Mbah Gepuk: Nilai-Nilai Pendidikan dan  Wayang Suket

Seni pagelaran wayang, selain sebagai kearifan lokal, juga berfungsi sebagai sebuah media pendidikan yang implementasinya sangat kompleks dan sarat dengan nilai-nilai pendidikan. Pagelaran wayang juga bisa di pandang sebagai pendidikan informal karena di dalamnya banyak sekali mengandung nilai-nilai pendidikan baik pendidikan agama, moral, etika, akhlak, logika hingga sosial. Dalam hal ini dalang mempunyai peranan penting dalam penyampaian nilai-nilai pendidikan tersebut. Dengan demikian, dalang bukan hanya seorang seniman melainkan seorang pendidik, ahli filsafat, dan ahli agama.

Seiring berkembangnya zaman, wayang tak hanya terbuat dari kulit dan kayu, tapi juga terbuat dari anyaman rumput (suket). Wayang suket pertama kali dibuat oleh Kasan Wikrana Tunut (Mbah Gepuk) di Desa Bantarbarang, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga. Tentunya, wayang suket ini juga berusaha menjaga kekayaan tradisi Nusantara agar tetap menjadi tontonan dan tuntunan hidup untuk generasi terdidik dan berkarakter.

Etika Pendidikan Az-Zarnuji

Dalam mengenyam pendidikan, mau tidak mau, seorang pencari ilmu harus melewati beberapa ujian dan cobaan. Keduanya adalah momok menakutkan bagi mereka karena sanggup membelokkan para pembelajar dari jalan menuntut ilmu yang semestinya. Hidup pun sama, manusia tidak akan lepas dari godaan setan yang akan terus menggelincirkan dari jalan kebenaran hingga mereka jatuh ke dalam jurang kemaksiatan. Setan menggoda manusia di dunia, karena itu sudah tugas mereka­ ­­­­­menjadikan manusia sebagai teman di neraka. Maka dari itu, timbul sebuah pertanyaan, bagaimana cara agar kita tidak tergoda bujuk rayu setan? Jawabannya adalah, pertama, manusia harus memandang setan sebagai musuh paling utama. Kedua, Mbah Gepuk sudah mewanti-wanti manusia yang sedang mengarungi kehidupan mereka dengan perkataannya, “Dalan urip iki akeh pang-pange, aja sira kesandhet ing pange nika”. Artinyadalam menjalani hidup pasti banyak cabangnya, jangan sampai kamu tersangkut di cabang itu.

Dalan urip iki akeh pang-pange, aja sira kesandhet ing pange nika

Mbah Gepuk

Ketiga, pasrah dalam menghadapi ujian dan cobaan tersebut. Seperti yang kita tahu bahwa wayang suket sendiri tidak akan jadi tanpa melalui proses yang lama di antaranya adalah rumput bahan dasar wayang suket ini harus di-gepuk. Nama dari sang maestro wayang suket yakni Mbah Gepuk, gepuk sendiri diambil dari istilah bahasa Jawa yang berarti proses pemukulan (gebuk atau gepuk). Dalam pembuatan wayang, rumput tersebut harus melalui proses pemukulan terlebih dahulu sebelum bisa dianyam menjadi wayang.

Seorang pencari ilmu juga sama mereka tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan sabar. Imam Az-zarnuji, dalam kitabnya berjudul Alala, menuliskan tentang dari konsep mencari ilmu. Beliau menjelaskan bahwa seseorang tidak akan memperoleh ilmu kecuali orang tersebut memiliki enam perkara yaitu cerdas, semangat dalam belajar, sabar ketika mendapatkan cobaan, mempunyai bekal dan biaya, petunjuk dari ustadz dan membutuhkan waktu yang lama (Az-Zarnuji, 1).

Busthomy dan Muhid juga mengomentari potongan bait syiir dari Imam Az-Zarnuji ini. Mereka berdua mengatakan bahwa konsep sabar itu ada lima yaitu: Pengendalian diri ketika dilanda emosi dan memaafkan setiap kesalahan orang lain kepadanya. Kedua, ketabahan serta bertahan dalam menghadapi situasi yang sulit serta tidak berputus asa. Ketiga, kegigihan untuk meraih tujuan yang diinginkan. Keempat, menerima dengan ikhlas dan lapang dada ketika menerima kenyataan pahit yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Kelima, Tenang terhadap sesuatu apapun. Sabar bisa diibaratkan seperti siswa yang sedang belajar di sekolah pasti ada aturan yang harus dipatuhi, mau tidak mau siswa tersebut harus melaksanakan semua aturan tersebut dan tidak boleh melanggarnya. Sama halnya dengan seseorang yang mau memiliki ilmu agama, maka ia harus patuh menjalankan semua perintah agama dan menjauhi semua larangannya (Busthomy, Muhid, 2020: 154).

Wayang Suket Mbah Gepuk

Wayang suket yang pertama dibuat Mbah Gepuk adalah lakon berjudul Wisanggeni Lair. Maka dari itu akan timbul sebuah pertanyaan. Kenapa Mbah Gepuk memulai membuat wayang dengan lakon Wisanggeni Lair? Tentunya hal ini menyimpan rahasia yang sangat besar. Menurut saya, Mbah Gepuk memilih lakon Wisanggeni lair untuk pementasan perdananya dalam memulai karir menjadi pengrajin wayang suket adalah sebagai simbol kekuatan dan kegigihan dalam menjalani kehidupan.  Sehubungan dengan itu, Wisanggeni adalah tokoh yang tidak ditemukan dari kisah Mahabarata, ia hanya ada pada versi Jawa.

Menurut Kustopo wayang berasal dari bahasa jawa “wewayangan” yang berarti bayangan. Disebut wawayangankarena pada zaman dahulu masyarakat jika ingin menonton pagelaran wayang tersebut harus berada di balik layar (Kustopo 2008, 1).

Pada tahun 1995, Mbah Gepuk mendapatkan sambutan luar biasa dari masyarakat seni Yogyakarta. Hal itu bermula ketika beliau tampil dengan karyanya di Bentara Budaya Yogyakarta. Kita bisa menarik kesimpulan bahwa pagelaran wayang suket bukan hanya sekedar penghibur semata tetapi juga sebagai sebuah penerangan. Sebagai alat penerangan tentunya wayang suket sangat ampuh digunakan sebagai sarana pendidikan agama, etika, akhlak dan lain melalui tokoh-tokoh pewayangan yang merupakan sebuah tamsil dari watak-watak manusia di kehidupannya setiap hari. Artinya, dalam pagelaran wayang sang dalang memiliki peran penting yakni sebagai komunikator yang menyelipkan pesan-pesan agama, etika, dan akhlak kepada masyarakat dalam setiap pertunjukannya.

M Musyafa Asy'ari
Mahasiswa Prodi Manajemen Pendidikan Islam, Universitas Islam Negeri KH Syaifuddin Zuhri Purwokerto.Lahir di Benda, Sirampog, Brebes, 1 Juni. Agama Islam. Bergiat menjadi anggota SKSP (Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban).