DONASI

Sufisme Mbah Nurhakim: Penyebar Tarekat Syattariyah Di Banyumas

Kisah Mbah Nur Hakim Ada banyak kisah wali-wali Allah di wilayah Banyumas yang perlu digali lebih dalam. Salah satu Wali Allah yang turut andil dalam...

SULUK | MONDAY, 15 NOVEMBER 2021 | 15:42 WIB

Chubbi Syauqi

Chubbi Syauqi dilahirkan di Banyumas, 1 Maret 2000. Alumnus UIN SAIZU Purwokerto (2018-2022) saat ini tengah melanjutkan studi Magister Manajemen UNSOED. Penikmat Kajian sosial, Islam dan Kebudayaan, tinggal di Purwokerto.

Kisah Mbah Nur Hakim

Ada banyak kisah wali-wali Allah di wilayah Banyumas yang perlu digali lebih dalam. Salah satu Wali Allah yang turut andil dalam Islamisasi Banyumas yakni Mbah Nur Hakim. Ia banyak dikenal oleh masyarakat sebagai orang sholih yang penuh karomah, Mbah Nur Hakim mempunyai sejarah panjang dengan berbagai versi dan masyhur menjadi cerita oral di masyarakat. Dari segi nama, ada yang menyebutnya Syekh Nur Hakim karena ia seorang mursyid tarekat syattariyah. Serta ada juga yang menyebutnya Mbah Nur Hakim karena ia pernah menjadi bagian dari Laskar Pangeran Diponegoro. Hasil wawancara saya dengan Zenal Abidin, juru kunci makam mbah nur hakim yang sumbernya telah turun temurun dari juru kunci sebelumnya. Mbah Nur Hakim memiliki nama asli Raden Mas Surya Muhammad (Zaenal, 2021). Ada dua versi kisah kedatangan Mbah Nur Hakim ke Banyumas (Desa Pasir Wetan). Versi pertama, dari kisah penuturan juru kunci makam bahwa Mbah Nur Hakim berasal dari Keraton Kasunan Surakarta. Konon, ia merupakan anak bangsawan Kasunan Surakarta. Hal ini diperjelas dari percakapan antara ia dengan Demang Nurahman (mertuanya). Pada suatu ketika, Demang Nurahman bertanya kepada Mbah Nur Hakim.

Nang, apa kowe gelem ngganti aku dadi demang? Tanya Demang Nurahman.

Mboten, menawi kulo kerso, kulo saged dadi sinuwun teng Kasunan Surakarta. Ujar Mbah Nur Hakim.

Sontak jawaban itu membuat mertuanya tertegun, ternyata selama ini menantunya adalah trah Kasunan Surakarta. Ia juga berafiliasi dengan Laskar Pangeran Diponegoro, semenjak kekalahan perang Jawa, akhirnya ia berkelana hingga singgah ke Banyumas. Sementara versi kedua, melalui ringkasan Karl A. Stenberk dalam bukunya berjudul “Beberapa Aspek Tentang Islam Indonesia Abad Ke-19”. Mbah Nur Hakim lahir sekira tahun 1820 di desa Pancasan, Purwokerto . Masa mudanya dilalui dengan banyak berkeliling pesantren untuk menimba Ilmu Agama. Ia pernah berguru pada Kiai Hasan Maulani di Lengkong, Cirebon dan berbaiat tarekat syattariyah. Kiai Hasan Maulani adalah mursyid tarekat syattariyah yang membuat geram Belanda, di tahun 1842 ia diasingkan ke Manado, Sulawesi Utara. Di sana ia bertemu dengan pasukan Kiai Mojo yang sama-sama diasingkan. Berpijak dari Cirebon, ia menyebarkan tarekat Syattariyah hingga sampai di Banyumas (karel, 1984). Hingga saat ini, kisah asal-usul Mbah Nur Hakim masih menjadi polemik.

Kiai Hasan Maulani adalah mursyid tarekat syattariyah yang membuat geram Belanda, di tahun 1842 ia diasingkan ke Manado, Sulawesi Utara. Di sana ia bertemu dengan pasukan Kiai Mojo yang sama-sama diasingkan. Berpijak dari Cirebon, ia menyebarkan tarekat Syattariyah hingga sampai di Banyumas (karel, 1984). Hingga saat ini, kisah asal-usul Mbah Nur Hakim masih menjadi polemik.

