Menu

Kebudayaan: Visi Kemanusiaan dan Ketuhanan

Alhamdulillah. Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Wasshalatu ‘ala rasulillahi ajma’in.

Berlaksa unggun puji syukur senantiasa tak putusnya kami langitkan kehadirat Allah swt. Juga shalawat serta salam semoga terus tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad rasulillah ajma’in. Juga saya haturkan beribu curahan rasa terima-kasih kepada Yayasan Bentala, terutama mas Alam beserta jajaran pengurus yayasan, yang telah memberi tempat dan kesempatan yang sungguh berharga ini kepada kami untuk menyampaikan semacam “Pidato Kebudayaan” dalam rangka tasyakuran milad Yayasan Bentala Tamaddun Nusantara ke-2 tahunnya.

Saya sendiri sebenarnya, untuk yang pertama, tak benar-benar yakin, apakah apa yang saya sampaikan ini bisa memenuhi defenisi, tujuan, dan maksud yang diharapakan panitia. Kedua, saya juga merasa tak terlalu pantas berdiri di hadapan hadirin sekalian, yakni dalam posisi menyampaikan serangkaian refleksi situasi kebudayaan mutakhir, apalagi terkait relasinya dengan Islam, yang sebanarnya sungguh jauh dari kapasitas saya, yang saya merasa miliki. Saya tak benar-benar tahu, kenapa panitia memilih dan menunjuk saya. Padahal betapa banyak jajaran tokoh senior dan hebat, yang telah lebih dahulu menggeluti dan melakukan kiprah nyata riil dalam ranah ini. Semoga saya yang lancang ini dan terpaksa berdiri di hadapan hadirin ini bisa menjalankan “tugas” ini. Dan semoga hadirin bisa memberi maaf dan permakluman.

***

Saya sekali lagi tak pernah setepatnya tahu, apakah membincang kebudayaan dengan pengertian dan makna luas maupun peliknya, apalagi dalam relasinya dengan Islam, di era yang dikatakan sudah mulai menjelang ke penghujung Society 5.0 ini masih relevan? Atau barangkali sebaliknya saking genting dan relevannya membincang “kebudayaan” dalam konteks paling mendasar dari kepelikan defenisi dan cakupan maknanya, justru malah membuat kita benar-benar enggan untuk menilik lagi ranah ini, lalu kita sisihkan serta kita kesampingkan istilah ini, atau bahkan kita kerutkan term besar bernama kebudayaan ini, sebagai sesuatu yang semata berpaut dengan masa lalu, tradisi, warisan adat, kesenian tradisional, benda-benda arsitektur kuno, juga warisan wejangan dan petitih moral para tetua atau sesepuh yang telah tergusur di pinggir modernitas yang tak lagi berkelindan dengan laju gerak komunikasi dan jejaring teknologi-informasi digital yang secara faktual telah menyesaki ruang hidup kita hari-hari ini.

Bagi orang seperti saya yang dengan suka-duka sering menenggelamkan diri menekuni dan menggeluti apa-apa yang sering dikenal “tradisi”, “kesusateraan lama”, atau bahkan yang sering di-cap “feodal” dan “kuno” itu, dengan tambahan sedikit “sufisme” dan “filsafat”, barangkali suara saya akan dianggap semacam sebentuk “anakronisme” yang tak lagi memiliki relavansi, alih-alih gema.

Bagi orang seperti saya yang dengan suka-duka sering menenggelamkan diri menekuni dan menggeluti apa-apa yang sering dikenal “tradisi”, “kesusateraan lama”, atau bahkan yang sering di-cap “feodal” dan “kuno” itu, dengan tambahan sedikit “sufisme” dan “filsafat”, barangkali suara saya akan dianggap semacam sebentuk “anakronisme” yang tak lagi memiliki relavansi, alih-alih gema.

Kita telah mafhum kebudayaan dengan rentang cakupannya yang sebenarnya melingkungi keseluruhan hidup kita ini, hari-hari ini tampaknya terlihat lebih fluid (cair), alias tak sepadat yang kita sangka dalam kondisi masa lalunya. Dalam jejaring dunia digital yang kita akrabi hari ini, sumber-sumber pengetahuan, cara memandang dunia, nilai-nilai, yang dalam banyak hal yang ikut mengarahkan sistem perilaku dan kebiasaan praktik tindakan kita, alias dalam derajat tertentu juga turut membentuk secara lebih mendasar kepribadian dan karakter kita (yakni sebagai semacam disposisi batin yang mengarahkan dan menuntun perilaku kita), hari ini mata air sumbernya bisa hadir dan datang dari aliran manapun. Ia lebih mirip gerak sentripetal dari sumber jejaring digital global yang men-drive sistem nilai dan perilaku anak-anak kita saat ini atau dikemudian hari. Dan bahkan dalam skala kecepatan dan percepatan pertukaran informasi dan komunikasi, yang mau tak mau, secara ruang semakain meluas, merentang, atau bahkan mengglobal, yakni dalam rangkaian perjumpaan pada lintas batas suku, bahasa, umur, agama, pengetahuan, bahkan bangsa. Atau dalam skala waktu, kita bisa melihat, terjadi arus pergantian konsumsi informasi, pengetahuan, citra, visual, teks, ikon, suara, yang datang bergantian dan terus-menerus berubah dengan kecepatan dan percepatan yang mencengangkan, mungkin para orang tua hari ini seolah seperti menyerahkan dan memasrahkan anak-anak mereka kepada aliran arus besar sungai digital global, dengan hempasan gelombangnya yang terus-menerus berganti baru dalam semesta arus pembentuk kebudayaan yang tak setepatnya kita tahu ujung muaranya mengalir kemana.

