya terus berlanjut dan rakyat jajahannya bisa diperintah. Maka hal pertama yang dilakukan ialah menelisik dari “dalam” (identitas) lewat bahasa, sejarah, dan tatanan hukum. Meski penelitian tentang masyarakat Jawa sudah dilakukan sejak zaman VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), namun hasil-hasil dari penelitian tersebut baru terlembagakan di paruh pertama abad ke-19 dengan berdirinya javanologi. Periode awal berdirinya javanologi muncul ahli-ahli filologi yang khusus mengkaji bahasa dan kebudayaan. Hingga di periode-periode selanjutnya, muncul para antropolog seperti Snouck Hurgronje, dan beberapa lainnya para ahli zoologi dan botani (sebagian besarnya dari Jerman) yang mewarisi seluruh pengkaji-pengkaji Jawa sebelumnya.

 Menariknya, inspirasi pendirian javanologi muncul dari Inggris atas keberhasilannya di tanah-tanah koloni, terlebih saat berkuasa lima tahun di tanah Hindia Belanda (1811-1816). Saat itu pemerintah Inggris berhasil menelisik dari “dalam” masyarakat Hindia Belanda dengan terbitnya karya monumental History of Java karya Stamford Raffles dan History of the Indian Archipelago karya John Crawfurd. Di tahun-tahun selanjutnya (setelah berakhirnya perang Jawa), pemerintah Belanda meniru apa yang sudah dilakukan oleh Inggris dalam mendirikan sebuah lembaga penelitian modern sesuai kepentingannya. Inti dari proyek pendirian javanologi ialah usaha mengenali dari “dalam” untuk kemudian dapat didefinisikan ulang seluruh bangunan ide dan pengetahuan masyarakat jajahannya. Dengan cara demikian, masyarakat jajahan bisa dikuasai dan mudah diperintah. Kemudian di periode javanologi inilah tradisi intelektual Eropa Barat yang ilmiah empiris, bertemu dengan khazanah tradisi susastra kepujanggaan yang esoteris.

dari proyek pendirian javanologi ialah usaha mengenali dari “dalam” untuk kemudian dapat didefinisikan ulang seluruh bangunan ide dan pengetahuan masyarakat jajahannya. Dengan cara demikian, masyarakat jajahan bisa dikuasai dan mudah diperintah.

Renaissance dan Kanonisasi Sastra

Penelisikan dari “dalam” yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda terus merangsek hingga ke jantung kekuasaan, hal itu menimbulkan sikap dilematis para cendikia atau pujangga keraton. Di satu sisi kuasa kolonial semakin tidak terhindarkan dengan tunduknya raja-raja pada pemerintah Hindia Belanda, di saat bersamaan kaum pujangga harus tetap menjaga kemerdekaan diri dalam mengemban nilai moral sebagai seorang cendekia. Satu di antara dan terakhir dari kaum cendikia atau pujangga itu ialah Ranggawarsita yang mewarisi tradisi kepujanggaan dan dianggap menyentuh inti mendasar keberadaan orang Jawa. Javanologi dengan corak ilmiah-rasionalnya yang merupakan produk dari pencerahan Eropa Barat, memiliki kepentingan mengobjektifikasi wilayah esoteris keilmuan pujangga Jawa sebagai subjek penelitian. Sehingga di periode ini, dua tradisi keilmuan hidup bersamaan sekaligus bersitegang.  

 Satu di antara dilakukannya proyek objektifikasi ilmiah dunia esoteris Jawa, ialah munculnya teori dan perdebatan “renaissance sastra Jawa” yang bermula dari seorang pegawai kolonial yang bertugas mengkaji bahasa Jawa bernama Theodoor Pigeaud. Tepat di masa itu, di paruh kedua abad ke-18, aktivitas sastra di empat keraton sisa-sisa Mataram Islam mengalami perkembangan yang pesat. Selain karena faktor mulai digemarinya tinta dan kertas sebagai medium tulis di lingkungan keraton yang diimpor dari China dan Arab, faktor utamanya ialah usaha pengkanonisasi sastra dan pendefinisian ulang masyarakat Jawa sesuai dengan selera estetis dan kepentingan politis pemerintah kolonial. Dan yang pertama mendapat pengaruh itu ialah kaum priyayi dengan pola pendidikan modern Belanda. Karena pasca kekalahan pasukan Diponegoro keraton-keraton telah tunduk dan sudah tidak terhubung lagi dengan pesantren, maka Islam sebagai visi awal dan identitas penyatu mampu “dijinakkan” dan terpolarisasi seiring terus menguatnya politik pemerintah kolonial.

Karena pasca kekalahan pasukan Diponegoro keraton-keraton telah tunduk dan sudah tidak terhubung lagi dengan pesantren, maka Islam sebagai visi awal dan identitas penyatu mampu “dijinakkan” dan terpolarisasi seiring terus menguatnya politik pemerintah kolonial.