Hal-hal aneh (ikonik) melekat pada sosok Mbah Nur Hakim yang dikenal sakti mandraguna. Dituturkan langsung dari juru kunci, kesaktian itu seperti : membuat areal sawah dalam waktu semalam, lantas esoknya bisa langsung dipanen. Membagikan wirid, hizb, dan rajah, agar kebal terhadap serangan peluru. Sampai munculnya epik pertentangan logika dengan santrinya. Pada suatu ketika setelah sholat jamaah bersama santrinya, tiba-tiba seluruh pakaian Mbah Nur Hakim basah kuyup, kepada santrinya Mbah Nur Hakim berujar,” Aku tes nulingi kapal kerem neng laut”. Mendengar hal itu sang santri pun tertegun heran, karena  jarak laut dengan mereka begitu jauh.

Sekilas Tentang Tarekat Syattariyah

                  Tarekat Syattariyah pertama kali dicetuskan oleh Abdullah Syathar pada abad ke-14 di India. Secara bahasa tarekat berasal dari Bahasa Arab al-thariq (jalan). Sedangkan secara terminologi tarekat adalah jalan yang ditempuh para sufi  yang berpangkal dari syariat sebagai jalan utama dan thariq sebagai anak jalannya (Rusli, 2013). Syattariyah yang bermuasal dari syathari yang kemudian ditambah dengan ya nisbah kepada ulama pendiri paham tarekat. Kemudian tarekat ini menyebar luas ke Tanah Suci (Mekah Madinah) dibawa oleh Syekh Ahmad Al-Qusyasi dan Syekh Ibrahim al-Kurani paruh abad ke-16. Tarekat Syattariyah menyebar ke Indonesia melalui Syekh Abdur Rauf As-Sinkil di Aceh.  Menurut Martin Van Bruinesen, Tarekat Syattariyah masuk ke Jawa melalui murid dari Syekh Abdur Rauf Sinkil bernama Abdul Muhyi. Menurut riwayat yang dapat dipercaya, Abdul Muhyi belajar tarekat syattariyah kala ia singgah di Aceh dalam perjalanan ibadah haji (Affandi, 1990).

Corak Neo Sufisme Mbah Nur Hakim

                  Istilah neo-sufisme pertama kali dilontarkan oleh Fazlur Rahman terhadap ulama yang mampu menggabungkan antara syariat dengan tasawuf (sufisme). Menurut, Ahmad Al-Qusyairi, seseorang tidak dapat menempati maqam/ahwal yang sejati sebelum ia melakukan syariat secara benar. Masih menurut Ahmad Al-Qusyairi, Kanjeng Nabi SAW adalah sosok sufi sejati. Ia tidak pernah mengasingkan dirinya dari manusia, dan mampu bekerjasama dengan masyarakat untuk melakukan kebaikan. Dari definisi sufisme tersebut, Mbah Nur Hakim membentuk karakter dirinya eling dan waskita. Ia tak jauh meniru lelaku Pangeran Diponegoro. Lebih jauh Sultan Agung, dari bagaimana penghayatan seorang salik tarekat syattariyah dalam melaksanakan amar ma’ruf  dan nahi munkar. Lebih jauh, Mbah Nur Hakim punya andil besar soal identitas keislaman masyarakat Banyumas. Sebagaimana pendapat Irfan Afifi, sufisme lahir bukan dari pinggiran, ia lahir dengan membangun kekuasaan (Irfan Afifi, 2020). Mbah Nur Hakim menyebarkan Islam dengan mendirikan padepokan serta mengajarkan tarekat syattariyah. Ia memiliki hubungan yang sentimental dengan orang pinggiran, para petani, hingga para priyayi.

Sebagaimana pendapat Irfan Afifi, sufisme lahir bukan dari pinggiran, ia lahir dengan membangun kekuasaan (Irfan Afifi, 2020). Mbah Nur Hakim menyebarkan Islam dengan mendirikan padepokan serta mengajarkan tarekat syattariyah. Ia memiliki hubungan yang sentimental dengan orang pinggiran, para petani, hingga para priyayi.