Mungkin kita, atau tepatnya saya, tak lagi bisa lagi membanyangkan sebuah simpul kebudayaan sebagai sebuah universum yang bersifat padat yang layaknya saya dapati dulu di masa kanak-kanak dan remaja saya, dimana sumber-sumber tata-nilai beserta gugus pengetahuan dan cara pandang melihat realitas hidup masih datang dari sumber lokalitas dan kearifan agama di desa saya yang relatif padu yang terangkai dalam rangkaian kebiasaan dan praktik hidup, yang memancar dan terekam secara simbolik dan metaforik dalam baju tradisi, nilai-nilai kearifan agama, kesenian, mata-pencaharian, dan adat, dll, yang secara mantap menjadi pandu yang mengarahkan secara lebih monolitik dalam semesta penafsiran dan pengatasan masalah dan kompleksitas hidup.

Namun masalahnya, dalam era arus keterhubungan teknologi dan informasi digital global hari ini perjalanan kebudayaan bangsa ini, setidaknya hingga detik ini saya merasa, tak pernah berjalan dalam jalur yang semata “linier”. Ada patahan dan bahkan seperti yang disebut Umar Khayam sebagai “keterbelahan” baik di level struktur pandangan dunia, individu, nilai-nilai, maupun kebijaksanaan hidup, atau bahkan praktik kebiasaan hidupnya yang masih terekam dalam praktik tradisi-adat, beserta nilai dan pengetahuan yang melambarinya, yang terus saja menginterupsi yang secara sayup-sayup dan masih saja bergema secara lirih, dalam pertemuannya dengan modernitas hidup yang telah membentuk tata kehidupan modern kita sebagai sebuah bangsa: seperti nilai demokrasi yang mengkerangkai kita sebagai negara-bangsa, sistem keilmuan sains yang menubuh dalam sistem pendidikan formal, ataupun rasionalitas positif ilmiah yang relatif memandu sistem dan tindakan politik, ekonomi, kesehatan, tata-pemerintahan hingga level desa (setidaknya dalam bentuk formalnya), atau juga bahkan hingga norma modern yang mengatur kita dalam praktik kebiasaan relasi hidup sehari-hari, hingga nilai-nilai modern seperti emansipasi, HAM, gender, toleransi, multikulturalisme, sistem ekonomi kapitalisme, dan lain-lain dimana prinsip-prinsip seruan moralnya sulit kita abaikan dan kesampingkan.

Nalar pandangan dunia agama beserta kearifan nilainya yang menubuh dalam tradisi dan kebiasaan, yang dalam kasus Indonesia, saya kira, Islam punya sumbangsih nyatanya, yang juga dalam banyak hal sebenarnya berseberangan dengan nalar sains dan rasionalitas modern, masalahnya, masih saja terus-menerus hidup beriringan dan berdampingan, yang dalam derajat tertentu kadang berdiri secara vis-avis dengan spirit imperatif “nalar ilmiah-positif” yang dibawanya maupun spirit “gerak maju ke depan” atau progresifitas maupun linieritasnya, maupun aspek “sekularisme sejarah”-nya seperti dindaikan dalam tubuh dan prinsip modernitas itu sendiri. Tak aneh misalnya kita mendapati, institusi pendidikan informal seperti pesantren tradisional dengan skema timbunan pengetahuan yang melabrak aspek nalar ketat positif-scientific maupun materilistik-nya sains yang menyangga bangun formal pranata kelembagaan masyarakat modern kita masih saja bertahan, ataupun juga kita masih bisa menyaksikan praktik penyelenggaraan tradisi maupun nilai-nilai kearifannya yang masih terus memancar, meski sayup-sayup, yang sekali lagi terus mewartakan gagasan pandangan dunia, yang menyeru kepada dan mengarahkan orang kepada cara pandang kemanusiaan yang tak terpisah dari bingkai ketuhanannya, (alias berseberangan dengan prinsip humanisme sekuler), maupun cara pandangnya yang menawarkan bingkai kehidupan kemanusiaan yang tak semata memperlakukan alam sebagai obyek eksploitasi dan bahkan menempatkannya sebagai sesuatu yang sakral yang memang dalam titik tertentu bertabarakan dengan prinsip rasionalitas intrumentalistik-materialistik dan prinsip obyektifikasi alam seperti yang didengungkan prinsip subyek dan gagasan individualisme yang menyangga bangun modernitas.