Di wilayah lain, kanonisasi sastra dan munculnya renaissance Jawa sebagai karya adiluhung (par excellence) menjadi upaya tersendiri eliminasi visi Islam, karena dianggap sifatnya yang memberontak kolonial sebagaimana perlawanan Diponegoro. Selain itu, implikasi lain ialah terpinggirkannya karya-karya sastra pesisir yang telah mewarisi terhadap kesusastraan Mataram Islam. Di saat yang bersamaan, upaya pembentukan identitas baru masyarakat Jawa dilakukan oleh pemerintah kolonial untuk menyambut dunia modern sebagaimana yang terjadi di dunia Eropa. Maka dapat dimengerti pula mengapa generasi awal hasil didikan javanologi seperti Poerbatjaraka, justru menghardik karya-karya bangsanya sendiri, terlebih karya Ranggawarsita. Sebuah potret dan penanda langsung bahwa tradisi penggubahan (penulisan kembali) karya-karya sastra dengan visi Islam telah sirna dan tergantikan oleh dunia rasional modern serta terpisah dari visi awal yang telah membentuknya. Pasca itu, Jawa modern terdefinisikan sebagai kaum terdidik dan tidak lagi mengenali identitas kediriannya secara utuh.

Menemukan Diri-bangsa

Para pemikir Eropa klasik kenegaraan seperti Thomas Hobbes menggambarkan dan mempersonifikasi sebuah negara (bangsa) sebagai subjektivitas lain dalam bentuk makro. Subjek diri mampu melihat dirinya dari cermin luar, atau dalam penjelasan Wilhelm Dilthey’s di bukunya berjudul Philosophy of Historical Understanding: A Critical Analysis sebagai verstehen (understanding), sebuah upaya untuk memahami diri dalam diri yang lain. Pengalaman dari “dalam” yang menembus jiwa dan seluruh pengalaman kemanusiaan dengan segala kompleksitasnya, yaitu menemukan “the I” dalam “the Thou” (aku dalam engkau).[1]

Javanologi di kemudian hari mengalami perkembangan yang lebih luas dan menjadi episentrum baru ilmu pengetahuan modern yang terinstitusikan untuk usahanya mendefinisikan ulang Jawa. Hingga menjelang abad ke-20 (1899), muncul kaum terpelajar dengan kecakapan berbahasa Belanda dan corak berfikirnya yang baru. Satu di antaranya ialah Kartini, seorang perempuan pribumi yang kemudian mampu mengungkapkan diri (lewat berkirim surat dengan Marie Ovink-Soer) sebagai potret dimulainya zaman baru modern, sekaligus menjadi garis pemisah dengan masyarakat sebelumnya di abad ke-19. Bila subjektivitas makro sebagaimana diungkap oleh Thomas Hobbes dalam menggambarkan dan personifikasi negara (bangsa), maka sangat mungkin Kartini mengalami penemuan diri (the I) hasil pertemuannya dengan orang Belanda (the Thou) sebagai cermin dunia modern yang sedang dihadapinya saat itu. Kartini menjadi pribadi baru yang terpelajar, modern, dan terhubung dengan orang Belanda sebagai cermin masyarakat global yang sedang terjadi. Hingga di awal abad ke-20, penemuan-penemuan diri (bangsa) terus berkembang dalam bentuk gagasan dengan lahirnya Sumpah Pemuda (1928), ide-ide pergerakan bangsa oleh berbagai organisasi politik, hingga peristiwa kemerdekaan di tahun 1945 sebagai titik pijakan baru bertemunya subjektivitas-subjektivitas makro dalam personifikasi tokoh-tokoh pergerakan.

Dengan lahirnya hari kemerdekaan di tahun 1945, historiografi yang ditulis oleh para pujangga telah membantu Indonesia mampu mengenali simpul-simpul sejarahnya sekaligus menemukan visi baru sebagai sebuah bangsa dalam perumusan bernama Pancasila. Dengannya pula, fungsi historiografi sebagai sebuah penulisan sejarah dan negara bangsa yang diwakili oleh subjek-subjek makro telah purna menuliskan diri untuk sejarah pada zamannya. Maka, historiografi perlu terus ditulis sebagai potret zaman dalam mengarungi lintasan waktu. Sehingga, subjek-subjek makro yang mewakili zamannya itu dapat kembali hadir untuk menemukan dan merumuskan ulang Diri-bangsa sebagai keniscayaan yang dihadapi sejarah. Dengan mengenali dan menemukan kedirian, sebuah bangsa tidak akan kehilangan muasalnya dan tahu arah tujuannya. Dan begitulah sebuah bangsa bisa tumbuh dan besar.

Tabik.


[1] Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah, Hlm. 6, Tiara Wacana, 2008.

1287

Mohammad Hagie

Menyelesaikan studi di ilmu sejarah Universitas Negeri Yogyakarta. Turut berperan aktif di Komunitas Kuluwung (Tasikmalaya). Tinggal di Yogyakarta, dan bekerja paruh waktu di Langgar.co

Comments are closed.