Salah satu contoh betapa Mbah Nur Hakim memilki hubungan yang sentimentil dengan wong cilik  adalah kisah babad alas (pasir wetan) yang diubah menjadi sawah dan menjadi penghasilan wong cilik. Melalui ringkasan, Tanto Sukardi, seorang sejarawan lokal dalam “Gerakan Tarekat Akmaliyah Di Banyumas Jawa Tengah Abad XIX”, menghubungkan gerakan tarekat syattariyah yang diajarkan Mbah Nur Hakim dengan meluasnya ketidakpuasan rakyat terhadap sosial poltik ekonomi tanam paksa (Tanto, 2008). Sedangkan hubungan yang sentimental dengan priyayi (penguasa) yakni Tumenggung Jayadireja (bekas penguasa Sokaraja dan Bupati Purwokerto tahun 1853-1860). Sampai muncul klimaks pengasingan Tumenggung Jayadirja karena Belanda mencurigai ia berafilisi dengan gerakan tarekat Mbah Nur Hakim.

Sekilas Tentang Tarekat Akmaliyah

Dalam lingkup masyarakat Banyumas, Mbah Nur Hakim juga dikenal sebagai pengamal, bahkan penyebar tarekat akmaliyah. Ihwal nama akmaliyah, dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Ahmad Masrukin berjudul “ Tarekat Akmaliyah: Studi Kasus di Pondok Pesantren Miftahu Falahil Mubtadiin Malang (2013), bahwa akmaliyah diambil dari tujuan dan keunggulannya. Pada umumnya, tarekat diambil dari nama pencetusnya, seperti Tarekat Naqsabandiyah yang dicetuskan oleh Baha’udin an-Naqsabandi, Tarekat Qadiriyah oleh Syekh Abdul Qodir Al-Jailani, Tarekat Syadziliyah oleh Syekh Abu Hasan Al-Sazili. Penamaan Akmaliyah sebagai tarekat, dalam artikelnya Ahmad Masduki menerangkan bahwa diambil dari martabat iman yang keempat. Yakni ilmu yaqin, ainul yaqin, haqul yaqin, dan akmalul yaqin.

Terkait pemahaman dari masing-masing tingkatan iman, menyitir pendapat Syekh Maulana Ishak (kemenakan cum santri Syaikhona Kholil Bangkalan) yang dianalogikan dengan tamsil ka’bah sebagai berikut: Pertama, Ilmu Yaqin; yakni imanya seseorang yang diberi kabar oleh seorang berhaji. Melalui kabar tersebut, ia sudah yakin dan merasa cukup keyakinannya terhadap ka’bah. Kedua, Ainul Yaqin; imannya seperti orang pertama, namun karena belum puas dengan berita itu. Ia kemudian memutuskan untuk pergi melihat ka’bah secara langsung. Ketiga, Haqqul Yaqin: yakni kelanjutan dari orang yang kedua karena belum puas dengan melihat. Ia kemudian bertekad untuk mendekat hingga menyentuh ka’bah. Keempat, Haqqul Yaqin; imannya seseorang melebihi orang yang telah dicontohkan, ia bahkn ingin masuk kedalam ka’bah. Sehingga orang ini kemanapun dia menghadap, ia menghadap ka’bah (fa ainama tuwallu illa ka’bah). Ini ibarat kemanapun seseorang menghadap, sukmanya hanya menyaksikan Allah semata ( fa ainama tuwallu fatsamma wajhullah).

Menurut Gus Romli, Tarekat Akmaliyah bukanlah tarekat yang berdiri sendiri, pasalnya ajarannya berupa martabat sab’ah ; (ahadiyah, wahdah, wahidiyat, arwah, missal, ajsam, insan kamil) dan wahdatul wujud. Konsep Ajaraannya ada dalam Tarekat  Syattariyah yang berindukan fahamnya Syekh Fadlullah Burhanpuri (penganut paham wahdatul wujud). Ditinjau dari runtutan sanadnya Tarekat Akmaliyah bukanlah tarekat yang berdiri sendiri dan bukan tarekat pelanjut. Dengan demikian, kemungkinan terbesar Tarekat Akmaliyah merupakan sejenis tarekat yang menggabungkan atau mengambil inti-inti pokok ajaran tarekat-tarekat yang sudah ada, terutama lima tarekat besar, yakni Tarekat Qadiriyah, Naqsabandiyah, Syattariyah, Sadziliyah, dan Samaniyah.

