Menelusuri Pembantaian Cina di Jawa 1740

Saya punya hobi mengumpulkan dokumentasi fragmen sejarah di Indonesia. Salah satunya adalah peristiwa Geger Pecinan atau de Chinezenmoord tahun 1740, ketika lebih dari 10,000 orang Cina di Batavia dibantai hingga kali Angke menjadi merah karena darah. Konon peristiwa ini membesar dan merembet ke Jawa Tengah, salah satunya yang mendorong pemberontakan Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi melawan Sunan Pakubuwana II yang dibantu VOC.

Menurut B.Hoetink dalam bukunya “Ni Hoe Kong : Kapitein der Chinezen te Batavia in 1740” Peristiwa ini dipicu oleh tindakan sewenang-wenang aparat kumpeni di Batavia terhadap orang Cina dengan terbitnya peraturan baru untuk menumpas para perampok yang diduga orang Cina dari luar tembok kota (ommelanden). Namun kenyataannya banyak orang Cina penduduk Batavia yang ditangkap dan disiksa karena dianggap rampok. Hal ini menyebabkan sebagian masyarakat Cina pekerja penggilingan tebu (yang dimiliki Ni Hoe Kong) di Batavia memberontak dan membunuh 50 orang Belanda di Meester Cornelis (Jatinegara) dan Tanahabang pada awal Oktober 1740. Sampai kemudian pemberontakan ini ditumpas di Batavia dan banyak orang-orang yang tidak terlibat turut dibantai. Ni Hoe Kong sendiri tidak terbukti terlibat, tapi dijadikan kambing hitam oleh Raad van Justitie, lembaga pengadilan VOC waktu itu.

Peristiwa pembantaian orang Cina di Batavia ini sebenarnya pertama kali diteliti oleh Johannes Th. Vermeulen lewat desertasinya “De Chineezen te Batavia en de Troebelen van 1740” pada tahun 1938. Sementara itu pada 1923 sebenarnya ada risalah pengadilan Ni Hoe Kong, kapitan Cina pada 1740 saat kerusuhan terjadi yang ditulis B.Hoetink. isinya lebih banyak mengenai proses pengadilan kapitan Cina itu. Sejak itu belum ada sarjana sejarah lain yang meneliti lebih dalam.

Dr. Lilie Suratminto menuliskan… meningkatnya kasus pencurian dan perampokan di Batavia salah satunya disebabkan oleh melonjaknya imigran Cina.

Seorang dosen fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Dr. Lilie Suratminto menuliskan dalam artikelnya di Jurnal Wacana edisi April 2004 berjudul “Pembantaian Etnis Cina di Batavia 1740”, mengatakan bahwa meningkatnya kasus pencurian dan perampokan di Batavia salah satunya disebabkan oleh melonjaknya imigran Cina. Kalau dilihat dari catatan daghregisters tahun 1739 jumlah imigran Cina yang masuk ke Batavia sebanyak 4.389 orang, jumlah tertinggi sejak kota itu didirikan pada 1619 oleh Jan Pieterzoon Coen.

Adriaan Valckenier, Gubernur Jenderal VOC saat itu membiarkan saja kondisi tersebut. Ia sibuk berselisih dengan ketua Raad van Indie (Dewan Hindia). Gustaaf Willem Baron van Imhoff. Keduanya sudah bersaing menjadi Gubernur Jenderal sejak 1737 untuk menggantikan Abraham Patras yang meninggal secara mendadak. Sejak itu suhu politik di Batavia terus memanas. Sementara itu total jumlah orang Cina menjadi 10.574 orang. Mereka tidak hanya orang baik-baik yang berdagang ataupun bertani. Tapi juga para penganggur yang secara berkelompok melakukan, penipuan, pencurian dan perampokan (Vermeulen, 1938). Situasi ini diperparah dengan jurang perbedaan besar antara orang Cina kaya di dalam kota dan orang Cina miskin di luar tembok kota (ommelanden) .

Untuk mencegah kejahatan makin meningkat. Sejak awal 1740 orang Cina dari luar Batavia yang ingin masuk kota harus memiliki kartu tanda masuk (permissiebrieffe). Kebijakan ini sering disalahgunakan oleh petugas-petugas keamanan (officier van Justitie) untuk main tangkap dan memenjarakan orang, baru bisa dibebaskan setelah membayar sejumlah tertentu. Mereka juga tidak jarang disiksa.

“Kerna ini atoeran main tangkep sembarang orang… maka atjapkali dilakoeken perboeatan-perboeatan jang meliwatin wates.. ” (Hoetink, 1923)

Perbuatan ini meningkatkan ketegangan dan membuat orang Cina sakit hati sekaligus khawatir. Karena selain itu, ada peraturan baru dari Raad van Indie bahwa semua orang Cina yang dicurigai sebagai gelandangan akan ditangkap dan dikirim paksa ke Ceylon (Srilanka) untuk bekerja di perkebunan. Rumor beredar bahwa yang tertangkap dibuang ke laut. (Suratminto, 2004)

Dalam risalah Hoetink (1923) menuliskan, situasi ini terus memburuk dari hari ke hari. Kapitan Cina saat itu, Ni Hoe Kong juga tidak punya pengaruh yang kuat terhadap orang-orang Cina ommelanden. Sehingga ia sendiri tidak tahu ada rapat-rapat gerombolan pemberontak yang diadakan di penggilingan tebu miliknya di Bekasi sejak bulan Juli. Sampai kemudian meletus pemberontakan pada 7 Oktober 1740. Lima ratus sampai seribu orang pemberontak menyerang pos-pos pemeriksaan membunuhi orang Belanda. Perlawanan orang Cina ini dipimpin oleh Oey Panko atau Khe Panjang.

Kelompok pemberontak berhasil dipukul mundur pada 9 Oktober. Gelombang perlawanan mulai berbalik. Warga Belanda, termasuk orang-orang pribumi yang terhasut bahwa pemberontak juga menghabisi warga pribumi mulai melakukan pembantaian membabi buta, tanpa pandang bulu. Dipicu oleh perintah Valcknier bahwa siapa saja yang dapat membunuh orang Cina di luar kota akan dapat hadiah 2 dukat setiap kepala. Pembantaian ini berlangsung 3 hari sampai tanggal 12 Oktober 1740.

Suratminto (2004) menuliskan lumayan detail peristiwa ini dari banyak sumber selain dari sumber “utama” tulisan Vermeulen. Ia juga mengutip buku Dr. F. De Haan (1922) “Oud Batavia deel I-II” dan Willem Remlink (1994) “The Chinese war and the Collapse of the Javanese State 1725-1743”.

Fragmen-fragmen lain peristiwa ini juga muncul misalnya dalam buku Bernard H.M. Vlekke (196) “Nusantara : History of Indonesia” yang mengatakan bahwa rumor pemberontakan sudah muncul sejak 1721 yang konon idenya muncul dari seorang mestizo, Pieter Erbevelt yang berkomplot ingin membunuh semua orang Eropa di Batavia. Vlekke mengambil sumber bacaan dari artikel L.G.W. de Roo “De Conspiratie van 1721” terbitan tahun 1867.

Sementara itu Leonard Blusse (1988) dalam bukunya “Persekutuan Aneh: pemukim Cina, wanita peranakan, dan Belanda di Batavia VOC” juga menyebutkan dengan singkat peristiwa ini disebabkan oleh merosotnya perdagangan gula serta korupsi para pegawai VOC.

Kisah pemberontakan ini juga muncul sekilas dalam dua buku M.C. Ricklefs “Sejarah Indonesia Modern 1200-2004” dan “Sejarah Asia Tenggara : dari masa prasejarah sampai kontemporer”, yang juga mengisahkan pembantaian orang Cina di Filipina pada tahun 1762. Dua-duanya bersumber dari buku Vermeulen. Tidak ada yang baru.

Juga ada beberapa pemerhati peristiwa ini yang menuliskannya menjadi sebuah buku. Meski kita harus kritis membacanya karena tulisan-tulisan ini lebih mirip kolase dibandingkan tulisan sejarah yang runtut. Tapi tetap harus kita hargai upayanya untuk mendokumentasikan sejarah. Sejauh yang saya tahu ada 2 buku, yang pertama yaitu tulisan dokter Hembing, yang terkenal sebagai ahli pengobatan tradisional dan akupunktur. Judul tulisannya “Pembantaian Massal 1740 : Tragedi Berdarah Angke”. Hanya 50 halaman dari 252 halaman yg benar2 membahas tragedi berdarah itu. Beliau juga menggunakan sumber dari Vermeulen, dan mengambil beberapa bagian dari tulisan Hoetink.

Buku yang kedua berjudul “Geger Pecinan 1740-1743 : Persekutuan Tionghoa-Jawa melawan VOC” terbitan penerbit Kompas, tulisan Daradjadi, seorang kerabat Keraton Mangkunegaran. Saya pikir buku ini lebih mendalam. Namun ternyata beliau banyak sekali mengutip tulisan-tulisan dokter Hembing. Daradjadi juga lebih banyak membahas dugaan peperangan yang merembet sampai ke Jawa Tengah, bahkan dipandang lebih besar dari Perang Diponegoro (1825-1830). Meski saya sendiri belum terlalu yakin karena beliau tidak menggunakan sumber2 primer untuk memperkuat pendapatnya.

Agak kecewa juga saat membeli kedua buku merah itu. Tapi sejujurnya, menarik untuk menelusuri peristiwa ini justru karena belum ada yg punya detail yang cukup kuat sumber primernya.

Bondhan Kresna Wijaya
Bondhan Kresna Wijaya, penulis dan penikmat sejarah. Tertarik pada dunia pendidikan, sejarah & budaya, serta psikologi & sumber daya manusia.