Atau barangkali juga kita masih bisa menyaksikan dan merasakan bagimana kearifan dan tradisi beserta nilai-nilainya yang terserap dalam dunia keseharian, seperti gotong-royong dan kerukunan, yang saya duga masih berakar kuat dalam struktur pandangan dunia lama tradisi dan dan nilai-nilai kearifan agama yang menubuh di dalamnya, masih menjadi penyangga bangun utama persatuan Indonesia misalnya, alih-alih daripada faktor nalar dorongan nalar citizenship atas prinsip ketaatan hukum positif, sebagai wajah pelembagaan nalar sains yang terselenggara di negeri modern ini. Atau juga barangkali penyelenggaran dan perayaan tradisi yang terus saja (masih diusahakan) diselenggarakan, yang dalam kasus Indonesia selalu saja tidak dipisahkan dari bangun struktur nilai-nilai agama yang membingkainya, maupun juga segudang perayaan dan pergelaran kultural-informal, layakanya pengajian massal bernuansa kultural, pengajian majlis-majlis agama, maupun pagelaran tradisi yang dalam sekala masal dan kolosal masih berdenyut dan seolah berusaha mengelak dari “ritme” jam kerja masyarakat industrial, maupun kesadaran waktu linier dan kosmologi positif yang digariskan yang dituntut oleh kerangka produktivitas kerja modern maupun nalar pengejaran materialistiknya, alias menuruti langgam pencarian dasar kenyataan ontologi terkait realitas yang ditemukan di dasar kenyataan realitas semesta terdasar bernama materi.

Dari sejak era polemik Kebudayaan di tahun 1930an, Surat Kepercayaan Gelanggang 1950, ataupun geger Manifes Kebudayaan di tahun 1963, dan bahkan hingga era keterbukaan informasi hari ini, saya merasa, kita sebagai sebagai bangsa tak pernah kunjung menemukan rumusan dan tawaran final atas keterbelahan “kebudayaan” kita (sebut saja begitu): antara di satu sisi ingin terus terhubung, atau setidaknya masih terus dihantui dan digelayuti denyut kearifan tradisi masa lalu dan struktur pandangan dunia lama yang hingga hari ini masih terus-menerus bertahan, bahkan masih menyangga bangun kedirian dalam gradasi tertentu bangsa ini, maupun di sisi yang lainnya sebuah dorongan untuk menatap dan menyongsong dan menjemput ketertinggalan menuju masa depan yang telah digariskan “pusat” tata modernitas global yang imperatif nilai-nilainya bahkan telah menjadi matra dan seruan yang beredar dalam bahasa formal tata kelembagaan modern kita maupun telah menjadi cakapan informal dalam keseharian biasa hidup kita.

Atau barangkali saya salah. Di era jejaring teknologi-informasi global yang telah menyesaki ruang hidup keseharian kita hari ini, seperti yang telah saya singgung sebelumnya, kita tak lagi bisa secara naif mengandaikan adanya pusat tunggal yang sering kita acu sebagai simbol dan titik pusat modernitas, yang kita sering tunjuk ke batang hidung Eropa maupun Amerika, dimana cahaya pusat modernitas itu bermula dan memendar secara sentrifugal merata kepada wilayah bagian lain di dunia. Dengan keterhubungan global teknologi-informasi digital ini, justru pendaran pusat ini juga ternyata ikut melecut pusat-pusat “kebudayaan-kebudayaan” baru, sebagaimana telah berlangsung, dan saya kira akan terus berlanjut kepada pendar-pendar pusat baru yang terus akan bertumbuh. Dan saya kira di titik ini pula, jangan-jangan membincang tradisi dan kearifan, struktur pandangan dunia lama, dimana Islam dalam kasus bangsa Indonesia juga ikut menyumbangkan kontribusinya, utamanya terkait kearifan yang kita warisi, saya kira, justru akan mendapat dan mendaratkan relevansi dan signifikansinya.

***

Sejauh saya mengakrabi tradisi, terutama di Jawa, yang kemudian dibelakang hari memendar dan memproyeksi secara pelan ke wilayah lain di Indonesia, yakni dalam pengertian dengan segenap kompleksitas warisan sejarah, kesusateraan, kearifan, maupun nalar falsafah yang menyangga bangun struktur pandangan dunia lamanya, saya merasakan, bahwa Islam, terutama sufisme, telah memberi kontribusi secara mendasar dan revolusioner bangun struktur pandangan dunia tersebut. Tentu, saya mengakui, ada pertemuan dan perjumpaan kreatif atas warisan kebudayaan dan cara pandang lama seperti yang dibawa oleh Hinduisme dan Budhisme, atau mungkin warisan sistem kepercayaan yang ada di wilayah ini di waktu yang lampau, namun gagasan metafisika sufisme (Islam dalam kerangka integralnya), saya kira, mampu menyediakan arus besar yang memungkinkan berbagai jenis aliran tersebut bertemu di suatu aliran cara pandang baru yang mengarahkan pada gagasan tentang kesatuan hakikat hidup terkait ketunggalan realitas atau yang sering dikenal pada terms tasawuf sebagai “wahdatul wujud” atau juga disebut “tauhid wujud”.

Sejauh saya mengakrabi tradisi, terutama di Jawa, yang kemudian dibelakang hari memendar dan memproyeksi secara pelan ke wilayah lain di Indonesia, yakni dalam pengertian dengan segenap kompleksitas warisan sejarah, kesusateraan, kearifan, maupun nalar falsafah yang menyangga bangun struktur pandangan dunia lamanya, saya merasakan, bahwa Islam, terutama sufisme, telah memberi kontribusi secara mendasar dan revolusioner bangun struktur pandangan dunia tersebut.