Semangat Jihadis Mbah Nur Hakim

                  Dugaan saya, Mbah Nur Hakim adalah sosok yang kurang suka dengan ”kalangan pemerintah”. Etos yang melandasi perjuanganya adalah membangun masyarakat yang otonom yang tidak menjadi “obyek kekuasaan” dari kalangan pemerintah dan kalangan Belanda, meskipun ia sendiri adalah menantu Demang. Mungkin layak diperhitungkan pula bahwa dalam diri Mbah Nur Hakim mengalir darah Laskar Diponegoro. Dalam disertasi Drewes tahun 1925 di Leiden, bahwa tarekat syattariyah di Jawa disebarkan oleh tiga guru tarekat yakni: Kiai Hasan Maulani (Lengkong, Cirebon), Kiai Malangyuda (Rajawana, Purbalingga) dan Kiai Nur Hakim (Pasir Wetan, Banyumas). Tarekat Syattariyah, kita tahu amat popular di abad 18, kalangan keluarga raja-raja Islam nusantara turut menggemari dan mendalami ajaran ini. Di sini kita patut bertanya: Mengapa pengikut tarekat syattariyah di Banyumas berjumlah kecil? Dalam artikel yang ditulis Ahmad Mutaqin dkk, berjudul “Sejarah Islamisasi Banyumas” menjelaskan bahwa surutnya pengikut tarekat syattariyah di Banyumas ditengarai pasca munculnya tarekat Naqsabandi yang disebarkan oleh Kyai Muhammad Ilyas sekira tahun 1880-an.

                  Saya sendiri pun setuju dengan penjelasan tersebut. Tetapi kemungkinan lain tetap ada. Sebagaimana yang saya dengar dari masyarakat mengenai tarekat syattariyah bahwa mereka agak “berjarak” dan lebih merasa nyaman mengikuti tarekat yang lain, sejenis naqsabandiyah, syadziliah, dan qodiriyah. Padahal, bila ditinjau dari kemu’tabarannya, tarekat syattariyyah termasuk kategori mu’tabaroh. Sangat disayangkan bahwa semerbak aroma tarekat syattariyah ini, belakangan meredup di tengah masyarakat muslim, kecuali mereka yang berminat pada ajaran Ibn Arabi (wahdatul wujud-martabat tujuh). Entah benar atau tidak, sikap “berjarak” ini tercermin dalam “aktivitas ziarah” ke makam Mbah Nur Hakim. Memang benar, di Banyumas banyak destinasi ziarah seperti makam Syekh Maqdum Wali, Makam Syekh Dalem Santri, Makam Syekh Jaka Arfi dan sebagainya. Namun, banyak peziarah lupa menziarahi makam Mbah Nur Hakim. Memang tidak masalah, karena pada hakikatnya orang-orang sholeh dan para Wali Allah telah ikut di doakan melalui doa dan tawashul. Hanya saja supaya tidak ada keterputusan sejarah bila berziarah ke Banyumas. Bahkan, menurut penuturan Zaenal Abidin (juru kunci makam Mbah Nur Hakim), makam Mbah Nur Hakim kerap di ziarahi Bung Karno (Ir Soekarno).

                  Kembali kepada Mbah Nur Hakim. Di karenakan sumber sejarah yang masih menjadi polemik, tidak ditemukannya karya (kitab) dari Mbah Nur Hakim, serta adanya pertentangan tarekat syattariyah ditengah masyarakat muslim kiwari. Sosok Mbah Nur Hakim tak begitu familiar di kalangan muslim Banyumas. Melalui wasilah tulisan ini saya mencoba mengenyam yang terpendam, seusai menengok Makam Mbah Nur Hakim. Semoga dapat mereposisi sosok Mbah Nur Hakim pada ingatan masyarakat luas, khususnya masyarakat Banyumas.

Linnabi wa li Mbah Nur Hakim, al-fatikhah……

Wallahu a’lam.


Bacaan

Affandi, Bisri. 1990. Tarekat Syattariyah di Indonesia. Jakarta: PLPA.

 Ahmad, M. 2013. Tarekat Akmaliyah: Studi Kasus di Pondok Pesantren Miftahu Falahil Mubtadiin. Malang. IAIT Kediri.

 Irfan, Afifi. 2018. Saya, Jawa, dan Islam. Yogyakarta. Tanda Baca.

Karel A.Steenbrink. 1984. Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad Ke-19. Jakarta: Bulan Bintang.

Rusli Ris’an. 2013. Tasawuf dan Tarekat. Jakarta: Rajawali Press.

Tanto, Sukardi. 2008. Gerakan Tarekat Akmaliyah Di Banyumas Jawa Tengah Abad XIX. Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Zaenal, Abidin. (2021, September 12). Ziarah. (Chubbi Syauqi, Pewawancara).