Alhamdulillah. Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Wasshalatu ‘ala rasulillahi ajma’in.
Berlaksa unggun puji syukur senantiasa tak putusnya kami langitkan kehadirat Allah swt. Juga shalawat serta salam semoga terus tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad rasulillah ajma’in. Juga saya haturkan beribu curahan rasa terima-kasih kepada Yayasan Bentala, terutama mas Alam beserta jajaran pengurus yayasan, yang telah memberi tempat dan kesempatan yang sungguh berharga ini kepada kami untuk menyampaikan semacam “Pidato Kebudayaan” dalam rangka tasyakuran milad Yayasan Bentala Tamaddun Nusantara ke-2 tahunnya.
Saya sendiri sebenarnya, untuk yang pertama, tak benar-benar yakin, apakah apa yang saya sampaikan ini bisa memenuhi defenisi, tujuan, dan maksud yang diharapakan panitia. Kedua, saya juga merasa tak terlalu pantas berdiri di hadapan hadirin sekalian, yakni dalam posisi menyampaikan serangkaian refleksi situasi kebudayaan mutakhir, apalagi terkait relasinya dengan Islam, yang sebanarnya sungguh jauh dari kapasitas saya, yang saya merasa miliki. Saya tak benar-benar tahu, kenapa panitia memilih dan menunjuk saya. Padahal betapa banyak jajaran tokoh senior dan hebat, yang telah lebih dahulu menggeluti dan melakukan kiprah nyata riil dalam ranah ini. Semoga saya yang lancang ini dan terpaksa berdiri di hadapan hadirin ini bisa menjalankan “tugas” ini. Dan semoga hadirin bisa memberi maaf dan permakluman.
***
Saya sekali lagi tak pernah setepatnya tahu, apakah membincang kebudayaan dengan pengertian dan makna luas maupun peliknya, apalagi dalam relasinya dengan Islam, di era yang dikatakan sudah mulai menjelang ke penghujung Society 5.0 ini masih relevan? Atau barangkali sebaliknya saking genting dan relevannya membincang “kebudayaan” dalam konteks paling mendasar dari kepelikan defenisi dan cakupan maknanya, justru malah membuat kita benar-benar enggan untuk menilik lagi ranah ini, lalu kita sisihkan serta kita kesampingkan istilah ini, atau bahkan kita kerutkan term besar bernama kebudayaan ini, sebagai sesuatu yang semata berpaut dengan masa lalu, tradisi, warisan adat, kesenian tradisional, benda-benda arsitektur kuno, juga warisan wejangan dan petitih moral para tetua atau sesepuh yang telah tergusur di pinggir modernitas yang tak lagi berkelindan dengan laju gerak komunikasi dan jejaring teknologi-informasi digital yang secara faktual telah menyesaki ruang hidup kita hari-hari ini.
Bagi orang seperti saya yang dengan suka-duka sering menenggelamkan diri menekuni dan menggeluti apa-apa yang sering dikenal “tradisi”, “kesusateraan lama”, atau bahkan yang sering di-cap “feodal” dan “kuno” itu, dengan tambahan sedikit “sufisme” dan “filsafat”, barangkali suara saya akan dianggap semacam sebentuk “anakronisme” yang tak lagi memiliki relavansi, alih-alih gema.
Bagi orang seperti saya yang dengan suka-duka sering menenggelamkan diri menekuni dan menggeluti apa-apa yang sering dikenal “tradisi”, “kesusateraan lama”, atau bahkan yang sering di-cap “feodal” dan “kuno” itu, dengan tambahan sedikit “sufisme” dan “filsafat”, barangkali suara saya akan dianggap semacam sebentuk “anakronisme” yang tak lagi memiliki relavansi, alih-alih gema.
Kita telah mafhum kebudayaan dengan rentang cakupannya yang sebenarnya melingkungi keseluruhan hidup kita ini, hari-hari ini tampaknya terlihat lebih fluid (cair), alias tak sepadat yang kita sangka dalam kondisi masa lalunya. Dalam jejaring dunia digital yang kita akrabi hari ini, sumber-sumber pengetahuan, cara memandang dunia, nilai-nilai, yang dalam banyak hal yang ikut mengarahkan sistem perilaku dan kebiasaan praktik tindakan kita, alias dalam derajat tertentu juga turut membentuk secara lebih mendasar kepribadian dan karakter kita (yakni sebagai semacam disposisi batin yang mengarahkan dan menuntun perilaku kita), hari ini mata air sumbernya bisa hadir dan datang dari aliran manapun. Ia lebih mirip gerak sentripetal dari sumber jejaring digital global yang men-drive sistem nilai dan perilaku anak-anak kita saat ini atau dikemudian hari. Dan bahkan dalam skala kecepatan dan percepatan pertukaran informasi dan komunikasi, yang mau tak mau, secara ruang semakain meluas, merentang, atau bahkan mengglobal, yakni dalam rangkaian perjumpaan pada lintas batas suku, bahasa, umur, agama, pengetahuan, bahkan bangsa. Atau dalam skala waktu, kita bisa melihat, terjadi arus pergantian konsumsi informasi, pengetahuan, citra, visual, teks, ikon, suara, yang datang bergantian dan terus-menerus berubah dengan kecepatan dan percepatan yang mencengangkan, mungkin para orang tua hari ini seolah seperti menyerahkan dan memasrahkan anak-anak mereka kepada aliran arus besar sungai digital global, dengan hempasan gelombangnya yang terus-menerus berganti baru dalam semesta arus pembentuk kebudayaan yang tak setepatnya kita tahu ujung muaranya mengalir kemana.
Mungkin kita, atau tepatnya saya, tak lagi bisa lagi membanyangkan sebuah simpul kebudayaan sebagai sebuah universum yang bersifat padat yang layaknya saya dapati dulu di masa kanak-kanak dan remaja saya, dimana sumber-sumber tata-nilai beserta gugus pengetahuan dan cara pandang melihat realitas hidup masih datang dari sumber lokalitas dan kearifan agama di desa saya yang relatif padu yang terangkai dalam rangkaian kebiasaan dan praktik hidup, yang memancar dan terekam secara simbolik dan metaforik dalam baju tradisi, nilai-nilai kearifan agama, kesenian, mata-pencaharian, dan adat, dll, yang secara mantap menjadi pandu yang mengarahkan secara lebih monolitik dalam semesta penafsiran dan pengatasan masalah dan kompleksitas hidup.
Namun masalahnya, dalam era arus keterhubungan teknologi dan informasi digital global hari ini perjalanan kebudayaan bangsa ini, setidaknya hingga detik ini saya merasa, tak pernah berjalan dalam jalur yang semata “linier”. Ada patahan dan bahkan seperti yang disebut Umar Khayam sebagai “keterbelahan” baik di level struktur pandangan dunia, individu, nilai-nilai, maupun kebijaksanaan hidup, atau bahkan praktik kebiasaan hidupnya yang masih terekam dalam praktik tradisi-adat, beserta nilai dan pengetahuan yang melambarinya, yang terus saja menginterupsi yang secara sayup-sayup dan masih saja bergema secara lirih, dalam pertemuannya dengan modernitas hidup yang telah membentuk tata kehidupan modern kita sebagai sebuah bangsa: seperti nilai demokrasi yang mengkerangkai kita sebagai negara-bangsa, sistem keilmuan sains yang menubuh dalam sistem pendidikan formal, ataupun rasionalitas positif ilmiah yang relatif memandu sistem dan tindakan politik, ekonomi, kesehatan, tata-pemerintahan hingga level desa (setidaknya dalam bentuk formalnya), atau juga bahkan hingga norma modern yang mengatur kita dalam praktik kebiasaan relasi hidup sehari-hari, hingga nilai-nilai modern seperti emansipasi, HAM, gender, toleransi, multikulturalisme, sistem ekonomi kapitalisme, dan lain-lain dimana prinsip-prinsip seruan moralnya sulit kita abaikan dan kesampingkan.
Nalar pandangan dunia agama beserta kearifan nilainya yang menubuh dalam tradisi dan kebiasaan, yang dalam kasus Indonesia, saya kira, Islam punya sumbangsih nyatanya, yang juga dalam banyak hal sebenarnya berseberangan dengan nalar sains dan rasionalitas modern, masalahnya, masih saja terus-menerus hidup beriringan dan berdampingan, yang dalam derajat tertentu kadang berdiri secara vis-avis dengan spirit imperatif “nalar ilmiah-positif” yang dibawanya maupun spirit “gerak maju ke depan” atau progresifitas maupun linieritasnya, maupun aspek “sekularisme sejarah”-nya seperti dindaikan dalam tubuh dan prinsip modernitas itu sendiri. Tak aneh misalnya kita mendapati, institusi pendidikan informal seperti pesantren tradisional dengan skema timbunan pengetahuan yang melabrak aspek nalar ketat positif-scientific maupun materilistik-nya sains yang menyangga bangun formal pranata kelembagaan masyarakat modern kita masih saja bertahan, ataupun juga kita masih bisa menyaksikan praktik penyelenggaraan tradisi maupun nilai-nilai kearifannya yang masih terus memancar, meski sayup-sayup, yang sekali lagi terus mewartakan gagasan pandangan dunia, yang menyeru kepada dan mengarahkan orang kepada cara pandang kemanusiaan yang tak terpisah dari bingkai ketuhanannya, (alias berseberangan dengan prinsip humanisme sekuler), maupun cara pandangnya yang menawarkan bingkai kehidupan kemanusiaan yang tak semata memperlakukan alam sebagai obyek eksploitasi dan bahkan menempatkannya sebagai sesuatu yang sakral yang memang dalam titik tertentu bertabarakan dengan prinsip rasionalitas intrumentalistik-materialistik dan prinsip obyektifikasi alam seperti yang didengungkan prinsip subyek dan gagasan individualisme yang menyangga bangun modernitas.