Gagasan metafisika ini, sependek telusur saya atas warisan kesusaterasan lama tersebut, yang sebenarnya juga turut terpancar nilainya dalam keragamaan adat, kesenian, dan tradisinya, seolah ingin menegakkan proses dan pengajaran penyempurnaan capaian berkemanusiaan masyarakat Nusantara saat itu. Tokoh semisal Hamzah Fansyuri di Sumatera, Abdurrauf Asyingkili di Aceh, Sunan Kalijaga, Ranggawarsita di Jawa, Hasan Mustapa di Sunda, Raja Ali Haji di Riau, untuk mengambil beberapa contoh, saya tangkap, sebenarnya hanya ingin menyorongkan satu gagasan kesempurnaan dan keutuhan terkait proses menjadi manusia, atau terkait proses “berkemanusiaan” dengan idiom-idiom yang beraneka, seperti “insan kamil”, “janma utama” “manusia budiman”, dll. Gagasan-gagasan pengutuhan proses “kemanusiaan” ini selalu harus dindaikan dari prinsip ketunggalan realitas hidup dan kenyataan ini (sebagaimana saya singgung sebelumnya), yakni bahwa pada dasar ontologis ruhaniah kemanusiaan kita selalu terhubung dengan realitas ketuhanan, dan hanya titik pijak keterhubungan dengan “Yang Maha Sempurna” inilah proses “berkemanusiaan” ini juga mendapat pendasaran bangun universalitasnya, namun secara serentak juga mengakui ruang dialektika partikularnya sebagai manusia yang memang ditakdirkan (oleh Tuhan) lahir di ruang, bahasa, wilayah, bangsa, dan kondisi geografi, budaya, dan lingkungan alam yang spesifik.

Dari para tokoh ini, kita diajari, bahwa salah satunya cara yang mengutuhkan proses berkemanusiaan manusia Nusantara ini adalah dengan cara mengenali kenyataan realitas “kedirian” kita sendiri yang memang terhubung dengan realitas ketuhanan, yang merupakan titik segala sumber kenyataan realitas hidup jagad-semesta ini, yang dibahasakan secara beragam dan beraneka dengan istilah “mawas diri” (alias mengawasi diri sendiri), atau “mulat sarira” (melihat diri) seperti dikenal dalam istilah ilmu ma’rifat Jawa, atau “man arafa nafsah” (mengenali diri) dalam kasus Hamzah Fansyuri dan Abdurrauf Singkili, atau juga dalam istilah “pangawikan pribadi”-nya (mengetahui diri) Ki Ageng Suryomentaram, dll. Cara pengenalan diri, atau katakanlah proses pengenalan dan juga proses pengutuhan potensi kemanusiaan ini, berlangsung seturut tahapan jenjang menaik perjalanan kehidupan manusia itu sendiri, yakni dari sejak ia lahir, muda, dewasa, tua, hingga maut menjemput (alias seturut perjalanan jenjang kehidupan manusia ini), yang sering dibahasakan dengan konsep “sangkan paraning dumadi” seperti dibahasakan oleh Sunan Kalijaga di “Suluk Linglung”-nya (Innalillahi wa inna ilaihi raji’un). Kita berasal dari realitas tunggal Tuhan, dan akan kembali pada realitas tunggal tersebut.

bahwa salah satunya cara yang mengutuhkan proses berkemanusiaan manusia Nusantara ini adalah dengan cara mengenali kenyataan realitas “kedirian” kita sendiri yang memang terhubung dengan realitas ketuhanan, yang merupakan titik segala sumber kenyataan realitas hidup jagad-semesta ini, yang dibahasakan secara beragam dan beraneka dengan istilah “mawas diri” (alias mengawasi diri sendiri), atau “mulat sarira” (melihat diri) seperti dikenal dalam istilah ilmu ma’rifat Jawa, atau “man arafa nafsah” (mengenali diri) dalam kasus Hamzah Fansyuri dan Abdurrauf Singkili, atau juga dalam istilah “pangawikan pribadi”-nya (mengetahui diri) Ki Ageng Suryomentaram, dll.

Rentang perjalanan kehidupan hidup manusia tersebut, dengan tahapan dan tantangan di tiap fase umur kedewasaannya, oleh karenanya dikatakan merupakan sebuah “perjalanan” kemanusiaan, yang tak semata bersifat evolusionistik ansih, alias semata perjalanan ragawi-kognitif-afektif-psikomotorik dalam pengertian biologisnya, melainkan sebuah perjalanan ruhaniah kemanusiaan itu, yang oleh karena sering disebut dalam istilah “lelakon” (baca: laku, mlaku, lelaku, perjalanan ruhani) atau dengan istilah lain yang juga telah diserap dalam istilah Indonesia maupun di Jawa bernama “Suluk” (perjalanan ruhani), yang kita tahu telah menjadi salah satu genre terbesar kesusateraan tembang “macapat” Jawa maupun merujuk nada liukan tembang yang disenandungkan oleh seorang Dalang wayang kulit Jawa, yang saya kira juga merekam perjalanan besar ruhani kemanusiaan tersebut: dari sejak “mijil” (lahir) hingga “pucung” (dipocong saat maut menjemput). 

