Memasuki Kamar Ini
Memasuki kamar ini sendiri
Sunyi berdiri di empat penjuru mata angin
Buku-buku yang berantakan dibaca oleh mata lampu
Foto yang dipaku berjejer pada dinding
Benang merah, putih dan hijau dalam buku harian
Penanda cerita-cerita yang tidak dilupakan
Jubin berdebu dari remah-remah masa lalu yang belum disapu waktu
Kau bersembunyi di antara halaman-halaman buku puisi
Setelah dilahirkan penyair pada malam-malam yang lupa tidur
Dan mata jendela mencatat rahasia-rahasia dengan jujur
Pulang ke dalam tubuh ini sendiri
Di hadapan meja dan kursi dan kita
Adalah kamar pengakuan
(2021)
Berita
Tanah-tanah warisan merana
Penghuni adalah hutan dan hantu
Tuhan menjauhkan airmata
Menerima peti jenazah dari negeri seberang
Tempat memburu rezeki
Seseorang yang menjunjung mimpi bagai penjudi
Dini hari ditemukan mati tanpa celana
Berita dan derita tersiar sampai ke pohon telinga
Negara dan agama rebut merebut kuasa
Para pekerja menyalibkan rasa sakit di tiang listrik
Pengemis berdoa Bapa Kami: berilah kami rezeki pada hari ini
Hulubalang menyepak pantat TKI yang illegal
Seniman memahat wajah negara
Wartawan sibuk mencari data dan kehilangan kita
Penyair menganyam kata untuk membungkus luka
Nasib dan kita bermain teka-teki silang
Saling bersaing menemukan jawaban dan kekalahan-kekalahan
Dan pertanyaan-pertanyaan
(2021)
Perempuan Masa Lalu
Selepas meninggalkan bandara dan peta alamatmu
Ayat-ayat rindu seperti tamat untuk dibaca
Kita menjelma jadi buku kosong yang lupa dilukai pena penyair
Lampu jalanan yang muram dan terlantar oleh kota
Kata-kata seperti enggan dieja tubir bibir
Mawar telah tumbuh di dada dan menusuk aorta
Cinta ini tercipta bukan dari pertemuan-pertemuan ‘kan?
Sendiri-sendiri mulai menyiasati sepi
Puisi tak lagi membaca secangkir kopi
Atau jarak yang mengukur kesibukan-kesibukan
Selepas meninggalkan bandara dan peta alamatmu
Kalimat yang bisa kucatat ketika sepi menancap
Di kaki-kaki kursi adalah apa kabarmu yang pergi?
Meski sejak aku menulis sajak tentang perpisahan
Perempuan itu _kamu_ belum pernah menanyakan
“Apa kabarmu, puisi?”
Selepas meninggalkan bandara dan peta alamatmu
Aku belum menemukan kehilangan lain selain hilangnya kabar
Meski sebenarnya kau seumpama roh untuk puisi-puisi yang berkibar
(2021)
Rahasia
Setiap menatap hal ihwal yang membuat mata
Berkaca-kaca kau menangkap rahasia dengan memotret
Langit biru, kabel listrik, gedung tua, sepotong bulan
Keindahan seperti terbit dari tangan mungil
Yang diam-diam menutup sepasang mata jendela
Ketika senja yang merah seperti darah anak domba
Mendamba bayang-bayang hari tak lekas pergi
Seperti kucing kecil di kamarmu
Terus mengeong sebelum sisik ikan teri
Kaulempar ke bawah sisi kursi
Ketika tidur melupakanmu dan hujan
Dan lonceng gereja menjatuhkan peristiwa sedih
Sudah pergi bayangan di telapak kaki
(2021)
Perihal Badai
Pukul 00:00 dini hari hujan turun
Jalanan sepi; sesepi-sepinya nyanyian kodok di sungai
Langkah lunglai menginjak becek bekas kaki becak
Lampu-lampu jalanan menjatuhkan airmata
Kota mendadak seperti tak berpenduduk
Kau duduk menggenggam jari-jari hujan
Membahasakan dingin yang mengikat telapak tangan
Dan angin dari selatan yang kesetanan
Menyeret seluruh tubuh dan mimpi kita
Doa-doa yang tumbuh dari hati yang memar
Melesat ke langit seperti anak panah tentara mesir
Berdesir bunyi puisi di pohon telinga untuk mencatat
Kekalahan kita terhadap hutan
Penghabisan kali ini kau membaca mantra
Agar ritual-ritual diaminkan tuhan seperti pada hari
Daud mengalahkan Goliat, seperti Israel menyaksikan
Bangsa Mesir yang marah ditelan laut merah
Seperti badai yang reda di Genesaret
(2021)
Ilustration: Water Drops: Paintings by Kim Tschang-Yeul