Atau barangkali juga kita masih bisa menyaksikan dan merasakan bagimana kearifan dan tradisi beserta nilai-nilainya yang terserap dalam dunia keseharian, seperti gotong-royong dan kerukunan, yang saya duga masih berakar kuat dalam struktur pandangan dunia lama tradisi dan dan nilai-nilai kearifan agama yang menubuh di dalamnya, masih menjadi penyangga bangun utama persatuan Indonesia misalnya, alih-alih daripada faktor nalar dorongan nalar citizenship atas prinsip ketaatan hukum positif, sebagai wajah pelembagaan nalar sains yang terselenggara di negeri modern ini. Atau juga barangkali penyelenggaran dan perayaan tradisi yang terus saja (masih diusahakan) diselenggarakan, yang dalam kasus Indonesia selalu saja tidak dipisahkan dari bangun struktur nilai-nilai agama yang membingkainya, maupun juga segudang perayaan dan pergelaran kultural-informal, layakanya pengajian massal bernuansa kultural, pengajian majlis-majlis agama, maupun pagelaran tradisi yang dalam sekala masal dan kolosal masih berdenyut dan seolah berusaha mengelak dari “ritme” jam kerja masyarakat industrial, maupun kesadaran waktu linier dan kosmologi positif yang digariskan yang dituntut oleh kerangka produktivitas kerja modern maupun nalar pengejaran materialistiknya, alias menuruti langgam pencarian dasar kenyataan ontologi terkait realitas yang ditemukan di dasar kenyataan realitas semesta terdasar bernama materi.
Dari sejak era polemik Kebudayaan di tahun 1930an, Surat Kepercayaan Gelanggang 1950, ataupun geger Manifes Kebudayaan di tahun 1963, dan bahkan hingga era keterbukaan informasi hari ini, saya merasa, kita sebagai sebagai bangsa tak pernah kunjung menemukan rumusan dan tawaran final atas keterbelahan “kebudayaan” kita (sebut saja begitu): antara di satu sisi ingin terus terhubung, atau setidaknya masih terus dihantui dan digelayuti denyut kearifan tradisi masa lalu dan struktur pandangan dunia lama yang hingga hari ini masih terus-menerus bertahan, bahkan masih menyangga bangun kedirian dalam gradasi tertentu bangsa ini, maupun di sisi yang lainnya sebuah dorongan untuk menatap dan menyongsong dan menjemput ketertinggalan menuju masa depan yang telah digariskan “pusat” tata modernitas global yang imperatif nilai-nilainya bahkan telah menjadi matra dan seruan yang beredar dalam bahasa formal tata kelembagaan modern kita maupun telah menjadi cakapan informal dalam keseharian biasa hidup kita.
Atau barangkali saya salah. Di era jejaring teknologi-informasi global yang telah menyesaki ruang hidup keseharian kita hari ini, seperti yang telah saya singgung sebelumnya, kita tak lagi bisa secara naif mengandaikan adanya pusat tunggal yang sering kita acu sebagai simbol dan titik pusat modernitas, yang kita sering tunjuk ke batang hidung Eropa maupun Amerika, dimana cahaya pusat modernitas itu bermula dan memendar secara sentrifugal merata kepada wilayah bagian lain di dunia. Dengan keterhubungan global teknologi-informasi digital ini, justru pendaran pusat ini juga ternyata ikut melecut pusat-pusat “kebudayaan-kebudayaan” baru, sebagaimana telah berlangsung, dan saya kira akan terus berlanjut kepada pendar-pendar pusat baru yang terus akan bertumbuh. Dan saya kira di titik ini pula, jangan-jangan membincang tradisi dan kearifan, struktur pandangan dunia lama, dimana Islam dalam kasus bangsa Indonesia juga ikut menyumbangkan kontribusinya, utamanya terkait kearifan yang kita warisi, saya kira, justru akan mendapat dan mendaratkan relevansi dan signifikansinya.
***
Sejauh saya mengakrabi tradisi, terutama di Jawa, yang kemudian dibelakang hari memendar dan memproyeksi secara pelan ke wilayah lain di Indonesia, yakni dalam pengertian dengan segenap kompleksitas warisan sejarah, kesusateraan, kearifan, maupun nalar falsafah yang menyangga bangun struktur pandangan dunia lamanya, saya merasakan, bahwa Islam, terutama sufisme, telah memberi kontribusi secara mendasar dan revolusioner bangun struktur pandangan dunia tersebut. Tentu, saya mengakui, ada pertemuan dan perjumpaan kreatif atas warisan kebudayaan dan cara pandang lama seperti yang dibawa oleh Hinduisme dan Budhisme, atau mungkin warisan sistem kepercayaan yang ada di wilayah ini di waktu yang lampau, namun gagasan metafisika sufisme (Islam dalam kerangka integralnya), saya kira, mampu menyediakan arus besar yang memungkinkan berbagai jenis aliran tersebut bertemu di suatu aliran cara pandang baru yang mengarahkan pada gagasan tentang kesatuan hakikat hidup terkait ketunggalan realitas atau yang sering dikenal pada terms tasawuf sebagai “wahdatul wujud” atau juga disebut “tauhid wujud”.
Sejauh saya mengakrabi tradisi, terutama di Jawa, yang kemudian dibelakang hari memendar dan memproyeksi secara pelan ke wilayah lain di Indonesia, yakni dalam pengertian dengan segenap kompleksitas warisan sejarah, kesusateraan, kearifan, maupun nalar falsafah yang menyangga bangun struktur pandangan dunia lamanya, saya merasakan, bahwa Islam, terutama sufisme, telah memberi kontribusi secara mendasar dan revolusioner bangun struktur pandangan dunia tersebut.