Dan saya pikir, proses perjalanan kematangan ruhani berkemanusiaan ini pula kita tersambung dan terpaut lagi dengan gagasan penting dan besar dengan istilah bernama “kebudayaan”, yang memang sebenarnya dari sejak istilah ini berakar dalam tradisi, sebenarnya terus saja mendengungkan prinsip “kematangan ruhani tersebut”, yang seiring proses modernisasi maupun penubuhan pendidikan sains ilmiah di sekujur lembaga institusi pendidikan, maupun pada pranata politik, ekonomi, pemerintahan, maupun bahkan pranata budaya kita, visi ruhani tersebut sekarang kita abaikan, atau bahkan sering kita pinggirkan, sebagai suatu konsep jadul yang tak lagi memiliki relavansi dalam semesta berkembangnya nalar positif-ilmiah-instrumentalistik, yang memang pada prinsip dasar ontologinya menggusur keterhubungan realitas material kehidupan kita ini dengan realitas Tuhan.

***

Sejauh lacakan saya terkait term “budaya” dalam khasanah tradisi, kata atau istilah ini sering atau bahkan selalu tampil dalam bentuk kata kerjanya: “ambudi daya” atau dalam kata “budya” yang sebenarnya berkembang, dalam kasus Jawa, di era Jawa masa pertengahan (abad 16-19), alias kita tidak menemukan kata kerjanya di masa Jawa Kuno (dimana pada kamus “Jawa Kuna”-nya Zoetmoelder kita hanya menemukaan kata Buddhi sebagai kata benda), atau dalam bahasa lain, ia merupakan term yang telah dipercanggih oleh kedatangan sistem pandangan dunia baru (Islam) untuk menyorongkankan sebuah gagasan baru yang telah diperkembangkan. Dalam kasus ini, di dalam Serat Wedhatama misalnya, sebagai contoh, kita bisa menemukan kata “budya” atau “amasah mesu budi” yang intinya usaha untuk “men-daya-kan budi” kemanusian kita (baca: budi dan daya). “Budhi” atau “Budi” di sini bukan hanya merujuk akal pikiran semata, alih-alih semata otak fisik, melainkan justru menunjuk keseluruhan kesatuan fakultas jasadi-ruhani manusia yang berjumlah empat, yakni (1) Raga/Karsa alias kehendak dan keinginan, (2) Cipta/Kalbu, fakultas pikiran, imajinasi dan daya ciptanya, (3) Jiwa, tempatnya niat, tekad, dan dorongan terdalam, dan yang ke-(4) Rasa, fakultas estetik dan dorongan empati moral yang terdalam.

Jadi berbudaya atau berkebudayaan adalah merujuk pengertian di atas adalah mendayakan, mengembangkan, mengasah, dan mengolah potensi kemanusiaan kita yang berjumlah empat: Raga (Karsa), Cipta, Jiwa, dan Rasa kita. Jika kita telah sering mengenal defenisi Budaya sebagai hasil Cipta, Karsa, Rasa manusia sebagaimana dikatakan Koentjaraningrat, maka sebagai kata kerja, berbudaya dalam visi tradisinya adalah mengolah potensi Jasadi-ruhani (alias bersifat lahir-batin) fakultas atau potensi kemanusiaan kita, yakni Cipta, Karsa (Raga), Rasa, dan ditambah Jiwa (alias kata Jiwa masih disertakan) untuk mencapai puncak tertinggi potensi kemanusiaan itu sendiri. Pada visi struktur pandangan dunia lama, ia masih memandang dan menekankan proses pengolahan potensi kemanusiaan tersebut sebagai usaha mengenali dan mengasah realitas kedirian kemanusiaannya ini yang di dasar potensi terdalam kemanusiaannya ia terhubung dengan realitas ketuhanan, alias masih meneropong proses berkemanusiaan ini dari visi ruhani ketuhanannya.

Jadi berbudaya atau berkebudayaan adalah merujuk pengertian di atas adalah mendayakan, mengembangkan, mengasah, dan mengolah potensi kemanusiaan kita yang berjumlah empat: Raga (Karsa), Cipta, Jiwa, dan Rasa kita. Jika kita telah sering mengenal defenisi Budaya sebagai hasil Cipta, Karsa, Rasa manusia sebagaimana dikatakan Koentjaraningrat, maka sebagai kata kerja, berbudaya dalam visi tradisinya adalah mengolah potensi Jasadi-ruhani (alias bersifat lahir-batin) fakultas atau potensi kemanusiaan kita, yakni Cipta, Karsa (Raga), Rasa, dan ditambah Jiwa (alias kata Jiwa masih disertakan) untuk mencapai puncak tertinggi potensi kemanusiaan itu sendiri

Jadi usaha mendayakan Cipta, Karsa, Rasa, dan Jiwa ini oleh Serat Wedatama dikatakan juga merupakan sebuah “laku” (olah berpuncak ruhani) yang terhubung secara berjenjang-menaik dengan tahapan perjalanan kemanusiaan seperti dalam pengertian sufismenya bernama “Suluk” yang bergradasi dari: (1) Syari’at, (2) Tarikat, (3) Hakikat, dan (4) Ma’rifat. Atau bahkan secara literal dikatakan bahwa olah budi atau mendayakan budi ini, alias proses berbudaya ini, dikatakan dengan term: Sembah Raga (Karsa), Sembah Cipta, Sembah Jiwa, dan Sembah Rasa, sebagai konsep keterhubungan ruhani dalam simbolisasi ibadah berkemanusiaan maupun sebagai padanan jenjang tahapan Suluk yang telah disebutkan.

Oleh karenanya secara singkat dikatakan, proses berbudaya atau proses berkebudayaan adalah juga secara serentak sekaligus proses berkemanusiaan; Sebuah proses untuk mengutuhkan dan menga-aktualkan seluruh potensi yang dimiliki manusia, yang memang secara fitrah kemanusiaannya, selain di satu sisi pada realitas terdalam kemanusiaannya tersambung dengan realitas ketuhanan, maupun di sisi yang lain secara fitrah kemanusiaannya memang berkecenderungan menuruti dorongan terberi dalam diri terdalamnya bernama keindahan, kebaikan, kebenaran, dan kesempurnaan, bahkan sebelum ia memiliki dan menganut agama tertentu.

Tahapan mengolah potensi kemanusiaan tersebut (alias berbudaya) seperti digariskan dalam tradisi, dimulai dari mengolah potensi dorongan kehendak & raga, serta pendisiplinan dorongan naturalnya, dalam memperkembangkan skil dan kecakapan dalam berbahasa, berjalan, beradaptasi dengan peradaban material dan nilai yang terwarisi, dll, yakni melalui pandu awal terkait baik-buruk dan hitam-putih yang menuntun perkembangan kedewasaan seseorang (syari’at), juga mengasah daya-cipta untuk memperkembangkan temuan, inovasi, ilmu, teknik, serta pendalaman lanjut akan nilai-nilai kebenaran yang lambat laun akan terpahami rasionalisasinya (tarikat), serta olah meluruskan niat, menebalkan tekad, dan keyakinan serta kesesuainnya dengan tindakannya pada hakikat terdalam hidup dengan visi jangka panjangnya ini hingga alam akhirat (hakikat), hingga melatih dan memperkembangkan kepekaan estetika dan empati moral, hingga hakikat “rahsa” hidup yang mengantarkan pada nilai sublim hidup hingga puncak yang menyibakkan misterinya secara bertahap dalam perjalanan kemanusiaannya (ma’rifat).

***

Visi berkebudayaan sebagai proses berkemanusiaan, seperti dijelaskan sebelumnya, oleh karenanya sebenarnya bisa menjadi simpul yang menjembatani dari prinsip-prinsip keagamaan, terutama Islam, yang wajahnya hari ini di satu sisi menjauh dari proses berkemanusiaan seturut fitrah ruhani tersebut, atau di sisi yang lain menyatukan kembali prinsip agama yang juga telah terlanjur berdiri terpisah dari visi “budaya” dan proses berkebudayaan yang sebenarnya merupakan sesuatu yang inhern dalam bangun ajaran agama ini. Selain itu juga gagasan berkemanusiaan yang berpijak pada prinsip ketuhanan ini juga bisa menjadi penyeimbang gagasan Humanisme Sekuler yang pada derajat tertentu memilik kecenderungan terutama seperti dalam rekam historis kemunculannya sebagai prinsip yang melawan, menegasi dan menggusur agama, alias secara vis a vis selalu berdiri berlawanan, dan selalu berusaha memukul mundur agama di ruang prifat dan pinggirnya.

Juga sebenarnya ujung dari seluruh rangkaian kearifan (baca: ngilmu) ihwal proses berkemanusiaan atau proses berbudaya (olah-budi) ini, saya rasa, hanyalah ingin mengantarkan manusia Nusantara ini kepada capaian olah budi tertingginya; alias sebenarnya merujuk kepada manusia yang mencapai budi puncaknya, atau tercermin dari kata “budiman”, yakni seorang dengan ketinggian “akhlak” dan “budi-pekerti”-nya. Yakni capaian kemanusiaan yang telah mengenali, menggali, potensi kemanusiaan hingga realitas terdalamnya, dan bahkan telah bisa mengaktualkan potensi terdalam tadi dalam kenyataan, alias telah mengenali “Jati-diri” (kesejatian reaslitas dirinya), bahkan ia telah mewujudkan kesejatian realitas dirinya tadi menjadi tergelar dan memendar nyata dalam kenyaataan kongrit semesta ini, alias telah menegakkan kedirian tersebut (baca: kedaulatan diri) yang pendaran kesejatiaan realitas terdalamnya tadi ikut menerangi semesta luas di sekilingnya. Sebuah kualitas kemanusiaan yang telah “men-diri” (baca: mandiri), yang telah berhasil menegakkan dan berdaulat atas dirinya maupun telah bisa menyelaraskan cipta, karsa, rasa, dan Jiwanya dalam rangka menebar rahmat bagi semesta seluruhnya. Memangun Hayuning Bawana. Rahmatan lil Alamin.