Gagasan metafisika ini, sependek telusur saya atas warisan kesusaterasan lama tersebut, yang sebenarnya juga turut terpancar nilainya dalam keragamaan adat, kesenian, dan tradisinya, seolah ingin menegakkan proses dan pengajaran penyempurnaan capaian berkemanusiaan masyarakat Nusantara saat itu. Tokoh semisal Hamzah Fansyuri di Sumatera, Abdurrauf Asyingkili di Aceh, Sunan Kalijaga, Ranggawarsita di Jawa, Hasan Mustapa di Sunda, Raja Ali Haji di Riau, untuk mengambil beberapa contoh, saya tangkap, sebenarnya hanya ingin menyorongkan satu gagasan kesempurnaan dan keutuhan terkait proses menjadi manusia, atau terkait proses “berkemanusiaan” dengan idiom-idiom yang beraneka, seperti “insan kamil”, “janma utama” “manusia budiman”, dll. Gagasan-gagasan pengutuhan proses “kemanusiaan” ini selalu harus dindaikan dari prinsip ketunggalan realitas hidup dan kenyataan ini (sebagaimana saya singgung sebelumnya), yakni bahwa pada dasar ontologis ruhaniah kemanusiaan kita selalu terhubung dengan realitas ketuhanan, dan hanya titik pijak keterhubungan dengan “Yang Maha Sempurna” inilah proses “berkemanusiaan” ini juga mendapat pendasaran bangun universalitasnya, namun secara serentak juga mengakui ruang dialektika partikularnya sebagai manusia yang memang ditakdirkan (oleh Tuhan) lahir di ruang, bahasa, wilayah, bangsa, dan kondisi geografi, budaya, dan lingkungan alam yang spesifik.
Dari para tokoh ini, kita diajari, bahwa salah satunya cara yang mengutuhkan proses berkemanusiaan manusia Nusantara ini adalah dengan cara mengenali kenyataan realitas “kedirian” kita sendiri yang memang terhubung dengan realitas ketuhanan, yang merupakan titik segala sumber kenyataan realitas hidup jagad-semesta ini, yang dibahasakan secara beragam dan beraneka dengan istilah “mawas diri” (alias mengawasi diri sendiri), atau “mulat sarira” (melihat diri) seperti dikenal dalam istilah ilmu ma’rifat Jawa, atau “man arafa nafsah” (mengenali diri) dalam kasus Hamzah Fansyuri dan Abdurrauf Singkili, atau juga dalam istilah “pangawikan pribadi”-nya (mengetahui diri) Ki Ageng Suryomentaram, dll. Cara pengenalan diri, atau katakanlah proses pengenalan dan juga proses pengutuhan potensi kemanusiaan ini, berlangsung seturut tahapan jenjang menaik perjalanan kehidupan manusia itu sendiri, yakni dari sejak ia lahir, muda, dewasa, tua, hingga maut menjemput (alias seturut perjalanan jenjang kehidupan manusia ini), yang sering dibahasakan dengan konsep “sangkan paraning dumadi” seperti dibahasakan oleh Sunan Kalijaga di “Suluk Linglung”-nya (Innalillahi wa inna ilaihi raji’un). Kita berasal dari realitas tunggal Tuhan, dan akan kembali pada realitas tunggal tersebut.
bahwa salah satunya cara yang mengutuhkan proses berkemanusiaan manusia Nusantara ini adalah dengan cara mengenali kenyataan realitas “kedirian” kita sendiri yang memang terhubung dengan realitas ketuhanan, yang merupakan titik segala sumber kenyataan realitas hidup jagad-semesta ini, yang dibahasakan secara beragam dan beraneka dengan istilah “mawas diri” (alias mengawasi diri sendiri), atau “mulat sarira” (melihat diri) seperti dikenal dalam istilah ilmu ma’rifat Jawa, atau “man arafa nafsah” (mengenali diri) dalam kasus Hamzah Fansyuri dan Abdurrauf Singkili, atau juga dalam istilah “pangawikan pribadi”-nya (mengetahui diri) Ki Ageng Suryomentaram, dll.
Rentang perjalanan kehidupan hidup manusia tersebut, dengan tahapan dan tantangan di tiap fase umur kedewasaannya, oleh karenanya dikatakan merupakan sebuah “perjalanan” kemanusiaan, yang tak semata bersifat evolusionistik ansih, alias semata perjalanan ragawi-kognitif-afektif-psikomotorik dalam pengertian biologisnya, melainkan sebuah perjalanan ruhaniah kemanusiaan itu, yang oleh karena sering disebut dalam istilah “lelakon” (baca: laku, mlaku, lelaku, perjalanan ruhani) atau dengan istilah lain yang juga telah diserap dalam istilah Indonesia maupun di Jawa bernama “Suluk” (perjalanan ruhani), yang kita tahu telah menjadi salah satu genre terbesar kesusateraan tembang “macapat” Jawa maupun merujuk nada liukan tembang yang disenandungkan oleh seorang Dalang wayang kulit Jawa, yang saya kira juga merekam perjalanan besar ruhani kemanusiaan tersebut: dari sejak “mijil” (lahir) hingga “pucung” (dipocong saat maut menjemput).
Dan saya pikir, proses perjalanan kematangan ruhani berkemanusiaan ini pula kita tersambung dan terpaut lagi dengan gagasan penting dan besar dengan istilah bernama “kebudayaan”, yang memang sebenarnya dari sejak istilah ini berakar dalam tradisi, sebenarnya terus saja mendengungkan prinsip “kematangan ruhani tersebut”, yang seiring proses modernisasi maupun penubuhan pendidikan sains ilmiah di sekujur lembaga institusi pendidikan, maupun pada pranata politik, ekonomi, pemerintahan, maupun bahkan pranata budaya kita, visi ruhani tersebut sekarang kita abaikan, atau bahkan sering kita pinggirkan, sebagai suatu konsep jadul yang tak lagi memiliki relavansi dalam semesta berkembangnya nalar positif-ilmiah-instrumentalistik, yang memang pada prinsip dasar ontologinya menggusur keterhubungan realitas material kehidupan kita ini dengan realitas Tuhan.
***
Sejauh lacakan saya terkait term “budaya” dalam khasanah tradisi, kata atau istilah ini sering atau bahkan selalu tampil dalam bentuk kata kerjanya: “ambudi daya” atau dalam kata “budya” yang sebenarnya berkembang, dalam kasus Jawa, di era Jawa masa pertengahan (abad 16-19), alias kita tidak menemukan kata kerjanya di masa Jawa Kuno (dimana pada kamus “Jawa Kuna”-nya Zoetmoelder kita hanya menemukaan kata Buddhi sebagai kata benda), atau dalam bahasa lain, ia merupakan term yang telah dipercanggih oleh kedatangan sistem pandangan dunia baru (Islam) untuk menyorongkankan sebuah gagasan baru yang telah diperkembangkan. Dalam kasus ini, di dalam Serat Wedhatama misalnya, sebagai contoh, kita bisa menemukan kata “budya” atau “amasah mesu budi” yang intinya usaha untuk “men-daya-kan budi” kemanusian kita (baca: budi dan daya). “Budhi” atau “Budi” di sini bukan hanya merujuk akal pikiran semata, alih-alih semata otak fisik, melainkan justru menunjuk keseluruhan kesatuan fakultas jasadi-ruhani manusia yang berjumlah empat, yakni (1) Raga/Karsa alias kehendak dan keinginan, (2) Cipta/Kalbu, fakultas pikiran, imajinasi dan daya ciptanya, (3) Jiwa, tempatnya niat, tekad, dan dorongan terdalam, dan yang ke-(4) Rasa, fakultas estetik dan dorongan empati moral yang terdalam.
Jadi berbudaya atau berkebudayaan adalah merujuk pengertian di atas adalah mendayakan, mengembangkan, mengasah, dan mengolah potensi kemanusiaan kita yang berjumlah empat: Raga (Karsa), Cipta, Jiwa, dan Rasa kita. Jika kita telah sering mengenal defenisi Budaya sebagai hasil Cipta, Karsa, Rasa manusia sebagaimana dikatakan Koentjaraningrat, maka sebagai kata kerja, berbudaya dalam visi tradisinya adalah mengolah potensi Jasadi-ruhani (alias bersifat lahir-batin) fakultas atau potensi kemanusiaan kita, yakni Cipta, Karsa (Raga), Rasa, dan ditambah Jiwa (alias kata Jiwa masih disertakan) untuk mencapai puncak tertinggi potensi kemanusiaan itu sendiri. Pada visi struktur pandangan dunia lama, ia masih memandang dan menekankan proses pengolahan potensi kemanusiaan tersebut sebagai usaha mengenali dan mengasah realitas kedirian kemanusiaannya ini yang di dasar potensi terdalam kemanusiaannya ia terhubung dengan realitas ketuhanan, alias masih meneropong proses berkemanusiaan ini dari visi ruhani ketuhanannya.
Jadi berbudaya atau berkebudayaan adalah merujuk pengertian di atas adalah mendayakan, mengembangkan, mengasah, dan mengolah potensi kemanusiaan kita yang berjumlah empat: Raga (Karsa), Cipta, Jiwa, dan Rasa kita. Jika kita telah sering mengenal defenisi Budaya sebagai hasil Cipta, Karsa, Rasa manusia sebagaimana dikatakan Koentjaraningrat, maka sebagai kata kerja, berbudaya dalam visi tradisinya adalah mengolah potensi Jasadi-ruhani (alias bersifat lahir-batin) fakultas atau potensi kemanusiaan kita, yakni Cipta, Karsa (Raga), Rasa, dan ditambah Jiwa (alias kata Jiwa masih disertakan) untuk mencapai puncak tertinggi potensi kemanusiaan itu sendiri
Jadi usaha mendayakan Cipta, Karsa, Rasa, dan Jiwa ini oleh Serat Wedatama dikatakan juga merupakan sebuah “laku” (olah berpuncak ruhani) yang terhubung secara berjenjang-menaik dengan tahapan perjalanan kemanusiaan seperti dalam pengertian sufismenya bernama “Suluk” yang bergradasi dari: (1) Syari’at, (2) Tarikat, (3) Hakikat, dan (4) Ma’rifat. Atau bahkan secara literal dikatakan bahwa olah budi atau mendayakan budi ini, alias proses berbudaya ini, dikatakan dengan term: Sembah Raga (Karsa), Sembah Cipta, Sembah Jiwa, dan Sembah Rasa, sebagai konsep keterhubungan ruhani dalam simbolisasi ibadah berkemanusiaan maupun sebagai padanan jenjang tahapan Suluk yang telah disebutkan.