Juga sebenarnya ujung dari seluruh rangkaian kearifan (baca: ngilmu) ihwal proses berkemanusiaan atau proses berbudaya (olah-budi) ini, saya rasa, hanyalah ingin mengantarkan manusia Nusantara ini kepada capaian olah budi tertingginya; alias sebenarnya merujuk kepada manusia yang mencapai budi puncaknya, atau tercermin dari kata “budiman”, yakni seorang dengan ketinggian “akhlak” dan “budi-pekerti”-nya.

Penjelasan saya berkait proses berkebudayaan di atas, dimana manusia memperkembangkan potensi jasadi hingga puncak potensi ruhani kemanusiaannya, yakni untuk menuruti dorongan fitrahnya ke arah kebaikan, kebenaran, dan keindahan, sebenarnya sungguh merupakan proses beragama itu sendiri sebagaimana dikatakan di dalam Surat Ar-Rum (30), dimana Islam hadir hanya ingin mengafirmasi dan membenarkan kecenderungan fitrah dasar kemanusiaan tersebut, dan bahkan Islam hanya merupakan pandu untuk mewujudkan fitrah kemanusiaan tersebut tergelar dalam realitas hidup, dan oleh karenanya gerak berkemanusiaan seperti inilah yang dipandang sebagai “agama yang lurus” (dinul qayyim). Dalam visi ini, Islam sebenarnya adalah ajaran ihwal proses berkemanusiaan atau bahkan ia merupakan sebentuk ajaran proses berkebudayaan (olah potensi jasadi-ruhani kemanusiaan) itu sendiri.

Seseorang yang telah menundukkan, mengatasi, melampaui dorongan naturalnya (nature), alias dorongan nabati dan hewaninya, yakni mengatasi keterbelengguan pada dorongan jasadiyah-material kemanusiaannya, alias telah melampaui fase kemanusiaan “basyariyyah”-nya, akan dengan sendirinya bisa meningkatkan dan mendayakan kualitas kemanusiaan untuk capaian kebenaran, keindahan, dan kebaikan yang lebih tinggi dari dorongan fitrahnya (culture), alias ia secara bertahap telah bisa memperkembangkan potensi kemanusiaannya tertinggi puncaknya, alias capaian kemanusiaan “insaniyyah”-nya. Manusia seperti ini, setelah berhasil mengenali realitas terdasar kediriannya (man arafa nafsah) dan bahkan telah mampu menggelar realitas terdasar itu memancar keluar, yakni dengan cara berperang dalam usahanya mengatasi kecenderungan natural, dan berhasil memenangkan pertarungan tersebut dalam mengaktualkan potensi fitrah dorongan kemanusiaan luhur yang inhern di dalam dirinya (proses mengolah budi-ruhaninya), saya kira, pada dasarnya sebenarnya adalah manusia yang telah menegakkan “kedaulatan” dirinya. Alias ia telah bisa menegakkan “alif kedirian”, sebut saja begitu, dan karenanya telah siap menjadi sumbu tegak (jumeneng) yang memancarkan rahmat bagi semesta seluruhnya (khalifatullah), apapun agamanya.

***

Apa yang saya katakan ini barangkali, sebenarnya hanya mengulang apa yang dulu dikatakan dalam “Suluk Lokajaya”-nya Sunan Kalijaga, atau juga dikatakan dalam “Serat Sastra Gendhing”-nya Sultan Agung dengan apa yang disuratkan dengan istilah Indah bernama: “sastra alif”, sebuah khasanah pengetahuan yang mengajari proses menegakkan “alif kemanusiaan” kita, sebagaimana huruf pertama abjad Arab itu tersirat juga tertera di rajah kertas yang dipakai oleh sosok Sosrokartono dalam menyembuhkan pasien-pasiennya.

Nah barangkali setelah uraian berlarat dan ngelantur saya terkait proses berkebudayaan sebagai proses berkemanusiaan, atau bahkan sebagai proses berketuhanan itu, kearifan yang saya kemukakan bisa memberi teropong baru bagi realitas kehidupan kita hari ini, yang saat ini memang telah secara faktual terhubung secara global melalui perangkat digital teknologi-informasi yang hiruk-pikunya kita rayakan dengan gelegar euforia yang membuncah di hari-hari ini. Jika kita andaikan realitas jejaring komunikasi-informasi digital global hari ini telah memecah kepaduan sumber-sumber pembentuk kebudayaan lama dalam banjir besar arus keterombang-ambingan informasi-komunikasi global dalam rangkaian perubahan dan pergantiaan informasi yang begitu mencengangkan, barangkali sebentuk khasanah pengetahuan yang telah saya urai dan sodorkan tadi, bisa memberi insight baru yang lebih kokoh dan mengukuhkan. Barangkali dalam jalur arus perubahan ini, strategi kebudayaan, katakanlah berskala nasional, tidak lagi seharusnya diarahkan semata pada “pelestarian” pada tingkat bentuk dan wujud wadag kekayaan kesenian dan tradisi kita semata yang justru mengarah pada gerak involusi, melainkan juga harus bergerak mendinamisirnya seturut logika arus perubahan dan ketersambungan global yang tak mungkin lagi dihindari, maupun dalam bentuk canggihnya berusaha menyesap dan mengilmui kembali khasanah kearifan tadi untuk kebutuhan masa depan dalam arus keterbukaan kreatif yang menguatkan fondasi berkemanusiaan kita sebagai sebuah bangsa.