Oleh karenanya secara singkat dikatakan, proses berbudaya atau proses berkebudayaan adalah juga secara serentak sekaligus proses berkemanusiaan; Sebuah proses untuk mengutuhkan dan menga-aktualkan seluruh potensi yang dimiliki manusia, yang memang secara fitrah kemanusiaannya, selain di satu sisi pada realitas terdalam kemanusiaannya tersambung dengan realitas ketuhanan, maupun di sisi yang lain secara fitrah kemanusiaannya memang berkecenderungan menuruti dorongan terberi dalam diri terdalamnya bernama keindahan, kebaikan, kebenaran, dan kesempurnaan, bahkan sebelum ia memiliki dan menganut agama tertentu.
Tahapan mengolah potensi kemanusiaan tersebut (alias berbudaya) seperti digariskan dalam tradisi, dimulai dari mengolah potensi dorongan kehendak & raga, serta pendisiplinan dorongan naturalnya, dalam memperkembangkan skil dan kecakapan dalam berbahasa, berjalan, beradaptasi dengan peradaban material dan nilai yang terwarisi, dll, yakni melalui pandu awal terkait baik-buruk dan hitam-putih yang menuntun perkembangan kedewasaan seseorang (syari’at), juga mengasah daya-cipta untuk memperkembangkan temuan, inovasi, ilmu, teknik, serta pendalaman lanjut akan nilai-nilai kebenaran yang lambat laun akan terpahami rasionalisasinya (tarikat), serta olah meluruskan niat, menebalkan tekad, dan keyakinan serta kesesuainnya dengan tindakannya pada hakikat terdalam hidup dengan visi jangka panjangnya ini hingga alam akhirat (hakikat), hingga melatih dan memperkembangkan kepekaan estetika dan empati moral, hingga hakikat “rahsa” hidup yang mengantarkan pada nilai sublim hidup hingga puncak yang menyibakkan misterinya secara bertahap dalam perjalanan kemanusiaannya (ma’rifat).
***
Visi berkebudayaan sebagai proses berkemanusiaan, seperti dijelaskan sebelumnya, oleh karenanya sebenarnya bisa menjadi simpul yang menjembatani dari prinsip-prinsip keagamaan, terutama Islam, yang wajahnya hari ini di satu sisi menjauh dari proses berkemanusiaan seturut fitrah ruhani tersebut, atau di sisi yang lain menyatukan kembali prinsip agama yang juga telah terlanjur berdiri terpisah dari visi “budaya” dan proses berkebudayaan yang sebenarnya merupakan sesuatu yang inhern dalam bangun ajaran agama ini. Selain itu juga gagasan berkemanusiaan yang berpijak pada prinsip ketuhanan ini juga bisa menjadi penyeimbang gagasan Humanisme Sekuler yang pada derajat tertentu memilik kecenderungan terutama seperti dalam rekam historis kemunculannya sebagai prinsip yang melawan, menegasi dan menggusur agama, alias secara vis a vis selalu berdiri berlawanan, dan selalu berusaha memukul mundur agama di ruang prifat dan pinggirnya.
Juga sebenarnya ujung dari seluruh rangkaian kearifan (baca: ngilmu) ihwal proses berkemanusiaan atau proses berbudaya (olah-budi) ini, saya rasa, hanyalah ingin mengantarkan manusia Nusantara ini kepada capaian olah budi tertingginya; alias sebenarnya merujuk kepada manusia yang mencapai budi puncaknya, atau tercermin dari kata “budiman”, yakni seorang dengan ketinggian “akhlak” dan “budi-pekerti”-nya. Yakni capaian kemanusiaan yang telah mengenali, menggali, potensi kemanusiaan hingga realitas terdalamnya, dan bahkan telah bisa mengaktualkan potensi terdalam tadi dalam kenyataan, alias telah mengenali “Jati-diri” (kesejatian reaslitas dirinya), bahkan ia telah mewujudkan kesejatian realitas dirinya tadi menjadi tergelar dan memendar nyata dalam kenyaataan kongrit semesta ini, alias telah menegakkan kedirian tersebut (baca: kedaulatan diri) yang pendaran kesejatiaan realitas terdalamnya tadi ikut menerangi semesta luas di sekilingnya. Sebuah kualitas kemanusiaan yang telah “men-diri” (baca: mandiri), yang telah berhasil menegakkan dan berdaulat atas dirinya maupun telah bisa menyelaraskan cipta, karsa, rasa, dan Jiwanya dalam rangka menebar rahmat bagi semesta seluruhnya. Memangun Hayuning Bawana. Rahmatan lil Alamin.
Juga sebenarnya ujung dari seluruh rangkaian kearifan (baca: ngilmu) ihwal proses berkemanusiaan atau proses berbudaya (olah-budi) ini, saya rasa, hanyalah ingin mengantarkan manusia Nusantara ini kepada capaian olah budi tertingginya; alias sebenarnya merujuk kepada manusia yang mencapai budi puncaknya, atau tercermin dari kata “budiman”, yakni seorang dengan ketinggian “akhlak” dan “budi-pekerti”-nya.
Penjelasan saya berkait proses berkebudayaan di atas, dimana manusia memperkembangkan potensi jasadi hingga puncak potensi ruhani kemanusiaannya, yakni untuk menuruti dorongan fitrahnya ke arah kebaikan, kebenaran, dan keindahan, sebenarnya sungguh merupakan proses beragama itu sendiri sebagaimana dikatakan di dalam Surat Ar-Rum (30), dimana Islam hadir hanya ingin mengafirmasi dan membenarkan kecenderungan fitrah dasar kemanusiaan tersebut, dan bahkan Islam hanya merupakan pandu untuk mewujudkan fitrah kemanusiaan tersebut tergelar dalam realitas hidup, dan oleh karenanya gerak berkemanusiaan seperti inilah yang dipandang sebagai “agama yang lurus” (dinul qayyim). Dalam visi ini, Islam sebenarnya adalah ajaran ihwal proses berkemanusiaan atau bahkan ia merupakan sebentuk ajaran proses berkebudayaan (olah potensi jasadi-ruhani kemanusiaan) itu sendiri.
Seseorang yang telah menundukkan, mengatasi, melampaui dorongan naturalnya (nature), alias dorongan nabati dan hewaninya, yakni mengatasi keterbelengguan pada dorongan jasadiyah-material kemanusiaannya, alias telah melampaui fase kemanusiaan “basyariyyah”-nya, akan dengan sendirinya bisa meningkatkan dan mendayakan kualitas kemanusiaan untuk capaian kebenaran, keindahan, dan kebaikan yang lebih tinggi dari dorongan fitrahnya (culture), alias ia secara bertahap telah bisa memperkembangkan potensi kemanusiaannya tertinggi puncaknya, alias capaian kemanusiaan “insaniyyah”-nya. Manusia seperti ini, setelah berhasil mengenali realitas terdasar kediriannya (man arafa nafsah) dan bahkan telah mampu menggelar realitas terdasar itu memancar keluar, yakni dengan cara berperang dalam usahanya mengatasi kecenderungan natural, dan berhasil memenangkan pertarungan tersebut dalam mengaktualkan potensi fitrah dorongan kemanusiaan luhur yang inhern di dalam dirinya (proses mengolah budi-ruhaninya), saya kira, pada dasarnya sebenarnya adalah manusia yang telah menegakkan “kedaulatan” dirinya. Alias ia telah bisa menegakkan “alif kedirian”, sebut saja begitu, dan karenanya telah siap menjadi sumbu tegak (jumeneng) yang memancarkan rahmat bagi semesta seluruhnya (khalifatullah), apapun agamanya.
***
Apa yang saya katakan ini barangkali, sebenarnya hanya mengulang apa yang dulu dikatakan dalam “Suluk Lokajaya”-nya Sunan Kalijaga, atau juga dikatakan dalam “Serat Sastra Gendhing”-nya Sultan Agung dengan apa yang disuratkan dengan istilah Indah bernama: “sastra alif”, sebuah khasanah pengetahuan yang mengajari proses menegakkan “alif kemanusiaan” kita, sebagaimana huruf pertama abjad Arab itu tersirat juga tertera di rajah kertas yang dipakai oleh sosok Sosrokartono dalam menyembuhkan pasien-pasiennya.
Nah barangkali setelah uraian berlarat dan ngelantur saya terkait proses berkebudayaan sebagai proses berkemanusiaan, atau bahkan sebagai proses berketuhanan itu, kearifan yang saya kemukakan bisa memberi teropong baru bagi realitas kehidupan kita hari ini, yang saat ini memang telah secara faktual terhubung secara global melalui perangkat digital teknologi-informasi yang hiruk-pikunya kita rayakan dengan gelegar euforia yang membuncah di hari-hari ini. Jika kita andaikan realitas jejaring komunikasi-informasi digital global hari ini telah memecah kepaduan sumber-sumber pembentuk kebudayaan lama dalam banjir besar arus keterombang-ambingan informasi-komunikasi global dalam rangkaian perubahan dan pergantiaan informasi yang begitu mencengangkan, barangkali sebentuk khasanah pengetahuan yang telah saya urai dan sodorkan tadi, bisa memberi insight baru yang lebih kokoh dan mengukuhkan. Barangkali dalam jalur arus perubahan ini, strategi kebudayaan, katakanlah berskala nasional, tidak lagi seharusnya diarahkan semata pada “pelestarian” pada tingkat bentuk dan wujud wadag kekayaan kesenian dan tradisi kita semata yang justru mengarah pada gerak involusi, melainkan juga harus bergerak mendinamisirnya seturut logika arus perubahan dan ketersambungan global yang tak mungkin lagi dihindari, maupun dalam bentuk canggihnya berusaha menyesap dan mengilmui kembali khasanah kearifan tadi untuk kebutuhan masa depan dalam arus keterbukaan kreatif yang menguatkan fondasi berkemanusiaan kita sebagai sebuah bangsa.