Barangkali dalam jalur arus perubahan ini, strategi kebudayaan, katakanlah berskala nasional, tidak lagi seharusnya diarahkan semata pada “pelestarian” pada tingkat bentuk dan wujud wadag kekayaan kesenian dan tradisi kita semata yang justru mengarah pada gerak involusi, melainkan juga harus bergerak mendinamisirnya seturut logika arus perubahan dan ketersambungan global yang tak mungkin lagi dihindari, maupun dalam bentuk canggihnya berusaha menyesap dan mengilmui kembali khasanah kearifan tadi untuk kebutuhan masa depan dalam arus keterbukaan kreatif yang menguatkan fondasi berkemanusiaan kita sebagai sebuah bangsa.

Strategi kebudayaan oleh karenanya yang paling memungkinkan dilakukan, adalah strategi pematangan diri kemanusiaan manusia Indonesia, dimana kearifan tradisi beserta struktur pandangan dunia agama yang terjalin indah di dalamnya, akan menjadi salah satu alternatif dalam arus pertemuan, keterbukaan, dan dialog dengan arus pemikiran, informasi, bahkan ideologi dunia yang justru, dalam prinsip keterbukaan dan prinsip kebebasan ini, saya yakin warisan akar kearifan tradisi yang sebenarnya masih menyangga bangun ke-Indonesiaan ini akan tampak lebih istimewa (justru dikarenakan oleh arus pertemuan dan pengenalannya dengan “yang lain”), yang dengan kekuatan tertentu akan menggeret proses berkebudayaan maupun proses berkemanusiaan manusia Indonesia yang tak melapaskan diri dari akar visi ruhani ketuhanannya.

Dalam kasus proses kita “menjadi Indonesia”, atau dalam kata lain dalam sudut arah perjalanan kebudayaan bangsa, warisan kearifan tradisi yang telah saya singgung, yang sebenarnya saya kira masih merembesi struktur pandangan dunia masyarakat kita dalam derajat tertentu, bisa menjadi titik simpul ajaran, hikmat, dan kebijaksanaan, yang menyorongkan kearifan akan arah pengenalan realitas terdasar kemanusiaan kita (mulat sarira) maupun sebagai pandu bagi proses berkemanusiaan manusia Indonesia (sila 2) yang masih bertopang dan bertumpu pada prinsip ketuhanan (sila 1) sebagai sumber realitas terdalam itu. Dengan panduan olah berkebudayaan seperti inilah manusia Indonesia akan mampu mengatasi dan melampaui kecenderungn natural nafsu, kepentingan, dan kebenaran egotisnya, dan memapu mengambil dari sudut kebenaran yang lain, yang memungkinkannya melampaui perbedaan dan secara serentak bergerak menuju kesamaan, kesepahaman, kesatuan dan, dan persatuan (sila ke-3). Pelampauan kecenderungan natur kita untuk memburu kesenangan, kemenangan, kebenaran diri sendiri dan kelompoknya ini harus diatasi dengan mekanisme permusyawaratan (sila ke-4) yang menyurutkan keinginan “menang sendiri”, “benar sendiri”, “sekehendaknya sendiri” dalam pandu hikmat dan kebijaksaan dan kearifan yang telah melampui sekaligus mempertinggi derajat dan jenjang kebenaran partikular, individu, maupun kelompok tertentu, yang akan mengantarkan pada kondisi “adil bagi diri sendiri” pada level individu (proses berkemanusiaan pada sila ke-3) yang merupakan pra-syarat penting bagi keadilan seluruh rakyat Indonesia (sila ke-5).

Ringkasnya dalam semesta terombang-ambingan informasi-komunikasi global yang katanya berada pada penghujung Society 5.0 ini, kearifan visi tradisi bisa membantu proses pematangan diri manusia Indonesia yang terus terhubung dengan akar yang menyangga bangun kediriannya, yang membantu proses pertumbuhan batang, ranting, dan daun pohon kemanusiaan manusia Indonesia kita yang menjulang tinggi dalam pertemuan dialog kreatif dengan arus kebudayaan dunia yang akan mengukuhkan tegaknya “alif kedirian” manusia Indonesia, alias telah “men-diri” dan mencapai kedaulatan bangsa, baik di ranah politik, ekonomi, dan kebudayaan kita, yang sejatinya hanya merupakan pancaran rekam jejak proses keutuhan kita dalam proses menjadi manusia. Dan, akhir kata, barangkali memang kebenaran itu mungkin tidak datang dari barat ataupun timur, yakni sebenarnya ia bisa menyapa siapapun yang tanpa letih memperkembangkan laku berkemanusiaan pada puncak tertinggi ruhani capaian kemanusiaan universalnya.

Cepokojajar, 25 September 2021


(Tulisan ini disampaikan dalam “Pidato Kebudayaan” pada acara ultah Yayasan Bentala Tamaddun Nusantara ke-2, Yogyakarta, 26 Sepetember 2021)

0
160
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.