Barangkali dalam jalur arus perubahan ini, strategi kebudayaan, katakanlah berskala nasional, tidak lagi seharusnya diarahkan semata pada “pelestarian” pada tingkat bentuk dan wujud wadag kekayaan kesenian dan tradisi kita semata yang justru mengarah pada gerak involusi, melainkan juga harus bergerak mendinamisirnya seturut logika arus perubahan dan ketersambungan global yang tak mungkin lagi dihindari, maupun dalam bentuk canggihnya berusaha menyesap dan mengilmui kembali khasanah kearifan tadi untuk kebutuhan masa depan dalam arus keterbukaan kreatif yang menguatkan fondasi berkemanusiaan kita sebagai sebuah bangsa.
Strategi kebudayaan oleh karenanya yang paling memungkinkan dilakukan, adalah strategi pematangan diri kemanusiaan manusia Indonesia, dimana kearifan tradisi beserta struktur pandangan dunia agama yang terjalin indah di dalamnya, akan menjadi salah satu alternatif dalam arus pertemuan, keterbukaan, dan dialog dengan arus pemikiran, informasi, bahkan ideologi dunia yang justru, dalam prinsip keterbukaan dan prinsip kebebasan ini, saya yakin warisan akar kearifan tradisi yang sebenarnya masih menyangga bangun ke-Indonesiaan ini akan tampak lebih istimewa (justru dikarenakan oleh arus pertemuan dan pengenalannya dengan “yang lain”), yang dengan kekuatan tertentu akan menggeret proses berkebudayaan maupun proses berkemanusiaan manusia Indonesia yang tak melapaskan diri dari akar visi ruhani ketuhanannya.
Dalam kasus proses kita “menjadi Indonesia”, atau dalam kata lain dalam sudut arah perjalanan kebudayaan bangsa, warisan kearifan tradisi yang telah saya singgung, yang sebenarnya saya kira masih merembesi struktur pandangan dunia masyarakat kita dalam derajat tertentu, bisa menjadi titik simpul ajaran, hikmat, dan kebijaksanaan, yang menyorongkan kearifan akan arah pengenalan realitas terdasar kemanusiaan kita (mulat sarira) maupun sebagai pandu bagi proses berkemanusiaan manusia Indonesia (sila 2) yang masih bertopang dan bertumpu pada prinsip ketuhanan (sila 1) sebagai sumber realitas terdalam itu. Dengan panduan olah berkebudayaan seperti inilah manusia Indonesia akan mampu mengatasi dan melampaui kecenderungn natural nafsu, kepentingan, dan kebenaran egotisnya, dan memapu mengambil dari sudut kebenaran yang lain, yang memungkinkannya melampaui perbedaan dan secara serentak bergerak menuju kesamaan, kesepahaman, kesatuan dan, dan persatuan (sila ke-3). Pelampauan kecenderungan natur kita untuk memburu kesenangan, kemenangan, kebenaran diri sendiri dan kelompoknya ini harus diatasi dengan mekanisme permusyawaratan (sila ke-4) yang menyurutkan keinginan “menang sendiri”, “benar sendiri”, “sekehendaknya sendiri” dalam pandu hikmat dan kebijaksaan dan kearifan yang telah melampui sekaligus mempertinggi derajat dan jenjang kebenaran partikular, individu, maupun kelompok tertentu, yang akan mengantarkan pada kondisi “adil bagi diri sendiri” pada level individu (proses berkemanusiaan pada sila ke-3) yang merupakan pra-syarat penting bagi keadilan seluruh rakyat Indonesia (sila ke-5).
Ringkasnya dalam semesta terombang-ambingan informasi-komunikasi global yang katanya berada pada penghujung Society 5.0 ini, kearifan visi tradisi bisa membantu proses pematangan diri manusia Indonesia yang terus terhubung dengan akar yang menyangga bangun kediriannya, yang membantu proses pertumbuhan batang, ranting, dan daun pohon kemanusiaan manusia Indonesia kita yang menjulang tinggi dalam pertemuan dialog kreatif dengan arus kebudayaan dunia yang akan mengukuhkan tegaknya “alif kedirian” manusia Indonesia, alias telah “men-diri” dan mencapai kedaulatan bangsa, baik di ranah politik, ekonomi, dan kebudayaan kita, yang sejatinya hanya merupakan pancaran rekam jejak proses keutuhan kita dalam proses menjadi manusia. Dan, akhir kata, barangkali memang kebenaran itu mungkin tidak datang dari barat ataupun timur, yakni sebenarnya ia bisa menyapa siapapun yang tanpa letih memperkembangkan laku berkemanusiaan pada puncak tertinggi ruhani capaian kemanusiaan universalnya.
Cepokojajar, 25 September 2021
(Tulisan ini disampaikan dalam “Pidato Kebudayaan” pada acara ultah Yayasan Bentala Tamaddun Nusantara ke-2, Yogyakarta, 26 Sepetember 2021)